• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Radioprotektif Ekstrak Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Radioprotektif Ekstrak Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus)."

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

RADIODIAGNOSTIK BERULANG: STUDI DIFERENSIASI SEL

LEUKOSIT DARAH PERIFER MENCIT (

Mus musculus

)

BAMBANG TRIS SETIAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

(Hibiscus Sabdariffa L.) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus Musculus) Di bawah bimbingan Drh. DENI NOVIANA, Ph.D and Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek radioprotektif ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang melalui studi differensiasi sel leukosit darah perifer pada mencit (Mus musculus). Mencit betina sebanyak 48 ekor dibagi kedalam 4 kelompok yaitu: K- (diberi NaCl fisiologis tanpa radiasi), K+ (diberi NaCl fisiologis dengan radiasi), R- (diberi Ekstrak rosela tanpa radiasi), R+ (diberi Ekstrak rosela dengan radiasi). Mencit diberi ekstrak rosela dengan dosis 50 mg/kg berat badan dan NaCl fisiologis dengan volume 0.2 ml/ekor/2 hari sebelum pemaparan radiasi. Radiasi ionisasi dilakukan dengan dosis 0,2 mSv/paparan/2 hari selama 4 & 8 minggu pada berkas sinar utama. Pengambilan darah perifer dilakukan pada setiap kelompok pada minggu ke-0 (sebelum perlakuan), 2, 4, 6 & 8. Pengambilan data pemulihan selama 30 hari setelah minggu 4 dan 8 tanpa paparan radiasi. Hasil penelitian menunjukkan paparan radiasi dapat meningkatkan persentase netrofil band meningkat, netrofil adult, migrasi limfoblas, dan mieloblas serta menurunkan persentase monosit dan limfosit pada jaringan darah perifer. Pemberian ekstrak rosela dapat meningkatkan persentase limfosit dan monosit serta menurunkan persentase netrofil band, netrofil adult, limfoblas, dan mieloblas. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ekstrak tanaman rosela (Hibibscus sabdariffa L.) memiliki efek radioprotektif terhadap radiodiagnostik berulang pada sel leukosit darah perifer mencit (Mus musculus).

(3)

(Hibiscus sabdariffa L.) against Recurrent Radiodiagnostic Ionizing Radiation: Study of Leukocytes Differentiation in Mice (Mus musculus) Peripheral Blood. Under supervision: Drh. DENI NOVIANA, Ph.D and Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet.

The aim of this study was to determine the radioprotective effect of rosella extract (Hibiscus sabdariffa L.) against recurrent radiodiagnostic ionizing radiation: Study of leucocytes differentiation in mice (Mus musculus) peripheral blood. Fourty eight female mice were used in this study and divided into four groups: K- (treated with normal saline without radiation), K + (treated with normal saline with radiation), R- (treated with rosella extract without radiation), R + (treated with rosella extract with radiation). Mice were treated with dose of 50 mg per kg body weight of rosella extract and 0.2 ml normal saline per mice every two days prior to radiation exposure. Mice were exposed for ionizing radiation at dose 0.2 mSv per exposure along 4 and 8 weeks. Mice blood sample were collected with in each group at week 0 (before treatment), 2, 4, 6 and 8 week after treatment. Blood sample were taken also at week 4 and 8, without exposure of radiation (Recovery) for 30 days. Radiation exposure able to increase in the percentage of neutrophils band, neutrophils adult, migration of myeloblast, and lymphoblast as well as the decreasing the percentage of lymphocytes and monocytes at peripheral blood. On the other hand, rosella extract could decreasing in the percentage of neutrophils band, neutrophils adult, lymphoblast, and myeloblast, as well as the increasing percentage of monocytes and lymphocytes of mice peripheral blood. The result that of this research showed rosella extract (Hibiscus Sabdarifa L.) have radioprotective effect against repeated radiodiagnostic at peripheral blood leucocytes mice (Mus musculus).

(4)

RADIODIAGNOSTIK BERULANG: STUDI DIFERENSIASI SEL

LEUKOSIT DARAH PERIFER MENCIT (

Mus musculus

)

BAMBANG TRIS SETIAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INTSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efek Radioprotektif Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

Nama NRP

(Mus musculus).

: Bambang Tris Setiawan : B04070147

Disetujui.

Drh. Deni Noviana, Ph.D Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui.

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan

(8)

karunia dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Juni 2011 ini adalah “Efek Radioprotektif Ekstrak Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang: Studi Diferensiasi Sel Leukosit Darah Perifer Mencit (Mus musculus)”. Penyelesaian skripsi tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drh. Deni Noviana, Ph.D selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet selaku dosen pembimbing kedua atas segala bimbingan, kritik dan saran, motivasi dan kemudahan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.

2. Kedua Orang Tua Akhmad Akhlak, S.Pd dan Nuraini, A.Md, kakak saya Muhammad Kurniawan, kedua adik saya Afrinaldi dan Nadia Azalia dan Keluarga atas kasih sayang, do’a serta dukungan selama ini.

3. Drh. M. Fakhrul Ulum yang telah memberikan dukungan, nasehat dan masukan yang sangat membantu.

4. Rekan sesama penilitian, Abas, Endah, Griv, dan Windy atas bantuan dan kerja samanya dan kebersamaan selama penelitian.

5. Seluruh staf Bagian Bedah dan Radiologi atas bantuan, kerjasama dan dukungan selama penelitian ini.

6. Teman-teman GIANUZZI atas bantuan, kebersamaan dan dukungan serta persahabatan selama ini.

7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penelitian dan pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan-kesalahan. Dengan penuh harapan dan keikhlasan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini dan sebagai evaluasi bagi penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita semua dan menjadikan skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2011

(9)

Sri Indrapura, Riau pada tanggal 25 Januari 1990 dari ayah yang bernama Akhmad Akhlak, S.Pd dan ibu bernama Nur’aini, A.Md. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 004 Bungaraya dan lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Bungaraya dan lulus pada tahun 2004, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 8 Siak Sri Indrapura dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) sebagai jurusan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Anatomi Veteriner I pada tahun 2009, menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) dan anggota Himpunan Minat Profesi (HIMPRO) Ruminansia FKH IPB. Penulis juga aktif dalam kegiatan pertandingan olahraga futsal dan sepakbola yang ada di IPB.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………. i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Hipotes Awal ... 2

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Radiasi Ionisasi ... 3

Efek Radiasi Ionisasi ... 4

Proteksi Radiasi ... 5

Rosela ... 6

Persiapan dan Pemeliharaan Mencit ... 21

Pembuatan dan Pemberian Ekstrak Rosela ... 21

Paparan Radiasi Sinar X... 22

Pengambilan Darah Perifer Mencit ... 22

Pembuatan Preparat Ulas Darah Perifer ... 22

Penghitungan dan Pemeriksaan Ulas Darah Perifer ... 22

Metode Penelitian ... 22

Desain Penelitian dan Hewan Coba ... 22

Pembuatan dan Pemberian Ekstrak Rosela ... 24

Paparan Radiasi sinar-X ... 25

Pengambilan dan Pemeriksaan Darah Perifer ... 25

Pembuatan dan Pemeriksaan Preparat Ulas Darah Perifer ... 26

Analisis Data ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

(11)

Monosit ... 31

Netrofil ... 34

Netrofil Band ... 34

Netrofil Adult ... 36

Basofil ... 40

Eosinofil ... 41

Limfoblas ... 42

Mieloblas ... 44

SIMPULAN DAN SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela ... .. 7

2 Kandungan gizi kelopak bunga rosela segar per 100 gram... .. 8

3 Jadwal penelitian ... .. 21

4 Kelompok perlakuan hewan dalam penelitian ... .. 23

5 Persentase limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang.……….... 28

6 Persentase monosit darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang ……….... 32

7 Persentase netrofil darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang……….… 35

8 Persentase limfoblas darah perifer mencit pada setiap kelompok paparan radiasi radiodiagnostik berulang………. 42

(13)

DAFTAR

GAMBAR

Halaman

1 Bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ……… 6

2 Mencit Penelitian (Mus musculus)………... 9

3 Skema hematopoeisis………... 11

4 Gambaran normal netrofi………... 15

5 Gambaran normal eosinofil………..16

6 Gambaran normal basofil………. 17

7 Gambaran normal limfosit………... 18

8 Gambaran normal monosit………... 19

9 Alur Penelitian………. 24

10 Pemberian ekstrak rosela dan NaCl fisiologis pada mencit………. 25

11 Pemaparan radiasi sinar-X………... 25

12 Pengambilan dan pengoleksian darah……….. 26

13 Cara pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah………... 27

14 Morfologi sel limfosit……….………. 28

15 Persentase sel limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang……….. 29

16 Morfologi sel monosit……….. 31

17 Persentase sel monosit darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.………. 32

18 Morfologi sel netrofil band………..34

19 Persentase sel netrofil band darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang……… 36

20 Morfologi sel netrofil adult……….. 37

21 Persentase sel netrofil adult darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulangi………. 37

22 Morfologi sel basofil……… 40

23 Morfologi sel eosinofil...……….………. 41

(14)

25 Persentase sel limfoblas darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang…….………. 43 26 Morfologi sel mieloblas………... 45 27 Persentase sel mieloblas darah perifer pada setiap kelompok total

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pemberian obat pada masa aklimatisai……….... 57

2 Dosis Rosela……… 58

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sinar-X ditemukan oleh ahli fisika Jerman yang bernama Wilhelm Conrad

Roentgen pada 8 November 1895. Radiasi sinar-X merupakan suatu gelombang

elektromagnetik dengan panjang gelombang yang pendek, sehingga sinar-X dapat

dimanfaatkan sebagai alat diagnosis dan terapi di bidang kedokteran nuklir

(Suyatno 2008). Namun penggunaan sinar-X juga dapat mengakibatkan kerusakan

pada jaringan tubuh karena energi yang dihasilkan oleh sinar-X merupakan energi

radiasi ionisasi. Energi radiasi ionisasi tersebut berbahaya bagi kesehatan.

Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam jumlah

besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada manusia.

Pada Desember 1989, Komite Akademi Sain Nasional melaporkan tentang efek

biologi radiasi ionisasi, menyimpulkan bahwa kerusakan radiasi dapat

menginduksi kanker setelah paparan radiasi dengan dosis rendah (Thrall 2002). Di

Indonesia penggunaan sarana radiodiagnostik sinar-x dalam pengawasan Badan

Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana 2008).

Radioprotektor dibutuhkan untuk menangkal radiasi. Radioprotektor yang

ideal harus murah, tidak beracun dalam jangkauan dosis yang luas, penggunaan

mudah (secara oral), cepat diserap, memiliki rentang dosis yang luas, dan dapat

bekerja melalui beberapa mekanisme. Tanaman dan produk alami memiliki semua

sifat yang ideal sebagai radioprotektor. Produk dari alam biasanya tidak beracun,

relatif murah, bisa oral dan bisa melalui beberapa mekanisme karena adanya

banyak bahan kimia (Jagetia 2007). Salah satu contoh tanaman dan produk alami

tersebut adalah rosela. Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan

tamanan dari genus hibiscus yang banyak ditemukan di wilayah tropis. Tanaman

ini di Indonesia dikenal dengan sebutan rosela dan di Malaysia disebut dengan

Asam Paya atau Asam Susur. Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat

tradisional dalam bentuk sediaan teh merah untuk pengobatan berbagai jenis

penyakit sudah dilaporkan oleh Khosravi et al. (2009). Penggunaan ekstrak

(17)

juga oleh Wang et al. (2000), Mardiah & Rahayu (2009), Odigie et al. (2003), dan

Olaleye (2007).

Rosela dilaporkan mengandung antioksidan yang tinggi (Widyanto dan

Nelistya 2009). Antioksidan efektif dalam mencegah efek yang ditimbulkan oleh

radiasi sinar-X dan pemulihan sel hematopoeietik akibat radiasi (Wambi et al.

2008), namun belum dilakukan penelitian tentang potensi rosela terhadap

pemulihan sel darah putih akibat radiasi. Sel darah putih merupakan sel

pertahanan pertama dalam merespon adanya benda asing atau suatu kerusakan

pada tubuh (Thrall 2004). Oleh karena itu, darah dapat digunakan sebagai

parameter untuk mengetahui efektivitas ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

dalam menghindari efek radiasi ionisasi sinar-X.

Hipotesa Awal

H0= Ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dapat melindungi sel

leukosit dari efek radiasi.

H1= Ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) tidak dapat melindungi sel

leukosit dari efek radiasi.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi radioprotektif

ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap radiasi ionisasi

radiodiagnostik melalui studi diferensiasi sel leukosit darah perifer pada mencit

(Mus musculus).

Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai potensi ekstrak tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L)

sebagai radioprotektif terhadap radiodiagnostik sel leukosit darah perifer mencit

(Mus musculus).

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Radiasi Ionisasi

Radiologi merupakan ilmu diagnostik dalam dunia kedokteran. Radiologi

memanfaatkan sinar-X berupa gambaran diagnostik untuk mendeteksi berbagai

kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang (Thrall

2002; McCurnin dan Bassert 2006). Sinar-X merupakan gelombang

elektromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik

sekaligus gelombang magnet. Energi sinar-X relatif besar sehingga memiliki daya

tembus yang tinggi. Sinar-X tebagi atas dua bentuk yaitu sinar-X karakteristik dan

sinar-X Brehmsstrahlung (Ulum & Noviana 2008). Panjang sinar-X 10-0.01 nm,

frekuensi 30 petahertz – 30 exahertz (30 x 1015 Hz _ 30 x 1018 Hz) dan memiliki

energi 120 eV – 120 KeV. Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang

sinar ultraviolet (Thrall 2002).

Proses terbentuknya sinar-X diawali dengan adanya pemberian arus pada

kumparan filamen pada tabung sinar-X sehingga akan terbentuk awan elektron.

Pemberian beda tegangan selanjutnya akan menggerakkan awan elektron dari

katoda menumbuk target di anoda sehingga terbentuklah sinar-X karakteristik dan

sinar-X Brehmsstrahlung. Sinar-X yang dihasilkan akan keluar dan jika

berinteraksi dengan materi dapat menyebabkan beberapa hal diantaranya adalah

efek foto listrik, efek hamburan Compton dan efek terbentuknya elektron

berpasangan. Ketiga efek ini didasarkan pada tingkat radiasi yang berinteraksi

dengan materi secara berurutan dari paling rendah hingga paling tinggi. Radiasi

ionisasi akan mengakibatkan efek biologi radiasi yang dapat terjadi secara

langsung ataupun secara tidak langsung (Swamardika 2009).

Sinar-X dapat menembus bahan dengan daya tembus sangat besar dan

digunakan dalam radiografi. Apabila berkas sinar-X melalui suatu bahan atau

sumber zat, maka berkas tersebut akan bertebaran kesegala jurusan, menimbulkan

radiasi sekunder pada zat yang dilaluinya. Sinar-X dalam radiografi diserap oleh

bahan atau zat sesuai dengan berat atom atau kepadatan bahan/zat tersebut.

Sinar-X apabila mengenai bahan/zat akan menimbulkan ionisasi partikel-partikel bahan

(19)

jaringan. Perubahan tersebut dapat berupa aksi langsung yang akan menimbulkan

kerusakan pada makromolekul biologik (DNA, RNA, protein dan enzim) dan aksi

tidak langsung (melalui DNA) yang berakibat pada keturunan (Sulaeman 2003).

Efek Radiasi Ionisasi

Penggunaan radiasi sinar-X diatur dan diawasi sama halnya seperti

penggunaan radiasi pengion di bidang lain seperti industri atau penelitian.

Peraturan pengawasan hanya difokuskan pada keselamatan dosis pada pasien.

Rekomendasi untuk dosis pasien diatur melalui International Atomic Energy

Agency (IAIE) Basic Safety Standart 115 tahun 1996 (Sinaga 2006).

Penggunaan sinar-X juga memiliki nilai negatif secara biologis. Efek

biologis berdasarkan jenis sel yaitu efek genetik dan efek somatik. Efek genetik

terjadi pada sel genetik yang akan diturunkan pada keturunan individu yang

terpapar, sedangkan efek somatik akan diderita oleh individu yang terpapar

radiasi. Apabila ditinjau dari segi dosis radiasi, efek radiasi dapat dibedakan

berupa efek stokastik dan deterministik. Efek stokastik adalah peluang efek akibat

paparan sinar-X yang timbul setelah rentang waktu tertentu tanpa adanya batas

ambang dosis sedangkan efek deterministik merupakan efek yang langsung terjadi

apabila paparan sinar-X melebihi ambang batas dosis dimana tingkat keparahan

bergantung pada dosis radiasi yang diterima (Ulum dan Noviana 2008).

Ionisasi sinar-X membuat sinar-X berbahaya. Ionisasi terjadi ketika sebuah

poton mengeluarkan suatu elektron dari atom, dengan demikian menimbulkan

pasangan ion yang teridiri dari beban negatif elektron dan beban positif atom.

Setelah ionisasi terjadi sifat fisik dan fungsi dari molekul berisi ionisasi atom yang

berubah. Karena DNA melibatkan semua proses sel metabolik dan kologenik,

sebuah ionisasi bisa terjadi pada DNA dan menghasilkan perubahan biologi.

Dengan kata lain, sebuah luka dinduksi pada satu sel DNA dapat mempengaruhi

banyak sel bagi generasi berikutnya. Ionisasi pada DNA dapat meningkatkan (1)

kecepatan mutasi, (2) kecepatan dari aborsi atau kelainan fetus, (3) kerentanan

suatu penyakit dan memperpendek masa hidup, (4) resiko kanker, dan (5) resiko

katarak (Thrall 2002).

Sinar-X dapat memproduksi ionisasi elektron pada suatu jaringan. Karena

(20)

dari radikal bebas kimia aktif. Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik

berupa atom maupun molekul yang memiliki electron tidak berpasangan pada

lapisan luarnya. Radikal bebas ini dilaporkan paling banyak merusak suatu

jaringan. Persentase kecil dari sinar-X berinteraksi secara langsung dengan DNA,

menghasilkan berbagai potensi perubahan, seperti sebagai dasar kerusakan

nukleutida, kerusakan helai DNA, dan hubungan silang DNA. Efek ini bisa

menjadi minimal apabila diperbaiki oleh enzim dengan cepat atau bisa

menyebabkan kerusakan yang mematikan pada sel (Thrall 2002).

Radiasi juga diketahui menginduksi stress oksidasi melalui pembentukan

radikal bebas, menyebabkan ketidakseimbangan pro-oksidan dan antioksidan di

dalam sel, dan mencapai puncak pada sel mati (Katz et al. 1996 & Kaur et al.

2000). Sejumlah sel memberikan respon terhadap radiasi dosis rendah dengan

perubahan pada ekspresi gen, meskipun jika radiasi tidak terdeposit pada sel

tersebut (Alatas 2006). Gelombang elektromagnetik memiliki energi yang sangat

tinggi, seperti sinar gamma atau sinar-X, disebut juga radiasi ionisasi karena

mereka mengionisasi molekul pada jalur yang dilalui.

Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam

jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada

manusia (Swamardika 2009). Efek radiasi dapat mengakibatkan kerusakan pada

usus (Grudzinski 2000), leukemia (Alatas dan Lusiyanti 2003), mengakibatkan

kanker (Cohen 2002), kerusakan pada sel darah putih perifer (Price dan Wilson

2005), menyebabkan leukemia (Yoshinaga et al. 2005) dan menyebabkan mutasi,

aberasi kromosom, inaktivasi sel dan efek seluler lainnya (Lusiyanti dan Syaifudin

2007).

Proteksi Radiasi

Keselamatan radiasi (Radioprotektif) adalah tindakan yang dilakukan

untuk melindungi pasien (hewan), pekerja (operator, dokter hewan, dan

paramedis), anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Syarat

proteksi radiasi dalam pemanfaatan sinar-X sebagai sarana penunjang diagnosa

radiodiagnostik harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah (1)

justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir, (2) limitasi dosis dan (3) optimisasi proteksi

(21)

dosis paparan. Tindakan dilakukan dengan cara memperkecil luas permukaan

paparan, mempersingkat waktu paparan, menggunakan filter dan menggunakan

teknik radiografi dengan memanfaatkan kVp tinggi (Ulum dan Noviana 2008).

Keselamatan operator, dokter hewan terhadap paparan radiasi dilakukan

dengan melakukan radiografi dalam jarak sejauh mungkin dari sumber sinar-X,

menggunakan sarana proteksi radiasi seperti, apron Pb, sarung tangan Pb, kaca

mata Pb, pelindung tiroid Pb, alat ukur radiasi dan mempersingkat waktu radiasi.

Keselamatan lingkungan terhadap bahaya radiasi dilakukan dengan merencanakan

desain ruang radiografi yang aman baik bagi pasien, operator dan lingkungan.

Ruangan dilapisi dengan Pb dan memperhitungkan beban kerja ruangan terhadap

sinar-X yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Ulum dan

Noviana 2008).

Rosela (Hibiscus sabdariffa L)

Genus Hibiscus (Malvaceae) terdiri dari 275 spesies pada daerah tropis

dan subtropis. Di daerah malaysia ditemukan 43 spesies (Dasuki 2001). Rosela

(Hibiscus sabdariffa L) Merupakan tanaman tropis, banyak dibudidayakan di

Thailand dan dikenal sebagai Krachiap Daeng. Rosela menghasilkan calyxes

berwarna merah yang dapat digunakan untuk membuat selai warna merah yang

cemerlang, jeli, dan jus (Hirunpanish et al. 2006). Sejak awal 1970an, rosela telah

menerima banyak perhatian besar sebagai potensi sumber pewarna makanan

alami, obat-obatan, dan kosmetik (Mazza dan Miniati 1993).

Gambar 1 bunga rosela (Anonim 2009)

Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman rosela membuatnya

(22)

cukup lengkap, yaitu vitamin A, C, D, B1, dan B2. Bahkan kandungan vitamin

C-nya/asam askorbat diketahui 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari

jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing, dan 2,5 kali dari jambu biji. Vitamin C

merupakan salah satu antioksidan penting. Hasil penelitian mengungkapkan

bahwa kandungan antioksidan pada teh rosela sebanyak 1,7 mmol/prolox. Jumlah

tersebut lebih tinggi daripada jumlah pada kumis kucing (Widyanto dan Nelistya

2009).

Sistem Taksonomi Rosela (Hibiscus sabdariffa L) (Widyanto dan Nelista

2009):

Hibiscus sabdariffa L

Berikut kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela segar dapat

dilihat di dalam tabel berikut:

Tabel 1 Kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela

Nama Senyawa Jumlah

Campuran asam sitrat dan asam malat

Antosianin yaitu gossipetin (hydroxyflavone) dan hibiscin Vitamin C (Sumber : Maryani & Kristiana 2005)

Hasil uji phytokimia tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) banyak

mengandung antosianin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak akar

mengandung flavonoid seperti gossypetin, hibiscetine, dan sabdaretine (Chau et

al. 2000 & Pau et al. 2002). Flavanoid diakui secara luas sebagai antioksidan yang

memiliki beberapa khasiat kesehatan pada diet manusia (Koes et al. 1994 &

Pourcel et al. 2007). Akan tetapi fungsi antioksidan flavanoid dalam tanaman

(23)

Berikut kandungan gizi dalam 100 g kelopak rosela segar dapat dilihat

dalam tabel berikut :

Tabel 2Kandungan gizi kelopak bunga rosela segar per 100 gram Nama Senyawa Jumlah

Kalori

Rosela mengandung pigmen yang telah diidentifikasi sebagai antosianin,

yaitu cyanidine-3-glukosida dan delphidine-3-glukosida yang penting dalam

pembuatan makanan (Fakaye et al. 2009, Chau et al 2000, & Pau et al. 2002).

Penelitian telah menunjukkan bahwa ekstrak kasar, dan beberapa dari konstituen,

khususnya antosianin dan asam protocathechuic memiliki aktivitas antioksidan

yang kuat secara in vitro dan in vivo (Tanaka et al. 1994, Tanaka et al. 1995,

Tsuda et al. 1996, Tseng et al. 1997, & Wang et al. 2000). Aktivitas antihipertensi

minuman yang dibuat dari kelopak kering tanaman rosela telah ditetapkan pada

hewan model dan manusia (Fakaye et al. 2009).

Antosianin rosela dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi kesehatan

sebagai sumber antioksidan yang baik. Sianin adalah turunan dari struktur kation

flavium dasar yang memiliki kekurangan elektron inti, mereka umumnya sangat

reaktif. Laju kerusakan antosianin tergantung pada banyak faktor seperti suhu pH,

asam askorbat, dan oksigen. Teknik ekstraksi untuk antosianin rosela juga

memainkan peran utama dalam aktivitas antioksidan ekstrak (Fakaye et al. 2009).

Bunga rosela berkhasiat sebagai penurun kadar gula darah, anti bakteri,

(24)

dan mampu menurunkan berat badan (Mardiah dan Rahayu 2009). Kelopak rosela

mengandung antioksidan yang dapat menghambat terakumulasinya radikal bebas

penyebab penyakit kronis, seperti kerusakan ginjal, diabetes, jantung koroner, dan

kanker darah. Antioksidan juga dapat mencegah terjadinya penuaan dini. Rosela

memiliki kandungan antioksidan lebih tinggi pada daun dari bunga (wong et al.

2009). Salah satu zat aktif yang berperan sebagai fungsi di atas adalah antosianin.

Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang memberikan warna merah pada

bunga rosela dan berperan mencegah kerusakan sel akibat paparan sinar ultra

violet berlebih. Salah satu khasiatnya adalah dapat menghambat pertumbuhan sel

kanker, bahkan mematikan sel kanker tersebut (Widyanto dan Nelistya 2009).

Mencit

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini yaitu mencit. Mencit (Mus

musculus) telah digunakan sebagai subyek penelitian sejak abad ke-19. Alasan

penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu memiliki potensial reproduksi yang

tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka hidup yang pendek, berukuran

kecil, harga relatif murah, dan mudah dipelihara (Sirois dan Margi 2005).

Gambar 2 mencit penelitian (Isroi 2009)

Berat badan mencit berbeda-beda tiap individu. Umumnya berat badan

umur mencit 4 minggu berkisar antara 18-20 gram. Mencit liar dewasa bisa

mencapai 30-40 gram pada umur 6 bulan atau lebih (Smith dan Mangkoewidjojo

1987). Mencit laboratorium biasanya mengkonsumsi pakan yang disediakan

dalam bentuk pelet dan merupakan hewan yang banyak beraktivitas pada malam

hari. Hal yang paling penting adalah mencit laboratorium tidak pernah tanpa air

minum, harus konstan disuplai minuman terus-menerus. Mencit merupakan

(25)

hari. Mencit yang dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobot lebih

ringan dibanding mencit yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang,

kadang-kadang mempunyai sifat kanibal. Temperatur ruangan untuk pemeliharaan

mencit berkisar antara 20-25° C.

Sistem Taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Anonim 2011):

Kingdom

Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang

mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran antara sel

yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar serta memiliki sifat protektif

terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri (Price dan Wilson

2005). Darah adalah jaringan pengikat dengan sel-selnya terendam dalam cairan

matriks yang terdiri dari senyawa organik dan anorganik. Darah mempunyai

fungsi yang sangat penting di dalam sirkulasi (Frandson 1992). Darah merupakan

media transport O2, CO2 dan bahan metabolisme sel, mengatur keseimbangan

asam basa, pengontrol suhu, dan pengatur hormon serta sel imunitas (Ontoseno

2006).

Unsur darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis sel

darah putih (leukosit), dan fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi

sebagai transpor atau pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), leukosit

(26)

mempunyai umur yang terbatas, sehingga diperlukan pembentukan optimal yang

konsisten untuk mempertahankan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan jaringan. Pembentukan ini disebut hematopoeisis (pembentukan dan

pematangan sel darah), terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebre, pelvis,

sternum, iga-iga, dan epifisis proksimal tulang-tulang panjang. Apabila kebutuhan

meningkat, misalnya pada pendarahan atau penghancuran sel darah, maka dapat

terjadi pembentukan sel darah di sepanjang tulang panjang (Price dan Wilson

2005).

Gambar 3 skema hematopoiesis (Themi et al. 2004)

Proses hematopoiesis terbagi menjadi dua stem sel, yaitu stem sel limfoid

dan mieloid. Stem sel limfoid awalnya terkait dengan timus, dimana dua jenis

limfosit, limfosit-B, dan limfosit-T dapat berkembang. Masing-masing dari sel

limfosit memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam sistem kekebalan. Limfosit B dan

T tidak diciptakan bersamaan dari sel prekursor induk limfoid. Sel limfosit yang

terbentuk akan berada di dalam darah perifer untuk menjalankan fungsinya

sebagai penghasil antibodi dan memakan sel yang terinfeksi virus serta mengatur

sel leukosit lainnya (Wellman 2010).

Stem sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel

(27)

keturunan (sel darah merah) eritrosit, trombosit, monosit, eosinofil, basofil, dan

netrofil/makrofag. Proses terbentuknya eritrosit, trombosit, monosit, netrofil,

eosinofil, dan basofil sebelum menjadi matur (dewasa) terjadi di dalam sumsum

tulang seperti pada gambar 3. Tahap akhir dari garis keturunan mieloid ini

terdapat dalam sel darah perifer normal. Sumsum tulang dan timus merupakan

tempat pembentukan sel-sel darah. Apabila kebutuhan sel darah dalam tubuh

berkurang, timus dan sumsum tulang akan memproduksi sel-sel darah tersebut

(Wellman 2010).  

Pada umumnya, volume darah adalah 6-8% dari berat badan (Meyer dan

Harvey 2004). Volume darah tubuh hewan bervariasi jumlahnya tergantung pada

umur, keadaan kesehatan dan makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui, faktor

lingkungan, dan derajat aktivitas. Secara umum, jumlah maksimum darah yang

diambil adalah 1% dari berat tubuh hewan (Thrall & Campbell 2004).

Leukosit

Leukosit merupakan sel yang berperan penting dalam sistem imun di

dalam tubuh (Cunningham 2002). Leukosit dalam sirkulasi darah dan yang

bermigrasi ke dalam eksudat peradangan berasal dari sumsum tulang, tempat

eritrosit dan trombosit juga dihasilkan secara terus-menerus. Dalam keadaan

normal, di dalam sumsum tulang dapat ditemukan berbagai jenis leukosit imatur

dan kumpulan leukosit dewasa disimpan di dalam sumsum tulang sebagai

cadangan untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit

dalam darah perifer sangat terbatas tetapi berubah “sesuai kebutuhan” jika timbul

proses peradangan. Artinya, dengan dimulainya respon peradangan, sinyal umpan

balik pada sumsum tulang mengubah laju produksi dan pelepasan satu jenis

leukosit atau lebih ke dalam aliran darah (Price dan Wilson 2005).

Menurut Colville dan Bassert (2002), leukosit berfungsi untuk

mempertahankan tubuh dari serangan benda-benda asing. Selain fungsi di atas,

leukosit juga mempunyai fungsi lain dalam proses fagositosis yaitu memakan

benda-benda asing yang masuk ke dalam aliran darah dengan gerakan amoeboid

dan dapat berenang diantara sel-sel jaringan (Tizard 1987).

Dalam keadaan normal, daraf perifer mencit mengandung leukosit dengan

(28)

dalam darah meningkat melebihi kisaran normal, dikatakan hewan mengalami

leukositosis, sedangkan apabila terjadi penurunan jumlah leukosit dalam darah di

bawah kisaran normal, hewan dikatakan mengalami leukopenia (Vansteenhouse

2006).

MenurutGunanti (2001), peningkatan jumlah leukosit dari kisaran normal

(Leukositosis) terjadi baik secara fisiologis atau patologis. Secara fisiologi terjadi

akibat adanya peningkatan jumlah sel netrofil dan atau sel limfosit di dalam

sirkulasi dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total. Peningkatan sekresi

epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik

maupun emosional dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit. Sedangkan

secara patologis, peningkatan jumlah leuksoit total di dalam sirkulasi dapat

disebabkan karena limfosit aktif melawan mikroorganisme.

Leukopenia dapat disebabkan oleh penyakit tifoid dan malaria, bahan

kimia dan fisika, hipersplenisme, dan anemia hipoplastik dan anaplastik

(Sulaeman 2003). Penurunan jumlah leukosit dari kisaran normal (leukopenia)

menyebabkan pertahanan tubuh menjadi turun sehingga menjadi faktor

predisposisi terhadap infeksi yang dapat mengancam kehidupan. Gejala yang

biasa dijumpai antara lain demam, kelemahan, sepsis, dan bahkan kematian

(Lukmasari 2006). Masa hidup sel darah putih pada hewan domestik sangat

bervariasi mulai dari beberapa jam untuk granulosit, bulanan untuk monosit,

bahkan tahunan untuk limfosit (Frandson 1992).

Menurut Thrall (2004) leukosit terdiri dari dua kelompok, yaitu: (1)

leukosit granulosit yang terdiri dari netrofil, eosinofil, dan basofil, dan (2) leukosit

yang agranulosit yang terdiri dari limfosit dan monosit. Jumlah dan ditribusi

masing-masing jenis sel darah putih atau differensial sel darah putih menjadi

faktor pendukung yang penting dalam mendiagnosa suatu penyakit (Cunningham

2002). Fungsi pertama sel leukosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem

imun (Saputri et al. 2010).

Radiasi sinar-X yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan

sel/penyakit yang diikuti dengan abnormalitas pada morfologi darah. Radiasi

dapat menyebabkan produksi sel darah yang tidak terkontrol dengan termutasinya

(29)

abnormalitas morfologi darah yang ditimbulkan akibat radiasi adalah leukemia

(Salomon et al. 2009).

Limfoblas adalah tingkatan awal dari tingkatan perkembangan sel limfosit.

Mieloblas adalah tingkatan awal dari tingkatan perkembangan sel granulosit.

Mieloblas dan limfoblas disimpan di dalam pool mitosis sumsum tulang belakang.

Mieloblas merupakan cikal bakal terbentuknya sel leukosit granulosit (Raskin et

al. 2004). Limfoblas dan mieloblas tidak ditemukan dalam sirkulasi darah normal.

Limfoblas dan mieloblas ditemukan di sumsum tulang belakang. Secara

mikroskopis, limfoblas dapat dibedakan dari mieloblas dengan memiliki

nukleolus sedikit dibandingkan mieloblas dan inti kromatin lebih kental, dan tidak

memiliki butiran sitoplasma. Menurut Vansteenhouse (2006), adanya sel

limfoblas dan mieloblas di dalam sel darah perifer normal menandakan terjadinya

leukimia.

Netrofil (heterofil)

Netrofil merupakan sel yang bergerak aktif dan dalam waktu singkat dapat

berkumpul di tempat yang diperlukan. Netrofil merupakan garis pertama dari

pertahanan melawan dan menyerbu mikroorganisme, trauma jaringan, dan banyak

faktor yang menyebabkan peradangan (Teske 2010). Netrofil berpartisipasi pada

respon peradangan dengan cara atraksi kimia ke jaringan tempat terjadinya

peradangan dan fagosit organisme dan material asing yang lain. Setelah

fagositosis, granula lisosomal bergabung dengan fagosom untuk membunuh

organisme dan kemudian mendegradasi material dengan enzim pencernaan (Thrall

2004).

Netrofil merupakan sel darah putih yang memiliki granul-granul pada

sitoplasmanya. Granul-granul netrofil berkontribusi sebagai garis pertama

pertahanan inang dalam melawan bakteri, jamur, protozoa, dan beberapa virus

(Teske 2010). Netrofil memiliki granula yang tidak berwarna, mempunyai inti sel

yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah, protoplasmanya banyak

berbintik-bintik halus atau granula, serta banyaknya sekitar 60 -70 % (Handayani 2008).

Netrofil dewasa memiliki inti berbentuk kacang. Netrofil band memiliki inti

(30)

membran inti. Netrofil band terdapat dalam darah yang normal dalam konsentrasi

kecil. Netrofil segmen memiliki inti berbentuk tapal kuda dan mengalami

penyempitan membran inti yang melipat kedalam berbagai bentuk (Thrall 2004).

Gambar 4 Gambaran normal netrofil (Hoffbrand (2006) dalam Saputri et al. 2010).

Netrofil dalam sirkulasi dibagi antara kelompok sirkulasi dan kelompok

marginal (sel-sel darah putih yang terletak disepanjang dinding kapiler). Dengan

gerakan amuba, netrofil bergerak dengan cara diapedesis dari kelompok marginal

masuk ke dalam jaringan dan membran mukosa. Netrofil merupakan sistem

pertahanan tubuh primer melawan infeksi bakteri, metode pertahananya adalah

fagositosis. Kelompok granulosit konstan dipertahankan, dipengaruhi oleh

interaksi sel-ke-sel, dan hormon pertumbuhan serta sitokin yang dilepaskan dari

sel inflamasi (Price dan Wilson 2005).

Menurut Thrall (2004), jumlah neutrofil band sekitar 0-0.2 % dari total

leukosit darah dan jumlah netrofil dewasa sekitar 15-20 % dari total leukosit

darah. Netrofilia merupakan peningkatan jumlah netrofil dari kisaran normal.

Netrofilia dapat diakibatkan oleh peradangan, stress, respon kortikosteroid, latihan

yang berlebih, dan respon epinefrin (Raskin et al. 2004). Secara umum, kejadian

netropenia didahului dengan terjadinya penurunan jumlah leukosit dari kisaran

normal yang bersirkulasi. Netropenia dapat diakibatkan oleh stress dan

peradangan akut (Meyer et al. 1992 dalam maulida (2008) & Vansteenhouse

2006). Sedangkan menurut Raskin (2000), netropenia dapat terjadi karena faktor

kongenital, penyakit infeksius, keracunan, termediasi oleh imun, dan irradiasi.

Neutrofilia dapat pula terjadi karena proses fisiologis tubuh, induksi

kortikosteroid, peradangan, dan neoplasia.

Netrofil biasanya menghabiskan waktu 10 jam di dalam sistem vaskular

(31)

acak dan searah dimana sel-sel tidak kembali ke sirkulasi lagi. Netrofil bermigrasi

ke jaringan dalam menanggapi bakteri dan rangsangan lainnya (Raskin et al.

2004) dan Hoffbrand (2006) dalam Saputri et al. 2010. Dalam peradangan,

netrofil yang berlebih dalam jaringan mungkin tampak sebagai eksudat atau nanah

(Raskin et al. 2004).

Eosinofil

Eosinofil adalah granulosit dengan inti yang terbagi menjadi 2 lobus

sitoplasma bergranula kasar, refraktil, dan berwarna merah bila diwarnai dengan

zat warna asam, seperti eosin (Campbell 2004). Menurut Thrall (2004) eosinofil

jarang terlihat pada darah normal. Eosinofil memiliki granula bewarna merah

dengan pewarnaan asam, ukuran, dan bentuknya hamper sama dengan netrofil,

tetapi granula dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya kira-kira 24%

(Handayani 2008). Eosinofil terdiri dari protein yang menyelimuti dan merusak

membran parasit serta memiliki respon untuk membantu sebuah mekanisme

pertahanan menyerang infestasi larva parasit. Eosinofil memiliki inti bergelambir

dua, dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar (Thrall 2004).

Gambar 5 Gambaran normal eosinofil (Hoffbrand 2006).

Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah dan mengalami kemotaksis.

Eosinofil sering kali diproduksi dalam jumlah yang besar pada penderita infeksi

parasit, dan eosinofil ini bermigrasi ke jaringan yang menderita infeksi parasit.

Eosinofil memfagosit parasit dengan cara: (1) melepaskan enzim hidrolitik dari

granulanya, yang dimodifikasi lisosom; (2) dengan melepaskan bentuk oksigen

yang sangat reaktif yang khususnya bersifat mematikan; dan (3) dengan

melepaskan suatu polipeptida yang sangat larvasidal, yaitu yang disebut protein

(32)

Jumlah eosinofil pada mencit sekitar 0-3% dari total jumlah leukosit

(Thrall 2004). Eosinofilia pada hewan domestik merupakan peningkatan jumlah

eosinofil dalam darah dari kisaran normal. Eosinofilia dapat terjadi karena infeksi

parasit, reaksi alergi, dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun

(Frandson 1992). Penurunan jumlah eosinofil dari kisaran normal atau

eosinopenia dapat disebabkan oleh stress dan respon dari kortikosteroid (Raskin et

al. 2004)

Basofil

Basofil merupakan granulosit yang sangat jarang, jumlahnya sangat rendah

dalam aliran darah yaitu 0.5% (Teske 2010). Basofil memiliki granula bewarna

biru dengan pewarnaan basa, sel ini lebih kecil daripada eosinofil, tetapi

mempunyai inti yang bentuknya teratur, di dalam protoplasmanya terdapat

granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira 0,5% di sumsum merah

(Handayani 2008).

Gambar 6 gambaran darah basofil (Themi et al. 2004)

Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Basofil membawa heparin,

faktor-faktor pengaktifan histamine, dan trombosit dalam granula-granulanya

untuk menimbulkan peradangan pada jaringan, fungsi sebenarnya tidak diketahui

dengan pasti (Price dan Wilson 2005). Membran sitoplasma basofil dikelilingi

immunoglobulin E seperti sel mast. Basofil dan sel mast sangat berperan dalam

berbagai macam reaksi alergi. Konsentrasi basofil pada sirkulasi sangat rendah.

Jumlah basofil mencit sekitar 0-0.2% dari total leukosit darah (Thrall 2004).

Basofilia merupakan peningkatan jumlah basofil dari kisaran normal dalam

(33)
(34)

bersama dengan aliran limfe dan masuk ke jaringan dengan cara diapedesis (Teske

2010). sel limfosit merupakan sel yang paling sensitif terhadap radiasi, dosis

tunggal 0,2 Gy sudah dapat menimbulkan aberasi kromosom yang dapat dideteksi

(Lusiyanti dan Syaifudin 2007).

Peningkatan jumlah limfosit dari kisaran normal (limfositosis) dapat

terjadi karena induksi epinefrin, penyakit infeksius, dan neoplasia, sedangkan

penurunan jumlah limfosit dari kisaran normal (limfopenia) dapat terjadi karena

induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik,

congenital, dan mastositosis (mastositemia) (Raskin 2000).

Monosit

Monosit memiliki ukuran yang lebih besar daripada limfosit,

protoplasmanya besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-bintik

sedikit kemerahan. Inti selnya berbentuk bulat atau panjang. Monosit adalah

leukosit terbesar yang berdiameter 15-20 μm dan berjumlah 3-9% dari seluruh sel

darah putih. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam sirkulasi

dalam bentuk imatur dan mengalami proses pematangan menjadi makrofag

setelah masuk ke jaringan. Fungsinya sebagai fagosit (Handayani 2008). Jumlah

monosit pada mencit adalah sekitar 0-3% dari total leukosit darah (Thrall 2004).

Gambar 8 Gambaran normal monosit (Handayani 2008).

Monosit berperan dalam mengatur tanggap kebal dengan mengeluarkan

glikoprotein pengatur monokin seperti interferon, interleukin 1 dan zat

farmakologi aktif seperti prostaglandin dan lipoprotein. Monosit juga merupakan

makrofag muda yang beredar dalam darah dan berperan dalam mempertahankan

(35)

normal berada di dalam darah sekitar 40 jam dan dapat hidup di jaringan dalam

beberapa bulan. Monosit normal ditemukan di bagian yang spesifik di beberapa

organ (Tizard 1987).

Sebelum menjadi monosit, sel ini terlebih dahulu menjadi monoblas.

Monoblas biasanya ditemukan di sumsum tulang dan tidak muncul dalam darah

perifer yang normal. Mereka tumbuh menjadi monosit yang pada gilirannya

berkembang menjadi makrofag (Thrall 2004). Monosit juga memiliki kemampuan

untuk menelan dan mendegradasi mikroorganisme, sel-sel yang abnormal, dan

sel-sel debris (Campbell 2004).

Monositosis adalah jumlah monosit melebihi kisaran normal monosit

dalam leukosit. Monositosis dapat terjadi karena infeksi bakteri kronis, penyakit

protozoa, netropenia kronis, penyakit Hodgkin, serta leukemia miemonositik dan

monositik (Sulaeman 2003). Monositopenia atau penurunan jumlah monosit dari

kisaran normal dapat terjadi akibat induksi virus dan netropenia (Price dan Wilson

(36)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor, dengan mengambil tempat di Bagian Bedah dan Radiologi

sebagai tempat pengambilan dan pemeriksaan darah serta pemaparan radiasi dan

kandang hewan percobaan di fasilitas kandang/hewan coba Bagian Patologi

sebagai tempat pemeliharaan mencit, Departemen Klinik, Reproduksi, dan

Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini

dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai Juni 2011.

Tabel 3 Jadwal penelitian

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Proposal √

2. Persiapan penelitian √

3. Pengadaan bahan dan ekstrak √

4. Pelaksanaan penelitian √ √ √ √

5. Penghitungan mikroskopis differensiasi leukosit sel darah

perifer √ √ √ √

6. Pengumpulan data √ √

7. Analisis data √

8. Laporan penelitian √

9. Publikasi Ilmiah √

Bahan dan Alat

Persiapan dan Pemeliharaan Mencit

Bahan yang diperlukan untuk persiapan dan pemeliharaan mencit adalah

48 ekor mencit jantan yang berumur sekitar 6-8 minggu dengan berat badan

20-25 g yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka IPB, pakan mencit komersil,

serbuk kayu dan air minum ad libitum. Alat yang digunakan yaitu kandang plastik

(30x20x15 cm) yang dilengkapi dengan tutup kawat, tempat pakan, tempat air

minum mencit, alat penanda, dan alat cekok berupa stomatch tube.

Pembuatan dan Pemberian Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L)

Bahan yang diperlukan untuk pemberian ekstrak rosela adalah bunga

rosela kering (simplisia), etanol 96%, ekstrak rosela, dan aquades untuk

pengenceran, sedangkan alat yang diperlukan adalah syringe 1 cc dan alat cekok

(37)

Paparan Radiasi sinar-X

Bahan yang diperlukan untuk melakukan paparan radiasi sinar-X adalah

mencit, sedangkan alat yang diperlukan adalah mesin radiodiagnostik portabel

sinar-X (VR-1020, MA medical corp, Japan), apron Pb, pelindung mata,

pelindung tiroid, dosimeter merk ALOKA CO.,LTD Tokyo Japan, dan kandang

mencit.

Pengambilan Darah Perifer Mencit

Bahan yang diperlukan untuk pengambilan darah perifer mencit adalah

kapas, alkohol 70%, ketamine, xylazine, reverzin (yohimbin), dan Ethylene

Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA) 10%. Sedangkan alat yang diperlukan adalah

mikrokapiler hematokrit, tabung efendorf, timbangan, syringe 1 cc, syringe 3 cc,

dan syringe 5 cc.

Pembuatan Preparat Ulas Darah Perifer

Bahan yang diperlukan untuk pembuatan preparat ulas darah perifer adalah

sampel darah, methanol, giemsa 10%, dan air kran yang mengalir. Sedangkan alat

yang diperlukan adalah object glass.

Penghitungan dan Pemeriksaan Darah Perifer (Differensiasi Leukosit Sel

Darah Perifer)

Bahan yang diperlukan untuk penghitungan morfologi jenis

masing-masing sel leukosit adalah sampel darah, minyak imersi, xylol, dan kertas tisu.

Sedangkan Alat yang diperlukan adalah mikroskop cahaya dan counter.

Metode Penelitian

Desain Penelitian dan Hewan Coba

Sebanyak 12 ekor mencit dalam setiap subkelompok dimasukkan ke dalam

kandang plastik yang telah disediakan. Semua mencit diaklimatisasi untuk

menyesuaikan kondisi laboratorium penelitian selama 2 minggu sebelum

penelitian dilaksanakan, yaitu mencit diberi anthelmintik (albendazole®) sediaan

5% dengan dosis 10 mg/kg peroral, antibiotik (clavamox®) 25 mg/kg berat badan

(38)

dan Medina 2007). Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial sesuai

dengan kebutuhan harian mencit dan minum diberikan secara ad libitum air aqua.

Desain penelitian merupakan hasil modifikasi prosedur penelitian yang

telah dilakukan oleh Fidan et al. (2008). Mencit dibagi menjadi 2 grup radiasi,

yaitu; (1) Grup radiasi rendah yaitu pemaparan radiasi dilakukan setiap 2 hari

sekali selama 4 minggu dan (2) Grup radiasi tinggi yaitu pemaparan radiasi

dilakukan setiap 2 hari sekali selama 8 minggu. Setelah pemaparan radiasi rendah

dan tinggi dilakukan recovery (pemulihan) selama 4 minggu dengan pemberian

ekstrak rosela tanpa dilakukan paparan radiasi seperti pada tabel 4. Hewan coba

dibagi dalam 4 kelompok perlakuan secara acak sebagai berikut:

1. Kelompok Kontrol (K-): mencit menerima perlakuan peroral 2 mL NaCl

fisiologis setiap 2 hari sekali selama 4 minggu untuk mencit grup 1 (n=6) dan

selama 8 minggu untuk mencit grup 2 (n=6).

2. Kelompok Primer (K+): Mencit menerima perlakuan peroral 2 mL NaCl

fisiologis dan radiasi berkas sinar utama dosis 0,2 mSv setiap 2 hari sekali

selama 4 minggu untuk mencit grup 1 (n=6) dan selama 8 minggu untuk

mencit grup 2 (n=6) dengan waktu paparan + 1 detik.

3. Kelompok Rosela (R-): Mencit diberi ekstrak rosela dosis 50 mg/kg berat

badan secara peroral setiap 2 hari sekali selama 8 minggu untuk mencit grup 1

(n=6) dan selama 12 minggu untuk mencit grup 2 (n=6).

4. Kelompok Rosela Primer (R+): Mencit diberi Ekstrak rosela dosis 50 mg/kg

berat badan secara peroral dan radiasi berkas utama dosis 0,2 mSv setiap 2

hari sekali selama 8 minggu untuk mencit grup 1 (n=6) dan selama 12 minggu

untuk mencit grup 2 (n=6) dengan waktu paparan + 1 detik.

Tabel 4 Kelompok perlakuan hewan dalam penelitian

Kelompok N

Radiasi dosis rendah (2.9 mSv) Radiasi dosis tinggi (5.3 mSv)

Ra minggu

(39)
(40)

tidak masuk ke dalam saluran pernapasan. Pemberian ekstrak rosela dilakukan

setiap dua hari sebelum diradiasi dengan sinar-X.

Gambar 10 pemberian ekstrak rosela dan NaCl fisiologis pada mencit.

Paparan Radiasi Sinar-X

Pemaparan radiasi ionisasi dosis rendah (2.9 mSv) dan tinggi (5.3 mSv)

dilakukan dengan menggunakan mesin Roentgent dengan dosis 0,2 mSv/2 hari

pada berkas sinar utama dengan pengaturan kVp 80, mAs 12, dan waktu paparan

+ 1 detik. Jarak sumber target (dasar kandang mencit) adalah 100 cm pada berkas

sinar utama. Pemaparan dilakukan di ruang Roentgent pada setiap kelompok K+

dan R+ secara bergantian. Setiap kelompok mencit di letakkan di atas meja

Roentgent dan akan dilakukan pemaparan oleh operator.

Gambar 11 pemaparan radiasi sinar-X

Pengambilan dan Pengoleksian Darah Perifer

Pengambilan darah perifer dilakukan pada setiap kelompok secara acak

(41)

Sebelum pengambilan darah dilakukan, mencit terlebih dahulu dibius dengan

kombinasi ketamin dosis 30 mg/kg berat badan dan xylazin dengan dosis 5 mg/kg

berat badan secara intra peritoneal. Pengambilan darah dilakukan dengan

mikrokapiler hematokrit dengan EDTA 10% melalui vena retro orbitale pada

bagian mata (Hrapkiewicz & Medina 2007).

Sebanyak 0,5 ml darah yang di peroleh di masukan ke tabung Ependorf

yang telah diberi EDTA sebanyak 0,1 ml. Darah tersebut disimpan di dalam box

yang diisi dengan es batu tidak lebih dari 24 jam.

Gambar 12 pengambilan dan pengoleksian darah.

Pembuatan dan Pemeriksaan Preparat Ulas Darah (Differensiasi Leukosit

Sel Darah Perifer)

Menurut Weiss dan Tvedten (2004), metode membuat ulas darah pada

slide adalah darah yang telah ditetes ke slide di sentuh menggunakan slide pelebar

dengan cara menarik pelan-pelan kebelakang. Setelah kontak terjadi, slide pelebar

tadi digerakkan ke depan dengan gerakan yang lembut. Ulas darah yang sudah

terbentuk dikeringkan terlebih dahulu, kemudian direndam ke dalam metil alkohol

selama 3-5 menit dan dikeringkan. Ulas darah yang sudah kering kemudian

dimasukkan ke dalam larutan giemsa 10% selama 30 menit. Setelah 30 menit,

cuci slide menggunakan air kran yang mengalir selama 30 detik dan dikeringkan

dari air. Untuk pemeriksaan ulas darah dilakukan di bawah mikroskop cahaya

dengan perbesaran 1000 x dengan bantuan minyak imersi dengan arah

pengamatan zigzag dan xylol sebagai larutan pembersih. Penghitungan

(42)

(Limfosit, monosit, netrofil band, netrofil adult, basofil, eosinofil, limfoblas, dan

mieloblas) hingga mencapai jumlah 100 sel leukosit.

Gambar 13 cara pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah.

Perhitungan perubahan persentase sel leukosit darah perifer akibat

pemaparan radiasi dan pemberian ekstrak rosela adalah sebagai berikut:

- Perubahan persentase sel leukosit akibat pemaparan radiasi =

(b-a)/(a+b)*100%

- Perubahan persentase sel leukosit akibat pemberian ekstrak rosela =

(d-c)/(c+d)*100%

Keterangan : a= Persentase sel Leukosit sebelum perlakuan

b= Persentase pada dosis radiasi tertentu

c= Persentase sel pada dosis X

d= Persentase sel leukosit setelah recovery dosis X

X= Jumlah dosis paparan radiasi (mSv)

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan

software SPSSversi 13 untuk Microsoft® Windows® uji ANOVA dilanjutkan uji

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

LIMFOSIT

Limfosit merupakan sel darah putih yang memiliki presentase paling

tinggi dalam menyusun sel darah putih atau leukosit (O’Malley 2005). Oleh

karena itu, limfosit sangat berperan dalam fluktuasi jumlah leukosit dalam darah.

Ukuran bervariasi dari 7 sampai dengan 15 mikron. Morfologi sel limfosit pada

kelompok sebelum perlakuan, sesudah perlakuan, dan setelah recovery tidak

mengalami perbedaan. Morfologi sel limfosit dapat dilihat pada gambar 14.

Gambar 14 morfologi sel limfosit; A. morfologi sebelum perlakuan; B. morfologi setelah perlakuan; C. morfologi setelah recovery (pemulihan).

Nilai persentase sel limfosit mencit berdasarkan kelompok perlakuan

terhadap kelompok total radiasi dan fase pemulihan dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5 Persentase sel limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.

Keterangan: K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa paparan radiasi); K+ (Pemberian NaCl fisiologis dengan paparan radiasi); R– (Pemberian ekstrak rosela tanpa paparan radiasi); R+ (Pemberian ekstrak rosela dengan paparan radiasi); n (Jumlah Mencit); 0 (sebelum perlakuan); Recovery (Masa pemulihan selama 30 hari); ΣRo (Persentase sel limfosit setelah pemulihan); ΣRa (Persentase sel limfosit setelah radiasi) ∆Ro (Perubahan setelah recovery); ∆Ra (Perubahan setelah radiasi); - (Penurunan); + (peningkatan); huruf yang sama dalam kolom dan baris yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05).

(44)

Radiasi 2.9 mSv pada minggu ke-4 menyebabkan penurunan persentase

limfosit hanya sebesar 2% pada kelompok K+ dan 1% pada kelompok R+ dari

jumlah sebelum perlakuan. Radiasi yang lebih besar (5.3 mSv) pada minggu ke-8

meningkatkan persentase penurunan 4% pada kelompok K+ dan 10% pada

kelompok R+ sebagaimana dalam tabel 5 dan gambar 15. Penurunan nilai pada

kedua kelompok perlakuan dan radiasi tidak berbeda nyata (P>0.05).

Persentase limfosit kelompok R- dengan pemberian ekstrak rosela

mengalami penurunan 13% lebih besar daripada kelompok K- yang mengalami

penurunan 8% pada minggu ke-4 dari persentase sebelum perlakuan. Persentase

limfosit pada minggu ke-8 hanya mengalami penurunan 4% baik pada kelompok

R- dan K-. Penurunan pada kelompok K- dan R- tidak berbeda nyata (P>0.05),

kecuali pada kelompok R- minggu ke-4 berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan jenis

perlakuan.

Gambar 15 Persentase sel limfosit darah perifer mencit pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang. K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa radiasi; K+ (pemberian NaCl fisiologis dengan radiasi); R- (pemberian ekstrak rosela tanpa radiasi); R+ (pemberian ekstrak rosela dengan radiasi); Pemulihan (30 hari setelah perlakuan).

Persentase limfosit setelah masa pemulihan dari radiasi 2.9 mSv

menyebabkan peningkatan 3% pada kelompok k+ dan penurunan 9% pada

kelompok R+ dari persentase sebelum perlakuan. Pemulihan setelah radiasi 5.3

mSv menyebabkan peningkatan persentase limfosit sebanyak 2% pada kelompok

K+ dan 5% pada kelompok R+. Persentase limfosit pada masa pemulihan minggu

4 mengalami peningkatan 6% pada kelompok K- dan 10% pada kelompok R-.

(45)

K- dan hanya 1% pada kelompok R- sebagaimana dalam tabel 5 dan gambar 15.

Penurunan dan peningkatan persentase limfosit pada fase pemulihan minggu 4

dan minggu 8 tidak berbeda nyata (P>0.05), kecuali pada kelompok R+ setelah

pemulihan minggu ke-4 yang berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan dosis radiasi

dan jenis perlakuan.

Semua peningkatan dan penurunan yang terjadi pada persentase limfosit

baik pada radiasi 2.9 mSv, 5.3 mSv dan masa pemulihan masih dalam kisaran

normal jumlah limfosit darah antara 48.5-83.9% (Thrall 2004). Peningkatan

persentase limfosit (limfositosis) dapat terjadi karena induksi epinefrin, penyakit

infeksius, dan neoplasia (Raskin 2000). Limfositosis dapat terjadi juga pada kasus

leukemia limfoblastik akut yang disebabkan oleh virus, radiasi, dan aberasi

genetik (Price dan Wilson 2005). Penurunan persentase limfosit (limfopenia)

dapat terjadi karena induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada

sistem limfatik, kongenital, dan penyinaran luas (Raskin 2000).

Sel limfosit adalah sel yang paling sensitif terhadap radiasi dan sel yang

pertama kali menghilang dari sirkulasi, kemudian diikuti sel granulosit (Yunarti

2007). Radiasi menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksidatif intra maupun

ekstra seluler (Yunarti 2007). Radikal bebas terbentuk karena ion elektron atom

yang dihasilkan dari paparan radiasi berikatan dengan molekul air. Radikal bebas

memiliki elektron bebas tidak berpasangan pada lapisan luarnya yang dapat

menyebabkan kerusakan pada tubuh (Thrall 2002), sehingga persentase sel

limfosit dalam tubuh menjadi menurun akibat radiasi (Yunarti 2007).

Persentase limfosit fase pemulihan setelah radiasi 2.9 mSv minggu ke-4

pada kelompok R- mengalami peningkatan yang lebih banyak dari kelompok K-

dan K+, namun pada kelompok R+ mengalami penurunan. Hal ini mungkin

disebabkan kurangnya penyerapan ekstrak rosela oleh tubuh dan masa terapi yang

masih singkat. Pemulihan setelah radiasi 5.3 mSv minggu ke-8 persentase limfosit

kelompok R+ mengalami peningkatan yang lebih banyak dibandingkan kelompok

yang lain. Pemberian ekstrak rosela pada mencit yang terkena radiasi mengurangi

efek radikal bebas yang menyebabkan persentase limfosit dalam darah meningkat.

Rosela mengandung antioksidan seperti antosianin, vitamin A, flavanoid,

(46)

sehingga dapat menghindar dari resiko kanker, tumor, dan lain-lain akibat radiasi

(Wambia et al. 2009). Antioksidan memiliki potensi sebagai radioprotektif

terhadap limfosit dengan cara mengurangi efek radikal bebas dan peningkatan

kapasitas total antioksidan intraselluler (Lee et al. 2010 & Wambia et al. 2009),

sehingga kerusakan akibat radiasi dapat berkurang dan persentase limfosit dapat

meningkat.

MONOSIT

Monosit memiliki ukuran yang lebih besar daripada limfosit,

protoplasmanya besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-bintik

sedikit kemerahan. Inti selnya berbentuk bulat atau panjang. Monosit adalah

leukosit terbesar yang berdiameter 15-20 μm. Morfologi sel monosit pada

kelompok sebelum perlakuan, sesudah perlakuan, dan setelah recovery tidak

mengalami perbedaan. Morfologi sel monosit dapat dilihat pada gambar 16.

Gambar 16 morfologi sel monosit; A. morfologi sebelum perlakuan; B. morfologi setelah perlakuan; C; morfologi setelah recovery (pemulihan).

Radiasi 2.9 mSv pada minggu ke-4 menyebabkan penurunan persentase

monosit sebesar 10% pada kelompok K+ dan 29% pada kelompok R+ dari

persentase sebelum perlakuan. Radiasi yang lebih besar (5.3 mSv) pada minggu

ke-8 menyebabkan persentase penurunan 10% pada kelompok K+ dan 20% pada

kelompok R+ sebagaimana pada tabel 6 dan gambar 17. Penurunan nilai

kelompok K+ tidak berbeda nyata (P>0.05) baik pada minggu ke-4 dan ke-8,

sedangkan kelompok R+ berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan kelompok

perlakuan dan dosis radiasi pada minggu ke-4 dan ke-8.

Nilai persentase sel limfosit mencit berdasarkan kelompok perlakuan

terhadap kelompok total radiasi dan fase pemulihan dapat dilihat pada tabel 6.

(47)

Tabel 6 Persentase sel monosit darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik

Keterangan: K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa paparan radiasi); K+ (Pemberian NaCl fisiologis dengan paparan radiasi); R– (Pemberian ekstrak rosela tanpa paparan radiasi); R+ (Pemberian ekstrak rosela dengan paparan radiasi); n (Jumlah Mencit); 0.0 (sebelum perlakuan); Recovery (Masa pemulihan selama 30 hari); ΣRo (Persentase sel monosit setelah pemulihan); ΣRa (Persentase sel monosit setelah radiasi) ∆Ro (Perubahan setelah recovery); ∆Ra (Perubahan setelah radiasi); - (Penurunan); + (peningkatan); huruf yang sama dalam kolom dan baris yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05).

Gambar 17 Persentase sel monosit darah perifer pada setiap kelompok total radiasi radiodiagnostik berulang.; K- (Pemberian NaCl fisiologis tanpa radiasi); K+ (pemberian NaCl fisiologis dengan radiasi); R- (pemberian ekstrak rosela tanpa radiasi); R+ (pemberian ekstrak rosela dengan radiasi); Pemulihan (30 hari setelah perlakuan).

Persentase monosit kelompok R- dengan pemberian ekstrak rosela

mengalami penurunan 29%, sedangkan pada kelompok K- mengalami penurunan

sebesar 26% pada minggu ke-4 dari persentase sebelum perlakuan. Persentase

monosit pada minggu 8 mengalami penurunan 8% pada kelompok R-, sedangkan

pada kelompok K- hanya mengalami penurunan sebesar 4%. Penurunan kelompok

(48)

kelompok R- tidak berbeda nyata (P>0.05) ke-8 dan berbeda nyata (P<0.05) pada

minggu ke-4.

Persentase monosit setelah masa pemulihan dari radiasi 2.9 mSv

menyebabkan penurunan sebanyak 46% pada kelompok K+ dan peningkatan 21%

pada kelompok R+. kelompok K+ dan R+ setelah pemulihan 2.9 mSv berbeda

nyata (P<0.05) berdasarkan dosis radiasi dan kelompok perlakuan. Pemulihan

setelah radiasi 5.3 mSv menyebabkan peningkatan persentase monosit sebanyak

9% pada kelompok K+ dan 23% pada kelompok R+. Hasil analisa persentase

pemulihan mencit K+ dan R+ setelah radiasi 5.3 mSv berbeda nyata (P<0.05)

berdasarkan kelompok perlakuan dan dosis radiasi.

Persentase monosit pada masa pemulihan minggu 4 mengalami

peningkatan 21% pada kelompok R- dan sama pada kelompok K- dari persentase

sebelum perlakuan. Pemulihan pada minggu 8 menyebabkan peningkatan sebesar

9% pada kelompok K- dan penurunan sebesar 7% pada kelompok R- sebagaimana

dalam tabel 6 dan gambar 17. Hasil analisa mencit K- dan R- berbeda nyata

(P<0.05) berdasarkan jenis perlakuan setelah pemulihan minggu ke-8 namun tidak

berbeda nyata (P>0.05) setelah pemulihan minggu ke-4.

Pengamatan darah perifer pada penelitian ini di ditemukan sel monosit.

Persentase monosit normal pada mencit adalah sekitar 0-3% dari total leukosit

darah (Thrall 2004). Persentase monosit setelah radiasi 2.9 mSv dan 5.3 mSv baik

pada K+ dan R+ berada diatas batas normal monosit pada leukosit darah.

Persentase monosit sebelum perlakuan pada mencit adalah 9.0±2.7%. Hal ini

berarti, persentase monosit mengalami penurunan dari persentase sebelum

perlakuan. Penurunan persentase monosit (monositopenia) dapat diakibatkan oleh

radiasi, anemia aplastik, kemoterapi, dan infeksi parvo virus (Teske 2010).

Monositopenia atau penurunan persentase monosit juga dapat terjadi akibat

induksi virus dan netropenia (Price dan Wilson 2005).

Persentase monosit fase pemulihan setelah radiasi 2.9 mSv mengalami

penurunan 46% pada kelompok K+, berbeda dengan kelompok R+ yang

mengalami peningkatan 21%. Fase pemulihan setelah radiasi 5.3 mSv terjadi

penurunan 19% pada kelompok K+, berbeda dengan kelompok R+ yang

(49)

dapat meningkatkan persentase monosit dari radiasi. Hasil analisa pada kelompok

K+ dan R+ baik pemulihan setelah radiasi 2.9 mSv dan 5.3 mSv berbeda nyata

(P<0.05) berdasarkan dosis radiasi dan jenis perlakuan.

Peningkatan monosit (monositosis) ditemukan pada fase penyembuhan

infeksi (Raskin et al. 2004). Monositosis dapat terjadi akibat peradangan akut dan

kronik, destruksi jaringan, dan netrofilia (Teske 2010). Monositosis ditemukan

pada fase penyembuhan infeksi dan pada penyakit granuloma kronik seperti

tuberculosis dan sarkoidosis (Price dan Wilson 2005). Rosela mengandung kadar

antioksidan yang tinggi yaitu berupa vitamin C atau asam askorbat, vitamin A,

flavanoid, dan antosianin yang kemungkinan dapat mengurangi efek radikal bebas

yang ditimbulkan oleh radiasi, sehingga resiko kerusakan akibat radiasi menjadi

berkurang dan persentase monosit dapat meningkat.

NETROFIL

Netrofil Band (muda)

Netrofil band merupakan netrofil yang imatur. Netrofil band memiliki inti

berbentuk tapal kuda, inti halus, sisi sejajar, dan tidak ada penyempitan dalam

membran inti (Thrall 2004). Morfologi sel Netrofil band pada kelompok sebelum

perlakuan, sesudah perlakuan, dan setelah recovery tidak mengalami perbedaan.

Morfologi sel Netrofil band dapat dilihat pada gambar 18.

Gambar 18 morfologi sel netrofil band; A. morfologi sebelum perlakuan; B. morfologi setelah perlakuan; C. morfologi setelah recovery (pemulihan).

Radiasi 2.9 mSv pada minggu ke-4 menyebabkan penurunan persentase

netrofil band hanya sebesar 1% pada kelompok K+ dan peningkatan 9% pada

kelompok R+ dari persentase sebelum perlakuan. Radiasi yang lebih besar pada

minggu ke-8 meningkatkan peresentase peningkatan 2% pada kelompok K+ dan

Gambar

Tabel 2 Kandungan gizi kelopak bunga rosela segar per 100 gram
Gambar 3 skema hematopoiesis  (Themi et al. 2004)
Gambar 4 Gambaran normal netrofil (Hoffbrand (2006) dalam Saputri et al. 2010).
Gambar 10 pemberian ekstrak rosela dan NaCl fisiologis pada mencit.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penabuh ricikan kempul biasanya diserahkan pada penabuh yang mempunyai kemampuan menguasai alur kedalaman lagu dalam sebuah gendhing , karena seorang pengempul tidak

Model kepemimpinan kepala sekolah yang efektif yang sesuai dengan kondisi SMP Negeri di Kecamatan Konda adalah kepemimpinan ENTELCERDAS, sebuah akronim dari

perusahaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa para pemegang saham pada perusahaan go public di Indonesia cenderung menginginkan direktur utama untuk melakukan

Malahan kelainan atribut yang ada menerusi kajian ini diharapkan menemui alternatif bagi melihat hubungan serta kecenderungan tret personaliti, keberkesanan

Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan membentuk sebuah lembaga yang bertugas menerbitkan sertifikasi kepada pelaku usaha sebagai bukti bahwa mereka yang melakukan

Penelitian ini diawali dengan pengambilan dataset dari University of California, Irvine (UCI) Machine Learning Repository, selanjutnya dataset diolah dengan software

Tujuan dari pembangunan transportasi ini adalah untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, handal, berkualitas, aman dan harga terjangkau serta

Configure camera settings, reboot the camera, or upgrade the firmware from the UniFI Video interface.. Mobile Support The UniFi Video web interface is accessible on iOS and