• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Integritas Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Integritas Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas)"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas)

SAHLAN

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Pangrango, Jawa Barat (studi kasus: Jalur Pendakian Cibodas). Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR.

Keberadaan taman nasional saat ini sangat mengkhawatirkan. Intensitas penggunaan baik legal maupun ilegal di kawasan taman nasional semakin meningkat. Kegiatan ilegal di dalam kawasan taman nasional diantaranya pencurian kayu bakar, penebangan pohon, pengambilan tanaman khas/endemik, dan pendakian gunung secara ilegal, sedangkan kegiatan yang legal diantaranya pengelolaan kawasan dan besarnya tekanan pengunjung sehingga melebihi daya dukung kawasan. Jika hal ini tidak diperhatikan maka eksistensi atau karakter dari taman nasional dan kekayaan alam bangsa ini akan hilang. Untuk itu perlu adanya kajian dari pengelola menanggapi permasalahan ini. Salah satu kegiatan manajemen lanskap ialah mengevaluasi atau mengkaji suatu kawasan/lanskap. Melalui evaluasi atau kajian ini, dapat diketahui apakah lanskap tersebut masih terjaga karakter aslinya ataukah tidak. Semua aspek tersebut selanjutnya akan menjadi evaluasi pengelolaan lanskap yang berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kondisi eksisting, kualitas estetika, karakter kualitas ekologi, dan pengelolaan lanskap Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) khususnya Jalur Pendakian Cibodas. Merumuskan solusi permasalahan, sintesis, sehingga fungsi dan karakter dari taman nasional dapat terwujud secara optimal dan berkelanjutan. Penelitian ini dibatasi pada pengamatan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango khususnya jalur pendakian Cibodas-puncak Gede.

Penelitian ini menggunakan metode survei untuk pengumpulan data ekologis, estetika dan karakter, persepsi dan preferensi pengunjung. Pengolahan data kualitas estetika, karakter ekologi dan evaluasi pengelolaan dengan menggunakan metode Semantic Differential (SD). Dari hasil pengolahan data karakter ekologi dan kualitas ekologi dihasilkan evaluasi sehingga didapatkan gagasan/rekomendasi agar karakter lanskap taman nasional tetap utuh dan terjaga. Secara umum penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data dan tahap pengolahan data.

(3)

antara lain: jenis primata seperti Gibbon Jawa (Hylobates moloch) dan Surili Jawa (Dresbytis aygula), jenis mamalia seperti macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus), dan trenggiling (Manis javanica), jenis burung seperti alap-alap (Accipiter soloensis), betet (Lanios scaeh), kutilang (Pycnonotus aurigaster), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Burung hantu (Otus angelinae).

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, peyusunan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(5)

Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas)” adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Sumber informasi yang digunakan berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini

Bogor, Juni 2011

(6)

SAHLAN

A44060610

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(7)

Pangrango, Jawa Barat (Sudi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas)

Nama : Sahlan

NRP : A44060610

Departemen : Arsitektur Lanskap

Disetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Aris Munandar, MS NIP. 1956 1228 198303 1 003

Diketahui:

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

(8)

anak kelima dari enam bersaudara pasangan Bapak H. Syafi’i Ridwan dan Ibu Hj. Maswanih.

Penulis menamatkan pendidikan di SMA Negeri 47 Jakarta pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), kemudian diterima di Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian pada tingkat dua.

(9)

yang tiada hentinya mengalir kepada penulis, serta sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada junjungan Nabi besar MUHAMMAD SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang selalu istiqomah sampai akhir zaman sehingga penelitian yang berjudul “Evaluasi Integritas Lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus: Jalur Pendakian Cibodas)” ini dapat diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terimakasih ditujukan kepada:

1. Kedua orang tua, H. Syafei Ridwan dan Hj. Maswanih, kakak dan adikku tersayang Hj. Misliati, H. Zul Akmal, Hj. Lutfiah, Hj. Siti Buraidah dan Farid Syafei, yang doanya tidak pernah berhenti mengalir kepada penulis, serta atas kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak tergantikan.

2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, waktu dan ilmu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MS selaku dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan dorongan dan nasehat selama penulis menjalani masa perkuliahan.

4. Dr. Ir. Afra DN Makalew, MSc dan Dr. Ir. Tati Budiarti, MS selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

5. Kepala Balai dan Mba Yani serta seluruh pihak Balai Besar Penelitian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

(10)

skripsi.

9. Keluarga besar Hikari atas canda, tawa, suka maupun duka. 10. HIMASKAP, HIMAKOVA, KAREMATA dan AGRIC.

11. Keluarga besar Arsitektur Lanskap seluruh angkatan atas kebersamaannya di Bengkel tercinta.

12. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuannya. Terimakasih.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan yang berharga bagi pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2011

(11)

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Evaluasi Lanskap ... 3

2.2. Integritas Lanskap ... 4

2.3. Rencana Pengelolaan Taman Nasional ... 5

2.4. Taman Nasional ... 7

2.5. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) ... 11

2.6. Interpretasi ... 12

2.6.1. Pengertian Interpretasi ... 12

2.6.2. Tujuan Interpretasi ... 13

2.6.3. Prinsip Interpretasi ... 13

2.6.4. Tipe-tipe Interpretasi ... 14

2.7. Persepsi dan Preferensi ... 15

2.8. Semantic Differential ... 16

III. METODOLOGI ... 17

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Batasan Penelitian ... 17

3.4. Metode Penelitian ... 18

3.4.1. Tahap Persiapan ... 18

3.4.2. Tahap Pengumpulan Data ... 19

3.4.3. Tahap Pengolahan Data ... 21

(12)

4.3. Tanah ... 27

4.4. Iklim ... 27

4.5. Hidrologi ... 30

4.6. Vegetasi ... 33

4.7. Satwa ... 38

4.8. Objek Penelitian ... 39

4.9. Objek Pariwisata ... 39

4.10. Legenda Rakyat ... 42

4.11. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar TNGGP ... 43

4.12. Aksesibilitas ... 45

4.13. Kondisi Supply Kawasan ... 49

4.14. Kebijakan Pengelolaan Kawasan ... 49

4.14.1. Aturan yang Cukup Lengkap dan Akurat ... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

5.1. Karakteristik, Persepsi dan Preferensi Pengunjung ... 51

5.2. Evaluasi Kualitas Estetika ... 56

5.2.1. Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru ... 56

5.2.2. Air Terjun Cibeureum dan Air Panas ... 58

5.2.3. Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede ... 59

5.3. Evaluasi Karakter Kualitas Ekologi ... 63

5.3.1. Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru ... 63

5.3.2. Air Terjun Cibeureum dan Air Panas ... 66

5.3.3. Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede ... 68

5.4. Evaluasi Pengelolaan ... 72

5.5. Rekomendasi ... 84

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

6.1. Kesimpulan ... 89

(13)
(14)

2. Jenis, bentuk dan sumber data ... 20

3. Tabel Kuisioner Semantic Differential... 21

4. Penggunaan lahan setiap kabupaten di sekitar TNGGP ... 44

5. Mata Pencaharian Penduduk Sekitar TNGGP ... 45

(15)

1. Peta lokasi penelitian ... 17

2. Titik pengamatan di Jalur Pendakian Cibodas ... 19

3. Bagan alur pelaksanaan studi ... 22

4. Peta geologi TNGGP ... 26

5. Peta iklim TNGGP ... 29

6. Peta penyebaran pemanfaatan sumber air TNGGP ... 32

7. Peta zona tipe vegetasi TNGGP ... 35

8. Peta penyebaran flora TNGGP ... 36

9. Peta penyebaran flora berdasarkan ketinggian TNGGP ... 37

10. Obyek wisata TNGGP ... 40

11. Peta lokasi obyek wisata TNGGP ... 41

12. Peta aksesibilitas TNGGP ... 48

13. Kegiatan vandalisme ... 54

14. Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru .. 56

15. View Pintu Masuk Cibodas (kiri) dan Telaga Biru (kanan) ... 57

16. Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas .... 58

17. View Air Panas (kiri) dan Air Terjun Cibeureum (kanan) ... 59

18. Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan Kandang Badak ... 60

19. View Perkemahan Kandang Badak ... 61

20. View Puncak Gunung Gede ... 62

21. Air terjun kecil ... 62

22. Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru .. 63

23. Vegetasi Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru ... 64

24. Habitat Lutung (Kiri) dan pohon Rasamala (kanan) ... 65

25. Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas.... 66

26. Lanskap Air Terjun Cibereum (kiri) dan Air Panas (kanan) ... 67

27. Air Terjun Cibeureum (kiri) dan Air Panas (kanan) ... 68

(16)

32. Contoh Vandalisme ... 74

33. Aksesibilitas Pintu Masuk Cibodas dan Pekemahan Kandang Badak ... 75

34. Akses menuju Telaga Biru dan Air Terjun Cibeureum ... 76

35. Akses menuju Air Panas dan Puncak Gunung Gede (Tanjakan Setan) ... 77

36. Papan/sarana Interpretasi ... 77

37. Papan/sarana Interpretasi Rusak ... 78

38. Fasilitas di Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak ... 79

39. Fasilitas di Telaga Biru ... 79

40. Fasilitas di Air Terjun Cibeureum dan Air Panas ... 80

41. Permasalahan di Lanskap Kandang Badak dan Pintu masuk Cibodas ... 81

42. Permasalahan di Kelompok Lanskap Tidak Terbangun ... 82

(17)

2. Lembar Kuisioner Penilaian Integritas Lanskap TNGGP ... 91 3. Lembar Kuisioner, Identitas, Persepsi, dan Preferensi Pengunjung

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan konservasi di seluruh Indonesia yang memiliki potensi sebagai industri wisata alam sangat bervariasi, tersebar dalam 535 unit dengan luas total mencapai lebih dari 28 juta hektar. Kawasan ini meliputi cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru. Salah satu kawasan konservasi yang memiliki potensi sebagai industri wisata alam, namun juga memiliki fungsi ekologi ialah taman nasional. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam (Widada et al. 2008).

Suatu kawasan dapat dikategorikan sebagai taman nasional jika memiliki syarat-syarat dan kriteria tertentu. Kriteria tersebut antara lain kawasan yang ditetapkan mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami dan memiliki sumberdaya alam yang khas (endemik) dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami. Salah satu kawasan yang memiliki kriteria tersebut ialah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Keberadaan taman nasional saat ini sangat mengkhawatirkan. Semakin banyaknya intensitas penggunaan baik legal maupun ilegal di kawasan taman nasional. Kegiatan ilegal di dalam kawasan taman nasional diantaranya pencurian kayu bakar, penebangan pohon, pengambilan tanaman khas/endemik, dan pendakian gunung secara ilegal. Kegiatan yang legal diantaranya pengelolaan kawasan dan besarnya tekanan pengunjung untuk berkunjung ke taman nasional sehingga kawasan ini melebihi daya dukungnya. Jika hal ini tidak diperhatikan maka eksistensi atau karakter dari taman nasional dan kekayaan alam bangsa ini akan hilang. Untuk itu perlu adanya kajian dari pengelola menanggapi permasalahan ini.

(19)

nasional termasuk ke dalam lanskap alami. Penataan lanskap yang kreatif dan bertanggung jawab dimaksudkan untuk menghasilkan suatu karya lanskap yang indah, selaras, nyaman, menarik dan memuaskan. Penataan lanskap erat kaitannya dengan pembagian ruang sebab ilmu Arsitektur Lanskap juga mempelajari penataan fisik ruang luar (alam). Penataan ruang luar, baik alam maupun buatan harus mempertimbangkan kualitas manusia dan kehidupan manusia serta manfaatnya terhadap keberlanjutan ekologis. Oleh sebab itu, kegiatan penataan (perencanaan, perancangan, dan pengelolaan) tapak (open spaces) tidak saja hanya berorientasi dan memperhitungkan pada aspek fisik, visual dan estetika saja tetapi juga harus memperhitungkan aspek ekologis dan sosial budaya areal yang ditata dan juga hendaknya memperhitungkan kapasitas dan daya dukung lanskap dan sumberdaya.

Salah satu kegiatan manajemen lanskap ialah mengevaluasi atau mengkaji suatu kawasan/lanskap. Melalui evaluasi atau kajian ini, dapat diketahui apakah lanskap tersebut masih terjaga karakter aslinya ataukah tidak. Semua aspek tersebut selanjutnya akan menjadi evaluasi pengelolaan lanskap yang berkelanjutan.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi eksisting, kualitas estetika, karakter kualitas ekologi, dan pengelolaan lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) khususnya Jalur Pendakian Cibodas dan merumuskan solusi pengelolaan sehingga fungsi dan karakter dari taman nasional dapat terwujud secara optimal dan berkelanjutan.

1.3. Manfaat

Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Memberikan informasi tentang kondisi eksisting lanskap TNGGP. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi perencana, pengelola dan Pemerintah

Daerah terkait dalam mengembangkan kawasan TNGGP.

3. Sebagai masukan bagi pihak pengelola TNGGP untuk meningkatkan fungsi dan estetika lanskap TNGGP.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Evaluasi Lanskap

Evaluasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menelaah atau menduga hal-hal yang sudah diputuskan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan suatu keputusan. Selanjutnya ditentukan langkah-langkah alternatif bagi kelemahan tersebut. Porteus (1983), menyatakan bahwa evaluasi lanskap merupakan salah satu metode statistika lanskap kuantitatif yang menyertakan tenaga ahli. Dasar pemikiran evaluasi adalah bahwa seseorang dapat melakukan penilaian estetika lanskap yang berharga, fungsional, dan dapat diterima oleh umum. Evaluasi melibatkan penjelasan sejumlah faktor yang mungkin mempengaruhi variasi kualitas lanskap, skala untuk mengukur faktor tersebut dan mengembangkan suatu sistem pembobotan untuk menentukan bermacam-macam penekanan pada faktor yang berbeda-beda.

Rossi dan Howard (1993) menyatakan bahwa evaluasi merupakan suatu aplikasi penilaian yang sistematis terhadap konsep, desain, implementasi, dan manfaat aktivitas dan program dari suatu instansi pemerintah. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk menilai dan meningkatkan cara-cara dan kemampuan berinteraksi instansi pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerjanya. Dalam berbagai hal, evaluasi dilakukan melalui monitoring terhadap sistem yang ada. Tanggung jawab pelaksanaan evaluasi bukan pada apakah informasi yang disediakan itu benar atau salah, atau sesuai tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi lebih diarahkan pada perbaikan implementasi kegiatan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.

(21)

Lanskap yang berbeda akan menimbulkan efek visual yang berbeda pula. Evaluasi visual suatu lanskap didasarkan pada standar-standar estetika yang merupakan fungsi dari nilai-nilai sosial, moral, dan ekologi dari kelompok pembuat evaluasi tersebut. Evaluasi kualitas estetik dapat menggunakan tiga kriteria estetika yaitu kesatuan, variasi, dan kontras. Kesatuan adalah kualitas total elemen yang terlihat menyatu dan harmonis yang merupakan ekspresi dari tipe komposisi lanskap. Salah satu tipe komposisi lanskap adalah pemandangan yang dominan. Variasi adalah banyaknya jenis elemen dalam tapak dan hubungan antar elemen yang berbeda. Kontras adalah perbedaan antar elemen yang terlihat menonjol tetapi tetap harmonis. Kontras dapat berupa perbedaan warna, tekstur, atau bentuk elemen.

2.2. Integritas Lanskap

Menurut Simond (1983) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia dengan karakter yang menyatu secara alami dan harmonis untuk memperkuat karakter lanskap tersebut. Dalam hal ini manusia memegang peranan penting dalam merasakan suatu lanskap. Lanskap sebagai wajah karakter lahan atau tapak dan bagian dari muka bumi ini dengan segala sesuatu dan apa saja yang ada didalamnya, baik bersifat alami maupun buatan manusia yang merupakan total dari bagian hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat menangkap dan membayangkan (Rachman, 1984).

(22)

experience. Satu-kesatuan lanskap ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

2.3. Rencana Pengelolaan Taman Nasional

Arifin dan Arifin (2005) menyatakan bahwa pengelolaan merupakan upaya manusia untuk mendayagunakan, memelihara, dan melestarikan lanskap/lingkungan agar memperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas kelestariannya. Pengelolaan lanskap adalah upaya terpadu dalam penataan dan pemanfaatan, pemeliharaan, pelestarian, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup sehingga tercipta lanskap yang bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Menurut Sternloff dan Warren (1984), pemeliharaan lanskap dimaksudkan untuk menjaga dan merawat areal lanskap dengan segala fasilitas yang ada di dalamnya agar kondisinya tetap baik atau sedapat mungkin mempertahankan pada keadaan yang sesuai dengan rancangan atau desain semula.

Perencanaan yang baik merupakan titik tolak bagi keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi, tetapi hanya merupakan alat bagi pengelolaan. Perencanaan merupakan suatu proses yang berjalan terus, meliputi perumusan, penyerahan dan persetujuan dari tujuan pengelolaan, bagaimana hal ini dapat dicapai dan standar pembanding untuk mengukur keberhasilan. Perencanaan yang baik mengarah pada keberhasilan yang baik, perencanaan yang buruk menghalangi keberhasilan. Bagaimanapun bagusnya penyajian suatu perencanaan, tidak akan berarti bila perencanaan tersebut tidak praktis atau tidak menghasilkan suatu tindakan yang efektif (MacKinnon et al. 1993).

(23)

tindakan yang diambil, kapan tindakan tersebut dilakukan serta dana dan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya.

Suatu rencana pengelolaan merupakan alat yang berguna untuk mengidentifikasi kebutuhan pengelolaan, menetapkan prioritas dan mengorganisasikan pendekatan itu ke masa mendatang. Rencana pengelolaan juga dapat berfungsi sebagai alat komunikasi untuk memperoleh dukungan dari masyarakat umum maupun pejabat pemerintah yang relevan.

Rencana pengelolaan adalah dokumen yang mengemukakan pendekatan dan tujuan, bersama dengan kerangka kerja bagi pembuatan keputusan, untuk diaplikasikan dalam kawasan konservasi selama periode waktu yang diberikan (Thomas and Middleton, 2003). Rencana pengelolaan harus berupa dokumen ringkas yang mengidentifikasikan fitur kunci atau nilai dari kawasan konservasi, secara jelas menetapkan tujuan pengelolaan yang ingin dicapai dan mengindikasikan tindakan yang akan dilaksanakan. Rencana juga harus cukup fleksibel untuk memenuhi kejadian yang tidak terduga yang mungkin timbul selama rencana berlaku. Bagaimanapun rencana pengelolaan merupakan dokumen utama darimana rencana lainnya berjalan, dan biasanya harus diutamakan apabila terjadi pertentangan. Baik rencana sederhana maupun kompleks, prinsip perencanaan yang logis harus dipakai untuk memandu proses perencanaan dan memastikan bahwa rencana pengelolaan yang sempurna adalah dokumen yang cermat dan berguna.

(24)

2.4. Taman Nasional

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam (Widada, 2008). Taman nasional merupakan tanah yang dilindungi, biasanya oleh pemerintah pusat, dari perkembangan manusia dan polusi. Taman nasional merupakan kawasan yang dilindungi (protected area) oleh World Conservation Union Kategori II.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona taman nasional terdiri dari:

1. Zona inti, memiliki kriteria antara lain:

- mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

- mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya

- mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau tidak atau belum diganggu manusia

- mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami

- mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi

- mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

2. Zona rimba/Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, memiliki kriteria antara lain:

- kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi

- memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan

(25)

- mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik

- mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam

- kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

4. Zona lain, antara lain: zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan zona khusus.

Menurut Soewardi dalam Samsudin (2006), kawasan taman nasional dibagi atas dasar zona-zona sesuai dengan fungsi zona itu sendiri. Atas dasar itu taman nasional dapat diartikan sebagai kawasan areal yang cukup luas yang tersusun atas:

(1) Daerah yang mutlak harus dilindungi (Strict nature reserves = preservation zone), dimana pengunjung dilarang sama sekali memasukinya.

(2) Daerah “berimba” yang luas (wilderness areas = Conservation zone), dimana tidak diperkenankan adanya bangunan-bangunan atau kegiatan pengembangan dan hanya dapat dimasuki oleh pengunjung dengan jalan kaki (hiking) atau dengan alat-alat angkut yang sederhana misalnya berkuda, bersampan, dan berperahu dengan tenaga motor.

(3) Daerah yang dapat dipergunakan secara intensif (intensive use area =

Natural environment zone), misalnya untuk camping ground dan fasilitas-fasilitas lainnya yang tidak cocok apabila dibangun dibuat di luar jalur kawasan taman nasional. Daerah ini diperuntukkan bagi para pengunjung yang untuk beberapa hari ingin dekat dengan keadaan alami.

(4) Daerah yang terbuka untuk umum (Mass tourism areas = Outdoor recreation zone), dimana para pengunjung dapat mencapainya dengan mempergunakan kendaraan umum (bus dan lain-lain) dan juga dengan mobil pribadi.

(26)

dan juga sebagai pelindung kehidupan manusia dari berbagai macam gangguan oleh satwa yang berasal dari kawasan taman nasional.

Batasan definisi taman nasional menurut Sumardja (1980) dalam Wiratno

et al. (2004) adalah satu atau beberapa ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi manusia, dimana tumbuhan, spesies hewan, dan habitatnya juga tempat-tempat yang secara gemorfologis secara khusus memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan daya tarik rekreasi/yang memiliki lanskap alami yang demikian indah. Secara simultan taman nasional tetap dituntut selalu memberikan manfaat sosial-ekonomi yang kongkrit dan lestari, minimal manfaat itu dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar secara legal (Wiratno, 2004).

Secara umum kriteria suatu kawasan ditetapkan menjadi taman nasional adalah kawasannya luas yang relatif tidak terganggu, mempunyai nilai lain yang menonjol dengan kepentingan yang tinggi, potensi rekreasi yang besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (MacKinnon, 1993). Menurut MacKinnon et al., (1993), seleksi kawasan yang perlu dilindungi bagi pelestarian fungsi hidrologi bergantung pada empat pertimbangan utama, yaitu:

a. Kepekaan kawasan tangkapan terhadap erosi b. Kepekaan sungai terhadap banjir

c. Ketersediaan air musiman

d. Kepentingan sosial-ekonomi aliran sungai tertentu.

(27)

Menurut Siswanto (1998) zonasi Taman Nasional dibagi menjadi 7 zonasi antara lain:

1. Zona inti, adalah bagian dari kawasan yang mutlak dilindungi, tanpa aktivitas manusia. Pada zona inti terletak keaslian, keunikan, dan kelangkaan wilayah taman nasional.

2. Zona rimba, berada di antara zona inti dengan zona pemanfaatan dan/atau zona lainnya dan berfungsi sebagai zona peralihan. Dalam zona rimba, proses alami tetap menjadi prioritas namun aktivitas manusia diperkenankan secara terbatas. 3. Zona pemanfaatan (intensif/wisata), adalah kawasan pusat rekreasi dan

kunjungan wisata. Kegiatan dan perubahan di zona ini relatif paling longgar walaupun kegiatan yang bersifat ekstraktif tetap dilarang.

4. Zona pemanfaatan tradisional, adalah kawasan kegiatan traditional penduduk setempat untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati untuk pemenuhan kebutuhannya sehari-hari dan bersifat non-komersial.

5. Zona pemanfaatan khusus, adalah kawasan yang karena kondisi lingkungan dan potensinya oleh masyarakat telah dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang bersifat khusus dengan pengaturan yang bersifat khusus pula.

6. Zona situs budaya, adalah kawasan lokasi kegiatan manusia di masa lalu dan meninggalkan karya budaya yang mempunyai nilai sejarah. Lokasi dimaksud termasuk yang masih sering dikunjungi oleh masyarakat.

7. Zona rehabilitasi adalah kawasan yang mengalami kerusakan dan perlu direhabilitasi dengan jenis tanaman setempat. Zona rehabilitasi yang telah dipulihkan dapat diubah menjadi zona rimba atau zona lainnya sesuai dengan perkembangan kondisinya.

Kriteria penetapan zonasi taman nasional menurut Siswanto (1998) terbagi menjadi 13 kriteria. Kriteria tersebut antara lain, keperwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumber daya/kawasan, luasan, keindahan alam, kenyamanan, kemudahan

(28)

*

Tabel 1. Kriteria penetapan zonasi (Siswanto, 1998)

No Kriteria Zona

1 2 3 4 5 6 7

1 Keperwakilan (representation)

2 Keaslian (originality) dan kealamian

(naturalness)

 

 

   

     

3 Keunikan (uniqueness)

 

 

         

4 Kelangkaan (rarity)

 

           

5 Laju kepunahan (rate of exhaustion)

 

   

   

6 Keutuhan ekosistem (ecosystem

integrity)

 

   

 

   

 

7 Keutuhan sumber daya/kawasan

(intactness)

 

   

 

   

8 Luasan (area/size)

 

 

 

 

 

   

9 Keindahan alam (natural beauty)    

     

 

10 Kenyamanan (amenity)    

         

11 Kemudahan pencapaian

(accessibility)

   

     

   

12 Nilai sejarah (historical value)    

     

   

13 Ancaman manusia (threat of human

interference).

     

 

   

*Keterangan zona: (1) inti, (2) rimba, (3) pemanfaatan (intensif/wisata), (4) pemanfaatan tradisional, (5) pemanfaatan khusus, (6) situs budaya, dan (7) rehabilitasi.

2.5. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP)

(29)

Total lahan kritis pada areal perluasan kawasan TNGGP 928,50 ha, terdiri dari areal tanah kosong, eks perambahan, eks PHBM, dan eks hutan produksi yang perlu di rehabilitasi. Adapun areal perluasan yang termasuk dalam program RHLP (Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif) di Resort Gunung Putri seluas 50 ha (BTNGGP, 2004). Fungsi Taman Nasional Gunung Gede-Pagrango adalah (1) perlindungan terhadap sistem pendukung kehidupan/ekosistem, (2) pengawetan keanekaragaman jenis plasma nutfah dan tata lingkungan, (3) pelestarain dan pemanfaatan jenis serta tata lingkungan, (4) wadah kegiatan penelitian dan pendidikan, (5) objek wisata dan pelestarian budaya bangsa.

2.6. Interpretasi

2.6.1. Pengertian Interpretasi

Interpretasi adalah suatu proses komunikasi yang dirancang untuk mengungkapkan makna dan hubungan dari kebudayaan dan warisan alam dengan melihat langsung obyek, artifak, lanskap dan tapaknya. Menurut Sharpe (1982), interpretasi adalah suatu rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada. Istilah interpretasi bermula dari pemikiran para pengelola “kawasan yang dilindungi” sebagai konsep dan ekosistemnya dengan maksud agar lebih memahami dan menghargai lingkungan alam. Berdasarkan pemahaman tersebut diharapkan pengunjung dapat mengambil bagian dalam usaha-usaha perlindungan dan pelestarian lingkungan alam kawasannya.

(30)

Selain itu interpretasi bukan sekedar informasi, bukan mengenai umur, objek wisata, interpreter dan sebagainya, tetapi interpretasi merupakan suatu seni yang menggabungkan berbagai potongan informasi dan menghubungkannya dengan suatu setting atau pengalaman sedemikian rupa sehingga hal tersebut lebih berarti dan menyenangkan. Interpretasi yang baik tidak hanya memperkaya pengalaman pengunjung, tetapi juga mendukung tujuan lain, misalnya meminimalkan dampak kegiatan manusia terhadap sumberdaya dan meningkatakan persepsi publik.

2.6.2. Tujuan Interpretasi

Tujuan interpretasi secara umum yaitu untuk memenuhi kebutuhan pengunjung akan pengetahuan, pembelajaran, dan pengalaman baru, juga sebagai proses unutk menumbuhkan pengertian, pemahaman dan penghargaan pengunjung terhadap nilai-nilai substansif sumber-sumber suatu kawasan dan pada akhirnya ikut melindungi kawasan tersebut.

Menurut Sharpe (1982), tujuan pokok interpretasi yaitu:

1. Membantu pengunjung membangun kesadaran, penghargaan dan pengertian tentang kawasan yang dikunjungi agar kunjungan kaya akan pengalaman dan kenyamanan.

2. Membantu pihak pengelola untuk mencapai tujuan pengelolaan karena interpretasi dapat mendorong pengunjung menggunakan sumberdaya dengan baik serta memperkecil dampak manusia yang merusak lingkungan.

3. Meningkatkan pengertian masyarakat umum terhadap sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu instansi/institusi, dengan jalan memasukkan perasaan-perasaan dalam program interpretasinya.

2.6.3. Prinsip Interpretasi

Menurut Tilden (1957) ada 6 prinsip interpretasi yaitu:

1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara apa yang diperagakan atau diuraikan dengan apa yang dialami atau kepribadian personalitas para pengunjung akan merupakan hal yang sia-sia.

(31)

3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni, baik bersifat ilmiah atau arsitektur, atau seni yang pada suatu tingkatan dapat diajarkan kepada orang lain.

4. Cara mengutarakan interpretasi bukanlah dengan suatu perintah melainkan dengan pancingan atau persuasif/dorongan).

5. Interpretasi bermaksud mempertunjukkan secara jelas dan bukan sebagian-sebagian.

6. Interpretasi yang ditujukan pada anak-anak tidak dapat dipakai untuk orang dewasa karena masing-masing mempunyai pendekatan yang berbeda.

2.6.4. Tipe-tipe Interpretasi

Tipe interpretasi berdasarkan obyek yang diinterpretasikan (Aldridge, 1972 dalam Muntasib, 1999):

1. Interpretasi tempat sejarah

Interpretasi ini adalah seni dalam menjelaskan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan sejarah masa lampau atau berhubungan dengan keadaan budaya suatu masyarakat yang sudah turun-menurun. Kegiatan ini dilakukan dengan membuat suatu program yanng mempertunjukkan gambar-gambar, slide, film dan media lainnya di sentral pengunjung dan bisa berbentuk cerita dengan tema tertentu. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran pengunjung akan sejarah tempat yang dikunjunginya sehingga dapat memahami atau lebih lanjut dapat ikut serta melestarikan tempat tersebut. 2. Interpretasi tempat alami

Interpretasi ini adalah seni dalam menjelaskan atau mengungkapkan karakteristik suatu daerah dengan mengembangkan kondisi tanah atau batuan yang ada dengan tanaman yang tumbuh ataupun dengan binatang yang hidup di dalamnya juga dengan kehidupan manusia pada kondisi aslinya. Kegiatan ini bisa dilakukan kepada pengunjung dengan menunjukkan tempat-tempat sebenarnya, bisa didahului dengan suatu cerita atau tema yang menarik.

3. Interpretasi lingkungan hidup

(32)

sebenarnya tetapi dapat berupa cerita yang berdasarkan pengalaman-pengalaman yang kemudian disusun menjadi suatu cerita atau tema tertentu dengan menggunakan media slide, film, video, foto atau contoh-contoh hasil pengaruh manusia terhadap lingkungan. Dapat dilakukan pada ruang tertutup, di kelas, dalam diskusi atau juga pada tempat aslinya. Tujuan dari tipe interpretasi ini adalah untuk meyakinkan masyarakat betapa pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannnya dan sedapat mungkin membangkitkan keinginan untuk ikut melestarikan hubungan tersebut.

4. Pendidikan pelestarian

Pendidikan pelestarian merupakan suatu seni dalam memberikan pelajaran atau menciptakan situasi belajar yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Sasaran dari pendidikan pelestarian ini adalah bukan hanya pelajar, tetapi orang-orang yang dianggap harus mengetahui dan ikut melestarikan lingkungan hidup. Bentuk kegiatannya dapat berupa kursus, penyuluhan-penyuluhan dan pelatihan-pelatihan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesadaran, memberikan pengertian tentang lingkungan hidup dan lebih jauh lagi ikut serta melestarikan dan menyelamatkan lingkungan hidup.

2.7. Persepsi dan Preferensi

Persepsi merupakan pengertian serta interpretasi seseorang terhadap suatu objek terutama bagaimana orang menghubungkan informasi yang diperolehnya dengan diri sendiri dan lingkungan dimana dia berada (Eckbo, 1964). Penilaian kita terhadap suatu ruang ditentukan oleh kualitas fisik ruang yang bersangkutan dan kualitas psikologis dari pengalaman-pengalaman yang pernah dialami oleh seseorang (Laurie, 1975). Persepsi dan penilaian seseorang akan mempengaruhi preferensi seseorang.

(33)

Persepsi dan preferensi diukur dengan metode semantik diferensial. Semantik diferensial merupakan metode untuk memberikan penilaian karakter dalam bentuk pasangan kata sifat suatu lanskap berdasarkan persepsi pengamat. Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kuisioner (Heise, 1970). Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap, tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak dibagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak dibagian kiri garis atau sebaliknya. Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala semantik differensial adalah data interval. Biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.

2.8. Semantic Differential (SD)

SD merupakan metode untuk memberikan penilaian karakter suatu lanskap berdasarkan persepsi pengamat. Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kuisioner (Heise, 1970). Skala diferensial yaitu skala untuk mengukur sikap yang tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak di bagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri garis atau sebaliknya. Biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.

(34)

III. METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

[image:34.595.113.520.242.511.2]

Studi evaluasi ini dilakukan di Jalur Pendakian Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat. TNGGP terletak di 3 kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi (Gambar 1). Penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2010.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Alat dan Bahan

Pengambilan data : GPS, kompas, kamera digital

Pengolahan data : peta kawasan TNGGP, Microsoft (Excel, Word), XL Stat, Adobe Photoshop CS3.

3.3. Batasan Penelitian

(35)

dan utilitas yang ada pada kawasan. Tahapan terakhir dari penelitian ini hanya pada tahap penilaian dan evaluasi terhadap lanskap kemudian disusun suatu rekomendasi.

3.4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei untuk pengumpulan data ekologis, estetika dan karakter, persepsi dan preferensi pengunjung pada obyek-obyek rekreasi dan dalam jalur pendakian Cibodas. Penilaian terhadap kualitas ekologi, estetika dan pengelolaan lanskap dilakukan oleh responden pada saat responden berada di titik-tittik pengamatan lanskap. Pengolahan data kualitas estetika, karakter ekologi dan evaluasi pengelolaan dengan menggunakan metode

Semantic Differential (SD). Dari hasil pengolahan data karakter ekologi dan kualitas ekologi dihasilkan evaluasi sehingga didapatkan gagasan/rekomendasi agar karakter lanskap taman nasional tetap utuh dan terjaga. Secara umum penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data dan tahap pengolahan data.

3.4.1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan mencakup kegiatan pengumpulan informasi melalui studi pustaka yang diperlukan untuk memulai penelitian. Hasil studi pustaka berupa informasi tentang kondisi lokasi penelitian dan identifikasi karakter kualitas ekologi dan estetika pada tapak. Menurut Thompson dan Stainer (1997) karakter kualitas ekologi berupa variabel-variabel ekologi yaitu, (1) keanekaragaman hayati, (2) kerapatan vegetasi, (3) tingkat penutupan, (4) tingkat kesuburan, (5) kepekaan terhadap erosi, (6) tingkat kelembaban, dan (6) intensitas cahaya. Karakter kualitas ekologi yang dinilai dalam penelitin ini yaitu, (1) keanekaragaman vegetasi, (2) kerapatan vegetasi, (3) tingkat erosi, (4) kecuraman dan (5) tingkat biodiversitas. Analisis kualitas ekologi juga didukung dengan data sekunder dari masing-masing karakter ekologi.

(36)
[image:36.595.108.511.201.509.2]

perhentian dan obyek wisata merupakan peluang pengunjung untuk menikmati pemandangan dan kondisi lingkungan sangat intensif. Titik-titik yang diamati ada 6 lanskap yang tersebar pada jalur utama pendakian yaitu jalur Cibodas. Titik-titik lanskap tersebut antara lain Pintu masuk Cibodas, Telaga Biru, Air Terjun Cibeureum, Air Panas, Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede (Gambar 2).

Gambar 2. Titik pengamatan di Jalur Pendakian Cibodas 3.4.2. Tahap Pengumpulan Data

(37)

Data sekunder kualitas karakter ekologi dan estetika berasal dari literatur pustaka di TNGGP, perpustakaan IPB dan Arsitektur Lanskap. Literatur pustaka berupa hasil penelitian di kawasan TNGGP yang sudah dilakukan sebelumnya dan buku-buku yang terkait dengan TNGGP. Data karakter ekologi berupa data iklim, hidrologi, geologi, topografi, vegetasi, dan satwa (Tabel 2). Data kondisi umum lokasi berupa letak dan luas kawasan, aksesibilitas, status kawasan dan lainnya.

Aspek Jenis Data Bentuk Data Tipe Data Cara

Pengambilan Sumber

Fisik dan Biofisik

Iklim

Curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif udara Primer dan sekunder Survei Data instansi terkait Lapangan dan Sekunder

Topografi Bentuk dan topografi

kawasan Primer dan sekunder Data instansi terkait Lapangan dan Sekunder Peruntukan lahan/land cover

Pola penggunaan lahan Primer dan

sekunder Survei dan data instansi terkait Lapangan dan sekunder

Vegetasi Jenis dan

penyebarannya Primer dan sekunder Survei dan studi pustaka Lapangan dan sekunder

Satwa Jenis dan

penyebarannya Primer dan sekunder Survei dan studi pustaka Lapangan dan sekunder Site Furniture (fasilitas)

Jumlah, bentuk dan karakternya Primer dan sekunder Survei dan studi pustaka Lapangan dan sekunder Kualitas Visual

Good view dan bad

view Primer Survei Lapangan

Sosial

Persepsi

Tanggapan dan persepsi

Pengguna/user

Primer Survei Lapangan

Kondisi Sosial Tingkat Pendidikan dari mayoritas pengguna tapak Primer dan sekunder Survei dan data instansi terkait Lapangan dan sekunder Aktifitas Sosial

Tujuan dan alasan penggunaan tapak, ketercapaian tujuan penggunaan tapak,

local wisdom.

Primer dan

sekunder Survei

[image:37.595.83.508.241.725.2]
(38)

3.4.3. Tahap Pengolahan Data

(39)
[image:39.595.104.510.178.576.2]

Gambar 3. Bagan alur pelaksanaan studi 3.5. Alur Pelaksanaan Studi

Studi dilaksanakan dalam beberapa tahap kegiatan. Rangkaian tahap kegiatan tersebut disusun dalam bentuk alur pelaksanaan studi. Bagan alur pelaksanaannya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bagan alur pelaksanaan studi

Studi Pustaka

Karakter kualitas Ekologi TNGGP

Penilaian karakter kualitas ekologi

Pengelolaan TNGGP

Kualitas estetika TNGGP

Penentuan lokasi penelitaian (Jalur Pendakian Cibodas)

Survei lapang

Kuisioner karakter, persepsi dan preferensi

pengunjung Kuisioner kualitas

estetika Kuisioner karakter

ekologi

Penilaian kualitas estetika

Evaluasi karakter kualitas ekologi

Evaluasi kualitas estetika

Evaluasi pengelolaan

(40)

IV. Kondisi Umum Kawasan

4.1. Letak dan Luas Kawasan

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Terletak diantara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dengan ketinggian 1.000-3.000 mdpl dan terletak di titik 106°51'-107°02' BT dan 64°1'-65°1' LS. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu taman nasional tertua di Indonesia yang pembentukannya berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 yang kemudian ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 meliputi kawasan seluas 15.196 ha, kemudian diperluas menjadi 22.851,782 ha. Kawasan taman nasional dibagi menjadi 7 zona yaitu : Zona Inti (9.564,545 ha), Zona Rimba (6.913,535 ha), Zona Pemanfaatan (958,245 ha), Zona Rehabilitasi (4.956,075 ha), Zona Tradisional (406,349 ha), Zona Khusus (2,988 ha) dan Zona Konservasi Owa Jawa (50 ha) (gedepangrango.org). Sebelumnya kawasan ini terdiri dari kawasan Cagar Alam Cimungkat (56 ha), Cagar Alam Cibodas (1.040) dan Taman Wisata Situ Gunung (100 ha). Kawasan TNGGP merupakan perwakilan hutan kota hujan tropis dataran tinggi dengan ketinggian 1.000 s/d 3.019 m dpl. Disamping itu taman nasional ini termasuk salah satu Cagar Biosfer yang ditetapkan UNESCO sejak tahun 1977 dengan nama Cagar Biosfer Taman Nasional Gunung Gunung Gede Pangrango. Seluruh areal perluasan TNGGP ini berasal dari pengelolaan hutan Perum Perhutani KPH Bogor, Cianjur dan Sukabumi

Kawasan TNGP berbatasan langsung dengan hutan produksi perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara XII, dan tanah milik masyarakat. Aksesibilitas ke dalam kawasan ini mudah, karena kawasan ini dikelilingi jalan raya propinsi penghubung kota Bogor-Cianjur dan kota Bogor–Sukabumi-Cianjur. Kawasan TNGP berbatasan langsung dengan:

Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Cianjur

Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Sukabumi

(41)

4.2. Topografi dan Geologi

Menurut Haris (2001) topografi kawasan ini bervariasi, terdiri dari lahan datar, dataran tinggi, dan bukit sedang sampai terjal. Ketinggian kawasan ini berada pada 1000-3019 mdpl dan puncaknya merupakan daerah tertinggi di Propinsi Jawa Barat. Gunung Gede Pangrango termasuk dalam rangkaian jalur gunung berapi dari pulau Sumatera sampai Nusa Tenggara.

Topografi di TNGGP sangat bervariasi dari landai hingga bergunung, dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan 3.000 m diatas permukaan laut. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai di dalam kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum, yaitu Rawa Gayonggong.

Pada bagian selatan kawasan, yaitu daerah Situgunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit (seperti bukit Masigit) yang memiliki kemiringan lereng sekitar 20-80%. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan dengan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ±2.500 meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Di bawah puncak Gunung Pangrango ke arah barat laut terdapat kawah mati yang berupa alun-alun seluas lima hektar dengan diameter ± 250 m, sedangkan di Gunung Gede masih ditemukan kawah yang masih aktif. Ke arah Timur Gunung Gede sejajar dengan punggung gunung terdapat Gunung Gemuruh yang merupakan dinding kawah pegunungan tua yang terpisahkan oleh Alun-alun Suryakencana pada ketinggian sekitar 2.700 m. Alun-alun ini memilki panjang ± 2 km dengan lebar ± 200 meter membujur ke arah Timur Laut-Barat Daya.

(42)

berapi aktif di wilayah Indonesia, sedangkan Gunung Pangrango merupakan gunung berapi yang tidak aktif. Menurut catatan vulkanologi, letusan Gunung Gede pertama kali terjadi pada tahun 1747, kemudian berturut-turut terjadi letusan pada tahun 1840, 1885, 1886, 1947, dan 1957.

Kawasan TNGGP terdiri atas batuan vulkanik kerter Gunung Pangrango dan batuan vulkanik tersier Gunung Gede yang terbentuk akibat letusan-letusan. Batuan vulkanik Gunung pangrango yaitu: (a) formasi Qvpo (endapan quartier, lahar dan lava, basal andesit dengan oligoklas-andesin, labradoritm olivin, piroksen, dan horenblenda) yang menyebar pada bagian Utara, Barat laut, Barat Daya; dan (b) formasi Ovpy (endapan muda, lahar dan bersusun endsesit) pada bagian Barat formasi batuan ini umumnya memilki tingkat fermeabilitas yang cukup tinggi sehingga kawasan tersebut berfungsi sebagai daerah resapan air yang baik. Batuan vulkanik Gunung gede sebagian besar terdiri atas formasi breksi tufaan (Qvg) dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesin.

(43)

La

va G

e

(44)

4.3. Tanah

Jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan TNGGP berdasarkan Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000, adalah sebagai berikut:

• Latosol coklat pada lereng-lereng paling bawah Gunung Gede Pangrango, biasanya terdapat di bagian dataran rendah. Jenis tanah ini mengandung liat dan tidak lekat serta lapisan sub-soilnya gembur yang mudah ditembus akar dan lapisan di bawahnya tidak lapuk, juga merupakan tanah subur dan dominan. Tanah latosol mempunyai perkembangan profil dengan solum tebal (2 m), berwarna coklat hingga merah dengan perbedaan antara horizon A dan B tidak jelas tingkat keasamannya berkisar agak masam (PH 5,5-6,5).

• Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat pada lereng-lereng pegunungan yang lebih tinggi dan tanahnya mengalami pelapukan lebih lanjut.

• Kompleks regosol kelabu dan litosol terdapat di kawasan Gunung Gede-Gunung Pangrango, yang berasal dari lava dan batuan hasil kegiatan-kegiatan gunung berapi. Jenis tanah ini mempunyai warna gelap, porositas tinggi, struktur lepas-lepas, dan berkapasitas menyimpan air tinggi. Pada kawah Gunung Gede yang masih memilki kegiatan vulkanik hanya ditemukan jenis litosol yang belum melapuk, juga pada punggung Gunung Gumuruh bagian tenggara tempat pencucian pada permukaan tanah telah menghasilkan tanah regosol berpasir.

4.4. Iklim

(45)
(46)
(47)

4.5.Hidrologi

Kawasan Gunung Gede Pangrango memiliki banyak sumber air. Sumber air tersebut mengalir dan bersatu membentuk sungai-sungai besar di sekitar kawasan tersebut. Terdapat 60 aliran sungai besar dan kecil, yang berhulu di Gunung Gede dan Pangrango. Dua puluh sungai mengalir ke Kabupaten Cianjur, 23 sungai mengalir ke Kabupaten Sukabumi, dan 17 sungai mengalir ke Kabupaten Bogor. Pada lereng Utara Gunung Gede beberapa aliran sungai kecil bersatu membentuk air terjun besar Cibeureum. Aliran dari air terjun besar Cibeureum mengalir ke rawa Gayonggong dan ke Telaga Biru. Disamping Cibeureum, terdapat juga beberapa air terjun lain yang pada akhirnya bersatu dalam aliran sungai Cipanas dan sungai Citarum yang mengalir ke arah Utara menuju laut Jawa. Di lereng Selatan Gunung Gede Pangrango aliran-aliran sungai bersatu membentuk sungai Cimandiri di Sukabumi yang bermuara di Pelabuhan Ratu. Aliran-aliran air di lereng Barat laut Gunung Pangrango mengalir ke sungai Cisarua dan Cinegara yang merupakan sumber air bagi sungai Ciliwung dan Kali Angke yang bermuara di teluk Jakarta (Haris, 2001).

Merujuk Peta Hidro-Geologi Indonesia Skala 1: 250.000 (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1986), kawasan TNGGP terdiri dari akuifer daerah air tanah langka, sampai dengan akuifer produktif kelas sedang dengan sebaran yang luas. Akuifer produktif ini memiliki keterusaan yang sangat beragam. Air tanah umumnya tidak tertekan dengan debit air ± 5 liter/detik. Daerah paling produktif kandungan sumber air tanahnya adalah daerah kaki Gunung Gede, yaitu daerah Cibadak-Sukabumi dengan mutu yang memenuhi persyaratan untuk air minum. Aliran ini juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan industri. Akuifer terpenting di daerah ini adalah bahan lepas hasil produk gunung berapi seperti tufa pasiran, lahar maupun lava vesikuler.

(48)

ini merupakan sungai abadi dengan mata air yang mempunyai debit rata-rata lebih kecil dari 10 liter/detik.

Hanya sungai-sungai di lereng Selatan Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang bersatu didekat Sukabumi ke dalam aliran sungai Cimandiri memiliki debit air sekitar 100-500 liter/detik. Pada bagian bawah Gunung Gede terdapat dua lubang kecil yang hanya terisi air bila hujan lebat. Air tersebut terkumpul di bawah permukaan abu dan batuan vulkanik dan selanjutnya mengalir melalui celah-celah dinding gunung sebelah Utara sebagai sumber air panas pada ketinggian 2.150 m dpl dengan temperatur sekitar 75°C.

(49)
(50)

4.6. Vegetasi

Jenis vegetasi di kawasan taman nasional sangat beranekaragam. Secara umum jenis vegetasi tersebut dapat di bagi dalam tiga zona hutan (Haris, 2001). Urutan ketinggian dari ketiga zona hutan tersebut adalah zona hutan Perum Perhutani, zona hutan Montana, dan zona hutan Sub Alpin (Gambar 7 dan 10). Menurut Riatmo (1989) karakteristik masing-masing zona adalah:

1. Hutan Sub Montana

Zona ini dapat dikategorikan ke dalam hutan sub montana. Zona ini merupakan batas terluar taman nasional. Hutan di kawasan ini berupa hutan produksi monokultur dari jenis Rasamala (Altingia excelsa). Pengelolaan hutan ini dilakukan oleh Perum Perhutani. Hutan ini ditandai dengan tiga lapisan tajuk. Lapisan tajuk teratas didominasi oleh jenis Rasamala (Altingia excelsa). Tinggi tajuk teratas jenis tumbuhan ini dapat mencapai 60 m. Jenis lainnya yang menonjol berturut-turut adalah Saninten (Castanopsis argentea), dan Antidesma tentandrum. Lapisan tajuk kedua berupa jenis perdu dan semak diantaranya

Ardisia fulginosa, Dichera febrifuga, randanus laizrox, Pinanga sp dan Lapotea stimulans. Pada lapisan tajuk ketiga terdapat berbagai jenis tumbuhan bawah, epifit, dan lumut antara lain Begonia, paku-pakuan, anggrek dan Lumut Merah (Sphagnum gedeanum).

2. Hutan Montana

Zona ini dicirikan oleh adanya dominasi pohon bertajuk besar. Pohon pada lapisan atas mempunyai pertumbuhan yang jarang. Sedangkan lapisan tajuk tumbuhan bawah mempunyai pertumbuhan yang rapat. Lapisan tajuk tumbuhan bawah ini berupa semak rendah, sedang dan tinggi. Jenis tumbuhan yang mudah dikenal yaitu Puspa (Schima walichii), tumbuhan berdaun jarum (Dacrycarpus imbricatus dan Podocarpus neriifolius), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Rasamala (Altingia excelsa), dan Kiracun (Macropanax dispernum). Untuk jenis tumbuhan bawah berupa paku-pakuan, epifit, seperti Dendrobium sp, Arundina sp, Cymbiddum- spp dan Calanthe spp.

3. Hutan Sub Alpin

(51)

dengan bertambahnya ketinggian tempat. Kerapatan tumbuhan pada zona ini sangat tinggi. Lapisan tajuk pada zona ini terdiri dari satu lapis dan didominasi oleh pohon-pohon pendek, antara lain Cantigi Gunung (Vaccinium varingiaefolium), Rhododendron resutum, dan Myrsine avenis. Jenis tumbuhan lain yang mudah ditemukan adalah lumut. Tumbuhan lumut banyak terdapat pada batang pohon, permukaan batuan, dan di tanah. Jenis lumut yang hidup pada batang pohon adalah lumut janggut. Di daerah puncak terdapat jenis tumbuhan yang khas, yaitu Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) yang sangat terkenal di kalangan pecinta alam, karena bunganya terlihat tidak pernah layu.

Taman nasional TNGGP memiliki beberapa flora endemik yang langka dan beberapa tanaman introduksi. Jenis tumbuhan endemik dan langka antara lain anggrek Liparis bilobulata, Malaxis sagittata, Pachicentria varingiaefolia, dan

(52)
(53)
(54)
(55)

4.7. Satwa

TNGGP memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selain vegetasi yang beragam jenisnya, ada juga beberapa jenis satwa liar yang dilindungi pemerintah dan hampir punah keberadaannya. Diantara satwa yang hampir punah antara lain, satwa primata yang terancam punah dan terdapat di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango yaitu owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata comata), dan lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus); dan satwa langka lainnya seperti macan tutul (Panthera pardus melas), landak Jawa (Hystrix brachyura brachyura), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), dan musang tenggorokan kuning (Martes flavigula). Selain itu TNGGP terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis diantaranya burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan burung hantu (Otus angelinae).

Menurut Riatmo (1989), kawasan TNGGP mempunyai beberapa jenis satwa, baik dari jenis primata, mamalia, burung, dan bermacam satwa kecil. Beberapa jenis satwa di kawasan TNGGP sudah tergolong langka. Jenis satwa langka antara lain:

1. Jenis primata seperti Gibbon Jawa (Hylobates moloch) dan Surili Jawa (Dresbytis aygula),

2. Jenis mamalia seperti macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus), dan trenggiling (Manis javanica),

3. Jenis burung seperti alap-alap (Accipiter soloensis), betet (Lanios scaeh), dan kutilang (Pycnonotus aurigaster).

Jenis satwa yang populasinya masih banyak antara lain:

1. Jenis primata seperi kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Lutung (Presbytis cristata),

2. Jenis mamalia besar seperti kancil (Tragulus javanicus), babi hutan (Sus schrofa), dan muncak (Muntiacus muntjak),

(56)

4.8. Objek Penelitian

Gunung Gede mempunyai keadaan alam yang khas dan unik, hal ini menjadikan Gunung Gede sebgai salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama. Gunung Gede terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis di antranya burung langka yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Burung hantu (Otus angelinae). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1977.

4.9. Objek Pariwisata

Gunung Gede maupun kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango juga merupakan objek wisata alam yang menarik dan banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara/internasional. Beberapa lokasi /objek yang menarik untuk dikunjungi pada jalur pendakian Cibodas (Gambar 10 dan 11):

1. Telaga Biru: danau kecil berukuran lima hektar (1.575 meter dpl) terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Danau ini selalu tampak biru diterpa sinar matahari, karena ditutupi oleh ganggang biru.

2. Air terjun Cibereum: air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter terletak sekitar 2,8 km dari Ciodas. Di sekitar air terjun tersebut dapat terlihat sejenis lumut merah yang endemik di Jawa Barat.

3. Air panas: terletak sekitar 5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas.

4. Kandang Badak: untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa, berada pada ketinggian 2.220 mdpl dengan jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas.

(57)

1 2

3 4

6. Alun-alun Suryakencana: dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss, berada pada ketinggian 2.750 mdpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas.

Beberapa objek wisata lain yang ada di TNGGP:

1. Bumi perkemahan Mandalawangi, Bobojong, Barubolang, dan Pondok Halimun.

2. Rawa Gayonggong dan Rawa Denok.

3. Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB).

4. Batu Dongdang, Batu Kukus, Batu Kursi, Leuit Salawejajar, Lawang Sakateng.

[image:57.595.96.503.276.629.2]

5. Alun-alun Pangrango. 6. Danau Situgunung.

(58)
(59)

4.10. Legenda Rakyat

Sejarah dan legenda yang merupakan kepercayaan masyarakat setempat yaitu tentan keberadaan Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede. Masyarakat percaya bahwa roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi akan tetap menjaga Gunung Gede agar tidak meletus. Pada saat tertentu, banyak orang yang masuk ke goa-goa sekitar Gunung Gede untuk semedi atau bertapa maupun melakukan upacara religius.

Pendaki yang berada di kawasan alun-alun Surayakencana akan mendengar suara kaki kuda yang berlarian, tapi kuda tersebut tidak terlihat wujudnya. Konon, kejadian ini pertanda Pangeran Suryakencana datang ke alun-alun dengan dikawal oleh prajurit. Selain itu pendaki terkadang akan melihat suatu bangunan istana. Suryakencana adalah nama seorang putra Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri kota Cianjur) yang beristrikan seorang putri jin. Pangeran Suryakencana memiliki dua putra yaitu Prabu Sakti dan Prabu Siliwangi.

Kawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Suryakencana. Beliau bersama rakyat jin menjadikan alun-alun sebagai lumbung padi yang disebut Leuit Salawe, Salawe Jajar, dan kebun kelapa Salawe Tangkal, Salawe Manggar. Petilasan singgasana Pangeran Suryakencan berupa sebuah batu besar berbentuk pelana. Hingga kini petilasan tersebut masih berada di tengah alun-alun, dahulu merupakan jamban untuk keperluan minum dan mandi. Di dalam hutan yang mengitari alun-alun Suryakencana ini ada sebuah situs kuburan kuno tempat bersemayam Prabu Siliwangi yang menguasai Jawa Barat, terjadi peperangan melawan Majapahit. Selain itu, Prabu Siliwangi juga harus berperang melawan Kerajaan Kesultanan Banten. Setelah menderita kekalahan yang sangat hebat, Prabu Siliwangi melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede.

(60)

Eyang Jayakusumah adalah penjaga Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gununga Gede. Sedangkan Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok menjaga dua buah batu di halaman parkir kendaraan wisatawan kawasam Cibodas. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu menghancurkannya. Dalam kawasan Kebun Raya Cibodas, terdapat petilasan atau makam Eyang Haji Mintarasa.

Pangeran Suryakencana menyimpan hartanya dalam sebuah gua lawa/walet yang berada di sekitar air terjun Cibeureum. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul. Tepat berada di tengah-tengah air tejun Cibeureum ini terdapat sebuah batu besar yang konon adalah perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama dan tekun sehingga berubah menjadi batu. Pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah manjadi manusia.

4.11.Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar TNGGP

Jumlah wilayah kecamatan dan desa yang terletak disekitar kawasan adalah 7 kecamatan dan 22 desa di Kabupaten Bogor, 8 Kecamatan dan 25 desa di Kabupaten Sukabumi serta 3 kecamatan dan 18 desa di Kabupaten Cianjur. Luas wilayah disekitar taman nasional yang termasuk dalam Kabupaten Bogor adalah 129,40 km², dengan jumlah penduduk sebanyak 163.844 jiwa, yang terdiri atas 82.338 laki-laki dan 81.506 perempuan, dengan kepadatan penduduk 754 jiwa per km². Sedangkan luas wilayah sekitar taman nasional yang termasuk wilayah Sukabumi adalah 201,54 km² dengan jumlah penduduk 156.043 jiwa, terdiri atas 78.381 dan 77.662 perempuan dengan kepadatan penduduk 692 jiwa per km². Sementara itu luas wilayah di sekitar taman nasional di Kabupaten Cianjur adalah 92,42 km² dengan jumlah penduduk 134.438 jiwa, terdiri atas 65.687 laki-laki dan 68.751 perempuan, dengan kepadatan penduduk 1.262 jiwa per km².

(61)

yaitu di bawah 0,25 Ha per KK. Ditambah dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, sedangkan luas lahan garapan relatif tetap bahkan cenderung berkurang, maka kesempatan kerja di bidang pertanian akan semakin berkurang. Apabila hal tersebut terus berlanjut maka akan dapat berpengaruh terhadap pendapatan perkapita penduduk di wilayah tersebut. Tipe pengunaan lahan dibagi menjadi beberapa peruntukan lahan terdiri dari pemukiman/pekarangan, sawah, ladang, perkebunan/perikanan, padang gebala/hutan negara dan infrastruktur/sungai. Tabel 4 menyajikan penggunaan lahan berikut luasannya untuk setiap kabupaten di sekitar TNGGP.

Tabel 4. Penggunaan lahan setiap kabupaten di sekitar TNGGP

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Jumlah %

Bogor Cianjur Sukabumi

1 Pemukiman/pekarangan 753,2 1.129,30 1.000,50 2.883,00 6,97

2 Sawah 4.377,20 1.192,70 4.424,40 9.994,30 24,18

3 Ladang 3.668,70 2.885,50 4.897,20 11.451,40 27,70

4 Perkebunan/Perikanan 1.813,20 1.621,70 2.318,20 5.751,10 13,92 5 Hutan Negara 1.364,20 1.768,30 7.111,70 10.244,20 24,78

6 Infrastruktur 980,80 647,00 413,90 2.041,70 4,94

Jumlah 12.878,70 8.264,80 20.190,80 41.334,30 100,00

(62)

Tabel 5. Mata Pencaharian Penduduk Sekitar TNGGP

No Mata Pencaharian Kabupaten

Bogor Cianjur Sukabumi 1 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1.618 2.400 1.234

2 ABRI 192 237 99

3 Petani 19.700 20.586 27.098

4 Pedagang 3.946 6.442 2.839

5 Perikanan/Peternakan/Perkebunan 1.729 1.643 853

6 Buruh Tani 24.358 17.977 32.346

7 Wiraswasta 442 332 2.274

8 Lain-lain 4.447 6.000 3.370

Jumlah 56.961 55.617 68.923

Sebagian besar penduduk yang berada di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi berasal dari etnik Sunda. Sedangkan agama yang mendominasi di ketiga kabupaten tersebut adalah agama Islam. Saat ini upacara-upacara adat sudah semakin jarang dijumpai. Upacara adat seperti upacara benih desa yang dahulu sering dilaksanakan setiap selesai panen sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi. Perayaan-perayaan yang biasa dilaksanakan adalah perayaan hari-hari besar keagamaan dan hari besar nasional.

Ekosistem hutan taman nasional yang sangat kompleks dan terdiri dari berbagai macam flora, fauna dan ekosistemnya, termasuk berbagai macam kondisi fisiknya yang sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan manusia. Kehidupan masyarakat sekitar hutan yang sudah merupakan hubungan ketergantungan (interaksi) secara tradisional terhadap sumberdaya alam sekitarnya telah membudaya sejak dulu dan berlangsung hingga sekarang, dan dirasakan semakin meningkat seiring peningkatan laju pertumbuhan penduduk sekitar.

4.12.Aksesibilitas

(63)

sesuai untuk rekreasi keluarga, sedangkan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol dengan kanopi trail sepanjang 4 km memiliki daya tarik bagi pengunjung dan masyarakat umum yang ingin berekreasi dengan merasakan keindahan hutan hujan tropis. Cisarua juga pintu masuk yang dekat dari Jakarta, mempunyai fasilitas untuk kemping yang cocok bagi keluarga, anak sekolah dan kelompok-kelompok pecinta alam.

Pintu masuk dengan kendaraan pribadi dan dengan transportasi umum: Cibodas

Pintu masuk Cibodas berjarak 100 km dari Jakarta. Dapat ditempuh melalui Jalan Tol Jagorawi dan keluar di Tol Ciawi mengambil jurusan Puncak-Bandung. Setelah 7,6 km dari Puncak Pass Hotel, setelah Outlet DSE, ambil kanan tepat pada pertigaan di Paragajen (Papan nama TNGGP ada disebelah kiri jalan). Jalan lurus kira-kira 3 km dan sampai pada portal pintu Gerbang Wisata Cibodas, dan disini ada restribusi (mobil dan kendaraan roda dua Rp.3000,- dan setiap penumpang Rp. 1000,-/orang). Setelah portal langsung menemukan kantor TNGGP disebelah kanan. Dengan bis umum dari Bogor-Bandung, Jakarta-Bandung melewati Puncak kemudian turun di Pertigaan di Paragajen, dekat Outlet DSE. Setelah pertigaan menggunakan angkot warna kuning (Cibodas, Rarahan) dengan ongkos Rp. 2000 per orang sampai di pintu gerbang TNGGP

Gunung Putri

Pintu masuk Gunung Putri terletak 15 km dari Cibodas. Pengunjung dapat menuju lokasi ini dari Cipanas dengan jarak ± 7 km. Lokasi Kemping Bobojong di Gunung Putri berjarak 1 km jalan kaki dari terminal angkot di Gunung Putri. Pengunjung harus naik angkot dari terminal Cipanas ke Gunung Putri dengan ongkos Rp. 3000,- /orang.

Selabintana

(64)

pusat kota dan kemudian ganti kendaraan dengan minibus yang menuju Pondok Halimun.

Situgunung

Pintu masuk Situgunung terletak kira-kira 70 km atau 1,5 jam dari Bogor. Dari Bogor mengambil jurusan Sukabumi dan kemudian berbelok di Cisaat menuju Situgunung. Situgunung terletak di sebelah selatan kawasan taman nasional dan akses cukup bagus. Dari Jakarta atau Bogor mengambil bis jurusan Jakarta–Sukabumi–Cisaat. Jika dari terminal Sukabumi, naik minibus yang menuju Cisaat setelah di Cisaat mengambil minibus menuju Situgunung yang berjarak 10 km.

Bodogol

Aksesibilitas dari Bogor ke pintu masuk Bodogol mengambil jurusan Sukabumi dan turun di Lido (± 25 km). Dari Lido menuju desa Bodogol ± 4 km, dan dari desa Bodogol menuju PPKAB ± 3 km melalui jalan berbatu, dan disarankan menggunakan kendaraan roda 4 dengan gardan ganda. Dengan menggunakan bis atau mini bus dari Bogor dengan ongkos Rp. 5,000-/orang, sedangkan dari Lido dapat menggunakan ojek menuju resort Bodogol dengan ongkos Rp. 5,000-/orang dan dari resort Bodogol dapat mengunakan ojek sampai PPKAB.

Cisarua

(65)
(66)

4.13. Kondisi Supply Kawasan

Kegiatan yang ditawarkan dan sering dilakukan di TNGGP diantaranya: penelitian, pendidikan, pendidikan konservasi, rekreasi dan pariwisata alam dan pengamatan burung (Bird Watching). TNGGP juga menyediakan fasilitas outbond

bagi anak-anak maupun dewasa yang berada tidak jauh dari kantor balai TNGGP. Fasilitas yang tersedia di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yaitu kantor, wisma tamu, pondok kerja, bumi perkemahan, shelter, dermaga, pusat informasi, wisma cinta alam, canopy trail (sedang dibangun), pemandu wisata dan lain-lain. TNGGP sangat cocok bagi pemula untuk mencoba melakukan pendakian pertamanya. Kondisi trek cukup moderat, tidak terlalu berat juga tidak terlalu ringan. Gunung Gede memiliki karakter jalur yang berbeda-beda dan lengkap. Paling tidak ada beberapa trek dengan karakter yang berbeda-beda dalam jalur pendakian Gunung Putri hingga puncak yaitu:

1. Trek tanah liat dan berbatu

Trek ini mengawali perjalan mulai dari villa tempat bermalam di Gunung Putri. Jalur ini merupakan jalur tanah liat dengan kiri dan kanan adalah kebun sayur-sayuran. Setelah lewat dari kebun sayur, pengunjung akan disambut jalur berbatu tajam. Pada awal perjalanan jalur ini tidak terasa berat, tetapi pada saat pulang jalur ini akan terasa sangat berat dan menyakiti kaki.

2. Trek tangga berundak-undak

4.14. Kebijakan Pengelolaan Kawasan

Aturan baru bagi para pendaki Gunung Gede pangrango

Dengan dibukanya kembali pendakian ke Gunung Gede Pangrango mulai 1 Sep

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 2. Titik pengamatan di Jalur Pendakian Cibodas
Tabel 2. Jenis, bentuk dan sumber data
Gambar 3. Bagan alur pelaksanaan studi
+7

Referensi

Dokumen terkait

WELNI DWISTA NINGSIH. Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 8 anggota marga Piper yang tumbuh di kawasan Hutan Wisata Alam Situ Gunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,

Dengan ini saya menyatakan bahwa laporan penelitian berjudul Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Resort Cibodas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango serta

Untuk melihat sejauh mana minat partisipan berkunjung kembali ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, maka dilakukan pra penelitian dengan menyebar kuisioner kepada 30

Dalam penyampaian publikasi untuk sebuah informasi film dokumenter mengenai teknis pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango selain kepada pengunjung yang

BAGUS ARY WIBOWO. Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan di Taman Nasional. Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA.

(2007) menunjukkan bahwa terdapat 18 jenis Anura di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sedangkan khusus di Sungai Cibeureum terdapat enam jenis Anura. Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan spesies dalam famili Arecaceae ditemukan di Resort PTN Selabintana-Seksi PTN Wilayah III-Bidang PTN Wilayah II Sukabumi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango