• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Evaluasi Karakter Kualitas Ekologi

Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 22). Dari grafik

Semantic Differential diatas tidak menunjukkan perbedaan karakter yang terlalu signifikan antara lanskap Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru. Kedua lanskap memiliki persamaan karakter pada kriteria satwa liar, vegetasi indigeneus- introduksi, kerapatan tumbuhan dan biodiversitas tumbuhan. Akan tetapi memiliki perbedaan pada karakter alami-buatan, datar-curam, dan landai-berlereng.

Gambar 22. Grafik Semantic Differential Pintu masuk Cibodas dengan Telaga Biru

Untuk kriteria banyak satwa liar-sedikit satwa liar responden menilai kedua lanskap ini memiliki satwa liar netral. Hal ini karena satwa liar pada kedua lanskap ini sedikit ditemukan. Hanya beberapa satwa liar saja yang dapat ditemui diantaranya kadal, burung, serangga, dan lainnya. Penilaian responden terhadap kriteria vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi, lanskap pintu masuk Cibodas dan

Telaga Biru memiliki vegetasi introduksi, namun tidak terlalu tinggi diantaranya

Agathis loranthifolia, Pinus merkusii dan Maesopsis emini. Hal ini dikarenakan pada kedua lanskap masih terdapat vegetasi indigeneus seperti pohon Rasamala (Gambar 23). Untuk kriteria biodiversitas dan kerapatan tumbuhan, lanskap pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru memiliki biodiversitas dan kerapatan tumbuhan cenderung ke arah netral, tetapi untuk lanskap Telaga Biru biodiversitas dan kerapatan tumbuhan tinggi. Hal ini dikarenakan pada lanskap pintu masuk Cibodas banyak terdapat area terbangun berupa fasilitas-fasilitas dan tidak terlalu sedikit vegetasi, sedangkan pada lanskap Telaga Biru sedikit fasilitas dan terdapat vegetasi yang tidak sedikit.

Gambar 23. Vegetasi Pintu Masuk Cibodas dan Telaga Biru

Kondisi lanskap Pintu Masuk Cibodas relatif datar/tidak curam dan landai sehingga tidak mudah terjadi erosi. Lanskap Telaga Biru relatif datar, namun penilaian terhadap kriteria landai lebih cenderung ke arah netral. Hal ini mengakibatkan di lanskap tersebut tidak mudah terjadi erosi.

Perbedaan penilaian yang cukup signifikan antara lanskap Pintu masuk Cibodas dan Telaga Biru terdapat pada kriteria alami-buatan. Responden menilai lanskap Pintu Masuk Cibodas memiliki kriteria buatan karena pada lanskap ini banyak terdapat fasilitas-fasilitas pendukung seperti pos jaga, kantin, mushalla, toilet dan lainnya sehingga kesan alami tidak muncul, sedangkan pada lanskap Telaga Biru sangat terkesan alami dengan adanya danau alami dan tegakan pepohonan khas hutan hujan tropis.

Sebelum memasuki kawasan telaga biru, terdapat habitat owa jawa dan juga lutung. Apabila beruntung pengunjung dapat melihat satwa yang populasinya saat ini tergolong langka dan sangat sulit untuk ditemui. Selain itu di sepanjang

jalan menuju telaga biru terdapat pohon rasamala (Altingia excelsa) raksasa yang tingginya bisa mencapai 60 meter (Gambar 24). 

5.3.2. Air Terjun Cibeureum dan Air Panas

Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air Panas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 25). Perbedaaan penilaian responden terhadap kedua lanskap ini tidak terlalu jauh, tetapi ada beberapa karakter dari lanskap tersebut yang memiliki perbedaan cukup signifikan. Kedua lanskap ini memiliki persamaan karakter satwa liar, vegetasi, kerapatan tumbuhan, biodiversitas tumbuhan, dan karakter alami-buatan. Perbedaan karakter yang cukup signifikan terdapat pada kriteria tingkat erosi, datar-curam dan landai-berlereng. 

Gambar 25. Grafik Semantic Differential Air Terjun Cibeureum dengan Air Panas

Untuk kriteria banyak satwa liar-sedikit satwa liar, responden menilai lanskap Air Terjun Cibeureum dan Air panas cenderung ke netral. Hal ini disebabkan karena pada kedua lanskap ini masih terdapat beberapa satwa liar, tetapi tidak terlalu banyak terlihat. Penilaian ktiteria vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi, responden menilai kedua lanskap tersebut ke arah netral. Penilaian responden ke arah netral karena pada kedua lanskap ini memiliki perbandingan

vegetasi yang relatif sama antara vegetasi idigeneus dan introduksi tetapi lebih cenderung lebih banyak vegetasi introduksi. Vegetasi introduksi diantaranya

Agathis loranthifolia, Pinus merkusii dan Maesopsis emini. Untuk karakter biodiversitas dan kerapatan tumbuhan, responden menilai lanskap Air terjun Cibeureum dan Air Panas memiliki biodiversitas tinggi. Hal ini disebabkan karena pada kedua lanskap ini terdapat bermacam-macam tumbuhan diantaranya, saninten (Castanopsis argentea), Rasamala (Altingia excelsa), Antidesma tentandru, pakis ekor monyet dan sebagainya, sedangkan kerapatan tumbuhan di kedua lanskap cenderung ke arah netral. Penilaian karakter alami-buatan pada kedua lanskap ke arah alami sebab tidak ada modifikasi dan fasilitas-fasilitas pada lanskap yang cukup signifikan (Gambar 26). Fasilitas hanya seadanya sebagai penunjang aktivitas pengunjung.

Gambar 26. Lanskap Air Terjun Cibereum (kiri) dan Air Panas (kanan) Perbedaan penilaian karakter untuk kriteria datar-curam dan landai- berlereng, responden menilai pada lanskap Air Terjun Cibeureum relatif ke arah datar dan landai hal ini dapat dilihat pada kondisi lanskapnya yang berbatu tetapi disusun rapi dan teratur sehingga Air Terjun Cibeurem lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan umum seperti untuk rekreasi keluarga dan kegiatan keagamaan (Gambar 27), sedangkan pada lanskap Air Panas lebih cenderung ke arah curam dan berlereng. Dilihat dari kondisi lanskapnya yang berbatu, hanya terdapat jalan setapak dan juga tepat berada di pinggir jurang sehingga lanskap Air Panas lebih mudah terjadi erosi. Untuk itu pengelola memberikan fasilitas berupa tali besi/Wire namun kondisinya sudah rusak dan berbahaya bagi pengguna (Gambar 27). Tidak semua pengunjung dapat menuju lokasi ini, hanya pengunjung tertentu saja yang dapat mencapai ke lokasi ini.

Gambar 27. Air Terjun Cibeureum (kiri) dan Air Panas (kanan)

Sebelum menuju kawasan air terjun Cibeureum terdapat rawa yang terbentuk dari bekas kawah mati yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah telah menyebabkan sedimentasi lumpur untuk tumbuhnya berbagai rumput-rumputan, terutama rumput Gayonggong yang mendominasi rawa ini sehingga rawa ini dinamakan Rawa Gayonggong. Kawasan Rawa Gayonggong merupakan daerah jelajah Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). Namun dikarenakan pada kawasan ini dibangun trail yang cukup panjang yang terbuat dari bahan kayu dan sebagian terbuat dari semen yang dibuat menyerupai kayu sehingga sering dilalui oleh pengunjung yang mengkibatkan Macan Tutul Jawa tersebut sudah tidak dapat diamati lagi karena habitat atau teritori dari Macan Tutul Jawa tersebut terganggu (Gambar 28).

5.3.3. Perkemahan Kandang Badak dan Puncak Gunung Gede

Evaluasi kualitas ekologi pada lanskap Puncak Gunung Gede dan Perkemahan Kandang Badak dapat dilihat pada grafik Semantic Differential

(Gambar 29). Pada kedua lanskap ini terjadi perbedaan nilai yang cukup Gambar 28. Rawa Gayonggong

signifikan, tetapi pada beberapa kriteria hampir memiliki penilaian yang sama. Perbedaan yang signifikan terlihat pada karakter vegetasi indigeneus-introduksi, biodiversitas tumbuhan, tingkat erosi, datar-curam dan landai-berlereng. Persamaan penilaian terlihat pada karakter satwa liar, kerapatan tumbuhan dan kriteria alami-buatan. 

Gambar 29. Grafik Semantic Differential Puncak Gunung Gede dengan Perkemahan Kandang Badak

Untuk kriteria biodiversitas tumbuhan dan vegetasi indigeneus-vegetasi introduksi lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah biodiversitas tumbuhan netral dan vegetasi indigeneus, sedangkan untuk lanskap Perkemahan Kandang Badak biodiversitas tumbuhan tinggi dan vegetasi cenderung ke arah netral. Perbedaan yang cukup signifikan ini disebabkan karena pada lanskap Puncak Gunung Gede tidak terdapat banyak vegetasi. Vegetasi yang mendominasi pada Puncak Gunung Gede antara lain bunga Edelweiss Jawa (Anaphalis javanica) dan Cantigi Gunung (Vaccinium varingiafolium), sedangkan pada lanskap Perkemahan Kandang Badak lebih banyak terdapat tegakan pohon besar

diantaranya Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima walichii), Pinus (Pinus merkusii) dan lain-lain (Gambar 30).

Penilaian responden untuk kriteria tingkat erosi, landai-berlereng dan kriteria datar-curam penilaian terhadap lanskap Puncak Gunung Gede cenderung ke arah curam, berlereng dan mudah erosi. Pada lanskap Puncak Gunung Gede terlihat sangat curam dan berlereng hanya terdapat jalan setapak dikelilingi jurang dan didominasi oleh pohon pendek dan semak sehingga sehingga mudah terjadi erosi. Pada lanskap Perkemahan Kandang Badak cenderung ke arah datar, landai dan tidak mudah erosi karena lanskap Perkemahan Kandang Badak merupakan tempat berkemah yang relatif datar dan terdiri dari tegakan-tegakan pohon besar sehingga bahaya erosi dapat diminimalisir.

Gambar 30. Vegetasi Puncak Gunung Gede (kiri) dan Kandang Badak (kanan) Sebelum mencapai Perkemahan Kandang Badak, terdapat satu lagi tempat berkemah yang disebut Kandang Batu, namun tempat perkemahan ini jarang digunakan oleh para pendaki dikarenakan sangat sepi dan jarang digunakan. Dataran yang sangat sedikit membuat pendaki sulit untuk mendirikan tenda. Luas dari perkemahan ini lebih kecil dari Perkemahan Kandang Badak.

Hasil kuisioner mengenai keberadaan fasilitas di dalam kawasan menurut responden tidak mengganggu ekosistem, namun 27,59% dari responden menilai bahwa fasilitas yang ada mengganggu keadaan ekosistem TNGGP karena tidak sesuai penempatannya, dan merusak kondisi alaminya dengan membuka ekosistem, serta tidak sesuai dengan konsep TNGGP itu sendiri. Dengan adanya bangunan yang tidak terawat juga akan merusak alam, serta adanya fasilitas ini mengakibatkan banyak sampah di dalam kawasan.

Vegetasi dan satwa endemik/khas masih terdapat dibeberapa lokasi di TNGGP. Menurut responden masih ada satwa/tumbuhan yang khas dari TNGGP (72,41%) ini yaitu Edelweiss Jawa, katak merah, elang jawa, owa jawa, lutung, elang bondol, macan tutul, pohon Rasamala, macan dahan, anggrek, katak hijau,

Papilio paris (kupu-kupu). Namun keberadaan dan eksistensi dari vegetasi/satwa endemik ini mengalami gangguan. Banyaknya pengunjung dan aktivitas yang dilakukan sangat mengganggu keberadaan vegetsi/satwa endemik tersebut. Tindakan vandalisme pengunjung dan pembangunan fasilitas yang tidak pada tempatnya juga menjadi faktor terganggunya habitat/ekosistem dari vegetasi/satwa endemik. Hal inilah yang menjadi penyebab satwa/vegetasi endemik TNGGP jarang terlihat di alam bebas.

Dokumen terkait