• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Evaluasi Pengelolaan

Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terdapat dalam dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) yang merupakan rencana unit pengelolaan yang bersifat indikatif perspektif dan kualitatif- kuantitatif yang meliputi suatu unit pengelolaan kawasan taman nasional untuk jangka waktu 25 tahun. Rencana lain yang termasuk ke dalam RPTN diantaranya Rencana Karya Lima Tahun (RKL), Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam (RPPA), dan rencana-rencana operasional lainnya.

Salah satu bentuk pengelolaan taman nasional ialah pembagian taman nasional menjadi beberapa zonasi. Berdasarkan revisi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2010, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terbagi atas 7 zonasi yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona konservasi owa jawa, dan zona khusus.

Zona pemanfaatan kawasan taman nasional merupakan daerah yang mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik dan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. Jalur pendakian Cibodas termasuk ke dalam zona pemanfaatan taman nasional karena pada jalur ini terdapat berbagai macam obyek wisata yang menarik, memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa, formasi ekosistem tertentu dan atraksi geologi. Obyek wisata tersebut diantaranya telaga biru, air terjun Cibeureum, air panas, kawah Gunung Gede dan formasi ekosistem alun-alun Surya Kencana berupa dataran luas yang ditumbuhi tanaman Edelweiss Jawa.

Menurut Soewardi dalam Samsudin (2006), kawasan taman nasional dibagi atas dasar zona-zona sesuai dengan fungsi zona itu sendiri, tersusun atas: daerah yang mutlak harus dilindungi (Strict nature reserves = Preservation zone), daerah “berimba” yang luas (Wilderness areas = Conservation zone), daerah yang dapat dipergunakan secara intensif (Intensive use area = Natural environment zone) dan daerah yang terbuka untuk umum (Mass tourism areas = Outdoor recreation zone). Jalur pendakian Cibodas merupakan daerah yang dapat

dipergunakan secara intensif ((Intensive use area = Natural environment zone) karena kawasan ini merupakan jalur rekreasi alam. Penggunaan kawasan ini cukup intensif misalnya untuk camping ground, rekreasi keluarga, dan penempatan fasilitas-fasilitas pendukung. Beberapa fasilitas pendukung terdapat dibeberapa obyek wisata dan pintu masuk kawasan taman nasional. Beberapa fasilitas yang terdapat di jalur pendakian Cibodas diantaranya pusat informasi, pos jaga, kantin, WC/toilet, mushalla, shelter, bangku taman, papan/sarana interpretasi (sign), tali besi/wire, gazebo dan trail.

Evaluasi pengelolaan pada lanskap TNGGP khususnya jalur pendakian Cibodas dapat dilihat pada grafik Semantic Differential (Gambar 31). Penilaian terhadap lanskap TNGGP khususnya jalur pendakian Cibodas dilakukan di enam titik lanskap yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun (alami). Lanskap terbangun terdiri dari lanskap Pintu masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak, sedangkan lanskap tidak terbangun (alami) terdiri dari lanskap Telaga Biru, Air Terjun Cibeureum, Air Panas dan Lanskap Puncak Gunung Gede. Penilaian terhadap lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun (alami) relatif sama untuk setiap kriteria, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok.

Responden menilai untuk kriteria peletakan tanaman dan kondisi vegetasi untuk lanskap terbangun dan lanskap tidak terbangun peletakan tanaman cenderung ke arah netral dan kondisi vegetasi baik. Peletakan tanaman ke arah netral karena di setiap lanskap tanaman dibiarkan tumbuh secara alami dan beberapa tanaman diintroduksi dari luar kawasan taman nasional. Kondisi vegetasi di tiap lanskap baik karena tidak membutuhkan pengelolaan yang lebih sebab vegetasi tumbuh secara alami. Namun pada beberapa lanskap misalnya lanskap Telaga Biru, Puncak Gunung Gede (lanskap tidak terbangun) dan Perkemahan kandang Badak masih terdapat tindakan vandalisme mencoret-coret, merusak tanaman, menebang dan memetik bunga (Gambar 32).

Gambar 32. Contoh Vandalisme

Untuk kriteria aksesibilitas, terjangkau dan kenyamanan kedua kelompok lanskap memiliki akses yang mudah, terjangkau dan nyaman. Lanskap Pintu Masuk Cibodas (lanskap terbangun) merupakan pos pertama yang terletak tepat di sebelah Kebun Raya Cibodas, sedangkan aksesibilitas menuju Perkemahan Kandang Badak dengan kemiringan jalan mencapai sudut 60˚, jalan yang berbatu diselingi akar-akaran dari tumbuhan (Gambar 33). Kenyaman di kedua lanskap ini cukup nyaman dikarenakan suhu rata-rata di tempat ini ± 20-24º C, bahkan pada musim-musim tertentu suhu bisa dibawah 20º C. Selain itu pada kedua lanskap banyak pepohan yang menaungi sehingga menjadi nyaman.

Gambar 33. Aksesibilitas Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak

Lanskap Telaga Biru (lanskap tidak terbangun) terletak pada ketinggian 1.575 meter dpl. Akses menuju telaga biru cukup mudah dan terjangkau terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas atau dapat ditempuh selama ± 0,75 jam dengan kondisi jalan yang relatif datar dan terbuat dari susunan bebatuan yang cukup rapi sehingga memudahkan pengunjung untuk melakukan trekking atau jalan kaki (Gambar 34). Lokasi Air Terjun Cibeureum tidak terlalu jauh sekitar ± 2,8 km atau 1 ¼ jam dari Cibodas dan akses jalan yang tidak terlalu sulit atau relatif datar, sedangkan Air Panas terletak sekitar 5,9 km atau 4 jam perjalanan dari Cibodas. Jalur trekking menuju Air Terjun Cibeureum berupa trail panjang yang terbuat dari kayu dan sebagian terbuat dari semen yang dibentuk menyerupai kayu (Gambar 35). Sebagian kondisi trail ini sudah rusak, bolong-bolong dan pagar pembatasnya sudah rusak sehingga membahayakan pengunjung yang akan melintasi trail ini.

Gambar 34. Akses menuju Telaga Biru dan Air Terjun Cibeureum

Air panas merupakan jalur pendakian menuju puncak Gunung Gede. Setiap pendaki yang akan mendaki ataupun turun pasti melewati kawasan ini. Akses menuju lokasi yang cukup jauh dan juga medannya yang cukup berat untuk ditempuh (Gambar 35). Namun karena responden merupakan pecinta alam sehingga akses menuju Air Panas tidak terlalu sulit dan terjangkau. Aksesibilitas menuju Puncak Gunung Gede jalan yang ditempuh cukup terjal dan berbatu. Sebelum menuju puncak kawah Gunung Gede, pengunjung harus melewati tebing dengan kemiringan mendekati sudut 80˚ (Gambar 35). Pendaki gunung sering menyebut tebing ini dengan sebutan “tanjakan setan” karena tebing ini cukup sulit untuk dilewati. Namun bagi pendaki tebing ini sangat menarik, bukan sebagai suatu hambatan, melainkan sebagai suatu tantangan. Harus menggunakan alat khusus apabila ingin melewati tebing ini. Selain itu tepat sebelum mencapai puncak, akan ditemui jalan setapak yang tidak terlalu lebar dengan batas sebelah kanan jurang dan sebelah kiri dengan kawah Gunung Gede. Pada kedua lanskap ini pengelola menyediakan fasilitas berupa tali besi (Wyre) dan tali tambang untuk membantu pengunjung melewati tebing ini, namun keadaannya sudah tidak layak pakai karena tali putus dan serat dari besi tersebut keluar sehingga membahayakan pendaki saat memegang tali.

Kenyamanan di lanskap Air Panas dikarenakan suhu rata-rata di tempat ini ± 22º C, namun pada saat melewati Air Panas suhu berubah bisa mencapai 30-35 ºCkarena uap panas yang ditimbulkan oleh air panas yang mengalir. Kenyamanan

di lanskap Puncak Gunung Gede dikarenakan suhu rata-rata ± 18-20º C. Namun pada waktu-waktu tertentu di puncak gunung suhu bisa mencapai dibawah 10º C yang mengakibatkan tidak nyaman lagi.

Gambar 35. Akses menuju Air Panas dan Puncak Gunung Gede (Tanjakan Setan) Fasilitas berupa papan/sarana interpretasi di kedua kelompok lanskap (lanskap terbangun dan tidak tebangun) tersedia cukup lengkap. Mulai dari peta kawasan, informasi satwa, informasi obyek wisata dan papan penunjuk arah (Gambar 36).

Gambar 36. Papan/sarana interpretasi

Keadaan papan/sarana interpretasi yang tersedia sebagian sudah rusak/tidak terawat lagi akibat penempatan fasilitas yang tidak pada tempatnya, desain fasilitas yang tidak sesuai dengan karakter dan keadaan taman nasional,

penggunaan bahan yang tidak tepat dan kegiatan vandalisme pengunjung (Gambar 37). Faktor-faktor tersebut mengakibatkan fasilitas yang ada dapat mengganggu habitat dari flora dan fauna, fasilitas menjadi rusak sehingga informasi kepada pengunjung tidak tersampaikan dengan baik. Kegiatan vandalisme pengunjung kawasan yang banyak ditemui ialah coretan fasilitas.

Gambar 37. Papan/sarana interpretasi rusak

Fasilitas pendukung lainnya yang ada di TNGGP cukup lengkap dan memadai. Fasilitas yang terdapat di lanskap Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak (lanskap terbangun) diantaranya, pos jaga, mushalla, toilet umum, kantin, pusat informasi, rumah kaca, bangku taman, shelter besar untuk menampung 5-8 tenda, jembatan penghubung jalan yang tidak terlalu panjang dan terdapat sumber air yang tidak pernah kering. Selain itu terdapat koleksi tanaman hias berbagai jenis anggrek dan tanaman hutan lainnya. Pengunjung yang ingin bermalam atau beristirahat dapat menggunakan sekretariat sukarelawan Montana yang terdapat di belakang pos jaga (Gambar 38).

Fasilitas lain yang ada di lanskap Telaga Biru dan Puncak Gunung Gede (lanskap tidak terbangun) diantaranya bangku taman untuk melakukan aktivitas viewing ke arah telaga dan gazebo atau pendopo tempat beristirahat (Gambar 39). Pada lanskap Puncak Gunung Gede terdapat tali besi/wyre sebagai alat bantu pengunjung untuk trekking menuju puncak gunung.

Gambar 39. Fasilitas di Telaga Biru

Fasilitas yang terdapat pada lanskap Air Terjun Cibeureum dan dapat ditemui di sepanjang jalan menuju air panas (lanskap tidak terbangun) antara lain MCK/toilet umum, gazebo, shelter dan beberapa bangku taman. Selain itu

Pos jaga Sekretariat Sukarelawan Montana

Rumah Kaca Shelter Kandang Badak

terdapat tali besi (wire) disepanjang jalan pada saat pengunjung melewati air panas (Gambar 40).

Gambar 40. Fasilitas di Air Terjun Cibeureum dan Air Panas

Sebagian besar lanskap di TNGGP memiliki permasalahan yang hampir sama. Permasalahan yang terdapat pada lanskap Pintu Masuk Cibodas dan Perkemahan Kandang Badak (lanskap terbangun) ialah terdapat sampah berserakan dibuang tidak pada tempatnya. Hal ini disebabkan karena kawasan Pintu Masuk Cibodas ini dijadikan tempat pembuangan sementara bagi pengunjung yang telah melaksanakan pendakian. Di pintu masuk ini pengunjung yang akan meninggalkan kawasan TNGGP wajib melapor ke pos jaga dan wajib membawa sampah yang merupakan sisa dari aktivitas pengunjung tersebut, sedangkan lanskap Perkemahan Kandang Badak kondisinya sangat mengkhawatirkan. Banyak sampah sisa dari aktivitas pengunjung karena tidak terdapat tempat pembuangan sampah. Selain permasalahan sampah, kendala lain yang terdapat pada area ini ialah banyaknya fasilitas yang tidak terawat sehingga menjadi rusak dan tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya serta penggunaan fasilitas yang tidak pada tempatnya (Gambar 43). Misalnya, toilet umum tidak

WC/Toilet umum Shelter

terawat sehingga jarang pengunjung yang menggunakan fasilitas tersebut, rumah kaca yang harusnya digunakan sebagai tempat pemeliharaan tanaman digunakan untuk menjemur pakaian, kondisi fasilitas berupa shelter yang sudah rusak dan sangat bau karena tidak ada fasilitas berupa toilet/WC sehingga pengunjung biasa melakukan buang air kecil/besar di sembarang tempat sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap dan pagar pembatas yang sudah rusak (Gambar 41).

Gambar 41. Permasalahan di Lanskap Kandang Badak dan Pintu masuk Cibodas Permasalahan yang terdapat pada lanskap Telaga biru, Air terjun Cibeureum, Air Panas dan Puncak Gede (lanskap tidak terbangun) ialah banyaknya fasilitas yang kurang pengelolaan sehingga banyak fasilitas yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Misalkan, shelter dan gazebo yang sudah tidak memiliki atap, bangku taman yang berlumut, trail kayu yang sudah bolong, WC/toilet yang tidak terpakai sehingga terbengkalai, tali besi/wyre berkarat dan putus (Gambar 42).

Rumah kaca tempat menjemur pakaian Tempat pembuangan sampah sementara

Gambar 42. Permasalahan di kelompok lanskap tidak terbangun

Berdasarkan hasil kuisioner yang dibagikan kepada 30 orang responden dapat dikatakan pengelolaan TNGGP sudah cukup baik. Namun sebagian besar responden (40%) mengatakan bahwa pengelolaan TNGGP masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya kegiatan vandalisme yang ada didalam kawasan seperti mencoret-coret, membuang sampah sembarangan, memetik bunga/tanaman, membuat bakaran/api unggun, penebangan pohon dan lain sebagainya. Fasilitas yang diketahui responden di dalam kawasan antara lain toilet (38,33%), tempat ibadah/mushalla (28,33%), cottage/penginapan (20%) dain lainnya shelter, bangku taman, tempat sampah, tempat parkir, warung, dan pusat informasi (13,33%). Selain itu responden juga menilai bahwa fasilitas di TNGGP belum memadai (46,67%) karena kondisi fasilitasnya tidak terawat dan banyak yang rusak (kurang pengelolaan yang intensif). Hal ini dapat dilihat dari keadaan fasilitas yang rusak dan tidak layak pakai padahal keberadaan dari fasilitas tersebut sebenarnya sangat vital didalam kawasan. Namun dari pihak pengelola belum ada upaya untuk memperbaiki ataupun mengganti fasilitas-faslitas tersebut.

Bangku taman dan toilet Tali besi/Wyre

Tingginya minat pengunjung untuk aktifitas pendakian, ternyata memberikan dampak negatif yang nyata terhadap ekosistem kawasan TNGGP. Dampak negatif tersebut terjadi di sepanjang jalur pendakian, alun-alun Mandalawangi dan Kandang Badak. Contoh dari dampak tersebut adalah sampah pengunjung dan vandalisme terhadap fasilitas-fasilitas rekreasi dan wisata alam. Data menunjukkan sampah per minggu yang dihasilkan dari aktifitas pengunjung di pintu masuk Cibodas adalah 63.175 gram dan di Perkemahan Kandang Badak mencapai 97.225 gram (Priatna, 2004). Dampak negatif lainnya adalah erosi dan pengerasan tanah terutama di jalur pendakian, serta pencemaran sumber air tanah (gedepangrango.org).

Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Partomo (2004), permasalahan yang diakibatkan oleh rendahnya kepedulian pengunjung adalah timbulnya sampah di dalam kawasan, vandalisme, gangguan terhadap satwa dan tumbuhan, pencemaran air dan erosi. Permasalahan dari internal adalah lemahnya pemeliharaan sarana dan prasarana serta belum optimalnya program interpretasi kepada pengunjung yang diakibatkan oleh terbatasnya jumlah dan kualitas sumberdaya manusia. Faktor ancaman yang paling berpengaruh adalah adanya gangguan potensi sumberdaya alam oleh aktivitas masyarakat, penegakan hukum belum maksimal, pada musim kemarau rawan kebakaran hutan, serta rendahnya kepedulian pengunjung terhadap lingkungan.

Permasalahan utama yang ada di TNGGP ialah banyaknya sampah akibat dari banyaknya pengunjung dan kegiatan vandalisme pengunjung. Untuk itu perlu penanganan khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini. Selain permasalahan sampah, permasalahan yang ada antara lain, kurangnya pengelolaan terhadap fasilitas sehingga fasilitas yang ada menjadi rusak dan tidak layak pakai. Peran serta pengelola dan pengunjung kawasan TNGGP sangat dibutuhkan agar tercipta kawasan yang lestari dan berkelanjutan.

Pihak pengelola TNGGP sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan yang ada di dalam kawasan TNGGP yaitu dengan membuat kebijakan pengelolaan kawasan. Pengelolaan yang responden ketahui yang ada di dalam kawasan TNGGP antara lain penutupan sementara kawasan pada bulan-bulan tertentu (45,61%), membuat papan pengumuman berupa larangan (28,07%), kerja

bakti membersihkan kawasan oleh para relawan (22,81%), dan lainnya yaitu pemanfaatan hasil hutan secara lestari dan kerjasama dengan pihak lain (3,51%). Namun sebagian dari peraturan yang sudah dibuat belum sepenuhnya diterapkan baik oleh pengunjung maupun oleh pengelola itu sendiri. Hal ini menjadi kendala dari pihak pengelola itu sendiri, sehingga perlu adanya peningkatan kesadaran baik bagi pengunjung maupun bagi pengelola TNGGP.

5.5. Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis persepsi dan preferensi pengunjung, evaluasi kualitas estetika dan ekologi serta evaluasi pengelolaan yang telah dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango disusun dan dikembangkan beberapa rekomendasi pengelolaan lanskap. Rekomendasi-rekomendasi yang disusun bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan karakter asli dari lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango agar memiliki keberlanjutan baik dari segi estetika, ekologi maupun pengelolaan. Bentuk rekomendasi yang telah disusun diantaranya:

1. Penanganan khusus terhadap kegiatan vandalisme.

Kegiatan vandalisme yang banyak terjadi ialah membuang sampah di sembarang tempat, mencoret-coret (fasilitas dan tanaman) dan perusakan tanaman dan fasilitas. Penangan khusus untuk masalah sampah ialah dengan menerapkan sistem pemberian penghargaan terhadap pengunjung yang benar-benar menjaga kawasan taman nasional. Misalnya apabila pengunjung dapat membawa sampah lebih banyak dari bawaannya akan mendapatkan penghargaan (dapat berupa sertifikat atau piagam penghargaan), sebaliknya apabila pengunjung membawa sampah lebih sedikit dari bawaannya akan mendapatkan sanksi berupa teguran moral, tertulis atau hukuman lainnya.

2. Pengadaan pelatihan atau penyuluhan singkat tentang pendidikan konservasi. Pelatihan atau penyuluhan singkat ini dilakukan sebelum pengunjung akan memasuki kawasan TNGGP. Pelatihan atau penyuluhan ini dapat berupa pendidikan konservasi, sosialisasi mengenai peraturan-peraturan yang ada di TNGGP, dan bagaimana pentingnya menjaga kelestarian taman nasional.

3. Pengadaan tempat sampah di setiap obyek wisata/tempat pemberhentian pengunjung.

Masalah utama yang ada di TNGGP ialah banyaknya sampah hasil dari kegiatan pengunjung TNGGP. Faktor yang menyebabkan pengunjung membuang sampah sembarangan salah satunya ialah karena tidak adanya tempat sampah. Walaupun peraturan yang ada di TNGGP mengharuskan pengunjung membawa sampah ke luar taman nasional, namun pengadaan tempat sampah sangat penting agar pengunjung tidak membuang sampah di sembarang tempat khususnya di dalam kawasan TNGGP.

4. Pemeliharan terhadap habitat satwa dan vegetasi.

Kegiatan pemeliharaan habitat satwa dan vegetasi dilakukan agar menjaga dan dapat melestarikan satwa dan vegetasi tersebut sebab tujuan semula taman nasional adalah menjamin keberlangsungan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan ini sangat penting dilakukan, sebab pada saat pengambilan data dilapang jarang ditemui satwa liar. Salah satu cara menjaga habitat atau ekosistem satwa dan tumbuhan ialah dengan tidak mengganggu jalur atau sirkulasi dari satwa tersebut, tidak membuat atau membangun fasilitas yang dapat mengganggu ekosistem dari satwa/vegetasi yang sudah ada dan juga pembatasan pengunjung. 5. Peningkatan pengelolaan fasilitas-fasilitas.

Berdasarkan hasil analisis dan penilaian terhadap karakter ekologi dan estetika lanskap, pengelolaan terhadap fasilitas-fasilitas yang ada di dalam kawasan taman nasional kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fasilitas- fasilitas yang sudah rusak dan tidak layak pakai. Untuk itu perlu peningkatan pengelolaan secara intensif, rutin dan berkala, penggantian fasilitas yang sudah tidak layak pakai dengan bahan-bahan yang tidak memerlukan pengelolaan yang intensif dan memperbaiki fasilitas yang masih layak pakai, penempatan fasilitas yang tidak mengganggu ekosistem/habitat satwa ataupun vegetasi, penggunaan desain yang sesuai dengan karakter dan kondisi dari TNGGP. Berikut beberapa contoh fasilitas yang ada di taman nasional/nature park yang ada di dunia (Gambar 43).

Gambar 43. Contoh fasilitas taman nasional di dunia (Bell, 2008). 6. Pembatasan pengunjung dan larangan berkemah.

Aturan pembatasan pengunjung sudah ada dalam peraturan yang dibuat oleh pihak TNGGP tetapi pemantauan terhadap jumlah pengunjung masih sangat sulit untuk dikendalikan. Larangan berkemah di tempat-tempat tertentu belum diterapkan oleh pihak pengelola TNGGP. Larangan berkemah harus diterapkan di beberapa tempat yang rentan terhadap tindak vandalisme misalnya di Puncak Gunung Gede. Selain berbahaya bagi pengunjung pada saat cuaca ekstrim, larangan berkemah ini juga dapat menjaga kelestarian kawasan ini karena aktivitas berkemah pengunjung dapat merusak ekosistem dan juga estetika kawasan. Dengan larangan berkemah di kawasan ini permasalahan sampah dan masalah lainnya yang ada di Puncak Gunung Gede dapat teratasi. Hal ini dimaksudkan agar kualitas estetika dan ekologi kawasan ini dapat terjaga

Pintu masuk (Tervete Nature Park, Latvia)

Sign, Slovakia Sign (Tervete Nature Park, Latvia)

Trail (Pacific Rim National Park, British Columbia, Canada.

mengingat tempat ini merupakan salah satu tempat yang paling indah yang ada di kawasan TNGGP.

7. Pengalihan jumlah kuota pengunjung.

Pengelola TNGGP sudah menetapakan jumlah maksimal pengunjung di tiap- tiap pintu masuk. Pintu masuk Cibodas maksimal sebanyak 300 pengunjung per malam, Gunung putri 200 pengunjung per malam dan Selabintana 100 pengunjung per malam. Untuk itu perlu adanya pengalihan jumlah pengunjung agar dapat meminimalisir kerusakan akibat kelebihan pengunjung. Misalkan tiap 3 bulan sekali kuota Pintu Masuk Cibodas menjadi 100 pengunjung per malam, Selabintana 200 pengunjung per malam, Gunung Putri 300 pengunjung per malam dan beberapa opsi pengalihan lainnya.

8. Pengkajian ulang terhadap zonasi taman nasional.

Pengkajian ini berupa peraturan penetapan zonasi dan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan di dalam zonasi tersebut. Misalkan pada zona inti pengunjung dilarang masuk atau melakukan kegiatan di zona inti, sosialisasi tentang batasan zonasi di TNGGP dan larangan atau aturan apa saja yang ada di dalam zona tersebut.

9. Pengkajian ulang terhadap aturan-aturan yang sudah dibuat.

Pihak pengelola TNGGP sudah membuat beberapa aturan yang mengatur tentang petunjuk teknis pendakian (Juknis). Aturan yang dibuat pengelola TNGGP sudah baik dan cukup lengkap, namun peraturan yang baik dan lengkap tanpa adanya kesadaran dari pihak pengelola dan pengunjung, peraturan tersebut tidak akan berjalan dengan lancar. Dari pihak pengelola terkadang menghiraukan aturan yang sudah ada misalnya dalam juknis tertulis pemeriksaan barang bawaan saat pergi dan pemeriksaan sampah bawaan saat pulang, dalam kenyataannya pihak pengelola jarang yang melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan pengunjung. Alasannya ialah barang bawaan yang sudah dipacking tidak perlu diperiksa karena akan sulit untuk mengembaikan ke posisi semula. Untuk itu perlu adanya sanksi bagi pengelola yang tidak menjalankan aturan tersebut selain sanksi bagi pengunjung yang melanggar aturan. Apabila sanksi tersebut tidak membuat pengelola dan pengunjung sadar, bisa menggunakan sanksi moral berupa

Dokumen terkait