• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh komposisi media dalam pertumbuhan protocorm like bodies, planlet, dan aklimatisasi phalaenopsis amabilis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh komposisi media dalam pertumbuhan protocorm like bodies, planlet, dan aklimatisasi phalaenopsis amabilis"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA DALAM PERTUMBUHAN

PROTOCORM LIKE BODIES

, PLANLET, DAN

AKLIMATISASI

Phalaenopsis amabilis

ERICK RAYNALTA

A24080158

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Phalaenopsis amabilis, known as ‘anggrek bulan’, is one of the most popular kind of orchids and was inaugurated as one of the national flower as 'Puspa Pesona'. The purpose of this study was to determine and study the effects of various tissue culture media composition on Protocorm Like Bodies (PLBs) multiplication, growth of plantlets, and acclimatization of Phalaenopsis amabilis. Basic medium used was a half strengh of Murashige and Skoog (1/2MS) and Hyponex (Hyp) with additional coconut water (CW), benzylaminopurine (BAP), and chitosan. In PLBs multiplication experiments, ½ MS + 15% CW mediumproduced the highest percentage of survival rate. Treatment with ½ MS + 15% CW medium and Hyp. 2 g/l + 15% CW + 2.5 ppm chitosan medium gave the best effect on the fresh weight of plantlets. The composition of the culture medium significantly affect the fresh weight and length of root on 8-WAP(week after planting) in the acclimatization stage.

(3)

RINGKASAN

ERICK RAYNALTA.

Pengaruh Komposisi Media Dalam Pertumbuhan

Protocorm Like Bodies, Planlet, dan Aklimatisasi Phalaenopsis amabilis.

( Dibimbing oleh DEWI SUKMA)

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan mempelajari pengaruh

berbagai komposisi media kultur jaringan dalam proses pertumbuhan clump

protocorm like bodies (PLBs), planlet, dan aklimatisasi Phalaenopsis amabilis.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman,

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor pada bulan

April sampai dengan Oktober 2012.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah clump PLBs dan planlet

Phalaenopsis amabilis in-vitro asal Kalimantan yang sudah dikulturkan sekitar

1.5 tahun sejak perkecambahan benih dalam media ½ MS (Murashige dan Skoog)

dan disubkultur setiap 3-4 bulan sekali. Rancangan yang digunakan pada

penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri atas

dua percobaan, yakni percobaan 1 (Pengaruh Komposisi Media dalam

Pertumbuhan clump PLBs) dan percobaan 2 (Pengaruh Komposisi Media dalam

Pertumbuhan Planlet). Masing-masing percobaan merupakan percobaan dengan

satu faktor perlakuan, yaitu komposisi media kultur jaringan. Setiap percobaan

terdiri dari dua periode kultur (passage) di media perlakuan, dimana setiap

passage adalah selama 8 minggu. Clump PLBs atau planlet awal di tanam

kedalam media perlakuan dan diamati selama 8 minggu (passage 1), selanjutnya

clump PLBs atau planlet disubkultur ke media perlakuan yang sama dan diamati

selama 8 minggu (passage 2). Penelitian ini terdiri atas tiga ulangan setiap

perlakuan, dimana setiap ulangan merupakan satu botol kultur jaringan yang

berisi 3 clumpPLBs atau planlet.

Media yang digunakan pada percobaan 1 adalah ½ MS , ½ MS + 15% air

kelapa, ½ MS + 1.5 ppm BAP, ½ MS + 3 ppm BAP, ½ MS + 15% air kelapa +

1.5 ppm BAP, ½ MS + 15% air kelapa + 3 ppm BAP, Hyponex 2 g/l, Hyponex 2

g/l + 15% air kelapa, Hyponex 2 g/l + 1.5 ppm BAP, Hyponex 2 g/l + 3 ppm

(4)

air kelapa + 3 ppm BAP. Media yang digunakan pada percobaan 2 adalah ½ MS ,

½ MS + 15% air kelapa, ½ MS + 2.5 ppm kitosan, ½ MS + 5 ppm kitosan, ½ MS

+ 15% air kelapa + 2.5 ppm kitosan, ½ MS + 15% air kelapa + 5 ppm kitosan,

Hyponex 2 g/l , Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa, Hyponex 2 g/l + 2.5 ppm

kitosan, Hyponex 2 g/l + 5 ppm kitosan, Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 2.5

ppm kitosan, dan Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 5 ppm kitosan.

Kontaminasi pada percobaan 1 passage 1 sebesar 58.75%, sedangkan pada

passage 2 sebesar 21.05%. Kontaminasi pada percobaan 2 passage 1 sebesar

18.52% , sedangkan pada passage 2 sebesar 24.45%. Kontaminasi pada penelitian

ini disebabkan oleh cendawan dan bakteri.

Pada percobaan 1, komposisi media ½ MS + 15% AK merupakan media

yang menghasilkan clump PLBs hidup tertinggi, yakni 100% pada passage 1 dan

85.71 pada passage 2. Berdasarkan uji F pada taraf 5%, komposisi media tidak

berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun, pertambahan jumlah akar,

dan pertambahan bobot segar clump PLBs usia 8-MST pada passage 1 dan 2

percobaan 1.

Pada percobaan 2, Seluruh komposisi media menghasilkan 100% planlet

hidup. Berdasarkan uji F pada taraf 5%, komposisi media tidak berpengaruh nyata

terhadap pertambahan jumlah daun, pertambahan jumlah akar, dan pertambahan

bobot segar (kecuali pertambahan bobot segar planlet percobaan 2 passage 1)

planlet usia 8-MST pada passage 1 dan 2 percobaan 2. Media optimum

pertambahan bobot planlet pada percobaan 2 passage 1 adalah media ½ MS +

15% AK (1.61 g), ½ MS + 15% AK + 2.5 ppm kitosan (1.17 g), Hyponex 2 g/l +

15% AK (1.46 g), Hyponex 2 g/l + 5 ppm kitosan (1.21 g), Hyponex 2 g/l +

15% air kelapa + 2.5 ppm kitosan (1.59 g), dan Hyponex 2 g/l + 15% AK + 5 ppm

kitosan (1.20 g).

Pada aklimatisasi, planlet yang berasal dari komposisi media ½ MS +

15% AK + 5 ppm kitosan menghasilkan persentase planlet hidup tertinggi yakni

92.59% pada passage 1 dan 100% pada passage 2. Planlet yang berasal dari

percobaan 2 passage 1 dalam komposi media dasar ½ MS atau Hyponex 2 g/l

dengan penambahan air kelapa 15% dan kitosan dengan konsentrasi 2.5 atau 5

(5)

media dasar ½ MS atau Hyponex 2 g/l tanpa penambahan air kelapa dan kitosan.

Hal tersebut diduga terjadi karena adanya interaksi positif antara air kelapa dan

kitosan, sehingga planlet yang berasal dari komposisi media dasar ½ MS atau

Hyponex 2 g/l dengan penambahan air kelapa dan kitosan memiliki persentase

hidup yang lebih baik. Penggunaan kitosan dan air kelapa diduga dapat digunakan

sebagai alternatif dalam proses hardening dalam media in-vitro. Menurut

Uthairatanakij et al. (2007), kitosan dapat menurunkan tingkat keparahan penyakit

pada anggrek, mungkin dengan meningkatkan aktifitas PAL (phenylalanine

ammonia-lyase) dan PPO (polyphenol oxidase), lignifikasi yang disebabkan oleh

ditingkatkannya biosintesis senyawa fenol atau diinduksinya metabolit sekunder

dan SAR (systemic acquired resistance).

Berdasarkan uji F, pertambahan jumlah daun dan pertambahan jumlah

akar planlet yang berasal dari percobaan 2 passage 1 menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Berdasarkan uji F, pertambahan bobot segar

dan akar terpanjang planlet yang berasal dari percobaan 2 passage 1 menunjukkan

hasil yang berbeda nyata pada taraf 5%. Planlet yang berasal dari media Hyponex

2 g/l + 15% AK + 5 ppm kitosan menghasilkan pertambahan bobot tertinggi pada

passage 1, yakni 0.42 g. Panjang akar terpanjang pada passage 1 dihasilkan oleh

planlet yang berasal dari media ½ MS + 15% AK + 2.5 ppm kitosan,

yakni 4.13 cm.

(6)

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA DALAM PERTUMBUHAN

PROTOCORM LIKE BODIES

, PLANLET, DAN

AKLIMATISASI

Phalaenopsis amabilis

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ERICK RAYNALTA

A24080158

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

ii

Judul:

PENGARUH

KOMPOSISI

MEDIA

DALAM

PERTUMBUHAN

PROTOCORM

LIKE

BODIES,

PLANLET, DAN AKLIMATISASI

Phalaenopsis amabilis

Nama:

ERICK RAYNALTA

NRP :

A24040158

Menyetujui,

Pembimbing

Dr. Dewi Sukma, S.P, M.Si NIP 19700404 199702 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP. 19611101 198703 1 003

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Propinsi DKI Jakarta pada tanggal 2 Desember 1989.

Penulis adalah anak kedua dari Drs. Simon Ramly Sinulingga dan Ir. Korinta

Pinem.

Penulis lulus dari SD Strada van Lith II Jakarta pada tahun 2002,

kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTPK 5 Penabur Jakarta dan lulus

pada tahun 2005. Selanjutnya penulis lulus dari SMAN 61 Jakarta pada tahun

2008. Penulis mengikuti SPMB pada tahun 2008 dan diterima sebagai mahasiswa

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

(9)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus karena oleh

kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul

“Pengaruh Komposisi Media Dalam Pertumbuhan Protocorm Like Bodies,

Planlet, dan Aklimatisasi Phalaenopsis amabilis” dengan baik. Penelitian ini

dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada program

studi strata satu Agronomi dan Hortikultura IPB serta untuk memenuhi

keingintahuan penulis mengenai media kultur anggrek yang efektif.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu

tercinta dan alm. ayah tercinta yang telah memberikan dukungan, baik moral

maupun materi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Dr. Dewi Sukma, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

mencurahkan sebagian waktunya untuk membimbing dan memberikan

pengarahan kepada penulis selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada laboran laboratorium kultur jaringan

atas bantuannya selama proses penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada teman-teman AGH 45 atas kebersamaan dan dukungan moral

yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis. Semoga hasil penelitian ini

bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Maret 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... i

DAFTAR LAMPIRAN ... ii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Anggrek ... 3

Phalaenopsis amabilis ... 4

Teknik Perbanyakan anggrek ... 5

Kultur Jaringan Anggrek ... 5

Sitokinin ... 6

Bahan Organik Kompleks Dalam Media Kultur Jaringan ... 7

Kitosan ... 8

Aklimatisasi ... 9

BAHAN DAN METODE ... 10

Tempat dan Waktu ... 10

Bahan dan Alat ... 10

Metode Penelitian ... 10

Pelaksanaan Penelitian ... 12

Sterilisasi Botol dan Peralatan ... 12

Pembuatan Media Kultur ... 12

Persiapan Ruang Transfer ... 13

Penanaman ... 13

Inkubasi Dalam Ruang Kultur ... 14

Aklimatisasi ... 14

Pengamatan ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Percobaan 1. Pengaruh Komposisi Media dalam Pertumbuhan Clump Protocorm Like Bodies ... 16

Persentase Kontaminasi ... 16

Persentase clump PLBs Hidup ... 17

Pertambahan Jumlah Daun ... 19

Pertambahan Jumlah Akar ... 23

Pertambahan Bobot Segar ... 26

Percobaan 2. Pengaruh Komposisi Media dalam Pertumbuhan Planlet .... 27

Persentase Kontaminasi ... 27

Persentase Planlet Hidup ... 27

Pertambahan Jumlah Daun ... 27

(11)

vi

Pertambahan Bobot Segar ... 35

Aklimatisasi ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Persentase Clump PLBs Phalaenopsis amabilis Hidup pada

Passage 1 dan 2 ... 18

2. Rata-Rata Pertambahan Jumlah Daun Per Botol Kultur (3 Clump

PLBs) pada Passage 1 ... 21

3. Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Per Botol Kultur (3 Clump

PLBs)pada Passage 2 ... 22

4. Rata-rata Pertambahan Jumlah Akar Per Botol Kultur (3 Clump

PLBs) pada Passage 1 ... 24

5. Rata-rata Pertambahan Jumlah Akar Per Botol Kultur (3 Clump

PLBs) pada Passage 2 ... 25

6. Rata-rata Pertambahan Bobot Segar Per Botol Kultur (3 Clump

PLBs) Phalaenopsis amabilis pada Passage 1 dan 2 ... 26

7. Persentase Planlet Phalaenopsis amabilis yang Hidup pada

Passage 1 dan 2 ... 27

8. Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Per Botol Kultur (3 Planlet)

pada Passage 1 ... 30

9. Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Per Botol Kultur (3 Planlet)

pada Passage 2 ... 31

10. Rata-rata Pertambahan Jumlah Akar Per Botol Kultur (3 Planlet)

pada Passage 1 ... 33

11. Rata-rata pertambahan Jumlah Akar Per Botol Kultur (3 Planlet)

pada Passage 2 ... 34

12. Rata-Rata Pertambahan Bobot Segar Per Botol Kultur (3 Planlet)

Phalaenopsis amabilis pada Passage 1 dan 2 ... 35

13. Persentase Planlet Phalaenopsis amabilis yang Hidup Usia

8-MSA pada Passage 1 dan 2 Percobaan 2 ... 38

14. Pertambahan Bobot Segar, Jumlah Daun, Jumlah Akar, dan Akar

(13)

i

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bunga Phalaenopsis amabilis dari Berbagai Ekotipe yang

Berbeda ... 4

2. (A) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Bakteri, (B) Kontaminasi

yang Disebabkan oleh Cendawan ... 16

3. Proses Pencoklatan pada PLBs ... 17 4. (A) Kalus Phalaenopsis amabilis Usia 4-MST pada Passage 2,

(B) Clump PLBs Phalaenopsis amabilis yang Berkalus Usia 4-MST pada Passage 2 ... 18

5. Keragaan Planlet dari Clump PLBs Hasil Percobaan 1 Passage 2

usia 8-MST ... 20

6. Planlet dalam botol kultur pada Percobaan 2 Passage 1 Usia

8-MST ... 28

7. Planlet dalam botol kultur pada Percobaan 2 Passage 2 Usia

8-MST ... 28

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Formulasi Media MS (Murashige dan Skoog, 1962 dalam

Yusnita, 2010) ... 45

2. Alat dan Bahan yang Digunakan ... 45 3. Pertambahan Bobot Segar, Jumlah Daun, Jumlah Akar, dan Akar

Terpanjang 8-MSA pada Passage 2 Percobaan 2 ... 46

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman

anggrek yang tersebar dalam rimba belantara (Sarwono, 2002). Kurang lebih

sekitar 5,000 jenis anggrek tersebar di seluruh wilayah Indonesia

(Darmono, 2003). Salah satu jenis anggrek yang diminati oleh masyarakat adalah

Phalaenopsis amabilis atau dikenal dengan nama anggrek bulan (Bey et al.,

2006).

Phalaenopsis amabilis memiliki bunga yang berwarna putih susu dengan

labelum berwarna kuning. Kelopak anggrek ini memiliki panjang lebih dari 4 cm

dan lebarnya lebih dari 2.5 cm. Bentuk mahkota bunga ini elips dan bundar pada

bagian atasnya dengan panjang 4.5 cm dan lebar 5 cm. Bunganya yang cukup

besar, mekar serentak, serta daya tahan bunga yang cukup lama, menyebabkan

anggrek ini sering dijadikan tanaman induk untuk persilangan (Djaafarer, 2002).

Teknik perbanyakan yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah besar

dan waktu yang singkat diperlukan karena keberadaan Phalaenopsis amabilis di

alam semakin berkurang akibat dari aktifitas perburuan di alam untuk memenuhi

kebutuhan pasar. Untuk memperoleh bibit dalam jumlah besar dan cepat, metode

kultur jaringan merupakan cara yang tepat dibandingkan dengan cara perbanyakan

lainnya (Iswanto, 2002).

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan terutama

disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan

yang dikulturkan. Kebutuhan hara sel dan jaringan tersebut disediakan oleh media

kultur jaringan. Untuk menghasilkan bibit anggrek dengan pertumbuhan yang

optimum maka dibutuhkan komposisi media kultur yang tepat (Gamborg, 1991).

Penelitian mengenai pengaruh bahan organik serta sitokinin pada media

kultur jaringan khususnya anggrek sudah banyak dilakukan. Hasil penelitian Bey

et al. (2006) menunjukkan bahwa perlakuan tunggal air kelapa pada konsentrasi

250 ml/l menghasilkan rerata tinggi kecambah Phalaenopsis amabilis tertinggi,

namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan 150 ml/l dan

(16)

pada media padat ½ MS, pertumbuhan relatif Grammathophyllum speciosum

tertinggi dicapai pada penambahan kitosan sebesar 25 mg/ l.

Media yang mengandung thidiazuron (TDZ) efektif dalam induksi

langsung embriogenesis pada Phalaenopsis amabilis var. formosa Shimadzu

(Chen dan Chang, 2004). Hasil penelitian Latip et al. (2010) menunjukkan bahwa

persentasi PLBs Phalaenopsis gigantean yang terbentuk dengan penambahan

benzilaminopurin (BAP) secara tunggal lebih rendah dibandingkan dengan

penggunaan TDZ pada konsentrasi yang sama.

Penelitian mengenai komposisi media kultur jaringan ini diharapkan

dapat menghasilkan komposisi media yang sesuai bagi pertumbuhan clump

protocorm like bodies (PLBs), planlet, dan aklimatisasi Phalaenopsis amabilis.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh

berbagai komposisi media kultur jaringan bagi pertumbuhan clumpPLBs, planlet,

dan aklimatisasi Phalaenopsis amabilis.

Hipotesis

1. Komposisi media berpengaruh terhadap pertumbuhan clump PLBs,

planlet, dan aklimatisasi Phalaenopsis amabilis.

2. Terdapat komposisi media yang optimum dalam pertumbuhan clump

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Anggrek

Anggrek adalah anggota dari famili Orchidaceae yang merupakan salah

satu famili terbesar selain Asteraceae dan Poaceae (Arditti, 1992) . Famili ini

merupakan salah satu famili bunga-bungaan yang paling besar, memiliki kurang

lebih 43,000 spesies dari 750 genus yang berbeda, dan kurang lebih 5,000

spesiesnya terdapat di Indonesia (Iswanto, 2002), sedangkan Yusnita (2010)

menuliskan bahwa anggrek terdiri dari 750 genera dengan 25,000 hingga 30,000

spesies yang 5,000 spesies di antaranya ada di Indonesia.

Iswanto (2002) menyatakan bahwa penyebaran famili Orchidaceae hampir

meliputi seluruh dunia, kecuali Benua Antartika. Anggrek dapat tumbuh di hutan

hutan gelap, di lereng-lereng terbuka, di batu-batu karang terjal, di batu-batu

daerah pantai dengan garis pasang surut tinggi, atau tepi gurun pasir.

Darmono (2003) mengelompokkan anggrek menjadi empat kelompok

berdasarkan habitatnya, yaitu:

1. Anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menumpang pada pohon lain

tanpa merugikan inangnya.

2. Anggrek terestrial, yaitu anggrek yang tumbuh di permukaan tanah dan

membutuhkan cahaya matahari langsung

3. Anggrek saprofit, yaitu anggrek yan tumbuh pada media yang

mengandung humus serta daun-daun kering, serta membutuhkan sedikit

cahaya matahari.

4. Anggrek litofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada batu-batuan serta tahan

terhadap cahaya matahari penuh dan hembusan angin kencang, misalnya

Dendrobium phalaenopsis.

Yusnita (2010) menambahkan kelompok habitat anggrek menurut Darmono

(2010), yakni anggrek tipe semi-aquatic. Menurut Arditti (1992) dari banyak

spesies anggrek, sekitar 25% terrestrial, 70% epifit, dan 5% lainnya dapat hidup

pada berbagai jenis substrat, termasuk bebatuan.

Perbedaan anggrek dengan tanaman lainnya menurut Iswanto (2002) ada

(18)

sepalum atau daun kelopak bunga. Satu buah sepalum yang terletak di punggung

dinamakan daun kelopak punggung atau sepalum dorsale. Dua lainnya dinamakan

daun kelopak samping atau sepala lateralia. Daun mahkota atau petala anggrek

berjumlah tiga. Letak petala berseling dengan sepala. Di antara ketiga petala

terdapat bagian yang disebut labelum atau bibir bunga. Di pusat bunga terdapat

alat yang berfungsi sebagai alat kelamin jantan dan betina yang menjadi satu

bagian. Alat kelamin jantan dinamakan stemona atau benang sari, sedangkan alat

kelamin betina dinamakan tangkai putik atau gynostemium.

Phalaenopsis amabilis

Anggrek Phalaenopsis amabilis (Gambar 1) banyak terdapat di Indonesia,

Filipina, dan Australia. Di Indonesia hampir semua pulau dapat dijumpai anggrek

ini antara lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Buru, Timor, Papua, dan

Jawa (Djaafarer, 2003). Handoyo (2010) menambahkan bahwa Phalaenopsis

amabilis juga terdapat di Pulau Mentawai.

Gambar 1. Bunga Phalaenopsis amabilis dari Berbagai Ekotipe yang Berbeda

Phalaenopsis amabilis yang dikenal dengan nama anggrek bulan ini

pertama kali ditemukan oleh seorang ahli botani dari Belanda yang bernama Dr.

(19)

5

yaitu “phalaenos” yang berati ngengat, dan “opsis” yang berarti bentuk. Blume

memberikan nama tersebut karena dia melihat tanaman yang dilihatnya tersebut

memiliki bentuk seperti ngengat/ kupu-kupu. (Djaafarer, 2003).

Phalaeopsis amabilis tumbuh sebagai tumbuhan epifit dengan tipe

pertumbuhan monopodial (Iswanto, 2001). Anggrek ini tumbuh pada ketinggian

antara 0-600 dpl ( Handoyo, 2010).

Teknik Perbanyakan Anggrek

Perbanyakan anggrek secara umum dibagi menjadi dua, yakni

perbanyakan generatif dan vegetatif. Menurut Iswanto (2002), perbanyakan

generatif adalah perbanyakan yang menggunakan organ biji, sedangkan

perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan yang menggunakan organ tumbuhan

selain biji (stek, keiki, pemisahan rumpun dan kultur jaringan).

Secara alami, biji anggrek sulit berkecambah tanpa adanya bantuan

mikoriza. Penyebab sulitnya pengecambahan biji anggrek disebabkan oleh biji

anggrek tidak memiliki endosperma atau cadangan makanan (Darmono, 2002),

padahal cadangan makanan sangat diperlukan untuk perkecambahan dan

pertumbuhan awal biji (Sarwono, 2002). Untuk dapat mengecambahkan biji

anggrek, diperlukan teknik dalam penyediaan nutrisi dalam lingkungan aseptik

untuk menghindari kontaminasi oleh mikroorganisme (Darmono, 2002).

Perbanyakan anggrek secara vegetatif dapat dilakukan dengan pemisahan

rumpun, menggunakan keiki, stek batang, stek tangkai bunga, perbanyakan

dengan akar, perbanyakan dengan umbi, dan kultur jaringan (Soeryowinoto dan

Soeryowinoto, 1977). Dibandingkan dengan perbanyakan vegetatif lainnya, kultur

jaringan dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang lebih banyak (Iswanto,

2002).

Kultur Jaringan Anggrek

Kultur jaringan didasarkan atas suatu konsep yang dikemukakan oleh

Scleiden dan Schwan, yaitu bahwa tiap-tiap sel dari manapun saja diambil akan

mampu untuk berkembang menjadi tanaman yang sempurna jika diletakkan pada

(20)

jaringan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuan Prancis yang bernama

George Morel pada tahun 1960 (Sarwono, 2002).

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan terutama

disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan

yang dikulturkan. Kebutuhan hara sel dan jaringan tersebut disediakan oleh media

kultur jaringan. Untuk menghasilkan bibit anggrek dengan pertumbuhan yang

optimum maka dibutuhkan komposisi media kultur yang tepat. Hara terdiri dari

komponen utama (garam mineral, sumber karbon dari gula, vitamin dan pengatur

tumbuh) dan tambahan (senyawa nitrogen organik, asam organik, metabolit, dan

ekstrak tambahan) (Gamborg, 1991).

Dalam penelitian Young et al. (2002), media MS dan Hyponex

menghasilkan persentase tertinggi dalam jumlah PLBs Phalaenopsis

dibandingkan dengan media KC, LM, dan VW. Percobaan Puspitaningtyas et al.

(2006), juga menunjukkan bahwa biji anggrek P. serpentilingua dapat

berkecambah baik pada media MS dan Hyponex.

Penambahan gula diperlukan sebagai sumber karbon. Menurut Gamborg

(1991), Sukrosa atau glukosa 2-4% merupakan sumber karbon paling cocok. Hasil

penelitian Pimsen dan Kanchanapoom (2011), menunjukkan bahwa pada kultur

Grammatophyllum speciosum, pemberian sukrosa sebanyak 2% dalam media MS

menghasilkan daya tahan hidup PLBs sebesar 84% dan memproduksi 3.1 PLBs/

eksplan.

Sitokinin

F. Skoog dan C. O. Miller menemukan suatu zat yang dapat merangsang

pembelahan sel pada penelitian mereka. Skoog dan Miller meneliti senyawa yang

dapat menumbuhkan kalus yang berasal dari empulur tembakau. Penelitiannya

menyatakan bahwa media dasar yang ditambah dengan air kelapa, ekstrak ragi,

dan IAA sangat mendorong pertumbuhan kalus yang cukup lama (Watimena,

1988). Sitokinin ditemukan pada penelitian selanjutnya yang dilakukan pada

tahun 1955 oleh para peneliti di Universitas Wisconsin ketika mengisolasi kinetin

(21)

7

dan beberapa substansi sintetik yang memiliki persamaan aktivitas biologis telah

ditemukan (Srivastava, 2002).

Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), sitokinin berfungsi dalam

memacu proses pembentukan tunas yang berasal dari jaringan kalus, daun,

potongan batang atau kotiledon. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in-vitro

menurut Widyastuti dan Tjokrokusumo (2001), antara lain berhubungan dengan

proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar

tanaman dan induksi umbi mikro kentang. Dari hasil-hasil percobaan yang telah

dilakukan, terbukti bahwa 75% spesies tanaman membentuk tunas jika

menggunakan kinetin atau BAP dengan konsentrasi antara 0.5-46 uM

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Pada anggrek, sitokinin telah digunakan untuk memulai dan menjaga

stabilitas kultur jaringan serta menambah planlet dari pucuk lateral perbungaan

Phalaenopsis. Selain itu sitokinin juga berfungsi dalam menginduksi pembungaan

pada beberapa Dendrobium dan Aranda hibrida serta meningkatkan jumlah

pucuk lateral yang dibentuk oleh tumbuhan Paphiopedillum (Arditti 1992).

BAP dan TDZ adalah zat pengatur tumbuh sintetik dari golongan

sitokinin yang biasa dipakai dalam perbanyakan in-vitro untuk menstimulasi

pembelahan sel dan multiplikasi tunas (George,1993). Syahid dan Kristina (2008)

menyimpulkan bahwa perlakuan dua zat pengatur tumbuh dapat bekerja secara

sinergis pada konsentrasi yang tepat, penambahan TDZ pada konsentrasi 0,05

mg/l–0,15 m/l ke dalam media yang sudah mengandung BAP 0,1 mg/l

meningkatkan jumlah tunas dan berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,1 mg/l +

TDZ 0,01 maupun kontrol pada kultur jaringan tanaman lempuyung.

Bahan Organik Kompleks Dalam Media Kultur Jaringan

Komponen bahan organik kompleks adalah kelompok dari suplemen yang

tidak terdefinisi seperti kasein hidrolisat, air kelapa, jus jeruk, jus tomat, jus

anggur, jus nanas, sap dari birch, puree pisang, dan lain-lain (Beyl, 2005).

Menurut Gamborg (1991), bahan-bahan tersebut dapat menyuplai berbagai

(22)

dapat tumbuh baik dalam medium tanpa pelengkap ini apabila kadar garam cukup

tinggi.

Campuran bahan organik kompleks digunakan sebagai sumber organik

dari nitrogen, seperti kasein hidrolisat, campuran lebih dari 20 asam amino yang

berbeda dan ammonium (0.1-1.0 g/l), pepton (0.25-3.0 g/l), tripton (0.25-2.0 g/l),

dan ekstrak malt (0.5-1.0 g/l). Campuran tersebut sangat kompleks dan

mengandung vitamin sebaik asam amino (Beyl, 2005).

Efek penghambatan dari senyawa polifenol dapat dicegah dengan

penambahan polyvinylpyrrolidone (PVP). Menurut Beyl (2005), PVP dapat

digunakan dalam media kultur jaringan untuk mengurangi efek penghambatan

dari polifenol dengan jumlah 250-1000 mg/l.

Hasil penelitian Maslukhah (2008) menunjukkan bahwa penambahan

ekstrak pisang 50 g/l dalam media kultur jaringan pisang raja bulu lebih bagus

pengaruhnya pada parameter panjang akar, jumlah tunas, jumlah daun, dan jumlah

akar dibandingkan konsentrasi yang lebih tinggi. Hasil penelitian Parera (1997)

menunjukkan bahwa pada Dendrobiumspp., pemberian air kelapa sebanyak 20%

memberikan respon terbaik dalam pertumbuhan dan perbanyakan tunas mikro.

Kitosan

Kitosan adalah senyawa turunan dari kitin yang terdeasetilasi pada gugus

nitrogennya. Deasetilasi yang terjadi pada kitin hampir tidak pernah selesai

sehingga dalam kitosan masih ada gugus asetil yang terikat pada beberapa gugus

N (nitrogen). Seperti selulosa dan kitin, kitosan merupakan polimer alamiah yang

sangat melimpah keberadaannya di alam (Kusumawati, 2009).

Menurut Kusumawati (2009), salah satu manfaat kitosan adalah pada

bidang pertanian. Kitosan menawarkan alternatif alami dalam penggunaan bahan

kimia yang terkadang membahayakan lingkungan dan manusia. Kitosan

membangun mekanisme pertahanan pada tumbuhan, menstimulasi pertumbuhan

dan merangsang enzim tertentu (sintesa fitoaleksin, kitinase, pektinase, glukanase

dan lignin).

Melihat manfaat kitosan yang dikemukakan oleh Kusumawati (2009)

(23)

9

Uthairatanakij et al. (2007) menyimpulkan bahwa kitosan dapat digunakan

sebagai pemacu pertumbuhan anggrek kususnya untuk tanaman muda dalam

media kultur jaringan. Kitosan meningkatkan panjang tangkai dari Dendrobium

‘Missteen’. Mungkin kitosan menginduksi sinyal untuk menyintesis hormon

tumbuhan seperti giberelin. Meskipun demikian, efek kitosan dalam pertumbuhan

dan perkembangan anggrek dewasa bersifat tidak tetap.

Aklimatisasi

Aklimatisasi berarti proses pengadaptasian tanaman ke lingkungan baru

yang kondisi lingkungannya berbeda dari sebelumnya (Yusnita, 2010). Menurut

Darmono (2003), aklimatisasi merupakan saat yang paling kritis dalam

perbanyakan tanaman secara in-vitro karena peralihan dari heterotrophy ke

autotroph.

Aklimatisasi dapat dilakukan pada kultur anggrek yang sudah memiliki

perakaran (Sandra, 2003), panjangnya sekitar 5-8 cm, dan mempunyai 3-5 daun

membuka (Yusnita, 2010). Anggrek dikeluarkan dari botol secara hati-hati

menggunakan pinset dan setelah itu dicuci bersih menggunakan air mengalir

hingga tidak ada lagi sisa agar-agar yang menempel di akar karena hal ini akan

merangsang pertumbuhan jamur (Sandra, 2003).

Aklimatisasi bibit anggrek memerlukan media tanaman tertentu yang

sifatnya porous, tidak mudah terdekomposisi, mempunyai kemampuan memegang

air dan hara cukup tinggi, tidak menjadi sumber inokulum cendawan patogen, dan

mudah diperoleh dalam jumlah yang dibutuhkan (Yusnita, 2010). Penelitian

Venturieri dan Arbieto (2011) menyimpulkan bahwa media cacahan pakis dan

sphagnum moss merupakan media terbaik dalam aklimatisasi Phalaenopsis

amabilis. Pot yang digunakan untuk menanam anggrek sebaiknya pot tanah liat

karena sifatnya yang mudah menyerap air sehingga kelebihan air siraman dapat

(24)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman,

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor pada bulan

April sampai Oktober 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah clump PLBs dan planlet

Phalaenopsis amabilis in-vitro asal Kalimantan yang sudah dikulturkan sekitar

1.5 tahun sejak perkecambahan benih dalam media ½ MS dan disubkultur setiap

3-4 bulan sekali, larutan stok media Murashige & Skoog (Lampiran 1), pupuk

daun Hyponex 20:20:20, kitosan 1000 ppm, BAP, air kelapa, gula, PVP,

agar-agar, air destilata, alkohol 70%, alkohol 96%, botol kultur, plastik mika, karet

gelang, pot tanah liat berdiameter 15 cm, sphagnum moss, bakterisida, dan

fungisida.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas ukur, pipet,

cawan petri, pinset, laminar air-flow cabinet, autoklaf, bunsen, timbangan

analitik, pH meter, magnetic stirrer, dan kompor (Lampiran 2).

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan, yakni percobaan 1 (Pengaruh

Komposisi Media dalam Pertumbuhan clump PLBs) dan percobaan 2 (Pengaruh

Komposisi Media dalam Pertumbuhan Planlet). Masing-masing percobaan

merupakan percobaan dengan satu faktor perlakuan, yaitu komposisi media

kultur jaringan. Setiap percobaan terdiri dari dua periode kultur (passage) di

media perlakuan, dimana setiap passage adalah selama 8 minggu. Clump PLBs

atau planlet awal ditanam kedalam media perlakuan dan diamati selama 8

minggu (passage 1). Kemudian setelah itu, clump PLBs atau planlet disubkultur

(25)

11

Percobaan pertama terdiri atas 12 komposisi media perlakuan dengan 3

ulangan pada setiap perlakuan, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Setiap

ulangan dalam percobaan pertama merupakan satu botol media perlakuan yang

diisi dengan tiga massa (clump) PLBs, sehingga terdapat 108 sampel pengamatan.

Percobaan kedua juga terdiri atas 12 komposisi media perlakuan dengan 3

ulangan setiap perlakuannya, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Setiap

ulangan dalam percobaan kedua merupakan satu botol media perlakuan yang diisi

dengan tiga planlet sehingga terdapat total 108 unit pengamatan.

Media yang digunakan pada percobaan 1 adalah ½ MS , ½ MS + 15% air

kelapa, ½ MS + 1.5 ppm BAP, ½ MS + 3 ppm BAP, ½ MS + 15% air kelapa +

1.5 ppm BAP, ½ MS + 15% air kelapa + 3 ppm BAP, Hyponex 2 g/l, Hyponex 2

g/l + 15% air kelapa, Hyponex 2 g/l + 1.5 ppm BAP, Hyponex 2 g/l + 3 ppm

BAP, Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 1.5 ppm BAP, dan Hyponex 2 g/l + 15%

air kelapa + 3 ppm BAP. Media yang digunakan pada percobaan 2 adalah ½ MS ,

½ MS + 15% air kelapa, ½ MS + 2.5 ppm kitosan, ½ MS + 5 ppm kitosan, ½ MS

+ 15% air kelapa + 2.5 ppm kitosan, ½ MS + 15% air kelapa + 5 ppm kitosan,

Hyponex 2 g/l , Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa, Hyponex 2 g/l + 2.5 ppm

kitosan, Hyponex 2 g/l + 5 ppm kitosan, Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 2.5

ppm kitosan, dan Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 5 ppm kitosan. Setiap media

pada perlakuan- perlakuan tersebut ditambahkan gula sebanyak 30 g/l, agar-agar

sebanyak 7 g/l, dan PVP sebanyak 0.5 g/l.

Pengolahan data dilakukan dengan uji F menggunakan perangkat lunak

SAS (Statistical Analysis System). Setelah uji F kemudian dilakukan uji lanjut jika

hasilnya berbeda nyata dengan menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range

Test) pada taraf nyata 5 %. Adapun model statistika yang digunakan adalah

sebagai berikut :

Keterangan :

i = 1, 2, …, 12 ; j = 1, 2, …, 12

=

Respon pengamatan perlakuan ke-i ulangan ke-j
(26)

=

pengaruh perlakuan ke-i

=

pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i, ulangan ke-j

Pelaksanaan Penelitian

Sterilisasi Botol dan Peralatan

Kultur jaringan adalah kegiatan yang membutuhkan kondisi steril dalam

pelaksanaannya. Botol kultur, cawan petri, dan alat tanam yang akan digunakan

dicuci dengan menggunakan deterjen. Botol kultur, cawan petri, dan alat tanam

yang telah dicuci kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf selama 50 menit

dengan temperatur 121°C pada tekanan 17.5 psi.

Alat tanam dan cawan petri dibungkus dengan kertas sebelum

disterilisasi menggunakan autoklaf. Setelah sterilisasi selesai, alat tanam dan

cawan petri yang langsung digunakan disemprot terlebih dahulu menggunakan

alkohol 70% sebelum dimasukkan kedalam laminar air flow cabinet. Alat dan

cawan petri yang tidak langsung digunakan dimasukkan kedalam oven dengan

suhu 50°C.

Pembuatan Media Kultur

Media kultur ½ MS dibuat dengan memipet larutan stok sesuai dengan

volume takaran untuk media Murashige dan Skoog (MS).Media Hyponex dibuat

dengan menimbang 2 g pupuk menggunakan timbangan analitik. Pupuk yang

telah ditimbang dilarutkan menggunakan akuades pada gelas ukur.

Media dibuat sesuai dengan perlakuan sebanyak setengah liter untuk setiap

perlakuannya. Setiap media yang dibuat ditambahkan sebanyak 30 g/l gula dan

0.5 g/l PVP. Sebelum agar-agar sebanyak 7 g/l ditambahkan, pH diatur menjadi

5.9 dengan mengunakan HCl atau KOH. Media yang telah dicampur dengan

agar-agar dimasak hingga mendidih, kemudian dimasukkan ke dalam botol kultur

dan ditutup dengan plastik yang diikat dengan karet pada bagian leher botol.

Media dalam botol diautoklaf kembali selama 20 menit pada suhu 121°C

(27)

13

kedalam ruang kultur, media didiamkan selama satu minggu sebelum digunakan

untuk mengetahui bahwa media yang dibuat telah benar-benar bebas kontaminan.

Persiapan Ruang Transfer

Sebelum penanaman bahan tanam dilakukan, laminar air flow cabinet

yang akan digunakan terlebih dahulu disterilisasi. Langkah-langkah dalam

sterilisasi antara lain:

1. Blower pada laminar air flow cabinet dinyalakan

2. Ruang pada laminar air flow cabinet disemprot dengan alkohol 70%, lalu

diusap menggunakan tisu

3. Lampu UV dinyalakan selama 1 jam

4. Alat tanam dan bahan yang akan digunakan disemprot dengan alkohol

70% sebelum dimasukkan kedalam laminar air flow cabinet.

Penanaman

Percobaan 1 (Pengaruh komposisi media dalam pertumbuhan clump

PLBs), dilaksanakan dengan cara memindahkan sebanyak 3 clump PLBs dari

media sebelumnya ke dalam media perlakuan dalam laminar air flow cabinet.

Botol kultur ditimbang sebelum dan setelah subkultur agar bobot awal clump

PLBs diketahui. Pada minggu ke-8 dilakukan subkultur clump PLBs ke dalam

media perlakuan yang sama.

Percobaan 2 (Pengaruh Komposisi Media Dalam Pertumbuhan Planlet),

dilaksanakan dengan memindahkan atau menyubkultur planlet Phalaenopsis

amabilis dari media sebelumnya ke media perlakuan dalam laminar air flow

cabinet. Botol kultur ditimbang sebelum dan setelah subkultur untuk mengetahui

bobot planlet. Pada minggu ke-8 dilakukan subkultur planlet ke dalam media

perlakuan yang sama atau diaklimatisasi bagi planlet yang sudah cukup kuat. Pada

(28)

Inkubasi Dalam Ruang Kultur

Clump PLBs atau planlet yang telah di tanam dalam media perlakuan

kemudian ditumbuhkan dalam ruang kultur pada rak-rak yang tersedia di

dalamnya. Cahaya yang dibutuhkan tanaman bersumber dari lampu fluorescent

dengan intensitas cahaya 1000-2000 lux. Ruang kultur dilengkapi dengan

pendingin ruangan yang suhunya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Umumnya suhu untuk menumbuhkan tanaman di dalam ruang kultur

membutuhkan suhu berkisar antara 24-30°C.

Aklimatisasi

Aklimatisasi dilakukan setelah planlet terlihat siap untuk diaklimatisasi.

Planlet yang diaklimatisasi berasal dari percobaan 2 passage 1 dan 2. Planlet

yang akan diaklimatisasi dikeluarkan dari dalam botol untuk dicuci dan

dibersihkan dari agar-agar yang menempel. Setelah dibersihkan, planlet direndam

selama 2 menit pada larutan Agrept (2 g/l) dan Dithane M-45 (2 g/l). Planlet yang

telah direndam kemudian dikeluarkan dan dikeringanginkan selama 15 menit.

Planlet selanjutnya ditanam pada media sphagnum moss yang berada dalam pot

tanah liat. Planlet yang diaklimatisasi disiram dua kali sehari dan dipupuk

menggunakan Gandasil D dengan konsentrasi 2 g/l seminggu sekali.

Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan pada percobaan 1 dan 2 meliputi:

1. Persentase clump PLBs atau planlet hidup.

Pengamatan dilakukan selama dua periode kultur (passage) di media

perlakuan in-vitro, dengan satu passage adalah selama 8 minggu.

Pengamatan dilakukan pada saat akhir passage 1 dan akhir passage 2

untuk percobaan 1 dan 2. Persentase clump PLBs atau planlet yang hidup

dalam media perlakuan in-vitro merupakan perhitungan dari setiap botol

perlakuan yang tidak terkontaminasi. Pada tahap aklimatisasi planlet yang

berasal dari percobaan 2 passage 1 dan 2, pengamatan persentase planlet

(29)

15

2. Bobot segar clump PLBs atau planlet.

Pengamatan dilakukan pada awal passage 1, akhir passage 1, awal

passage 2, dan akhir passage 2 untuk percobaan 1 dan 2 in-vitro. Bobot

clump PLBs atau planlet dalam media perlakuan in-vitro diketahui dengan

cara mengurangi bobot botol media yang telah diisi clump PLBs atau

planlet dengan bobot botol yang hanya berisi media. Pada tahap

aklimatisasi planlet yang berasal dari percobaan 2 passage 1 dan 2, planlet

ditimbang pada awal aklimatisasi dan akhir aklimatisasi.

3. Jumlah daun dan akar yang terbentuk.

Pengamatan dilakukan setiap minggu untuk percobaan 1 dan 2 dengan

cara menghitung jumlah daun dan akar total yang sudah terbentuk

sempurna (saat berada dalam media in-vitro pada passage 1 dan 2) dalam

satu botol (ulangan), dimana setiap botol berisi 3 clump PLBs atau planlet.

Pada tahap aklimatisasi planlet yang berasal dari percobaan 2 passage 1

dan 2, pengamatan jumlah daun dilakukan pada awal dan akhir

aklimatisasi.

4. Akar terpanjang planlet.

Akar terpanjang planlet yang berasal dari percobaan 2 passage 1 dan 2

diukur pada akhir aklimatisasi.

5. Persentase kontaminasi

Botol kultur yang terkontaminasi dihitung jumlahnya mulai dari awal

hingga akhir penelitian dalam media in-vitro.

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1. Pengaruh Komposisi Media dalam Pertumbuhan Clump Protocorm Like Bodies

Persentase Kontaminasi

Persentase kontaminasi pada passage 1 dalam percobaan ini sebesar

58.75%. Kontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri (Gambar 2) yang

tumbuh pada permukaan media. Besarnya kontaminasi ini diduga disebabkan oleh

kekuranghati-hatian saat memindahkan bahan tanam ke media perlakuan dalam

laminar air flow cabinet, kondisi ruang kultur yang kurang steril, dan pencucian

botol kultur yang kurang sempuna. Kontaminasi yang disebabkan oleh pencucian

botol yang kurang sempurna tersebut, ditandai oleh munculnya koloni cendawan

atau bakteri dari dinding botol. Menurut Yusnita (2010), pencucian botol yang

kurang sempurna menyebabkan kontaminasi bakteri atau cendawan pada dinding

botol yang biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah media disterilkan.

A B

Gambar 2. (A) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Bakteri, (B) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Cendawan

Persentase kontaminasi pada passage 2 adalah sebesar 21.05%. Turunnya

persentase kontaminasi diduga disebabkan oleh kondisi ruang kultur yang lebih

steril setelah fumigasi dilakukan sehingga memperkecil kemungkinan masuknya

(31)

17

Persentase clump PLBs Hidup

Sebagian besar clump PLBs yang ditanam pada passage 1 yang terbebas

dari kontaminasi, menunjukkan kemampuannya untuk beregenerasi. Kemampuan

regenerasi tersebut ditunjukkan dengan bertambahnya ukuran dari clump PLBs

yang ditanam. Selain itu pada beberapa media sudah mulai terlihat munculnya

daun dan akar. Perubahan warna clump PLBs terjadi pada beberapa media

perlakuan yakni, dari warna hijau menjadi warna hijau muda dan bahkan ada yang

tampak memutih. Pada usia 6 MST dalam passage 1 beberapa clump PLBs

mengalami gejala pencoklatan (Gambar 3). Gejala pencoklatan tersebut diduga

terjadi karena akumulasi senyawa fenol yang teroksidasi akibat adanya perlukaan

yang ditimbulkan saat pemisahan clump PLBs sebelum dimasukkan ke dalam

media perlakuan. Menurut Ling et al. (2007), PLBs Phalaenopsis sangat sensitif

terhadap perlukaan yang mengarah pada terjadinya oksidasi fenol dan pencoklatan

jaringan.

Gambar 3. Proses Pencoklatan pada PLBs

Persentase clump PLBs hidup pada passage 1 (Tabel 1) tertinggi dicapai

oleh perlakuan ½ MS + 15% AK dan perlakuan Hyponex 2 g/l + 1.5 ppm BAP

yakni 100%, sedangkan persentase clump PLBs hidup terendah dicapai oleh

perlakuan ½ MS dan perlakuan Hyponex 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP, yakni

66.67%.

Pada passage 2 (Tabel 1), clump PLBs yang mengalami kematian

lebih besar dibandingkan dengan pada passage 1. Sebagian clump PLBs

(32)

A B

Gambar 4. (A) Kalus Phalaenopsis amabilis Usia 4-MST pada Passage 2, (B)

Clump PLBs Phalaenopsis amabilis yang Berkalus Usia 4-MST pada Passage 2

Setelah kalus terbentuk, semakin lama kalus berubah warna menjadi kecoklatan

dan akhirnya mati. Sebagian clump PLBs yang tidak membentuk kalus juga

mengalami kematian. Persentase clump PLBs hidup pada passage 2 tertinggi

dicapai oleh perlakuan ½ MS + 15% AK sebesar 85.71%, sedangkan persentase

clump PLBs hidup terendah dicapai oleh komposisi media ½ MS dan Hyponex 2

g/l, yakni sebesar 33.33%.

Tabel 1. Persentase Clump PLBs Phalaenopsis amabilis Hidup pada Passage

1 dan 2

Perlakuan

Clump PLBs Hidup

passage 1 passage 2

% h/t % h/t

½ MS 66.67 (12/18) 33.33 (6/18)

½ MS + 15% AK 100.00 (27/27) 85.71 (18/21)

½ MS + 1.5 ppm BAP 80.00 (24/30) 60.00 (18/30)

½ MS + 3 ppm BAP 75.00 (18/24) 77.78 (21/27)

½ MS + 15% AK + 1.5 ppm BAP 83.33 (15/18) 50.00 (9/12) ½ MS + 15% AK + 3 ppm BAP 87.50 (21/24) 66.67 (12/18)

Hyp. 2 g/l 70.00 (21/30) 33.33 (9/27)

Hyp. 2 g/l + 15% AK 87.50 (21/24) 42.86 (9/21)

(33)

19

Jika dibandingkan dengan media ½ MS dan Hyponex 2 g/l, seluruh media

yang menggunakan BAP (Tabel 1) menunjukkan persentase clump PLBs hidup

yang lebih baik kecuali komposisi media Hyponex 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP

pada passage 1. BAP diduga mendorong keberhasilan hidup clump PLBs. Hasil penelitian Latip et al. (2010) menunjukkan bahwa BAP pada konsentrasi 1.5 ppm,

3 ppm, dan 3.5 ppm menghasilkan persentase PLBs Phalaenopsis gigantea mati

terendah dibandingkan dengan perlakuan sitokinin lainnya.

Pertambahan Jumlah Daun

Jumlah daun yang tumbuh dapat menggambarkan jumlah tunas yang

muncul. Munculnya daun terjadi setelah PLBs bertunas dan pada akhirnya tunas

tersebut membentuk daun. Menurut Yusnita (2010), PLBs memiliki titik tumbuh

tunas pada bagian atas yang makin lama menunjukkan primordial daun pada

pucuknya.

Pertambahan jumlah daun clump PLBs pada percobaan ini, merupakan

jumlah daun total per botol kultur n-MST dikurangi dengan jumlah daun awal per

botol kultur (0-MST). Pada Tabel 2 tersaji data rata-rata pertambahan jumlah daun

pada percobaan 1 passage 1. Hasil uji F pada passage 1 menunjukkan bahwa

komposisi media tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun

pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 5, dan 8. Hasil uji F pada minggu ke 6 dan 7 pada

passage 1 menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada taraf 5 %. Media yang

memiliki rata-rata pertambahan jumlah daun tertinggi pada minggu ke-6 dan

minggu ke-7 adalah Hyponex 2 g/l + 1.5 ppm BAP, sedangkan komposisi media

Hyponex 2 g/l + 15% AK + 1.5 ppm BAP menghasilkan pertambahan jumlah

daun terendah. Pada komposisi media Hyponex 2 g/l + 15% AK + 1.5 ppm BAP

jumlah daun mengalami penurunan mulai minggu ke-3 hingga minggu ke-6 akibat

gugurnya daun terdahulu tanpa adanya daun baru yang muncul. Rata-rata

pertambahan jumlah daun usia 8-MST pada passage 1 dalam berbagai komposisi

media perlakuan berkisar antara 0.67-13.00 daun.

Pada percobaan 1 passage 2, pengolahan data pertambahan jumlah daun

secara statistik tidak dilakukan pada komposisi media ½ MS dan Hyponex 2 g/l +

(34)

tersebut kurang dari jumlah yang dibutuhkan. Hasil uji F pada seluruh komposisi

media setiap minggunya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel

3). Hasil rata-rata jumlah daun dalam komposisi media Hyponex 2 g/l + 15% AK

+ 1,5 ppm BAP menunjukkan hasil negatif pada minggu ke-3, 4, 5, 6, dan 7

disebabkan oleh jumlah daun pada minggu tersebut kurang dari jumlah daun

awal. Rata-rata pertambahan jumlah daun usia 8-MST pada passage 2 dalam

berbagai komposisi media berkisar antara 4.67-28.67 daun. Gambar planlet dari

PLBs hasil percobaan 1 passage 2 dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan: P1 : ½ MS , P2 : ½ MS + 15% air kelapa, P3 : ½ MS + 1.5 ppm BAP, P4 : ½ MS + 3 ppm BAP, P6 : ½ MS + 15% air kelapa + 3 ppm BAP, P7 :

Hyponex 2 g/l, P8 : Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa, P9 : Hyponex 2 g/l + 1.5 ppm BAP, P10 : Hyponex 2 g/l + 3 ppm BAP, P11 : Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 1.5 ppm BAP

Gambar 5. Keragaan Planlet dari Clump PLBs Hasil Percobaan 1 Passage 2 usia 8-MST

Penelitian Neliyati (1996) menunjukkan bahwa penambahan BAP

sebanyak 3 ppm pada media kultur selama 16 MST, dapat meningkatkan

persentase PLBs Phalaenopsis Hibrida yang tumbuh sebesar 59%, tetapi jika

konsentrasi BAP dinaikkan menjadi 6 ppm, persentase PLBs yang tumbuh turun

menjadi 51%. Air kelapa juga berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah

PLBs yang terbentuk, hal tersebut dibuktikan juga oleh penelitian Neliyati (1996)

yang menunjukkan bahwa tanpa pemberian air kelapa persentase PLBs yang

tumbuh sebesar 47.2%, namun dengan penambahan air kelapa sebanyak 15%,

(35)

21

Tabel 2. Rata-Rata Pertambahan Jumlah Daun Per Botol Kultur (3 Clump PLBs) pada Passage 1

Perlakuan

Rata-rata pertambahan jumlah daun MST

1 2 3 4 5 6 7 8

½ MS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.33 bc 1.33bc 1.67

½ MS + 15%AK 0.67 1.33 3.00 3.67 4.00 6.67ba 9.67ba 11.33

½ MS + 1.5ppm BAP 0.00 0.00 0.67 0.67 2.00 3.00bac 4.67bac 7.33

½ MS + 3ppm BAP 1.00 1.00 1.00 2.67 3.33 3.67bac 4.67bac 7.67

½ MS + 15%AK + 1.5ppm BAP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.33 1.00bc 1.33bc 2.33

½ MS + 15%AK + 3ppm BAP 0.00 0.67 1.00 1.00 4.67 6.33bac 8.00ba 10.00

Hyp. 2 g/l 0.67 1.67 1.00 1.67 3.00 3.33bac 5.00bac 7.33

Hyp. 2 g/l + 15%AK 0.33 1.33 1.33 1.33 1.33 2.00bc 3.00bac 4.00

Hyp. 2 g/l + 1.5 ppm BAP 1.33 2.33 4.33 5.00 7.33 9.67a 10.33a 13.00

Hyp. 2 g/l + 3 ppm BAP 1.67 1.67 1.33 1.33 1.33 1.33bc 1.33bc 2.33

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 1.5 ppm BAP 0.00 0.00 -0.67 -0.67 -0.67 -0.67c -0.33c 1.00

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00bc 0.00c 0.67

Uji F tn tn tn tn tn * * tn

KK % 27.06T1 23.16T2 28.87T2 24.57T3 27.27T3 28.78T3 28.72T3 26.85T4

Keterangan: Hyp= Hyponex, AK= air kelapa, tn= Tidak berbeda nyata pada taraf 5%, (*)= berbeda nyata pada taraf 5%, (T1)= hasil transformasi , (T2)= hasil

transformasi , (T3) = hasil transformasi , (T4) = hasil transformasi , MST= minggu setelah tanam, KK= koefisien keragaman, (-)= jumlah daun

n- MST lebih kecil daripada jumlah daun awal

(36)

Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Per Botol Kultur(3 Clump PLBs)pada Passage 2

Perlakuan

Rata-rata pertambahan jumlah daun MST

1 2 3 4 5 6 7 8

½ MS - - - -

½ MS + 15%AK 2.33 4.00 6.00 7.67 10.33 13.00 17.00 20.00

½ MS + 1.5ppm BAP 4.00 3.00 4.33 5.00 7.00 9.00 9.67 12.00

½ MS + 3ppm BAP 2.67 4.00 5.67 8.00 11.00 13.00 20.00 22.00

½ MS + 15%AK + 1.5ppm BAP 1.00 2.67 4.67 6.33 7.00 8.33 9.33 10.00

½ MS + 15%AK + 3ppm BAP 1.67 8.00 10.33 15.33 17.00 19.33 25.00 28.67

Hyp. 2 g/l 2.00 3.33 4.33 5.00 6.33 8.00 10.00 11.33

Hyp. 2 g/l + 15%AK 1.33 3.33 5.00 7.33 9.33 12.33 17.00 19.00

Hyp. 2 g/l + 1.5 ppm BAP 0.33 2.33 2.33 3.33 4.67 5.67 14.67 15.67

Hyp. 2 g/l + 3 ppm BAP 0.67 3.00 4.67 5.33 6.67 8.33 10.67 11.00

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 1.5 ppm BAP 0.00 0.67 1.00 1.33 2.33 3.33 4.33 4.67

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP - - - -

Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn

KK % 23.17T2 29.20T2 27.50T3 28.88T3 28.08T3 27.58T3 28.30T3 27.27T3

Keterangan: Hyp= Hyponex, AK= air kelapa, tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%, (T2)= hasil transformasi , (T3) = hasil transformasi , MST= minggu

setelah tanam, KK= koefisien keragaman, (-) = tidak dilakukan uji F karena data kurang dari yang dibutuhkan

(37)

23

Pertambahan Jumlah Akar

Pertambahan jumlah akar pada percobaan 1 passage 1 dan passage 2,

merupakan jumlah akar per botol kultur n-MST dikurangi dengan jumlah akar per

botol kultur.0-MST. Pada awal percobaan 1 passage 1 dan 2, bahan tanam yang

digunakan tidak memiliki jumlah akar yang sama. Ada beberapa bahan tanam

yang telah memiliki akar dan ada yang belum memiliki akar.

Rata-rata pertambahan jumlah akar dalam percobaan 1 passage 1 tersaji

pada Tabel 4. Hasil analisis statistik setiap minggunya menunjukkan bahwa

komposisi media tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah akar

pada taraf 5%. Jumlah akar yang terbentuk dalam berbagai komposisi media pada

passage 1 berkisar antara 0.00-4.67 akar.

Pengolahan data statistik pertambahan jumlah akar pada komposisi media

½ MS dan Hyponex 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP pada passage 2 tidak

dilakukan karena jumlah ulangan pada perlakuan tersebut kurang dari jumlah

yang dibutuhkan. Hasil pengolahan statistik pada passage 2 menunjukkan bahwa

komposisi media tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah akar pada

taraf 5% (Tabel 5). Rata-rata pertambahan jumlah akar dalam berbagai komposisi

media pada passage 2 berkisar antara 3.00-14.00 akar.

Hasil penelitian Parera (1997) menunjukkan bahwa pemberian air kelapa

pada kultur Dendrobium spp. memberikan respon yang negatif terhadap

pertumbuhan akar. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in-vitro menurut

Widyastuti dan Tjokrokusumo (2001) salah satunya berhubungan dengan

penghambatan pertumbuhan akar tanaman. Dari hasil penelitian ini, tidak terlihat

perbedaan adanya efek yang ditimbulkan oleh air kelapa dan BAP terhadap

(38)

Tabel 4. Rata-rata Pertambahan Jumlah Akar Per Botol Kultur (3 Clump PLBs) pada Passage 1

Perlakuan

Rata-rata pertambahan jumlah akar MST

1 2 3 4 5 6 7 8

½ MS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00

½ MS + 15%AK 0.00 0.00 0.00 0.00 1.67 1.67 1.67 4.67

½ MS + 1.5ppm BAP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.33 1.33 1.33

½ MS + 3ppm BAP 0.33 1.67 2.00 2.00 2.00 2.33 3.00 4.33

½ MS + 15%AK + 1.5ppm BAP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.67 0.67

½ MS + 15%AK + 3ppm BAP 0.00 0.67 0.67 0.67 1.00 1.33 2.67 3.33

Hyp. 2 g/l 0.33 0.67 1.00 1.00 1.67 2.00 2.67 3.33

Hyp. 2 g/l + 15%AK 0.00 0.00 0.33 0.33 1.33 1.67 2.00 2.00

Hyp. 2 g/l + 1.5 ppm BAP 0.00 0.33 1.67 2.33 4.33 5.33 5.67 8.33

Hyp. 2 g/l + 3 ppm BAP 0.33 0.33 0.33 1.33 2.00 2.00 2.00 2.33

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 1.5 ppm BAP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn

KK % 11.56T1 28.31T1 20.85T2 22.38T2 22.46T3 24.09T3 27.73T3 25.92T3

Keterangan: Hyp= Hyponex, AK= air kelapa, tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%, (T1)= hasil transformasi , (T2)= hasil transformasi , (T3) =

hasil transformasi , MST= minggu setelah tanam, KK= koefisien keragaman

(39)

25

Tabel 5. Rata-rata Pertambahan Jumlah Akar Per Botol Kultur (3 Clump PLBs) pada Passage 2

Keterangan: Hyp= Hyponex, AK= air kelapa, tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%, (T1)= hasil transformasi , (T2)= hasil transformasi , (T3) =

hasil transformasi , MST= minggu setelah tanam, KK= koefisien keragaman, (-) = tidak dilakukan uji F karena data kurang dari yang dibutuhkan

Perlakuan

Rata-rata pertambahan jumlah akar MST

1 2 3 4 5 6 7 8

½ MS - - - -

½ MS + 15%AK 1.33 2.33 3.00 4.00 5.33 7.00 8.33 10.00

½ MS + 1.5ppm BAP 0.67 1.67 2.00 3.00 4.33 5.33 6.33 7.00

½ MS + 3ppm BAP 2.00 3.00 4.00 4.67 5.67 6.67 6.67 7.67

½ MS + 15%AK + 1.5ppm BAP 1.00 2.00 2.00 3.67 4.00 4.67 5.00 5.33

½ MS + 15%AK + 3ppm BAP 0.33 1.33 3.00 4.33 6.33 7.67 11.00 13.00

Hyp. 2 g/l 1.33 1.67 2.67 2.67 5.00 6.00 10.33 10.33

Hyp. 2 g/l + 15%AK 1.00 2.33 3.00 5.67 7.00 8.00 12.67 14.00

Hyp. 2 g/l + 1.5 ppm BAP 1.67 3.00 3.33 3.67 4.33 4.67 7.33 12.33

Hyp. 2 g/l + 3 ppm BAP 0.33 1.67 1.67 2.00 2.33 2.67 3.00 3.67

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 1.5 ppm BAP 0.33 0.67 1.00 1.00 1.33 2.00 2.33 3.00

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP - - - -

Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn

KK % 29.58T1 27.19T2 26.69T2 28.04T2 27.02T2 29.51T2 28.37T2 27.40T3

(40)

Pertambahan Bobot Segar

Bobot segar tanaman biasa digunakan sebagai tolok ukur pertumbuhan.

Bobot segar digunakan sebagai tolok ukur pertumbuhan pada penelitian ini

karena pengukurannya dapat dilakukan tanpa harus mengeluarkan bahan tanam

dari media perlakuan dan tanaman yang telah ditimbang dapat digunakan lagi

untuk pengamatan selanjutnya. Menurut Sathyanarayana (2007) pengukuran

bobot segar merupakan metode yang cepat dan mudah untuk menilai pertumbuhan

kalus dan tidak menyebabkan kerusakan pada materi yang di timbang.

Tabel 6. Rata-rata Pertambahan Bobot Segar Per Botol Kultur (3 Clump PLBs)

Phalaenopsis amabilis pada Passage 1 dan 2

Perlakuan

Rata-rata pertambahan bobot

Passage 1 (g) Passage 2 (g)

½ MS 0.30 -*

½ MS + 15%AK 1.48 1.10

½ MS + 1.5ppm BAP 0.40 0.46

½ MS + 3ppm BAP 0.34 0.88

½ MS + 15%AK + 1.5ppm BAP 0.58 0.23

½ MS + 15%AK + 3ppm BAP 0.99 1.69

Hyp. 2 g/l 0.69 1.22

Hyp. 2 g/l + 15%AK 0.57 1.74

Hyp. 2 g/l + 1.5 ppm BAP 1.83 1.08

Hyp. 2 g/l + 3 ppm BAP 0.74 -0.04

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 1.5 ppm

BAP 0.66 0.42

Hyp. 2 g/l + 15% AK + 3 ppm BAP 0.44 -

Uji F tn tn

KK(%) 14.60262T1 27.18

Keterangan: Hyp= Hyponex, AK= air kelapa, tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%, (T1)= hasil

transformasi , KK= koefisien keragaman, * = tidak dilakukan uji F karena data kurang dari

yang dibutuhkan, (-)= bobot akhir lebih kecil daripada bobot awal

Hasil dari uji F terhadap pertambahan bobot segar pada percobaan 1

passage 1 dan 2 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada taraf 5 %

(Tabel 6). Berkurangnya bobot segar pada komposisi media Hyponex 2 g/l + 3

ppm BAP (passage 2) disebabkan oleh adanya kematian sebagian PLBs yang

menyebabkan bobot segar menjadi berkurang. Menurut Young et al. (2000),

media Hyponex lebih cocok dibanding media ½ MS dalam regenerasi planlet dari

(41)

27

Percobaan 2. Pengaruh Komposisi Media dalam Pertumbuhan Planlet

Persentase Kontaminasi

Kontaminasi pada percobaan dua disebabkan oleh cendawan dan bakteri.

Persentase kontaminasi yang terjadi pada passage 1 adalah sebesar 18.52%, dan

persentase kontaminasi pada passage 2 adalah sebesar 24.45%. Persentase

kontaminasi pada percobaan 2 lebih kecil jika dibandingkan dengan percobaan 1.

Persentase Planlet Hidup

Persentase planlet yang hidup, dihitung dari planlet yang terbebas dari

kontaminasi. Pada percobaan ini seluruh planlet yang ditanam dalam media

perlakuan tidak ada yang mengalami kematian. Dapat diartikan bahwa seluruh

media dalam percobaan 2 sesuai untuk planlet Phalaenopsis amabilis. Data

persentase planlet hidup tersaji pada tabel 7.

Tabel 7. Persentase Planlet Phalaenopsis amabilis yang Hidup pada Passage

1 dan 2

Perlakuan

Passage 1 Passage 2

% h/t % h/t

½ MS 100.00 (21/21) 100.00 (6/6)

½ MS + 15% AK 100.00 (27/27) 100.00 (12/12)

½ MS + 2.5 ppm kitosan 100.00 (24/24) 100.00 (9/9) ½ MS + 5 ppm kitosan 100.00 (24/24) 100.00 (6/6) ½ MS + 15% AK + 2.5 ppm kitosan 100.00 (21/21) 100.00 (3/3) ½ MS + 15% AK + 5 ppm kitosan 100.00 (24/24) 100.00 (21/21)

Hyp 2 g/l 100.00 (18/18) 100.00 (6/6)

Hyp 2 g/l + 15% AK 100.00 (21/21) 100.00 (12/12) Hyp 2 g/l + 2.5 ppm kitosan 100.00 (21/21) 100.00 (12/12) Hyp 2 g/l + 5 ppm kitosan 100.00 (18/18) 100.00 (3/3) Hyp 2 g/l + 15% AK + 2.5 ppm kitosan 100.00 (24/24) 100.00 (12/12) Hyp 2 g/l + 15% AK + 5 ppm kitosan 100.00 (21/21) 100.00 (21/21) Keterangan: Hyp= Hyponex, AK= air kelapa, h/t= hidup/total

Pertambahan Jumlah Daun

Jumlah daun awal pada percobaan 2 passage 1 dan 2 tidak sama dalam

(42)

pengurangan dari jumlah daun per botol kultur n-MST dengan jumlah daun awal

per botol kultur (0-MST). Daun yang dihitung pada setiap pengamatan adalah

daun yang telah terbentuk sempurna.

Pada percobaan 2 passage 1, komposisi media tidak berpengaruh nyata

terhadap pertambahan jumlah daun setiap minggunya. Rata-rata pertambahan

jumlah daun pada percobaan 2 passage 1 tersaji pada Tabel 8 (planlet dalam

botol kultur pada percobaan 2 passage 1 usia 8-MST dapat dilihat pada Gambar

6). Pertambahan jumlah daun dalam berbagai komposisi pada percobaan 2

passage 1 berkisar antara 7.00-17.00 daun.

Gambar 6. Planlet dalam botol kultur pada Percobaan 2 Passage 1 Usia 8-MST

Gambar 7. Planlet dalam botol kultur pada Percobaan 2 Passage 2 Usia 8-MST

Pada percobaan 2 passage 2, pengolahan data secara statistik tidak

(43)

29

air kelapa + 2.5 ppm kitosan, Hyponex 2 g/l, dan Hyponex 2 g/l + 5 ppm kitosan

karena jumlah ulangan tidak mencukupi untuk dilakukannya analisis statistik

sesuai dengan metode penelitian ini. Hasil uji F terhadap pertambahan jumlah

daun menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Rata-rata

pertambahan jumlah daun pada percobaan 2 passage 2 tersaji pada Tabel 9

(planlet dalam botol kultur pada percobaan 2 passage 2 dapat dilihat pada Gambar

7, sedangkan keragaan planlet hasil kultur pada berbagai media perlakuan

percobaan 2 passage 2 dapat dilihat pada Gambar 8). Pertambahan jumlah daun

dalam berbagai komposisi pada percobaan 2 passage 2 berkisar antara

10.00-19.33 daun.

Keterangan: P1 = ½ MS , P2 = ½ MS + 15% air kelapa, P3 = ½ MS + 2.5 ppm kitosan, P4 = ½ MS + 5 ppm kitosan, P5 = ½ MS + 15% air kelapa + 2.5 ppm kitosan,

P6 = ½ MS + 15% air kelapa + 5 ppm kitosan, P7 = Hyponex 2 g/l, P8 = Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa, P9 = Hyponex 2 g/l + 2.5 ppm kitosan,

P10 = Hyponex 2 g/l + 5 ppm kitosan, P11= Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 2.5 ppm kitosan, P12 = Hyponex 2 g/l + 15% air kelapa + 5 ppm kitosan

Gambar 8. Keragaan Planlet Hasil Percobaan 2 Passage 2 usia 8-MST

Prasertsongskun dan Chaipakdee (2011) melaporkan bahwa jumlah daun

per planlet Phalaenopsis cornucervi dalam media VW (Vacin dan Went) dengan

penambahan sebesar 5 ppm kitosan (3.2 + 1.03) hasilnya tidak berbeda nyata

dengan planlet dalam media VW tanpa penambahan kitosan (3.3 + 0.87). Dalam

penelitian tersebut, penambahan kitosan sebesar 15 ppm (4.3 + 2.92)

menunjukkan jumlah daun per planlet yang berbeda nyata dibandingkan dengan

(44)

Tabel 8. Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Per Botol Kultur (3 Planlet) pada Passage 1

Perlakuan

Rata-rata pertambahan jumlah daun MST

1 2 3 4 5 6 7 8

½ MS 0.33 1.33 2.00 3.67 5.00 5.33 6.33 7.00

½ MS + 15% AK 2.00 3.67 5.33 8.00 10.67 11.67 15.33 17.00

½ MS + 2.5 ppm kitosan 1.00 2.67 5.67 7.67 8.33 9.33 12.67 14.00

½ MS + 5 ppm kitosan 0.67 1.67 2.67 4.33 5.00 6.33 7.33 9.33

½ MS + 15% AK + 2.5 ppm kitosan 0.67 1.33 3.00 4.67 6.33 8.33 10.00 12.33

½ MS + 15% AK + 5 ppm kitosan 0.33 1.33 2.00 2.00 4.00 4.33 5.67 8.00

Hyp 2 g/l 1.00 3.00 4.00 4.00 5.33 6.67 7.00 8.00

Hyp 2 g/l + 15% AK 0.33 1.00 2.00 3.33 4.67 5.67 6.00 7.33

Hyp 2 g/l + 2.5 ppm kitosan 0.67 3.00 5.33 7.67 9.33 10.33 10.67 12.00

Hyp 2 g/l + 5 ppm kitosan 0.67 2.00 3.00 3.33

Gambar

Tabel 13. Persentase Planlet Phalaenopsis amabilis  yang Hidup Usia 8-MSA

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan metode tinjauan literatur (library research). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komunikasi dalam sebuah kepemimpinan merupakan suatu unsur yang

Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah: (1) Perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan , terkait kejadian gagal bayar yang diakibatkan pihak penjual REPO saham tidak melaksanakan kewajibannya yang mengacu pada

field independen dan field dependen .Teknik analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Berdasarkan hasil

Dalam keseharian siswa diajak menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai kegiatan seperti berdoa sebelum memulai kegiatan belajar, peduli pada teman yang

Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat

Pada kasus tersebut adanya itikad buruk dari Elfyani dimana, Elfyani menyatakan bahwa Sertifikat yang dimilikinya berdasarkan Akta Jual Beli bukan dengan jalan hibah,

Pred sestavo zapisnika mora pooblaščena oseba, ki opravlja davčni inšpekcijski nadzor, o rezultatu davčnega inšpekcijskega nadzora pisno seznaniti zavezanca za davek, tako da ga