• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai-nilai Moral pada Novel Jasmine Karya Riawani Elyta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Nilai-nilai Moral pada Novel Jasmine Karya Riawani Elyta"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Budiningsih, Asri. 2004, Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.

Endaswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Moekijat. 1995. Asas-asas Etika. Bandung: Mandar Maju

Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nazir. 1988. Metode Penelitian.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Poespoprodjo, W. 1998. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung : Pustaka Grafika

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Suseno, Frans Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius

(2)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan metode deksriptif teks. Moleong (2013:6) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

3.1 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mempergunakan Library Research atau penelitian kepustakaan sebagai teknik pengumpulan data. Penelitian kepustakaan berarti peneliti melakukan berbagai riset yang berkenaan dengan kebutuhan penelitian di perpustakaan. Nazir (1988:111) menyatakan bahwa bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.

(3)

Lebih lanjut Endaswara (2011: 104) menyebutkan bahwa cara pengumpulan data penelitian sosiologi sastra tergantung pada prespektif penelitiannya, prespektif yang berfokus pada (1) teks, (2) sastrawan, (3) fungsi sosial, (4) dokumen budaya, (5) struktur genetika, dan lain-lain. Pada penelitian kali ini, pandangan peneliti berfokus pada teks.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1. Mengidentifikasi tokoh.

2. Mencari kutipan cerita yang menunjukkan perilaku tokoh yang mengandung moral baik dan moral buruk.

3. Mencari faktor-faktor penentu perbuatan moral tokoh dengan membaca hati-hati dan terperinci.

Pengumpulan data di atas, dilakukan dengan metode baca heuristik dan hermeneutik. Endaswara (2011:105) mengemukakan bahwa (1) melalui pembacaan heuristik, artinya hati-hati, tajam terpercaya, menafsirkan sesuai konteks sosial, (2) melalui pembacaan hermeneutik, artinya peneliti mencoba menafsirkan terus-menerus, sesuai bahasa simbol sosial, dikaitkan dengan konteks serta pengaruh historis.

3.2 Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah : Judul : Jasmine (J)

(4)

Tebal Buku : 320 halaman Ukuran : 19cm

Cetakan : Pertama Tahun : 2013

Warna Sampul : Hijau dan Putih

Gambar Sampul : Seorang wanita cantik berparas pucat yang tertunduk dengan dihiasi bunga melati di sekelilingnya serta gambar jembatan dan rumah panggung yang bernuansa alam.

Desain Sampul : Andhi Rasydan

3.3 Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya melakukan analisis mendalam. Analisis pada dasarnya adalah proses pemaknaan (Endaswara, 2011:111). Tahap analisis data dilakukan dengan cara reduksi data dan kategorisasi. Seperti yang dikemukakan dalam Moleong (2013:288), yaitu :

1. Reduksi data

a. Identifikasi satuan (unit) mengidentifikasi adanya satuan yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkam dengan fokus dan masalah penelitian (data moral).

b. Sesudah satuan diperoleh, langkah berikutnya adalah koding. Membuat koding berarti memberikan kode pada setiap data, agar tetap dapat ditelusuri data/satuannya, berasal dari sumber mana.

(5)

a. Menyusun kategori. Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.

b. Setiap kategori diberi nama.

(6)

BAB IV

NILAI MORAL DAN FAKTOR PERBUATAN MORAL TOKOH DALAM NOVEL JASMINE KARYA RIAWANI J

4.1 Nilai Moral dalam Novel Jasmine

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai moral merupakan landasan sikap dan perilaku manusia sehari-hari yang menunjukkan kualitas yang berharga atau berguna bagi manusia. Sikap dan perilaku moral tersebut berkaitan dengan hal nilai-nilai susila, hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang dianggap perbuatan tersebut benar atau salah.

Setelah membaca novel Jasmine karya Riawani J, maka peneliti menetapkan nilai moral yang akan dikaji adalah nilai moral kejujuran, kesediaan bertanggung jawab, keberanian moral, dan kerendahan hati.

4.1.1 Nilai Moral Kejujuran

(7)

akan memberikan ketenangan batin dan kepercayaan masyarakat (orang lain) terhadap orang yang melakukannya.

Novel Jasmine memasukkan nilai moral kejujuran dalam rangkaian ceritanya. Berikut penggalan paragraf dalam novel Jasmine yang menunjukkan nilai moral kejujuran:

“Lantas, sekarang bagaimana, Fi? Kamu bilang kalau tantenya Priyatna sedang menunggu di ruang tamu? Lalu, apa yang akan kita sampaikan padanya? Memberitahunya kalau gadis itu kabur, lalu membiarkan dia menuding kita tak lebih dari yayasan amatir yang lalai dan tak bertanggung jawab?”

Luthfi menatap Malika. Merasa sedikit terjengit oleh kata-kata Malika. Gadis itu benar. Mereka harus secepatnya menyiapkan kalimat yang tepat untuk memberitahu tante Priyatna. Sementara itu, disaat bersamaan, mereka juga tak boleh mengabaikan akan kasus kaburnya Jasmine dari yayasan.

“Sekarang kita berbagi tugas. Aku akan menghubungi polisi, dan kamu yang menyampaikan berita ini pada tante Priyatna. Atau sebaliknya. Yang mana kamu pilih?”

Malika menimbang-nimbang dalam waktu kurang dari tiga detik sebelum menjawab tegas. “Biar aku yang bicara pada tante Priyatna.” (J, 2011:123) “Maafkan atas kelalaian kami, Bu. Tapi, nyatanya memang tidak seorang pun di sini yang tahu kapan Jasmine pergi,” ucap Malika penuh hati-hati.

Luthfi muncul di pintu. Mengamati kedua wanita yang masih bertahan dalam diam itu sebelum melangkah masuk.

“Saya sudah menghubungi polisi, juga Priyatna.”

Rowena mengangguk pelan. Dadanya terasa berat. Kembali untuk kali sekian dalam hidupnya, ia harus menanti kabar. Sungguh, ia tak tahu sampai kapan ia masih sanggup bertahan untuk tetap menunggu (J, 2011:138).

(8)

putrinya yang hilang yang diduga adalah Jasmine. Akan tetapi Jasmine telah kabur dari yayasan. Pada akhirnya, mereka berdiskusi dan mengatakan keadaan yang sebenarnya dan mengesampingkan pikiran buruk atas tuduhan sebagai pengurus yayasan yang tidak bertanggungjawab. Meskipun berat mengatakan kebenaran, namun perbuatan tokoh dalam novel Jasmine mencerminkan nilai kejujuran yang harus tetap dipertahankan walau akan sangat berat untuk mengatakannya.

Kejujuran akan membawa ketentraman, kebahagiaan, serta kepuasan tersendiri bagi seseorang yang melakukannya. Kejujuran tidak hanya mengatakan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga memenuhi janji yang telah diberikan kepada seseorang. Jasmine yang selama ini bersembunyi di balik kebohongannya dan mengaku amnesia, tidak dapat menahan dan menutupi kebenaran ketika Awang, bocah pemulung yang pernah ia janjikan akan diajarkan membaca. Ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri dan melepas kebohongannya karena Awang menuntut janjinya. Jasmine berjanji akan menepatinya sehingga pada akhirnya janji itu ia tepati dan membawa keceriaan dan kebahagiaan bagi Jasmine. Nilai kejujuran ini dapat terlihat pada sepenggal paragraf berikut ini:

“Kak…”

(9)

Airmata Jasmine langsung runtuh. Bagaimana mungkin ia tega berkeinginan ‘melenyapkan’ Awang, dari ingatannya dan menganggap bocah itu tak lebih dari sosok yang tak pernah ia kenal? Masihkan ia tegah untuk berbohong? “Doakan Kakak cepat sembuh, ya! Kakak janji, setelah sembuh nanti pasti akan mengajarimu membaca.”

Sementara di luar, Priyatna dan Luthfi menunggu Awang. “Bagaimana, Dik? Apa dia ingat padamu?” Tanya Priyatna pada Awang.

“Tak tahu, Om. Kakak hanya minta saya mendoakannya, supaya dia bisa mengajari saya membaca.”

“Membaca?” kedua alis Priyatna merapat. Awang mengangguk. “Waktu masih di ruli, Kakak pernah janji mau mengajari saya membaca.

“Kamu dengar? Perkiraan kita selama ini, ternyata sama sekali nggak meleset! Gadis itu hanya berpura-pura amnesia!” ujar Priyatna pada Luthfi dengan penuh antusias.

“Waktu dia dirawat di rumah sakit kali pertama, sebelum kamu membawanya ke yayasan, dia bilang padamu kalau dia tidak ingat pernah tinggal di ruli dan tidak bisa mengingat namanya. Begitu kan, Fi?” tanya Priyatna (J, 2011:208-209).

“B-A-T-A” “BATA”

“Kita lanjut yang lebih sulit, ya?” ujar Jasmine disambut anggukan Awang penuh antusias. Dan hari ini Awang sangat bahagia. Jasmine tampak sangat benar-benar antusias mengajarinya membaca (J, 2011:264).

4.1.2 Kesediaan Bertanggung Jawab

(10)

menimbun sifat keegoisannya dan melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin dan rela memberikan diri di saat yang diperlukan menunjukkan kekuatan batin yang sudah mantap.

Novel Jasmine juga memasukkan nilai moral kesediaan bertanggung jawab dalam rangkaian ceritanya. Berikut ini merupakan beberapa paragraf yang menunjukkan nilai moral kesediaan bertanggung jawab:

“Jadi, gadis itu sempat mencuri uangmu sebelum ia kabur?” ….

“Baik. Untuk sementara cukup. Ini semua akan menjadi bukti-bukti yang semoga dapat mempermudah pencarian gadis itu. Aku yakin, kali ini gadis itu akan tertangkap dalam waktu kurang dari 24 jam,” ujar Priyatna penuh percaya diri.

“Dari mana kamu bisa begitu yakin? Sedangkan sampai hari ini, jejak Raisa sendiri belum berhasil ditemukan?” sela Luthfi. Kejadian hari ini mau tak mau kembali menahan langkahnya untuk melewatkan jam kerjanya yang seharusnya hanya sebatas pukul lima sore (J, 2011:140-141).

(11)

Kesediaan bertanggung jawab, seperti yang telah dijelaskan di atas, berarti rela mengorbankan diri demi suatu pekerjaan yang dianggap kewajiban atau pun bukan kewajibannya dan siap bertanggung jawab di mana saja ia di perlukan. Suseno (1987:145) menyatakan kesediaan bertanggung jawab juga berarti kesediaan melakukan sesuatu atau setiap pekerjaan dengan sebaik mungkin. Berikut ini juga memaparkan nilai moral kesediaan bertanggung jawab yang terdapat dalam novel Jasmine.

“Bagaimana kondisi Malika, Dok?”

Dokter menatap Luthfi dengan tatapan seakan-akan menyesalkan.

“Kenapa baru sekarang dibawa? Apa yang bisa saya katakan? Hatinya mengalami disfungsi, dan kegagalan melawan penyebaran racun sebenarnya telah berlangsung cukup lama.”

Luthfi terdiam. Mengabaikan tatapan dokter yang selalu bicara apa adanya itu dan sepenuhnya berkonsentrasi pada semua yang berhasil ia ingat dan ketahui tentang Malika. Dua tahun kebersamaan mereka di Yayasan Pelita, apa yang Luthfi pahami bahwa Malika adalah pengurus yayasan yang selama ini paling intens mendampingi dan memotivasi para ODHA. Kekurangan sumber daya manusia yang rela untuk sepenuhnya bergelut aktif di yayasan, membuat beberapa pengurus harus merangkap sebagai koordinator KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) sebagai bentuk fasilitas pendampingan yang dimotori oleh yayasan. Dan Malika tercatat sebagai salah seorang coordinator.

Mendampingi para ODHA menjalani pemeriksaan, membagikan informasi, menjadi penyemangat dalam proses pengobatan yang sering kali tak menyenangkan adalah tugas di antara tugas coordinator. Dan selama ini Malika melakoni semua itu dengan penuh semangat. Malika selalu tampak sehat, energik, dan mencintai pekerjaannya sepenuh hati (J,2011:165).

(12)

pengurus yayasan sekaligus koordinator KDS, mengingat kondisi yayasan yang kekurangan sumber daya manusia.

4.1.3 Keberanian Moral

Keberanian pada hakikatnya adalah perasaan atau keadaan tidak takut, meskipun lingkungan sekitar menolak dan tidak mendukung sikap keberanian tersebut. Keberanian moral berarti menunjukkan sikap untuk tetap mempertahankan suatu hal yang diyakini benar sebagai kewajiban meskipun tidak disetujui dan dilawan oleh lingkungan. Suseno (1987:147) menyatakan keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil risiko konflik seperti dicela, dikucilkan, ditentang dan diancam oleh lingkungan. Keberanian moral berarti berpihak pada yang lemah, yang diperlakukan tidak adil oleh penguasa, individu atau kelompok yang kuat. Keberanian moral tidak menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada apabila hal itu berarti mengkompromikan kebenaran dan keadilan.

Adapun dalam novel Jasmine yang menggambarkan sikap tokoh yang mencerminkan nilai keberanian moral, yaitu seperti berikut ini:

Ada masa dalam beberapa tahun sesudahnya ia tak dapat menahan kerinduan itu, meski lingkungan yang kemudian berada di sekeliling pinggangnya telah jauh berbeda. Lingkungan yang dengan mata sinis dan bibir mencibir menertawai keinginannya yang mencoba menemukan sepasang mukena di antara deretan busana pemancing berahi yang memadati lemari.

“Untuk apa sih kamu shalat? Nggak bakal menghapus dosa juga! Ntar malah dimarahin ibu kost, disuruh bayar sewa dua kali lipat gara-gara ngabisin bergalon-galon air buat mandi. Baru juga mandi, eh itu badan kecipratan kotoran lagi. Hahahaha….”

(13)

sejenak mengasingkan diri dan membiarkan air mata kerinduannya menggenangi pelupuk, deras mengaliri pipi, bahkan membasahi pakaian. Kehidupan yang pernah ia jalani di bawah keremangan cahaya, terkadang sulit sepenuhnya dipahami dan dinalar oleh kalbu (J, 2011:147).

Meskipun dicerca berbagai tertawaan, cela, dan dikucilkan oleh lingkungannya, tokoh Jasmine tetap melakukan ibadah terhadap Tuhan, yang selama ini ibadah tersebut ia rindukan setelah beberapa lama tidak pernah mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya. Nilai keberanian moral digambarkan melalui tindakan Jasmine yang tetap menjalankan ibadahnya di hari Ramadhan, sekalipun lingkungan sekitarnya tidak melakukan hal itu dan bahkan menghina, menertawakan tindakan Jasmine tersebut.

Adapun bentuk nilai keberanian moral lain yang digambarkan dalam novel Jasmine, yaitu seperti kutipan paragraf berikut ini:

“Saya tak perlu berpanjang kata. Maksud saya datang kemari adalah untuk meminta kerja sama Ibu.”

“Kerja sama? Kerja sama… bagaimana yag Ibu maksud?”, Rowena tergagap. “Gadis itu…adalah salah satu saksi kunci dalam kasus ini! Polisi saat ini terus memantau perkembangan kondisinya sampai ia benar-benar dinyatakan siap untuk memberi keterangan. Jadi, saya mohon dengan sangat agar Ibu mengupayakan jangan sampai gadis itu memberi keterangan yang sangat dibutuhkan oleh penyidik … Jika pihak penyidik tak berhasil mengorek keterangan apapun tentang Dean darinya maka itu sudah cukup meringankan putra saya.”

“Telah saya katakan, tidak terlalu penting bagaimana cara saya mengetahuinya. Karena saya akan mengupayakan apapun demi kebebasan anak saya! Ibu camkan itu! Toh, apa yang harus Ibu lakukan tidak terlalu sulit dibandingkan apa yang harus saya perjuangkan demi Dean. Sungguh, saya tidak mengerti mengapa Dean harus bersusah payah datang kemari hanya untuk menemui pelacur belia itu….”

(14)

kriminal. Tapi jangan harap saya mau bekerja sama dengan Anda! Terlepas dari kenyataan bahwa gadis itu memang putri saya atau bukan, saya tetap berusaha agar dia bisa sembuh dan kelak akan bersaksi di pengadilan untuk menegakkan kebenaran yang Anda anggap bisa Anda pelintir dengan segala cara!” (J, 2011:246).

Kutipan di atas menggambarkan sikap keberanian moral tokoh dalam novel Jasmine yang tidak mau berkompromi dalam menyembunyikan kebenaran dan

keadilan untuk menghilangkan barang bukti terlibatnya Dean dalam kasus cybercrime yang sedang ditelusuri oleh polisi. Meskipun berbagai ancaman telah diberikan, namun tokoh Rowena tetap bersikap mempertahankan keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya.

Adapun nilai kebenaran moral yang ditampilkan pengarang dalam novel Jasmine adalah seperti berikut ini:

“Jangan mengulur waktu!. Kau sudah melihatnya, bukan? Sekarang tinggal tanda tangan!”

“Jangan..jangan lakukan!” Tak hanya Jasmine, lirih itu bahkan serempak menarik kepala keempat pria itu untuk menoleh. Seorang wanita bangkit dari rebahnya, hanya berjarak beberapa meter di belakang Jasmine.

“Bu Fatma!” Jasmine terbeliak

“Sudah, biarkan saja! Yang penting kau tanda tangani ini sekarang!” “Jangan tanda tangani itu, Jasmine! Mereka…!”

“Diam!” satu makian terhambur dari pria yang masih memegang erat lengan Fatma.

“Jangan tanda tangani itu, Jasmine! Bagaimanapun, sulitnya kebenaran tetap harus ditegakkan. Kamu mungkin melupakan banyak hal, tapi hanya kamu yang tahu persis siapa Dean Pramudya.”

“Diam. Ayo cepat! Jangan pedulikan perempuan itu. Kau tentu tak menginginkan kekasihmu mendekam lama lalu berkarat di sel tahanan,bukan?”

(15)

menghadirkan kekuatan yang semakin mengukuhkan niatnya saat kedua tangannya menggenggam kedua sisi kertas itu dan … sret!sreett!! (J, 2011:280).

Sikap tokoh Jasmine di atas juga mencerminkan nilai keberanian moral dalam mempertahankan sikap membela kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Meskipun sikap itu berkaitan dengan nasib kekasihnya Dean, akan tetapi Jasmine tetap mengambil jalan keadilan dengan cara tidak menandatangani surat peryataan palsu yang dibuat oleh orangtua Dean Pramudya meskipun resiko konflik dirinya dan Ibu Rowena yang menyamar sebagai Fatma dapat dibunuh pada saat itu juga.

4.1.4 Kerendahan Hati

(16)

Berikut ini nilai moral kerendahan hati yang digambarkan dalam novel Jasmine yaitu seperti kutipan dibawah ini:

“Ibu tahu, kalau dulu aku selalu menggugat takdir? Aku merasa takdir itu berpihak hanya menghujani segelintir orang dengan keberuntungan demi keberuntungan. Sementara pada segelintir yang lain, takdir terus-menerus menimpa mereka dalam wujud yang buruk”, ujar Jasmine disela gerak jemarinya menuang sesendok margarin.

“Tapi sekarang, setiap malam, ganti aku yang bermohon ampun pada Sang Pemilik Takdir. Aku baru sadar bahwa tidak ada takdir-Nya yang sia-sia. Semua orang yang dikaruniai nikmat usia, pasti akan menjalani hidup seperti perputaran roda. Kadang di atas, kadang di bawah, kadang senang, kadang susah….” (J, 2011: 290).

Pada kutipan paragraf di atas, menggambarkan perubahan pandangan Jasmine yang dahulu dan pandangannya yang sekarang. Jika dulu Jasmine tidak bisa menerima dirinya sendiri dan takdir yang diberikan oleh Sang Pencipta, kini pandangannya berubah dan ia mulai menerima dirinya apa adanya. Jasmine mengetahui dirinya yang lemah sehingga meminta ampun kepada Sang Pencipta dan menerima takdir yang diberikan oleh-Nya.

Selain itu, ada pula nilai moral kerendahan hati juga digambarkan dalam novel Jasmine yaitu seperti berikut ini:

“Ioran Atmadja!” panggilan petugas penjaga menegakkan Ioran dari duduknya. “Ada tamu untukmu!”

Ioran lalu keluar didampingi petugas penjaga. Dua orang setengah baya tengah duduk menunggu di ruang khusus untuk pertemuan napi dengan keluarga yang datang menjenguk.Ioran tak kuasa menahan matanya yang mendadak kabur. Setelah sekian waktu menenggelamkannya di balik jeruji, ini adalah kali pertama kedua orang tuanya datang menjenguk.

“Ampuni saya, Pak! Bu!” Ioran spontan bersimpuh. Menangis. “Saya memang anak nggak berguna…”

(17)

Kerendahan hati merupakan kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataan. Kerendahan hati juga sadar akan keterbatasan yang dimiliki. Ioran sebagai anak menyadari dirinya bersalah kepada kedua orangtuanya, dan langsung bersimpuh memohon maaf atas perilakunya. Ioran tidak malu untuk meminta ampun kepada orangtuanya, atau memberi beribu alasan mengapa ia dipenjara. Akan tetapi, Ioran mengetahui kekurangannya dan melihat dirinya sebagai kenyataan. Sikap Ioran yang meminta maaf kepada kedua orangtuanya mencerminkan nilai moral kerendahan hati yang menyadari diri salah dan mau meminta maaf.

4.2 Fakta yang Melatarbelakangi Perbuatan Moral Tokoh

Manusia dalam melakukan perbuatannya, mempunyai latar belakang yang mendorongnya sehingga bisa melakukan perbuatan yang bernilai dan berguna bagi dirinya sendiri, orang lain atau bahkan merugikan orang lain. Poespoprodjo menyatakan motif dan keadaan atau situasi merupakan faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral manusia (Poespoprodjo, 1998:153).

4.2.1 Motif

Motif adalah dorongan yang ada dalam diri manusia sehingga manusia dapat melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan yang bernilai dan berguna bagi orang lain maupun yang merugikan orang lain. Ahmadi (2009:178) menyatakan bahwa motif adalah sesuatu yang ada pada diri individu yang menggerakkan atau membangkitkan sehingga individu itu berbuat sesuatu.

(18)

2. Motif yang tergantung pada hubungan individu dan lingkungan. Motif yang tergantung pada hubungan individu dan lingkungan dibedakan pula ke dalam emergency motive atau motif darurat dan objective motive atau motif objektif (Ahmadi, 2009:180).

Pada novel Jasmine, faktor motif yang tergantung pada keadaan jasmani yang melatarbelakangi perbuatan tokoh dalam melakukan suatu perbuatannya, yaitu seperti pada kutipan rangkaian cerita berikut ini:

“Dengar!”Ioran memutar tubuh cekingnya. “So far only him, has been running fastly forward! Sementara kita? Sampai hari ini masiiih aja jadi poin! Yang baru bisa maju kalau udah digerakkan oleh telunjuk sang prince!”

“Lantas, lo maunya seperti apa, man?” tanya Yudha. “Seenggaknya, pekerjaan ini udah banyak mengurangi beban kita melunasi urusan perut dan tagihan kost. (J, 2011:14)

Pada kutipan paragraf di atas, menggambarkan tokoh yang ikut bergabung dalam kelompok pencurian atau pembobolan akun nasabah sebuah bank, melakukan perbuatan tersebut dengan motif untuk memenuhi kebutuhan jasmani atau makan sehari-hari dan kebutuhan lainnya.

Selain itu, objektif motif atau motif yang berhubungan langsung dengan lingkungan baik berupa individu maupun benda juga terdapat dalam novel Jasmine. Faktor motif yang melatarbelakangi perbuatan tokoh digambarkan secara jelas seperti pada kutipan berikut ini:

(19)

menghidupi diri dan membiayai sendiri kuliahnya dengan cara apapun. Dan menjalankan perintah sang prince kali ini, walalu dengan setengah keterpaksaa, setidaknya menuai harapan untuk menggelembungkan kembali isi dompetnya yang telah menipis. (J, 2011: 34)

“Gue tiba-tiba inget almarhum abang gue. Karena dia juga…gue rela mati-matian bertahan di jaringan ini.”

“Maksud lo?”

Ioran meneguk ludah. Selama ini, keuangan keluarga gue hamper sepenuhnya disuplai sama abang gue, termasuk sekolah gue dan adik-adik gue. Setelah dia nggak ada, otomatis gue harus bisa cari duit supaya kuliah gue jangan berhenti di tengah jalan. Juga kalau bisa, sekaligus nolongin adik-adik gue. Ayah gue sakit-sakitan terus, udah nggak bisa kerja. Emak hanya bisa jualan kue di warung sambil sesekali bantu tetangga yang punya usaha catering. Waktu kenal ama lo di CC, gue sebenarnya udah curiga kalau elo sebenarnya udah paham seluk-beluk pembobolan akun. Dan ilmu yang lo turunin ke kita-kita hanya sebatas penjebolan sistem dan flooding. Bank yang tadi beritanya nongol di internet adalah bank yang ngeluarin credit card untuk abang gue, juga yang para debt collectornya yang udah bikin abang gue mati. Gue pengen bank itu brengsek itu kelimpungan, kebakaran jenggot. Biarpun buka miliki mereka yang dijebol, tapi gue yakin, mereka bakal kehilangan kepercayaan masyarakat kalau nggak segera mampu mengantisipasi semua yang kita kerjakan.” (J, 2011:113).

Pada kedua kutipan di atas, motif Ioran ikut dalam kelompok Cream Creackers atau kelompok pembobolan akun nasabah bank, dilakukannya karena demi

(20)

Adapun faktor motif objektif yang menjadi latar belakang perbuatan tokoh Rowena yaitu meninggalkan anak semata wayangnya, terlihat jelas pada kutipan berikut ini:

“Ibu mau ke mana?” sorot mata polos itu nyaris saja meruntuhkan pertahanannya. Juga tetes air matanya.

Cepat Rowena memalingkan muka. ”Ibu … mau pergi. Tapi, ibu janji tak akan lama. Ibu pasti akan kembali. Menjemputmu, juga nenek. Lalu, kita akan tinggal bersama-sama lagi.”

Namun, janji yang terucap penuh ragu itu tak pernah terwujud. Upaya melunakkan hati Arya, suami keduanya, untuk mengizinkan dirinya menjemput Raisa, berakhir dengan harapan semu.

Sosok Arya jua yang telah berhasil memulihkan kepercayaan Rowena akan kesucian dan kesakralan makna pernikahan yang membuatnya tak perlu berpikir panjang untuk menerima lamaran Arya, selang tiga tahun pascaperceraiannya dengan Dicky. Terbukanya lembaran baru yang lebih menjanjikan harapan. Ironinya, itu justru membawa konsejuensi yang tak mudah: meninggalkan Raisa! Putri cantik semata wayangnya, satu-satunya jejak yang tertinggal dari kurun waktu sewindu pernikahannya dengan Dicky (J, 2011:85,87).

Kutipan di atas memperlihatkan kegelisahan Rowena antara meninggalkan Raisa, putrinya atau tidak. Akan tetapi, keinginannya yang lebih besar membentuk dan memiliki keluarga baru bersama Arya yang lebih menjanjikan, membuat Rowena pada akhirnya memilih meninggalkan Raisa.

Emergency motive atau motif darurat merupakan perbuatan atau tindakan

yang dilakukan seseorang dengan segera karena menganggap atau merasa bahaya di lingkungan sekitarnya. Berikut ini digambarkan motif darurat sebagai latar belakang perbuatan mencuri oleh tokoh dalam novel Jasmine, yaitu seperti berikut ini:

“Ya…besok? “Siapa?”

(21)

“Oke aku mengerti. Semoga wanita itu bisa membantu…” “Cepat atau lambat, kita harus mengetahui identitas gadis itu…”

Mendadak jantung Jasmine berdegup kencang. Langkah kakinya spontan ia Tarik pelan-pelan. Siapa yang akan datang besok?Luthfi menyebut ibu. Ibu siapa? Dan wanita itu akan membantu. Tapi, membantu apa? Cepat atau lambat, kita harus mengetahui identitas gadis itu.

Kalimat itu, entah kenapa di telinga nya terdengar bagaikan terpaan angina typhoon. Menderu. Meriuhkan benaknya dengan rasa cemas dan panik. Ia tak ingin menduga-duga siapa wanita itu. Satu hal yang langsung terpikir olehnya saat itu adalah mencari cara untuk menghindar. Ia yakin bahwa yang dimaksud Luthfi dengan ‘gadis itu’ adalah dirinya. Siapa lagi gadis lain tanpa identitas yang ditampung di asrama ini selain dirinya? Dia tak ingin berjudi nasib dengan hanya menunggu seraya berharap bahwa wanita itu tidak pernah mengenalnya. Dorongan tang begitu kuat untuk pergi dan menghindar terus menerus menggangu pikirannya. Seringkali suatu kejadian tidak murni didahului oleh niat atau kesengajaan. Melainkan lebih pada kesempatan. Dan subuh tadi, kesempatan itu terbentang luas. Di saat masing-masing penghuni asrama melanjutkan tidurnya sesudah subuh dan Malika yang masuk ke kamar mandi dengan membiarkan pintu kamarnya dalam keadaan tak terkunci. Sebuah kombinasi yang bagus. Jasmine hanya perlu dua menit untuk menyelipkan jemarinya ke dalam dompet Malika yang tergeletak di atas nakas. Lalu buru-buru masuk dan mengunci kamar…. (J, 2011:128-129)

(22)

Perbuatan yang dilatarbelakangi oleh motif darurat juga digambarkan pada tokoh Rowena atau yang menyamar sebagai Fatma, untuk mengetahui identitas Jasmine, apakah Jasmine adalah Raisa putrinya yang hilang dan ia cari selama dua belas tahun.

“Jangan buang-buang waktu! Aku baru mendapat SMS. Saat ini polisi telah mengendus keberadaan kita. Jadi, segera kau selesaikan semua urusan dan kita tinggalkan tempat ini!”

Pria itu justru membalas tatapan rekannya dengan mata membeliak. “Lalu… Lalu kau mau minta didamprat gara-gara gagal mendapatkan tanda tangan gadis jalang ini? Atau…”

“Atau kau mau lebih dulu ditangkap polisi?” pria yang meski bertubuh jauh lebih kecil itu memotong ucapan rekannya dan dengan tenang menarik sesuatu dari balik pinggangnya. Sesuatu berwujud benda hitam mengilat yang langsung ia arahkan tepat ke wajah Jasmine.

“Hei kau sudah gila apa?”

Pria bertubuh kecil itu menjawab keheranan rekannya dengan senyum menyeringai, namun tangannya bergeming. Justru kini jemarinya menggenggam erat pelatuk. Sorot matanya setajam elang saat menatap Jasmine seakan hendak mematuknya. “Aku tidak suka diremehkan, apalagi hanya oleh seorang perempuan lumpuh!”

Kedua mata Jasmine terpejam saat jemari kurus itu telah bergerak memeluk pelatuk. Kepasrahan telah purna menguasainya sehingga taka da lagi blockade penghalang saat lafal itu meluncur spontan dari ujung lidahnya yang bergetar. “Laa Ilaaha illlallah…”

Selanjutnya ia mendengar bunyi tembakan meletus, seiring tubuhnyayang terhenyak oleh satu beban berat yang menimpanya. Ucapan yang dalam sesaat langsung menerbangkannya pada kekagetan yang mencapai ambang klimaks. “Jangan bunuh anakku!” (J, 2011: 282,284).

(23)

4.2.2 Keadaan atau Situasi

Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa latar belakang perbuatan moral tokoh disebabkan oleh faktor motif dan faktor keadaan atau situasi. Manusia melakukan suatu perbuatan tidak terlepas dari situasi sosial yang ada pada lingkungan sekitarnya. Manusia tidak mungkin melakukan suatu perbuatan tanpa adanya rangsangan atau stimulus dari situasi sosial. Situasi sosial yang merangsang manusia sehingga manusia tersebut melakukan suatu perbuatan disebut oleh Sherif dan Sherif sebagai situasi perangsang sosial (Ahmadi, 2009:64).

Sherif dan Sherif menggolongkan situasi perangsang sosial menjadi 2 golongan yaitu:

1. Orang lain, yang dapat berupa individu-individu lain sebagai perangsang. 2. Hasil kebudayaan yang berupa kebudayaan materi/materiil culture

(Ahmadi, 2009:64)

Manusia melakukan suatu perbuatan dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh rangsangan individu lain. Manusia bersikap, bertingkah laku dan melakukan suatu perbuatan disebabkan karena adanya individu lain sebagai situasi perangsang sosial yang memiliki hubungan timbal balik antara satu individu dan individu lain.

Berikut ini digambarkan dalam novel Jasmine, perbuatan Dean sebagai seorang anak yang tidak sopan terhadap orangtua, saudaranya, disebabkan situasi sosial anak dan orangtua dalam lingkungan keluarga:

(24)

membantah perintah orangtua. Juga tak pernah berperingai aneh-aneh. Selain itu, setiap tahunnya Dean tak pernah absen meraih predikat sebagai juara umum di sekolah. Maka tentu saja, apa yang terperangkap oleh Ardelia dalam tahun-tahun belakangan ini juga dari kalimat kasar dan ekspresi beku yang baru saja terlontar, mulai membangkitkan kekhawatirannya tentang Dean. Namun, sepertinya kekhawatiran yang sama tidak terjadi pada papa dan mama mereka. Perputaran roda hidup yang kian cepat dan padat, telah menarik habis semua energi, rasa peduli, juga denyut sensitivitas yang semestinya lebih banyak tercurah pada darah daging yang justru tumbuh dan besar dalam gelimangan materi dan kemewahan.

“Kamu punya masalah, De? Nggak keberatan kan membaginya kepadaku?” “Aku ada janji malam ini. Kita bicarakan kapan-kapan …”

“Apa nggak sebaiknya ditunda saja,De?” Ardelia belum menyerah. Ini ulang tahun papa, setidaknya kamu bisa meluangkan waktu malam ini untuk menghargai Papa. Toh, hanya setahun sekali.”

“Oh ya? Lantas, semua penghargaan dan pengorbananku selama ini, nggak punya arti apa-apa? Sekarang perhatikan foto ini baik-baik. Menurutmu siapa sesungguhnya bahagia dengan semua piala ini? Aku atau mereka? Hampir seluruh usiaku kuhabiskan untuk menuruti semua kemauan Papa dan Mama! Tanpa seharipun mereka mendengarkan aku! Tidak sehari pun! Lantas menurutmu, sampai kapan aku bisa bertahan dengan mengorbankan semua keinginanku dan merelakan diri selamanya jadi robot bernyawa? Ayo jawab pertanyaanku?” (J, 2011:71-73).

(25)

Selain itu, seperti halnya Sherif dan Sherif yang menyatakan bahwa faktor situasi sosial hasil kebudayaan materi yang merupakan penciptaan manusia berupa kebendaan dapat mempengaruhi perbuatan sesorang (Ahmadi, 2009:65).

Berikut ini hasil kebudayaan materi sebagai perangsang situasi sosial yang mempengaruhi perbuatan tokoh dalam novel Jasmine, yaitu seperti berikut ini:

“Elo mau pergi kemana?” “Bukan urusan.”

“Trus gue gimana dong, De?” Tanya Ioran. Ekspresi wajahnya memelas. “Terserah. Yang gue tahu semua anak CC udah paham teori paling jitu untuk menghindar dari kemungkinan terburuk. Menghilangkan jejak, blokir semua server, kalau perlu hapus semua bukti. Termasuk CPU, CD, program, chip, whatever. Dean berjalan melewati Ioran yang hanya bisa mengekor gerak-geriknya dengan tatapan cemas.

“Malam ini, gue mau nemuin Mr,X. Elo tahu? The biggest ‘hamster’ itu benar-benar marvelous. Bukan hanya sekedar mesin uang, tapi juga mesin multifungsi. Hanya dalam beberapa menit, mesin itu bisa merenew identitas lo yang persis sama dengan kartu aslinya. Enggak hanya KTP, tapi dokumen apapun itu! Kalau lo mau cari aman, ayo ikut gue sekarang.”

“Tapi De…”

Kini kecamuk di dada Ioran bertambah lagi dengan deraan rasa bingung. Alih-alih mendapatkan solusi jitu dan ajakan Dean, bulu kuduk Ioran justru meremang. Sedangkan saat ini saja, separo batang otaknya telah dicuci oleh kenikmatan semu saat berhasil mengendalikan teknologi dan menjadikannya budak pemuas nafsu menguasai dan memiliki? (J, 2011:154-155).

(26)
(27)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab I, yaitu mengenai bentuk nilai moral dan faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral tokoh dalam novel Jasmine, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil deskripsi nilai moral dalam novel Jasmine, terdapat empat bentuk nilai moral, yaitu kejujuran, kesediaan bertanggung jawab, keberanian moral, dan kerendahan hati.

2. Dari hasil deskripsi nilai moral dalam novel Jasmine, terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral tokoh dalam novel Jasmine, yaitu faktor motif dan faktor situasi. Faktor motif terdiri atas motif yang tergantung pada keadaan jasmani, dan motif yang tergantung pada hubungan inidividu dengan lingkungan yang berupa motif darurat dan motif objektif. Faktor situasi terdiri atas orang lain sebagai perangsang sosial dan hasil kebudayaan materi sebagai situasi perangsang sosial.

4.2 Saran

Selain menggunakan teori sosiologi sastra, objek yang dikaji dalam novel Jasmine juga dapat mempergunakan teori lain seperti psikologi. Teori struktural dapat

(28)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep dibutuhkan dalam penelitian sebab di dalamnya akan ditemui aspek-aspek yang menyangkut masalah yang akan diteliti sehingga ruang lingkup materi yang akan dikaji menjadi linear (terarah). Adapun konsep yang dipergunakan pada penelitian ini adalah:

2.1.1Nilai moral

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.

Menurut Lilie dalam (Budiningsih, 2004:24) kata moral berasal dari kata mores (Bahasa Latin) yaitu tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Dewey

(dalam Budinigsih, 2004:24) menyatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila, sedangkan Baron,dkk (Budiningsih, 2004:24) menyatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar. Adapun Suseno (1987:19) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.

(29)

dan buruk yang diakui. Akan tetapi, baik buruk itu dalam hal-hal tertentu masih bersifat relatif. Ukuran yang diberikan terhadap baik buruk tersebut dikembalikan pada ukuran norma yang berlaku di masyarakat.

Pada penelitian ini, permasalahan nilai moral yang diungkap dari novel Jasmine tersebut yaitu mengenai: kejujuran, kesediaan bertanggung jawab, keberanian moral, dan kerendahan hati.

Kejujuran berhubungan dengan ketulusan hati. Bersikap jujur berarti tidak hanya menguntungkan pribadi namun merugikan pihak lain. Suseno (1987:142) menyatakan bahwa bersikap jujur terhadap orang lain berarti ada dua, yaitu pertama sikap terbuka, dan kedua bersikap fair. Sikap terbuka berarti selalu memunculkan sebagai pribadi dengan keyakinan terhadap diri sendiri, bukan menyesuaikan kepribadian dengan harapan orang lain. Bersikap fair maksudnya menghormati hak orang lain, memenuhi janji yang telah diberikan, serta bertindak tidak bertentangan dengan suara hati atau keyakinan.

(30)

kewajibannya. Kalau ia lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan.

Mengenai keberanian moral maksudnya yaitu menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 1987:147)

Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sendiri sesuai dengan kenyataan. Adapun Suseno (1987:148) juga menyatakan bahwa seorang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, tetapi juga menyadari kekuatan dan kemampuan yang dimiliki terbatas. Seorang yang rendah hati tidak merasa dirinya penting. Oleh karena itu, ia berani mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

2.1.2 Faktor yang Melatarbelakangi Perbuatan Moral Tokoh.

Dalam melakukan suatu perbuatan, seseorang memiliki faktor yang melatarbelakangi perbuatan moralnya tersebut. Poespoprodjo (1998:154) menyebutkan adanya faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral seseorang, yaitu:

1. Motif, yaitu mengapa seseorang mengerjakan hal itu.

2. Keadaan atau situasi, yaitu bagaimana, kapan, dan lain-lain, seseorang mengerjakan hal itu.

(31)

Sebuah penelitian perlu ada landasan teori yang mendasari karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori dipergunakan untuk menjadi alat pemecahan masalah pada penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan teori positivisme moral.

2.2.1Sosiologi sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata bahasa Yunani yaitu sosio, berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman serta logi atau logos, berarti sabda, perkataan, dan perumpamaan). Selanjutnya Ratna (2003:1) menyatakan perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio atau socius berarti masyarakat, logi atau logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal- usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, bersifat umum, dan empiris.

(32)

kemasyarakatan yang terkadung di dalamnya. Endraswara (2011:20) menyebutkan bahwa sosiologi sastra akan meneliti sastra sebagai (1) ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai sebuah cermin, (2) karya sastra memuat aspek sosial dan budaya yang memiliki fungsi sosial berharga. Aspek fungsi sosial sastra berkaitan dengan cara manusia hidup bermasyarakat

Penelitian ini mengangkat novel Jasmine sebagai objek kajian dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan positivisme moral.

2.2.2Positivisme Moral.

Positivisme moral sebagai teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas ditentukan oleh konvensi dan merupakan resultan dari kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia (Poespoprodjo (1998:119). Menurut teori tersebut, perbuatan yang baik atau salah dapat dinilai, salah satunya berdasarkan kebiasaan manusia.

(33)

sebagai norma-norma pengatur, maka kebiasaan itu disebutkan sebagai mores atau tata kelakuan.

Tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu. Tata kelakuan juga merupakan alat yang memerintahkan dan sekaligus melarang seorang anggota masyarakat melakukan perbuatan. Dalam hal ini, setiap masyarakat mempunyai tata kelakuan masing-masing yang sering kali berbeda dengan yang lainnya karena tata kelakuan timbul dari pengalaman masyarakat yang berbeda-beda dari masyarakat yang bersangkutan (Soekanto, 2009:175).

Mengenai nilai moral, menurut Suseno (1987:141) ada 7 macam nilai-nilai moral yang menunjukkan sikap dan kepribadian yang kuat, di antaranya yaitu:

1. Kejujuran

2. Nilai-nilai otentik

3. Kesediaan bertanggung jawab 4. Kemandirian moral

5. Keberanian moral 6. Kerendahan hati 7. Realisitik dan kritis.

(34)

Selanjutnya, peneliti mengaitkan data nilai moral tersebut dengan prinsip kaidah

dasar moral yang meliputi (1) prinsip hormat, (2) prinsip kerukunan, dan (3) prinsip

keadilan.

1. Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus menunjukkan sikap hormat terhadap oranglain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 2003:60).

2. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun adalah keadan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, dan dalam setiap pengelompokkan tetap. Rukun mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan (Suseno, 2003:39). 3. Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan

sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Secara singkat keadilan menuntut agar manusia tidak mencapai tujuan-tujuan dengan melanggar hak seseorang (Suseno, 1987:132).

2.3 Tinjauan Pustaka

(35)

moral baru pertama kali dilakukan. Setelah peneliti melakukan pencarian di perpustakaan Departemen Sastra Indonesia maupun melalui media internet, peneliti menemukan adanya penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang relevan dengan mempergunakan teori sosiologi sastra dan membahas aspek moral sebagai rumusan masalahnya, yaitu diantaranya:

1. Ginting (2000) dalam skripsinya yang berjudul “Saat untuk Menaruh Dendam dan Saat untuk Menaburkan Cinta Karya Julius R. Siyaranamual:

Analisis Moral”. Novel ini membahas masalah-masalah moral dengan tema kawin paksa karena pergaulan bebas. Peristiwa secara umum berlatar di seputar kota Jakarta dikisahkan secara kronologis dengan menggunakan alur maju. Nilai-nilai moral yang ingin diungkapkan oleh pengarang, secara garis besar adalah persoalan manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lainnya dalam suatu lingkup sosial hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dalam skripsi ini, penulis menemukan adanya kesamaan permasalahan yang dikaji yaitu masalah nilai moral dalam ruang lingkup sosial, hanya objek kajian yang berbeda.

(36)

sekolahnya yang berjarak cukup jauh. Kehidupan sederhana tokoh Dahlan diangkat peneliti sebagai pesan moral dan motivasi kepada pembaca.

Skripsi ini sama-sama mengangkat moral sebagai pokok permasalahannya. Dalam skripsi ini, diangkat mengenai pesan moral berupa petuah dan motivasi, sedangkan penulis mengangkat nilai moral berupa nilia moral kejujuran, kerendahan hati dan sebagainya. Skripsi ini membantu penulis dalam mendeskripsikan beberapa konsep moral.

3. Silvia (2013) dalam skripsinya yang berjudul ”Nilai-nilai Moral pada Novel Jermal Karya Yokie Adityo”. Dalam skripsi ini dikaji tentang tokoh utama seorang anak bernama Jaya yang baik, pendiam, pemalu, pandai, pekerja keras,bertanggung jawab, dan sabar serta mau melakukan pekerjaanya di Jermal dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab. Jermal merupakan tempat penjaringan ikan di tengah laut yang berlatar di perairan Sumatera. Kerasnya kehidupan di tengah laut serta lingkungan yang keras membuat anak tersebut pernah dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Setelah mengetahui bahwa ayahnya pernah membuangnya, Jermal berusaha mencari ayahnya meskipun sang ayah tidak mau mengakuinya. Pantang menyerah, kegigihan dalam bekerja dan mau memaafkan sang ayah yang pernah membuangnya, dan sebagainya menjadi nilai moral yang diangkat dalam skripsi ini.

(37)

penelitian ini, penulis membahas nilai moral dari segi sosial, sedangkan skripsi ini membahas nilai moral tidak hanya nilai moral sosial, tetapi juga mengkaji moral individual. Skripsi ini membantu penulis dalam mendeskripsikan konsep nilai moral.

4. Hidayah (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Nilai-nilai Moral dalam Novel Negeri Lima Menara karya A.Fuadi”. Dalam skripsi ini, peneliti

menganalisis tentang nilai-nilai moral dari segi moral ketuhanan, moral individu, dan moral sosial. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teori sosiologi sastra sebagai alat memecahkan masalah penelitian.

(38)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai moral bagi masyarakat, salah satunya ialah melalui karya sastra. Karya sastra diharapkan mampu menjadi suatu media pengajaran bagi masyarakat di samping memberi kenikmatan dalam “menyaksikan” berbagai cerita yang dibangun oleh pengarang. Cerita yang “diangkat” pengarang bisa berdasarkan pengamatan terhadap keadaan sosial di sekitar pengarang, bisa juga pengalaman pengarang itu sendiri. Refleksi tindakan sosial di sekitar pengarang kemudian “diangkat” menjadi satu cerita yang memuat ajaran moral di dalamnya. Watt (dalam Endraswara, 2011:23) menyatakan bahwa seni dan sastra adalah refleksi tindakan sosial manusia. Itulah sebabnya, membaca karya sastra sama halnya sedang memetik ajaran penting dari kehidupan. Keterkaitan sastra dan masyarakat sudah tidak dapat ditawar lagi. Sastra menjadi potret keadaan sosial yang memuat ajaran dan hiburan karya sastra dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, mungkin sekali karya sastra akan mempererat persaudaraan, kerukunan, dan peran serta manusia sebagai anggota masyrakat.

(39)

menyeimbangkan rasa dan (2) instructing, artinya memberikan ajaran tertentu yang menggugah semangat hidup. Karya sastra diharapkan mencerminkan aspek didaktif. Karya sastra telah menawarkan ajaran moral, kesadaran moral yang menjadi unsur penting dalam karya sastra.

Salah satu karya sastra yang menanamkan ajaran moral di dalamnya adalah novel. Novel dari segi panjang cerita, (jauh) lebih panjang dari pada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, rinci, detil, serta lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks (Nurgiyantoro, 1995:10). Berbagai permasalahan yang lebih kompleks akan lebih banyak pula memiliki nilai-nilai moral yang ditampilkan pengarang, baik eksplisit maupun implisit.

Menurut KBBI (dalam Nurgiyantoro, 1995:321) mengatakan bahwa secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik burukyang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.\

(40)

hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan.

“Petunjuk” yang diberikan pengarang selengkapnya dijelaskan dalam Buku Teori Pengkajian Fiksi dalam Nurgiyantoro (1995:322) yang dituliskan sebagai

berikut:

Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, tidak berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca.

Masalah moral adalah suatu masalah yang sering dibicarakan oleh banyak orang, seperti penggunaan narkoba, tindakan kekerasan, pergaulan bebas, penyalahgunaan media elektronik, tawuran antarpelajar, perdagangan manusia, pemerkosaan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Dalam novel Jasmine juga mengandung masalah moral dan ajaran moral tertentu yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui tindakan dan tingkah laku tokoh, seperti kejujuran, bertanggung jawab, kerendahan hati, keberanian moral, dan lain sebagainya.

(41)

Magnis Suseno (dalam Budinigsih 2004:24) menyatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.

Moral menjadi tolok ukur dalam hal menilai perilaku seseorang. Ketika seseorang memiliki moral yang baik, tentu akan dapat memilah antara kelakuan yang pantas dan yang tidak pantas, antara yang baik dan yang tidak baik atau antara yang etis dan tidak etis. Kemampuan seperti ini tentunya sangat penting ditumbuhkembangkan dalam setiap personaliti manusia.

(42)

meneruskan kuliah dan melanjutkan hidup. Dalam deras arus kehidupan yang keras, Jasmine dan Dean bertemu, saling menyayangi dan menyembuhkan luka masa lalu.

Selain itu, novel Jasmine merupakan novel yang mendapat penghargaan Indiva sebagai pemenang novel inspiratif. Novel yang bernilai inspiratif tentu akan banyak memuat nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Hal itulah yang menguatkan peneliti untuk mengangkat novel Jasmine karya Riawani J sebagai bahan penelitian.

Nilai moral yang ditampilkan pengarang merupakan refleksi kehidupan masyarakat pada sekitar lingkungan pengarang berada sehingga ada keterkaitan perasaan sosial, kekuatan sosial, dan berbagai aspek sosial lainnya, antara sastra dan masyarakat yang baik sengaja maupun tidak sengaja ditampilkan pengarang. Keterkaitan antara sastra dan masyarakat pada novel Jasmine ini dapat dikaji melalui tinjauan sosiologi sastra.

Hakikat sastra dan sosiologi adalah dua ilmu yang tidak terlepas dari peran manusia dan kehidupannya. Keduanya memiliki kesamaan karena memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat. Akan tetapi, sosiologi lebih mengarah kepada faktual dan objektif, sedangkan sastra lebih dominan pada rekaan atau imajinasi dan cenderung bersifat subjektif (Ratna, 2003:2)

(43)

dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah bentuk nilai moral dalam Novel Jasmine karya Riawani J ? 2. Bagaimanakah faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral tokoh dalam

Novel Jasmine karya Riawani J?

1.3 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini yaitu, menganalisis nilai moral dari segi sosial yang mencakup pada: nilai moral kejujuran, kesediaan bertanggung jawab, keberanian moral, dan kerendahan hati.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan bentuk nilai moral pada novel Jasmine karya Riawani J 2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral tokoh

pada novel Jasmine karya Riawani Elyta

1.4.2Manfaat Penelitian

(44)

2. Menambah khasanah sastra kepada pembaca mengenai studi Sastra Indonesia, khususnya pada pendekatan sosiologi sastra

(45)

ABSTRAK

Karya sastra tidak hanya memberikan kenikmatan atau hiburan bagi pembaca, tetapi juga memuat nilai moral yang mencerminkan nilai-nilai kebenaran menurut pandangan pengarang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk nilai-nilai moral yang ditampilkan pengarang melalui tokoh yang diceritakan pada novel Jasmine karya Riawani Elyta, serta mendeskripsikan faktor yang melatbelakangi perbuatan moral tokoh. Untuk mendapatkan hasil tersebut, dipergunakan teori sosiologi sastra dan teori positivisme moral. Metode yang dipergunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan mendeskripsikan data yang telah diidentifikasi sebelumnya melalui metode baca heuristic dan hermeneutik. Dalam proses pengumpulan data, diperoleh data nilai moral kejujuran, kesediaan bertanggung jawab, keberanian moral, kerendahan hati, serta diperoleh pula faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral tokoh, yaitu motif dan keadaan atau situasi. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan mendeskripsikan data yang telah diidentifikasi dengan cara mereduksi bagian-bagian terkecil yang menunjukkan data nilai moral. Hasil penelitian ini menyarankan, segi analisis moral dalam novel Jasmine bisa dikaji dari segi psikologi.

(46)

ANALISIS NILAI-NILAI MORAL PADA NOVEL

JASMINE KARYA RIAWANI ELYTA

SKRIPSI

Oleh

Teti Herawati

100701025

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(47)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis

Nilai-nilai Moral pada Novel Jasmine Karya Riawani Elyta” adalah benar hasil karya

penulis. Judul tersebut belum pernah dikaji, diteliti, dan dipublikasikan oleh mahasiswa lain guna memperoleh gelar kesarjanaan. Apabila pernyataan saya ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan sesuai aturan di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

(48)

ABSTRAK

Karya sastra tidak hanya memberikan kenikmatan atau hiburan bagi pembaca, tetapi juga memuat nilai moral yang mencerminkan nilai-nilai kebenaran menurut pandangan pengarang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk nilai-nilai moral yang ditampilkan pengarang melalui tokoh yang diceritakan pada novel Jasmine karya Riawani Elyta, serta mendeskripsikan faktor yang melatbelakangi perbuatan moral tokoh. Untuk mendapatkan hasil tersebut, dipergunakan teori sosiologi sastra dan teori positivisme moral. Metode yang dipergunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan mendeskripsikan data yang telah diidentifikasi sebelumnya melalui metode baca heuristic dan hermeneutik. Dalam proses pengumpulan data, diperoleh data nilai moral kejujuran, kesediaan bertanggung jawab, keberanian moral, kerendahan hati, serta diperoleh pula faktor yang melatarbelakangi perbuatan moral tokoh, yaitu motif dan keadaan atau situasi. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan mendeskripsikan data yang telah diidentifikasi dengan cara mereduksi bagian-bagian terkecil yang menunjukkan data nilai moral. Hasil penelitian ini menyarankan, segi analisis moral dalam novel Jasmine bisa dikaji dari segi psikologi.

(49)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Nilai-nilai Moral pada Novel Jasmine Karya Riawani Elyta” disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapat banyak bantuan baik moril maupun materiil. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya. Dr. M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

(50)

3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakuktas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Nurhayati, M.Hum. selaku dosen pembinbing II saya, yang telah juga banyak memberikan waktu, dukungan, dan saran yang berguna dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. selaku dosen penasehat akademik saya, dan seluruh Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakuktas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

6. Kepada kedua orangtuaku yang tersayang. Bapak H.Sitorus dan Mama M.Br Silaban yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dan perkuliahan ini.

7. Kepada seluruh keluargaku yang juga mendukukung dan memberi semangat kepada penulis. Kepada kakakku Leni Marlina Sitorus, Abang Jhon Very Sitorus , Kak Rina yanti Sitorus, adik keponakanku Novita Sari Theodora, adikku Josh. Terimakasih buat dukungan dan doanya.

(51)

9. juga yang telah sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi ini. Buat teman-temanku yang pernah juga menyemangatiku, Vero, Lina, Kak Oot.

10.Buat adikku terkasih juga, Elina Sihombing yang banyak membantu dalam meminjamkan buku buat penulis.

11.Buat seluruh keluarga, Kakak, Abang, Adik, dan teman-teman yang pernah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima setiap kritik dan saran yang berguna dan membangun demi perkembangan ilmu humaniora yang lebih bermanfaat.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

(52)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Batasan Masalah ... 6

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan ... 6

1.4.2 Manfaat ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Nilai moral ... 7

2.1.2 Faktor yang Melatarbelakangi Perbuatan Moral Tokoh ... 9

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Sosiologi Sastra ... 10

2.2.2 Positivisme Moral ... 11

2.3 Tinjauan Pustaka ... 13

(53)

3.2 Sumber Data ... 18

3.3 Teknik Analisis Data ... 19

BAB IV NILAI MORAL DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PERBUATAN MORAL TOKOH PADA NOVEL JASMINE KARYA RIAWANI ELYTA 4.1 Nilai Moral dalam Novel Jasmine ... 21

4.1.1 Nilai Moral Kejujuran ... 21

4.1.2 Kesediaan Bertanggung Jawab ... 24

4.1.3 Keberanian Moral ... ... 26

4.1.3 Kerendahan Hati ... ... 30

4.2 Faktor yang Melatarbelakangi Perbuatan Moral Tokoh ... 31

4.2.1 Motif ... ... 32

4.2.2 Keadaan atau Situasi ... 37

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... ... 41

5.2 Saran ... ... 41

Referensi

Dokumen terkait

Sikap kepribadian moral yang kuat ini terdapat dalam prinsip etika Bushido, seperti halnya kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi, keberanian yang merupakan kemampuan

Bushido mengandung keharusan seorang samurai untuk senantiasa memperhatikan kejujuran, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, kehormatan atau harga diri, kesetiaan

Latar sosial yang dominan pada novel ini adalah keharmonisan, kekayaan, kerukunan, (3) nilai moral yang terdapat dalam novel Rindu karya Tere Liye (a) kerendahan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) terdapat 33 nilai moral dalam novel “Ayah” karya Andrea Hirata yang terbagi dalam 6 pola, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik,

Perumusan masalah penelitian ini adalah unsur intrinsik dan nilai-nilai moral apa sajakah yang terdapat dalam novel Catatan Hati Seorang Istri karya Asma

Dalam skripsi ini, penulis menemukan adanya kesamaan permasalahan yang dikaji yaitu masalah nilai moral dalam ruang lingkup sosial, hanya objek kajian yang berbeda. Rahmi (2013)

Sehingga nilai-nilai keberanian, kejujuran dan kemurahan hati dapat memberikan nilai guna dan efek yang positif bagi pembaca

Latar sosial yang dominan pada novel ini adalah keharmonisan, kekayaan, kerukunan, (3) nilai moral yang terdapat dalam novel Rindu karya Tere Liye (a) kerendahan