• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study On Mangrove Potentials Of Silvofishery Development In Tulang Bawang District, Lampung Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study On Mangrove Potentials Of Silvofishery Development In Tulang Bawang District, Lampung Province"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN POTENSI MANGROVE

DALAM PENGEMBANGAN

SILVOFISHERY

DI KABUPATEN TULANG BAWANG, PROPINSI LAMPUNG

YUDHA MIASTO

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Potenasi Mangrove dalam Pengembangan Silvofishery di Kabupaten Tulang, Propinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

(3)

ABSTRACT

YUDHA MIASTO, Study On Mangrove Potentials Of Silvofishery

Development In Tulang Bawang District, Lampung Province. Under supervision of BAMBANG WIDIGDO and GATOT YULIANTO.

A silvofishery approach to manage mangrove ecosystems in Tulang Bawang District, Lampung Province, is an integrated activity between brackish water cultivation with mangrove plantation at the same location. Silvofishery concept was developed as one of the coastal area management approach between conservation and utilization of mangrove ecosystems as a green belt which ecologically have a relative high productivity and the economic benefits of aquaculture activities. The method used in measuring productivity is by using the litter traps placed between the mangrove canopy. Decomposition rate was measured using litter bags were incubated in water at intervals of seven days of observation during 42 days. Total litter productivity of Rhizophora apiculata was produced at 18.73 gr/m2/day, which consists of components of the leaf (18.27 gr/m2/day), branch (0.43 gr/m2/day), and flowers (0,03 gr/m2

Keywords: silvofishery, mangrove, litter productivity, decomposition, nutrient, economy valuation

(4)

YUDHA MIASTO, Kajian Potensi Mangrove Dalam Pengembangan Silvofishery di Kabupaten Tulang Bwang, Propinsi Lampung. Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO dan GATOT YULIANTO.

Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan tradisional yang berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktifitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.

Wilayah pesisir timur Propinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu aset pembangunan kawasan pesisir yang sangat diandalkan bagi pendapatan asli daerah. Kawasan ini telah sejak lama dimanfaatkan untuk sektor perikanan budidaya khususnya untuk tambak udang. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan perubahan sistem ekologi kawasan setempat.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk tetap mengoptimalkan pemanfaatan kawasan pesisir sebagai areal budidaya udang tanpa mengesampingkan penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir, maka diperlukan suatu upaya agar prokduktifitas lingkungan perairan tetap terjaga. Salah satu diantaranya yaitu dengan mengkombinasikan areal budidaya dengan penanaman mangrove.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa potensi ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung melalui tinjauan karakteristik fisika kimia perairan, produktifitas serasah mangrove, dekomposisi serasah, kandungan unsur hara serasah, pakan alami dan valuasi ekonomi.

Data kualitas air dilakukan secara in-situ (suhu, salinitas, pH dan DO) dan di laboratorium (nitrat, orthophospat, TSS, BOD5,

Pengamatan terhadap dekomposisi serasah dilakukan dengan menggunakan kantong serasah (litter bag) ukuran 15 cm x 10 cm yang diisi daun mangrove dengan berat kering konstan kemudian diinkubasi di dalam air tambak sebanyak 6 kali pengamatan dengan interval 7 hari. Pengulangan per pengamatan dilakukan sebanyak 5 kali. Parameter yang diamati selama proses dekompisisi adalah penuruhan unsur C,N dan P dalam daun.

dan COD). Pengamatan terhadap produktifitas serasah dilakukan dengan memasang jaring penangkap serasah (trap) di 5 titik (1 trap dimasing-masing ujung petakan tambak dan 1

ditengah tambak) dengan ukuran 1 m x 1 m, mesh size 1 inchi, jumlah

pengamatan dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval 7 hari. Trap diletakkan diantara tajuk dengan dengan poisisi ±50 cm dari permukaan air tambak.

(5)

dilakukan dengan mengerik endapan yang terdapat pada akar mangrove yang terbenam di perairan. Pengambilan sempel benthos dilakukan dengan menggunakan pipa paralon diameter 2 inchi sedalam ± 20 cm.

Data ekonomi diperoleh melalui wawancara dengan pemilik tambak tradisional. Data manfaat nilai ekonomi langsung diperoleh dari data penangkapan dan penjualan biota (ikan, udang dan kepiting) di lokasi penelitian. Data manfaat ekonomi tidak langsung didapat dengan mengkonversi nilai sumberdaya mangrove dengan nilai rupiah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sungai Burung, Kabupaten Tulang Bawang, pesisir timur Propinsi Lampung, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Tulang Bawang dengan kombinasi pemanfaatan lahan pesisir dengan upaya penyelamatan lingkungan melalui silvofishery, memiliki manfaat yang cukup besar baik ditinjau dari segi biofisik (total produktifitas serasah 18.73 gr/m2/hari dengan laju dekomposisi berkisar antara 0.02-0.002 gr/hari, kandungan unsur hara dari serasah daun 8.2 gr C, 0.20 gr N, and 0.05 gr P dan pakan alami ditemukan 14 jenis plankton, 11 jenis perifiton dan 1 jenis benthos) maupun dari segi manfaat ekonomi sebesar Rp. 3 009 825.

Kata Kunci: silvofishery, mangrove, produktifitas serasah, dekomposisi, unsur

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penilitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

KAJIAN POTENSI MANGROVE

DALAM PENGEMBANGAN

SILVOFISHERY

DI KABUPATEN TULANG BAWANG, PROPINSI LAMPUNG

YUDHA MIASTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Disetujui Komisi Pembimbing:

Ketua

Dr. Ir. Bambang Widigdo

Anggota

Ir. Gatot Yulianto, M.Si

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 6 September 2010 Tanggal Lulus:

Silvofishery Di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung

Nama Mahasiswa : Yudha Miasto

NRP : C252080284

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas rahmat-Nya laporan penelitian dengan judul "Kajian Potensi Mangrove

Dalam Pengembangan Silvofishery di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi

Lampung" dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi

mangrove dalam pengembangan silvofishery berdasarkan tinjauan karakteristik fisika kimia perairan, produktifitas serasah, dekomposisi serasah, kandungan

unsur hara serasah, pakan alami dan valuasi ekonomi. Diharapkan hasil penelitian

ini dapat memberikan informasi kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,

Perusahaan Pembudidaya Perikanan, dan masyarakat penggarap areal sabuk hijau.

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa

terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Bambang Widigdo dan Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku Komisi

Pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati telah membimbing

dalam penyusunan laporan penelitian ini.

2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, selaku Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB beserta staf.

3. Kementrian Kelautan dan Perikanan RI melalui Program COREMAP II

yang telah memberikan sponsor beasiswa.

4. Staf dan Karyawan PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) Lampung, yang

telah membantu proses penelitian lapangan.

5. Teman-teman sandwhich Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

dan Lautan.

6. Dan pihak-pihak lain yang terkait yang telah membantu penulis, sehingga

dapat terselesaikannya laporan penelitian Tesis ini.

Bogor, September 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 23 Pebruari 1980 dari Bapak

Mijono dan Ibu Soetarti (alm). Penulis merupakan putra kedua dari dua

bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas

Teknologi Kelautan ITS Surabaya dan lulus tahun 2003. Semenjak Tahun 2003

Penulis bekerja sebagai staf Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2008 penulis diberi

kesempatan mengikuti Program Sandwich Magister Sains di Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) kerjsama antara Institut

Pertanian Bogor (IPB) dan Bremen University, Germany dengan bantuan dana

(12)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... xxi

DAFTAR GAMBAR………... xxiii

1. PENDAHULUAN……….. 1

1.1. Latar Belakang……….

1.2. Perumusan Masalah……….

1.3. Tujuan Penelitian………..

1.4. Manfaat Penelitian ………...

1.5. Kerangka Pikir………..

2.1.Pengertian Ekosistem Mangrove………..

2.2.Ekologi Mangrove………

2.2.1.Flora dan Fauna……….

2.2.2.Habitat ………..

2.2.3.Rhizophora apiculata ………

2.3.Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ………...

2.4.Silvofishery ………..

2.4.1.Pola Empang Parit ………

2.4.2.Pola Empang Parit yang Disempurnakan ……….

2.4.3.Model Komplang (selang-seling) ……….

2.5. Serasah Mangrove ………..

2.6. Dekomposisi Serasah Hutan mangrove ………..

2.7. Kualitas Perairan Pesisir ………

2.7.1.Suhu Perairan ………

2.7.2.Salinitas ……….

2.7.3.Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) ……...

2.7.4.Oksigen Terlarut ………...

2.7.5.Derajat Keasaman (pH) ………

2.7.6.Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) ..………

2.7.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) ………..

2.7.8.Nitrogen (Amonia, Nitrit, Nitrat) dan Fosfat ………

2.8. Indikator Biologi ………..

2.9.Valuasi Ekonomi untuk Menilai sumberdaya Mangrove Melalui Pendekatan Silvofishery ………..

3. METODOLOGI PENELITIAN ………. 29

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………...

3.2. Penentuan Titik Pengamatan ………...

3.3. Pengukuran Produktifitas Serasah ………...

3.4. Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah ………..

(13)

3.5. Analisis Unsur Hara ……….

3.5.1. Penentuan Kadar Carbon Total ………..

3.5.2. Penentuan Kadar Nitrogen Total ………...

3.5.3. Penentuan Kadar Ortofosfat ………..

3.6. Parameter Biologi ………

3.6.1. Plankton ………..

3.6.2. Perifiton ………..

3.6.3. Benthos ………...

3.7. Parameter Fisika Perairan .………..

3.7.1. Temperatur ……….

3.7.2. Salinitas ………..

3.8. Parameter Kimia Perairan ………..…………..

3.8.1. Oksigen Terlarut ………

3.8.2. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) ………

3.8.3. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) ………

3.8.4. Nitrogen ……….

3.8.5. Orthofosfat ……….

3.8.6. Padatan Tersuspensi Total (TSS) ………...

3.9.Parameter Ekonomi ……….

34

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..

4.1. Gambaran Umum Lokasi ………...

4.2.Karakteristik Fisiska Kimia Perairan ………..

4.3.Produktifitas Serasah Mangrove ……….

4.4.Dekomposisi Serasah ………..

4.5.Kandungan Unsur Hara (C, N dan P) ……….

4.6.Pakan Alami ………

4.6.1. Benthos ………

4.6.2. Plankton ………...

4.6.3. Periphyton ………

4.7.Deskripsi Pengelolaan Silvofishery ………

4.8.Analisis Manfaat Ekonomi ……….

4.9.Pengembangan Silvofishery Di Masa Yang Akan Datang ……….

(14)

xxi

Halaman

Tabel 1 Karakteristik Fisika Kimia Perairan ……… 42

Tabel 2 Produksi Serasah Mangrove Rhizophora apiculata Di Lokasi Studi (Rata-Rata Dari 5 Plot Pengamatan) ………

43

Tabel 3 Produktivitas Serasah Mangrove Di Beberapa Lokasi Penelitian …... 45

Tabel 4 Perubahan Bobot Kering Serasah Daun Rhizophora apiculata (gr) .. 45

Tabel 5 Laju Dekomposisi Berat Kering Serasah (gr/Hari) ………. 47

Tabel 6 Kandungan Unsur Hara Serasah (C, N, Dan P) Pada Serasah

Rhizophora apiculata Segar ………...

48

Tabel 7 Perubahan Unsur Hara Pada Daun Selama Proses Dekomposisi …… 49

Tabel 8 Persamaan Regresi Laju Dekomposisi C, N Dan P Pada Serasah Daun Mangrove ……….

51

Tabel 9 Plankton Di Lokasi Pengamanatan ………. 52

Tabel 10 Perifiton Pada Akar Mangrove Di Lokasi Penelitian ……… 54

Tabel 11 Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Berdasarkan Volum Produksi Dan Harga Pasar ……….

(15)

xiii

Halaman

Gambar 1 Kerangka Pikir ………... 7

Gambar 2 Pola Empang Parit ……… 14

Gambar 3 Pola Empang Parit Yang Disempurnakan ……… 15

Gambar 4 Model Komplang (Selang-Seling) ……… 16

Gambar 5 Lokasi Penelitian ……….. 27

Gambar 6 Pembagian Plot Pengamatan Dan Penempatan Trap Pada Petak Tambak ……….. 28 Gambar 7 Prosedur Pengukuran Produktivitas Serasah ………. 28

Gambar 8 Penempatan Penangkap Serasah Dalam Ekosistem Mangrove … 29 Gambar 9 Prosedur Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah………. 30

Gambar 10 Penempatan Kantong Serasah ………. 31

Gambar 11 Desain Tambak Penelitian ………….………. 39

Gambar 12 Rata Rata Perubahan Berat Kering Serasah Daun Akibat Dekomposisi ……….. 44 Gambar 13 Laju Dekomposisi Selama Pengamatan ……….. 45

Gambar 14 Perubahan Unsur Hara C Akibat Dekomposisi ……….. 48

Gambar 15 Perubahan Unsur Hara N Akibat Dekomposisi ……….. 48

(16)

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan kawasan pesisir, saat ini banyak menjadi perhatian utama di

berbagai kalangan. Hal ini tidak terlepas adanya saling keterkaitan keberadaan

pesisir dengan sistem yang sangat kompleks didalamnya. Kawasan pesisir

merupakan kawasan yang penuh dengan tekanan yang sangat tinggi baik yang

disebabkan oleh akitifitas manusia (human activity) maupun tekanan yang

diberikan oleh alam (nature pressure). Kondisi ini menjadikan kawasan pesisir

sebagai kawasan yang rentan akan berbagai kerusakan yang pada akhirnya

menjadikan kawasan ini mudah terdegradasi. Kerusakan yang umum terjadi di

kawasan pesisir dapat dijumpai dalam bentuk erosi, abrasi maupun akresi di

sepanjang pantai (Soeroyo 1988). Umumnya kerusakan yang sering menimpa

kawasan pesisir utamanya di sekitar sempadan pantai lebih disebabkan adanya

perilaku manusia yang tidak mengedepankan konsep pengelolaan lestari dalam

pemanfaatan pesisir sebagai ruang gerak pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satu

diantaranya adalah semakin menipisnya ketebalan mangrove di sepanjang pantai

sebagai salah satu bentuk konversi lahan. Hal tersebut pada akhirnya dapat

mengakibatkan kerusakan fisik dan putusnya beberapa rantai kehidupan di

kawasan pesisir, seperti berkurangnya plasma nutfah, semakin sempitnya daerah

asuhan (nursery ground) serta berkurangnya tempat bertelur dan memijah

(spawning ground).

Berdasarkan kondisi umum yang sering terjadi seperti tersebut di atas, maka

keberadaan ekosistem mangrove menjadi bagian yang sangat penting untuk

menunjang kawasan pesisir yang lestari. Ekosistem mangrove merupakan suatu

ekosistem yang sangat khas bagi kawasan pesisir karena tidak hanya memiliki

fungsi ekologi termasuk fungsi perlindungan, tetapi juga fungsi ekonomi. Banyak

manfaat yang diberikan oleh keberadaan hutan mangrove baik secara langsung

mapun tidak langsung. Secara ekonomi mangrove dimanfaatkan sebagai bahan

bakar dan material bangunan, secara ekologi mangrove juga dijadikan sebagai

(17)

dan ikan. Selain itu mangrove juga berperan untuk menahan laju abrasi pantai

yang disebabkan oleh benturan gelombang.

Mengingat besarnya manfaat yang diberikan oleh ekosistem mangrove,

maka semakin besar pula ancaman yang akan diterimanya, maka perlu adanya

suatu pendekatan silvofishery dalam pengelolaannya. Silvofishery sendiri

merupakan suatu bentuk budidaya perikanan air payau yang dikombinasikan

dengan penanaman mangrove pada lahan yang sama (Murdiyanto 2003). Teknik

yang diujicobakan dalam silvofishery dipandang lebih menguntungkan dan rendah

akan limbah yang dihasilkan (Nofianto 2008).

Desakan pemenuhan kebutuhan hidup merupakan salah satu indikator yang

mengancam keberadaan mangrove dengan mengkonversi ekosistem mangrove

yang ada. Contoh nyata yang dapat kita jumpai hampir disepanjang kawasan

sempadan pantai diantaranya adalah konversi lahan mangrove untuk lahan

pemukiman, pariwisata, perindustrian dengan cara mereklamasi pantai, serta

untuk lahan budidaya perikanan dengan cara mengkonversi lahan mangrove

menjadi tambak.

Kawasan pesisir timur Propinsi Lampung merupakan salah satu kawasan

pesisir di Indonesia dengan lahan mangrove telah mengalami degradasi akibat

konversi lahan untuk budidaya tambak, sehingga kualitas lingkungannya menjadi

menurun seperti yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang. Kondisi seperti ini

apabila dibiarkan akan menimbulkan suatu dampak serius bagi keseimbangan

ekosistem di suatu daerah secara keseluruhan. Kondisi ekstrim yang paling

memungkinkan terjadi akibat rusaknya ekositem mangrove adalah terjadinya

peningkatan laju abrasi di sepanjang pesisir pantai. Berdasarkan data dari Dinas

Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung, luas hutan mangrove di pesisir Pantai

Timur Lampung semula 20 000 ha dan telah menurun menjadi hanya 2 000 ha.

Pantai Timur Tulang Bawang dari 12 000 ha, 85% nya telah rusak berat.

Luas hutan mangrove yang rusak di Kabupaten Tulang Bawang seluas 587

ha lebih, di Kabupaten Lampung Timur kerusakannya mencapai sekitar 55 ha

lebih, sedangkan di Kabupaten Lampung Selatan kerusaknnya mencapai sekitar

80 ha. Menurut Indryanto dikutip dari Lampung Pos 9 Desember 2004 kerusakan

(18)

muara Way Seputih sampai Muara Tulang Bawang. Luas hutan mangrove dengan

kondisi cukup baik terdapat di Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten

Lampung Timur dengan luas mencapai 1 100 640 ha.

Areal silvofishery berbatasan langsung dengan areal rehabilitasi hutan

mangrove setelah ketebalan 300 meter. Pada areal ini telah dilakukan rehabilitasi

mangrove yakni penanaman mangrove dengan kombinasi usaha perikanan oleh

Divisi Lingku ngan dan Sosial, PT. Central Pertiwi Bahari (CPB). Teknik yang

dikembangkan yaitu model empang parit. Pendekatan silvofishery diperlukan

adanya pembinaan mengenai teknik silvikultur dan pembinaan teknik budidaya

serta pemasaran atau penampungan hasil produksi.

Pengelolaan green belt di daerah Pantai Timur Lampung harus didekati

secara komprehensif, karena permasalahan yang ada saat ini sangat kompleks.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah harus mengembalikannya fungsi dari

green belt dengan tetap memperhatikan nasib masyarakat yang sudah terlanjur

membuka tambak secara ilegal di kawasan tersebut. Oleh karena itu selain aspek

pemulihan hutan mangrove, juga tidak boleh mengesampingkan aspek ekonomi

yang mungkin dilakukan pada jalur green belt. Salah satu pendekatan yang dapat

ditempuh adalah menghutankan kawasan yang berbatasan langsung dengan laut

pada ketebalan tertentu sesuai dengan ketentuan yang ada (± 200-300 meter), kemudian kawasan sisanya dapat diusahakan dengan usaha tambak berwawasan

lingkungan yaitu teknik silvofishery.

1.2 Perumusan Masalah

Wilayah pesisir timur Propinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Tulang

Bawang merupakan salah satu aset pembangunan kawasan pesisir yang sangat

diandalkan bagi penerimaan pendapatan asli daerah. Kawasan ini telah sejak lama

dimanfaatkan untuk sektor perikanan budidaya khususnya untuk tambak udang.

Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan

perubahan sistem ekologi kawasan setempat.

Pada kawasan tersebut terdapat areal pertambakan intensif yang

dikembangkan oleh industri perikanan dan areal pertambakan rakyat yang bersifat

(19)

areal sabuk hijau (green belt). Kondisi tersebut di atas menimbulkan berbagai

permasalahan antara lain bahwa kondisi jalur hijau rusak, disamping

menyebabkan erosi pantai meningkat dan mengakibatkan berkurangnya plasma

nutfah, spawning ground dan nursery ground, juga dikhawatirkan akan timbulnya

penolakan terhadap produksi udang.

Kegiatan budidaya udang yang dikembangkan oleh inti (industri perikanan)

maupun plasma (rakyat) di sepanjang pesisir timur Kabupaten Tulang Bawang

tersebut, diduga berpotensi menyebabkan turunnya perubahan ekologi pesisir

melalui limbah hasil budidaya udang. Limbah yang dihasilkan seperti limbah

pakan dikhawatirkan akan mempertinggi bahan organik, sehingga berpengaruh

terhadap kondisi fisika-kimia perairan. Hal ini disebabkan tidak semua pakan

yang ditebar di areal budidaya dikonsumsi habis oleh udang, kemudian larut ke

dalam badan air dan mengalami proses pelarutan. Sisa pakan yang tidak termakan

merupakan potensi sumber Nitrat dan Phospat. Kondisi seperti ini akan dapat

mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi

kehidupan budidaya udang maupun organisme lain yang berada di sekitarnya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk tetap mengoptimalkan

pemanfaatan kawasan pesisir sebagai areal budidaya udang tanpa

mengesampingkan penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir, maka

diperlukan suatu upaya agar produktifitas lingkungan perairan tetap terjaga. Salah

satu diantaranya yaitu dengan mengkombinasikan areal budidaya dengan

penanaman mangrove. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Divisi Lingkungan dan

Sosial, PT Central Pertiwi Bahari (CPB) dan Kementrian Kelautan dan Perikanan

melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung.

Keberadaan ekosistem mangrove khususnya di kawasan pesisir harus tetap

dipertahankan dalam proporsi tertentu untuk menciptakan lingkungan yang baik

bagi pertumbuhan komoditas yang dibudidayakan terutama berkaitan dengan

kemampuan ekosistem mangrove sebagai biofilter alami bagi sejumlah polutan

yang dihasilkan dari tambak. Hal ini akan sangat mempengaruhi kondisi kualitas

lingkungan perairan disekitar kawasan pesisir utamanya yang dijadikan sebagai

(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian tentang kajian potensi mangrove dalam pengembangan

silvofishery di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung bertujuan untuk

menganalisa potensi dan manfaat ekosistem mangrove dengan pendekatan

silvofishery melalui tinjauan karakteristik fisika kimia perairan, produktifitas

serasah mangrove, dekomposisi serasah, kandungan unsur hara serasah, pakan

alami dan valuasi ekonomi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan masukan

kepada Pemerintah Pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan, c.q Ditjen

KP3K), Pemerintah Daerah (kabupaten Tulang Bawang), Pengusaha pembudidaya

perikanan, serta masyarakat penggarap areal sabuk hijau dalam hal pengelolaan

ekosistem mangrove. Informasi yang juga diharapkan dapat diberikan melalui

penelitian ini adalah mengenai pendekatan silvolfishery dalam pengelolaan

ekosistem mangrove disepanjang areal sabuk hijau (green belt), sehingga nantinya

tidak terdapat kesalahan yang fatal dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan

ekosistem mangrove sehingga keberadaanya tetap lestari.

1.5 Kerangka Pikir

Pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery yang

terdapat di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung merupakan usaha

penyelamatan lingkungan dengan memadukan kegiatan budidaya di areal

mangrove. Kegiatan ini pada mulanya, merupakan kolaborasi antara pemerintah

(Kementrian Kelautan dan Perikanan) dan swasta (PT. Central Pertiwi Bahari)

dalam hal reboisasi kawasan pesisir timur Lampung yang telah dilaksanakan sejak

tahun 1994 hingga sekarang. Hasil dari kegiatan tersebut yaitu telah ditanamnya

kurang lebih sebanyak ±4 370 000 batang dengan luas penanaman seluas ±3 215.2 Ha. Area penanamannya meliputi pesisir Sungai Nibung, Sungai Burung, Sungai

Kuala Seputih, Tanjung Krosok, dan areal internal di kawasan perusahaan tambak

udang (PT. Central Pertiwi Bahari/CPB). Namun demikian, silvofishery baru

diinisiasi dan dikembangkan sejak tahun 2004 oleh Divisi Lingkungan Hidup dan

(21)

Kondisi tambak silvofishery milik PT. CPB saat ini sudah tidak berfungsi lagi

disebabkan karena gangguan alam (gempuran ombak). Tambak dengan pola

silvofishery yang masih dapat digunakan yaitu tambak milik masyarakat lokal,

dengan jumlah dan luasan yang masih sangat terbatas.

Kegiatan silvofishery ini dilakukan, karena diduga mampu memberikan

dampak positif dalam hal mengurangi tekanan sumberdaya pesisir akibat adanya

konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Dengan silvofishery

diharapakan mampu memulihkan kembali kondisi green belt dan dapat

memberikan tambahan nilai ekonomi pada masyarakat setempat melalui kegiatan

budidaya yang dilaksanakan bersamaan dengan reboisasi pantai.

Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka diperlukan sebuah penelitian

tentang pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan silvofishery yang

nantinya diharapakan mampu menjawab permasalahan yang sudah ada

sebelumnya. Penelitian ini dilakukan dengan meneliti produktifitas serasah

mangrove yang diduga memiliki kandungan nutrient untuk dikonsumsi oleh

plankton, perifiton dan benthos. Dekomposisi serasah mangrove ini akan

menjadikan serasah terurai menjadi partikel-partikel halus dengan bantuan

mikroba decomposer dan hewan-hewan pemangsa detritus (plankton, perifiton

dan benthos) yang dapat dijadikan sebagai pakan alami. Kondisi tersebut diduga

akan menarik organisme budidaya (ikan dan kepiting) untuk dapat hidup dan

berkembang biak di dalamnya. Penelitian ini juga dilakukan dari sisi ekonomi di

mana diasumsikan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan

silvofishery ini dapat memberikan nilai ekonomi baik yang diperoleh secara

langsung (misalnya, penjualan udang dan kepiting). Dengan metode yang

memadukan sisi ekologi dan ekonomi, diharapkan dapat menjaga pemanfaatan

lahan di kawasan pesisir secara lestari dan berkelanjutan. Namun informasi

tersebut masih terbatas sehingga diperlukan suatu kajian untuk mengungkapnya.

Keluaran yang diharapkan yaitu munculnya sebuah pendekatan dalam hal

pengelolaan eksosistem mangrove sebagai upaya pemulihan pemanfaatan

kawasan pesisir dengan cara memadukan kegiatan reboisasi green belt dan

(22)

pakan yang rendah. Secara ringkas kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada

Gambar 1.

Ket:--- : Fokus penelitian

Gambar 1 Kerangka Pikir

Konversi "green belt"

di Kaawasan Pesisir Lampung untuk Tambak

Pemulihan Kawasan green belt

dengan silvosfishery

Dekomposisi Serasah Kimia-Fisika

Nilai Langsung

Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Lestari dn Berkelanjutan

Nilai Tidak Langsung Organisme

Budidaya

(23)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

Menurut Murdiyanto (2003) mangrove adalah tanaman pepohonan atau

komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh

pasang surut. Mangrove merupakan vegetasi khas daerah pantai, yang dipengaruhi

oleh fenomena pasang susrut. Floranya berhabitus semak yang tumbuh di tepi laut

hingga habitus pohon besar mencapai tinggi antara 50-60 meter. Menurut Steenis

(1958) mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut.

Nybakken (1998) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan

untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh

beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai

kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Soerianegara dan Indrawan

(1998) bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai,

biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara suangai.

Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari

salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Mangrove

mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur

tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan

terhadap erosi pantai. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat

untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat

sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit

(Nybakken 1998).

Menurut Nofianto (2008) hutan mangrove merupakan kawasan hutan yang

terdapat di wilayah pantai, yang memiliki komunitas tumbuhan yang bertoleransi

terhadap garam. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat memijah dan

habitat bagi beberapa biota laut, mangrove juga berfungsi sebagai peredam erosi

dan abrasi pantai. Mangrove mempunyai sistem pengakaran yang kuat yang

mampu meredam energi gelombang dan arus laut, serta menahan sedimen. Seperti

hutan-hutan yang ada pada umumnya, hutan mangrove juga berfungsi sebagai

penyimpan air tanah atau sebagai penahan intrusi air laut. Hutan mangrove juga

(24)

berlindung dan tempat tumbuh dan berkembang bagi anak-anak ikan, tempat

kawin/pemijahan, dan lain-lain.

Berbicara tentang ekosistem mangrove adalah berbicara tentang suatu

ekosistem hutan hujan tropis yang khas. Kekhasannya dikarenakan pertama,

lokasi di mana ekosistem ini tumbuh dan berkembang. Ekosistem mangrove

berada di wilayah pesisir di mana terjadi peralihan habitat darat dan laut

(Wibisono 2005).

Bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungan yang sering terendam oleh

air asin dan air tawar. Dengan adaptasi seperti ini ekosistem mangrove dapat

tumbuh pada kondisi lingkungan yang sulit, tidak semua tumbuhan dapat

melakukannya seperti pada tanah yang miskin oksigen, berlumpur, berpasir,

bahkan pada terumbu karang. Akar yang khas ini juga menjadikan vegetasi

pembentuk ekosistem mangrove sebagai salah satu plasma nutfah berharga yang

penting untuk terus dilestarikan.

Manfaat penting lainnya dari ekosistem ini adalah sebagai penyeimbang

ekosistem darat, laut dan udara. Eksositem mangrove dapat membantu

pembentukan daratan baru dari hasil sedimemtasi lumpur yang dibawa oleh aliran

sungai. Dengan kemampuannya mengikat zat pencemar maka mangrove dapat

berfungsi sebagai biofilter alami (Gunarto 2004) yang dapat menetralkan dan

menjernihkan kawasan pesisir. Dari ekosistem ini dapat dihasilkan biomassa 62.9

– 39.8 ton/ha, guguran serasah 5.8 – 25.8 ton/ha dan riap volume 20 tcal/ha/th

atau 9 m3

2.2 Ekologi Mangrove

/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun. Namun dari produksi

yang besar ini tidak lebih dari 10% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan

darat pemakannya, sedangkan sisanya tinggal di dalam wilayah perairan pantai

(Odum dan Heald 1975). Kondisi ini menyebabkan kandungan bahan organik

hutan mangrove sangat tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk budidaya

perikanan.

2.2.1 Flora dan Fauna

Hutan mangrove merupakan himpunan khas dari berbagai jenis tumbuhan

dan beberapa suku yang berbeda, tetapi mempunyai kesamaan adaptasi dengan

(25)

perakarannya. Bengen (2001) dalam komunitas mangrove di Indonesia tercatat

202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis

epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang dari 47 jenis

tumbuhan yang spesifik hutan mangrove paling tidak di dalam hutan mangrove

terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke

dalam empat family Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera dan Ceirops),

Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicenia) dan Meliceae

(Xylocarpus). Menurut Soeroyo (1988) habitat yang ditumbuhi tumbuhan

mangrove dapat bersifat padat dan keras, misalnya endapan lumpur di estuari

(muara sungai). Dan agar dapat tumbuhan tegak, maka tumbuhan ini memiliki

sistem perakaran yang lebar dan luas. Habitat hutan mangrove bersifat khusus

tetapi setiap jenis biota di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan

masing-masing mempunyai relung khusus. Hal ini menyebabkan terbentuknya

berbagai macam komunitas dan bahkan mintakat, sehingga komposisi jenis

berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut Sukardjo (1986), mintakat

ini mencerminkan tahap-tahap suksesi dari vegetasi darat dan merupakan respon

terhadap perubahan lainnya waktu penggenangan, salinitas tanah, tersedianya

sinar matahari, aliran pasang surut dari aliran air tawar. Seperti halnya tumbuhan

mangrove, penyebaran fauna mangrove juga memperlihatkan mintakat jenis-jenis

dominan. Menurut Soerianegara (1998) hutan mangrove adalah suatu ekosistem

tiga dimensi dengan dua cara penyebaran yang mengakibatkan terbentuknya

penyeberan hewan, yaitu: penyebaran mendatar dari laut ke darat pada hewan

infauna dan epifauna, penyebaran menegak dari lantai hutan ke pucuk-pucuk

pohon, terutama yang hidup di bagian tepi luar hutan.

Pada umumnya, penyebaran fauna secara mendatar tergantung pada jarak

dari laut serta adaptasi jenis-jenis tersebut terhadap perubahan kondisi

lingkungannya. Sedangkan penyebaran secara menegak tergantung pada kisaran

tinggi air pasang surut. Tumbuhan mangrove dengan sistem perakarannya

menjadikan hutan mangrove mempunyai 6 macam habitat bagi faunanya, yaitu;

tajuk pohon yang tersusun dari batang, cabang dan dedaunan yang tidak dicapai

oleh air laut, lubang-lubang dan celah yang berisi air pada batang dan cabang

(26)

Menurut Bengen (2001) peranan dan potensi hutan mangrove sangat besar,

baik berupa manfaat langsung maupun tidak langsung yang sangat penting artinya

bagi ekosistem kehidupan mahluk di lautan dan eksosistem lain, antara lain:

sebagai peredam gelombong dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi,

penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkat oleh aliran air permukaan,

sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama berasal dari daun dan dahan

pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan

sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus dan sebagian lagi diuraikan

secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan

perairan, sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan

(feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi

bermacam-macam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan) baik yang hidup di

perairan pantai maupun lepas pantai.

2.2.2 Habitat

Menurut Soemodihardjo (1977) habitat yang ditumbuhi tumbuhan

mangrove dapat bersifat padat dan keras, misalnya batu-batuan atau formasi

karang, tetapi dapat pula bersifat sangat lembek, misalnya endapan lumpur di

estuaria (muara sungai). Sistem perakaran yang lebar dan luas menjadikan

tumbuhan ini dapat tumbuh tegak. Habitat hutan mangrove bersifat khusus tetapi

setiap jenis biota di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan

masing-masing mempunyai relung khusus. Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai

macam komunitas dan bahkan mintakat, sehingga komposisi jenis berbeda dari

suatu tempat ke tempat yang lain. Menurut Soemodihardjo (1977) dan Sukardjo

(1986), mintakat ini mencerminkan tahap-tahap suksesi dari variasi vegetasi darat

dan merupakan respon terhadap perubahan lainnya waktu penggenangan, salinitas

tanah, tersedianya sinar matahari, aliran pasang surut dari aliran air tawar.

2.2.3 Rhizophora apiculata

Rhizophora apiculata merupakan salah satu jenis mangrove yang berasal

dari kelas Mangnoliopsida. Karakteristik tumbuhan ini berupa pohon/semak

dengan ketinggian mencapai 30 m, berdiameter batang mencapai 50 cm. akarnya

(27)

kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Batangnya didukung oleh

banyak akar tunggang yang bercabang-cabang dan lateral, kulit kayu berwarna

abu-abu tua. Rantingnya membesar pada ruas-ruas, keras dan mengempulur. Daun

tunggal berhadapan diujung ranting, berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda

pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya

17-35 mm dan warnanya kemerahan. Bunga Rhizophora apiculata berjenis

biseksual dengan kepala bungan kekuningan yang terletak pada gagang berukuran

<14 mm, letaknya diketiak daun. Formasi bunganya kelompok (2 bunga per kelompok). Daun mahkota berjumlah 4 buah, memiliki cirri-ciri: berwarna kuning

keputihan, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm, bentuknya melengkung,

benang sari berjumlah 11-12 dan tidak bertangkai.

2.3 Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Terjadinya kerusakan dan penurunan luas ekosistem mangrove di Negara ini

mengindikasikan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini belum berpihak

pada azas kelestarian. Padahal jika merujuk pendapat yang dikemukakan oleh

Macintosh dan Ashton (2003) yang menyatakan bahwa tujuan pengelolaan

ekosistem mangrove adalah untuk mendukung upaya konservasi, rehabilitasi, dan

penggunaan berkelanjutan eksosistem mangrove agar dapat memberikan

keuntungan pada seluruh manusia di muka bumi ini, maka orientasi pengelolaan

mangrove seharusnya adalah kelestarian dan bukannya kepentingan ekonomi

jangka pendek yang pada akhirnya mengancam kelestarian mangrove.

Oleh karena itu pengelolaan mangrove selanjutnya harus dikembalikan pada

tujuan awalnya. Namun untuk merealisasikan hal tersebut ada beberapa

permasalahan dalam pengelolaan daerah pesisir, di mana ekosistem mangrove

berada di dalamnya. Hal ini berhubungan dengan potensi konflik kepentingan,

kewenangan, tumpang tindih pengelolaan antar sektor, keterkaitan yang erat

dengan ekosistem darat dan laut, lemahnya kerangka hukum, degradasi

lingkungan serta keterlibatan masyarakat. Selain itu terbatasnya informasi dan

teknologi serta kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir juga merupakan

(28)

2.4 Silvofishery

Kawasan hutan mangrove yang memilki nilai ekologi dan ekonomi yang

tinggi terus menerus mengalami degradasi akibat dikonversi dan berubah fungsi

untuk kegiatan lainnya, seperti pemukiman, pariwisata, perhubungan, reklamasi

pantai, budidaya perikanan dan sebagainya. Diduga bahwa konservasi lahan

mangrove untuk pemukiman dan tambak udang merupakan salah satu faktor

penyebab kerusakan yang cukup besar.

Namun demikian, upaya tersebut pada umunya mengalami kegagalan yang

disebabkan oleh adanya konflik kepentingan para penggunanya (user). Sebagai

contoh, kawasan yang diperuntukkan sebagai green belt lebih banyak digunakan

untuk kegiatan budidaya air payau (brackishwater aquaculture), seperti tambak

udang, dan saat akan direforestasi justru mengalami hambatan yang cukup berarti.

Untuk mengatasi persoalan konflik antara pengguna tersebut, maka perlu

dicarikan solusi yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan para pengguna.

Di satu sisi konservasi kawasan mangrove terus berjalan dan di sisi lain kegiatan

budidaya perikanan tidak terhambat. Salah satu konsep pengembangan yang dapat

mengkombinasikan antara pemanfaatan dan sekaligus konservasi di kawasan

mangrove adalah silvofishery.

Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah bentuk kegiatan

yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan

mangrove pada lokasi yang sama (Fitzgerald 1997). Konsep silvofishery ini

dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan

dengan input yang rendah (Nofianto 2008). Pendekatan antara konservasi dan

pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan

keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktifitas relatif tinggi

dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.

Silvofishery yang dikembangkan di Indonesia memiliki 3 model/tipe, yaitu

empang parit atau lebih dikenal dengan tambak tumpang sari dan komplangan.

2.4.1 Pola Empang Parit

Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum

dikembangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan/memelihara

(29)

silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah,

sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan

budidaya ikan (mina/fishery) seperti dalam Gambar 2.

Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan

direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian tengah) untuk

ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap dibiarkan seperti

semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan

direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman

mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu

mangrove (Bengen 2000). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997),

kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0.17-2.5 pohon/m2.

. Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan

bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan

pada budidaya udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya

adalah bakau (Rhizophora sp) atau dapat juga menggunakan jenis api-api

(Avicennia spp).

(30)

Kanal untuk memelihara ikan/udang berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman

sekitar 40-80 cm dari muka pelataran. Dengan berbagai modifikasi disain dasar

tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara

ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan,

seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta udang dan

kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut.

2.4.2 Pola Empang Parit yang Disempurnakan

Pada dasarnya sistem empang parit yang disempurnakan (Gambar 3) tidak

berbeda jauh dengan sistem empang parit. Perbedaannya hanya terletak pada

disain lahan untuk menanam mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang

terpisah. Model ini memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan

empang parit, karena adanya tanggul yang mengelilingi lahan pelataran yang akan

digunakan untuk menanam mangrove.

(31)

2.4.3 Model Komplang (selang-seling)

Model Komplang merupakan suatu sistem silvofishery dengan desain

tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami

mangrove (Gambar 4). Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua

hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas

areal yang akan digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara

2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk

memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha. Model ini merupakan suatu metode

budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif

yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).

Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai

memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal

greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman

sumberdaya alam hayati.

Gambar 4 Model Komplangan

Dari beberapa penjelasan tersebut, diketahui bahwa silvofishery sistem

empang parit dan komplangan dapat diterapkan untuk menjaga kelestarian dan

fungsi kawasan mangrove dengan kegiatan budidaya perikanan tetap dapat

berlangsung di areal tersebut.

2.5 Serasah Mangrove

Serasah merupakan jatuhan dari organ tumbuh-tumbuhan yang membentuk

(32)

Jensen (1974) serasah adalah lapisan dari organ tumbuh-tumbuhan yang banyak

mengandung unsur-unsur mineral yang sangat memegang peranan penting di

dalam suatu ekosistem hutan. Komponen-komponen yang dapat membentuk

lapisan serasah pada permukaan tanah di lantai hutan berasal dari daun (leaf litter)

dan komponen-komponen bukan daun (non leaf litter) yaitu berupa ranting,

bunga, buah, biji, kulit batang dan bagian-bagian yang tak dapat diidentifikasikan.

Hutan mangrove mempunyai produktivitas bahan organ yang sangat tinggi,

tetapi hanya kurang lebih 10% dari produksinya langsung dimakan oleh herbivora.

Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagai detritus atau bahan

organik mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun dan dengan

melalui aktivitas makan oleh mikroba dekomposer dan hewan-hewan pemangsa

detritus diproses menjadi partikel-partikel halus (Odum dan Held 1975).

Detritus meruapakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang terdapat

di hutan mangrove dan estuaria. Partikel-partikel organik tersebut menjadi tempat

hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang merupakan sumber

makanan utama bagi organisme omnivore seperti udang, kepiting, dan sejumlah

ikan. Odum (1971) mengemukakan bahwa studi yang telah dilakukan di Florida

Selatan menunjukkan bahwa pohon bakau (Rhizopora spp.) yang sebelumnya

dianggap bernilai rendah, sebenarnya memberikan sumbangan yang sangat besar

terhadap rantai makanan, sehingga dapat menunjang bidang perikanan.

Hara yang dihasilkan oleh serasah antara lain mengandung N dan P yang

terlarut dalam air akan menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Sehingga

terdapat hubungan antar total N dan P serasah, total N dan P air, produktivitas

perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton dan makrozoobenthos.

2.6 Dekomposisi Serasah Hutan Mangrove

Dekomposisi merupakan suatu proses perombakan zat-zat organik yang

secara fisik dipecah dan diubah menjadi zat kimia yang lebih sederhana

terbentknya CO2, air dan pembebasan energi (Mason 1976). Pengukuran laju

dekomposisi serasah bertujuan untuk mengetahui besarnya penghacuran serasah

selama penelitian dan juga untuk menduga banyaknya serasah yang dapat terurai

selama selang waktu tertentu. Karena informasi mengenai kecepatan dekomposisi

(33)

bahan organik yang dikandung dalam serasah serta kecepatan pengembalian hara

mineral ke dalam tanah.

2.7 Kualitas Fisika Kimia Perairan Pesisir

Kualitas lingkungan perairan utamanya di kawasan pesisir merupakan faktor

biofisika-kimia yang dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam

ekosistemnya. Perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan

organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya (Wardoyo 1987). Menurut Boyd

(1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan

untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya

dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu.

Berdasarkan sumbernya, bahan pencemar dapat dikategorikan menjadi dua

golongan yaitu dari alam dan dari kegiatan manusia. Pencemaran yang berasal

dari alam, seperti sedimentasi merupakan akibat dari terjadinya abrasi pantai.

Sedangkan pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia diantaranya

adalah penggalian dan pengelolaan sumberdaya melalui pertambangan,

perindustrian dan pertanian termasuk perikanan (Sutamihardja 1992). Menurut

Soutwich (1976) sumber pencemaran dapat diidentifikasi menjadi 2 golongan

yaitu: 1) pencemaran bahan organik yang berupa pengkayaan hara yang relative

tinggi, sehingga terbentuk komunitas biotik yang berlebih (blooming), 2) zat-zat

kimia toksik yang dapat menurunkan kelimpahan biota perairan dan mematikan

kehidupannya.

Masuknya bahan pencemaran ke dalam perairan dapat mempengaruhi

kualitas perairan, apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi kapasitas

asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun. Apabila daya dukung

lingkungan menurun maka nilai guna dan fungsi dari suatu perairan bagi

peruntukan lainnya akan turun pula (Dahuri dan Arumsyah 1994). Nilai kisaran

parameter yang terukur dari lingkungan perairan pantai secara langsung

dipengaruhi oleh proses hidrodinamika suatu perairan, misalnya pasang surut,

gerakan ombak, pengenceran oleh air tawar dan sebagainya.

Besar kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari beberapa

faktor antara lain volume air pengencer, toksisitas/intensitas bahan pencemar,

(34)

fisik, kimia, dan biologi yang saling berinteraksi. Apabila salah satu faktor

terganggu atau mengalami perubahan akan berdampak pada sistem ekologi

perairan (Pariwono et al. 1989 in Sulardiono 1997).

2.7.1 Suhu Perairan

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude) ketinggian

dan permukaan laut (altitude) waktu dalam suatu hari, sirkulasi udara, penutupan

awan dan aliran serta kedalaman dari bahan air. Perubahan suhu berpengaruh

terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan.

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,

evaporasi dan volatisasi. Selaian itu peningkatan suhu juga menyebabkan

penurunan kalarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4

Menurut Nybakken (1998) suhu perairan di daerah pesisir mempunyai

perbedaan nyata di bagian permukaan dan dasar, dimana suhu dibagian

permukaan lebih tinggi dari pada di dasar perairan. Dengan berpengaruhnya suhu

terhadap kehidupan organisme, maka Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air

yang berkisar antara 35-40

dan

sebagainya (Haslam 1995 in Effendi 2000).

o

2.7.2 Salinitas

C, merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme

air, yang dapat menyebabkan kematian.

Salinitas menggambarkan kandungan garam dalam air suatu perairan.

Garam yang dimaksud di sini adalah berbagai ion yang terlarut dalam air

termasuk garam dapur (NaCl). Pada umumnya ssalinitas disebabkan oleh tujuh

ion utama yaitu natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit

(Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3). Salinitas dinyatakan dalam satuan

garam/kg atau promil (o

Salinitas perairan sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan sistem

osmoregulasi organisme perairan. Menurut Nybakken (1992) salinitas di berbagai

tempat pada laut terbuka yang jauh dari pantai memiliki variasi yang sempit yaitu

34-37 ppt dengan rata-rata 35 ppt, perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan

evaporasi dan presipitasi.

(35)

2.7.3 Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS)

Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam

kolam air. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang

memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan

kekeruhan. Perairan yang kekeruhannya tinggi akan mempengaruhi penetrasi

cahaya matahari dalam kolam air, sehingga membatasi proses fotosintesa.

Kekeruhan yang tinggi akan menyebabkan perairan mempunyai kecerahan yang

rendah (Nybakken 1998).

Menurut Jeffries dan Milis (1996) in Effendi (2000) kecerahan adalah

ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan

secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan secchi disk.

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat

dalam air. Kekeruhannya disebabkan oleh organik dan anorganik baik tersuspensi

maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan organik

seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Davis dan Cornwell 1991 in

Effendi 2000)

Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/TSS) adalah bahan-bahan

tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 µ m. TSS yang utama adalah kikisan tanah dan erosi tanah yang

terbawa ke badan air. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami

tidak bersifat toksik, tetapi jika jumlahnya berlebih dapat meningkatkan nilai

kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air

dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan. Sastrawijaya

(1991) menyatakan perairan dapat mengandung larutan yang berupa zat organik

dan anorganik.

Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi posistif yaitu semakin

tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Akan tetapi

tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air

laut memilki nilai padatan terlarut tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi

(36)

2.7.4 Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut atau dikenal denga istilah DO (dissolved oxygen) adalah

salah satu gas yang ditemukan terlarut dalam perairan. Kadar oksigen terlarut di

perairan alami bervariasi bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan

tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu,

ketinggian/altitude dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills 1996 in

Effendi 2000). Peningkatan suhu 1o

Welch (1952) in Sulardiono (1977) menyatakan bahwa oksigen terlarut

dalam air umunya berasal dari fotosintesis, disfungsi oksigen, dan arus atau aliran

air melalui air hujan. Sedangkan oksigen terlarut dapat berkurang disebabkan

karena naiknya suhu air, meningkatnya salinitas, proses respirasi organisme

perairan dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba.

C meningkatkan konsumsi oksigen sekitar

10%. Sedangkan semakin tinggi suatu tempat dari permukaan air, semakin rendah

tekanan atmosfer, sehingga kelarutan oksigen semakin berkurang.

Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung

yang berakibat pada kematian organisme perairan, sedangkan pengaruh yang tidak

langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya

dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen

terlarut dipergunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang

biak (Rahayu 1991).

Pada perairan yang menerima limbah organik, proses dekomposisi bahan

buangan yang dilakukan oleh bakteri memerlukan oksigen yang cukup. Bila

jumlah bahan organik melimpah, aktivitas perombakan bakteri memerlukan

oksigen yang sangat banyak, sehingga konsentrasi oksigen diperairan menjadi

berkurang, bahkan dalam kondisi tertentu perairan dapat dalam keadaan tanpa

oksigen (unaerob), konsentrasi oksigen kurang dari 1 ppm dapat mematikan

organisme perairan hanya dalam selang beberapa (Swingle 1965 in Sulardiono

1997).

2.7.5 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasamaan atau pH merupakan gambaran jumlah atau lebih tepatnya

aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan

(37)

lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antar 7.7-8.4

(Nybakken 1992). Perubahan nilai pH perairan pesisir yang kecil saja dari nilai

alaminya menunjukkan sistem penyangga perairan tersebut terganggu, sebab air

laut sebenarnya mempunyai kemampuan untuk mencegah perubahan pH. Di

dalam air, pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer), yaitu adanya

garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd 1982).

2.7.6 Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD)

BOD (Biological Oxygen Demand) yang merupakan gambaran secara tak

langsung kadar bahan organik adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbodioksida dan air

(Davis dan Cornwell 1991 in Effendi 2000). Menurut Boyd (1982) nilai OD

menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba

aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20o

BOD juga memberikan gambaran seberapa besar oksigen yang diperlukan

dalam proses dekomposisi secara biologis (biodegradable) di perairan. dengan

demikian semakin tinggi nilai BOD memberikan gambaran semakin besarnya

bahan organik yang terdekomposisi dengan menggunakan sejumlah oksigen di

perairan. Tingginya aktivitas dekomposisi akibat banyaknya jumlah bahan organik

juga dapat berakibat lebih lanjut pada timbulnya bahan-bahan beracun dan berbau

sebagai hasil samping proses dekomposisi, seperti ammonia dan hidrogen sulfida. C

selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya.

2.7.7 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)

Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total

oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik, baik

yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar

didegradasi biologi (non-biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada prosedur

penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang

diperlukan dalam mengkonsumsi air sampel (Boyd 1982). Nilai COD juga dapat

memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam

perairan, Bila nilai COD jauh lebih besar dari nilai BOD (Alaerst dan Santika

(38)

2.7.8 Nitrogen (Ammonia, Nitrit, Nitrat) dan Fosfat

Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa ammonia, nitrit, nitrat

dan senyawa bentuk lain. Senyawa tersebut berasal dari limbah pertanian,

pemukiman dan industri (Alaerst dan Santika 1987). Sedangkan alami senyawa

ammonia di perairan berasal dari hasil metabolise hewan dan hasil proses

dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat

dalam jumlah yang terlalau tinggi, lebih besar dari 1.1 ppm pada suhu 25o

Ammonia (NH

C dan

pH 7.5 dapat diduga adanya pencemaran.

3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air.

Sumber ammonia di perairan adalah hasil pencemaran nitrogen organik (protein

dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari

dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan bita akuatik yang telah mati) yang

dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi

(Effendi 2000). Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total (NH3

dan NH4+

Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l dan

kadar ammonia bebas yang tidak terionisasi (NH

). Nilai ammonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan

suhu perairan. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik meningkat dengan

penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu.

3

Nitrit (NO

) pada perairan tawar sebaiknya

tidak melebihi 0.02 mg/l. Kadar ammonia bebas melebihi 0.2 mg/l bersifat toksik

bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan Mc Carty 1978 in Effendi 2000). Kadar

ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan

organik yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan (run-off) pupuk

pada pertanian.

2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di

perairan alami, kadarnya lebih kecil dari pada nitrat bersifat tidak stabil jika

terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara

ammonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas oksigen (denitrifikasi)

(Effendi 2000). Kadar nitrit di perairan alami sekitar 0.001 mg/l dan sebaiknya

tidak melebihi 0,06 mg/l. kadar nitrit melebihi 0.05 mg/l dapat bersifat toksik bagi

(39)

Nitrat (NO3

Fosfat merupakan komponen yang penting bagi kesuburan perairan. Fosfat

dalam air dapat berupa bahan padat atau bahan terlarut. Fosfat padat dapat

terbentuk sebagai suspensi garam-garam yang tidak larut (Sastrawijaya 1991).

Fosfat yang diserap oleh organisme nabati dalam bentuk ortophosphat yang

merepresentasikan nutrient fosfor (P) terlarut dan merupakan bioavailable

phosphorus. Ketersediaan ortophosphat dan bioavailable phosphorus merupakan

gambaran singkat perairan, dan merupakan faktor paling penting bila perairan

hendak dimanfaatkan untuk keperluan perikanan. Konsentrasi fosfat dalam

perairan alami pada umunya tidak melebihi 0.1 ppm. Menurut Wardoyo (1987)

kandungan fosfat yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan kesuburan

perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton.

) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat

merupakan salah satu nutrient senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan

dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi

pertumbuhan dan perkembangan organisme (fitoplankton, tumbuhan air), Apabila

didukung oleh nutrient (nitrat nitrogen) terlarut (Alaerst dan Santika 1987).

2.8 Indikator Biologi

Indikator biologi merupakan gambaran dari ketersediaan pakan alami yang

ada di suatu perairan. Pakan alami yang ada di perairan terdiri dari plankton,

perifiton dan benthos. Perifiton adalah komunitas organisme yang hidup di atas

atau di sekitar substrat yang tenggelam. Substrat tersebut dapat berupa

batu-batuan, kayu, tumbuhan air yang tenggelam dan kadangkala hewan air (Odum

1971). Sedangkan menurut Wetzel (1979), perifiton tediri dari mikroflora yang

tumbuh pada substrat yang tenggelam.

Pada umumnya komunitas perifiton terdiri dari dari algae mikroskopis yang

bersifat sessil, satu sel maupun filament terutama jenis diatome, cojugales,

cyanophyceae, xanthophyceae dan chrysophyceae. Struktur komunitas perifiton

dari setiap perairan dapat beragam.

Produktifitas perifiton di perairan tenang hanya terbatas pada daerah litoral

yang dangkal dimana matahari masih mampu menembus ke dasar. Sedangkan

pada kondisi adanya pengaruh arus, maka perifiton menjadi lebih berperan

(40)

diperairan mengalir dapat berupa satu atau beberapa jenis diatom, algae biru

berfilamen, algae hijau berfilamen, bakteri atau jamur berfilamen, protozoa dan

rotifer (tidak banyak pada perairan tak tercemar) dan beberapa jenis serangga.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan perifiton adalah tipe air,

intensitas cahaya matahari, kecerahan, kekeruhan, tipe substrat, kondisi lokasi,

kedalaman, arus, pH, alkalinitas dan nutrient (Wetzel 1979). Pada daerah yang

terlindung dari cahaya dan kolonisasi perifiton menurun. Proses kolonisasi

merupakan pembentukan koloni perifiton pada substrat yang berlangsung segera

seketika setelah pengkoloni menempel pada substrat.

Perkembangan perifiton menuju kemantapan komunitasnya sangat

ditentukan oleh kemantapan keberadaan substrat. Substrat benda hidup sering

bersifat sementara karena adanya proses pertumbuhan dan kematian. Setelah

tumbuh cepat kemudian menetap selanjutnya mengalami kematian dan

pembusukan. Selain itu substrat hidup akan mengalami perubahan sebagai akibat

dari respirasi dan asimilasi, sehingga memepengaruhi komunitas perifiton. Pada

substrat benda mati akan lebih menetap (permanen), meskipun pembentukan

komunitas lambat namun lebih mantap, tidak mengalami perubahan, rusak atau

mati (Ruttner 1974).

Berdasarkan cara tumbuhnya, perifiton dibedakan menjadi epi-, bila

perifiton menempel pada permukaan substrat dan endo- bila perifiton tersebut

tumbuh menembus substrat.

Berdasarkan substart penempelannya, perifiton dapat dibedakan atas

(Wetzel 1982):

a. Epifelik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen

b. Epilitik, yang menempel pada permukaan batuan

c. Epizoik, yang menempel pada permukaan hewan

d. Epifitik, yang menempel pada permukaan tumbuhan

e. Episamik, yang hidup dan bergerak diantara butiran-butiran pasir

Kemampuan perifiton menempel pada substrat menentukan eksistensinya

terhadap pencucian oleh arus atau gelombang yang dapat memusnakannya

(Ruttner 1974). Beberapa jenis alat untuk menempel pada subtrat dapat dibedakan

(41)

1. Rhizoid, seperti pada Oedogonium dan ulothrix

2. Tangkai bergelatin panjang atau pendek seperti Cymbella, Gomphomena,

dan Achnanthes.

3. Bentuk piringan sel basal terutama pada alga filamen, dan

4. Bantalan gelatin berbentuk setengah bulatan (sphaerical) yang diperkuat

dengan kapur atau tidak, seperti Rivularia, Chaetophora dan Ophirydium

(Hynes 1972; Rutter 1974).

2.9 Valuasi Ekonomi untuk Menilai Sumberdaya Mangrove melalui Pendekatan Silvofishery

Valuasi ekonomi sumberdaya alam dalam penelitian ini merupakan suatu

alat ekonomi sebagai teknik penelitian sumberdaya alam untuk mengestimasi nilai

uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh ekosistem mangrove melalui

pendekatan silvofishery.

Penerapan teknik valuasi ekonomi ini salah satunya dapat dilakukan dengan

menghitung nilai ekonomi total dari pengelolaan ekosistem mangrove dengan

pendekatan silvofishery. Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan jumlah dari nilai

pemanfaatan (use value) dan nilai non pemanfaatan (non-use value) adalah jumlah

dari total penggunaan langsung dan tidak langsung saat ini serta imbalan

resikonya.

Valuasi ekonomi ini juga diyakini sebagai alat yang mampu memberikan

informasi bagi pengambilan keputusan dalam pengelolaan ekosistem mangrove

melalui pendekatan silvofishery. NET merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan

(Use Value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non use value = NUV). Nilai

pemanfaatan adalah jumlah dari nilai pemanfaatan langsung (Direct Use Value =

DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (Indirect Use Value = IUV) dan nilai

pilihan (Option Value = OV). Nilai non pemanfaatan adalah jumlah dari nilai

eksistensi (Existence Value = XV) dan nilai waris (Bequest Value = BV). Dengan

demikian NET menurut Cserge 1994 in Sanim 1997 dapat dirumuskan dalam

formulasi sebagai berikut :

(42)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Sungai Burung, Kampung Adi Warna,

Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung (Gambar 5). Penelitian

berlangsung selama 2 bulan, dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2010.

Gambar 5 Lokasi penelitian

3.2 Penentuan Titik Pengamatan

Pengamatan dilakukan dalam petakan tambak yang di dalamnya terdapat

ekosistem mangrove. Pengamatan dilakukan di petakan tambak dengan membagi

menjadi 5 titik pengamatan seperti yang terlihat pada Gambar 6. Titik-titik

pengamatan tersebut terletak di masing-masing ujung petakan tambak sejumlah 4

(43)

Gambar 6 Pembagian plot pengamatan dan penempatan trap pada petak tambak.

3.3 Pengukuran Produktifitas Serasah

Metode yang paling umum digunakan untuk mengukur produktivitas serasah

yaitu dengan menggunakan metode litter trap (jaring penampung serasah) (Juman

2005). Prosedur pengukuran produktifitas serasah disajikan pada Gambar 7

dibawah ini.

Buat litter traps (jaring penampung serasah) dengan ukuran 1m x 1m dan ukuran mata jaring (mesh size) 1 mm

Litter trap diikatkan pada batang pohon mangrove (lihat gambar 9)

Ambil serasah yang tertampung pada litter trap dengan interval pengambilan 7 hari. (7, 14, 21, 28, 36, dan 42 hari)

Keringkan serasah yang telah diambil dengan menggunakan oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan.

Keluarkan serasah dari oven, lalu pisahkan per masing-masing bagian (daun, ranting, bunga/buah)

Timbang berat kering per masing-masing bagian serasah

Produktifitas serasah (gr/m2/hr)

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2 Pola empang parit (http://mangrove.unila.ac.id 2008)
Gambar 3 Empang parit yang disempurnakan (http://mangrove.unila.ac.id 2008)
Gambar 5 Lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

(Studi pada Kampung Daya Sakti Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang

hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Hal ini dapat.. dimengerti karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar

Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) merupakan wilayah pesisir di Kota Surabaya yang memiliki ekosistem mangrove dan telah ditetapkan sebagai kawasan lindung berdasarkan

Nilai ekologi ekosistem mangrove di Desa Sauk dikategorikan “jarang” (&lt;1000 pohon per Ha), dengan indeks keanekaragaman rendah (&lt; 2) dan jenis yang yang

Ekosistem mangrove memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di pesisir. Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pengelolaan hutan

Hasil pengamatan perjumpaan bangau bluwok pada tiga titik hitung (point counts) di Rawa Pacing, Desa Kibang Pacing, Kecamatan Menggala Timur, Kabupaten Tulang Bawang

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka peneliti mengadakan penelitian pada AMIK DCC LAMPUNG Kampus Tulang Bawang dan mengusulkan untuk dibuat sebuah sistem

The Map of bird species found at research site role of bird species on food secure in Margasari village Labuhan Maringgai subdistrict Lampung Timur District, Lampung