recirculation aquaculture systems with increase stocking density. Supervised by
IRZAL EFFENDIandHARTON ARFAH.
Angelfish is one of the freshwater ornamental fish commodities that has a good market opportunity and very easy to maintain, but the production nursery stage is limited by stocking density at 1 fish/liters. This study was aim to determine the best angelfish stocking density in recirculation systems by measuring the production parameters, water quality parameters, fish quality parameter and production efficiency. Stocking density used was 1, 2, 3 and 4 fish/liters. Fish were obtained from Parung Panjang-Bogor, with an average length of 15.025 ± 1.10 mm and average weight of 0.16 ± 0.012 g. It was kept for 40 days in the 20 liter tank volume that are equipped with a recirculation system with filter reef ginger, zeolites and activated carbon. Data taken during the fish culture was in the form of technical parameters, water quality and angelfish quality which would then be associated with the production efficiency. The results showed that treatment of stocking density 1 fish/liter generated the best results in the production parameters of the survival rate of 98.33 ± 2.89%, specific growth rate of 8.83 ± 0.07% and feed efficiency of 56.10 ± 1.60%. The best fish quality parameters achieved by treatment of stocking density 1 fish/liter with the ratio between height with standard length by 0.93 and the quality of the fin of 97%. Parameters of production efficiency was best achieved in the treatment stocking density 4 fish/liters which the value of R/C ratio was 1.67. Water quality in recirculation systems could be maintained at optimum conditions for growth of angelfish to the end of research without doing total water exchange. Based on consideration of production efficiency and aquaculture business purposes, the activities of the angelfish nursery should be done using recirculation system with stocking density at 4 fish/liters for generate higher profits. Future studies are expected to be able to know the limits on the angelfish stocking density at recirculation aquaculture system and relationship quality decreased with increasing fish stocking density.
budidaya sistem resirkulasi melalui peningkatan padat tebar. Dibimbing oleh
IRZAL EFFENDIdanHARTON ARFAH.
Ikan maanvis merupakan salah satu komoditas ikan hias air tawar yang memiliki peluang pasar yang bagus dan mudah dipelihara, namun pada tahap pendederannya hanya mampu diproduksi dengan padat tebar 1 ekor/liter. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan padat tebar terbaik ikan maanvis yang dipelihara dalam sistem resirkulasi dengan mengukur parameter produksi, kualitas air, kualitas ikan, dan efisiensi produksi. Padat penebaran yang digunakan adalah 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter. Ikan uji berasal dari Parung Panjang Kab. Bogor dengan panjang rata-rata 15,025±1,10 mm dan bobot rata rata 0,16±0,012 g. Ikan dipelihara selama 40 hari di dalam akuarium bervolume 20 liter yang dilengkapi sistem resirkulasi berfilter karang jahe, zeolit, dan karbon aktif. Data yang diambil selama pemeliharaan terdiri dari parameter teknis, kualitas air, dan kualitas ikan maanvis yang selanjutkan akan dikaitkan dengan efisiensi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan padat penebaran 1 ekor/liter memberikan hasil terbaik pada parameter produksi berupa derajat kelangsungan hidup sebesar 98,33±2,89%, laju pertumbuhan spesifik sebesar 8,83±0,07%, dan efisiensi pakan sebesar 56,10±1,60%. Parameter kualitas ikan terbaik juga dicapai pada padat tebar 1 ekor/liter dengan rasio tinggi badan dengan panjang standar bernilai 0,93, dan nilai kualitas sirip sebesar 97%. Parameter efisiensi produksi terbaik dicapai pada perlakuan padat penebaran 4 ekor/liter, yaitu dengan nilai rasio R/C sebesar 1,67. Kualitas air dalam sistem resirkulasi dapat dijaga pada kondisi optimum bagi pertumbuhan ikan maanvis sampai akhir penelitian tampa melakukan pergantian air secara total. Berdasarkan pertimbangan efisiensi produksi, dan tujuan usaha akuakultur, maka kegiatan pendederan ikan maanvis sebaiknya dilakukan menggunakan sistem resirkulasi dengan padat penebaran 4 ekor/liter. Pada padat penebaran tersebut usaha pendederan ikan maanvis dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk dapat mengetahui batas peningkatan padat tebar ikan maanvis pada sistem resirkulasi akuakultur, dan hubungan penurunan kualitas ikan dengan peningkatan padat penebaran.
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya ikan hias air tawar Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi sumber penghasil devisa bagi negara, dan sebagai penopang utama penghasilan bagi masyarakat. Kegiatan budidaya ikan hias oleh masyarakat bernilai ekonomi di pasaran lokal, dan menjadi komoditas ekspor di pasaran dunia. Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara eksportir ikan hias dunia dengan pangsa pasar sebesar 7,5 % setelah negara Singapura dan Malaysia. Tujuan ekspor ikan hias Indonesia adalah ke Asia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Suhendra (2010) menyebutkan nilai ekspor pada 2010 lebih dari $ 12 juta dan Erlangga (2012) melaporkan nilainya meningkat hingga $ 16 juta pada 2011. Nilai ekspor tersebut diprediksi menembus angka US $ 19,2 juta pada akhir 2012.
Salah satu jenis ikan hias air tawar yang memiliki peluang pasar bagus adalah ikan maanvis Pterophyllum scalare yang juga terkenal sebagai angelfish. Keunikan dari ikan ini adalah mempunyai keindahan warna dan corak tubuh yang menawan, serta memiliki sirip panjang yang sangat indah. Beberapa strain yang paling populer adalah smokey, dark black, marble ghost, halfback, zebra lace,
black clown, blue koi, leopard dan gold pearlscale. Namun Setiawan (2009) menyebutkan nilai produksi ikan maanvis pada saat ini hanya optimum pada padat penebaran 1 ekor/liter.
Masalah dalam pendederan ikan maanvis adalah nilai produksi pendederan paling optimum adalah 1 ekor/liter dengan batasan dalam peningkatan produksi dalam tahap pendederan adalah menurunnya daya dukung wadah seiring dengan peningkatan padat penebaran. Masalah nilai produksi yang rendah dapat ditingkatkan dengan meningkatkan padat penebaran (stocking density). Namun Hepher dan Pruginin (1981) menyebutkan bahwa peningkatan padat penebaran akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan (critical standing crop) dan dapat menyebabkan pertumbuhan akan berhenti. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut peningkatan padat penebaran haruslah sesuai dengan daya dukung (carrying capacity). Peningkatan padat penebaran harus disesuaikan dengan peningkatan daya dukung wadah pemeliharaan sehingga tidak menurunkan kualitas air wadah pemeliharaan yang pada akhirnya akan menurunkan derajat kelangsungan hidup (survival rate,SR) dan memperlambat laju pertumbuhan ikan yang diproduksi.
Budidaya sistem resirkulasi atau recirculation aquaculture system (RAS) adalah sebuah solusi dalam mengatasi penurunan daya dukung wadah pemeliharaan akibat peningkatan padat penebaran. Menurut Hutchinson et al.
(2004) sistem resirkulasi merupakan sebuah penerapan teknologi akuakultur yang terdiri dari sistem pengaliran air, penyaringan secara mekanik dan biologi, penggunaan pompa dalam pengaliran air, aerasi dan oksigenasi air, serta komponen pengelolaan air lainnya yang menghasilkan kualitas air optimum untuk pertumbuhan ikan di dalam wadah pemeliharaan. Penggunaan teknologi resirkulasi diharapkan mampu meningkatkan padat penebaran pendederan ikan maanvis dengan menjaga daya dukung wadah pemeliharaan sehingga dapat mempertahankan laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup, yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi usaha pendederan. Peningkatan nilai produksi akan dapat meningkatkan efesiensi produksi pendederan ikan maanvis.
1.2 Tujuan
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan MaanvisPterophyllum scalare2.1.1 Taksonomi dan distribusi
Berdasarkan Axelrod (1993) Taksonomi ikan maanvis Pterophyllum scalare adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Osteichthyes
Ordo : Percomorphoidea
Famili : Cichlidae
Genus :Pterophyllum
Spesies :Pterophyllum scalare
Ortega et al. (2009) menyebutkan bahwa ikan maanvis disebut juga dengan angelfish yang berasal dari Guyana, Orinoco, cekungan Sungai Amazon, Amerika Selatan. Menurut Garcia dan Gomez (2005) ikan maanvis bersifat omnivora di lingkungan alaminya. Makanannya terdiri dari plankton, larva dari serangga dan udang-udangan, tumbuhan, dan cacing. Ikan maanvis Pterophyllum scalare mempunyai delapan lokus berbeda yang telah diidentifikasi memiliki alel non-liar yang mengubah penampilan ikan atau fenotipe. Fenotipe yang berbeda terbentuk dari kombinasi alel-alel tersebut (The Angelfish Society, 2007). Permintaan akan ikan ini sangat banyak karena keindahannya, kemampuan berkembang biak, dan kemampuan adaptasi yang baik ketika dipelihara.
2.1.2 Morfologi dan Anatomi
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g) (h) i
Gambar 1. Fenotipe ikan maanvis Pterophyllum scalare:(a) Smokey,(b) Dark Black, (c) Marble Ghost, (d) Halfback, (e) Zebra Lace, (f) Black Clown,(g)Blue Koi, (h)Leopard,(i)Goldpearlscale(The Angelfish Society, 2007).
2.1.3 Produksi Ikan Maanvis
Panjang, Kab. Bogor adalah menggunakan bak terpal terbuka, tampa pergantian air dan menggunakan padat penebaran 1 ekor/liter dalam membesarkan ikan maanvis dari ukuran kuku (panjang tubuh sekitar 1,5 cm) hingga ukuran S (sekitar 2-3 cm) atau M (sekitar 3-4 cm). Masa produksi dengan sistem tersebut berkisar antara 1-1,5 bulan. Setiawan (2009) mencoba melakukan peningkatan produksi ikan manvis pada tahap pendederan dari ukuran 2-3 cm hingga ukuran 3-4 cm dengan padat penebaran 1, 2, dan 3 ekor/liter dan menunjukkan hasil bahwa ikan maanvis dapat hidup dan berkembang sampai pada padat penebaran 3 ekor/liter namun hanya dengan derajat kelangsungan hidupnya hanya 75%. Sistem produksi yang digunakan adalah sistem pergantian air setiap harinya, namun hasil produksi yang optimal tetap pada padat penebaran 1 ekor/liter. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan padat penebaran menurunkan parameter produksi berupa derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate, SGR) dan pertumbuhan panjang mutlak. Selain itu, peningkatan padat penebaran juga menurunkan kualitas media pemeliharaan.
2.1.4 Kualitas Ikan Maanvis
Hasil dari wawancara terhadap pelaku usaha ikan maanvis dari kawasan Parung Panjang, Kab. Bogor diketahui bahwa kualitas ikan maanvis ditentukan oleh bentuk tubuh, sirip, dan warna ikan maanvis. Bentuk tubuh ikan maanvis yang bagus adalah seperti cakram dengan ukuran tinggi tubuh yang sama atau lebih dari panjang standar tubuh ikan. Kualitas sirip yang baik pada ikan maanvis adalah sirip yang lurus tampa lekuk atau bengkok pada sirip dorsal, anal dan ekor. Kualitas warna pada ikan maanvis ditentukan dengan semakin cerah warna tubuhnya, maka ikan yang kita budidayakan semakin berkualitas. Strain ikan maanvis yang memiliki nilai jual tertinggi di Indonesia adalah ikan maanvis dengan ciri mata merah, dan corak tubuh keperakan seperti kulit jeruk, para peminat ikan maanvis menyebut strain ini dengan nama Pearlscale atu “sisik perak”.
2.2 Sistem Resirkulasi
untuk lebih dari tiga dekade. Penerapan teknologi ini mengurangi kebutuhan akan ruang dan kebutuhan air, sistem ini akan sangat berguna jika diterapkan pada daerah-daerah yang mengalami kesulitan dengan sumberdaya lahan dan air seperti di daerah perkotaan.
Timmons et al. (2002) mengatakan bahwa sistem resirkulasi terdiri dari rangkaian yang terorganisir sedemikian rupa yang memungkinkan setidaknya sebagian dari air yang berada di dalam wadah pemeliharaan mengalir meninggalkan wadah pemeliharaan untuk diolah dan kemudian digunakan kembali dalam wadah pemeliharaan ikan yang sama atau wadah pemeliharaan ikan lainnya. Namun, penerapan sistem resirkulasi juga memiliki berbagai kekurangan. Masalah yang paling sering muncul adalah penurunan kualitas air jika pengolahan air di dalam sistem ini tidak dikontrol dengan benar. Hal ini dapat menyebabkan efek negatif pada pertumbuhan ikan, meningkatkan risiko penyakit menular, meningkatkan stres ikan, dan masalah lain yang terkait dengan kualitas air yang mengakibatkan menurunnya produksi.
Penurunan kualitas air dalam budidaya sistem resirkulasi yang merupakan sistem budidaya tertutup dapat dilakukan dengan menggunakan proses filtrasi di dalam sistem. Menurut Spotte (1970) tiga jenis filtrasi di dalam sistem budidaya tertutup adalah: biologis, mekanis, dan kimia. Filtrasi biologis didefinisikan sebagai mineralisasi bahan organik nitrogen, nitrifikasi dan denitrifikasi oleh bakteri yang larut di dalam air dan melekat pada substrat di dalam filter. Filtrasi mekanis merupakan proses pemisahan secara fisik dan konsentrasi dari padatan partikulat yang terlarut di dalam aliran air. Sedangkan filtrasi kimia merupakan pembersihan bahan (umumnya terlarut atau organik, tetapi juga senyawa nitrogen dan fosfor) dari larutan pada tahap molekuler dengan cara penyerapan oleh substrat berpori atau langsung dengan oksidasi atau fraksinasi.
2.3 Parameter Kualitas Air di Wadah Resirkulasi
Marcedes (2007) masalah umum sistem resirkulasi terkait kualitas air adalah temperatur air, rendahnya kadar DO, meningkatnya konsentrasi buangan metabolit, kejenuhan gas-gas, tingkat kelarutan ozon, keberadaan beberapa zat kimia untuk pembersih atau bahan terapi kimia di dalam air.
2.3.1 Suhu
Suhu dalam wadah resirkulasi haruslah dijaga berada dalam kondisi yang optimum bagi spesies yang dipelihara. Suhu yang optimum akan memberikan pertumbuhan ikan yang cepat, konversi pakan yang efisien, dan relatif lebih tahan kepada beberapa jenis penyakit. Menurut Fdz-Polanco et al. (1994) salah satu bakteri yang bekerja dalam proses nitrifikasi di alam Nitrosomonas mencapai aktivitas maksimum pada suhu 28-29 oC. Frey (1961) menyatakan bahwa kisaran suhu untuk ikan maanvis berada pada 240C sampai 280C.
2.3.2 Kadar Oksigen Terlarut
Menjaga kadar oksigen terlarut (dissolved oxigen, DO) di dalam wadah pemeliharaan dengan sistem resirkulasi merupakan aspek penting karena bukan hanya ikan yang berperan sebagai pengkomsumsi oksigen namun bakteri nitrifikasi yang hidup di dalam sistem juga memiliki kebutuhan oksigen yang tinggi. Losordo et al. (1998) mengatakan bahwa kemampuan sistem resirkulasi untuk meningkatkan kadar DO di dalam wadah pemeliharaan akan menjadi batasan untuk daya dukung wadah pemeliharaan untuk ikan. Menjaga kadar DO di dalam wadah resirkulasi dapat dilakukan dengan melakukan penambahan oksigen yang mengimbangi laju komsumsi oksigen oleh ikan dan bakteri yang terdapat di dalam wadah biofilter sistem resirkulasi. Kadar oksigen terlarut harus dijaga di atas 60 % dari kejenuhan atau diatas 5 ppm batas ini merupakan kadar optimum bagi kebanyakan ikan di perairan tropis.
2.3.3 Derajat Keasaman (pH)
al. (1999) adalah dari 7 sampai 8. Lingga dan Susanto (1999) menyatakan ikan maanvis tumbuh baik pada rentang pH 6,7-7.
2.3.4 Alkalinitas
Menurut Boyd (1979) basis titrasi total dalam air sample yang dinyatakan setara dengan CaCO3 disebut sebagai alkalinitas total. Losordo et al. (1998) menyatakan bahwa alkalinitas adalah adalah ukuran kemampuan air untuk menetralkan asam (ion hidrogen). Bikarbonat (HCO3-), dan karbonat (CO3-) merupakan sumber alkalinitas di perairan. Alkalinitas bekerja sebagai penyangga air terhadap perubahan pH secara mendadak. Kekurangan alkalinitas di dalam sistem akan berakibat penurunan pH yang akan menimbulkan terhambatnya kerja bakteri nitrifikasi yang terdapat di dalam filter biologis. Alkalinitas merupakan faktor yang mempengaruhi daya kerja bakteri yang terdapat pada biofilters. Alkalinitas pada budidaya ikan diatur dengan penambahan sodium bikarbonat (NaHCO3), dan aerasi. Hubungan antara pH, dan alkalinitas yang optimum bagi wadah pemeliharaan adalah pada kisaran pH 7,5-8,0 dengan nilai alkalinitas berkisar 100-400 mg CaCO3. Allain (1998) dalam Masser et al. (1999) menjelaskan manajemen pH dengan penambahan sodium bikarbonat dan aerasi di dalam wadah pemeliharaan ikan (Gambar 2).
2.3.5 Amoniak
III.
BAHAN DAN METODE
3.1 Rancangan Penelitian
Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan masing-masing diulang tiga kali. Perlakuan tersebut adalah padat
penebaran ikan maanvis 1, 2, 3, dan 4 kali dari padat penebaran terbaik dari hasil
penelitian Setiawan (2009).
Model umum rancangannya adalah (Steel and Torrie, 1981):
= + +
Keterangan :
= nilai pengamatan satuan percobaan dari individu ke-j yang mendapat perlakuan ke-i
μ = rataan umum = perlakuan ke-i
= pengaruh galat hasil percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
3.2 Pemeliharaan Ikan
3.2.1 Persiapan Wadah Pemeliharaan
Wadah pemeliharaan yang digunakan merupakan sebuah rangkaian sistem
resirkulasi dengan akuarium pemeliharaan berjumlah 12 buah akuarium ukuran
30x30x40 cm. Pengaturan ketinggian air untuk setiap akuarium dilakukan dengan
sistem overflow sederhana, sistem ini akan otomatis mengeluarkan kelebihan air di
dalam akuarium ketika mengalami kelebihan air. Air dari akuarium pemeliharaan
akan diolah dengan menggunakan rangkaian filter yang telah ditempatkan sebagai
unit pengelolaan air. Filter yang digunakan dalam wadah pemeliharaan terdiri dari
tiga jenis filter yang berbeda. Bahan filter yang digunakan adalah karang jahe, zeolit
dan karbon aktif. Selain itu juga terdapatbioballyang berfungsi sebagai tempat hidup
bakteri di dalam sistem. Skema proses yang berlangsung di dalam wadah
pemeliharaan sistem resirkulasi yang digunakan serta aliran air dalam proses
Gambar 3. Skema proses aliran air di dalam wadah sistem resirkulasi pemeliharaan ikan maanvisPterophyllum scalare.
Persiapan wadah pemeliharaan ikan dalam budidaya sistem resirkulasi di
diawali dengan mencuci wadah akuarium dengan air tawar dan selanjutnya
disterilisasi dengan garam krosok serta biru metilena untuk menghilangkan sisa
patogen. Setelah pencucian wadah akuarium selesai bahan filter berupa karang jahe,
zeolit, karbon aktif, dan bioball beserta wadahnya dicuci dengan air tawar dan
dilakukan penjemuran selama 1 hari. Selanjutnya wadah akuarium, dan filter disusun
agar dapat menjalankan proses resirkulasi dengan baik. Proses pengujian sistem
resirkulasi yang telah disusun dilakukan dengan menjalankan sistem resirkulasi
tampa memasukan ikan uji selama sekitar 24 jam, dan mematikan aliran air dari Tandon volume 100 L
dengan pompa berkapasitas 1400 liter/jam
12 akuarium (30x30x40cm) volum 20 liter dan dilengkapi
pompa setiap satu jam sekali selama 12 jam. Proses pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui kinerja sistem resirkulasi.
3.2.2 Penebaran Benih
Ikan maanvis yang digunakan memiliki ukuran panjang standar 15,025±1,10
mm. Ikan maanvis diadaptasikan terlebih dahulu selama 2 hari pada wadah berupa
bak fiberdengan ukuran 2x1x0,3 m dengan menyesuaikan kondisi kualitas air wadah
adaptasi dengan kondisi kualitas air wadah pemeliharaan. Padat penebaran yang
digunakan adalah 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter. Setiap perlakuan dilakukan ulangan
sebanyak tiga kali. Sebelum ikan uji ditebar di dalam sistem resirkulasi dilakukan
pengambilan contoh bobot dan panjang sebanyak 10 ekor dari populasi untuk
mengetahui ukuran awal penebaran. Perhitungan bobot digunakan timbangan digital
(ketelitian 0,01 gram) sedangkan panjang menggunakan jangka sorong (ketelitian
0,05 mm). Panjang ikan dihitung berdasarkan panjang standar, mulai dari ujung
mulut hingga pangkal ekor.
3.2.3 Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan berupa cacing sutera (Tubifex sp.) yang berasal dari
pengumpul di Dramaga-Bogor dengan harga Rp. 5.000,00/takar. Cacing tersebut
dibilas dengan air tawar selama satu malam dengan cara mengalirkan dari tandon
khusus yang disiapkan untuk cacing. Pakan diberikan sebanyak tiga kali sehari secara
sekenyangnya (at satiation) namun diukur jumlah pakan yang dihabiskan tiap
wadahnya. Pemberian pakan dilakukan setelah dilakukan penyifonan untuk
membuang kotoran dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan, pakan diberikan
pada pukul 08.00, 12.00, dan 17.00 WIB.
3.2.4 Pengelolaan Air
Pergantian air secara total tidak pernah dilakukan selama masa pemeliharaan
ikan uji, hanya penambahan air yang berkurang akibat penyifonan. Jumlah air yang
ditambah tiap 10 harinya sebagai pengganti air yang hilang adalah 5% dari volume
total sistem resirkulasi. Penyifonan terhadap kotoran dan sisa pakan dilakukan setiap
yang hilang dari penyifonan berasal dari tandon yang sudah diadaptasikan sekitar 2
hari dan bertujuan agar kondisi fisika-kimia air tidak terlalu berbeda pada saat
dilakukan pergantian air. Kondisi kualitas air pada tandon air sebelum digunakan
untuk pemeliharaan tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter kualitas air pada tandon air pemeliharaan ikan maanvis Pterophyllum scalare
Parameter Satuan Nilai
Suhu 0C 28-29
Derajat Keasaman (pH) unit 8,1
Kelarutan Oksigen mg O2/liter 7,5
Amoniak mg NH3/liter 0,001
Alkalinitas mg CaCO3/liter 61,45
3.3 Pengambilan Contoh dan Pengamatan
Selama pemeliharaan ikan maanvis diamati pertumbuhan dan kelangsungan
hidupnya setiap 10 hari. Sebelum melakukan pengambilan contoh dilakukan
pemuasaan selama satu hari, agar pada saat dilakukan penghitungan tidak terlalu stres
dan mudah ditangkap. Pengamatan terhadap biota dilakukan selama 40 hari. Ikan
yang mati selama masa pemeliharaan tidak diganti untuk mempertahankan kepadatan
kemudian dicatat bobot dan panjangnya. Jumlah ikan yang dijadikan contoh tiap
wadah adalah sebanyak 10 ekor yang dipilih dengan acak. Pengambilan ikan di dalam
wadah pemeliharaan dilakukan pada pagi hari pada pukul 06.00-09.00 WIB,
pengambilan ikan pada pagi hari dilakukan agar ikan tidak mudah stres, dan tidak
mengakibatkan penurunan kondisi fisiologis ikan pada saat pengambilan contoh. Alat
yang digunakan untuk mengambil ikan adalah serokan dengan bahan yang halus,
setelah ikan diambil selanjutnya ikan yang telah ditangkap ditaruh di dalam ember
yang diberi aerasi untuk selanjutnya dilakukan pengamatan.
3.3.1. Parameter Produksi
Kegiatan produksi dalam akuakultur merupakan sebuah proses untuk
menghasilkan produk (ikan) yang siap untuk dijual atau dikomsumsi, tujuan dari
kegiatan produksi adalah untuk menghasilkan keuntungan ekonomi dari biaya yang
akuakultur dipengaruhi oleh jumlah ikan yang ditebar, padat penebaran yang
digunakan, sistem budidaya yang digunakan, dan derajat kelangsungan hidup ikan
tersebut. Selain itu, pertumbuhan ikan yang dipelihara akan menjadi faktor yang
menentukan lama kegiatan produksi berlangsung. Proses produksi ikan dengan
pertumbuhan yang lambat akan menghasilkan masa produksi yang lebih lama dan
akan mengurangi keuntungan yang diperoleh pertahunnya. Parameter produksi yang
diamati meliputi kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang mutlak, laju
pertumbuhan spesifik, koefisien keragaman, dan efisiensi pakan
3.3.1.1 Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup ikan (survival rate) dihitung dengan
menggunakan rumus Zonneveldet al. (1991):
=
0× 100% Keterangan : = Kelangsungan hidup (%)
= Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (ekor) 0 = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)
3.3.1.2 Pertumbuhan Panjang Mutlak
Pertumbuhan panjang yang diukur menggunakan perubahan pada panjang
standar ikan maanvis. Panjang standar tersebut diukur mulai dari ujung mulut hingga
pangkal sirip ekor. Pertumbuhan panjang mutlak dihitung dengan menggunakan
rumus dari Effendie (1979):
Pm= Ĺt–Ĺ0
Keterangan : Pm = Pertumbuhan panjang mutlak (cm) Ĺt = Panjang rata-rata akhir (cm) Ĺ0 = Panjang rata-rata awal (cm)
3.3.1.3Laju Pertumbuhan Spesifik (α)
Laju pertumbuhan spesifik (spesific growth rate) dihitung dengan rumus
Zonneveldet al.(1991):
(%) =
Keterangan : = Laju pertumbuhan spesifik (%)
= Bobot rata-rata ikan pada akhir pemeliharaan (gram) 0 = Bobot rata-rata ikan pada awal pemeliharaan (gram) t = Waktu (hari)
3.3.1.4 Koefisien Keragaman Panjang
Variasi ukuran dalam penelitian ini berupa variasi ukuran panjang ikan, yang
dinyatakan dalam koefisien keragaman. Keragaman nilai ini merupakan persentase
dari simpangan baku panjang ikan contoh terhadap nilai tengahnya. Koefisien
keragaman dihitung berdasarkan dengan rumus Steel dan Torrie (1992):
=
Ý× 100% Keterangan : KK = Koefisien keragaman
= Simpangan baku Ý = Rata-rata contoh
3.3.1.5 Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan merupakan persentase jumlah pakan yang dapat dimanfaat
oleh ikan untuk menjadi biomassa tubuh. Pada penelitian ini perhitungan efisiensi
pakan menggunakan rumus menurut Zonneveldet al. (1991):
= ( + ) − 0× 100%
Keterangan : EP = Efisiensi pakan (%) Wt = Biomassa ikan akhir (g) Wo = Biomassa ikan awal (g) Wd = Biomassa ikan mati (g)
F = Jumlah pakan yang diberikan (g)
3.3.2 Parameter Kualitas Air
Parameter kualitas air diukur setiap 10 hari sekali. Parameter yang diukur
adalah suhu (0C), derajat keasaman (pH), kadar oksigen terlarut (mg O2/liter)
alkalinitas (mg CaCO3/liter) dan amoniak (mg NH3/liter). Parameter kualitas air
tersebut diukur untuk setiap perlakuan dengan ulangan sebanyak tiga kali tiap
3.3.3 Parameter Kualitas Ikan Maanvis
Kualitas ikan maanvis diukur berdasarkan bentuk tubuh dan kondisi sirip
ikan. Pengamatan kualitas ikan diamati pada akhir penelitian dengan cara mengambil
contoh ikan sebanyak 10 ekor ikan per wadah pemeliharaan untuk diamati dan
selanjutnya dilakukan rataan untuk tiap perlakuan.
3.3.3.1 Bentuk Tubuh Ikan
Kualitas bentuk tubuh ikan manvis ditentukan dengan perbandingan tinggi
tubuh (TB) ikan maanvis yang diukur dari awal sirip punggung hingga awal sirip
perut dengan panjang standar (PS) tubuh ikan yang diukur dari ujung mulut hingga
pangkal ekor ikan. Semakin mendekati bentuk tubuh seperti cakram mengindikasi
semakin baiknya kualitas ikan maanvis yang diproduksi. Bentuk tubuh ikan yang
menyerupai cakram dicapai jika rasio perbandingan TB dengan PS mendekati nilai
satu. Penentuan kualitas ini berdasarkan oleh keindahan tubuh ikan maanvis yang
tercapai ketika bentuk tubuhnya seperti cakram. Bentuk tubuh cakram dicapai ketika
ukuran tinggi tubuh mendekati ukuran panjang standar tubuh ikan maanvis. Cara
penghitungan kualitas bentuk tubuh ikan ini dihitung dengan rumus:
=
Keterangan : Rasio Tubuh = Nilai rasio tinggi badan dengan panjang standar TB = Tinggi badan tubuh ikan maanvis (mm)
PS = Panjang standar tubuh ikan maavis (mm)
3.3.3.2 Sirip
Sirip ikan maanvis yang menjadi dasar untuk menentukan kualitasnya adalah
sirip perut, sirip punggung dan sirip ekor. Penentuan kualitas ikan maanvis dengan
berdasarkan kondisi sirip dilakukan dengan cara mengamati tiga sirip utama sebagai
pengamatan, yaitu pada sirip perut, punggung dan ekor. Pengamatan terhadap sirip ini
dilakukan dengan mengamati apakah sirip ikan maanvis berada dalam keadaan bagus
dan tidak rusak ataupun cacat. Bagaimana kondisi sirip yang berkualitas dan sirip
Tabel 2. Penentuan kondisi sirip ikan maanvisPterophyllum scalare
Sirip Pengamatan Kondisi Bagus Kondisi Buruk
Sirip Punggung tegak lurus bengkok
terpotong robek
Sirip Perut lurus dan panjang pendek
robek
Penentuan kualitas ikan maanvis berdasarkan kondisi sirip dihitung dengan
cara melakukan persentase kerusakan sirip pada ikan maanvis. Persentase kerusakan
ini dihitung dengan penilaian terhadap sirip ikan maanvis, dimana jika sirip
pengamatan berada dalam kondisi bagus dinilai berada dalam keadaan 100 %
sedangkan jika sirip pengamatan mengalami kerusakan maka akan dinilai 0%. Nilai
kualitas sirip dihitung berdasarkan persentase rata-rata kualitas 3 sirip pengamatan.
Nilai persentase kualitas sirip yang semakin tinggi menunjukkan kualitas yang
semakin bagus. Cara penghitungan kondisi sirip pada ikan contoh dihitung dengan
rumus:
(%) =( + + )
3
Keterangan : Kualitas sirip(%) = Persentase kondisi sirip ikan contoh
SPr = Sirip perut ikan maanvis (%)
SPg = Sirip punggung ikan maanvis (%)
SE = Sirip ekor ikan maanvis (%)
3.4 Parameter Efisiensi Produksi
Pengukuran efisiensi produksi dalam penerapan sistem resirkulasi untuk
produksi ikan maanvis dihitung dengan cara membandingkan rasio R/C antar
perlakuan padat penebaran. Rasio R/C dihitung dari analisis usaha tiap perlakuan.
yang diperoleh dalam penelitian dan asumsi yang telah ditetapkan. Asumsi yang
digunakan dalam analisis usaha tersebut adalah sebagai berikut.
1. Analisa kelayakan usaha disusun untuk rentang waktu satu tahun.
2. Harga faktor produksi dianggap tetap selama produksi dan berdasarkan harga
pada saat penelitian berlangsung November 2011.
3. Produksi dilakukan pada satu unit resirkulasi (Lampiran 1) 20 akuarium
dengan volume tiap akuarium 75 liter. Total volume air untuk pemeliharaan
adalah 1.5 m3dengan padat penebaran sebagai berikut:
a. Padat penebaran 1 ekor/liter jumlah benih 1.500 ekor
b. Padat penebaran 2 ekor/liter jumlah benih 3.000 ekor
c. Padat penebaran 3 ekor/liter jumlah benih 4.500 ekor
d. Padat penebaran 4 ekor/liter jumlah benih 6.000 ekor
4. Siklus produksi berlangsung selama 35 hari dengan 30 hari produksi dan 5
hari persiapan produksi, sehingga dalam satu tahun dapat dilakukan 10 kali
masa produksi.
5. Biaya investasi dan persentase penyusutan perlengkapan produksi sesuai
Lampiran 9.
6. Biaya tetap dihitung sesuai dengan Lampiran 10 dan dianggap sama untuk
semua perlakuan padat penebaran
7. Biaya variabel dijelaskan pada Lampiran 11.
8. Total biaya produksi dijelaskan pada Lampiran 12.
9. Harga ikan yang diproduksi dihitung berdasarkan ukuran yang dijual oleh
pelaku usaha ikan maanvis (Lampiran 13).
10. Pendapatan untuk tiap perlakuan dijelaskan pada Lampiran 14
11. Jumlah ikan yang diproduksi adalah jumlah benih awal dikalikan derajat
kelangsungan hidup minimum pada penelitian (Lampiran 3).
12. Ukuran ikan yang diproduksi berdasarkan ukuran panen tiap perlakuan pada
akhir pemeliharaan (Lampiran 5).
13. Biaya pengemasan dihitung sebagai biaya variabel dengan ketentuan sesuai
Rasio R/C merupakan perbandingan antara penerimaan (revenue, R) dengan
total biaya produksi (cost, C) yang dikeluarkan dalam proses produksi. Rasio R/C
dapat menggambarkan efesiensi ekonomi karena nilainya menjelaskan jumlah
pendapatan yang diterima dari biaya yang dikeluarkan untuk melakukan proses
produksi. Rasio R/C tersebut dapat dihitung dengan rumus menurut Rahardi et al.
(1998):
=
Pendapatan dihitung berdasarkan jumlah ikan yang diproduksi dan dinilai
harga jualnya berdasarkan ukuran panen yang dihasilkan. Sedangkan total biaya
produksi merupakan jumlah seluruh biaya yang digunakan dalam menjalankan
kegiatan produksi (biaya tetap dan biaya variabel).
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan
program Ms. Office Excel 2007 dan SAS 9.0 yaitu meliputi analisis ragam dengan uji
F pada selang kepercayaan 95%. Analisis deskripsi, digunakan untuk menjelaskan
parameter produksi dan kelayakan media pemeliharaan bagi kehidupan benih ikan
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Selama masa pemeliharaan ikan maanvis dalam sistem resirkulasi terjadi serangan penyakit atau infeksiSaprolegniasispada hari ke-30 pemeliharan hingga masa akhir pemeliharaan. Penyakit tersebut disebabkan oleh Saprolegnia yang merupakan salah satu genus jamur air yang biasa menyerang ikan. Gejala yang terjadi diamati pada ikan yang terlihat sakit dan tidak normal pada wadah pemeliharaan. Hasil pengamatan tersebut diuraikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Gejala serangan penyakit selama masa pemeliharaan ikan maanvis
Pterophyllum scalare di dalam wadah sistem resirkulasi akuakultur pada ikan yang sakit.
Bagian Tubuh Gejala GejalaSaprolegniasp.
(Scheleser, 2010)
Mata Normal
Mulut Normal
Jaringan insang Terdapat bercak putih dan jaringan yang mati
Terdapat lapisan atau gumpalan seperti kapas
Sirip Tergerus dan terdapat
gumpalan putih
Muncul lapisan seperti kapas pada sirip
Permukaan tubuh ikan
Licin, memucat dan
terdapat gumpalan seperti
Parameter produksi merupakan parameter pengamatan yang terkait langsung dalam proses menghasilkan produksi ikan. Parameter tersebut antara lain adalah tingkat kelangsungan hidup (SR), pertumbuhan panjang mutlak, laju pertumbuhan spesifik (SGR), koefisien keragaman dan efisiensi pakan
4.1.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
93,33
95,00
y = -3,605x3+ 27,18x2- 61,31x + 136,0
R² = 1 91
93 95 97
0 1 2 3 4 5
T
in
g
k
a
t
K
e
la
n
su
n
g
a
n
(
%
)
1,96
y = 0,261x3- 2,03x2+ 4,658x - 0,81
R² = 1 0
0,5 1 1,5 2
0 1 2 3 4 5
K
o
ef
is
ie
n
K
e
ra
g
a
m
a
Parameter Padat penebaran (ekor/liter)
1 2 3 4
Kelangsungan Hidup (%) 98,33±2,89a 93,33±1,44b 99,43±0.98aa 95±0,00bb
Pertumbuhan Panjang Mutlak (mm) 29,12±0,06a 26,79±0,26b 26,16±0.27cc 2,83±0,09c
Laju Pertumbuhan Spesifik (%) 8,83±0,07a 8,55±0,05bb 8,43±0.06bc 8,34±0,11c
Koefisien Keragaman Panjang (%) 2,08±0,09a 2,48±0,41a 1,96±0.34a 2,09±0,93a
Efisiensi Pakan (%) 56,10±1,60aa 50,55±4,23ab 30,83±1.99c 48,10±2,47b
30,83
48,10
y = 8,526x3- 58,24x2+ 109,5x - 3,68
R² = 1 25
30 35 40 45 50
0 1 2 3 4 5
E
fi
si
e
n
si
P
a
k
a
n
(
%
45 47 49 51 53 55 57
0 10 20 30 40 50
A
lk
a
li
n
it
a
s
(m
g
C
a
CO
Hari
ke-1 ekor/l
2 ekor/l
3 ekor/l
Kualitas Sirip % 97 93 90 87
0,87
1,20
1,34
1,74
0,5 1 1,5 2
0 1 2 3 4 5
R
a
si
o
R
/C
4.2 Pembahasan 4.2.1 Aspek Produksi
Penelitian padat penebaran ikan maanvis dengan menggunakan wadah resirkulasi merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2009) yang menggunakan sistem pergantian air sebanyak 2/3 setiap harinya dengan menggunakan padat penebaran 1, 2, dan 3 ekor/liter. Penelitian ini diarahkan untuk menguji apakah dengan menggunakan wadah resirkulasi dapat meningkatkan nilai efisiensi produksi pada produksi ikan hias maanvis. Sistem resirkulasi digunakan untuk dapat meningkatkan produksi agar dapat menghasilkan keuntungan yang lebih baik daripada metode budidaya dengan cara konvensional atau pergantian air.
Nilai kelangsungan hidup benih ikan maanvis pada akhir penelitian berkisar 93,33±1,44% hingga 99,43±0,98%. Hasil analisis ragam padat penebaran memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (Lampiran 3). Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan maanvis pada budidaya sistem resirkulasi ini lebih baik dibanding dengan wadah pemeliharaan dengan pergantian air. Setiawan (2009) menyatakan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan maanvis berkisar antara 75-100%. Kematian ikan selama pemeliharaan terjadi setelah ikan dipelihara 30 hari (Lampiran 3). Kematian ini disebabkan serangan penyakit Saprolegniasis. Penyakit saprolegniasis disebabkan oleh infeksi oleh jamursaprolegniasp. yang menyerang pada hari ke-30 hingga ke-40, penyebab penyakit ini muncul adalah kondisi suhu dan cuaca yang buruk pada masa pemeliharaan hari ke-15 hingga hari ke-26. Suhu pada hari ke-20 berada pada 270C dan suhu tandon yang digunakan untuk menambah air mencapai 240C. Kondisi ini diduga menjadi penyebab serangan penyakit Saprolegniasis. Blyet al.
didapat pada penelitian ini merupakan sebuah anomali data, karena seharusnya derajat kelangsungan hidup akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya padat penebaran. Anomali ini disebabkan oleh serangan saprolegniasis yang dialami oleh ikan yang dipelihara. Selain itu, stres pada ikan diduga menjadi salah satu penyebab kematian ikan.
Udomkusonsri (2004) mengatakan perubahan lingkungan fisik (misalnya, pH air, suhu, salinitas), interaksi hewan (misalnya, kompetisi untuk makanan, ruang dan pasangan seksual), polusi air (misalnya, bahan kimia organik dan logam berat) dan praktik akuakultur (misalnya, penanganan, transportasi dan kepadatan) dapat menyebabkan stres pada ikan. Respons stres adalah respons adaptif yang meningkatkan kesempatan untuk bertahan hidup dalam situasi yang mengancam. Dengan demikian, stres belum tentu membahayakan organisme. Namun jika stres cukup parah atau terus menerus dan berkepanjangan dapat mengakibatkan kerusakan parah pada pertumbuhan, kapasitas reproduksi atau sistem pertahanan kekebalan tubuh. Derajat kelangsungan mempengaruhi jumlah ikan yang dapat dihasilkan dalam proses produksi dan menjadi salah satu faktor yang menentukan besarnya pendapatan dalam analisa usaha.
Selama pemeliharaan nilai laju pertumbuhan spesifik dan pertambahan panjang mutlak semakin menurun seiring peningkatan padat penebaran setiap perlakuannya (Gambar 4, Gambar 5, dan Tabel 4). Hal yang sama juga diperoleh oleh penelitian Sarah (2002), Bugri (2006), Hidayat (2007), dan Setiawan (2009). Penurunan laju pertumbuhan ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang sudah tidak dapat mendukung untuk pertumbuhan benih ikan maanvis, kondisi stres yang dialami dan nutrisi. Parameter kualitas air selama pemeliharaan mengalami penurunan seiring semakin lama pemeliharaan dan peningkatan padat penebaran. Penurunan ini dapat dilihat dari nilai kualitas air seperti oksigen terlarut (Gambar 11), derajat keasaman (Gambar 10), kadar amoniak (Gambar 12), dan alkalinitas (Gambar 13) yang semakin menurun. Serangan penyakit
dukung (carryng capacity) akibat peningkatan padat penebaran. Wedemeyer (1996) menyatakan peningkatan padat penebaran akan mengakibatkan mengganggu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak. Akibatnya kondisi kesehatan dan fisiologis ikan menurun dan akan muncul masalah penurunan efisiensi pakan, pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup. Ukuran panjang dan pertumbuhan ikan pada kegiatan produksi akan menentukan berapa besar keuntungan yang akan diterima (Lampiran 13). Hal ini disebabkan harga ikan hias dinilai berdasarkan ukuran panjang sehingga semakin panjang dan cepat pertumbuhan ikan yang kita produksi, maka keuntungan akan semakin meningkat.
Nilai koefisien keragaman panjang menunjukkan seberapa besar variasi ukuran panjang ikan dalam pemeliharaan. Maruto (2008) menyatakan bahwa keragaman ukuran ikan dalam suatu populasi akan mempengaruhi kompetisi terhadap makanan dalam wadah pemeliharaan. Nilai koefisien keragaman yang didapat pada akhir penelitian ini berkisar antara 1,96-2,48% dan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan sistem resirkulasi dapat menekan koefisien keragaman. Setiawan (2009) hanya mampu menekan nilai koefisien keragaman hingga 7,63% pada pendederan ikan maanvis dengan metode pergantian air. Koefisien keragaman akan mempengaruhi jumlah ouputproduksi karena dalam penjualan ikan nantinya pembeli akan selektif terhadap ukuran ikan.
penebaran 3 ekor/liter kondisi stres membuat ikan banyak mengkomsumsi pakan namun sering memuntahkan pakan, inilah yang menjadi penyebab menurunnya nilai efisiensi pakan pada perlakuan 3 ekor/liter. Nilai efisiensi pakan akan mempengaruhi jumlah pakan yang dibutuhkan dalam proses produksi karena menurut Effendi (2004) pakan merupakan komponen biaya produksi utama dalam budidaya ikan.
4.2.2 Aspek Kualitas Air
Parameter kualitas air selama pemeliharaan selalu dijaga dengan baik, kondisi tersebut dipertahankan dengan menggunakan rangkaian filter di dalam sistem resirkulasi. Kisaran parameter suhu air selama penelitian adalah 27-29 0C (Gambar10). Menurut Perez et al.(2003) suhu terbaik untuk ikan maanvis juvenil maupun indukan adalah berkisar antara 29-31,10C yang menunjang pertumbuhan dengan baik, namun suhu wadah selama pemeliharaan masih berada dalam kisaran optimum karena sesuai dengan pernyataan Frey (1961) dan Axelrod (1993). Suhu air juga berada dalam rentang optimum untuk pertumbuhan bakteri nitrifikasi di dalam filter yang sesuai dengan pernyataan Fdz-Polanco et al.
(1994). Meskipun selama pemeliharaan parameter suhu air sesuai dengan kisaran optimum ikan maanvis dan pertumbuhan bakteri ikan yang dipelihara tetap terkena serangan penyakit Saprolegniasis yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. Penyebab serangan ini adalah kondisi suhu air yang menurun pada hari ke-20 dan cuaca buruk pada hari ke-15 hingga 26 selama masa pemeliharaan. Noga (1993) mengatakan bahwa penyebab serangan saprolegniasis pada umumnya adalah kondisi suhu rendah, dan penurunan suhu.
oksigen. Menurut Stenstrom dan Poduska (1979) proses nitrifikasi akan mencapai nilai maksimum pada kadar DO di atas 4,0 ppm. Axelrod (1993) menyatakan bahwa ikan maanvis membutuhkan kadar DO >4 mg/liter untuk tumbuh dengan baik. Hasil ini menunjukkan bahwa pemeliharaan ikan maanvis di dalam sistem resirkulasi masih dapat ditingkatkan padat penebarannya tampa melewati daya dukung wadah dan masih mampu untuk menyediakan oksigen terlarut untuk menunjang proses nitrifikasi yang berlangsung di dalam sistem resirkulasi.
Alkalinitas selama masa pemeliharaan berkisar pada kisaran 45,75-59,55 mg CaCO3/liter. Menurut Boyd (1979) nilai ini termasuk pada golongan hard waters dan lebih produktif dibandingkan dengan air yang alkalinitasnya rendah atau soft waters. Produktivitas yang dihasilkan berhubungan dengan kadar fosfor dan elemen esensial lainnya yang meningkat seiring dengan meningkatnya kadar alkalinitas. Kadar amoniak yang terukur selama pemeliharaan berkisar antara 0,0011 hingga 0,0023 mg NH3/liter. Nilai kadar amoniak meningkat seiring dengan peningkatan padat penebaran dan lama pemeliharaan. Peningkatan ini disebabkan oleh akumulasi buangan nitrogen yang semakin bertambah dengan bertambahnya biomassa dan waktu. Nilai amoniak yang diperoleh menunjukkan bahwa sistem resirkulasi yang digunakan berhasil menekan peningkatan kadar amoniak seiring berjalannya waktu dan tumbuhnya ikan. Rendahnya nilai amoniak ini menjelaskan mengapa sistem resirkulasi mampu mempertahankan daya dukung wadah sehingga nilai parameter teknis produksi yang diperoleh jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Setiawan (2009).
Filtrasi yang kedua adalah filtrasi kimia. Zeolit dan karbon aktif berperan sebagai filter kimia dalam sistem resirkulasi. Fungsi dari kedua bahan filter ini adalah untuk membersihkan buangan metabolit ikan berupa limbah nitrogen. Gaspard et al. (1983) menyatakan bahwa zeolit bekerja dengan cara pergantian ion antara zeolit dengan ion tertentu yang ada di air buangan. Persamaan kimia pergantian ion oleh zeolit adalah sebagai berikut:
ZNa++ NH4+ ZNH4+ + Na+
Bower dan Turner (1982) juga mengatakan bahwa penggunaan clinoptilolite
(zeolit) pada plastik tertutup untuk kebutuhan tranportasi ikan hidup efektif dalam mengurangi amoniak. Menurut Spotte (1979) karbon aktif bekerja sebagai filter kimia dengan melakukan proses penyerapan terhadap bahan buangan yang ada di dalam air.
Filter terakhir yang bekerja di dalam sistem resirkulasi adalah filter biologis. Bakteri nitrifikasi yang hidup di air pemeliharaan maupun yang menempel pada filter dan bioball berperan sebagai filter biologis pengurai buangan nitrogen ikan. Menurut Spotte (1979) bakteri yang berperan dalam nitrifikasi adalah Nitrosomonas sp. yang mengubah amoniak ikan menjadi nitrit dan Nitrobacter sp. yang mengubah nitrit menjadi nitrat. Parameter kualitas air seperti suhu, kadar oksigen terlarut dan pH yang berada pada rentang optimum bagi proses nitrifikasi membuat proses nitrifikasi di dalam sistem resirkulasi bekerja dengan optimum. Luasan bahan tempelan bakteri pada filter dan bioball
yang digunakan juga menunjang berjalannya proses nitrifikasi dengan baik. Menurut De Silva (2000) karbon aktif sebanyak 1 gram dapat mempunyai luas permukaan hingga 1000 meter perseginya (1000 m/g). Proses filtrasi yang berkerca dengan optimum membuat kadar amoniak di dalam sistem dapat ditekan sampai kadar yang tidak berbahaya.
4.2.3 Aspek Kualitas Ikan Maanvis
Kualitas ikan maanvis dalam penelitian ini diukur dari dua parameter yaitu bentuk tubuh dan kualitas sirip. Pengukuran bentuk tubuh ikan maanvis berdasarkan rasio antara tinggi badan tubuh (TB) dengan panjang standar (PS). pada akhir pemeliharaan memberikan hasil terbaik rasio TB/PS adalah pada perlakuan padat tebar 1 ekor/liter dengan nilai 0,93. Nilai perbandingan ini semakin menurun seiring peningkatan padat penebaran. Berdasarkan hasil rasio TB/PS maka diketahui padat penebaran yang berpenaruh terhadap nilai rasio tersebut. Penurunan rasio ini disebabkan oleh kondisi ruang gerak yang semakin sempit seiring dengan peningkatan padat penebaran dan pertumbuhan ikan. Kondisi stres pada ikan diduga juga menjadi penyebab ikan tidak tumbuh dengan performa optimum dari segi kualitas.
Kualitas sirip ikan semakin menurun seiring dengan peningkatan padat penebaran. Kualitas sirip terbaik tercapai pada perlakuan padat tebar 1 ekor/liter dengan nilai kualitas sirip 97% (Gambar 15). Nilai persentase kualitas sirip semakin menurun dengan meningkatnya padat penebaran. Kerusakan pada sirip disebabkan oleh perilaku ikan yang saling menggigit satu sama lain karena sifat ikan maanvis yang teritorial. Sifat teritorial ini membuat ikan melindungi wilayahnya dari ikan lain. Ruang gerak ikan semakin sempit dengan meningkatnya padat penebaran dan pertumbuhan ikan membuat kemunkinan terjadinya luka semakin meningkat. Penurunan kualitas air seiring peningkatan padat penebaran juga memicu penurunan kualitas sirip. Kualitas air yang menurun akan meningkatkan kemungkinan serangansaprolegniasispada bagian tubuh ikan yang luka. Georgeet al.(1998) melaporkan bahwa serangansaprolegniasissering terjadi pada permukaan kulit dan biasanya tidak menyerang hingga ke dalam otot.
4.2.4 Aspek Efisiensi Produksi
Rasio R/C analisis kelayakan usaha terbaik didapat pada perlakuan padat penebaran 4 ekor/liter, dengan nilai 1,74 (Gambar 16). Nilai ini berarti dengan mengeluarkan Rp. 1,- pada proses produksi (biaya total produksi) dapat menghasilkan Rp. 1,74 pada penerimaan. Nilai ini juga menunjukkan secara efisiensi ekonomi perlakuan padat penebaran yang terbaik adalah perlakuan 4 ekor/liter (Lampiran 14, dan Lampiran 15). Efisiensi produksi dalam produksi ikan maanvis menggunakan budidaya sistem resirkulasi masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan padat penebaran. Peningkatan padat penebaran masih dapat dilakukan mengingat daya dukung wadah yang masih menunjang jika dilihat dari paramater kualitas air yang masih berada pada kisaran optimum bagi pemeliharaan ikan dan proses nitrifikasi di dalam wadah resirkulasi. Permasalahan dengan terjadinya serangan saprolegniasis dapat diatasi dengan meningkatkan
biosecurityserta menjaga kondisi suhu tetap konstan selama pemeliharaan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Nilai produksi terbaik ikan maanvis yang dipelihara di dalam sistem resirkulasi diperoleh pada perlakuan padat tebar 4 ekor/liter yang memiliki efesiensi produksi terbaik dengan nilai rasio R/C 1,74.
5.2 Saran
budidaya sistem resirkulasi melalui peningkatan padat tebar. Dibimbing oleh
IRZAL EFFENDIdanHARTON ARFAH.
Ikan maanvis merupakan salah satu komoditas ikan hias air tawar yang memiliki peluang pasar yang bagus dan mudah dipelihara, namun pada tahap pendederannya hanya mampu diproduksi dengan padat tebar 1 ekor/liter. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan padat tebar terbaik ikan maanvis yang dipelihara dalam sistem resirkulasi dengan mengukur parameter produksi, kualitas air, kualitas ikan, dan efisiensi produksi. Padat penebaran yang digunakan adalah 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter. Ikan uji berasal dari Parung Panjang Kab. Bogor dengan panjang rata-rata 15,025±1,10 mm dan bobot rata rata 0,16±0,012 g. Ikan dipelihara selama 40 hari di dalam akuarium bervolume 20 liter yang dilengkapi sistem resirkulasi berfilter karang jahe, zeolit, dan karbon aktif. Data yang diambil selama pemeliharaan terdiri dari parameter teknis, kualitas air, dan kualitas ikan maanvis yang selanjutkan akan dikaitkan dengan efisiensi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan padat penebaran 1 ekor/liter memberikan hasil terbaik pada parameter produksi berupa derajat kelangsungan hidup sebesar 98,33±2,89%, laju pertumbuhan spesifik sebesar 8,83±0,07%, dan efisiensi pakan sebesar 56,10±1,60%. Parameter kualitas ikan terbaik juga dicapai pada padat tebar 1 ekor/liter dengan rasio tinggi badan dengan panjang standar bernilai 0,93, dan nilai kualitas sirip sebesar 97%. Parameter efisiensi produksi terbaik dicapai pada perlakuan padat penebaran 4 ekor/liter, yaitu dengan nilai rasio R/C sebesar 1,67. Kualitas air dalam sistem resirkulasi dapat dijaga pada kondisi optimum bagi pertumbuhan ikan maanvis sampai akhir penelitian tampa melakukan pergantian air secara total. Berdasarkan pertimbangan efisiensi produksi, dan tujuan usaha akuakultur, maka kegiatan pendederan ikan maanvis sebaiknya dilakukan menggunakan sistem resirkulasi dengan padat penebaran 4 ekor/liter. Pada padat penebaran tersebut usaha pendederan ikan maanvis dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk dapat mengetahui batas peningkatan padat tebar ikan maanvis pada sistem resirkulasi akuakultur, dan hubungan penurunan kualitas ikan dengan peningkatan padat penebaran.
recirculation aquaculture systems with increase stocking density. Supervised by
IRZAL EFFENDIandHARTON ARFAH.
Angelfish is one of the freshwater ornamental fish commodities that has a good market opportunity and very easy to maintain, but the production nursery stage is limited by stocking density at 1 fish/liters. This study was aim to determine the best angelfish stocking density in recirculation systems by measuring the production parameters, water quality parameters, fish quality parameter and production efficiency. Stocking density used was 1, 2, 3 and 4 fish/liters. Fish were obtained from Parung Panjang-Bogor, with an average length of 15.025 ± 1.10 mm and average weight of 0.16 ± 0.012 g. It was kept for 40 days in the 20 liter tank volume that are equipped with a recirculation system with filter reef ginger, zeolites and activated carbon. Data taken during the fish culture was in the form of technical parameters, water quality and angelfish quality which would then be associated with the production efficiency. The results showed that treatment of stocking density 1 fish/liter generated the best results in the production parameters of the survival rate of 98.33 ± 2.89%, specific growth rate of 8.83 ± 0.07% and feed efficiency of 56.10 ± 1.60%. The best fish quality parameters achieved by treatment of stocking density 1 fish/liter with the ratio between height with standard length by 0.93 and the quality of the fin of 97%. Parameters of production efficiency was best achieved in the treatment stocking density 4 fish/liters which the value of R/C ratio was 1.67. Water quality in recirculation systems could be maintained at optimum conditions for growth of angelfish to the end of research without doing total water exchange. Based on consideration of production efficiency and aquaculture business purposes, the activities of the angelfish nursery should be done using recirculation system with stocking density at 4 fish/liters for generate higher profits. Future studies are expected to be able to know the limits on the angelfish stocking density at recirculation aquaculture system and relationship quality decreased with increasing fish stocking density.
WAHYU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PENINGKATAN PRODUKSI IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare
DALAM BUDIDAYA SISTEM RESIRKULASI MELALUI
PENINGKATAN PADAT TEBAR
adalah benar merupakan karya sendiri dan belum digunakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
Judul : Peningkatan Produksi Ikan Maanvis Pterophyllum scalare
dalam Budidaya Sistem Resirkulasi melalui Peningkatan Padat Tebar
Nama : Wahyu
Nomor Pokok : C14070021
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Irzal Effendi, M.Si Ir. Harton Arfah, M.Si
NIP. 19640330 198903 1 003 NIP. 19661111 199103 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Odang Carman, MSc, NIP. 19591222 198601 1 001
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul "Peningkatan produksi ikan maanvis Pterophyllum scalare dalam budidaya sistem resirkulasi melalui peningkatan padat tebar” ini dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada September-November 2011 di Laboratorium Teknologi Produksi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Ir. Irzal Effendi, M.Si selaku Pembimbing I, dan Bapak Ir. Harton Arfah, M.Si selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan masukan dalam menyeleseaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Eddy Supryono, M.Sc selaku Dosen Penguji Tamu yang telah banyak memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini 3. Seluruh Staf Pengajar, Staf Tata Usaha dan Laboran Departemen BDP
atas bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ayahanda Alm. Masrizal S.Pd., Ibunda Aswarti A.M.Pd., kakanda Padel Purnama, kedua adikku Akbar Putra, dan Illahi Kurni yang telah memberi motivasi dan lecutan semangat selama penelitian berlangsung.
5. Damarudin, Dedi Supriadi dan Ahmad Firdaus atas bantuan yang diberikan.
6. Teman-Teman BDP 44 M. Dimas, M.F. Abdulfatah, Trian Rizky, Arief A. Hutama, Azis Kurniansyah dan Ikbal Hadi yang telah membantu dengan ikhlas selama penelitian berlangsung
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan juga semua pihak yang memerlukan informasi yang berhubungan dengan tulisan ini. Amin.
Bogor, Maret 2012
Penulis dilahirkan di Solok, Sumatera Barat, 28 Juni 1989, adalah anak kedua dari 4 bersaudara dari pasangan Masrizal S.Pd dan Ibu Aswarti A.M.Pd. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah SDN 21 Aro Talang lulus 2001, SLTPN 1 Gunung Talang lulus 2004 dan SMAN 1 Bukit Sundi lulus 2007. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama masa perkuliahan di IPB Penulis aktif dalam kegiatan pergerakan mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Perikanan, Cabang Bogor pada 2008-2010. Penulis pernah melakukan kegiatan magang di BLUPPB Karawang, Jawa Barat pada 2009, Praktik Lapang Akuakultur (PLA) Departemen Budidaya Perairan di BRBIH Depok pada tahun 2010. Tugas akhir di Institur Pertanian Bogor Penulis selesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul
DAFTAR ISI
1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Ikan MaanvisPterophyllum scalare ... 3 2.1.1 Taksonomi dan Distribusi... 3 2.1.2 Morfologi dan Anatomi... 3 2.1.3 Produksi Ikan Maanvis ... 4 2.1.4 Kualitas Ikan Maanvis ... 5 2.2 Sistem Resirkulasi... 5 2.3 Parameter Kualitas Air di Wadah Resirkulasi ... 6 2.3.1 Suhu... 7 2.3.2 Kadar Oksigen Terlarut (DO)... 7 2.3.3 Derajat Keasaman (pH) ... 7 2.3.4 Alkalinitas... 8 2.3.5 Amoniak ... 9
III. BAHAN DAN METODE... 10 3.1 Rancangan Penelitian ... 10 3.2 Pemeliharaan Ikan ... 10 3.2.1 Persiapan Wadah Pemeliharaan ... 10 3.2.2 Penebaran Benih... 12 3.2.3 Pemberian Pakan ... 12 3.2.4 Pengelolaan Air ... 12 3.3 Pengambilan Contoh dan Pengamatan... 13 3.3.1 Parameter Produksi... 13 3.3.1.1 Kelansungan Hidup ... 14 3.3.1.2 Pertumbuhan Panjang Mutlak... 14 3.3.1.3 Laju Pertumbuhan Spesifik (α)... 14
3.3.2 Parameter Kualitas Air ... 15 3.3.3 Parameter Kualitas Ikan Maanvis... 16 3.3.3.1 Bentuk Tubuh Ikan ... 16 3.3.3.2 Sirip... 16 3.4 Parameter Efisiensi Produksi ... 17 3.5 Analisis Data ... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 20 4.1 Hasil ... 20 4.1.1 Parameter Produksi... 20 4.1.1.1 Tingkat Kelansungan Hidup ... 20 4.1.1.2 Pertumbuhan Panjang Mutlak... 21 4.1.1.3 Laju Pertumbuhan Spesifik (α)... 22
4.1.1.4 Koefisien Keragaman ... 23 4.1.1.5 Efisiensi Pakan... 23 4.1.1.7 Rekapitulasi Parameter Produksi ... 24 4.1.2 Parameter Kualitas Air ... 24 4.1.2.1 Suhu ... 24 4.1.2.2 Derajat Keasaman (pH) ... 25 4.1.2.3 Kadar Oksigen Terlarut (DO) ... 26 4.1.2.4 Amoniak ... 26 4.1.2.5 Alkalinitas... 27 4.1.3 Parameter Kualitas Ikan Maanvis... 27 4.1.3.1 Bentuk Tubuh ... 27 4.1.3.2 Sirip... 28 4.1.4 Parameter Efsiensi Produksi... 29 4.2 Pembahasan... 30 4.2.1 Aspek Produksi... 30 4.2.2 Aspek Kualitas Air ... 33 4.2.3 Aspek Kualitas Ikan Maanvis... 36 4.2.4 Aspek Efisiensi Produksi... 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 38 5.1 Kesimpulan ... 38 5.2 Saran... 38
DAFTAR PUSTAKA... 39
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Parameter kualitas air pada tandon air pemeliharaan ikan maanvis
Pterophyllum scalare... 13
2. Penentuan kondisi sirip ikan maanvisPterophyllum scalare... 17
3. Gejala serangan penyakit selama masa pemeliharaan ikan maanvis
Pterophyllum scalaredi dalam wadah sistem resirkulasi akuakultur pada ikan yang sakit ... 20
4. Rekapitulasi data produksi pemeliharaan benih ikan maanvis
Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3,
dan 4 ekor/liter pada wadah sistem resirkulasi ... 24
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Fenotipe ikan maanvis Pterophyllum scalare:(a) Smokey,(b) Dark Black, (c) Marble Ghost, (d) Halfback, (e) Zebra Lace, (f) Black Clown, (g) Blue Koi, (h) Leopard, (i) Goldpearlscale (The Angelfish Society, 2007)... 4
2. Diagram manajemen pH dan solusi grafis dari persamaan tetap asam-karbon pada suhu 25oC (Allain, 1998 dalam Masser et al., 1999) ... 8
3. Skema proses aliran air di dalam wadah sistem resirkulasi
pemeliharaan ikan maanvisPterophyllum scalare... 11 4. Tingkat kelangsungan hidup (%) ikan maanvis Pterophyllum
scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter
pada wadah resirkulasi ... 21
5. Pertumbuhan panjang mutlak (mm) ikan maanvis Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter
pada wadah resirkulasi ... 22
6. Laju pertumbuhan spesifik (%) ikan maanvis Pterophyllum scalare
yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi... 22
7. Koefisien keragaman (%) ikan maanvis Pterophyllum scalareyang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi ... 23
8. Efisiensi pakan (%) ikan maanvis Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi ... 24
9. Suhu air (0C) dalam wadah pemeliharaan ikan maanvis
Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi selama 40 hari ... 25
10. Derajat keasaman (pH) dalam wadah pemeliharaan ikan maanvis
Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi selama 40 hari ... 25
12. Konsentrasi amoniak (mg NH3/liter) dalam wadah pemeliharaan ikan maanvis Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi selama 40 hari... 26
13. Alkalinitas (mg CaCO3/liter) dalam wadah pemeliharaan ikan maanvisPterophyllum scalareyang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi selama 40 hari ... 27
14. Perbandingan tinggi badan (TB) dengan panjang standar (PS) ikan maanvisPterophyllum scalareyang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi selama 40 hari ... 28
15. Kualitas sirip ikan maanvis Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter pada wadah resirkulasi selama 40 hari ... 28
16. Rasio R/C analisis kelayakan usaha pendederan ikan maanvis P. scalare yang dipelihara dengan kepadatan 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Denah bangunan sistem resirkulasi untuk pemeliharaan
Pterophyllum scalare... 43 2. Peubah yang diamati selama pemeliharaan benih ikan maanvis
Pterophyllum scalareyang dipelihara dengan padat penebaran 1, 2, 3, dan 4 ekor/l di dalam wadah resirkulasi selama 40 hari ... 44
3. Analisis statistik kelangsungan hidup (%) benih ikan maanvis
Pterophyllum scalareyang dipelihara dengan padat penebaran 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter di wadah resirkulasi selama 40 hari... 47
4. Analisis statistik laju pertumbuhan spesifik (%) benih ikan maanvis
Pterophyllum scalareyang dipelihara dengan padat penebaran 1, 2, 3, dan 4 ekor/liter di wadah resirkulasi selama 40 hari... 48
5. Analisis statistik pertumbuhan panjang mutlak (mm) benih ikan maanvis Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan padat penebaran 1, 2, 3, dan 4 ekor/l di wadah resirkulasi selama 40 hari.. 49
6. Analisis statistik pertambahan bobot tubuh (g) benih ikan maanvis
Pterophyllum scalareyang dipelihara dengan padat penebaran 1, 2, 3, dan 4 ekor/l di wadah resirkulasi selama 40 hari ... 50
7. Analisis statistik efisiensi pakan (%) benih ikan maanvis Pterophyllum scalare yang dipelihara dengan padat penebaran 1, 2, 3, dan 4 ekor/l di wadah resirkulasi selama 40 hari ... 51
8. Analisis statistik koefisien keragaman (%) benih ikan maanvis
Pterophyllum scalareyang dipelihara dengan padat penebaran 1, 2, 3, dan 4 ekor/l di wadah resirkulasi selama 40 hari ... 52
9. Biaya investasi dan penyusutan usaha pendederan ikan maanvis
Pterophylum scalaredalam budidaya sistem resirkulasi ... 53 10. Biaya tetap usaha pendederan ikan maanvis Pterophylum scalare
dalam budidaya sistem resirkulasi ... 54
11. Biaya variabel usaha pendederan ikan maanvis Pterophylum scalaredalam budidaya sistem resirkulasi... 55 12. Total biaya produksi usaha pendederan ikan maanvis Pterophylum
14. Analisis pendapatan usaha pendederan ikan maanvis Pterophylum scalaredalam budidaya sistem resirkulasi... 55 15. Analisis kelayakan usaha ikan maanvisPterophylum scalaredalam
budidaya sistem resirkulasi ... 56
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya ikan hias air tawar Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi sumber penghasil devisa bagi negara, dan sebagai penopang utama penghasilan bagi masyarakat. Kegiatan budidaya ikan hias oleh masyarakat bernilai ekonomi di pasaran lokal, dan menjadi komoditas ekspor di pasaran dunia. Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara eksportir ikan hias dunia dengan pangsa pasar sebesar 7,5 % setelah negara Singapura dan Malaysia. Tujuan ekspor ikan hias Indonesia adalah ke Asia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Suhendra (2010) menyebutkan nilai ekspor pada 2010 lebih dari $ 12 juta dan Erlangga (2012) melaporkan nilainya meningkat hingga $ 16 juta pada 2011. Nilai ekspor tersebut diprediksi menembus angka US $ 19,2 juta pada akhir 2012.
Salah satu jenis ikan hias air tawar yang memiliki peluang pasar bagus adalah ikan maanvis Pterophyllum scalare yang juga terkenal sebagai angelfish. Keunikan dari ikan ini adalah mempunyai keindahan warna dan corak tubuh yang menawan, serta memiliki sirip panjang yang sangat indah. Beberapa strain yang paling populer adalah smokey, dark black, marble ghost, halfback, zebra lace,
black clown, blue koi, leopard dan gold pearlscale. Namun Setiawan (2009) menyebutkan nilai produksi ikan maanvis pada saat ini hanya optimum pada padat penebaran 1 ekor/liter.