• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KEEFEKTIFAN EKSTRAK Annona muricata Linn. DAN

Tephrosia vogelii Hook. TERHADAP MORTALITAS

Bemisia tabaci Genn. PADA TANAMAN CABAI

BIDANG KEGIATANPKM PENE

LITIA

ELSA DWI JULIANA

Dian Fitria

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

ELSA DWI JULIANA. Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan

Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan NINA MARYANA.

Bemisia tabaci merupakan salah satu spesies kutu kebul yang dapat mengakibatkan kerusakan langsung maupun kerusakan tidak langsung pada tanaman. Kerusakan langsung mengakibatkan gejala bintik klorosis pada daun sehingga dapat mengurangi kandungan klorofil. Sementara itu, kerusakan tidak langsung berkaitan dengan peran B. tabaci sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman inang. Virus gemini merupakan salah satu virus penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan oleh B. tabaci. Untuk itu diperlukan tindakan untuk mengendalikan hama tersebut. Pengendalian hama menggunakan sumber daya hayati merupakan salah satu altenatif pengendalian karena termasuk komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang aman terhadap lingkungan. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari keefektifan ekstrak Annona muricata dan Tephrosia vogelii untuk mengendalikan B. tabaci. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua ekstrak tanaman, yaitu A. muricata dan T. vogelii dengan enam konsentrasi yaitu 1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi perkembangan serangga uji, tingkat mortalitas semakin rendah. Nimfa instar satu menunjukkan fase yang paling efektif untuk dilakukan tindakan pengendalian. Berdasarkan nilai LC50, ekstrak T. vogelii lebih efektif dalam mengendalikan nimfa instar satu, sedangkan berdasarkan nilai LC75 dan LC90

ekstrak A. muricata lebih efektif dibandingkan ekstrak T. vogelii. Ekstrak A. muricata dan T. vogelii pada konsentrasi 1% berpengaruh terhadap lama perkembangan berbagai fase B. tabaci.

(3)

ABSTRAK

ELSA DWI JULIANA. Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan

Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan NINA MARYANA.

Bemisia tabaci merupakan salah satu spesies kutu kebul yang dapat mengakibatkan kerusakan langsung maupun kerusakan tidak langsung pada tanaman. Kerusakan langsung mengakibatkan gejala bintik klorosis pada daun sehingga dapat mengurangi kandungan klorofil. Sementara itu, kerusakan tidak langsung berkaitan dengan peran B. tabaci sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman inang. Virus gemini merupakan salah satu virus penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan oleh B. tabaci. Untuk itu diperlukan tindakan untuk mengendalikan hama tersebut. Pengendalian hama menggunakan sumber daya hayati merupakan salah satu altenatif pengendalian karena termasuk komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang aman terhadap lingkungan. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari keefektifan ekstrak Annona muricata dan Tephrosia vogelii untuk mengendalikan B. tabaci. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua ekstrak tanaman, yaitu A. muricata dan T. vogelii dengan enam konsentrasi yaitu 1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi perkembangan serangga uji, tingkat mortalitas semakin rendah. Nimfa instar satu menunjukkan fase yang paling efektif untuk dilakukan tindakan pengendalian. Berdasarkan nilai LC50, ekstrak T. vogelii lebih efektif dalam mengendalikan nimfa instar satu, sedangkan berdasarkan nilai LC75 dan LC90

ekstrak A. muricata lebih efektif dibandingkan ekstrak T. vogelii. Ekstrak A. muricata dan T. vogelii pada konsentrasi 1% berpengaruh terhadap lama perkembangan berbagai fase B. tabaci.

(4)

KEEFEKTIFAN EKSTRAK Annona muricata Linn. DAN

Tephrosia vogelii Hook. TERHADAP MORTALITAS

Bemisia tabaci Genn. PADA TANAMAN CABAI

ELSA DWI JULIANA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skrips : Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan

Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai

Nama Mahasiswa : Elsa Dwi Juliana

NIM : A34080016

Disetujui,

Diketahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP 196506211989102001

Tanggal lulus:

Dosen Pembimbing 1

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP 196402041990021002

Dosen Pembimbing 2

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 Juli 1990, sebagai anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Bambang Abdullah Arifin dan Ibu Nining Sariningsih. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Cibadak. Tahun 2008 penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan dan organisasi di IPB, antara lain sebagai anggota bidang acara Asrama Putri TPB IPB tahun 2008-2009, sekretaris Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) dalam Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) tahun 2008-2009, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian sebagai sekretaris Komisi Internal (2009-2010) dan sebagai Ketua Biro Rumah Tangga (2010-2011). Selain itu, penulis juga mengikuti berbagai kepanitiaan di IPB. Tahun 2008-2009 penulis menjadi Penanggung Jawab Kelompok (PJK) dalam Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB), sekretaris Divisi LINK dalam kepanitiaan Salam ISC dan anggota divisi acara kegiatan Migratoria dan Masa Perkenalan Departemen pada tahun 2010. Tahun 2011 penulis menjadi sekretaris dalam kepanitiaan Kuliah Kerja Profesi (KKP) wilayah Tegal dan tahun 2012 penulis bergabung dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) sebagai Kakak Kelompok (KK).

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Berkehendak atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul

“Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Kutu Kebul Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai” dapat terselesaikan. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. dan Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran, dan masukan selama penelitian berlangsung hingga penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ir. Djoko Prijono, M.Agr.Sc., Herma Amalia, S.P., M.Si., Bapak Sodik, dan Bapak Saefudin atas bantuannya dalam proses penelitian. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak, dan keluarga terkasih atas doa, dukungan, kasih sayang, dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.

Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada sahabat seperjuangan; Mbak Anis, Pipit, Intan, Uun, dan Wulan, sahabat Proteksi Tanaman angkatan 45, dan rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga; Dian, Rizky, Anita, Yan, Miranti, Rini, dan Yuke atas kebersamaan, bantuan, dukungan, dan kerjasamanya selama di IPB. Tidak ada yang dapat penulis berikan kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan, doa, bantuan, bimbingan, dan pengorbanan kecuali doa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan rahmat dan balasan yang jauh lebih baik kepada semuanya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Bogor, Oktober 2012

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Bioekologi Bemisia tabaci dan Kerugian yang Ditimbulkannya .... 4

Budidaya Cabai (Capsicum annum L.) dan Nilai Ekonominya ... 5

Potensi Ekstrak Biji Sirsak (Annona muricata) sebagai Pengendali Hama ... 6

Potensi Ekstrak Kacang Babi (Tephrosia vogelii) sebagai Pengendali Hama ... 7

BAHAN DAN METODE ... 8

Tempat dan Waktu ... 8

Bahan Tanaman Sumber Ekstrak ... 8

Penanaman Cabai ... 8

Identifikasi Serangga ... 8

Pemeliharaan Serangga Uji ... 9

Ekstraksi ... 9

Pengujian Ekstrak Tanaman ... 10

Analisis Data ... 10

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

Identifikasi Kutu Kebul B. tabaci ... 11

Keefektifan Ekstrak Annona muricata ... 11

Pengaruh Mortalitas Ekstrak A. muricata terhadap B. tabaci .. 11

Pengaruh Ekstrak A. muricata terhadap Lama Perkembangan B. tabaci ... 14

Keefektifan Ekstrak Tephrosia vogelii ... 17

Pengaruh Mortalitas Ekstrak T. vogelii terhadap B. tabaci ... 17

Pengaruh Ekstrak T. vogelii terhadap Lama Perkembangan B. tabaci ... 18

KESIMPULAN DAN SARAN ... 22

Kesimpulan ... 22

(9)

vi

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ... 12 2 Penduga parameter toksisitas ekstrak A. muricata terhadap beberapa

fase B. tabaci ... 14 3 Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ... 17 4 Penduga parameter toksisitas ekstrak T. vogelii terhadap beberapa

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Eksuvium pupa B. tabaci; caudal setae (A); lingula (B); operculum

(C); vasiform orifice (D); dan caudal furrow (E) ... 11 2 Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa

instar dua (C), nimfa instar tiga (D), nimfa instar empat (E) B. tabaci

akibat perlakuan beberapa konsentrasi A. muricata ... 15 3 Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa

instar dua (C), nimfa instar tiga (D), nimfa instar empat (E) B. tabaci

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Tingkat mortalitas fase telur B. tabaci yang diberi perlakuan

beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ... 27 2 Tingkat mortalitas fase nimfa instar satu B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ... 27 3 Tingkat mortalitas fase nimfa instar dua B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ... 27 4 Tingkat mortalitas fase nimfa instar tiga B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ... 27 5 Tingkat mortalitas fase nimfa instar empat B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ... 28 6 Lama perkembangan B. tabaci yang diberi perlakuan beberapa

konsentrasi ekstrak A. muricata ... 29 7 Tingkat mortalitas fase telur B. tabaci yang diberi perlakuan

beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ... 30 8 Tingkat mortalitas fase nimfa instar satu B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ... 30 9 Tingkat mortalitas fase nimfa instar dua B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ... 30 10 Tingkat mortalitas fase nimfa instar tiga B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ... 30 11 Tingkat mortalitas fase nimfa instar empat B. tabaci yang diberi

perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ... 31 12 Lama perkembangan B. tabaci yang diberi perlakuan beberapa

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu spesies kutu kebul yang diketahui dapat menyerang lebih dari 600 spesies tanaman dari berbagai famili, seperti Compositae, Cucurbitaceae, Cruciferae, dan Solanaceae (Kalshoven 1981). Serangga ini dapat mengakibatkan kerusakan langsung maupun tidak langsung pada tanaman. Kerusakan langsung menimbulkan gejala bintik klorosis pada daun yang mengakibatkan berkurangnya kandungan klorofil. Selain itu, eksresi B. tabaci menghasilkan embun madu yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan embun jelaga sehingga proses fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sementara itu, kerusakan tidak langsung berkaitan dengan peran serangga ini sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman inangnya, salah satunya adalah tanaman cabai (Kalshoven 1981). Untuk itu diperlukan suatu tindakan pengendalian untuk mengurangi atau mencegah kerugian secara ekonomi yang dapat ditimbulkan.

Virus gemini merupakan salah satu virus penyebab penyakit kuning keriting pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan oleh B. tabaci (Sudiono

et al. 2006). Gejala pada tanaman cabai yang terserang virus ini menunjukkan daun berwarna mosaik kuning atau hijau muda mencolok, pucuk keriting diikuti dengan bentuk helaian daun menyempit atau cekung, dan tanaman menjadi lebih kerdil dibandingkan tanaman yang normal (Duriat 2009). Kerusakan yang diakibatkan oleh virus gemini ini sering lebih merugikan dibandingkan dengan kerusakan langsung yang disebabkan oleh B. tabaci itu sendiri. Penyakit yang ditimbulkan oleh virus gemini yang ditularkan oleh B. tabaci dapat menyebabkan kegagalan panen (Hidayat et al. 2004). Untuk itu, diperlukan tindakan pengendalian hama ini.

(14)

2

insektisida sintetik dilakukan tidak bijaksana, maka dapat memicu ketahanan hama terhadap insektisida tertentu yang akhirnya dapat menyebabkan populasi hama sulit untuk dapat dikendalikan.

Mengingat dampak negatif penggunaan insektisida sintetik, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan dan menerapkan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan bahan-bahan alami. Pengendalian hama dengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati seperti insektisida nabati merupakan salah satu altenatif pengendalian karena murah dan termasuk komponen PHT yang aman terhadap lingkungan. Insektisida nabati memiliki peluang yang lebih baik untuk digunakan dalam PHT, baik untuk pertanian organik maupun pertanian konvensional. Kelebihan lain dari insektisida nabati dibandingkan dengan insektisida sintetik di antaranya mudah terurai di lingkungan, umumnya cukup aman terhadap organisme bukan sasaran, dapat dipadukan dengan komponen PHT lainnya, tidak cepat menimbulkan resistensi hama bila digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, komponen-komponen ekstrak dapat bersifat sinergis, dan dapat disiapkan secara sederhana dengan menggunakan peralatan yang dimiliki petani (Prijono 2010).

Beberapa jenis tanaman yang saat ini sudah dikenal dan banyak digunakan sebagai insektisida nabati yaitu sirsak Annona muricata (Annonaceae) dan kacang babi Tephrosia vogelii (Fabaceae). Ekstrak metanol dan heksan biji sirsak mempunyai efek larvisida terhadap Chrymysomya bezziana (Diptera: Calliphoridae) yaitu sebagai racun perut dan racun kontak (Muharsini et al.

2006). Selain itu, A. muricata efektif terhadap serangga Callosobruchus masculatus (Coleoptera: Bruchidae) karena dapat mematikan hampir 100% pada konsentrasi 0.365% (Dadang dan Prijono 2008). Morallo-Rejesus (1986) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii dapat membunuh, menghambat makan, dan menolak larva Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae). Menurut Wulan (2008), fraksi heksana daun T. vogelii pada pengujian dengan metode residu pada daun dan metode kontak dapat mengakibatkan kematian, memperlambat perkembangan larva, dan menghambat makan pada larva

(15)

3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari keefektifan ekstrak

A. muricata dan T. vogelii dalam pengendalian B. tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae).

Manfaat Penelitian

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Bemisia tabaci dan Kerugian yang Ditimbulkannya

B. tabaci termasuk dalam famili Aleyrodidae, superfamili Aleyrodidea, subordo Sternorryncha, dan ordo Hemiptera. Serangga ini memiliki kisaran inang yang cukup luas. Serangga betina meletakkan telur pada jaringan tanaman inang dan telur memiliki pedicel. Nimfa yang bertungkai hanya pada instar satu yang disebut crawler. Setelah ganti kulit, nimfa akan menetap dengan tungkai tereduksi (Kalshoven 1981).

Siklus hidup B. tabaci terdiri dari fase telur, nimfa, pupa, dan imago. Telur berukuran 0.2 mm, berwarna putih dan berbentuk oval dengan tangkai pendek untuk menempel pada daun. Rata-rata jumlah telur yang diletakkan pada daun yang terserang virus adalah 77 butir, sedangkan pada daun sehat hanya 14 butir. Betina umumnya mampu menghasilkan telur sekitar 160 butir dan menetas antara 5-9 hari tergantung spesies inang, temperatur, dan kelembaban udara. Nimfa transparan dengan stadium nimfa rata-rata 9.2 hari (Ditlintan Hortikultura 2008). Bentuk pupa bulat memanjang, berwarna kuning, bagian toraks agak melebar dan cembung (Badri 1983). Tubuh imago berukuran kecil antara 1-1.5 mm, berwarna putih, dan sayapnya jernih ditutupi lapisan lilin yang bertepung (Kalshoven 1981). Serangga dewasa biasanya berkelompok pada bagian permukaan daun dan bila tanaman tersentuh biasanya akan berterbangan seperti kabut atau kebul putih. Lama siklus hidup (telur – nimfa – imago) kutu kebul pada tanaman sehat rata – rata 24.7 hari, sedangkan pada tanaman terinfeksi virus mosaik kuning hanya 21.7 hari (Ditlintan Hortikultura 2008).

B. tabaci sebagai vektor virus gemini pada beberapa tanaman hortikultura menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi. Kehilangan hasil akibat serangan

B. tabaci dan virus gemini berkisar antara 20 - 100% (Setiawati et al. 2011). Menurut laporan Direktorat Perlindungan Hortikultura (2012), total kerugian pada tanaman cabai akibat serangan virus kuning pada tahun 2007 tercatat lebih dari 20 miliyar rupiah dengan harga cabai di tingkat petani sebesar Rp 6 000/kg.

(17)

5

Budidaya Cabai (Capsicum annum L.) dan Nilai Ekonominya

Tanaman cabai merupakan tanaman sayuran dan tergolong tanaman setahun yang berbentuk perdu dari suku terung-terungan (Solanaceae). Sistematika tanaman cabai sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub Divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Ordo : Polemoniales

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : C. annum L.

Cabai merah di Indonesia merupakan komoditas sayuran yang penting dilihat dari kebutuhan maupun jumlahnya. Cabai merupakan tanaman setahun yang tegak dengan batang berkayu, banyak cabang, serta ukuran yang dapat mencapai tinggi 120 cm dan lebar tajuk tanaman hingga 90 cm. Umumnya, daun cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap, tergantung varietasnya. Daun cabai ditopang oleh tangkai daun yang mempunyai tulang menyirip. Daun cabai berbentuk bulat telur, lonjong, atau pun oval dengan ujung yang meruncing, tergantung spesies dan varietasnya (Sumarni dan Agus 2008). Secara umum cabai merah dapat ditanam di lahan basah (sawah) dan lahan kering (tegalan) dan dapat dibudidayakan di saat musim hujan dan kering. Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya akan bahan organik dengan pH 6-7, dan tekstur tanah remah (Duriat 2009).

(18)

6

Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan kemampuan adaptasi yang luas, sehingga lokasi produksinya tersebar cukup luas di Indonesia. Luas areal pertanaman cabai di Indonesia mencapai 162 000 ha dengan rata-rata produktivitas nasional 4.3 ton/ha (Zulaikha dan Gunawan 2006). Namun, produktivitas cabai di beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh serangan hama dan patogen yang menyerang tanaman cabai (Harpenas dan Dermawan 2010).

Beberapa hama yang sering menyerang dan mengakibatkan kerugian yang besar pada produksi cabai adalah ulat grayak Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), kutu kebul B. tabaci, kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae), lalat buah Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae), dan trips Thrips

sp. (Thysanoptera: Thripidae). Selain hama, terdapat beberapa penyakit pada tanaman cabai yang umumnya disebabkan oleh cendawan (Hewindati dan Yuni 2006). Kehilangan hasil dari produksi cabai karena penyakit busuk buah (Colletotrichum spp.), bercak daun (Cercospora sp.) dan cendawan tepung (Oidium sp.) berkisar antara 5-30% (Harpenas dan Dermawan 2010). Strategi pengendalian hama dan patogen penyebab penyakit pada tanaman cabai dianjurkan dengan melakukan penerapan pengendalian secara terpadu.

Potensi Ekstrak Biji Sirsak (Annona muricata) sebagai Pengendali Hama

A. muricata adalah tumbuhan berguna yang berasal dari Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Buah sirsak bukan buah sejati, ukurannya cukup besar antara 20-30 cm dengan berat mencapai 2.5 kg. Bijinya mengandung racun, dan dapat digunakan sebagai insektisida alami, sama halnya dengan biji srikaya. Buah yang besar dan menghasilkan produksi yang cukup tinggi dapat diperoleh di daerah dengan kondisi tanah yang cukup mengandung air. Pengembangbiakan tanaman sirsak yang paling baik adalah melalui okulasi dan akan menghasilkan buah pada umur empat tahun setelah ditanam (Sukarmin 2010).

(19)

7

menimbulkan kematian sel serangga. Senyawa asetogenin dari kelompok Annonaceae dilaporkan mempunyai toksisitas yang cukup efektif terhadap serangga dari beberapa ordo seperti Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera dan Diptera (Li et al. 1990). Biji sirsak ini mudah ditemukan dan dapat bersifat sebagai larvisida alami karena adanya kandungan aktif senyawa asetogenin yang bertindak sebagai antifeedant yang akan menyebabkan kematian pada larva (Maryani 1995).

Potensi Ekstrak Kacang Babi (Tephrosia vogelii) sebagai Pengendali Hama

T. vogelii merupakan tumbuhan perdu, tahunan, tumbuh tegak, bercabang banyak, dan dapat mencapai tinggi 3-5 meter. T. vogelii berasal dari Afrika dan diimpor ke Pulau Jawa hingga tumbuhan ini tersebar di seluruh Jawa. Daun

T. vogelii berwarna hijau dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. Biji

T. vogelii kecil, keras, dan berwarna hitam. Selain itu, akar tunggang dan batang

T. vogelii berwarna hijau berbentuk bulat berkayu. T. vogelii tumbuh baik pada ketinggian 350-1200 dpl. Pertumbuhannya cepat, mempunyai banyak daun, dan menghasilkan banyak biji. Tanaman ini mudah ditanam, yaitu dengan menaburkan biji dengan ukuran jarak tanam 1-2 m. Apabila tanaman muda dipangkas, maka akan tumbuh percabangan yang baik. T. vogelii tahan terhadap pemangkasan dan apabila dipangkas akan tumbuh tunas-tunas baru sehingga pertumbuhan daunnya menjadi lebat. Tanaman ini mudah dibudidayakan di berbagai ketinggian tempat dan tidak memerlukan pemeliharaan yang khusus (Kardinan 2002).

(20)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Februari hingga Juli 2012.

Bahan Tanaman Sumber Ekstrak

Bahan tanaman uji yang digunakan dalam penelitian adalah biji sirsak (A. muricata) yang diperoleh dari Pasar Cibeureum, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dan daun kacang babi (T. vogelii) yang diperoleh dari Yayasan Bina Sarana Bakti, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.

Penanaman Cabai

Benih cabai varietas SPH 77 disemai terlebih dahulu dengan menggunakan media tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih ditanam pada nampan semai dan ditutup dengan tanah. Setelah berumur 6 minggu setelah tanam (MST), bibit dipindahkan ke dalam pot berukuran 15 cm x 20 cm sebanyak satu bibit per lubang, media tanam dikondisikan dalam keadaan lembab. Serangan hama dan patogen pada bibit cabai dikendalikan dengan pengendalian secara mekanik.

Identifikasi Serangga

Identifikasi serangga dilakukan untuk memastikan bahwa spesies serangga uji yang digunakan adalah B. tabaci. Serangga yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari tanaman kapas yang dipelihara di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Eksuvium pupa dimasukkan ke dalam alkohol 95% selama sepuluh menit. Alkohol 95% kemudian dibuang dan eksuvium pupa selanjutkan ditetesi asam asetat glasial sebanyak dua tetes selama sepuluh menit lalu dicuci dengan akuades. Eksuvium pupa lalu ditetesi dengan

(21)

9

pada eksuvium pupa sebanyak satu tetes dan didiamkan selama 60 menit. Eksuvium pupa kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 80%, alkohol 100%, dan minyak cengkeh masing-masing selama 10 menit. Langkah terakhir yaitu eksuvium pupa diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan balsam canada yang kemudian ditutup dengan kaca penutup. Setelah kering, preparat siap untuk diidentifikasi. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop compound dengan bantuan kunci identifikasi Malumphy (1978) dan Watson (2007).

Pemeliharaan Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan adalah B. tabaci yang dipelihara di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Serangga ini dipelihara pada tanaman kapas berumur 8 minggu setelah tanam yang ditanam di dalam polybag

dan diletakkan di dalam kurungan serangga yang setiap sisinya ditutupi dengan kain kasa. Tanaman kapas disiram setiap hari agar B. tabaci dapat berkembang dengan baik. Imago B. tabaci diinfestasikan pada tanaman cabai hingga menghasilkan telur dan berkembang menjadi nimfa. Fase telur, nimfa instar satu, nimfa instar dua, nimfa instar tiga, dan nimfa instar empat pada tanaman cabai ini kemudian digunakan untuk pengujian.

Ekstraksi

Ekstraksi biji sirsak dan daun kacang babi dilakukan dengan metode maserasi. Biji sirsak dan daun kacang babi terlebih dahulu dikeringanginkan selama 5-7 hari. Selanjutnya, masing-masing tanaman dihaluskan dengan menggunakan blender dan disaring hingga menghasilkan serbuk. Serbuk dari masing-masing tanaman kemudian direndam dengan metanol (1:10; w/v) dalam labu erlenmeyer selama 24 jam. Rendaman dari masing-masing tanaman lalu disaring menggunakan corong buchner yang dialasi dengan kertas saring. Filtrat hasil penyaringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada tekanan 400 – 500 mmHg pada suhu 50 oC. Ekstrak yang didapat disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 4 oC hingga saat digunakan.

Pengujian Ekstrak Tanaman

(22)

10

1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima kali ulangan untuk setiap perlakuan. Masing-masing ekstrak disemprotkan pada beberapa fase serangga uji yang telah diinfestasikan pada tanaman cabai. Fase-fase tersebut adalah telur, nimfa instar satu, nimfa instar dua, nimfa instar tiga, dan nimfa instar empat (pupa). Tanaman perlakuan disungkup untuk mencegah adanya faktor lain yang menyebabkan kematian serangga uji. Pengamatan terhadap kematian serangga dilakukan untuk menghitung tingkat mortalitas dan lama perkembangan serangga uji pada masing-masing perlakuan. Pengamatan dilakukan pada 1, 2, 3, 4, dan 5 hari setelah perlakuan.

Analisis Data

Data mortalitas dan lama perkembangan B. tabaci diolah menggunakan ANOVA yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Analisis data statistika dilakukan dengan menggunakan paket program

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifiksi Kutu Kebul B. tabaci

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa spesies kutu kebul yang diperoleh dari kebun percobaaan Cikabayan adalah B. tabaci. Beberapa ciri khusus dapat diamati dari hasil preparat eksuvium pupa B. tabaci (Gambar 1). Eksuvium

B. tabaci terdapat bagian seta kauda (caudal setae) yang kokoh dan berukuran sedikit lebih panjang dari vasiform orifice. Lingula berbentuk agak lebar dengan ukuran yang agak pendek. Pada bagian atas lingula terdapat operculum yang menutupi lebih dari setengah bagian vasiform orifice. Vasiform orifice memiliki bentuk seperti segitiga dan agak lebih panjang dari alur kauda (caudal furrow)

dengan bagian sisi yang lurus. Cauda furrow berada di bagian bawah vasiform orifice dan terlihat dengan jelas

Gambar 1 Eksuvium pupa B. tabaci; caudal setae (A); lingula (B); operculum

(C); vasiform orifice (D), dan caudal furrow (E)

Menurut Watson (2007), vasiform orifice berada di bagian tepi kantung pupa dengan jarak yang lebih pendek daripada panjang vasiform orifice. Pada bagian pinggir eksuvium B. tabaci terdapat bukaan trakea torak yang ditandai dengan sisir dengan gigi-gigi yang jelas. Terdapat tujuh pasang rambut dorsal pada B. tabaci dan berkembang dengan baik.

A

B C

(24)

12

Keefektifan Ekstrak Annona muricata

Pengaruh Mortalitas Ekstrak A. muricata terhadap B. tabaci

Pengujian menggunakan ekstrak A. muricata terhadap berbagai fase B. tabaci memberikan hasil yang cukup beragam. Setiap fase menunjukkan persentase mortalitas yang berbeda berdasarkan konsentrasi yang diberikan pada serangga uji (Tabel 1, Lampiran 1-5).

Tabel 1 Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

Konsentrasi (%)

Rataan tingkat mortalitas (%)±SDa

Telur Instar satu Instar dua Instar tiga Instar empat 1 45.42±2.39a 88.33±2.51a 66.57±1.22a 63.95±1.52a 60.29±0.71a 0.5 41.52±1.92a 83.91±2.41a 63.92±2.39a 52.76±0.90b 60.00±0.00a 0.25 23.99±0.84b 41.50±0.84b 27.05±0.71b 28.17±0.55c 22.12±0.55b 0.125 19.52±0.55bc 36.57±0.84b 26.90±0.55b 23.83±0.84cd 19.91±0.45b 0.0625 14.56±1.67c 24.69±1.00b 17.76±0.55b 17.85±0.84d 13.56±0.84bc Kontrol 4.03±1.14d 0.00±0.00c 5.46±0.90c 0.00±0.00e 4.00±0.45c a

Mortalitas dihitung pada 72 jam setelah perlakuan (JSP), SD adalah standard deviasi. Untuk setiap rataan mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Perlakuan ekstrak A. muricata pada konsentrasi 0.5% dan 1% terhadap berbagai fase B. tabaci menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, namun persentase mortalitas tertinggi terjadi pada instar satu dengan persentase kematian serangga uji lebih dari 80%. Konsentrasi 0.5% dan 1% juga menunjukkan tingkat mortalitas yang berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Konsentrasi 0.25%, 0.125%, dan 0.0625% menyebabkan rataan persentase mortalitas kurang dari 50% dan cenderung tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa instar satu B. tabaci merupakan instar yang paling rentan.

Menurut Dadang dan Prijono (2008), perbedaan kepekaan terhadap senyawa bioaktif di antara fase perkembangan yang berbeda dalam daur hidup serangga dapat dikaitkan dengan perubahan anatomi, fisiologi, dan ukuran

serangga yang terjadi selama perkembangan serangga. Nimfa instar satu

(25)

13

banyak menghisap cairan tanaman yang telah mengandung bahan aktif

A. muricata yaitu annonain dan squamosin yang bersifat toksik terhadap serangga (Isman 2001). Sementara itu nimfa instar dua, instar tiga, dan instar empat tidak aktif bergerak dengan tungkai yang tereduksi dan menetap pada satu tempat (Badri 1983). Hal inilah yang menyebabkan tingkat mortalitas nimfa instar satu lebih tinggi dibandingkan nimfa instar lainnya.

Berdasarkan nilai persentase mortalitas di atas, diketahui bahwa semakin tinggi perkembangan serangga uji, maka persentase mortalitas semakin rendah. Nimfa instar dua dan instar tiga cenderung menunjukkan persentase mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan nimfa instar empat. Hal ini diduga karena semakin tinggi perkembangan serangga uji, semakin tinggi pula tingkat ketahanan serangga uji tersebut.

Telur merupakan fase awal dari suatu siklus hidup serangga. Dalam pengujian ini, persentase mortalitas telur lebih rendah dibandingkan fase lainnya. Rendahnya mortalitas telur kemungkinan disebabkan adanya lapisan lilin yang menutupi telur dan telur juga memiliki kulit telur yang relatig cukup tebal yang berperan sebagai pelindung. Hal-hal tersebut menyebabkan telur B. tabaci lebih tahan terhadap gangguan.

Senyawa aktif utama A. muricata adalah annonain dan squamosin yang termasuk golongan senyawa asetogenin (Isman 2001). Senyawa asetogenin ini dilaporkan mempunyai toksisitas yang cukup efektif terhadap serangga dari beberapa ordo seperti Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera dan Diptera (Li et al.1990). Annonain dan squamosin bersifat sitotoksik dan neurotik yang dapat menyebabkan kematian pada serangga. Kedua senyawa ini dapat menyebabkan sel kehilangan energi dan pernafasan sel akan terhenti (Londershausen et al.

1991). Cara kerja kedua senyawa aktif yang terdapat pada biji A. muricata adalah sebagai racun respirasi menyebabkan serangga menjadi lumpuh akibat otot dan jaringan lain kekurangan energi, tubuh tampak menghitam akibat kematian sel dan jaringan, dan akhirnya serangga mati (Dadang dan Prijono 2008).

(26)

14

ekstrak A. muricata lebih efisien untuk diaplikasikan terhadap nimfa instar satu (Tabel 2). Hal ini ditunjukkan dengan nilai LC pada instar satu yang lebih rendah dibandingkan dengan fase B. tabaci yang lain. Nilai LC50, LC75, dan LC90 untuk mengendalikan nimfa instar satu berturut-turut yaitu 0.19%, 0.49%, dan 1.14%.

Tabel 2 Penduga parameter toksisitas ekstrak A. muricata terhadap beberapa fase

B. tabaci

a: Intersep garis regresi, b: Kemiringan garis regresi, GB: Galat baku, SK: Selang kepercayaan.

Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan B. tabaci pada fase telur dan instar tiga cukup tinggi dibandingkan dengan fase lainnya. Nilai LC50, LC75, dan LC90 yang diperlukan untuk mengendalikan telur B. tabaci berturut-turut sebesar 1.44%, 7.51%, dan 33.12%, sedangkan untuk mengendalikan instar tiga diperlukan LC50 sebanyak 0.55%, 2.46% untuk LC75, dan 9.44% untuk LC90. Hal ini disebabkan nilai kemiringan garis regresi pada fase telur dan instar tiga lebih rendah dibandingkan dengan fase lainnya. Artinya, dengan penambahan konsentrasi ekstrak A. muricata dalam jumlah yang sedikit tidak memberikan pengaruh yang cukup besar dalam mengendalikan B. tabaci, sehingga dibutuhkan konsentrasi ekstrak A. muricata dalam jumlah yang lebih tinggi. Konsentrasi yang diperlukan untuk mengendalikan B. tabaci instar empat sebanyak 50%, 75%, dan 90% berturut-turut yaitu sebesar 0.64%, 1.82%, dan 4.69%.

Pengaruh Ekstrak A. muricata terhadap Lama Perkembangan B. tabaci

Perlakuan dengan berbagai konsentrasi ekstrak A. muricata menyebabkan

B. tabaci terhambat dalam proses perkembangannya (Gambar 2, Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak A. muricata dapat menghambat perkembangan

B. tabaci. Menurut Kardinan (2002), biji A. muricata dapat berperan sebagai penolak (repellent) dan penghambat makan (antifeedant) bagi serangga.

Fase a±GB b±GB LC50 LC75 LC90

(27)

15

Gambar 2 Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa instar dua (C), nimfa instar tiga (D), nimfa instar empat (E) B. tabaci

akibat perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

HSP: Hari Setelah Perlakuan

A 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

L am a p er k em b an g an ( %) B 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

L am a p er k em b an g an ( %) D 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

L am a p er k em b an g an ( % ) HSP 1% 0.50% 0.25% 0.125% 0.0625% Kontrol E 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

L am a p er k em b an g an ( %) 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

(28)

16

Telur B. tabaci mulai menetas pada hari ke empat setelah perlakuan. Puncak penetasan telur terjadi pada hari ke lima setelah perlakuan. Konsentrasi 1% dapat menghambat penetasan telur hingga lebih dari lima hari setelah perlakuan sebesar 70.68%. Menurut Purbosari (2008), rata-rata stadium telur pada suhu 23oC adalah 7.51 hari, pada suhu ruang 5.28 hari dan 4.59 hari pada suhu 29oC. Konsentrasi 0.5% menyebabkan 68.68% telur membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk dapat menjadi nimfa instar satu. Konsentrasi 0.25%, 0.125%, dan 0.0625% memberikan pengaruh yang relatif lebih rendah dalam menghambat penetasan telur, yaitu kurang dari 50%.

Nimfa instar satu B. tabaci pada umumnya hanya berlangsung selama dua hari. Perlakuan ekstrak A. muricata pada konsentrasi 0.0625% tidak cukup berpengaruh dalam menghambat perkembangan nimfa instar satu, karena pada hari pertama setelah perlakuan lebih dari 80% nimfa instar satu telah berkembang menjadi nimfa instar dua. Berbeda halnya dengan konsentrasi 1% dan 0.5% yang mampu menghambat perkembangan nimfa instar satu sebanyak 50-60% hingga lebih dari lima hari, sedangkan pada konsentrasi 0.25% dan 0.125%, sebagian besar nimfa instar satu berhasil berkembang menjadi instar dua dan sebagian kecil nimfa instar satu membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk dapat berganti kulit menjadi instar dua.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ludji (2011), nimfa instar dua dan nimfa instar tiga B. tabaci pada tanaman cabai berlangsung selama dua hari. Pada instar dua, tingkat hambatan perkembangan masing-masing konsentrasi cenderung merata. Terdapat sekitar 20-30% nimfa instar dua yang berkembang menjadi instar tiga pada hari ke dua setelah perlakuan dan terdapat 18-20% nimfa instar dua yang membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk dapat berkembang menjadi instar tiga. Namun, pada konsentrasi 0.0625% nimfa instar dua yang diujikan telah menjadi instar tiga hingga hari ke lima setelah perlakuan.

(29)

17

0.25%, dan 0.125% yang berhasil menghambat perkembangan nimfa instar tiga sebanyak lebih dari 70% hingga lebih dari lima hari setelah perlakuan.

Menurut Ludji (2011), nimfa instar empat berlangsung selama lima hari. Berdasarkan data tingkat lama perkembangan B. tabaci di atas, konsentrasi 1%, 0.5%, dan 0.25% mampu menghambat perkembangan pupa berturut-turut sebesar 85.71%, 79.41%, dan 72.09% hingga lebih dari lima hari. Sementara itu pada konsentrasi 0.125% dan 0.0625% nimfa instar empat berhasil menjadi imago pada hari ke empat setelah perlakuan dan sebanyak 45.83% dan 25.81% yang membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk menjadi imago.

Keefektifan Ekstrak Tephrosia vogelii

Pengaruh Mortalitas Ekstrak T. vogelii terhadap B. tabaci

Pengujian ekstrak T. vogelii terhadap B. tabaci dapat menyebabkan kematian yang cukup efektif. Beberapa konsentrasi yang diujikan menunjukkan pengaruh mortalitas yang beragam (Tabel 3, Lampiran 7-11).

Tabel 3 Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi beberapa perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

a

Mortalitas dihitung pada 72 jam sejak awal perlakuan (JSP). Untuk setiap rataan mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Secara keseluruhan, nimfa instar satu merupakan fase yang menunjukkan tingkat mortalitas tertinggi di antara fase B. tabaci lainnya. Tingkat mortalitas tertinggi berada pada konsentrasi 1% dengan nilai 78.06%. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan tingkat mortalitas instar satu pada konsentrasi 0.5%, 0.25%, dan 0.125%. Mortalitas instar tiga pada konsentrasi ekstrak T. vogelii 1%, 0.5%, dan

Konsentrasi (%)

Rataan tingkat mortalitas (%)±SDa

(30)

18

0.25% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kisaran tingkat mortalitas 40-60%, sedangkan konsentrasi 0.0625% cenderung berbeda nyata dengan konsentrasi 1%, 0.5%, dan 0.25% yang ditunjukkan dengan tingkat mortalitas yang relatif lebih rendah.

Konsentrasi 1%, 0.5%, dan 0.25% merupakan konsentrasi ekstrak

T. vogelii yang memberikan efek mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan konsentrasi lainnya pada semua fase B. tabaci. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak T. vogelii, maka tingkat mortalitas serangga uji akan semakin tinggi pula.

Seperti halnya dengan perlakuan ekstrak A. muricata, B. tabaci yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii menunjukkan tingkat mortalitas yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya perkembangan instar B. tabaci. Instar empat merupakan fase yang memiliki tingkat mortalitas terendah dibandingkan fase B. tabaci lainnya. Hal ini karena pertahanan nimfa instar empat lebih tinggi dibandingkan fase lainnya.

Komponen aktif yang terkandung pada daun T. vogelii yaitu tephrosin dan deguelin merupakan senyawa isomer dari rotenon (Kardinan 2002). Rotenon banyak terdapat pada bagian daun tanaman. Kandungan rotenon akan semakin tinggi dengan bertambahnya umur tanaman. Ekstrak daun T. vogelii dapat menyebabkan kematian dan berpengaruh terhadap penghambatan makan pada serangga.

Rotenon bekerja sebagai racun pernafasan dengan cara menghambat proses transfer elektron di ubiquinon dalam mitokondria, sehingga mencegah oksidasi NADPH (Dadang dan Prijono 2008). Hal ini menyebabkan menurunnya produksi ATP dan selanjutnya menghambat aktivitas sel, sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada otot dan jaringan lainnya hingga menyebabkan kematian pada serangga (Perry et al. 1998).

(31)

19

3.86%. Hal ini menunjukkan bahwa pada fase instar satu, ekstrak T. vogelii cukup efisien untuk diaplikasikan.

Tabel 4 Penduga parameter toksisitas ekstrak T. vogelii terhadap beberapa fase

B. tabaci

a: Intersep garis regresi, b: Kemiringan garis regresi, GB: Galat baku, SK: Selang kepercayaan.

Telur merupakan fase yang cukup efektif untuk dilakukan pengendalian dengan menggunakan ekstrak T. vogelii. Berdasarkan tingkat kemiringan garis regresi, fase telur memiliki nilai yang paling tinggi di antara fase B. tabaci

lainnya. Nilai ini menunjukkan bahwa dengan penambahan atau pengurangan konsentrasi ekstrak T. vogelii dalam jumlah sedikit, dapat berpengaruh terhadap tingkat mortalitas telur B. tabaci. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu senyawa aktif yang terkandung di dalam daun T. vogelii yang diduga mampu meluluhkan kulit telur B. tabaci. Nilai LC50, LC75, dan LC90 yang diperlukan untuk mengendalikan telur B. tabaci yaitu 0.22%, 0.95%, dan 3.51%.

Konsentrasi yang cukup tinggi diperlukan untuk mengendalikan B. tabaci

fase instar dua, instar tiga, dan instar empat. Hal ini berdasarkan nilai LC50, LC75, dan LC90 yang cenderung lebih tinggi dibandingkan fase lainnya. Kebutuhan konsentrasi yang cukup tinggi ini dipengaruhi oleh tingkat keefektifan ekstrak

T. vogelii. Ekstrak T. vogelii dibutuhkan dalam jumlah yang lebih banyak untuk mengendalikan B. tabaci dengan tingkat mortalitas sebesar 50%, 75%, dan 90%.

Pengaruh Ekstrak T. vogelii terhadap Lama Perkembangan B. tabaci

Ekstrak daun T. vogelii selain dapat menyebabkan kematian pada serangga juga dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan serangga. Gambar 3 (Lampiran 12) menunjukkan lama perkembangan beberapa fase B. tabaci setelah diberikan perlakuan ekstrak T. vogelii.

Fase a±GB b±GB LC50 LC75 LC90

(32)

20 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

L am a p er k em b an g an ( %) 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

[image:32.595.86.494.70.718.2]

L am a p er k em b an g an ( %) HSP 1% 0.50% 0.25% 0.125% 0.0625% Kontrol

Gambar 3 Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa

instar dua (C), nimfa instar tiga (D), nimfa instar empat (E)

B. tabaci akibat perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

HSP: Hari Setelah Perlakuan

A D E 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

L am a p er k em b an g an ( %) B 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

L am a p er k em b an g an ( %) C 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 >5

(33)

21

Telur B. tabaci mulai menetas pada hari ke empat setelah perlakuan. Konsentrasi 1% merupakan konsentrasi yang paling tinggi pengaruhnya terhadap proses penghambatan penetasan telur, hanya 14.55% telur B. tabaci yang berhasil menetas pada hari ke empat setelah perlakuan dan sebanyak 65.46% telur yang perlu waktu lebih dari lima hari untuk dapat menetas. Perlakuan pada konsentrasi 0.5% dan 0.25% cukup menghambat penetasan telur sehingga menyebabkan sebanyak 56% dan 39% telur yang dapat menetas dalam waktu lebih dari lima hari setelah perlakuan. Sementara itu perlakuan pada konsentrasi 0.125% dan 0.0625% kurang efektif dalam menghambat penetasan telur, karena pada hari ke empat setelah perlakuan sebanyak 40-50% telur yang berhasil menjadi nimfa instar satu.

Konsentrasi ekstrak T. vogelii yang efektif untuk menghambat perkembangan nimfa instar satu yaitu konsentrasi 1%. Pada konsentrasi ini terdapat 53.85% instar satu yang membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk dapat berkembang menjadi instar dua. Pada konsentrasi 0.025%, 0.125%, dan 0.0625%, nimfa instar satu mampu berkembang menjadi nimfa instar dua dalam waktu satu hingga lima hari setelah perlakuan.

Pengujian terhadap lama perkembangan nimfa instar dua dan nimfa instar tiga menunjukkan bahwa konsentrasi 1% dan 0.5% memiliki pengaruh yang sama dalam menghambat perkembangan nimfa. Kedua konsentrasi ini mengakibatkan lebih dari 40% nimfa instar dua dan 40-50% nimfa instar tiga tidak dapat melakukan proses ganti kulit pada waktu dua hingga lima hari setelah perlakuan, sedangkan konsentrasi 0.025%, 0.125%, dan 0.0625% menunjukkan persentase penghambatan yang relatif lebih rendah dibandingkan konsentrasi 1% dan 0.5%.

(34)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Mortalitas B. tabaci semakin tinggi pada fase instar yang lebih muda. Nimfa instar satu merupakan fase yang efektif untuk dilakukan tindakan pengendalian. Berdasarkan nilai LC50, ekstrak T. vogelii lebih efektif dalam mengendalikan nimfa instar satu, sedangkan berdasarkan nilai LC75 dan LC90 ekstrak A. muricata lebih efektif dibandingkan T. vogelii. Ekstrak T. vogelii dan

A. muricata pada konsentrasi 1% berpengaruh terhadap perkembangan berbagai fase B. tabaci.

Saran

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Badri IB. 1983. Identification of Aleyrodidae on soybean from two location in West Java and some bionomics of Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) on the three soybean varieties. Bogor: SEAMEO_Biotrop, Regional Center for Tropical Biologi Indonesia. 62 hal.

Dadang dan Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman IPB.

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2008. Kutukebul (Bemisia tabaci

Genn) [internet]. Jakarta: Direktorat Perlindungan Horlikultura; [diunduh 2012 Sep 02]. Tersedia pada: http://www.ditlin.hortikultura.go.id/opt/ tomat/kt_kebun.htm

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2012. Penyakit Gemini virus [internet]. Jakarta: Direktorat Perlindungan Horlikultura; [diunduh 2012 Sep 02]. Tersedia pada: http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option com_content&view=article&id=245:geminivirus&catid=35:cabai&Itemid=1 43.

Duriat AS. 2009. Pengendalian Penyakit Kuning Keriting pada Tanaman Cabai.

Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayur.

Harpenas A, Dermawan R. 2010. Budidaya Cabai Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hewindati, Yuni T. 2006. Hortikultura. Jakarta: Universitas Terbuka.

Hidayat P, Sartiami D, Hendrastuti S. 2004. Kajian Ciri Morfologi dan Molekuler Kutu Kebul (Homoptera: Aleyrodidae) sebagai Dasar Pengendalian Penyakit Gemini Virus pada Tanaman Sayuran. Laporan Akhir Penelitian. Bogor: Departemen HPT IPB.

Isman MB. 2001. Botanical insecticides and repellents in modern agriculture and increasingly regulated world. Ann Rev Entomol. 51: 45-66.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-van Hoeve. Penerjemah: De Plagen Van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Londershausen M, Leicht W, Lieb F, Moeschler H, Weiss H. 1991. Annonins - Mode of action of acetogenins isolated from Annona squamosa. Pest Sci 33 (4): 443 – 445.

(36)

24

Ludji R. 2011. Kajian reproduksi kutu kebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman cabai merah dan tomat. [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Malumphy C. 1978. Protocol for The Diagnosis of Quarantine Organism,

Bemisia tabaci (Gennadius). Central Science Laboratory. [internet]. [diunduh 2012 Sep 02]. Tersedia pada: http://www.fera. defra.gov.uk/plants/ plantHealth/pestsDiseases/documents/protocols/ECBemisiatabaci.pdf.

Maryani. 1995. Toksisitas ekstrak kasar biji sirsak (Annona muricata Linn.) dan daun saliara (Lantana camara Linn.) secara tunggal maupun campurannya terhadap larva Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum Linn.) di laboratorium. [tesis]. Bandung: Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.

Morallo-Rejesus B. 1986. Botanical insecticides against the diamondback month. University of the Phillippines at Los Banos, College, Laguna, Phillippines. [diunduh 2011 Okt 5]. Tersedia pada: www.avrd.orgpdf86dbm86DBM23 pdf.

Muharsini S, Wardhana AH, Yuningsih. 2006. Uji Efektivitas Biji Sirsak (Annona muricata) dan Akar Tuba (Derris elliptica) terhadap Larva Chrysomya bezziana secara In Vitro. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Bogor. Bogor (ID). hlm: 1013-1017.

Piay SS, Tyasdjaja A, Ermawati Y, Hantoro RP. 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah (Capsicum annum L.). Ungaran: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Perry AS, Yamamoto I, Ishaaya I, Perry RY. 1998. Insecticides in Agriculture and Environment: Retrospects and Prospects. Berlin: Springer.

Prijono D. 2010. Potensi, Kendala, dan Strategi Pengembangan Pestisida Nabati. Materi Pelatihan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman IPB.

Purbosari S. 2008. Neraca kehidupan kutu kebul Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) pada suhu 23 oC, ruang, dan 29 oC. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Setiawati W, Gunaeni N, Subhan, Muharam A. 2011. Pengaruh pemupukan dan tumpangsari antara tomat dan kubis terhadap populasi Bemisia tabaci dan insiden penyakit virus kuning pada tanaman tomat. J Hort [internet]. [diunduh 2012 Jul 21]; 21 (2): 135 – 144. Tersedia pada: http://hortikultura. litbang.deptan.go.id/jurnal_pdf/212/Setiawati.pdf.

Sudiono, Nuryasin, Hidayat SH, Hidayat P. 2006. Penyebaran dan deteksi molekuler virus Gemini penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Sumatera. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 5(2): 93-97.

(37)

25

Sumarni N, Agus M. 2008. Sukses Bertanam Cabai di Musim Hujan dan Kemarau. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Watson GV. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur 16-26 April.

Wulan RDR. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii Hook. terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). [skripsi]. Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

(38)
(39)

27

Lampiran 1 Tingkat mortalitas fase telur B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

Lampiran 2 Tingkat mortalitas fase nimfa instar satu B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

Lampiran 3 Tingkat mortalitas fase nimfa instar dua B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

Lampiran 4 Tingkat mortalitas fase nimfa instar tiga B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

Konsentrasi (%)

Jumlah telur awal Jumlah telur yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 304 13 4.276

0.0625 234 34 14.530

0.125 41 8 19.512

0.25 246 59 23.984

0.5 142 59 41.550

1 244 111 45.499

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 45 0 0.000

0.0625 69 17 24.637

0.125 30 11 36.667

0.25 58 24 41.379

0.5 62 52 83.871

1 53 47 88.679

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 73 4 5.459

0.0625 69 12 17.761

0.125 30 8 26.667

0.25 111 30 27.027

0.5 210 134 63.810

1 30 20 66.667

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 76 0 0.000

0.0625 182 32 17.852

0.125 63 15 23.831

0.25 64 18 28.174

0.5 36 19 52.777

(40)

28

Lampiran 5 Tingkat mortalitas fase nimfa instar empat B.tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 50 2 4.000

0.0625 37 5 13.557

0.125 36 7 19.914

0.25 63 14 22.122

0.5 35 21 60.000

(41)

29

Lampiran 6 Lama perkembangan B. tabaci akibat perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata

Konsentrasi (%)

Tingkat lama perkembangan (%)

1 HSP 2 HSP 3 HSP 4 HSP 5 HSP >5HSP Telur

0 0.000 0.000 0.000 21.576 61.304 17.123

0.0625 0.000 0.000 0.000 15.610 63.902 20.488 0.125 0.000 0.000 0.000 13.793 62.069 27.586 0.25 0.000 0.000 0.000 10.692 40.642 48.663 0.5 0.000 0.000 0.000 12.048 19.277 68.675

1 0.000 0.000 0.000 10.526 18.797 70.677

Instar 1

0 91.111 6.667 2.222 0.000 0.000 0.000

0.0625 82.258 9.677 8.065 0.000 0.000 0.000 0.125 57.895 5.556 16.667 5.556 5.556 11.111 0.25 52.900 8.824 11.765 5.882 5.882 14.706 0.5 0.000 0.000 11.111 22.222 11.111 55.556

1 0.000 0.000 0.000 16.667 16.667 66.667

Instar 2

0 11.941 77.612 5.970 4.478 0.000 0.000

0.0625 8.772 38.597 8.772 5.263 38.597 0.000 0.125 9.091 36.367 9.091 4.545 22.727 18.182 0.25 0.000 26.830 17.073 15.854 21.951 18.293 0.5 0.000 26.316 13.158 21.053 21.053 18.421 1 0.000 0.000 10.000 20.000 50.000 20.000

Instar 3

0 0.000 10.526 46.053 21.053 22.368 0.000 0.0625 0.000 5.263 31.579 17.293 18.797 27.068 0.125 0.000 0.000 0.000 13.333 15.556 71.111 0.25 0.000 0.000 0.000 13.636 11.364 75.000 0.5 0.000 0.000 0.000 13.333 13.333 73.333

1 0.000 0.000 0.000 0.000 22.222 77.778

Instar 4

0 0.000 0.000 0.000 37.931 44.828 17.241

0.0625 0.000 0.000 0.000 25.807 48.387 25.806 0.125 0.000 0.000 0.000 29.167 25.000 45.833

0.25 0.000 0.000 0.000 0.000 27.910 72.093

0.5 0.000 0.000 0.000 0.000 20.588 79.412

(42)

30

Lampiran 7 Tingkat mortalitas fase telur B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

Lampiran 8 Tingkat mortalitas fase nimfa instar satu B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

Lampiran 9 Tingkat mortalitas fase nimfa instar duaB. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

Lampiran 10 Tingkat mortalitas fase nimfa instar tiga B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

Konsentrasi (%)

Jumlah telur awal Jumlah telur yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 36 0 0.000

0.0625 61 19 31.548

0.125 51 19 37.862

0.25 58 30 51.072

0.5 50 27 54.000

1 235 182 77.524

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 34 0 0.000

0.0625 41 17 41.805

0.125 34 18 52.215

0.25 34 19 55.142

0.5 31 23 74.951

1 55 43 78.058

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 49 0 0.000

0.0625 89 22 24.983

0.125 43 14 32.884

0.25 53 24 45.063

0.5 69 36 52.475

1 37 22 66.882

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 30 0 0.000

0.0625 47 12 25.443

0.125 39 15 38.833

0.25 32 14 43.755

0.5 50 26 52.000

(43)

31

Lampiran 11 Tingkat mortalitas fase nimfa instar empat B. tabaci pada beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

Konsentrasi (%)

Jumlah nimfa awal

Jumlah nimfa yang mati

Tingkat mortalitas (%)

0 64 1 1.542

0.0625 45 10 22.252

0.125 30 9 30.000

0.25 44 15 34.882

0.5 62 28 45.716

(44)

32

Lampiran 12 Lama perkembangan B. tabaci akibat perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii

Konsentrasi (%)

Tingkat lama perkembangan (%)

1 HSP 2 HSP 3 HSP 4 HSP 5 HSP >5HSP Telur

0 0.000 0.000 0.000 61.111 38.889 0.000

0.0625 0.000 0.000 0.000 57.762 35.714 9.524 0.125 0.000 0.000 0.000 45.161 35.484 19.355 0.25 0.000 0.000 0.000 35.714 25.000 39.286 0.5 0.000 0.000 0.000 24.000 20.000 56.000

1 0.000 0.000 0.000 14.546 20.000 65.455

Instar 1

0 73.530 2.941 11.764 8.823 2.941 0.000 0.0625 59.091 31.818 4.545 4.545 0.000 0.000 0.125 46.667 26.667 13.333 13.333 0.000 0.000 0.25 26.667 40.000 13.333 13.333 66.667 0.000 0.5 0.000 14.286 14.286 14.286 28.571 28.571 1 0.000 15.385 15.385 7.692 7.692 53.846

Instar 2

0 8.163 48.980 12.245 24.490 6.122 0.000 0.0625 2.857 48.571 22.857 8.571 12.857 4.286 0.125 0.000 50.000 10.714 28.571 10.714 0.000 0.25 6.897 41.380 27.586 13.793 3.448 6.897 0.5 2.941 20.588 8.824 5.882 20.588 41.176 1 0.000 10.526 5.263 21.053 15.790 47.364

Instar 3

0 0.000 40.000 13.333 26.667 20.000 0.000 0.0625 0.000 0.000 20.000 37.143 31.429 11.429 0.125 0.000 0.000 30.435 30.435 21.739 17.391 0.25 0.000 0.000 16.667 27.778 27.778 27.778 0.5 0.000 0.000 20.000 16.000 20.000 44.000

1 0.000 0.000 0.000 18.519 22.222 59.259

Instar 4

0 0.000 0.000 0.000 31.482 11.111 57.407

0.0625 0.000 0.000 0.000 21.212 15.151 63.636 0.125 0.000 0.000 0.000 19.048 14.286 66.667

0.25 0.000 0.000 0.000 0.000 13.793 86.207

0.5 0.000 0.000 0.000 0.000 8.824 91.176

(45)

ABSTRAK

ELSA DWI JULIANA. Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan

Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan NINA MARYANA.

Bemisia tabaci merupakan salah satu spesies kutu kebul yang dapat mengakibatkan kerusakan langsung maupun kerusakan tidak langsung pada tanaman. Kerusakan langsung mengakibatkan gejala bintik klorosis pada daun sehingga dapat mengurangi kandungan klorofil. Sementara itu, kerusakan tidak langsung berkaitan dengan peran B. tabaci sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman inang. Virus gemini merupakan salah satu virus penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan oleh B. tabaci. Untuk itu diperlukan tindakan untuk mengendalikan hama tersebut. Pengendalian hama menggunakan sumber daya hayati merupakan salah satu altenatif pengendalian karena termasuk komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang aman terhadap lingkungan. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari keefektifan ekstrak Annona muricata dan Tephrosia vogelii untuk mengendalikan B. tabaci. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua ekstrak tanaman, yaitu A. muricata dan T. vogelii dengan enam konsentrasi yaitu 1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi perkembangan serangga uji, tingkat mortalitas semakin rendah. Nimfa instar satu menunjukkan fase yang paling efektif untuk dilakukan tindakan pengendalian. Berdasarkan nilai LC50, ekstrak T. vogelii lebih efektif dalam mengendalikan nimfa instar satu, sedangkan berdasarkan nilai LC75 dan LC90

ekstrak A. muricata lebih efektif dibandingkan ekstrak T. vogelii. Ekstrak A. muricata dan T. vogelii pada konsentrasi 1% berpengaruh terhadap lama perkembangan berbagai fase B. tabaci.

(46)

ABSTRAK

ELSA DWI JULIANA. Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan

Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan NINA MARYANA.

Bemisia tabaci merupakan salah satu spesies kutu kebul yang dapat mengakibatkan kerusakan langsung maupun kerusakan tidak langsung pada tanaman. Kerusakan langsung mengakibatkan gejala bintik klorosis pada daun sehingga dapat mengurangi kandungan klorofil. Sementara itu, kerusakan tidak langsung berkaitan dengan peran B. tabaci sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman inang. Virus gemini merupakan salah satu virus penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan oleh B. tabaci. Untuk itu diperlukan tindakan untuk mengendalikan hama tersebut. Pengendalian hama menggunakan sumber daya hayati merupakan salah satu altenatif pengendalian karena termasuk komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang aman terhadap lingkungan. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari keefektifan ekstrak Annona muricata dan Tephrosia vogelii untuk mengendalikan B. tabaci. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua ekstrak tanaman, yaitu A. muricata dan T. vogelii dengan enam konsentrasi yaitu 1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi perkembangan serangga uji, tingkat mortalitas semakin rendah. Nimfa instar satu menunjukkan fase yang paling efektif untuk dilakukan tindakan pengendalian. Berdasarkan nilai LC50, ekstrak T. vogelii lebih efektif dalam mengendalikan nimfa instar satu, sedangkan berdasarkan nilai LC75 dan LC90

ekstrak A. muricata lebih efektif dibandingkan ekstrak T. vogelii. Ekstrak A. muricata dan T. vogelii pada konsentrasi 1% berpengaruh terhadap lama perkembangan berbagai fase B. tabaci.

(47)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu spesies kutu kebul yang diketahui dapat menyerang lebih dari 600 spesies tanaman dari berbagai famili, seperti Compositae, Cucurbitaceae, Cruciferae, dan Solanaceae (Kalshoven 1981). Serangga ini dapat mengakibatkan kerusakan langsung maupun tidak langsung pada tanaman. Kerusakan langsung menimbulkan gejala bintik klorosis pada daun yang mengakibatkan berkurangnya kandungan klorofil. Selain itu, eksresi B. tabaci menghasilkan embun madu yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan embun jelaga sehingga proses fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sementara itu, kerusakan tidak langsung berkaitan dengan peran serangga ini sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman inangnya, salah satunya adalah tanaman cabai (Kalshoven 1981). Untuk itu diperlukan suatu tindakan pengendalian untuk mengurangi atau mencegah kerugian secara ekonomi yang dapat ditimbulkan.

Virus gemini merupakan salah satu virus penyebab penyakit kuning keriting pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan oleh B. tabaci (Sudiono

et al. 2006). Gejala pada tanaman cabai yang terserang virus ini menunjukkan daun berwarna mosaik kuning atau hijau muda mencolok, pucuk keriting diikuti dengan bentuk helaian daun menyempit atau cekung, dan tanaman menjadi lebih kerdil dibandingkan tanaman yang normal (Duriat 2009). Kerusakan yang diakibatkan oleh virus gemini ini sering lebih merugikan dibandingkan dengan kerusakan langsung yang disebabkan oleh B. tabaci itu sendiri. Penyakit yang ditimbulkan oleh virus gemini yang ditularkan oleh B. tabaci dapat menyebabkan kegagalan panen (Hidayat et al. 2004). Untuk itu, diperlukan tindakan pengendalian hama ini.

(48)

2

insektisida sintetik dilakukan tidak bijaksana, maka dapat memicu ketahanan hama terhadap insektisida tertentu yang akhirnya dapat menyebabkan populasi hama sulit untuk dapat dikendalikan.

Mengingat dampak negatif penggunaan insektisida sintetik, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan dan menerapkan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan bahan-bahan alami. Pengendalian hama dengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati seperti insektisida nabati merupakan salah satu altenatif pengendalian karena murah dan termasuk komponen PHT yang aman terhadap lingkungan. Insektisida nabati memiliki peluang yang lebih baik untuk digunakan dalam PHT, baik untuk pertanian organik maupun pertanian konvensional. Kelebihan lain dari insektisida nabati dibandingkan dengan insektisida sintetik di antaranya mudah terurai di lingkungan, umumnya cukup aman terhadap organisme bukan sasaran, dapat dipadukan dengan komponen PHT lainnya, tidak cepat menimbulkan resistensi hama bila digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, komponen-komponen ekstrak dapat bersifat sinergis, dan dapat disiapkan secara sederhana dengan menggunakan peralatan yang dimiliki petani (Prijono 2010).

Beberapa jenis tanaman yang saat ini sudah dikenal dan banyak digunakan sebagai insektisida nabati yaitu sirsak Annona muricata (Annonaceae) dan kacang babi Teph

Gambar

Tabel 1 Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi
Tabel 2 Penduga parameter toksisitas ekstrak A. muricata terhadap beberapa fase B. tabaci
Gambar 2 Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa
Gambar 3 Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menunjang visi tersebut maka diperlukan misi LPDP antara lain: Mempersiapkan pemimpin dan profesional masa depan Indonesia melalui pembiayaan pendidikan;

Suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai fitnah apabila memenuhi syarat-syarat berikut: (1) mengandung tuduhan; (2) menjelekkan orang lain; (3) arah tuduhannya

Pengambilan data pada RPM pulley generator ini dikhususkan untuk mengetahui pengaruh besar kecilnya RPM terhadap tegangan output generator, pengukuran dilakukan

Kombinasi yang optimal baik dilihat dari main effect untuk rata-rata pecah batu bata dan S/N adalah sama yaitu faktor A level 1, faktor B level 2, dan faktor C level 2. Kontribusi

dan diklasifikasi menurut hasil semua pengukuran tersebut.Berdasarkan hasil pengukuran itu dapat dicapai tujuan penelitian ini untuk menentukan derajat kesehatan jasmani anak

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh manajemen modal kerja (efiensi kas, piutang dan persediaan) terhadap profitabilitas pengusaha di sentra

Hasilnya ditemukan bukti bahwa ada perbedaan signifikan untuk kebijakan pendanaan yang yang diukur dengan variabel berkaitan dengan nilai pasar, dan tidak ada perbedaan

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan proses yang panjang dan harus berkesinambungan yang melibatkan banyak pihak, yang semua pihak harus tunduk