• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur komunitas berudu anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur komunitas berudu anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA

DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG

GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT

WELNI DWISTA NINGSIH

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

STRUKTUR KOMUNITAS BERUDU ANURA

DI SUNGAI CIBEUREUM TAMAN NASIONAL GUNUNG

GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT

WELNI DWISTA NINGSIH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

RINGKASAN

WELNI DWISTA NINGSIH. Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Anura merupakan salah satu ordo Amfibi yang mengalami perubahan bentuk tubuh dari tahap larva hingga mencapai tahap muda yang disebut juga dengan metamorfosis. Salah satu fase dalam tahap metamorfosis yaitu berudu yang merupakan bagian dari proses evolusi amfibi yang paling komplek. Berudu Anura hidup pada habitat yang berbeda dengan individu dewasanya yaitu di sungai, rawa, genangan air dan kolam. Adanya penggunaan berbagai tipe habitat dapat mempengaruhi struktur komunitas berudu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengukur: a) komposisi dan keanekaragaman jenis berudu Anura pada berbagai karakteristik mikrohabitat, b) hubungan struktur komunitas berudu Anura dengan karakteristik mikrohabitat, dan c) perbedaan kelas umur berudu Anura yang ditemukan pada dua musim berbeda. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Desember 2008, Juli-November 2009 di Sungai Cibeureum, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Sampling kuantitatif larva amfibi dilakukan pada transek sungai sepanjang 224 m. Data yang diambil meliputi spesies berudu, jumlah berudu setiap plot, waktu perjumpaan, lokasi berudu, panjang total berudu (TL), tahap pertumbuhan berudu, dan data lingkungan (kondisi cuaca, suhu, kelembaban udara, kedalaman sungai, jenis substrat sungai, vegetasi dominan, kecepatan aliran air, suhu air dan pH air).

Jenis berudu yang ditemukan di Sungai Cibeureum yaitu Megophrys

montana (Megophrydae), Leptophryne cruentata (Bufonidae), Rhacophorus

margaritifer (Rhacophoridae), dan Huia masonii (Ranidae). Berudu yang paling banyak ditemukan yaitu Leptophryne cruentata (37,13%), sedangkan berudu yang paling sedikit ditemukan yaitu Huia masonii (0,07%). Tipe mikrohabitat dari seluruh plot pengamatan dapat dikelompokkan menjadi sungai arus deras (torrents), sungai arus sedang (riffles) dan daerah sungai berkerikil (shingle areas). Berudu hanya ditemukan pada mikrohabitat sungai arus sedang dan daerah sungai berkerikil. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa variabel mikrohabitat tidak secara nyata mempengaruhi keberadaan berudu Megophrys montana, Leptophryne cruentata dan Rhacophorus margaritifer. Kisaran kelas umur terbesar ditemukan pada tahapan (stage) 25 pada semua berudu. Baik pada musim hujan dan kemarau berudu didominasi oleh kisaran tahap pertumbuhan Gosner 24-28 (belum terlihat kaki) yang menunjukkan bahwa katak di Sungai Cibeureum bereproduksi sepanjang tahun.

(4)

SUMMARY

WELNI DWISTA NINGSIH. Community Structure of Anuran Tadpoles at Cibeureum Stream, Mount Gede-Pangrango National Park, West Java. Under supervision of MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO.

Anura is an order of amphibians that experiencing changes in body shape from the its larval stage to reach young stage, call as metamorphosis. One of the phases in the life on anuran is the tadpole stage, which is part of the most complex process of amphibian evolution. Tadpoles live in different habitats with its adult, such as in rivers, swamps, puddles and pools. The use of various types of habitats can affect the structure of tadpole communities. The purpose of this study was to identify and measure: a) the composition and diversity or Anuran species on various microhabitat characteristics, b) the correlation between the anuran tadpoles community structure tadpoles with microhabitat characteristics, and c) differences of stages of age class found in two different seasons. Data was collected in December 2008, followed by July to November 2009 in Cibeureum stream, Mount Gede-Pangrango National Park, West Java. Quantitative sampling of amphibian larvae was carried out on along the 224 m transect. Data collected includes species identification, the number of tadpoles of each plot, the encounter time, the location of tadpoles, tadpole total length (TL), tadpoles growth stage, and environmental data (weather conditions, temperature, air humidity, depth of river, substrate, dominant vegetation, water flow velocity , water temperature and pH).

Tadpoles found in the Cibeureum stream were Megophrys montana (Megophrydae), Leptophryne cruentata (Bufonidae), Rhacophorus margaritifer (Rhacophoridae), and Huia masonii (Ranidae). The most commonly found is Leptophryne cruentata (37.13%), while the least found is the Huia masonii (0.07%). Based on observation, types of microhabitat can be grouped into torrents, riffles and shingle areas. Tadpoles were only found in riffles and shingle areas. Results of linear regression test showed that the microhabitat variables did not significantly affect the presence of tadpoles Rhacophorus margaritifer, Leptophryne cruentata and Megophrys montana. Most tadpoles were found in stage 25. The dominant stage of tadpole found were in Gosner growth stage 24-48 (no foot) for both dry and wet season, which indicated that the frogs in the Cibeureum stream reproduce throughout the year.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango, Jawa Barat” adalah benar-benar karya saya sendiri dengan bimbingan

dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada

perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

Welni Dwista Ningsih

(6)

Judul Penelitian : Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Nama : Welni Dwista Ningsih

NIM : E34053339

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Mengetahui,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Ketua

Tanggal lulus :

Pembimbing II Pembimbing I

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si

NIP. 19660221 199103 1 001 Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si

NIP. 19651114 199002 2 001

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 September 1987 di Batusangkar,

Sumatera Barat dari pasangan Dodi Syafruddin dan Neni Gusningsih. Pendidikan

formal ditempuh pada SD Negeri No 10 Alai Timur (1993), SLTP Negeri 12

Padang (1999), dan SMA Negeri 3 Padang (2002), Padang, Sumatera Barat. Pada

tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mulai belajar di Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada

tahun 2006.

Penulis aktif sebagai pengurus di HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) di Kelompok Pemerhati

Herpetofauna (KPH)-Python HIMAKOVA sebagai anggota periode 2006/2007

dan pengurus RIMPALA (Rimbawan Pecinta Alam) Fakultas Kehutanan IPB

sebagai bendahara periode 2008/2009. Penulis juga tergabung dalam Korps

Sukarela PMI Unit I IPB dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM).

Penulis pernah melaksanakan praktik dan kegiatan lapang antara lain: Studi

Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di TN.

Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan pada tahun 2007 dan di TN. Bukit Baka Bukit

Raya, Kalimantan Barat pada tahun 2008, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan

(PPEH) di Baturraden dan Cilacap pada tahun 2007, Praktek Umum Konservasi

Ek-Situ (PUKES) di Kebun Tanaman Obat Karyasari, Bogor dan Taman

Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan pada tahun 2008 dan Praktek Kerja Lapang

Profesi (PKLP) di TN. Baluran, Jawa Timur pada tahun 2009.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB,

penulis menyusun skripsi berjudul “Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai

Cibeureum Taman Nasional Gunungs Gede Pangrango, Jawa Barat” di bawah

bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono,

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas

rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan

salam terhaturkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat serta umatnya

hingga akhir zaman.

Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dan penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Orang tua tercinta serta adik-adik (Vembi Fernanado, Vembrido Syafutra

dan almh. Nindy Suci Rahmadani) atas semua do’a, kasih sayang yang tak

pernah putus serta dukungan baik moril dan materi kepada penulis hingga

skripsi ini selesai.

2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si

sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kesabaran dan

bimbingan yang sangat berarti bagi penulis skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S, Dr. Ir. Achmad, M.S, Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo,

M.S selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi

penyempurnaan skripsi ini.

4. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan staf yang telah

memberikan kemudahan dalam perijinan pelaksanaan penelitian.

5. Bapak dan Ibu di bagian staf tata usaha Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas bantuan dan kelancaran

administrasi.

6. Boby Darmawan, S.Hut, M. Irfansyah Lubis, S.Hut, dan Neneng Sholihat,

S.Hut sebagai supervisor yang banyak membantu dalam pengambilan data.

7. Tim Javanus (Neneng Muliya, Luthfia N. Rahman, Wirama Hypananda,

Irwan D. Susanto, dan Salomo Julivan) atas semangat dan bantuan serta

dukungan saat di lapangan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Keluarga besar KSHE angkatan “Tarsius” (2005/42) atas pembelajaran,

(9)

9. Keluarga besar Queen Castlee atas dorongan semangat dan rasa

kekeluargaan.

10. Keluarga besar HIMAKOVA khususnya KPH-Python.

11. Keluarga besar RIMPALA khususnya untuk R-XI atas semangatnya.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin. Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat

Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi

penelitian yang berjudul “Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai Cibeureum

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat” dapat diselesaikan. Karya

ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk meperoleh gelar Sarjana Kehutanan

dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi dan data dasar dalam upaya konservasi amfibi di

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih terdapat

kekurangan dan ketidak-sempurnaan baik dalam hal materi maupun dalam

sistematika penyajian. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua

pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2011

Welni Dwista Ningsih

(11)

DAFTAR ISI

3.6.1 Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Berudu Anura ... 14

3.6.2 Karakteristik Mikrohabitat Berudu Anura ... 15

3.6.3 Kisaran Ukuran Tubuh dan Tahap Pertumbuhan Berudu Anura ... 15

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 16

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

5.1 Hasil ... 19

5.1.1 Komposisi dan Keanekaragaman Berudu Anura ... 19

5.1.2 Karakteristik Mikrohabitat ... 21

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Alat dan bahan penelitian ... 09 2. Tipe habitat berudu berdasarkan kondisi substrat dan kecepatan arus .... 22 3. Distribusi mikrohabitat berudu pada musim hujan

dan musim kemarau ... 22

4. Kondisi cuaca lokasi pengamatan ... 23

(13)

DAFTAR GAMBAR

5. Sketsa plot pengambilan berudu Anura di Sungai Cibeureum TNGP ... 11

6. Tahapan perkembangan berudu Gosner Stage ... 13 7. Jenis-jenis berudu yang dapat ditemukan di Sungai Cibeureum antara

lain (a) Leptophryne cruentata, (b) Megophrys montana, (c)

Rhacophorus margaritifer, (d) Huia masonii dan (e) Limnonectes sp. ... 14 8. Kondisi umum habitat di lokasi Curug 3 ... 17

9. Kondisi habitat di lokasi patok HM 28 ... 17 10. Kondisi habitat di lokasi: (a) patok HM 26 dan (b) HM 25 ... 18

11. Jenis-jenis berudu di Sungai Cibeureum (TNGP) antara lain Megophrys montana (a), Leptophryne cruentata (b), Rhacophorus margaritifer (c), dan Huia masonii (d) ... 19 12. Jenis berudu pada setiap plot pengamatan pada musim penghujan dan

musim kemarau ... 20

13. Grafik kepadatan berudu pada setiap plot yang dijumpai berudu. ... 21

14. Data curah hujan di TNGP bulan Januari 2005-Desember 2009 ... 23

15. Tahap pertumbuhan berudu Leptophryne cruentata (a) tahap 24-28,

(b) tahap 29-35, (c) tahap 36-40 dan (d) tahap 41-46 ... 25 16. Tahap pertumbuhan berudu Megophrys montana (a) tahap 24-28, (b)

tahap 29-35, dan (c) tahap 36-40 ... 25

17. Tahap pertumbuhan berudu Rhacophorus margaritifer (a) tahap 24-28, (b) tahap 29-35, (c) tahap 36-40, dan (d) tahap 41-46 ... 26

18. Grafik tahapan pertumbuhan berudu Anura di Sungai Cibeureum pada musim hujan dan musim kemarau ... 27

19. Kisaran ukuran tubuh berudu Megophrys montana pada musim hujan

dan kemarau ... 28

20. Kisaran ukuran tubuh berudu Leptophryne cruentata pada musim hujan dan kemarau ... 29

21. Kisaran ukuran tubuh berudu Rhacophorus margaritifer pada musim

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Hasil analisis regresi linear berudu Megophrys montana ... 42

2. Hasil analisis regresi linear Leptophryne cruentata ... 43

3. Hasil analisis regresi linear Rhacophorus margaritifer ... 44

4. Data habitat berudu Anura di TNGGP ... 45

(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anura merupakan salah satu ordo Amfibi yang dalam tahap

perkembangannya mengalami perubahan bentuk tubuh dari tahap larva hingga

mencapai tahap katak muda yang disebut juga dengan metamorfosis (Verma &

Pande 2002). Salah satu fase dalam tahap metamorfosis yaitu berudu. Berudu

merupakan bagian dari proses evolusi amfibi yang paling komplek dan jika terjadi

kegagalan pada tahap ini maka selamanya tidak akan pernah menjadi katak atau

kodok (Mistar 2003).

Berudu Anura hidup pada habitat yang berbeda dengan individu dewasanya

(Duellman & Trueb 1994) yaitu di sungai, rawa, genangan air (Eterovick &

Sazima 2000) dan kolam (Gillespie et al. 2004). Adanya penggunaan berbagai tipe habitat oleh berudu dapat mempengaruhi struktur komunitasnya. Penggunaan

tipe habitat diantaranya yaitu sebagai tempat berkembangbiak, tempat makan serta

melakukan aktivitas harian (Inger et al. 1986). Dalam mempelajari struktur

komunitas, perlu diperhatikan berbagai faktor diantaranya seperti persaingan,

pemangsaan dan iklim. Menurut Duellman & Trueb (1994), struktur komunitas

berudu dapat dipengaruhi oleh adanya berbagai tekanan selektif.

Penelitian mengenai berudu Anura di Indonesia masih sedikit dilakukan dan

lebih banyak mengenai deskripsi jenis seperti tentang berudu Bufo celebensis (Leong & Chou 2000), berudu Philautus vittiger (Kusrini et al. 2008), serta berudu Rhacophorus reinwardtii dalam penelitian Yazid (2006). Sampai saat ini laporan penelitian mengenai struktur komunitas berudu di Indonesia hanya

terdapat di Sulawesi (Gillespie et al. 2004), sementara di negara tetangga, Inger et al. (1986) melaporkan tentang organisasi komunitas berudu di Pulau Kalimantan tepatnya di Sarawak.

Menurut Kusrini et al. (2007) terdapat 18 jenis Anura di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sedangkan khusus di Sungai Cibeureum

terdapat 6 jenis Anura. Penelitian mengenai struktur komunitas berudu Anura

belum pernah dilakukan di Sungai Cibeureum TNGGP. Pada penelitian ini akan

(16)

keanekaragaman berudu berdasarkan berbagai karakteristik sungai, mikrohabitat

berudu serta fase perkembangbiakan berudu.

1.2 Tujuan

Penelitian tentang struktur komunitas berudu Anura di Sungai Cibeureum

TNGGP ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur:

a. Komposisi dan keanekaragaman jenis berudu Anura pada berbagai

karakteristik mikrohabitat

b. Hubungan struktur komunitas berudu Anura dengan karakteristik

mikrohabitat

c. Perbedaan kelas umur berudu Anura yang ditemukan pada dua musim

berbeda

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan data awal mengenai struktur

komunitas berudu Anura di TNGGP sehingga dapat memberikan masukan kepada

pengelolaan TNGGP khususnya dalam pengelolaan habitat amfibi agar terhindar

(17)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anura

Anura (katak dan kodok) merupakan salah satu ordo Amfibi selain Caudata

(salamander) dan Gymnophiona (sesilia). Famili-famili dari Ordo Anura yang

terdapat di Indonesia adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophrydae

(Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Mycrohylidae,

Pelodryadidae (sering dianggap sebagai anak famili dari Hylidae), Ranidae,

Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).

Katak mudah dikenal dari bentuk tubuhnya yang tampak seperti berjongkok

dengan empat kaki untuk melompat (kaki depan memiliki empat jari dan kaki

belakang memiliki lima jari), leher tidak jelas dan tidak berekor. Matanya

berukuran besar dengan pupil mata horizontal dan vertikal, ada yang berbentuk

berlian atau segiempat yang khas untuk jenis-jenis tertentu. Kulit tubuhnya

bervariasi dari halus pada beberapa jenis katak, sampai kasar dan tertutup oleh

tonjolan-tonjolan pada jenis kodok. Ukuran katak di Indonesia umumnya

bervariasi, dari yang terkecil hanya 10 mm dengan berat 1-2 gram, sampai dengan

jenis yang berukuran 280 mm dan berat lebih dari 1500 gram (Iskandar 1998).

2.2 Morfologi Berudu Anura

Berudu Anura berbentuk seperti ikan dengan badan berukuran pendek yaitu

kira-kira 25-35% dari panjang total. Bentuk ekor menyamping dan terdiri dari

sumbu utama caudal muscular dengan sirip ventral dan dorsal. Sirip ventral merupakan sambungan dari posterior hingga ujung ekor, sedangkan sirip dorsal

merupakan perpanjangan dari ujung badan hingga ujung ekor (Gambar 1).

(18)

Karakteristik tubuh berudu sedikit menonjol, tanpa kelopak mata, nares lebar dan mulut lebar yang berbentuk seperti celah (Duellman & Trueb 1994).

Mulut berudu terdiri dari geligi atas, geligi bawah, papilla yang berada pada

pinggir mulut dan keratinous maxilla (Cogger & Zweifel 2003). Berudu memiliki kulit yang sangat tipis, berlapis-lapis, kulit luar tanpa keratin, dan pada area tubuh

yang berbeda terdapat korium yang tebal dengan jaringan penghubung (Hofrichter

1999).

Pada awal pertumbuhannya berudu Anura memiliki insang luar dan anterior

yang terletak pada lipatan kulit. Pada berudu Anura muda, insang akan tertutup ke

dalam operkular yang terbuka ke sebelah luar melalui spirakel yang berbentuk

corong atau sepasang spirakel. Letak dan jumlah spirakel berbeda-beda tergantung

pada jenis spesies.

Orton (1953) dalam Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa terdapat empat tipe utama berudu yaitu Tipe I – IV yang tergantung pada struktur

operkular, pembukaan tubuh dan bentuk mulut:

a. Berudu Tipe I; terdiri atas famili Pipidae dan Rhinophrynidae yang yang

memiliki sepasang spirakel, tanpa keratin dan memiliki batas sensori barbell

yang sederhana.

b. Berudu Tipe II; yaitu dari famili Microhylidae. Berudu tipe ini sama seperti

berudu Tipe I yaitu tidak memiliki bagian mulut sejati. Selain itu, berudu

Tipe II tidak memiliki barbell dan memiliki satu operkular dengan satu

median posterior spirakel.

c. Berudu Tipe III; terdiri atas famili Ascaphidae dan Discoglossidae Berudu

Tipe III memiliki operkular yang dangkal sama seperti salamander dan tidak

memiliki otot ketiga interbrancialis.

d. Berudu Tipe IV; merupakan tipe berudu Anura pada umumnya, selain

berudu Tipe I – III. Berudu Tipe IV memiliki “paruh cukur”, insang dalam

dan saringan depan katup rongga “buccopharyngeal” yang tidak

(19)

2.3 Habitat Berudu

Berudu Anura dapat dijumpai di sungai-sungai, kolam-kolam maupun di

tempat yang bersifat sementara seperti genangan air dan parit/selokan (Duellman

& Trueb 1994). Berudu juga dapat ditemukan di aliran air yang tenang seperti

pada berudu Limnonecteskuhlii. Namun, beberapa berudu juga dapat hidup di air

deras seperti pada berudu Meristogenys dan Huia (Iskandar 1998). Berudu tersebut memiliki perut yang dilengkapi dengan sebuah mangkuk penghisap

berukuran besar agar dapat melekat pada batu-batu atau benda lain yang terdapat

di dalam air.

Selain itu juga ditemukan berudu yang dapat beradaptasi dengan arus air

seperti pada Bufo asper, namun jenis ini hanya dapat bertahan dalam arus air yang lambat sampai sedang. Mulut B. asper dimodifikasi untuk melekat pada substrat dalam air. Berudu dari marga Megophrys dapat ditemukan di lekukan-lekukan anak sungai beraliran agak deras di hutan (Mistar 2003).

Berudu katak merupakan herbivora, kecuali berudu Kaloula dan Kalophrynus yang sama sekali tidak makan dan sepenuhnya mendapat makanan dari kuning telur yang tersedia, serta berudu Occidozyga yang bersifat karnivora yang memakan larva serangga dan cacing tanah atau cacing air tawar. Berudu

biasanya makan di dasar perairan, kecuali berudu Microhyla achatina dan Megophrys montana yang mencari makan di permukaan air (Iskandar 1998). Menurut Hofrichter (1999), berudu menyaring alga dari air dengan bantuan

kantung insang yang besar dan dengan sedikit keratin geligi dan memakan alga

yang tumbuh di bebatuan dan tanaman air.

2.4 Perkembangbiakan Berudu

Semua jenis Anura memiliki berudu yang hidup bebas, kecuali jenis

Oreophryne (Iskandar 1998) dan beberapa jenis Philautus seperti Philautus cf. leucorhinus (Gururaja & Ramachandra 2006), Philautus viridis, Philautus hallidayi (Bahir et al. 2005) dan Philautus glandulosus (Krishnamurthy et al. 2002) yang memiliki telur berukuran besar dengan perkembangan langsung

(20)

berbagai habitat yaitu di kolam atau genangan sementara, di air yang menggenang

dalam lubang pohon atau lekukan batang daun, hidup di air deras dan tepi sungai

atau genangan lubuk (Iskandar 1998).

Katak umumnya dapat bertelur hingga beberapa ratus telur, baik dalam

bentuk untaian seperti pada Bufo atau dalam satu kelompok telur yang dibungkus lendir. Pada jenis Polypedates leucomystax (Irawan 2008) dan Rhacophorus reinwardtii (Yazid 2006) diketahui menyimpan telurnya dalam sarang busa. Ukuran besar telur bervariasi antara 1,2 mm sampai 3 mm (Iskandar 1998). Jenis

Bufo dan Fejervarya dapat bertelur beberapa ribu butir dan sebaliknya, Rana dan Rhacophorus hanya bertelur 50-100 butir (Iskandar 1998) dan pada jenis Philautus vittiger dapat menghasilkan telur rata-rata 52 butir dalam satu sarang (Kusrini et al. 2008).

Pada penelitian Rhacophorus reinwardtii, diketahui telur akan berkembang menjadi berudu dalam waktu 5-7 hari dan telur akan jatuh ke dalam genangan air

ketika hujan turun. Berudu akan berkembang di dalam genangan air sampai

berudu memiliki kaki belakang dan kaki depan. Waktu yang dibutuhkan untuk

berudu berkaki adalah 30-60 hari bergantung pada ketersediaan pakan. Berudu

yang telah berkaki akan menjadi katak muda dan ekor akan menghilang dalam

waktu 3-4 hari (Yazid 2006). Hal ini berbeda dengan Philautus vittiger yang

membutuhkan waktu selama tiga bulan, mulai dari telur, berudu hingga

bermetamorfosis secara penuh (Kusrini et al. 2008), serta pada berudu jenis Odontophrynus americanus yang juga mengalami metamorfosis kira-kira tiga bulan (Eterovick et al. 2000).

2.5 Struktur Komunitas

Komunitas terdiri atas sejumlah populasi dari jenis-jenis organisme yang

hidup dalam suatu habitat tertentu yang saling berinteraksi (Krebs 1978). Menurut

Odum (1993), komunitas biotik merupakan kumpulan populasi yang hidup di

daerah tertentu atau habitat fisik tertentu dan merupakan satu kesatuan yang

terorganisir dan mempunyai hubungan timbal balik. Struktur komunitas

(21)

Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan atau

komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan struktur

komunitas yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies dan organisasi

fungsional (Schowalter 1996).

Menurut Inger et al. (1986), komunitas berudu sungai memiliki dua ciri utama yaitu kelompok gabungan jenis-jenis larva dan perbedaan pada kumpulan

spesies dalam berbagai tipe mikrohabitat. Keteraturan dalam organisasi muncul

untuk menengahi tiga faktor yaitu perilaku reproduksi individu dewasa, tanggapan

morfotipe untuk kondisi fisik dan metode pakan.

(22)

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat (Gambar 2). Pengumpulan data lapangan

dilaksanakan pada bulan Desember 2008, Juli-November 2009.

Gambar 2 Lokasi penelitian Sungai Cibeureum TNGGP.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan penelitian terbagi berdasarkan jenis kegiatan, meliputi

pembuatan plot pengamatan, pengambilan data satwa, pengukur faktor lingkungan

dan dokumentasi (Gambar 3 dan Tabel 1).

(23)

Tabel 1 Alat dan bahan penelitian

No. Nama Alat dan Bahan Kegunaan

1. Pembuatan Plot Pengamatan

a. Meteran (50 m) Pengukuran plot pengamatan

b. Flagging tape Sebagai penanda pada plot pengamatan 2. Pengambilan Data Satwa

a. Jaring

b. Kantung plastik c. Spidol permanen

d. Tallysheet dan buku catatan lapang + alat tulis

n. Buku identifikasi amfibi

Menangkap berudu

Tempat menampung sementara sample Pelabelan pada kantung plastik Mendokumentasikan data lapangan

Pengukuran panjang tubuh/SVL (Snout Venth Length)

Memudahkan dalam mengidentifikasi berudu

Untuk mengukur kecepatan arus air Pembuatan voucher specimen

Tempat peralatan

Tampat meletakkan berudu

Tempat meletakkan berudu pada saat dilakukan pengukuran

Memperbesar penglihatan Pengukuran pH

1. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa Dan Bali – Seri Panduan Lapang. Bogor: Puslitbang – LIPI.

2. Gosner LK. 1960. A Simplified Table for Staging Anuran Embryos and Larvae with Notes on Identification. Herpetologica. 16(3): 183-190.

3. Pengukuran Faktor Lingkungan a. Termometer

f. Tallysheet dan buku catatan lapang + alat tulis

g. Flagging tape

Pengukur suhu udara dan air

Pengukur suhu bola basah-bola kering Pengukur kecepatan aliran sungai Pengukur lebar dan kedalaman air sungai

Pengukur kemiringan tebing (sisi) sungai

Mendokumentasikan data lapangan

Sebagai penanda pada plot pengamatan 4. Dokumentasi

a. Kamera digital Pembuatan foto

3.3 Jenis Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer yang

dikumpulkan berupa data berudu dan lingkungan. Data berudu yang diambil

(24)

dan karakterisitik berudu yaitu panjang total (TL) (Gambar 4) dan tahap (stage) pertumbuhan berudu.

Gambar 4 Morfologi berudu Anura (Sumber: http://fisc.er.usgs.gov).

Data lingkungan yang diambil berupa kondisi cuaca, suhu dan kelembaban

udara, kedalaman air, jenis substrat dasar sungai, vegetasi dominan, kecepatan

aliran air, suhu air, dan pH air. Data sekunder diperoleh dari studi literatur tentang

kondisi umum lokasi penelitian dan data iklim maupun curah hujan di lokasi

penelitian. Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Klimatologi Darmaga (2010)

untuk stasiun pengamatan iklim terdekat yaitu SMPK Pacet dari tahun 2005

sampai 2009.

3.4 Pengumpulan Data

Data berudu Anura diperoleh melalui pencarian pada transek sungai dengan

panjang total plot pengamatan yaitu 224 meter. Pengambilan data diambil pada 35

plot yang masing-masing berukuran 2x2 meter di kiri dan kanan sungai berselang

seling yang tersebar pada lokasi Curug 3 (12 plot), HM 28 (9 plot), HM 26 (6

plot) dan HM 25 (8 plot). Jarak antara plot pengamatan satu dengan yang lainnya

sejauh 5 meter (Gambar 5). Plot pengamatan yang digunakan semakin lama

semakin menjauhi curug (air terjun).

(25)

Gambar 5 Sketsa plot pengambilan berudu Anura di Sungai Cibeureum TNGGP.

Pengambilan data primer dilakukan melalui pencarian berudu dengan

menggunakan metode Visual Encounter Surveys (VES) with transect design (survei perjumpaan visual dengan rancangan transek) yang dikombinasikan

dengan metode sampling kuantitatif larva amfibi (Heyer et al. 1994). Pencarian dilaksanakan pada pukul 10.00-14.00 WIB sebanyak 2 kali yaitu pada musim

hujan (Desember 2008, November 2009) dan musim kemarau (Juli 2009 &

Agustus 2009) pada plot dan lokasi yang sama.

Penangkapan berudu dilakukan dengan menggunakan jaring kecil (dip net) di setiap plot pengamatan. Berudu yang telah diambil, dihitung jumlahnya.

Berudu tidak langsung dikembalikan ke plot pengamatan tetapi diletakkan di

tempat terpisah. Penangkapan dilakukan berulang kali untuk memastikan tidak

ada berudu yang tertangkap kembali. Selanjutnya dilakukan pencatatan data

berudu (panjang total dan tahap pertumbuhan). Setelah dilakukan pencatatan,

berudu dikembalikan ke plot semula dimana berudu diambil.

Data lingkungan berupa kondisi cuaca, suhu, kelembaban udara dan suhu air

diambil pada setiap pencarian berudu. Kondisi habitat per plot pengamatan

diambil setelah dilakukan pengambilan berudu. Parameter habitat yang diukur

(26)

dan spesies vegetasi dominan. Lebar sungai diperoleh dengan cara mengukur

jarak dari pinggir-pinggir sungai pada setiap plot. Substrat dasar air kolam setiap

plot yang ditemukan dapat dikategorikan sebagai berikut: batu besar (>250 mm),

batu (50-250 mm), batu kerikil (15-50 mm), kerikil (2-15 mm), pasir (0.06-2

mm), lumpur dan tanah liat (<0.06 mm) (Dayton 2005). Kedalaman air sungai

pada setiap plot diukur pada bagian kiri, kanan dan bagian tengah plot. Kecepatan

arus sungai dapat dikategorikan sebagai berikut: sangat cepat (>1 m/detik), cepat

(0,5-1 m/detik), sedang (0,25-0,5 m/detik), lambat (0,1-0,25 m/detik) dan sangat

lambat (<0,1 m/detik) (Mason 1981). Vegetasi dominan dilihat pada jenis vegetasi

yang banyak dijumpai pada setiap plot pengamatan.

3.5 Identifikasi Berudu

Identifikasi berudu dilakukan berdasarkan Iskandar (1998) dan kelas umur

berudu berdasarkan tahapan perkembangan berudu dilihat berdasarkan Gosner

Stage (Gosner 1960) (Gambar 6). Berdasarkan hal tersebut, berudu dibagi menjadi

kelas umur berdasarkan tahapan dimana tahap 24-28: berudu telah menetas dari

telur dan belum terlihat kaki, tahap 29-35: kaki belakang berudu telah tumbuh

dan dapat dilihat dengan mudah, tahap 36-40: jari kaki belakang mulai terbentuk

dan tahap 41-46: kaki depan muncul dan ekor mulai memendek.

Menurut Kusrini et al. (2007), terdapat paling tidak 6 jenis katak yang dijumpai di daerah sekitar Cibeureum antara lain Leptophryne cruentata, Megophrys montana, Rhacophorus margaritifer, Huia masonii, Limnonectes kuhlii, dan Philautus aurifasciatus. Namun jenis Philautus aurifasciatus tidak memiliki berudu sehingga pada lokasi ini hanya ditemukan lima jenis berudu

Anura. Gambar 7 menunjukkan jenis-jenis berudu yang kemungkinan besar

(27)

Gambar 6 Tahapan perkembangan berudu Gosner Stage (Sumber: Duellman & Trueb 1994).

(28)

Gambar 7 Jenis-jenis berudu yang kemungkinan dapat ditemukan di Sungai Cibeureum antara lain (a) Leptophryne cruentata, (b) Megophrys montana, (c) Rhacophorus margaritifer, (d) Huia masonii dan (e) Limnonectes sp. (Sumber: Iskandar 1998).

3.6 Analisis Data

Dalam analisis, data dikelompokkan menjadi data musim hujan dan data

musim kemarau. Data musim hujan merupakan data yang diambil pada bulan

Desember 2008 dan November 2009, dan data musim kemarau adalah data yang

diambil pada bulan Juli dan Agustus 2009.

3.6.1 Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Berudu Anura

Komposisi berudu dianalisis dengan melihat nilai rataan jumlah berudu

yang ditemukan dengan rumus:

Keterangan: = nilai rata-rata berudu

= jumlah berudu jenis ke-i

= jumlah total seluruh berudu yang ditemukan

Kepadatan berudu dianalisis dengan menggunakan rumus:

a b c

(29)

3.6.2 Karakteristik Mikrohabitat Berudu Anura

Penentuan pengaruh karakteristik mikrohabitat berudu Anura dianalisis

dengan pendekatan regresi linear menggunakan software SPSS 15.0 (nilai P = 0,05). Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0 = variabel mikrohabitat tidak secara nyata berhubungan dengan jenis berudu

Anura

H1 = variabel mikrohabitat secara nyata berhubungan dengan jenis berudu

Anura

pada taraf nyata 0,05, tolak H0 jika:

a) Fhitung > Ftabel atau,

b) Sig F < α

3.6.3 Kisaran Ukuran Tubuh dan Tahap Pertumbuhan Berudu Anura

Kisaran ukuran tubuh dan tahapan pertumbuhan berudu dianalisis secara

deskriptif. Analisis digambarkan dalam bentuk grafik menggunakan software SPSS 15.0.

(30)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) secara geografis

terletak antara 106°51’ –107°02’ BT dan 6°51’ LS. Kawasan TNGGP terletak di

3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 ha), Sukabumi (6.781,98 ha)

dan Bogor (4.514,73 ha). Luas TNGGP awalnya sebesar 15.196 ha dan saat ini

diperluas menjadi 21.975 ha sesuai SK Menhut No. 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni

2003. Sesuai ketentuan Pasal 32 dan 33 dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1990, maka zonasi di TNGGP terdiri dari zona inti (7.400 ha), zona rimba

(6.848,30 ha) dan zona pemanfaatan (948,70 ha).

Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson, TNGGP termasuk ke dalam tipe

iklim A (nilai Q = 5-9%), curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan

tahunan 3.000-4.200 mm. Suhu udara rata-rata di puncak Gunung Gede dan

Gunung Pangrango pada siang hari berkisar 10oC, namun pada musim kemarau

suhunya dapat mencapai 0oC. Kelembaban udara berkisar antara 80-90%.

Keadaan sungai di kawasan ini secara umum berbentuk radial. Sungai-sungai

tersebut memisahkan punggung-punggung bukit dan membentuk sungai yang

lebih lebar di bagian bawah. Sebagian besar sungai di kawasan ini merupakan

sungai abadi dengan mata air yang mempunyai debit rata-rata lebih kecil dari 10

liter/detik (Dephut 2007).

Sungai Cibeureum merupakan sungai yang alirannya berasal dari tiga air

terjun (curug) yaitu Curug Cibeureum (±30 m), Curug Cidenden (±25), dan Curug

Cigundul (±40 m). Setiap curug memiliki debit air yang berbeda dan debit air

yang terbesar yaitu Curug Cibeureum. Penelitian dilakukan di sepanjang sungai

Cibeureum yang terbagi menjadi empat lokasi pada Curug Cigundul (Curug 3),

patok HM 28, patok HM 26 dan patok HM 25.

Lokasi pertama penelitian ini adalah Curug Cigundul (Curug 3). Vegetasi

(31)

Gambar 8 Kondisi umum habitat di lokasi Curug 3.

Lokasi kedua yaitu patok HM 28 (Gambar 9). Aliran sungai pada lokasi ini

berasal dari Curug Cibeureum dan letaknya berdekatan dengan Curug Cibeureum.

Lokasi ini berada pada ketinggian 1.685 mdpl. Vegetasi yang paling dominan

ditemukan yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens). Sungai yang terdapat pada lokasi ini terdapat bebatuan yang berukuran sedang hingga besar dan terdapat

aliran sungai yang membentuk kolam.

Gambar 9 Kondisi habitat di lokasi patok HM 28.

Lokasi penelitian ketiga dan keempat yaitu di patok HM 26 dan HM 25

(Gambar 10). Lokasi ini merupakan bagian dari jalur interpretasi yang terdapat

jembatan kayu. Sungai yang mengalir pada lokasi ini berasal dari aliran Curug

(32)

kecubung (Brugmansia suaveolens) yang terdapat pada kanan dan kiri jembatan. Substrat air pada lokasi ini terdiri dari kerikil, pasir, dan lumpur & tanah liat.

(a) (b)

(33)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Komposisi dan Keanekargaman Berudu Anura

Jenis berudu Anura yang ditemukan di Sungai Cibeureum yaitu sebanyak

empat jenis antara lain Megophrys montana (Megophrydae), Leptophryne cruentata (Bufonidae), Rhacophorus margaritifer (Rhacophoridae), dan Huia masonii (Ranidae) (Gambar 11). Jenis yang paling banyak ditemukan yaitu berudu Leptophryne cruentata sebesar 37,13% (495 individu) dan yang paling

sedikit ditemukan yaitu berudu Huia masonii sebesar 0,07% (1 individu).

Gambar 11 Jenis-jenis berudu di Sungai Cibeureum (TNGGP) antara lain Megophrys montana (a), Leptophryne cruentata (b), Rhacophorus margaritifer (c), dan Huia masonii (d).

Berdasarkan plot yang diamati (Gambar 12) dapat dilihat bahwa berudu

Leptophryne cruentata dan Megophrys montana ditemukan pada plot yang sama baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Berudu Rhacophorus margaritifer jarang ditemukan bersama berudu lainnya dan cenderung terpisah.

Pada penelitian ini letak plot pengamatan semakin lama semakin menjauhi

air terjun (curug) (Gambar 5). Berudu Leptophryne cruentata dan Megophrys

montana cenderung ditemukan pada plot yang berdekatan dengan curug,

sedangkan berudu Rhacophorus margaritifer lebih sering ditemukan pada plot yang letaknya jauh dari curug.

(b) (a)

(34)

Gambar 12 Jenis berudu pada setiap plot pengamatan pada musim penghujan dan musim kemarau.

Pengamatan dilakukan pada empat lokasi yaitu Curug 3 (plot 1-12), patok

HM 28 (plot 13-21), patok HM 26 (plot 22-27), dan patok HM 25 (plot 28-35).

Pada musim hujan maupun musim kemarau, berudu paling banyak ditemukan di

Curug 3, yaitu sebanyak 510 individu (musim hujan) dan 431 individu (musim

kemarau). Sementara itu, lokasi yang paling sedikit dijumpai berudu yaitu patok

HM 25 sebanyak 1 individu pada musim hujan dan 9 individu pada musim

kemarau.

(35)

ditemukan di plot 29 (patok HM 25), baik pada musim hujan dan musim

kemarau. Berudu Huia masonii hanya ditemukan di plot 19 (patok HM 28) pada musim kemarau.

Dari 35 plot yang diteliti, jumlah plot yang berisi berudu Megophrys montana, Leptophryne cruentata dan Rhacophorus margaritifer pada musim hujan berturut-turut adalah 11 plot, 7 plot dan 4 plot. Pada saat musim kemarau

jumlah plot yang berisi berudu di atas adalah sebanyak 12 plot, 10 plot dan 9 plot

serta terdapat 1 plot yang berisi berudu Huia masonii. Kepadatan berudu pada musim hujan terbesar yaitu pada berudu Leptophryne cruentata sebesar 35,85 ind/plot, sedangkan pada musim kemarau kepadatan terbesar yaitu pada berudu

Rhacophorus margaritifer sebesar 34,33 ind/plot (Gambar 13). Kepadatan jenis yang paling kecil yaitu pada jenis berudu Huia masonii sebesar 1,00 ind/plot.

Gambar 13 Grafik kepadatan berudu pada setiap plot yang dijumpai berudu.

5.1.2 Karakteristik Mikrohabitat

Hasil pengukuran pH di semua plot pengamatan menunjukkan nilai pH 6.

Pengukuran lebar badan sungai pada musim hujan berkisar antara 0,37-9,40 meter

dengan kecepatan arus air mulai dari sangat lambat sampai cepat yang nilainya

berkisar antara 0-0,86 m/s. Suhu air yang diperoleh yaitu 15,5-18°C. Pada musim

kemarau, lebar badan sungai berkisar antara 0,28-6,80 meter dan kecepatan arus

air dari sangat lambat hingga cepat dengan kisaran 0,013-1 m/s. Suhu air pada

(36)

Substrat sungai terdiri dari batu, kerikil, pasir, dan lumpur&tanah liat.

Substrat yang mendominasi yaitu batu yang ditemukan di 11 plot pengamatan.

Jenis vegetasi dominan di sekitar plot pengamatan yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens) dan pacar tere (Impatiens platypetala). Kecepatan arus di lokasi penelitian mulai dari cepat (0,5-1 m/detik), sedang (0,25-0,5 m/detik), lambat

(0,1-0,25 m/detik), dan sangat lambat (<0,1 m/detik). Berdasarkan substrat dan

kecepatan arus tersebut, tipe mikrohabitat dapat dikelompokkan menjadi tiga

jenis yaitu sungai arus deras (torrents), sungai arus sedang (riffles), dan daerah sungai berkerikil (shingleareas) (Tabel 2).

Tabel 2 Tipe habitat berudu berdasarkan kondisi substrat dan kecepatan arus

Tipe mikrohabitat berudu Megophrys

montana

Keterangan: tidak dilakukan pembedaan pada musim hujan dan musim kemarau * berudu ditemukan

- berudu tidak ditemukan

Berdasarkan tipe mikrohabitat (Tabel 2) dapat dilihat bahwa pada

mikrohabitat sungai arus deras tidak dijumpai berudu. Berudu baru dapat

ditemukan pada mikrohabitat sungai arus sedang dan daerah sungai berkerikil.

Berdasarkan tabel distribusi mikrohabitat berudu (Tabel 3), berudu Megophrys montana paling banyak ditemukan di sungai arus sedang (386 individu), berudu Leptophryne cruentata banyak ditemukan di sungai arus sedang (490 individu), dan Rhacophorus margaritifer banyak ditemukan pada daerah sungai berkerikil (337 individu).

Tabel 3 Distribusi mikrohabitat berudu pada musim hujan dan musim kemarau

Jenis berudu Jumlah individu

Sungai arus

Leptophryne cruentata 0 490 5

Rhacophorus margaritifer 0 43 337

Total 0 919 414

(37)

Kondisi cuaca pada saat pengamatan, baik pada musim hujan maupun pada

musim kemarau lebih sering cerah (70%). Suhu air yang diperoleh berkisar antara

15°C sampai 18°C dan suhu udara berkisar antara 16,5°C sampai 20°C.

Kelembaban yang diperoleh berkisar 71% sampai 90% (Tabel 4). Data curah

hujan TNGGP diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

(BMKG) Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor di Lokasi SMPK Pacet (Gambar

14).

Tabel 4 Kondisi cuaca lokasi pengamatan

Tanggal Suhu (°C) Kelembaban

(%) (BMKG Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor 2010).

0,0

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

(38)

5.1.3 Hubungan Struktur Komunitas Berudu Anura dengan Karakteristik Mikrohabitat

Hasil analisis regresi linear menunjukkan bahwa variabel mikrohabitat

seperti kedalaman sungai, kecepatan arus, jenis substrat dan tipe arus tidak terjadi

gejala multikolinearitas sehingga semua variabel dapat digunakan untuk menduga

hubungan variabel dengan keberadaan berudu. Hubungan variabel mikrohabitat

dengan keberadaan berudu Megophrys montana memiliki nilai r=0,265 (Sig=0,785) sehingga keberadaan berudu M. montana tidak dapat diduga melalui variabel yang digunakan (Lampiran 1). Mikrohabitat juga tidak mempengaruhi

keberadaan berudu Leptophryne cruentata (r=0,316; Sig=0,554) karena hubungan antara variabel mikrohabitat dengan L. cruentata tergolong rendah (Lampiran 2). Seperti halnya M. montana dan L. cruentata, keberadaan berudu Rhacophorus

margaritifer juga tidak berhubungan nyata dengan variabel mikrohabitat yang ditunjukkan dengan nilai r=0,333 dan Sig=0,469 (Lampiran 3).

5.1.4 Tingkat Pertumbuhan Berudu Anura

Berdasarkan hasil pengamatan, berudu Anura di Sungai Cibeureum

ditemukan berada pada tahap yang berbeda-beda mulai dari tahap 24-42 dan

tahap 44. Dari tahapan 24-46, dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu

tahap 24-28 (berudu belum terlihat kaki), tahap 29-35 (berudu mulai terlihat kaki

belakang), tahap 36-40 (jari kaki belakang berudu mulai terbentuk), dan tahap

41-46 (kaki depan berudu muncul dan ekor mulai memendek).

Tabel 5 Daftar tahapan pertumbuhan berudu Anura di Sungai Cibeureum

Tahap

Keterangan: *berudu ditemukan

- berudu tidak ditemukan

(39)

pertumbuhan, sedangkan berudu Huia masonii yang ditemukan hanya berada pada tahap 25 karena hanya ditemukan satu individu. Dari keempat jenis berudu yang

ditemukan, berudu Leptophryne cruentata ditemukan hampir pada semua tahapan yaitu mulai dari tahap 24 sampai tahap 42 dan tahap 44 (Gambar 15). Berudu

Megophrys montana ditemukan mulai dari tahap 25 – 32, tahap 34, tahap 39, tahap 41, dan tahap 42 (Gambar 16).

Gambar 15 Tahap pertumbuhan berudu Leptophryne cruentata (a) tahap 24-28, (b) tahap 29-35, (c) tahap 36-40 dan (d) tahap 41-46.

Gambar 16 Tahap pertumbuhan berudu Megophrys montana (a) tahap 24-28, (b) tahap 29-35, dan (c) tahap 36-40.

(a)

(c) (d)

(b)

(a) (b)

(c)

(40)

Berudu Rhacophorus margaritifer hanya ditemukan mulai dari tahap 25 – 39 dan tahap 41 (Gambar 17). Berudu Huia masonii hanya ditemukan pada tahap 25 karena selama pengamatan hanya ditemukan 1 individu.

Gambar 17 Tahap pertumbuhan berudu Rhacophorus margaritifer (a) tahap 24-28, (b) tahap 29-35, (c) tahap 36-40, dan (d) tahap 41-46.

Berudu yang ditemukan di Sungai Cibeureum pada musim hujan dan

kemarau didominasi oleh berudu dengan kisaran tahap 24-28 (Gambar 18).

Berudu Megophrys montana pada musim hujan dan kemarau didominasi pada tahap 24-28 yaitu 240 individu dan 190 individu. Berudu Leptophryne cruentata pada musim hujan paling banyak ditemukan pada tahap 29-35 yaitu sebanyak 84

individu, sedangkan pada musim kemarau lebih didominasi oleh berudu pada

tahap 24-28 sebanyak 185 individu. Berudu Rhacophorus margaritifer baik pada musim hujan maupun musim kemarau sama-sama didominasi berudu pada tahap

24-28 yaitu 64 individu dan 296 individu.

(a) (b)

(41)

Gambar 18 Grafik tahapan pertumbuhan berudu Anura di Sungai Cibeureum pada musim hujan dan musim kemarau.

5.1.5 Kisaran Ukuran Tubuh Berudu Anura

Kisaran ukuran tubuh berudu Anura dinyatakan dalam panjang total dari

ujung moncong hingga ujung ekor berudu (Total Length) baik berudu belum berkaki maupun sudah memiliki kaki (depan dan belakang). Pada musim hujan

dan kemarau tidak terdapat perbedaan kisaran ukuran tubuh berudu yang

ditangkap.

Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa pada musim hujan kisaran ukuran

tubuh berudu Megophrys montana paling besar terdapat pada stage 25 yaitu dari

16,00-51,00 mm dengan rata-rata 33,18 mm. Pada musim kemarau, kisaran

berudu Megophrys montana yang paling besar yaitu pada stage 25 yaitu 11,28 - 52,18 mm dengan nilai rata-rata 29,25 mm. Beberapa tahapan pertumbuhan tidak

dapat dilihat kisaran ukuran tubuhnya karena hanya ditemukan satu individu.

240

Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau

(42)

tubuh berudu Leptophryne cruentata terbesar berada pada kisaran 11,92-23,02 mm dengan rata-rata 17,95 mm.

(43)

Gambar 20 Kisaran ukuran tubuh berudu Leptophryne cruentata pada musim hujan dan kemarau.

Kisaran ukuran tubuh terbesar berudu Rhacophorus margaritifer pada musim hujan berada antara 12,00-34,7 mm dengan nilai rata-rata 23,69 mm

(Gambar 21). Pada musim ini, berudu Rhacophorus margaritifer yang ditemukan hanya pada stage 25, 30, 31, dan 32 sehingga tidak terlihat pola kisaran ukuran

tubuhnya. Pada musim kemarau, kisaran ukuran tubuh berudu Rhacophorus margaritifer paling besar berada antara 16,30-42,48 mm dengan nilai rata-rata 26,25 mm. Pada musim ini terdapat 4 stage berudu yaitu stage 35, 39, 41, dan 42

yang tidak bisa dilihat kisaran ukuran tubuhnya.

(44)

Gambar 21 Kisaran ukuran tubuh berudu Rhacophorus margaritifer pada musim hujan dan kemarau.

Stage

42 41 39 35 34 32 31 30 29 28 27 26 25

TL

(m

m

)

50

40

30

20

10

0

288 350 290

224

198 3

Kemarau Hujan

(45)

5.2 Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis berudu Anura

di Sungai Cibeureum lebih rendah dengan keanekaragaman jenis berudu di

Kalimantan (Inger et al. 1986) yaitu sebanyak 29 jenis dan di Pulau Buton, Sulawesi (Gillespie et al. 2004) yaitu sebanyak 8 jenis. Adanya perbedaan jumlah

jenis yang ditemukan karena pengaruh pemilihan lokasi dan lamanya waktu

pengambilan data. Hal ini terlihat pada penelitian Inger et al. (1986) yang mengambil data berudu mulai tahun 1962 hingga tahun 1984, sehingga berudu

yang ditemukan lebih banyak.

Menurut Kusrini et al. (2007) jenis Anura yang ditemukan di Sungai Cibeureum berjumlah enam jenis. Pada penelitian ini hanya ditemukan empat

jenis Anura yang dijumpai pada tahap berudu. Berudu yang tidak ditemukan yaitu

dari jenis Philautus aurifasciatus dan Limnonectes kuhlii. Jenis Philautus aurifasciatus tidak ditemukan karena dalam perkembangannya katak jenis ini tidak memiliki berudu (Iskandar 1998). Berudu Limnonectes kuhlii tidak ditemukan karena plot pengamatan yang diambil tidak termasuk habitatnya.

Menurut Inger (1966) berudu Limnonectes kuhlii memiliki habitat di kolam-kolam kecil terisolasi yang masih terdapat aliran.

Berudu memiliki mikrohabitat yang mencakup berbagai kondisi, meskipun

tidak bervariasi seperti katak dewasa (Inger & Stuebing 1997). Menurut Inger

(1985) terdapat beberapa tipe mikrohabitat pada sungai antara lain: sungai arus

deras (torrents), sungai arus sedang (riffles), daerah sungai berkerikil (shingle areas), kolam terbuka (open pools), tumpukan daun (leaf drifts), tepi kolam yang terlindungi (protected side pools), lubang-lubang jalan, rembesan tanggul, dan

kolam yang kadang-kadang terjadi di sungai. Pada penelitian ini hanya ditemukan

tiga tipe mikrohabitat yaitu sungai arus deras (torrents), sungai arus sedang

(riffles) dan daerah berkerikil (shingle areas). Tipe mikrohabitat sungai arus deras (torrents) memiliki karakteristik arus kuat kadang berbuih, permukaan air pecah dengan substrat batu (diameter >5 cm) dan batu-batu besar. Tipe mikrohabitat

sungai arus sedang (riffles) merupakan sungai dengan permukaan air bergelombang dangkal tetapi tidak berbuih, kecepatan arus menengah, substrat

(46)

mikrohabitat daerah sungai berkerikil (shingle areas) yaitu sungai yang memiliki permukaan air halus dengan substrat oval, berarus lemah hingga menengah serta

terdapat batu-batu berukuran rata-rata 3-10 cm.

Pada penelitian ini, berudu Anura ditemukan pada tipe mikrohabitat sungai

arus sedang dan daerah sungai berkerikil. Hal ini sama seperti pada penelitian

Inger & Stuebing (1997) yang menyatakan bahwa berudu marga Megophrys dan beberapa berudu marga Rhacophorus hidup di daerah sungai arus sedang (riffles). Pada mikrohabitat sungai arus deras sama sekali tidak ditemukan berudu. Menurut

Iskandar (1998) di sungai-sungai arus deras dapat dijumpai berudu Huia masonii, namun penelitian ini berudu Huia masonii hanya ditemukan 1 individu sehingga tidak dapat disimpulkan mikrohabitatnya. Sedikitnya jumlah berudu Huia masonii yang ditemukan diduga karena kurangnya plot pengamatan serta usaha pencarian.

Pada penelitian ini berudu Huia masonii ditemukan di sungai berarus lambat. Hal ini diduga karena berudu terbawa oleh arus sungai.

Dari data yang diperoleh, berudu Megophrys montana dan Leptophryne cruentata banyak ditemukan pada plot yang sama yaitu dengan tipe mikrohabitat

sungai arus sedang, sedangkan berudu Rhacophorus margaritifer cenderung ditemukan pada plot yang berbeda dengan berudu lainnya. Keberadaan berudu

pada plot yang sama diduga tidak mempengaruhi penggunaan ruang. Penggunaan

ruang bagi berudu diduga mempengaruhi bentuk dan letak mulut berudu. Berudu

Megophrys montana memiliki bentuk mulut segitiga terbuka mengarah ke atas

seperti corong sehingga lebih sering berada di permukaan air untuk mencari

makan (Iskandar 1998). Berudu Leptophryne cruentata diduga lebih sering berada di dasar air. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa berudu Leptophryne cruentata menyerupai berudu pada marga Bufo. Pada penelitian berudu Bufo celebensis (Leong & Chou 2000) disebutkan bahwa berudu tersebut berada di dasar air dan

kadang berada di permukaan air untuk memperoleh makanan.

Plot yang digunakan pada penelitian ini semakin menjauhi air terjun

(curug). Berudu Megophrys montana dan Leptophryne cruentata ditemukan di plot yang berada di dekat curug, sedangkan berudu Rhacophorus margaritifer ditemukan di plot yang letaknya jauh dari curug. Letak plot yang mendekati

(47)

setiap plot. Plot yang letaknya dekat curug cenderung berarus kuat sehingga

jarang ditemukan berudu di sana. Kepadatan berudu Leptophryne cruentata dan Megophrys montana cenderung lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan musim kemarau. Sementara hal sebaliknya terjadi pada Rhacophorus margaritifer dimana berudu ini lebih tinggi kepadatannya pada musim kemarau. Mengingat

pada fase telur dan awal menetas dilindungi busa, maka diduga musim tidak

mempengaruhi saat kawin jenis ini sepanjang aliran air tetap tersedia bagi

kelangsungan hidup berudu. Sementara itu dua jenis lainnya, kemungkinan telur

ditaruh langsung di air sehingga keberadaan air yang menyusut pada saat musim

kemarau akan mempengaruhi kelangsungan kawin kedua jenis.

Pada musim kemarau berudu Anura lebih banyak ditemukan dibandingkan

dengan musim hujan. Berudu Anura pada musim kemarau diduga merupakan

berudu yang kemungkinan baru menetas dari telurnya dimana Anura dewasa

bertelur pada musim hujan. Stebbins & Cohen (1995) menyatakan bahwa pada

musim penghujan, kebanyakan jenis amfibi di daerah tropis dimanfaatkan untuk

berkembangbiak. Berudu ditemukan pada setiap musim dapat disebabkan karena

tidak terdapat perbedaan kuat arus dan keberadaan sumber air pada musim

kemarau dengan musim penghujan.

Mikrohabitat memegang peranan penting dalam menentukan

keanekaragaman jenis yang mempengaruhi habitat itu (Kramadibrata 1996).

Secara statistik terlihat bahwa variabel mikrohabitat seperti kedalaman sungai,

kecepatan arus, jenis substrat dan lebar sungai tidak mempengaruhi keberadaan

berudu Megophrys montana, Rhacophorus margaritifer, dan Leptophryne cruentata. Namun demikian, jika dilihat berdasarkan tipe mikrohabitat pada sungai (lihat Tabel 2) maka karakteristik mikrohabitat seperti kecepatan arus dan

jenis substrat mempengaruhi keberadaan berudu Megophrys montana, Leptophryne cruentata dan Rhacophorus margaritifer. Adanya perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh sampel yang tidak mencukupi. Bila dilihat dari

Tabel 2 tersebut, keberadaan berudu Megophrys montana dipengaruhi oleh sungai yang memiliki arus sedang dengan substrat kerikil dan batu berukuran kira-kira 25

cm. Hal ini sama dengan penelitian Inger & Stuebing (1997) yang menyatakan

(48)

Rhacophorus margaritifer dipengaruhi oleh mikrohabitat yang memiliki arus sedang dengan substrat kerikil dan kadang-kadang terdapat batu yang berukuran

kira-kira 25 cm. Penelitian Inger & Stuebing (1997) menyatakan bahwa berudu

famili Rhacophoridae dipengaruhi oleh substrat dan kuat arus. Keberadaan berudu

Leptophryne cruentata dipengaruhi oleh salah satu karakteristik mikrohabitat yaitu arus sungai. Berudu ini ditemukan pada sungai lambat hingga sedang

dengan substrat kerikil berukuran rata-rata 3-10 cm.

Beberapa karakteristik fisik seperti suhu, kelembaban dan suhu air

menunjukkan nilai yang sesuai bagi kehidupan berudu Anura. Suhu di lokasi

penelitian berkisar antara 16,5°-20°C. Menurut Goin et al. (1978) secara umum ordo Anura memiliki batas toleransi suhu pada kisaran 3°-41°C. Hal ini

menunjukkan bahwa suhu udara di kawasan Sungai Cibeureum sesuai untuk

keberadaan berudu Anura. Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa suhu

udara dapat berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan. Suhu yang hangat bisa

memberikan peluang bagi berudu untuk mengoptimalkan pertumbuhannya.

Umumnya berudu mengalami penurunan aktivitas pada kisaran suhu 38°-40°C

(Duellman & Trueb 1994). Selain itu, suhu air berperan dalam proses

tumbuh-kembang berudu untuk bermetamorfosis menjadi katak dewasa (Duellman &

Trueb 1994). Nilai pH air juga dapat mempengaruhi keberadaan berudu. Nilai pH

air di lokasi penelitian yaitu 6,0. Menurut Mattison (1993) nilai pH netral 6,0-7,0

menunjukkan kisaran umum pH yang dapat ditolerir oleh biota air, tetapi ada juga

yang menyebutkan pada kisaran 6,5-9,0 (EPA 1986, Boyd 1982). Pada kisaran pH

4,0-5,0 dapat menyebabkan kematian bagi embrio dan berudu seperti pada

penelitian spesies Rana oleh Tyler-Jones & Beatie (1992) diacu dalam Pratomo (1994).

Dalam metamorfosis menjadi katak dewasa, berudu melewati beberapa

tahapan pertumbuhan. Menurut Gosner (1960) terdapat 46 tahap pertumbuhan

berudu Anura mulai dari pembelahan sel telur sampai terbentuk sistem pernafasan

dan ekor. Pada beberapa jenis berudu dapat dengan mudah dilihat tahap

(49)

Polypedates leucomystax (Irawan 2008) memiliki telur yang tertutup busa sehingga sulit melihat tahap perkembangannya pada saat masih berupa telur. Pada

penelitian ini, berudu yang ditemukan dimulai dari tahap 24 (berudu Leptophryne

cruentata) dan tahap 25 (berudu Megophrys montana dan Rhacophorus

margaritifer). Menurut Kusrini et al. (2008) dan Aritonang (2010), berudu Philautus vettiger dan Rhacophorus margaritifer menetas pada tahap 25.

Berudu banyak dijumpai pada kisaran tahap 24-28 (berudu belum terlihat

kaki) baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini menunjukkan

bahwa Anura bereproduksi sepanjang musim. Namun, pada kisaran 29-35, 36-40,

dan 41-46 jumlah berudu yang ditemukan cenderung sedikit. Kondisi ini diduga

bahwa berudu pada tahap 24-28 mengalami kematian sehingga tidak berkembang

dengan baik. Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa pada fase awal

pertumbuhan berudu merupakan fase adaptasi terhadap habitat dimana

individu-individu yang tidak mampu beradaptasi dengan baik akan mengalami kematian

lebih cepat.

Secara umum kisaran ukuran tubuh berudu pada musim penghujan tidak

jauh berbeda dengan musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran

ukuran tubuh berudu tidak dipengaruhi oleh musim. Kisaran ukuran tubuh

terbesar terjadi pada berudu tahap 25. Besarnya kisaran ukuran tubuh berudu

diduga berkaitan dengan lamanya proses perkembangan berudu ke tahap

(50)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Jenis berudu Anura yang ditemukan di Sungai Cibeureum Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango (TNGGP) antara lain Megophrys montana (Megophrydae), Leptophryne cruentata (Bufonidae), Rhacophorus margaritifer (Rhacophoridae) dan Huia masonii (Ranidae). Jenis yang paling banyak ditemukan yaitu Leptophryne cruentata sebesar 37,13%. Tipe mikrohabitat dapat dikelompokkan menjadi sungai arus deras (torrents), sungai arus sedang (riffles) dan daerah sungai berkerikil (shingle areas). Berudu dapat dijumpai pada sungai arus sedang dan daerah sungai

berkerikil.

2. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa variabel mikrohabitat tidak

secara nyata mempengaruhi keberadaan berudu Megophrys montana, Leptophryne cruentata dan Rhacophorus margaritifer.

3. Berdasarkan tahap pertumbuhannya, berudu Anura pada musim hujan dan

musim kemarau didominasi oleh berudu pada kisaran tahap pertumbuhan

24-28, kecuali berudu jenis Leptophryne cruentata yang lebih dominan tahap 29-35 pada saat musim penghujan. Tidak terdapat perbedaan ukuran

kisaran ukuran tubuh berudu antara musim penghujan dan kemarau.

6.2 Saran

1. Pengelolaan dan pengawasan kawasan Sungai Cibeureum TNGGP perlu

dilakukan karena merupakan habitat penting bagi berudu Anura.

2. Waktu pengambilan berudu sebaiknya juga dilakukan pada malam hari

(51)

DAFTAR

PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.

Arrijani. 2008. Struktur dan Komposisi Vegetasi Zona Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas (9)2:134-141.

Arrijani DS, Guhardja E, Qayim I. 2008. Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas 9(2):147-153.

[BTNGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2003. Laporan Pembinaan Daerah Penyangga SKW II Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur.

[BTNGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2006. Buku Informasi Flora Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur.

Bahir MM, Meegaskumbura M, Manamendra-Arachchi K, Schneider CJ, Pethiyagoda R. 2005. Reproduction and terrrestrial direct development in Sri Lankan shrub frogs (Ranidae: Rhacophorinae: Philautus). The Raffles Bulletin of Zoology 12: 339–350.

Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Amsterdam, Oxford, New York: Elsevier Scientific Publishing Company.

Bramasto RGA. 2008. Penyebaran, Regenerasi dan Karakteristik Habitat Jamuju (Dacrycarpus imbricatus Blume) di Taman Nasional Gede Pangrango [skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Brower JE, Zar JH. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Iowa: Brown Company Publishers.

Cogger HG, Zweifel RG. 2003. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians Second Edition. San Fransisco: Fog City Press.

Dayton GH. 2005. Community assembly of xeric-adapted anurans at multiple spatial scales [thesis]. Texas: Department of Wildlife and Fisheries Sciences. Texas A&M University.

[DepHut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Bogor: Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam.

Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. New York: McGraw-Hill. Eterovick PC, Sazima I. 2000. Structure of an anuran community in a montane

meadow in southestern Brazil: effects of seasonality, habitat, and predation. Amphibia-Reptilia21: 439-461.

Gambar

Gambar 1  Berudu Anura (Sumber: Gosner & Rosman 1960).
Gambar 2  Lokasi penelitian Sungai Cibeureum TNGGP.
Tabel 1  Alat dan bahan penelitian
Gambar 4  Morfologi berudu Anura (Sumber: http://fisc.er.usgs.gov).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap kegiatan promosi yang telah dilakukan dan menyusun strategi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Dampak krisis moneter terhadap kinerja pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dapat diketahui dari beberapa indikator yaitu pendanaan TNGP,

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 8 anggota marga Piper yang tumbuh di kawasan Hutan Wisata Alam Situ Gunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,

Maka dari itu diperlukan perancangan kampanye tanggap hipotermia bagi pendaki di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango untuk memberikan informasi dan pengetahuan

Hasil bioakustik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang dapat dianalisis berjumlah enam file rekaman suara tonggeret dan enam file rekaman suara

Dalam penyampaian publikasi untuk sebuah informasi film dokumenter mengenai teknis pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango selain kepada pengunjung yang

Berdasarkan hasil penelitian dari bulan November 2011 - Maret 2012 dikawasan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diperoleh 66

Simpulan dari penelitian ini adalah: (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan habitat yang sesuai bagi populasi owa jawa; (2) Populasi owa jawa di TNGP berada