• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kejadian Limfadenitis TB pada Anak dengan Riwayat TB Paru pada Keluarga di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi FK USU Mei-September 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kejadian Limfadenitis TB pada Anak dengan Riwayat TB Paru pada Keluarga di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi FK USU Mei-September 2013"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Devi Nafilah Yuzar

Tempat, Tanggal Lahir : Medan , 15 Januari 1994

Alamat : Jl. Tuamang No. 27

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan Riwayat Pendidikan :

1. Taman Kanak – Kanak Mesjid Nurul Muslimin Medan 1997 - 1998 2. Sekolah Dasar Negeri 064969 Medan 1998 - 2004 3. Sekolah Menengah Pertama Islam Al-Ulum Terpadu Medan 2004 - 2007 4. Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Medan 2007- 2010 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2010-sekarang Riwayat Organisasi :

1. Anggota Dokter Remaja SMP Islam Al-Ulum Terpadu Periode 2005 - 2007

2. Wakil Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Periode 2012-2013

(2)
(3)
(4)
(5)

Lampiran 5

DATA INDUK

No NAMA PASIEN UMUR JENIS

KELAMIN

ASAL JARINGAN KESIMPULAN Riwayat TB Keluarga

1 Rahmawati 14 Perempuan Supraclavicula Radangkronik

TB

Ibu

2 M. Riski 8 Laki-laki Submandibula Radang kronik

TB

Ayah

3 Erlinoni 6 Perempuan Leher kiri Radang kronik

TB

Ayah

4 SaodahSaragih 12 Perempuan Leher kanan Radangkronik

TB

Ibu

5 Adinda Katarina 8 Perempuan Leher Radangkronik

TB

Ayah

6 Ayu 3 Perempuan Leher kiri Radangkronik

TB

Pembantu

7 YanceDamanik 2 Laki-laki Leher kiri Radangkronik

TB

Ayah

8 SuciRamayani 1 Perempuan Leher kanan Radangkronik

TB

Ayah

9 SafetyaAyudia 2 Perempuan Leher kanan Radangkronik

TB

-

10 NoviaAndini 5 Perempuan Leher kiri Radangkronik

TB

Ibu

11 Bobby Trianda 8 Laki-laki Leher kiri Radangkronik

TB

Ibu

12 IchaFitri 2 Perempuan Leher kanan & kiri Radangkronik TB

(6)

13 Marsum 5 Laki-laki Ulkus belakang telinga

Radangkronik TB

Ibu

14 Ringan br. Pinem 8 Perempuan Leher Radangkronik

TB

Ibu

15 Yusuf 3 Laki-laki Leher depan Radangkronik

TB

Ibu

16 Erna wati 5 Perempuan Leher Radangkronik

TB

Ibu

17 Liswati 6 Perempuan Leher depan Radangkronik

TB

Ibu

18 NettyGinting 8 Perempuan Leher depan Radangkronik

TB

Ibu

19 Henita 7 Perempuan Leher kiri Radangkronik

TB

Ibu

20 Turiyem 5 Perempuan Leher Radangkronik

TB

Ibu

21 Mika Sri Wardani 2 Perempuan Submandibula Radangkronik TB

Ibu

22 Zulham 2 Laki-laki Leher kiri Radangkronik

TB

Ibu

23 Maharani 8 Perempuan Leher kanan Radangkronik

TB

Ibu

24 WirdaMatondang 8 Perempuan Leher Radangkronik

TB

Ibu

25 Medan Hasibuan 3 Laki-laki Leher depan Radangkronik TB

Ibu

26 Lisa Yunita 2 Perempuan Belakang telinga kiri Radangkronik TB

Ibu

27 Putri Shakira 5 Perempuan Leher Radangkronik

TB

(7)

28 Raihan 4 Laki-laki Leher kanan Radangkronik TB

-

29 Citra Novika 1 Perempuan Leher Radang kronik

non spesifik

-

30 HasanHarahap 8 Laki-laki Leher kanan Radang kronik

non spesifik

Ibu

31 Mayang 8 Perempuan Leher kanan Radang kronik

non spesifik

-

32 Vindo 12 Laki-laki Leher kanan Abses Kakek

33 HeriSupratman 5 Laki-laki Leher Radang kronik

non spesifik

-

34 IlhamMaulana 7 Laki-laki Leher Radangkronik

non spesifik

Ibu

35 Notarista 14 Perempuan Leher kiri Abses Ibu

36 Santy 8 Perempuan Leher kanan Radang kronik

non spesifik

-

37 MulyadiSaragih 5 Laki-laki Leher Radang kronik

non spesifik

-

38 BujurGinting 6 Laki-laki Leher Abses Ibu

39 DevaloSianipar 5 Laki-laki Submandibula Radang kronik non spesifik

Ayah

40 Novita 2 Perempuan Subclavicula Radang kronik

nonspesifik

-

41 Liana Tamba 2 Perempuan Leher kiri Radang kronik

non spesifik

Ibu

42 Fathir 5 Laki-laki Supraclavicula Radang kronik

non spesifik

-

43 Sariyati 6 Perempuan Leher kanan Radang kronik

non spesifik

Ibu

(8)

non spesifik

45 Ilham 3 Laki-laki Leher kanan Radang kronik

non spesifik

-

46 DewiSartika 3 Perempuan Leher kanan Abses -

47 Neyla 8 Perempuan Leher kiri Radang kronik

non spesifik

-

48 S. Sihite 4 Laki-laki Leher depan Radang kronik

non spesifik

Ibu

49 RentinaSimbolon 5 Perempuan Leher kiri Radang kronik non spesifik

Ibu

50 Natanael 8 Laki-laki Leher kiri Radang kronik

non spesifik

-

51 Fitra Ayuzi 3 Perempuan Leher kanan Radang kronik

non spesifik

-

52 Seriartita K 8 Perempuan Leher kanan Radang kronik

non spesifik

Ibu

53 Marsiti 2 Perempuan Leher kanan Radang kronik

non spesifik

Ibu

54 Elida Sari 2 Perempuan Leher kiri Radang kronik

non spesifik

-

55 Dendani 2 Perempuan Submandibula Radang kronik

non spesifik dengan abses

-

56 Aldi Wahyu 8 Laki-laki Leher kiri Radang kronik

non spesifik

(9)

Lampiran 5

HASIL UJI STATISTIK

Crosstabs

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Umur * Limfadenitis

56 100,0% 0 0,0% 56 100,0%

Umur * Limfadenitis Crosstabulation

Limfadenitis Total Limfadenitis

TB

Limfadenitis Non TB

Umur

0-6 Tahun

Count 18 18 36

% within Umur 50,0% 50,0% 100,0%

% within Limfadenitis

64,3% 64,3% 64,3%

7-14 Tahun

Count 10 10 20

% within Umur 50,0% 50,0% 100,0%

% within Limfadenitis

35,7% 35,7% 35,7%

Total

Count 28 28 56

% within Umur 50,0% 50,0% 100,0%

% within Limfadenitis

(10)

Crosstabs

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin * Limfadenitis

(11)

Jenis Kelamin * Limfadenitis Crosstabulation

Limfadenitis Total Limfadenitis

TB

Limfadenitis Non TB

Jenis Kelamin

Laki-laki

Count 8 12 20

% within Jenis Kelamin

40,0% 60,0% 100,0% % within

Limfadenitis

28,6% 42,9% 35,7%

Perempuan

Count 20 16 36

% within Jenis Kelamin

55,6% 44,4% 100,0% % within

Limfadenitis

71,4% 57,1% 64,3%

Total

Count 28 28 56

% within Jenis Kelamin

50,0% 50,0% 100,0% % within

Limfadenitis

(12)

Crosstabs

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Perce

nt Asal Jaringan *

Limfadenitis

56 100,0% 0 0,0% 56 100,0

%

(13)

Limfadenitis Total Limfadenit is TB Limfadenitis Non TB Asal Jaringan Supraclavicu la

Count 1 2 3

% within Asal Jaringan

33,3% 66,7% 100,0%

% within Limfadenitis

3,6% 7,1% 5,4%

Submandibul a

Count 2 2 4

% within Asal Jaringan

50,0% 50,0% 100,0%

% within Limfadenitis

7,1% 7,1% 7,1%

Leher

Count 23 24 47

% within Asal Jaringan

48,9% 51,1% 100,0%

% within Limfadenitis

82,1% 85,7% 83,9%

Belakang Telinga

Count 2 0 2

% within Asal Jaringan

100,0% 0,0% 100,0%

% within Limfadenitis

7,1% 0,0% 3,6%

Total

Count 28 28 56

% within Asal Jaringan

50,0% 50,0% 100,0%

% within Limfadenitis

(14)

Crosstabs

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Perce

nt Riwayat Kontak *

Limfadenitis

56 100,0% 0 0,0% 56 100,0

(15)

Riwayat Kontak * Limfadenitis Crosstabulation

Limfadenitis Total

Limfadenitis TB Limfadenitis Non TB Riwayat Kontak TB Paru Keluarga (+)

Count 25 13 38

% within

Riwayat Kontak

65,8% 34,2% 100,0%

% within Limfadenitis

89,3% 46,4% 67,9%

TB Paru Keluarga (-)

Count 3 15 18

% within

Riwayat Kontak

16,7% 83,3% 100,0%

% within Limfadenitis

10,7% 53,6% 32,1%

Total

Count 28 28 56

% within

Riwayat Kontak

50,0% 50,0% 100,0%

% within Limfadenitis

100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value Exact Sig. (2-sided)

McNemar Test ,021a

N of Valid Cases

(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., Bahar, A., 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., lwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 988-993.

Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. Jakarta: Media Litbang Kesehatan, Vo. 9 (4),

Depkes RI.

Bayazit, Y. A., Bayazit, N., Namiduru, M., 2004. Mycobacterial Cervical Lymphadenitis. Journal of Otorhinolaryngology and Its Specialties, 66:275-280.

Brooks, G.F., Butel, J. S., Morse, S. A., 2005. Mikrobakteria. Mikrobakteri Kedokteran. Ed. 1. Jakarta: Salemba Medica, 458.

Clevenbergh et al, 2010. Lymph Node Tuberculosis in Patients from Regions with Varying Burdens of Tuberculosis and HIV Infection. La Presse Medicale, 39:223-230

Das, D. K., 2000. Fine-Neddle Aspiration Cytology in the Diagnosis of Tuberculous Lesion. Scientific Communications 2000; 31(11): 626-632. Datta, BN., 2004. Textbook of Pathology. 2 th Edition. New Delhi: Jaypee

Brothers Medical Publishers Ltd, 239-246 Djojodibroto D. 2009. Respirologi. Jakarta: EGC.

(18)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI,

3-4.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 6-16.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Direktorat Jendral

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 21.

Dorland, W.A., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC

Dudeng, D, 2005, Faktor – faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Pada Anak di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, Tesis S2, UGM, Yogyakarta.

FKUI. 1998. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI

Geldmacher, H., Taube, C., Kroeger, C., Magnussen, H., Kirsten, D. K., 2002. Assessment of Lymph Node Tuberculosis in Northern Germany: A Clinical Review. Chest; 121:1177-82

Herchline et al, 2011. Tuberculosis. Medscape Reference. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview. . [Accessed 25 April 2013]

Ioachim, M. L., Medeiros, L. J., 2009. Ioachim’s Lymph Node Pathology. 4th Edition. Philadelphia: Lip pincott Williams & Wilkins, 130-134

(19)

Jniene, Asmaa., et al. 2010. Epidemiological, Therapeutic and Evolutionary Profiles in Patients with Lymph Node Tuberculosis. Tuberkuloz ve Toraks Dergisi, 58(4):366-74.

Kartasasmita, C. 2002. Pencegahan Tuberkuloisis pada Bayi dan Anak. Browsing at http//www.depkes.com [Accessed 25 April 2013]

Kesuma, A. 2010. Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah dengan Penderita TB Paru BTA Positif. Repository USU. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19500. [Accessed 29 April 2013]

Kreider, M.E., Rossman, M.D., 2008. Clinical Presentation and Treatment of Tuberculosis. In: Fishman, A.P. et al., Fishman’s Pulmonary Disease and Disorders. 4th edition. USA : McGraw-Hill, 2467-2485.

Kumar, V, M,A., 2004. Paru dan Saluran Napas Atas. In: Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC, 549-550.

Lubis, H.M.N.D., Lubis, H.M.L., Lisdine, Hastuti, N.W. 2008. Dark Specks and Eosinophiic Granular Necrotic Material as Differentiating Factors between Tuberculous and Nontuberculous Abcesses. Indonesian Journal of Pathology, 17(2): 49-52.

Maharjan, M., Hirachan S., Kafle, P. K., Bista, M., Shrestha, S., Toran, K. C., 2009. Incidence of Tuberculosis in Enlarged Neck Nodes, Our Experience. Kathmandu Univ Med J; 7(25):54-8.

McClay, J. E., Lewis, M. R., 2008. Scrofula. Departement of Otolaryngology and

Facial Plastic Surgery. Available From:

(20)

Mohapatra, P., R., Janmeja, A., K., 2009. Tuberculous Lymphadenitis JAPI;57:585-590.

Narang, P., Narang, R., Narang, R.,. 2005. Prevalence of tuberculous lymphadenitis in children in Wardha district, Maharashtra State, India, Int J Tuberc Lung Dis; 9: 188

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from: http://www.scribd.com/doc/78413238/Tuberkulosis-PDPI-2006. [Accessed 29 April 2013]

Raviglione, M.C., dan O’Brien, R.J., 2008. Tuberculosis. In: Fauci et al (eds) Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17 th edition. New York: McGraw-Hill, 1006-1038

Raviglione, M. C., O’Brien, R. J., 2010. Tuberculosis. In: Loscalzo, J. Harrison’s Pulmonary and Critical Care Medicine. New York: The McGraw-Hill

Companies, 122-123.

Sarwar et al, 2004. Spectrum ofMorphological Changes in Tuberculous Lymphadenitis. International Journal of Pathology 2004; 2: 85-89.

Sastroasmoro, S., 2011. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam: Sastroasmoro, S., Ismael, S., Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 4. Jakarta: Sagung Seto, 99.

Sharma, S.K., Mohan, A. 2004. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian Journal of Medicine Res 2004 ; 120: 316-353 Raviglione, M.C., dan O’Brien, R.J.

(21)

Singh, M., Mynak, M.L., Kumar, L., Mathew, J.L., Jindal, S.K. Prevalence and Risk Factors for Transmission of Infection Among Children in Household Contact with Adult Having Pulmonary Tuberculosis. Arch Dis Child 2005;90:624-8

.

Sinta, T. 2008. Artikel Kesehatan tentang Tuberkulosis Pada Anak. (On-line). www.masrafa.org. [Accessed 25 April 2013]

Siswanto. 2007. Upaya Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Puskesmas dan Jaringannya dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan. P3SKK Litbang Depkes, Jakarta

Suradi, R., et al., 2011. Studi Kasus Kontrol. Dalam: Sastroasmoro, S., Ismael, S., Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 4. Jakarta: Sagung Seto,

159-160.

Varaine at al, 2010. Tuberculosis. 5 th Revised Edition. Paris: Medecins Sans Frontieres, 23-24

Weinberger, S.E, Cockrill, B.A., Mandel J., 2008. Tuberculosis and Nontuberculous Mycobacteria. In : Weinberger, S.E, Cockrill, B.A., Mandel J. Principles of Pulmonary Medicine. 5 th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier, 306-315.

(22)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, maka kerangka konsep pada penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel :

1. Variabel Independen : TB paru pada keluarga 2. Variabel Dependen : Limfadenitis TB

(23)

3.2. Kerangka Operasional

Gambar 3.2. Kerangka Operasional

3.3. Definisi Operasional

Definisi operasional dari penelitian perlu dijabarkan untuk menghindari perbedaan presepsi dalam menginterpretasikan masing-masing variabel penelitian. Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Limfadenitis Tuberkulosis pada Anak : Limfadenitis Tuberkulosis adalah peradangan satu atau lebih kelenjar getah bening yang biasanya disebabkan oleh infeksi primer di tempat lain di dalam tubuh (Dorland,

Rekam Medis

Limfadenitis Non-TB Limfadenitis

TB

TB paru keluarga

(-) TB paru

keluarga (+)

TB paru keluarga

(+)

TB paru keluarga

(-) Pasien yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi

Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan

(24)

2002). Anak adalah orang yang berusia antara 0-14 tahun (WHO, 2003). Maka, limfadenitis tuberkulosis pada anak dalam penelitian ini merupakan setiap kasus limfadenitis dengan hasil pemeriksaan sitologi yang dinyatakan positif tuberkulosis kelenjar pada anak usia 0-14 tahun di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Cara ukur : melihat di rekam medis

Alat ukur : pemeriksaan sitologi yang dilakukan oleh dokter ahli patologi anatomi yang tercantum dalam rekam medis

Hasil ukur : Limfadenitis TB / Limfadenitis Non-TB Skala pengukuran : skala nominal

2. Tuberkulosis Paru pada Keluarga : Tuberkulosis paru pada keluarga berdasarkan penelitian ini adalah anggota keluarga yang pernah atau sedang menderita TB paru berdasarkan riwayat anamnesis, riwayat pemeriksaan sputum BTA positif, atau riwayat pemeriksaan radiologi, yang tinggal satu rumah dengan anak penderita limfadenitis tuberkulosis. Cara ukur : melihat di rekam medis

Alat ukur : riwayat penyakit keluarga berdasarkan anamnesis yang dilakukan oleh dokter ahli patologi anatomi atau resident patologi anatomi yang tercantum dalam rekam medis

Hasil ukur : TB paru keluarga (+) / TB paru keluarga (-) Skala pengukuran : skala nominal.

3. Pemeriksaan sitologi pada limadenitis TB : ditemukan sel epiteloid, sel-sel limfosit, sel-sel-sel-sel fibroblast, dan nekrosis.

3.4. Hipotesis

(25)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode analitik yang bertujuan untuk mencari hubungan antara kejadian limfadenitis TB pada anak dengan riwayat TB paru pada keluarganya serta mencari besar peningkatan risiko terjadinya limfadenitis TB pada anak yang mempunyai riwayat TB paru pada keluarganya. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah case control. Desain penelitian case kontrol dapat dipergunakan untuk menilai berapa besarkah peran faktor risiko dalam kejadian suatu penyakit (Sastroasmoro, 2011).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2013 dengan mengobservasi data rekam medis di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita limfadenitis yang melakukan pemeriksaan sitologi di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada bulan Mei sampai September 2013.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik total sampling. Pada penelitian ini sampel akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

sampel kasus dan sampel kontrol.

(26)

Sampel kontrol merupakan seluruh penderita limfadenitis non-TB yang melakukan pemeriksaan sitologi di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi FK USU yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah: a. Kriteria Inklusi

1. Merupakan penderita limfadenitis TB sebagai sampel kasus dan penderita limfadenitis non-TB sebagai sampel kontrol di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi FK USU yang tercatat di rekam medis 2. Pasien Usia 0-14 tahun

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang tidak tertera riwayat penyakit TB pada keluarganya di rekam medis

2. Pasien yang berusia diatas 14 tahun

Besar sampel minimum yang diperlukan dihitung dengan rumus (Sastroasmoro, 2011):

2

n = Zα/2 + Zβ √ PQ (P- ½) Keterangan:

n = besar sampel minimum Zα = deviat baku normal untuk α Zβ = deviat baku normal untuk β

P = nilai proporsi di populasi ( P= OR/1+OR ) Q = 1-P

(27)

P = OR/1+OR = 3/4

= 0,75 Q = 1 – P = 1 – 0,75 = 0,25

2 n = Zα/2 + Zβ √ PQ

(P- ½)

2 = 1,96/2 + 0,842 √(0,75) (0,25)

(0,75 – 0,5) 2 = 0,98 + 0,3645

0,25 = 28 anak

Dengan demikian besar sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini masing-masing sejumlah 28 orang untuk kelompok kasus (Limfadenitis TB) dan 28 orang untuk kelompok kontrol (Limfadenitis Non-TB).

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang didapat dari rekam medis pasien limfadenitis yang melakukan pemeriksaan sitologi di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Sampel penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kasus yang merupakan pasien penderita limfadenitis TB dan kelompok kontrol yang merupakan pasien penderita limfadenitis non-TB. Dari setiap sampel ditelusuri ada atau tidaknya riwayat penyakit TB paru pada keluarganya.

(28)

Data yang telah terkumpul dari hasil rekam medis ditabulasi untuk diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Statistic Package for Social Sciences (SPSS).

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji Mc Nemar dengan tingkat kemaknaan (α) sebesar 5% untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara terjadinya limfadenitis TB pada anak dengan riwayat TB paru pada keluarganya, serta melihat apakah hubungan tersebut bermakna secara statistik atau tidak.

Pada studi case control dengan matching individual (pada penelitian ini dilakukan matching terhadap faktor usia), harus dilakukan analisis dengan menjadikan kasus dan kontrol sebagai pasangan-pasangan. Hasil pengamatan studi case control biasanya disusun dalam bentuk tabel 2 x 2 sebagai berikut:

Tabel 4.1. Penyajian Hasil Pengumpulan Data Limfadenitis Non-TB TB paru

keluarga (+)

TB paru keluarga (-) Limfadenitis TB TB paru

keluarga (+)

A B

TB paru keluarga (-)

C D

Odds Ratio (OR) pada studi case control dengan matching ini dihitung

dengan mengabaikan sel A, karena baik pada kasus maupun pada kontrol sama-sama terpajan. Selain itu juga mengabaikan sel D, karena baik pada kasus maupun pada kontrol sama-sama tidak terpajan, sehingga dihitung dengan menggunakan formula berikut:

OR = B/C Sel A = Kasus dan kontrol mengalami pajanan Sel B = Kasus mengalami pajanan, kontrol tidak

(29)

Sel D = Kasus dan kontrol tidak mengalami pajanan

Interpretasi hasil:

1. Bila nilai rasio odds = 1, berarti penyakit TB paru pada keluarga bukan merupakan suatu faktor risiko terjadinya limfadenitis TB pada anak

2. Bila nilai rasio odds > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, berarti penyakit TB paru pada keluarga merupakan faktor risiko terjadinya limfadenitis TB pada anak

3. Bila nilai rasio odds < 1 dan rentang nilai interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, penyakit TB paru pada keluarga justru merupakan faktor protektif terhadap terjadinya limfadenitis TB pada anak

(30)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Fakultas Kedokteran terletak di Jalan Dr. Mansyur Nomor 5 Medan, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru. Laboratorium Sentra Diagnostik Patologi Anatomi ini berbatasan dengan Laboratorium Parasitologi di sebelah kiri dan dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat di sebelah kanan.

5.1.2. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik penderita limfadenitis TB pada anak yang ada dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin,dan asal jaringan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Umur Responden Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

0-6 18 64,3

7-14 10 35,7

Total 28 100

[image:30.595.156.470.677.738.2]

Dari Tabel 5.1. dapat diketahui bahwa mayoritas penderita berumur 0-6 tahun sejumlah 18 orang (64,3%). Sedangkan kelompok umur penderita 7-14 tahun sejumlah 10 orang (35,7%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

Laki-Laki 8 28,6

Perempuan 20 71,4

(31)

Dari Tabel 5.2. dapat diketahui bahwa mayoritas penderita berjenis kelamin perempuan yaitu sejumlah 20 orang (71,4%), sedangkan penderita yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 8 orang (28,6%).

Tabel 5.3. Distribusi Asal Jaringan pada Pemeriksaan Limfadenitis TB Pendidikan Terakhir Jumlah (Orang) Persentase (%)

Supraclavicula 1 3,6

Submandibula 2 7,1

Leher 23 82,1

Belakang Telinga 2 7,1

Total 28 100

Tabel 5.3. menunjukkan distribusi asal jaringan pada pemeriksaan Limfadenitis TB terbanyak didapati pada leher atau kelenjar limfe servikalis sebanyak 23 orang (82,1%), sedangkan pada supraclavicula berjumlah 1 orang (3,6%), submandibula berjumlah 2 orang (7,1%) dan dibelakang telinga berjumlah 2 orang (7,1%).

5.1.3. Hasil Analisis Data

[image:31.595.154.485.224.322.2]

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara terjadinya limfadenitis TB pada anak dengan riwayat TB paru pada keluarganya. Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.4. Hubungan antara penyakit Limfadenitis TB pada Anak dengan Riwayat TB Paru pada Keluarga

Limfadenitis TB Limfadenitis Non TB

Total

N (%) n (%) N (%)

TB Paru Keluarga (+)

25 89,3 13 46,4 38 100

TB Paru Keluarga (-)

[image:31.595.106.514.603.754.2]
(32)

p = 0,021

Dari Tabel 5.4. dapat dilihat bahwa dari 38 orang anak yang mempunyai riwayat TB Paru pada keluarganya, 25 orang diantaranya adalah penderita Limfadenitis TB. Sementara dari 18 orang anak yang tidak mempunyai riwayat TB Paru pada Keluarganya, 3 orang di antaranya merupakan penderita Limfadenitis TB.

[image:32.595.136.466.382.501.2]

Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Mc Nemar dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5 %,) diperoleh nilai p (p value) adalah 0,021 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada hubungan antara kejadian Limfadenitis TB pada anak dengan riwayat TB Paru pada keluarga. Dapat pula dilakukan perhitungan Odds Ratio (OR) sebagai berikut:

Tabel 5.5. Penyajian Hasil Pengumpulan Data Limfadenitis Non TB TB Paru

Keluarga (+)

TB Paru Keluarga (-) Limfadenitis

TB

TB Paru Keluarga (+)

38 40

TB Paru Keluarga (-)

16 18

OR = B/C = 40/16 = 2,5

(33)

untuk menderita Limfadenitis TB dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat penyakit TB Paru pada keluarganya.

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini seluruh responden adalah anak yang berusia 0-14 tahun, dimana kelompok umur dengan frekuensi paling tinggi yang menderita Limfadenitis TB yaitu kelompok umur 0-6 tahun sebanyak 18 orang (64,3%), sedangkan pada kelompok umur 7-14 tahun berjumlah 10 orang (35,7%). Hal ini dikarenakan pada kelompok umur 0-6 tahun, faktor kedekatan dengan sumber penular dan lama kontak dengan sumber penular lebih tinggi daripada anak umur 8-14 tahun yang sudah lebih aktif.

Berdasarkan hasil karakteristik responden penelitian, mayoritas responden yang menderita Limfadenitis TB berjenis kelamin perempuan yaitu sejumlah 20 orang (71,4%), sedangkan responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 8 orang (28,6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa limfadenitis tuberkulosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Jniene, 2010).

Dari karakteristik responden berdasarkan asal jaringan yang dilakukan pemeriksaan sitologi terhadap Limfadenitis TB, ditemukan yang terbanyak pada leher atau kelenjar limfe servikalis yaitu berjumlah 23 orang (82,1%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari beberapa peneliti yang menyatakan bahwa Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2009).

(34)

dengan anggota keluarga yang menderita TB sangat berperan untuk terjadinya infeksi TB pada keluarga, terutama pada keluarga dekat. Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang kesehatan (2000), faktor lain yang mempengaruhi adalah lamanya tinggal serumah dengan penderita dan satu kamar dengan penderita TB, terutama apabila satu tempat tidur.

Pada penelitian ini hubungan antara kedua variabel tersebut ditemukan (p= 0,021 CI 95%), dengan odds ratio sebesar 2,5. Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dudeng (2005), yang menunjukkan bahwa anak dengan riwayat kontak dengan penderita TB memiliki peluang 3,87 kali mengalami TB dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak penderita TB. Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri M. tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening (Siswanto, 2007).

(35)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Dari 28 sampel pasien anak Limfadenitis TB, mayoritas terbanyak adalah umur 0-6 tahun yaitu sebanyak 18 orang (64,3%) dan dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 20 orang (71,4%). Dan Limfadenitis TB paling banyak ditemukan pada kelenjar limfe servikalis yaitu sebanyak 23 orang (82,1%)

2. Dari 56 sampel penelitian, diperoleh pasien anak Limfadenitis TB yang memiliki riwayat penyakit TB Paru pada keluarganya adalah sebanyak 25 orang (89,3%)

3. Dari 56 sampel penelitian, diperoleh pasien anak Limfadenitis TB yang tidak memiliki riwayat penyakit TB Paru pada keluarganya adalah sebanyak 3 orang (10,7%)

4. Ada hubungan antara kejadian Limfadenitis TB pada anak dengan riwayat TB Paru pada keluarga (p = 0,021)

5. Riwayat penyakit TB Paru pada keluarga merupakan faktor risiko terjadinya Limfadenitis TB pada pasien anak yang melakukan pemeriksaan di Laboratorium Sentra Diagnostik Patologi Anatomi (OR = 2,5)

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelian yang telah dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:

(36)

riwayat TB Paru pada keluarga dapat dibuktikan. Maka dari itu, bagi pihak rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan diharapkan agar lebih waspada ketika mendapati kasus Tuberkulosis. Edukasi kepada pasien yang memiliki risiko tersebut penting dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan infeksi TB di masa yang akan datang.

2. Bagi Pasien/ Masyarakat

Diharapkan kepada masyarakat terutama keluarga anak perlu menjaga anak dari kontak langsung terhadap penderita TB dan memberikan pengertian kepada penderita TB dewasa yang tinggal serumah untuk tidak meludah di sembarang tempat.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi

Menurut Dorland (2002), tuberkulosis adalah setiap penyakit menular pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh Mycobacterium sp. dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan.

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam

sehingga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru kadang-kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (Amin, 2006).

Terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui dalam memahami penyakit tuberkulosis. Infeksi Mycobacterium tuberculosis yang masih dapat ditahan oleh sistem imun tubuh sehingga tidak menimbulkan manifestasi klinis disebut infeksi tuberkulosis laten, sementara jika sudah menimbulkan manifestasi klinis dengan konfirmasi isolasi organisme Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan disebut tuberkulosis aktif (Weinberger, 2008).

Tuberkulosis primer merupakan hasil dari kontak pertama dengan basil tuberkulosis sementara tuberkulosis postprimer merupakan hasil dari infeksi laten yang mengalami reaktivasi (Weinberger, 2008).

2.1.2. Epidemiologi

(38)

dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009).

Laporan WHO tahun 2010 menyebutkan bahwa pada tahun 2008, dari 9.369.038 kasus TB di seluruh dunia, penderita TB paling banyak terdapat pada Asia Tenggara yaitu 34%, 30% dari Afrika, 21% dari Pasifik Barat, 7% Timur Tengah, 5% dari Eropa, dan 3% dari Amerika. Asia Tenggara membawa lebih dari beban TB global dengan 3,2 juta pasien TB baru per tahun (WHO, 2010).

Indonesia sendiri pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Dimana pada tahun 2006 yang lalu menurut WHO Indonesia sempat menempati peringkat ketiga di dunia setelah India dan China dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 (Depkes, 2007).

Di Provinsi Sumatera Utara, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB Paru meningkat dari 17.133 kasus pada tahun 2008 menjadi 19.673 kasus pada tahun 2010, dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif sebesar 16.078 kasus dan sisanya didapatkan dengan pemeriksaan diagnostik lainnya. (Depkes RI, 2011).

2.1.3. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobactericeae dan termasuk dalam ordo

Actinomyceales. Dari keseluruhan kompleks Mycobacterium, yang merupakan

agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Mikroorganisme lain dalam kompleks Mycobacterium adalah : 1. M.

tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. microti, 6. M.

pinnipedii, 7. M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan epidemiologi

(Raviglione, 2010).

(39)

Mycobacteria termasuk M. tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan

Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam (Raviglione, 2010; Jawetz, 2004). M. tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004)

Dinding bakteri Mycobacterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mycobacterium. Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2005).

Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23 °C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2005).

Manusia adalah satu-satunya reservoir bagi M.tuberculosis. Bakteri ini menyebar melalui udara tepatnya melalui droplet dari manusia yang terinfeksi. Droplet ini berukuran 1-5 µm , saat satu kali batuk dapat menghasilkan 3000 droplet, dan hanya 10 basil yang diperlukan untuk menginisiasi infeksi (Herchline, 2011).

2.1.4. Cara Penularan

(40)

dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti : paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain. Meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Siswanto, 2007).

Saat M. tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto roentgen (Siswanto, 2007).

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TB (Siswanto, 2007).

(41)

2.1.5. Faktor Risiko

Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TB adalah:

 Harus ada sumber penularan

Kasus terbuka dengan dahak yang menunjukkan adanya basil TB atau binatang yang menderita TB (jarang).

 Usia

TB pada anak paling sering terjadi pada usia 0-4 tahun. Sumber penularan TB pada anak biasanya orang dewasa dengan BTA positif (Dudeng, 2005). Sedangkan pada orang dewasa TB paling sering terjadi pada usia 25-35 tahun. Hal ini karena pada usia tersebut individu menjadi lebih independen, banyak aktivitas di luar rumah dan lebih bergaul dalam masyarakat.

 Jumlah basil yang mempunyai kemampuan menginfeksi cukup banyak dan terus-menerus.

 Virulensi (keganasan) basil.  Daya tahan tubuh

Imunitas tubuh yang menurun memudahkan basil TB berkembang biak. Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan faktor genetika, faktor faal, jenis kelamin, usia, faktor lingkungan seperti nutrisi, perumahan, dan pekerjaan.

 Jenis kelamin

(42)
[image:42.595.115.480.131.415.2]

Gambar 2.1. Faktor risiko TB

(Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2007)

2.1.6. Patogenesis

Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).

(43)

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Amin, 2006).

TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3-4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa teraktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).

(44)

mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).

Menurut Datta (2004) basil TB juga dapat langsung menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Kemudian basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher.

2.1.7. Klasifikasi

Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2007), tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi atau organ tubuh yang terkena (paru-paru atau ekstra paru), berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis (BTA positif atau BTA negatif), berdasarkan tingkat keparahan penyakit, dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena : 1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim paru, tidak termasuk TB pada selaput paru (pleura) atau TB pada kelenjar hilus.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, persendian, limfa, kulit, tulang, ginjal, usus, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, yaitu pada TB paru:

1. Tuberkulosis paru BTA positif, penegakkan diagnosisnya berdasarkan hasil :

(45)

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan pemeriksaan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (obat-anti-tuberkulosis).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif, yaitu kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriterianya adalah sebagai berikut :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2. TB ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu :

a. TB ekstraparu ringan, misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstraparu berat, misalnya meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

(46)

1. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstraparu, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

2. Bila seorang pasien dengan TB ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :

1. Kasus baru yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi didiagnosis kembali dengan BTA positif (kultur atau apusan).

3. Kasus setelah putus berobat (default ) yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).

2.1.8. Penatalaksanaan

(47)

kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.

[image:47.595.111.478.251.741.2]

Pengobatan TB dilakukan selama 6 bulan. Tetapi, dalam keadaan tertentu, misalnya pada pasien diabetes melitus, pengobatan tersebut dilakukan lebih dari 6 bulan. Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3. Pengobatan TB (PDPI, 2006) Kategori Kasus Paduan obat yang

diajurkan

Keterangan

I TB paru BTA

+, BTA - , lesi luas

2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE / 6 HE *2RHZE / 4R3H3

II - Kambuh

- Gagal pengobatan

-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE -3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE

Bila alergi terhadap streptomisin, dapat diganti dengan kanamisin

II - TB paru putus berobat

Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

(48)

negatif lesi minimal

6 RHE atau *2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)

IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup

2.1.9. Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,

Poncet’s arthropathy.

b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru), kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindom gagal napas dewasa (Amin, 2006).

2.2. Tuberkulosis Paru 2.2.1. Definisi

Menurut Dorland (2002) tuberkulosis paru adalah infeksi paru oleh Mycobacterium tuberculosis.

(49)

yang efektif untuk penyakit yang aktif, maka dapat terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian (Raviglione, 2008).

2.2.2. Manifestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam- macam atau banyak juga pederita TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (Depkes, 2008).

Tanda dan gejala untuk tuberkulosis paru adalah batuk > 2 minggu, peningkatan produksi sputum dan batuk, dan terdapat gejala penurunan berat badan, anoreksia, fatigue, demam, dan keringat malam. Tanda yang spesifik pada tuberkulosis paru adalah hemoptisis atau adanya darah pada sputum (Varaine, et al, 2010)

2.2.3. Diagnosis

(50)

saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Depkes, 2007).

2.2.3.1. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit, umumnya tidak (atau sulit sekali) ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum (PDPI, 2006).

2.2.3.2. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan dahak digunakan untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SPS:

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

- P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

(51)

pengirimannya yaitu bahan pemeriksaan/spesimen dikumpulkan dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapatditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

1. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.

2. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak lebih kurang 1 ml.

3. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.

4. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus.

5. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.

6. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.

7. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak, dan dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

(52)

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+). 4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). 5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst (BR) : 1. BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan. 2. BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang. 3. BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang. 4. BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang. 5. BRV : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

2.2.3.3. Pemeriksaan Kultur

Peran biakan dan identifikasi M. tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi :

1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis. 2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.

3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

2.2.3.4. Uji Resistensi

(53)

2.2.3.5. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah :

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif: - Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura (PDPI, 2006).

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas.

2. Lesi luas yaitu bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.2.3.6. Pemeriksaan Patologi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB paru. Bahkan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

1. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope, dan Veen Silverman).

(54)

3. Otopsi.

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan patologi.

2.2.3.7. Tes Tuberkulin

[image:54.595.160.476.368.712.2]

Pemeriksaan intradermal ini (tes Mantoux) dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah berupa protein purified derivative (PPD). Hasil tes positif jika pemeriksaan dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).

(55)

2.3. Limfadenitis Tuberkulosis 2.3.1. Definisi

Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).

2.3.2. Epidemiologi

Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004).

Epidemiologi limfadenitis TB bervariasi tergantung pada angka kejadian TB dan tingginya infeksi HIV di suatu negara, misalnya di daerah Afrika dimana insidensi infeksi HIV sangat tinggi, angka kejadian TB pulmoner dan ekstrapulmoner juga sangat tinggi (Clevenbergh, 2010).

Berdasarkan penelitian Dandapat (1990) terhadap 192 pasien limfadenopati perifer dimana 80 pasien dengan limfadenitis TB didapatkan pada usia penderita berkisar 1 sampai 65 tahun, dimana kebanyakan berusia dibawah 30 tahun dan sedikit lebih banyak didapat pada wanita (1,2:1). Tujuh puluh persen pasien adalah dengan status sosioekonomi rendah. Dari 80 pasien, 56 pasien melibatkan kelenjar limfe servikal, 7 pasien kelenjar limfe inguinal, 5 pasien kelenjar limfe aksilaris dan 12 pasien melibatkan kelenjar limfe multipel.

(56)

2.3.3. Patogenesis

Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.

Limfadenitis tuberkulosis adalah manifestasi lokal dari penyakit sistemik ataupun sebagai manifestasi klinis yang tersendiri dan terlokalisasi di leher (Bayazit, 2004). Limfadenitis tuberkulosis dapat terjadi sebagai manifestasi tuberkulosis primer ataupun reaktivasi fokus Gohn yang dorman atau sebagai kelanjutan fokus Gohn yang aktif (Mohapatra, 2009).

Supraclavicular lymphadenitis terjadi akibat penyebaran melalui saluran

limfatik paru. Cervical lymphadenitis merupakan manifestasi penyebaran dari kompleks primer pada infeksi di tonsil, sinonasal adenoid, dan osteomyelitis pada tulang etmoid (Mohapatra, 2009).

Pada tahap awal multiplikasi M. tuberculosis di kelenjar getah bening superfisial, permulaan hipersensitivitas tipe lambat ditandai dengan gambaran hiperemia, pembengkakan, nekrosis, dan pembentukan kaseosa di tengah nodus. Hal ini dapat diikuti inflamasi, pembengkakan yang progresif, dan penyatuan dengan nodus-nodus lain (matting). Adhesi dengan kulit dapat menyebabkan indurasi dan berwarna keunguan. Bagian tengah kelenjar yang membesar dapat melunak dan materi kaseosa dapat ruptur ke jaringan sekitar atau menembus kulit dengan pembentukan sinus (Mohapatra, 2009). LTB mediastinum dapat membesar dan menyebabkan penekanan pembuluh-pembuluh darah besar, nervus frenikus, dan laringeus atau menyebabkan erosi pada bronkus.

Menurut Sharma (2004) LTB terbagi atas 5 stadium :

1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret. 2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan

sekitar oleh karena adanya periadenitis.

3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan abses.

(57)

5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

2.3.4. Manifestasi Klinis

Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2009). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.

Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2009).

Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2009).

(58)

kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2009).

Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2009).

Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).

2.3.5. Diagnosis

Menurut Sharma (2004) diagnosis tuberkulosis ekstrapulmonal diperoleh dari pemeriksaan histopatologi, sitologi, dan mikrobiologi dari jaringan yang mudah diperoleh.

2.3.5.1. Pemeriksaan Mikroskopis Mikrobiologi

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen diambil dari cairan sinus atau dengan FNAB (fine needle aspiration biopsy). Sensitivitas dan spesifisitas sitologi FNAB untuk diagnosis LTB adalah

(59)

juga dilakukan dengan teknik fluorosensi yaitu dengan pewarnaan Auramine-Rhodamine (Varaine et al, 2010).

2.3.5.2. Pemeriksaan Kultur

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara Egg base media yaitu Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh atau Agar base media yaitu Middle brook. Spesimen dapat diambil dari cairan sinus atau dengan FNAB. Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi M. tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT) (PDPI, 2002).

Menurut Bayazit (2004) berbagai media dapat digunakan seperti L-J, Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M. tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti ole M.bovis (Bayazit, 2004).

Kultur dapat dilakukan dengan menggunakan spesimen yang sama untuk pewarnaan. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009).

2.3.5.3. Pemeriksaan Sitologi

Fine needle aspirate cytology (FNAC) telah menjadi pilihan utama untuk

pemeriksaan non-invasif alternatif daripada biopsi eksisi. Sensitivitas FNAC bervariasi dari 67% hingga 100% dan spesifisitas 80% hingga 100%. Komplikasi akibat tindakan FNAC juga jauh lebih minimal dibandingkan dengan biopsi eksisi konvensional (Sarwar, 2004).

Menurut Metre dan Jayaram (1987), secara makroskopis hasil biopsi aspirasi dari LTB dapat bercampur darah, purulen, dan seperti keju (Das et al, 2000). Ditemukannya sel epiteloid, datia langhans (langhans giant cell) ataupun massa nekrosis perkejuan maka pemeriksaan sitologi dikatakan positif (Kesuma, 2010).

(60)

nekrosis kaseosa (Sarwar, 2004). Das et al (2000), membagi hasil pemeriksaan sitologi menjadi 3 kelompok utama. Tipe I yaitu granuloma epiteloid tanpa nekrosis, tipe II yaitu granuloma dengan nekrosis, tipe III yaitu nekrosis tanpa granuloma epiteloid.

Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.

2.3.5.4. Pemeriksaan Histopat

Gambar

Gambar 3.2. Kerangka Operasional
Tabel 4.1. Penyajian Hasil Pengumpulan Data
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden
Tabel 5.3. menunjukkan distribusi asal jaringan pada pemeriksaan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Asl i/ Legal isir Ij azah, Asl i/ Legal isir Kart u Tanda Penduduk (KTP), Asl i Sert if ikat SMK3, Asl i Surat Ket erangan Keahl ian/ Ket rampil an Pimpinan Teknik (SKA/ SKT)

[r]

Asl i/ Legal isir Ij azah, Asl i/ Legal isir Kart u Tanda Penduduk (KTP), Asl i Sert if ikat SMK3, Asl i Surat Ket erangan Keahl ian/ Ket rampil an Pimpinan Teknik (SKA/ SKT)

Kepada yang bersangkutan diharapkan hadir sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh Pokja / panitia dan apabila saudara tidak hadir dalam batas waktu yang ditentukan,

[r]

Hasil analisis morfologi daun dan batang menunjukkan bahwa tanaman teh di Pulau Bangka dapat dikelompokkan menjadi tiga cluster pada tingkat koefisien keragaman 15,63

Dari hasil ujicoba program simulasi dan shorewall asli dengan konfigurasi. jaringan dan data yang sama diperoleh hasil

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen pendidikan dimasa depan merupakan manajemen pendidikan yang dirancang atau disusun