• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konservasi Tabat Barito di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Ditinjau dari Karakteristik Habitat Mikro dan Kandungan Bioaktif Daunnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konservasi Tabat Barito di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Ditinjau dari Karakteristik Habitat Mikro dan Kandungan Bioaktif Daunnya"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

MIKRO DAN KANDUNGAN BIOAKTIF DAUNNYA

ANISA AGUSTINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Tabat Barito di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Ditinjau dari Karakteristik Habitat Mikro dan Kandungan Bioaktif Daunnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)

ANISA AGUSTINA. Konservasi Tabat Barito di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Ditinjau dari Karakteristik Habitat Mikro dan Kandungan Bioaktif Daunnya. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD dan LATIFAH K. DARUSMAN

Tabat barito (Ficus deltoidea Jack.) merupakan salah satu tumbuhan berkhasiat obat yang telah lama digunakan secara turun temurun oleh masyarakat sebagai afrodisiak bagi wanita (Kristina 2007). Berawal dari pengetahuan etnobotani tersebut, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian terkait aspek farmakologi/fitokimia dalam hal potensinya untuk pengobatan, antara lain sebagai antimikroba alami, radang paru-paru, diabetes, hipertensi, diare, asam urat serta antitumor (Darusman et al. 2003; Musa 2006; Kustiawan 2007; Adam et al. 2009; Draman et al. 2012). Pengetahuan etnobotani dan pemanfatan tabat barito terutama banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri jamu di Kalimantan. Sementara itu, masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sendiri belum memanfaatkan tumbuhan ini untuk pengobatan penyakit tertentu. Stimulus alamiah dan stimulus manfaat dari tabat barito yang belum terdokumentasi dan tersosialisasikan dengan baik menjadikan nilai manfaatnya belum dirasakan baik oleh pihak balai besar TNGGP maupun masyarakat.

Penelitian dilakukan terhadap karakteristik habitat mikro dan kandungan bioaktif daunnya, sebagai stimulus alamiah dan stimulus manfaat tabat barito, diharapkan mampu menggali nilai manfaat dari tabat barito, sehingga menumbuhkan stimulus rela untuk melakukan sikap dan aksi konservasi. Penelitian ini bertujuan untuk: i) mengkaji karakteristik habitat mikro tabat barito dan mengidentifikasi berbagai spesies tumbuhan inangnya di Resort Mandalawangi TNGGP, ii) mengkaji sifat kimia media tumbuh tabat barito dari berbagai spesies tumbuhan inang, iii) mengkaji kandungan bioaktif dan tingkat toksisitas daun tabat barito dari berbagai spesies tumbuhan inang, iv) mengkaji interaksi antara karakteristik habitat mikro dan media tumbuhnya terhadap kandungan bioaktif dan tingkat toksisitas daun tabat barito.

Tabat barito di Resort Mandalawangi TNGGP merupakan tumbuhan epifit yang ditemukan hingga elevasi 1800 mdpl. Tabat barito tumbuh pada kisaran suhu 18,3°C-23,1°C, kelembaban udara relatif 80-84%, pada kisaran kelerengan 4-24% dengan arah lereng bervariasi. Eksplorasi yang dilakukan memperoleh 178 individu tabat barito yang berasal dari 100 individu tumbuhan inang. Tabat barito tidak memiliki tumbuhan inang yang spesifik, dimana terdapat 31 spesies yang menjadi inang dari tabat barito. Berbagai spesies tumbuhan inang tersebut memiliki karakteristik kulit batang yang sama yaitu memiliki permukaan yang kasar mengelupas maupun beralur. Media tumbuh tabat barito pada tumbuhan inangnya terbentuk dari dekomposisi kulit batang yang lapuk serta daun-daun yang jatuh dan menumpuk pada perakarannya.

(5)

faktor yang mempengaruhi kandungan bioaktifnya. Berdasarkan hasil uji fitokimia, hampir semua metabolit sekunder ditemukan pada sampel daun tabat barito yang diuji, yaitu flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid dan steroid.

Keberadaan metabolit sekunder pada daun tabat barito mempengaruhi tingkat toksisitasnya, dimana seluruh ekstrak etanol daun tabat barito dari keempat sampel yang diuji masuk ke dalam kategori toksik karena memiliki nilai LC50 <

1000 ppm. Nilai LC50 dari sampel yang diuji berada pada rentang yang cukup

luas, yaitu dari nilai 35,3883 ppm sampai dengan 576,706 ppm. Nilai LC50 dari

tumbuhan inang riung sebesar 35,3883 ppm mendekati kategori sangat toksik, sehingga paling berpotensi untuk digunakan sebagai antikanker jika dibandingkan sampel lainnya yang diuji. Pengaruh spesies tumbuhan inang tersebut diduga dipengaruhi oleh peran pelapukan kulit batang sebagai salah satu komponen penyusun media tumbuh tabat barito serta terdapatnya bahan-bahan kimia pada pepagan/kulit batang yang larut dalam air dan berpengaruh terhadap tumbuhan.

(6)

National Park Reviewed from Micro Habitat Characteristics and Leaves

Bioactive Compounds. Supervised by ERVIZAL A.M. ZUHUD and LATIFAH

K. DARUSMAN.

Tabat barito (Ficus deltoidea Jack.) is one of the medicinal plants that have long been used from generation to generation as an aphrodisiac for women. Based on ethnobotanical knowledge, there have been many researches carried out related to pharmacology/phytochemicals aspects in terms of its potential for treatment of, among others, as a natural antimicrobial, antitumor, treat pneumonia, diabetes, hypertension, diarrhea and uric acid (Darusman et al. 2003; Musa 2006; Kustiawan 2007; Adam et al. 2009; Draman et al. 2012). Ethnobotanical knowledge and utilization of tabat barito primarily utilized by local communities and herbal medicine industry in Borneo. Meanwhile, local community around the National Park of Mount Gede Pangrango (TNGGP) does not take advantage of this plant for the treatment of certain diseases. Natural stimulus and benefits stimulus of tabat barito that haven't been documented and well socialized makes the benefits value have not been felt by both the Great Hall of TNGGP and local communities.

Research conducted on micro habitat characteristics and leaves bioactive compounds, as a natural stimulus and benefits stimulus of tabat barito are expected to explore the benefits value of tabat barito, so as to grow a willingly stimulus to do conservation attitudes and actions. This study aimed to: i) study microhabitat characteristics of tabat barito and identify the various species of tabat barito host plants in Resort Mandalawangi TNGGP, ii) study the chemical properties of tabat barito growing media from different host plant species, iii) study bioactive compounds and the toxicity levels of tabat barito leaves from different host plant species, iv) study interaction between microhabitat characteristics and growing media on the bioactive compounds and toxicity levels of tabat barito leaves.

Tabat barito in Resort Mandalawangi TNGGP is an epiphytic plants that can be found until elevation 1800 mdpl. Tabat barito grow at air temperature range between 18,3°C-23,1°C, relative humidity between 80% -84% and slope 4-24 % with the varies direction. Exploration that conducted obtaining 178 individuals of tabat barito derived from 100 individual host plants. Tabat barito does not have specific host plants, where there are 31 species are hosts of tabat barito. A variety of host plant species have the same bark characteristics that have a rough surface, flaking or grooved. Growing media of tabat barito on their host plants formed from decomposition of rotten bark and leaves that falled and piled on their roots.

(7)

steroids.

The existence of secondary metabolites affect the toxicity level of tabat barito leaves, where all ethanol extract of tabat barito leaves from fourth sample tested were included in toxic category because it has LC50 values <1000 ppm. LC50 values of the samples tested are on a fairly broad range, from the value of

35,3883 ppm up to 576,706 ppm. LC50 value of leaves tabat barito obtained from host plant riung anak of 35,3883 ppm approaching category very toxic, so that is the most potential for use as anticancer drug compared with other samples tested. Influence of host plant species are thought to be influenced by the role of decaying bark as one components of tabat barito growing media and presence of chemicals contained in stem bark that dissolve in water and effect on plants.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

KONSERVASI TABAT BARITO DI TAMAN NASIONAL GUNUNG

GEDE PANGRANGO DITINJAU DARI KARAKTERISTIK

HABITAT MIKRO DAN KANDUNGAN BIOAKTIF DAUNNYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)
(13)

Judul Tesis : Konservasi Tabat Barito di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Ditinjau dari Karakteristik Habitat Mikro dan Kandungan Bioaktif Daunnya

Nama : Anisa Agustina

NIM : E351120161

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS Ketua

Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ialah konservasi tabat barito, dengan judul Konservasi Tabat Barito di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Ditinjau dari Karakteristik Habitat Mikro dan Kandungan Bioaktif Daunnya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan Ibu Prof Dr Ir Latifah K Darusman selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir

Istomo, MS dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS yang telah banyak memberi saran dan masukan yang berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Sofyan dan Bapak Nanang dari Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BTNGGP), Ibu Dr Ir Wiwik Hartatik MSi selaku Ketua Kelompok Peneliti Kimia dan Kesuburan Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor, Bapak Drs. Arif dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta Ibu Nunuk dan Bapak Endi dari Laboratorium Biofarmaka IPB, yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami dan anak tercinta serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 5

Geologi dan Tanah 5

Topografi 6

Iklim dan Curah Hujan 6

Hidrologi 6

Tipe Ekosistem 7

3 TINJAUAN PUSTAKA 8

Taksonomi dan Morfologi Tabat Barito 8

Penyebaran dan Habitat 8

Kandungan Bioaktif Tabat Barito 9

Penelitian Manfaat Tabat Barito 9

Penelitian Budidaya Tabat Barito 15

Epifit 18

3 METODE PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Alat dan Bahan Penelitian 19

Metode Pengambilan Data 19

Analisis Data 22

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Karakteristik Habitat Mikro Tabat Barito 24

Sifat Kimia Media Tumbuh Tabat Barito 37

Kandungan Bioaktif dan Tingkat Toksisitas Daun Tabat Barito 38 Interaksi Antara Karakteristik Habitat Mikro dan Media Tumbuh

terhadap Kandungan Bioaktif dan Tingkat Toksisitas Daun Tabat Barito 43 Peran Stimulus Alamiah dan Stimulus Manfaat Tabat Barito

(16)

5 SIMPULAN DAN SARAN 45

Simpulan 45

Saran 46

DAFTAR PUSTAKA 46

(17)

DAFTAR TABEL

1 Tumbuhan-tumbuhan inang dari tabat barito yang ditemukan di Resort

Mandalawangi TNGGP 28

2 Suhu dan kelembaban udara relatif pada habitat mikro tabat barito 33 3 Sifat kimia media tumbuh tabat barito pada empat spesies

tumbuhan inang 37

4 Karakteristik habitat mikro tabat barito dari empat spesies

tumbuhan inang 39

5 Rendemen ekstrak daun tabat barito dari tumbuhan inang saninten (TBS),

kihujan (TBK), jamuju (TBJ) dan riung anak (TBR) 39

6 Hasil analisis fitokimia ekstrak etanol daun tabat barito dari tumbuhan inang saninten (TBS), kihujan (TBK), jamuju (TBJ)

dan riung anak (TBR) 40

7 Nilai rata-rata mortalitas larva udang A. salina dan LC50 ekstrak

etanol daun tabat barito dari empat spesies tumbuhan inang 42 8 Hasil analisis probit fraksi teraktif ekstrak etanol daun tabat barito

dari empat spesies tumbuhan inang 43

DAFTAR GAMBAR

1 Foto beberapa jenis batang tumbuhan yang berada pada elevasi antara

1800-2500 mdpl 24

2 Jumlah spesies dan individu tumbuhan inang serta tabat barito

hasil eksplorasi 26

3 Foto tabat barito pada berbagai spesies tumbuhan inang 26 4 Foto beberapa individu tabat barito pada tumbuhan inang puspa 27 5 Foto beberapa individu tabat barito pada tumbuhan inang saninten 29 6 Foto beberapa individu tabat barito pada tumbuhan inang kihujan 29

7 Posisi tabat barito pada tumbuhan inangnya 30

8 Foto beberapa individu tabat barito pada batang, percabangan serta

di antara batang dan cabang inangnya 30

9 Media tumbuh tabat barito pada tumbuhan inangnya 31

10 Foto berbagai media tumbuh tabat barito pada tumbuhan inangnya 32

11 Sistem perakaran tabat barito 33

12 Kelas lereng dari habitat mikro tabat barito di Resort

Mandalawangi TNGGP 34

13 Arah lereng dari habitat mikro tabat barito di Resort

Mandalawangi TNGGP 34

14 Foto hasil uji fitokimia ekstrak etanol daun tabat barito dari

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1

Karakteristik Tumbuhan Inang yang Menjadi Habitat Mikro

(19)
(20)
(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tabat barito merupakan salah satu tumbuhan obat yang digunakan sebagai afrodisiak bagi wanita (Kristina 2007). Secara tradisional, tabat barito digunakan sebagai antimikroba alami, khususnya untuk organ kewanitaan (Kustiawan 2007). Tabat barito juga dipercaya untuk mengobati radang paru-paru, diabetes, hipertensi, diare dan asam urat (Musa 2006; Adam et al. 2009; Draman et al. 2012). Khasiat ekstrak tabat barito sebagai antitumor telah dipatenkan dengan nomor paten P00200200385 (Darusman et al. 2003). Tabat barito juga berpotensi sebagai antikanker karena senyawa bioaktif yang dimilikinya berupa senyawa-senyawa flavonoid, steroid, alkaloid dan triterpenoid merupakan senyawa-senyawa bioaktif yang pada umumnya mempunyai berbagai aktivitas bioaktif termasuk antikanker (Kurz dan Constabel 1998).

Tabat barito belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat, sehingga pemenuhan permintaan pasar masih bergantung pada pemanenan dari alam. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan kelangkaan. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan terhadap tabat barito lebih terfokus pada aspek farmakologi dalam hal potensinya untuk mengobati penyakit tertentu. Penelitian terkait aspek ekologi untuk mendukung upaya pelestarian dan pengembangannya belum banyak dilakukan. Zuhud (1994) menyatakan bahwa fokus penelitian tumbuhan obat saat ini lebih pada aspek farmakologi/fitokimia, namun lemahnya penelitian aspek lainnya (ekologi, budidaya, sosial ekonomi, teknologi pasca panen dan pemasaran) menyebabkan rendahnya perhatian terhadap kelestarian tumbuhan obat.

Penyebaran tabat barito di Indonesia yaitu meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Tabat barito merupakan jenis tumbuhan epifit serta dapat tumbuh pada elevasi 2-2500 mdpl. Pengetahuan etnobotani dan penggunaan tabat barito sebagai obat terutama banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri jamu di Kalimantan. Masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sendiri tidak memanfaatkan tumbuhan ini untuk pengobatan penyakit tertentu. Masyarakat sekitar TNGGP bahkan belum mengetahui keberadaan dari spesies ini.

Penggalian karakteristik habitat mikro serta stimulus manfaat dari tabat barito sebagai sumber bahan obat diharapkan mampu menumbuhkan sikap konservasi baik dari pengelola TNGGP maupun masyarakat sekitar. Nilai manfaat sumberdaya atau kawasan diharapkan dapat menjadi stimulus manfaat yang menginisiasi sikap dan aksi konservasi (Zuhud 2007). Tabat barito sebagai salah satu potensi plasma nutfah di kawasan TNGGP apabila dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan dapat memberikan nilai manfaat yang besar bagi masyarakat serta menambah added value dari kawasan taman nasional.

(22)

tumbuh sebagai epifit yaitu adanya berbagai tipe habitat mikro yang terkait dengan tumbuhan inangnya.

Kajian mengenai habitat mikro tabat barito pada berbagai spesies tumbuhan inang serta karakteristik yang dimiliki, termasuk pengaruhnya terhadap kandungan bioaktif dan terhadap salah satu potensinya sebagai antikanker menjadi salah satu aspek ekologi yang penting untuk dilakukan. Pengkajian terhadap potensi tabat barito secara detail dan menyeluruh dari berbagai aspek dapat disajikan sebagai salah satu dasar bagi upaya pelestarian dan pemanfaataan secara berkelanjutan dari tabat barito di Resort Mandalawangi TNGGP. Selain itu, data dan informasi yang diperoleh akan bermanfaat sebagai acuan untuk mengatur faktor-faktor lingkungan dalam upaya pengembangan tabat barito melalui upaya budidaya untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang baik dengan kandungan bioaktif yang tinggi.

Perumusan Masalah

Tabat barito merupakan tumbuhan obat yang memiliki permintaan pasar yang tinggi sebagai bahan baku industri jamu. Fokus pemenuhan permintaan pasar saat ini dengan cara melakukan pemanenan dari alam, tanpa melalui budidaya. Tabat barito yang merupakan jenis spesies yang bersifat open access, tidak memiliki kuota panen serta tidak diketahuinya standing stock di alam membuat kelestariannya terancam. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan kelangkaan, sehingga menjadi penting untuk diprioritaskan dalam upaya konservasinya.

Tabat barito merupakan tumbuhan yang memiliki penyebaran yang sangat luas di Indonesia, meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Jenis ini dapat tumbuh pada elevasi 2-2500 mdpl. Penelitian tabat barito di Jawa Barat sebagai salah satu lokasi penyebaran alaminya belum dilakukan secara menyeluruh. Tabat barito yang terdapat di Resort Mandalawangi, Seksi PTN Wilayah I Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan potensi plasma nutfah yang berharga bagi tujuan pengembangan sebagai sumber bahan obat, baik secara insitu maupun eksitu.

Keberadaan tabat barito, terutama di Kalimantan sudah mulai sulit didapatkan di habitat alaminya. Hal tersebut terkait dengan tingginya tingkat pemanenan tabat barito dari alam dalam rangka memenuhi permintaan pasar, khususnya industri jamu tradisional. Di sisi lain, potensi, keberadaan dan penyebaran alami tabat barito, termasuk karakteristik bioekologinya di Resort Mandalawangi TNGGP belum diteliti secara menyeluruh, baik dari aspek stimulus alamiah maupun stimulus manfaatnya. Hal ini menjadikan spesies ini belum menjadi kekayaan plasma nutfah yang diperhitungkan untuk memberikan added value bagi kawasan konservasi TNGGP.

(23)

stimulus manfaat dari tabat barito menjadi penting untuk disosialisasikan. Melalui stimulus alamiah dan stimulus manfaat dari tabat barito diharapkan mendorong pihak pengelola TNGGP dan masyarakat sekitar untuk melakukan sikap dan aksi konservasi

Nilai manfaat dari tabat barito, khususnya sebagai sumber bahan obat alam di Resort Mandalawangi belum banyak diteliti dan diketahui secara luas, baik oleh pihak pengelola maupun masyarakat. Hal ini menjadikan belum terciptanya stimulus rela untuk mengelola dan memanfaatkan tabat barito secara berkelanjutan.

Tabat barito memiliki penyebaran yang luas di Indonesia, yang menyebabkan terdapatnya keanekaragaman genetik dan habitatnya. Kondisi tersebut akan mempengaruhi produktivitas hasil & kandungan bioaktifnya. Tersedianya kriteria-kriteria faktor genetik dan faktor lingkungan untuk memperoleh tabat barito dengan produktivitas dan kandungan bioaktif yang tinggi merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan untuk mempertahankan kelestarian dan pengembangannya baik secara insitu maupun eksitu. Saat ini belum terdapat penetapan kriteria-kriteria faktor genetik dan faktor lingkungan yang perlu dipenuhi dalam upaya budidayanya untuk menghasilkan tabat barito dengan kandungan bioaktif yang tinggi.

Tabat barito mengandung senyawa-senyawa flavonoid, steroid, alkaloid dan triterpenoid yang merupakan senyawa bioaktif yang pada umumnya mempunyai berbagai aktivitas bioaktif termasuk antitumor dan antikanker. Kajian mengenai interaksi antara karakteristik habitat mikro tabat barito terhadap kandungan bioaktifnya dan pengaruhnya terhadap salah satu potensi tabat barito sebagai antikanker menjadi salah satu penelitian aspek ekologi yang penting untuk dilakukan, sekaligus untuk menggali stimulus manfaat dari tabat barito.

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini merupakan rincian permasalahan yang akan dijawab dari penelitian yaitu:

1. Bagaimanakah karakteristik habitat mikro tabat barito?

2. Bagaimanakah sifat kimia media tumbuh tabat barito dan kaitannya dengan kandungan bioaktif dan tingkat toksisitas daunnya?

3. Bagaimanakah pengaruh spesies tumbuhan inang terhadap kandungan bioaktif dan tingkat toksisitas daun tabat barito?

4. Bagaimanakah interaksi antara karakteristik habitat mikro dan sifat kimia media tumbuh terhadap kandungan bioaktif dan tingkat toksisitas daun tabat barito.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji karakteristik habitat mikro tabat barito dan mengidentifikasi berbagai spesies tumbuhan inangnya di Resort Mandalawangi TNGGP.

2. Mengkaji sifat kimia media tumbuh tabat barito dari berbagai spesies tumbuhan inang.

(24)

4. Mengkaji interaksi antara karakteristik habitat mikro dan media tumbuh terhadap kandungan bioaktif dan tingkat toksisitas daun tabat barito.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar bagi upaya pelestarian dan pemanfaataan secara berkelanjutan dari tabat barito di Resort Mandalawangi TNGGP. Dalam hal konservasi eksitu, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatur faktor-faktor lingkungan dalam upaya budidaya tabat barito untuk mendapatkan produksi hasil dan kandungan bioaktif yang tinggi.

Kerangka Pemikiran

Setiap spesies memiliki relung ekologi (ecological niche) dan relung ini merupakan determinan pokok dan adaptasi struktural, fisik dan perilaku populasi. Sifat lain dari watak relung adalah tidak ada dua spesies yang hidup dalam komunitas yang sama dapat menghuni relung yang sama. Relung mengandung semua ikatan di antara populasi dengan komunitas dan ekosistem tempat populasi berada. Termasuk ikatan–ikatan tersebut adalah faktor–faktor seperti toleransi ruang dan optimalisasi segala perubahan lingkungan abiotik, organisme pakan dan pemakan, sebaran ruang hidup spesies dan struktur populasi spesies (Wirakusumah, 2003).

Interaksi antara organisme dan lingkungan menentukan apakah suatu spesies atau anggota individu dari spesies, dapat bertahan hidup dan bereproduksi dalam habitat tertentu. Lingkungan habitat masing-masing ditentukan oleh faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik meliputi semua organisme lainnya di habitat tersebut yang saling berinteraksi. Faktor abiotik di lingkungan termasuk angin, hujan, sinar matahari, tanah dan suhu. Setiap habitat di dunia memiliki kombinasi yang berbeda dari faktor biotik dan abiotik, dimana habitat yang berbeda mendukung jenis tumbuhan dan hewan yang berbeda pula (Stern 2006).

Kenyataan bahwa spesies tumbuhan tertentu dapat tumbuh subur dalam satu habitat tetapi tidak di habitat lainnya menunjukkan bahwa tumbuhan merefleksikan dan merespon lingkungan mereka. Ketika tumbuhan bereproduksi, gen tersebut diteruskan kepada generasi berikutnya. Gen ini memungkinkan tumbuhan beradaptasi terhadap lingkungannya. Jika suatu tumbuhan tidak beradaptasi dengan lingkungannya, maka benihnya mungkin berkecambah tetapi tumbuhan akan mati sebelum reproduksi dapat terjadi. Dengan mengamati pertumbuhan tanaman di habitat tertentu, kita dapat mengetahui sifat alami dari lingkungannya (Stern 2006).

(25)

tumbuhan Eucommia ulmoides yang dikoleksi dari daerah yang berbeda memiliki kandungan bioaktif yang berbeda pula. Daun Eucommia ulmoides yang memiliki kandungan bioaktif yang tinggi berasal dari Zunyi (Provinsi Guizhou), Cili (Provinsi Hunan), Lueyang (Provinsi Shaanxi) dan Tongjiang (Provinsi Sichuan).

Potensi tabat barito sebagai bahan obat, tentunya menjadi peluang yang besar untuk dikembangkan. Produktivitas tabat barito terkait dengan potensinya tersebut, tidak saja dilihat dari banyaknya hasil yang diperoleh, namun juga dari kualitas kandungan bahan bioaktifnya. Produksi dari komponen-komponen bioaktif memiliki hubungan erat dengan kondisi lingkungan. Faktor lingkungan yang memiliki pengaruh potensial pada komposisi kualitatif dan kuantitatif metabolit sekunder tumbuhan meliputi iklim, jenis tanah, patogen (termasuk herbivora), musim dan waktu untuk panen, serta pengeringan dan kondisi penyimpanan (Itenov et al. 1999; Scholten 2003; Wang et al. 2005 dalam Yan 2010).

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Keberadaan TNGGP mempunyai arti penting bagi konservasi di Indonesia karena merupakan kawasan yang pertama ditetapkan sebagai cikal bakal cagar alam di Indonesia dan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kalinya diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Kawasan yang terletak di antara Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi ini merupakan kawasan perwakilan ekosistem hutan hujan pegunungan di Pulau Jawa, serta merupakan tempat hidup berbagai jenis satwa dan mempunyai keanekaragaman jenis burung terbanyak di Pulau Jawa (Ditjen PHKA 2008).

TNGGP dalam pengelolaannya dibagi menjadi 3 (tiga) Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (Bidang PTN Wil), yaitu Bidang PTN Wil I di Cianjur, Bidang PTN Wil II di Selabintana-Sukabumi, dan Bidang PTN Wil III di Bogor, dan 6 (enam) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN Wil). Resort Mandalawangi seluas 1.476,02 ha berada di bawah Seksi PTN Wil. I Cibodas, Bidang PTN Wil I Cianjur (BTNGP 2009).

Geologi dan Tanah

Gunung Gede merupakan salah satu dari 35 gunung berapi aktif di wilayah Indonesia, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati. Gunung Gede dan Gunung Pangrango merupakan bagian dari rangkaian gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara serta terbentuk selama periode kuarter, sekitar tiga juta tahun yang lalu dan dalam skala waktu geologi keduanya termasuk ke dalam golongan gunung muda.

(26)

a. Latosol coklat tuff volkan intermedier, pada lereng–lereng paling bawah Gunung Gede–Gunung Pangrango.

b. Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, pada lereng–lereng pegunungan yang lebih tinggi dan tanahnya mengalami pelapukan lebih lanjut.

c. Kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuff serta batuan vulkan intermedier sampai dengan basis, terdapat di kawasan Gunung Gede– Gunung Pangrango yang berasal dari lava dan batuan hasil kegiatan gunung berapi. Pada kawah Gunung Gede yang memiliki kegiatan vulkanik hanya ditemukan jenis litosol yang belum melapuk.

Topografi

Kawasan TNGGP merupakan rangkaian gunung berapi, terutama Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl) yang merupakan dua dari tiga gunung berapi di Jawa Barat. Topografi kawasan ini bervariasi mulai dari landai hingga bergunung dengan elevasi antara 700–3000 mdpl.

Iklim dan Curah Hujan

TNGGP merupakan salah satu daerah terbasah di Pulau Jawa, dengan curah hujan tahunan rata–rata 3.000–4.200 mm. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt–Ferguson, kawasan TNGGP termasuk dalam Tipe A (Nilai Q = 5–9%).

Suhu udara rata–rata di puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango pada siang hari berkisar 10oC dan di Cibodas berkisar 18oC, sedangkan pada malam hari di Cibodas berkisar 5oC. Namun pada musim kemarau suhunya bisa mencapai 0oC. Kelembaban udara kawasan ini tinggi sekitar 80–90%. Pada elevasi 1.500–2.000 mdpl (hutan pegunungan), kelembaban yang tinggi menyebabkan terhambatnya aktivitas biologi dan pelapukan kimiawi sehingga

terbentuk tanah yang khas ”peaty soil”.

Angin yang bertiup di kawasan ini merupakan angin muson yang berubah arah menurut musim. Pada musim hujan, angin bertiup dari arah Barat Daya dengan kencang sehingga sering mengakibatkan tumbangnya pepohonan. Sedangkan pada musim kemarau angin bertiup dari arah Timur Laut dengan kecepatan rendah.

Hidrologi

Sebagian besar kawasan TNGGP merupakan akuifer daerah air tanah langka, dan sebagian kecil merupakan akuifer produktif sedang dengan sebaran yang luas. Daerah yang paling produktif sumber air tanahnya adalah daerah kaki Gunung Gede dengan mutu memenuhi persyaratan untuk air minum, disamping untuk irigasi.

(27)

tinggi, sebagian besar sungai di kawasan ini merupakan sungai abadi dengan mata air yang mempunyai debit rata–rata lebih liter/detik.

Tipe Ekosistem

Ahli ekologi membuat klasifikasi ekosistem hutan di TNGGP kedalam 3 tipe vegetasi berdasarkan ketinggian, yaitu (BTNGP 2009):

1. Hutan Submontana/Hutan Pegunungan Bawah

Tipe ekosistem hutan pegunungan bawah terdapat pada elevasi 1.000– 1.500 mdpl. Pada umumnya tipe ekosistem hutan pegunungan bawah dicirikan oleh keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi, dengan pohon-pohon besar dan tinggi yang membentuk tiga strata tajuk. Tinggi tajuk hutan di dalam kawasan TNGGP sekitar 30–40 m, dan strata tertinggi didominasi oleh jenis– jenis Litsea spp. dan Castanopsis spp.

Hutan submontana merupakan areal yang memiliki keanekaragaman hayatinya paling tinggi dengan berbagai kelas pohon, perdu, liana, epifit dan anggrek. Hal ini terjadi mengingat curah hujan yang memadai untuk mendukung pertumbuhan yakni diatas 3000 mm/tahun, intensitas cahaya matahari yang baik, serta kelembaban yang sangat cocok untuk kelas epifit dan anggrek.

2. Hutan Montana

Tajuk pohon di hutan pegunungan biasanya memiliki ketinggian yang sama, yaitu 20 meter, percabangan pohon lebih pendek dari cabang pohon di hutan sub montana. Pohon besar dan sangat tinggi sangat jarang, karena perakaran. Daun-daun umumnya kecil. Herba yang umumnya ditemukan di lantai hutan termasuk jenis yang digunakan sebagai tanaman hias yaitu Begonia, Impatiens dan Lobelia.

Ekosistem montana atau hutan pegunungan atas terdapat pada elevasi 1.500–2.400 m dpl. Pada ekosistem ini dicirikan dengan pepohonan berukuran sedang yang memiliki ketinggian sama umumnya 20 m, berdaun kecil (microphyllic), cabang dan batang yang relatif lebih kecil dari pepohonan di submontana dan pertumbuhan pohon yang lambat.

Pada ekosistem ini banyak ditemui tumbuhan yang bisa kita kenal sebagai tanaman hias yakni Begonia isoptera, Impatiens javensis, Lobelia angulata, Laptospermum flavescens dan L. montana. Selain itu, Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan Puspa (Schima wallichii) juga mendominasi dari Air Terjun Cibeureum (1.750 mdpl) hingga Kandang Badak (2.400 mpl). 3. Hutan Sub Alpin

(28)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi Tabat Barito

Taksonomi tabat barito yaitu sebagai berikut (Balitbangkes 1997): Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Urticales

Famili : Moraceae

Genus : Ficus

Spesies : Ficus deltoidea Jack.

Tabat barito merupakan tumbuhan epifit yang merambat atau kadang-kadang ditemukan dalam bentuk pohon kecil (perdu) dengan tinggi 0,5–3 m. Batang pohon bulat, berlignin, berwarna cokelat abu-abu dan mengeluarkan eksudat (Kristina 2007). Daunnya berbentuk bulat telur sungsang sampai lanset dengan panjang 2-5 cm. Daun tabat barito berwarna hijau kekuningan sampai coklat kekuningan dengan bintik-bintik di permukaannya (Yuliani 2001).

Terdapat perbedaan bentuk daun antara tumbuhan jantan dan betina. Tabat barito betina memiliki bentuk daun bulat oval dengan tiga noktah hitam pada bagian belakang daun, sedangkan tabat barito jantan memiliki daun bulat memanjang (Kristina 2007).

Tabat barito memiliki bunga tunggal yang tumbuh pada ketiak daun, berwarna cokelat kemerahan dengan benang sari dan putik tersusun dalam lingkaran. Memiliki buah buni, berbentuk bulat sampai lonjong. Buah berwarna kuning dengan diameter buah 3-5 mm. Biji buah berwarna cokelat berbentuk bola kecil (Balitbangkes 1997).

Penyebaran dan Habitat

Tabat barito merupakan tumbuhah epifit yang banyak ditemukan tumbuh pada cabang-cabang pohon tinggi dimana kebutuhannya terhadap sinar matahari dapat terpenuhi (Musa 2006). Tabat barito tumbuh di Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan di beberapa pulau kecil di sekitar Sumatera (Suharnanto 1992). Jenis ini dapat tumbuh hingga elevasi 2500 mdpl. Tabat barito tumbuh secara terbatas di tempat-tempat tertentu, seperti pada jenis tanah liat, tanah karang atau tanah yang mengandung kapur, bekas endapan lava dan sebagainya. Tabat barito juga sering dijumpai pada tepi kawah baik yang masih aktif maupun yang telah mati. Tabat barito yang terdapat di hutan-hutan, dijumpai tumbuh pada celah-celah batang atau cabang pohon-pohon besar (Sastrapradja dan Afriastini 1984).

(29)

Tabat barito yang tumbuh sebagai epifit umumnya menempati celah–celah pada cabang besar yang merupakan percabangan utama. Terdapat pula beberapa individu tabat barito yang tumbuh pada cabang miring atau cekungan pada batang bekas cabang yang patah. Tempat-tempat tersebut memungkinkan untuk menangkap serasah yang jatuh (Suharnanto 1992).

Kandungan Bioaktif Tabat Barito

Menurut Balitbangkes (1997) terdapat beberapa senyawa pada daun dan buah tabat barito. Senyawa tersebut antara lain saponin, flavonoid dan tanin. Hasil penelitian Purnamawati (1998) menunjukkan bahwa daun tabat barito juga mengandung senyawa fenol hidrokinin dan alkaloid. Golongan flavanoid yang ditemukan Siswoyo (1999) pada ekstrak daun tabat barito adalah auron, luteiolin, antosianin, aglikon dan trisin. Berdasarkan hasil penelitian Sirait (2000), daun tabat barito mengandung flavonoid dan triterpenoid.

Tabat barito banyak mengandung flavonoid, triterpenoid, alkaloid dan steroid. Kandungan triterpenoid dapat digunakan sebagai anti jamur, anti bakteri dan anti virus. Steroid digunakan dalam aktivitas dari hormon estrogen dan progesteron (Kristina 2007).

Lip et al. (2009) melakukan isolasi dan identifikasi moretenol dari ekstrak metanol daun F. deltoidea menggunakan kromatografi cair vakum dan kromatografi kolom terbuka. Struktur elusidasi moretenol dilakukan dengan spektrometer Resonansi Magnetik Inti serta data spektrometer massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun kering F. deltoidea mengandung 0.04% moretenol dan dapat digunakan sebagai penanda kimia. Wei et al. (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui komposisi senyawa kimia dari ekstrak daun tabat barito melalui skrining dan identifikasi menggunakan kromatografi gas-spektrometer massa. Terdapat 19 senyawa kimia yang berhasil diidentifikasi, dengan fenol 27,12% dan 2,4-bis (dimethylbenzyl)-6-t-butylphenol 11,83% sebagai senyawa utama.

Analisis fitokimia dari ekstrak petroleum eter, kloroform, metanol dan air dari daun tabat barito menunjukkan adanya saponin, asam amino, flavonoid dan terpenoid (Shafaei et al. 2011). Analisis fitokimia dari ektrak air F. deltoidea var. deltoidea menunjukkan adanya flavonoid, saponin dan tanin. Ekstrak air F. deltoidea var. angustifolia menunjukkan adanya flavonoid, tanin dan terpenoid (Amiera et al. 2014).

Penelitian Manfaat Tabat Barito

Berdasarkan Pengetahuan Tradisional

(30)

terkait siklus menstruasi (Burkill dan Haniff 1930; Fasihuddin dan Din 2002 dalam Musa 2006). Tabat barito juga dipercaya untuk mengobati radang paru-paru, diabetes, hipertensi, diare dan asam urat (Musa 2006).

Tabat barito secara tradisional digunakan sebagai antimikroba alami, terutama untuk organ kewanitaan. Evaluasi bioassay mengungkapkan bahwa tabat barito memiliki aktivitas antimikroba terhadap mikroorganisme patogen manusia, yaitu Staphylococcus aureus, Candida albicans dan Trichophyton rubrum (Kustiawan 2007). Simplisia daun tabat barito dipercaya berkhasiat untuk mengobati keputihan, melancarkan haid, memperindah bentuk tubuh, mengobati badan lemah, pegal linu dan demam saat nifas (Kristina 2007). Tabat barito juga dipercaya dapat mencegah dan menyembuhkan penyakit paru-paru basah, diabetes, sakit ginjal, tekanan darah tinggi, asam urat dan diare (Yvonne 2003 dalam Kiong et al. 2007; Osman 2004 dalam Kiong et al. 2007). Rebusan daun tabat barito dipercaya mampu mengemulsi lemak, mengurangi kolesterol yang berlebihan dalam arteri serta mencegah migren (Seman 2005 dalam Kiong et al. 2007).

Para wanita Dayak Udanum di Kalimantan Tengah menggunakan tabat barito setelah melahirkan karena dipercaya dapat mengencangkan kembali otot vagina. Proses pemanfaatan tabat barito dilakukan dengan cara direbus lalu hasil rebusannya diminum atau digunakan untuk membersihkan alat kelamin wanita. Sedangkan penduduk di desa Panaan tidak menggunakan tabat barito untuk obat, namun mereka mengetahui manfaat tabat barito sebagai afrodisiak bagi wanita (Kristina 2007). Rebusan daun kering Ficus deltoidea (F. deltoidea) umumnya digunakan oleh praktisi pengobatan tradisional sebagai jamu setelah melahirkan, anti-hipertensi, obat keputihan, antidiabetes dan untuk pengobatan leucorrhoea (Padua et al. 1999 dalam Lip et al. 2009).

Berbagai bagian tumbuhan tabat barito digunakan secara tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit. Buahnya dikunyah untuk meredakan sakit kepala, sakit gigi dan flu. Bubuk akar dan daun tabat barito digunakan untuk mengobati luka, dan digunakan di sekitar sendi untuk menghilangkan rematik (Burkil 1966 dalam Suryati et al. 2011). Daun F. deltoidea telah digunakan secara tradisional oleh orang Melayu untuk mengobati penyakit seperti luka-luka dan reumatik (Zakaria et al. 2012).

Berdasarkan Penelitian Farmakologi

Khasiat ekstrak tabat barito sebagai anti tumor telah dipatenkan dengan nomor paten P00200200385. Metode ekstraksi yang dilakukan mampu memberikan ekstrak yang berkhasiat untuk digunakan sebagai jamu, ekstrak terstandar dan bahan fitofarmaka sebagai pencegah dan atau membantu pengobatan tumor (Darusman et al. 2003).

(31)

Abdullah et al. (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak F. deltoidea terhadap profil protein serum pada tikus penderita hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah F. deltoidea memiliki efek penghambatan terhadap Angiotension-I Converting Enzyme (ACE), sehingga dimungkinkan memiliki aktivitas anti-hipertensi.

Hussain et al. (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas anti-inflamasi ekstrak air dan ekstrak metanol dari 3 (tiga) varietas F. deltoidea menggunakan tiga uji, yaitu in vitro assays, lipoxygenase, hyaluronidase dan TPA-induced oedema. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun tabat barito menunjukkan aktivitas anti-inflamasi yang kuat pada tiga model yang digunakan, dengan aktivitas anti-inflamasi terkuat terdapat pada model TPA.

Abdullah et al. (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak alkohol dan ekstrak air dari 3 (tiga) varietas F. deltoidea terhadap aktivitas antioksidan menggunakan model in vitro, yaitu aktivitas radikal bebas, kekuatan reduksi besi (III), pemulungan anion superoksida (O2), xantin oksidase (XOD), oksida nitrat (NO) dan peroksidasi lipid. Ekstrak alkohol dan ekstrak air dari daun F. deltoidea menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi baik dengan metode DPPH maupun pemulungan anion superoksida. Kondisi tersebut sebanding dengan kandungan kuersetin, rutin, butylated hydroxyanisol, asam askorbat dan allopurinol. Tingginya kandungan total polifenol, flavonoid dan tanin dalam ekstrak terkait dengan aktivitas antioksidan ekstrak

Ekstrak daun tabat barito memiliki potensi sebagai antioksidan (Hakiman dan Maziah 2009). Ekstrak air dari daun betina tabat barito menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak air dari daun jantan. Hal tersebut menunjukkan bahwa konstituen enzimatik maupun non enzimatik lebih tinggi pada daun betina. Kostituen non enzimatik meliputi senyawa fenolik, flavonoid, vitamin C, sedangkan konstituen enzimatik meliputi askorbat oksidase, peroksidase, katalase dan askorbat peroksidase.

Aris et al.(2009) melakukan penelitian untuk mengetahui kandungan fenolik dan aktivitas antioksidan dari buah F. deltoidea var angustifolia sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ekstrak memiliki aktivitas antioksidan yang kuat, baik dengan metode Thiobarbituric Acid (TBA) maupun metode Ferric Thiocyanate (FTC) dengan persen penghambatan masing masing pada kisaran 90,70% dan 97,78%.

Potensi tabat barito dalam mekanisme anti-diabetes dengan cara menghambat aktivitas enzim dalam usus kecil juga telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air, etanol dan metanol dari F. deltoidea dapat menghambat aktivitas glukosidase dalam usus tikus secara signifikan tergantung pada konsentrasi yang diberikan (Adam et al. 2009).

(32)

kolagen disertai dengan angiogenesis dalam jaringan granulasi lebih banyak daripada dibandingkan pengobatan luka dengan plasebo kosong. Hasil tersebut menunjukkan efek yang menguntungkan dan signifikan dari ekstrak F. deltoidea untuk mempercepat laju penyembuhan luka pada tikus.

Adam et al. (2010) melakukan penelitian untuk mengevaluasi potensi ekstrak etanol F. deltoidea untuk mengurangi hiperglikemia pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ekstrak etanol dari F. deltoidea secara signifikan mengurangi hiperglikemia puasa dan postprandial terutama setelah 4 dan 6 jam setelah pemberian ekstrak. Toleransi glukosa secara signifikan meningkat dengan pemberian ekstrak etanol F. deltoidea pada dosis rendah 100 mg/kg (Adam et al. 2010). Ekstrak tabat barito juga menunjukkan aktivitas anti-melanogenik dengan cara menghambat aktivitas in vitro enzim tirosinase serta dengan menekan ekspresi gen tirosinase dalam sel melanoma B16F1 (JinOh et al. 2011).

Farsi et al. (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui efek penghambatan enzim dan sifat antioksidan fraksi yang berbeda dari ekstrak metanol daun F. deltoidea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi N-butanol memiliki efek penghambatan yang signifikan terhadap α-glucosidase dan α -amylase (nilai IC50 masing-masing 15,1 µg/ml dan 39,42 µg/ml) bersamaan

dengan aktivitas antioksidan yang tinggi jika dibandingkan dengan fraksi lainnya. Kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) profil kimia dari fraksi n-butanol mengungkapkan bahwa kadar isovitexin (24,63 mg/g) dan vitexin (8,3 mg/g) yang ditemukan lebih tinggi secara signifikan dari fraksi lainnya.

Ilyani et al. (2011) menguji profil hipoglikemik dan toksisitas dari ekstrak daun F. deltoidea menggunakan hewan uji tikus. Pemberian ekstrak metanol menunjukkan adanya penurunan aktivitas glukosa darah pada tikus penderita diabetes yang sedikit tahan terhadap insulin, seperti yang terjadi pada tikus normoglikemik. Hal tersebut berbeda pada pemberian sub ekstrak hidrofil butanol yang hanya menunjukkan aktivitasnya pada tikus normoglikemik. Berbeda dari subekstrak toksik kloroform dan heksana, ekstrak metanol hidrofil memberikan kematian nol persen sampai dengan 6400 mg/kg dalam 14 hari, juga tidak menginduksi toksisitas hati dan ginjal pada konsumsi empat minggu di 200 mg/kg. Ekstrak metanol daun F.deltoidea memiliki aktivitas anti-diabetes campuran dan menunjukkan tingkat toksisitas oral yang rendah.

Samsulrizal et al. (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak air dan ekstrak etanol dari daun F. deltoidea terhadap kualitas sperma, aktivitas LDH-C4 dan tingkat testosteron tikus penderita diabetes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air dan etanol dari F. deltoidea secara oral secara signifikan mampu meningkatkan jumlah sperma, aktivitas LDH-C4 dan konsentrasi testosteron pada tikus penderita diabetes. Perlakuan tersebut secara signifikan juga menurunkan kadar glukosa darah dan kelainan sperma.

Bitzer et al. (2011) telah mempatenkan penggunaan komposisi dermatologi untuk meningkatkan sirkulasi mikro pada kulit, dimana kompisisinya berupa ekstrak hidrofilik dari F deltoidea dan bagiannya, dengan nomor paten WO 2012105823 A1. Ekstrak hidrofilik diperoleh dengan menggunakan pelarut

(33)

tingtur, krim, gel, larutan, lotion, spray, bubuk, sampo, sabun, pensil kosmetik atau parfum.

Tabat barito pernah diuji untuk melihat pengaruh ekstraknya terhadap gula darah, lipid dan ginjal pada penderita diabetes tingkat II. Meskipun tidak menunjukkan hasil yang signifikan, namun pasien yang diteliti merasa lebih segar dan energik dibandingkan perlakuan kontrol (Draman et al. 2012).

Choo et al. (2012) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi konstituen bioaktif dari daun tabat barito dengan penghambatan α -glukosidase secara in vivo. Pemberian 1 mg/kg vitexin atau isovitexin melalui oral secara signifikan (p<0,05) mengurangi kadar gula darah postprandial dalam sukrosa pada tikus normoglikemik setelah 30 menit. Pemberian secara oral vitexin dengan dosis 200 mg/kg atau isovitexin dengan dosis 100 mg/kg pada tikus penderita diabetes, menunjukkan persentase penurunan glukosa darah postprandial tertinggi.

Zakaria et al. (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas anti-inflamasi dari ekstrak air daun F. deltoidea dalam dosis 30, 100 dan 300 mg/kg, menggunakan model inflamasi akut dan kronis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air tabat barito menunjukkan aktivitas anti-inflamasi yang signifikan (p < 0,5) pada semua uji, dimana respon terhadap efek dosis terlihat pada paw edema dan tes formalin. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daun F. deltoidea memiliki aktivitas anti-inflamasi terhadap respon inflamasi akut dan kronis serta terhadap respon inflamasi nyeri terkait.

Hasham et al. (2013) menunjukkan bahwa perawatan kulit dengan ekstrak F. deltoidea secara signifikan mampu menghambat ekspresi yang disebabkan oleh UV TNF-α, IL-1α, IL-6 dan COX-2. Pemberian ekstrak F. deltoidea mampu menormalkan kembali penurunan sintesis kolagen dari fibroblas sebagai akibat dari paparan UVB. Ekstrak F. deltoidea memiliki efek positif dalam menyembuhkan kerusakan kulit yang disebabkan oleh paparan UVB dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk kosmetik anti penuaan.

Misbah et al. (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas antidiabetes dan aktivitas antioksidan terhadap ekstrak air dari buah tabat barito. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi air dari buah F. deltoidea var. angustifolia and F. deltoidea var. kunstleri memiliki aktivitas antidiabetes yang lebih tinggi dibandingkan crude aqueous extract dan fraksi etil asetat. Kondisi tersebut menyiratkan bahwa senyawa yang bertanggung jawab dalam aktivitas antidiabetes bersifat polar di alam. Crude aqueous extract dari buah F. deltoidea var. angustifolia menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan Crude aqueous extract dari buah F. deltoidea var. kunstleri, dimana kemungkinan disebabkan oleh senyawa fenolik.

Nurdiana et al. (2012) melakukan penelitian untuk mengevaluasi aktivitas antitrombotik dari ekstrak air dan ekstrak metanol daun tabat barito, untuk mengetahui efeknya terhadap kualitas sperma dan testosteron pada tikus jantan yang mengidap diabetes. Pemberian ekstrak air dan metanol daun tabat barito secara signifikan mampu meningkatkan kadar testosteron, jumlah sperma dan motilitasnya. Pengobatan ini secara signifikan juga mampu mengurangi tingkat pembekuan darah, kadar glukosa darah dan kelainan sperma.

(34)

penelitian menunjukkan bahwa nilai konsentrasi hambat minimum (MIC) ekstrak terhadap isolat bakteri yang diuji berkisar pada 31,26 mg/l-125 mg/l, dimana ekstrak daun tabat barito dapat menghambat semua isolat bakteri yang diuji. Aktivitas antikanker terungkap melalui uji Colorimetric MTT (tetrazolium) terhadap adenokarsinoma payudara manusia (MCF-7). Ekstrak daun tabat barito pada konsentrasi maksimum hanya mampu menghambat hampir 30% dari DPPH meskipun tidak terpantau adanya aktivitas antikanker terhadap sel MCF-7.

F. deltoidea mengandung senyawa fenolik yang memiliki efek

hipoglikemik in vitro dan in vivo (Kalman et al. 2013). Penelitian dilakukan terhadap efektivitas dan keamanan dari ekstrak daun tabat barito. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun F. deltoidea tidak berpengaruh terhadap variabel glikemia namun konsentrasi kolesterol total dan LDL secara signifikan menurun.

Penelitian untuk mengetahui aktivitas uterotonik dari ektrak air F. deltoidea var. deltoidea (FDD) dan F. deltoidea var. angustifolia (FDA) dilakukan oleh Amiera et al. (2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa FDD, FDA dan oksitosin memicu peningkatan kekuatan kontraksi uterus tikus terisolasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tabat barito berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai agen uterotonik alami yang membantu dalam menginduksi persalinan serta perawatan pendarahan post-partum.

Shafaei et al. (2014) melakukan penelitian mengenai standarisasi ekstrak metanol dan ektrak air dari daun F. deltoidea dengan mengembangkan kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik (RP-HPLC) untuk penentuan kandungan asam ursolat dan menyelidiki aktivitas antiangiogenik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua ekstrak memiliki potensi sitotoksisitas untuk melawan kanker payudara dan kanker sel usus, namun menunjukkan aktivitas non-sitotoksik terhadap sel endotel normal. Kedua ekstrak memiliki kandungan asam ursolat, fenolat dan flavonoid dengan konsentrasi yang relatif tinggi, yang terkait dengan aktivitas antiangiogenik yang kuat.

Woon et al. (2014) melakukan penelitian untuk mengkaji efek anti-adipogenik ekstrak metanol dan ekstrak air dari daun F. deltoidea var. deltoidea dan var. angustifolia terhadap 3T3-L1 adipocytes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari kedua varietas dan ekstrak air dari F. deltoidea var. angustifolia baik pada dosis non toksik maksimum maupun pada 1/2 dosis non toksik maksimum mampu menghambat pematangan preadiposit secara signifikan. Penghambatan pembentukan adiposit matang menunjukkan bahwa ekstrak daun F. deltoidea memiliki potensi efek anti obesitas.

Toksisitas

(35)

Metode uji toksisitas larva udang dengan menggunakan A. Salina dianggap memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa antikanker, sehingga sering dilakukan untuk skrinning awal pencarian senyawa antikanker. Metode ini dikenal sebagai metode yang mudah, cepat, murah dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Sifat sitotoksik dapat diketahui berdasarkan jumlah kematian larva udang pada konsentrasi tertentu. Suatu ekstrak dikatakan toksik jika memiliki nilai LC50 (konsentrasi yang mampu membunuh 50% larva udang)

kurang dari 1000 ppm setelah waktu kontak 24 jam (Meyer etal. 1982).

Uji toksisitas larva udang dilakukan terhadap beberapa spesies tumbuhan obat yang dikumpulkan dari beberapa lokasi Malaysia dengan menggunakan 96-well microplate method yang dikembangkan oleh Solis et al.(1993). Uji tersebut dilakukan terhadap 8 (delapan) spesies tumbuhan, diantaranya adalah Ficus deltoidea dengan menggunakan bagian daunnya (Shafii et al. 2011). Hasil uji menunjukkan bahwa seluruh ekstrak tumbuhan yang diuji bersifat tidak toksik karena memiliki nilai LC50 > 5000 ppm. Suatu ekstrak tumbuhan dikatakan toksik

apabila memiliki nilai LC50 < 1000 mg/ml (Solis et al. 1993).

Penelitian uji toksisitas dengan metode BSLT dilakukan oleh Heryani (2002) menggunakan sampel tabat barito yang diperoleh dari daerah Muara Teweh dan Buntok, Kalimantan Tengah. Uji toksisitas terhadap fraksi aktif hasil isolasi dengan Kromatografi Kolom menunjukkan bahwa fraksi aktif hasil KK tidak bersifat toksik dengan nilai LC50 dan LC95 masing-masing adalah 2287,7

ppm dan 4803,6 ppm.

Hasil uji pendahuluan dengan metode BSLT pada fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan fraksi metanol daun Ficus deltoidea Jack. didapatkan nilai LC50

berturut-turut adalah 229,37 µg/ml, 106,38 µg/ml dan 414,53 µg/ml (Rery 2010). Selanjutnya dilakukan isolasi terhadap fraksi etil asetat daun Ficus deltoidea Jack dan memperoleh dua senyawa sitotoksik yaitu senyawa FE2 berupa kristal putih (64 mg) dengan titik leleh 167-169°C dan senyawa FE12E berupa minyak kekuningan (5,2 mg). Isolasi dilakukan dengan metoda ekstraksi maserasi bertingkat, kromatografi lapis tipis, kromatografi kolom dan rekristalisasi. Uji aktivitas dilakukan dengan metoda Brine Shrimp Lethality Test menunjukkan bahwa senyawa FE2 dan FE12E memiliki aktivitas yang baik dengan nilai LC50

masing-masing 134,99 ppm dan 24,97 ppm. Berdasarkan data karakterisasi diduga senyawa FE2 dan FE12E masing-masing adalah terpenoid dan kumarin.

Penelitian Budidaya Tabat Barito

(36)

terbaik yaitu dengan media tumbuh kompos sengon dengan pemupukan NPK 1 gram.

Purnamawati (1998) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun tempuyung pada media tumbuh dan lama waktu pengomposan yang tepat bagi peningkatan produktivitas daun tabat barito. Jenis media tumbuh yang digunakan adalah tanah latosol dan serbuk gergaji sengon. Perlakuan macam ekstrak yang digunakan yaitu kontrol, ekstrak daun segar 25%, ekstrak daun segar 50%, ekstrak daun segar 75% dan ekstrak daun rebus. Lama pengomposan terdiri atas 2 taraf yaitu pengomposan 1 bulan dan pengomposan 2 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tumbuh dan lama pengomposan tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, namun jenis ekstrak dan interaksinya dengan media tumbuh berpengaruh nyata terhadap pertambahan tunas, berat kering daun dan berat basah daun. Perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik yaitu dengan media tumbuh tanah latosol dengan ekstrak daun rebus.

Siswoyo (1999) menguji pengaruh pemberian ekstrak daun tempuyung ke dalam beberapa media tumbuh terhadap pertumbuhan dan kandungan bahan bioaktif daun tabat barito. Analisis kandungan flavonoid daun tabat barito dilakukan terhadap 10 golongan, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol dan flavon (aglikon dan glikosida), glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavonon, isoflavon dan flavon (apogenin, luteolin dan trisin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tabat barito yang ditumbuhkan pada tanah latosol memilki kandungan flavonoid golongan auron dan luteolin. Golongan flavonoid yang ditemukan tersebut jika dibandingkan dengan kontrol memiliki kandungan yang lebih rendah. Pada kontrol, sebagian besar golongan flavonoid ditemukan, kecuali glikoflavon, biflavonil dan apigenin. Hal ini diduga karena umur tumbuhan tabat barito yang masih muda (4 bulan), sedangkan tumbuhan kontrol telah berumur 1 (satu) tahun.

Penelitian untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan frekuensi pemberian colchicine terhadap pertumbuhan daun tabat barito telah dilakukan (Meilani 2000). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara konsentrasi dan frekuensi pemberian colchicine terhadap pertumbuhan daun tabat barito, sehingga disarankan untuk melakukan dilakukan penelitian lanjutan dengan waktu pengamatan yang lebih lama.

Novita (2000) melakukan penelitian untuk mencoba metode kultur in vitro untuk perbanyakan tabat barito. Penelitian ini menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT) auksin dan sitokinin dengan berbagai komposisi. Hasil penanaman aseptik menunjukkan bahwa 20% eksplan mengalami pertunasan, 37,78% terinduksi kalus dan 23,33% mengalami pencoklatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbanyakan tabat barito dengan kultur in vitro berdasarkan prinsip totipotensi dapat dilakukan namun tingkat multiplikasinya masih rendah.

(37)

kawah dibuat 5 petak contoh yang terdapat tabat barito dan 5 petak contoh yang tidak terdapat tabat barito sebagai pembanding. Petak contoh (di luar kawah) yang terdapat tabat barito di dalamnya terdapat pada elevasi 1480 mdpl, 1529 mdpl,1531 mdpl, 1550 mdpl dan 1560 mdpl.

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam secara total pada kedua tipe tempat tumbuh tersebut tidak terdapat interaksi antara kondisi ekologi dengan potensi tabat barito. Namun dalam analisis secara terpisah di sekitar kawah menunjukkan hasil sebagai berikut: (1) terdapat interaksi yang nyata antara kandungan unsur hara Ca, Mg dan S dengan jumlah daun pada taraf ketelitian 95%; (2) terdapat interaksi yang sangat nyata antara kondisi iklim (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dengan biomassa daun pada taraf ketelitian 99%. Hal tersebut dapat dijelaskan karena tabat barito dapat tumbuh pada berbagai kisaran elevasi yaitu 240-2500 mdpl. Faktor ketinggian ini akan mempengaruhi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang dapat diterima oleh tumbuhan (Suharnanto 1992). Analisis secara terpisah pada habitat tabat barito di luar kawah, terdapat interaksi yang sangat nyata antara kandungan unsur hara Ca, Mg dan S dengan biomassa daun pada taraf ketelitian 99%.

Permana (2001) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh jarak tanam, pupuk kandang dan naungan serta interaksinya terhadap pertumbuhan dan produktivitas daun tumbuhan obat tabat barito. Jarak tanam yang digunakan yaitu jarak tanam 50 cm x 50 cm, 50 cm x 100 cm dan 100 cm x 100 cm. Perlakuan pupuk yang digunakan yaitu tanpa pupuk kandang dan dengan pupuk kandang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak tanam, pupuk kandang dan interaksi faktor perlakuan pada semua kombinasi tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati. Namun faktor naungan berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah tunas, jumlah daun, berat basah daun dan berat kering daun. Perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik yaitu tabat barito yang diberi perlakuan tanpa naungan.

Meskipun tabat barito adalah tumbuhan epifit dan pada umumnya dijumpai menempel pada cabang-cabang pohon besar, namun beberapa aksesi berhasil ditumbuhkan di lapangan (Musa 2006). Musa (2006) melakukan penanaman tabat barito dari 7 (tujuh) aksesi pada tanah bris di Telong, Malaysia. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil potensial dari tabat barito. Tabat barito ditanam pada jarak tanam 120 x 200 cm, menggunakan pupuk kandang ayam 20 ton/ha, pupuk organik KOKEI (N:P:K = 10:10:10) sebanyak 10 ton/ha dan minyak sawit terdekomposisi 25 ton/ha. Pemanenan dilakukan 20 bulan setelah penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesi dari MFD 4 menunjukkan hasil panen terbesar yang signifikan dibandingkan aksesi lainnya yaitu 7.287 kg/ha. Hasil tersebut 50,8% berasal dari cabang, daun 32,4% dan buah 16,8%.

(38)

dikulturkan pada media MS ditambah dengan 3 mg/L picloram. Media yang dilengkapi dengan 1 mg/L picloram menunjukkan pertumbuhan kalus yang terbaik serta menunjukkan media pemeliharaan kalus yang paling cocok untuk digunakan.

Kultur suspensi sel berhasil dikembangkan dari kalus yang berasal dari daun F. deltoidea (Ling et al. 2008). Penelitian menggunakan konsentrasi zat pengatur tumbuh dan kondisi kultur yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa media Murashige dan Skoog (MS) yang mengandung 3 mg/L picloram merupakan formulasi media yang paling efisien untuk pembentukan kultur suspensi sel. Tingkat pertumbuhan yang paling tinggi dari kultur suspensi sel dihasilkan di bawah 16 jam kondisi cahaya dan 8 jam kondisi gelap.

Kristina (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan media terbaik tabat barito dengan melihat respon tunas pada media perbanyakan (menguji multiplikasi tunas dengan media sitokinin tunggal), respon tunas pada media kombinasi sitokinin dan auksin serta daya multiplikasi dan penampilan tunas setelah subkultur pada media yang sama.

Ong et al. (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh dari empat sumber karbon yang berbeda (sukrosa, glukosa, fruktosa dan galaktosa) dan zat pengatur tumbuh (2,4-D, NAA, BAP dan kinetin) pada tiga jenis akumulasi flavonoid; rutin, quercetin dan naringenin dalam kultur sel F. deltoidea. Hasil analisis dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) menunjukkan bahwa kultur yang diperkaya dengan glukosa maupun fruktosa meningkatkan konsentrasi rutin sebanyak 2 (dua) kali dibandingkan kontrol. Konsentrasi naringenin mengalami peningkatan 19 kali dengan penambahan glukosa sebagai sumber karbon. Produksi maksimum rutin (39,13 ± 8,38 mg / g BK) dicapai pada media yang diperkaya dengan 10,74 pM Naphthaleneacetic Acid (NAA). Produksi maksimum kuersetin sebanyak 5 kali lebih tinggi dari kontrol (3,92 ± 0,44 mg / g BK) dan naringenin sebanyak 170 kali lebih tinggi dari kontrol (8,65 ± 3,03 mg / g BK) terlihat pada kultur yang medianya diperkaya dengan 4,65 pm kinetin.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Kristina dan Sitti (2012) yang berjudul Induksi Perakaran dan Aklimatisasi Tanaman Tabat Barito setelah Konservasi In Vitro Jangka Panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif quersetin tabat barito induk 0,08% lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman hasil kultur in vitro.

Epifit

Epifit yaitu tumbuhan yang hidupnya menempel pada tumbuhan lain sebagai penopang, tidak berakar pada tanah, berukuran lebih kecil daripada tumbuhan inangnya (Vickery 1984 dalam Indriyanto 2008). Akar epifit tidak parasit dan tidak memiliki kontak dengan tanah. Tumbuhan epifit ditopang sepenuhnya oleh air hujan yang terakumulasi di dasar daun mereka serta melalui fotosintesis. Mineral juga diperlukan dalam pertumbuhan epifit melalui akumulasinya dalam air hujan yang menetes di atas kulit kayu membusuk serta debu (Stern 2006).

(39)

menempel pada tumbuhan inang sebagai penopang hidupnya tetapi tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap tumbuhan inangnya (Gopal dan Bhardwaj 1979 dalam Indriyanto 2008).

Epifit tumbuh berlimpah di cabang-cabang pohon dibandingkan di ranting-ranting yang horizontal, karena pada cabang-cabang akan memungkinkan epifit mendapatkan hara dari deposit yang berasal dari aliran batang atau cabang. Sebaliknya epifit kurang berlimpah pada permukaan-permukaan yang horizontal dan halus, karena epifit sangat bergantung pada presipitasi dan deposit hara yang terbawa oleh presipitasi (Indriyanto 2008).

Dari semua kelas vegetasi, epifit merupakan tumbuhan yang paling bergantung pada presipitasi, sehingga keberadaan epifit sangat berlimpah pada daerah yang intensitas hujannya tinggi (Vickery 1984 dalam Indriyanto 2008). Pada daerah yang kondisi presipitasinya kurang, epifit melakukan adaptasi dengan menunjukkan xeromorphy yang meliputi penebalan kutikula, stomata terbenam, sukulen (tubuh berair) dan berkembangnya akar-akar lebat yang tampak seperti sarang burung (Indriyanto 2008).

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Resort Mandalawangi TNGGP pada elevasi 1300-2500 mdpl dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Penelitian dilakukan selama ± 4 bulan.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Perlengkapan eksplorasi dan pengukuran komponen fisik lingkungan, seperti: kompas, GPS, termometer, hygrometer, clinometer, christenmeter, kamera, binokuler, pita meter, tali rapia dan tambang.

2. Sampel daun tabat barito, telur A. salina, pelarut, air laut, peralatan gelas (labu erlenmeyer, tabung reaksi, cawan petri, gelas piala, gelas ukur, pipet volumetrik dll), perangkat ekstraksi, alat timbangan dan rotary evaporator.

Metode Pengambilan Data

(40)

melakukan desk study untuk menentukan spesies tabat barito yang akan diambil sampel daunnya.

Karakteristik habitat mikro tabat barito yang diamati meliputi:

a) Pohon inang (nama jenis, tinggi pohon, tinggi bebas cabang, diameter batang, luas tajuk).

b) Ketinggian tabat barito dari permukaan tanah.

c) Jumlah individu tabat barito dalam setiap pohon inang.

d) Penyebaran tabat barito pada setiap pohon (pada bagian batang, cabang atau ranting).

e) Media tumbuh tabat barito pada tumbuhan inangnya. f) Suhu dan Kelembaban udara

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan hygrometer. Alat diletakkan pada ketinggian tertentu dan diusahakan sedekat mungkin dengan tumbuhan tabat barito.

g) Fisiografi

 Kemiringan/Besar Lereng

Kemiringan lahan atau besar lereng diukur dengan menggunakan clinometer.

 Arah Lereng

Untuk mengetahui arah lereng digunakan alat penunjuk arah yaitu kompas.  Ketinggian dari Permukaan Laut (elevasi)

h) Media tumbuh tabat barito sebagai epifit

Sampel media tumbuh tabat barito diambil dari bahan organik yang terdapat pada perakaran tabat barito.

Uji Sifat Kimia Media Tumbuh Tabat Barito

Analisis dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian. Analisis dilakukan terhadap sifat kimia media tumbuh tabat barito (pH, C-organik, N, P, K dan Ca).

Uji Kandungan Bioaktif Daun Tabat Barito

Analisis kandungan bioaktif daun tabat barito dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB, dengan tahapan sebagai berikut:

1)Pengumpulan dan Persiapan Contoh

Sampel daun tabat barito dikeringkan dan digiling sehingga didapatkan serbuk daun tabat barito.

2)Ekstraksi

Serbuk daun tabat barito dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan pelarut ke dalamnya menggunakan pelarut etanol 70% lalu diekstraksi dengan metode sonikasi dengan waktu ekstraksi selama 15 menit. Nisbah jumlah bahan dengan pelarut yang digunakan adalah 1 : 10. Residu kemudian ditambah lagi pelarut yang sama dan diekstraksi dengan kondisi operasi yang sama. Selanjutnya maserat disatukan dan dikeringkan dengan penguap putar (rotary evaporator). Ekstrak yang diperoleh kemudian ditimbang dan ditentukan rendemennya.

3)Uji Fitokimia (Harborne 1987)

Alkaloid. Sebanyak 0.1 g ekstrak dilarutkan dalam 10 ml CHCl3 dan 4

tetes NH4OH kemudian disaring dan filtratnya dimasukkan ke dalam tabung

Gambar

Gambar 1.  Foto beberapa jenis batang tumbuhan yang berada pada elevasi antara 1800-2500 mdpl
Gambar 2. Jumlah spesies dan individu tumbuhan inang serta tabat barito hasil  eksplorasi
Tabel 1.  Tumbuhan-tumbuhan inang dari tabat barito yang ditemukan di Resort Mandalawangi TNGGP
Gambar 6   Foto beberapa individu tabat barito pada tumbuhan inang kihujan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat terjadi karena apabila PDN meningkat berarti peningkatan aktiva valas yang diberikan dengan persentase yang lebih besar dari peningkatan pasiva valas,

Manfaat penelitian ini adalah memberikan manfaat praktis dan teoritis untuk masyarakat maupun seniman khususnya seni tari tentang bentuk penyajian dan proses

Radiasi yang berasal dari sumber yang bergerak secara relativistik akan menga- lami beaming yang searah dengan vektor kecepatan sumber menurut pengamat diam. Efek beaming

Perkara ini telah diputuskan oleh Fatwa di Malaysia yang menjelaskan bahawa sebarang proses rawatan IVF ini perlu dilakukan dalam ikatan perkahwinan yang sah dan adalah

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan PRINCIPAL INDEX IDX30 yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Investasi

Bahasa Inggris dan Bahasa Asing Lainnya 352 B3. Muatan Peminatan

Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf c Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.09-HT.05.10 Tahun 1998 Tentang

Sistem Pendukung keputusan rotasi posisi duduk siswa dalam kelas ini dapat memberikan penilaian pendukung keputusan rotasi posisi duduk siswa dalam kelas dengan