• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

CURICULUM VITAE

Nama : Novia Yulinda Sari

Tempat/Tanggal lahir : Medan/ 05 November 1993

Agama : Islam

Alamat : Jl. Tuasan No. 48, Medan

Orang Tua

Ayah : Ir. H. Indra Jaya

Ibu : Hj. Murni Sari Hrp

Riwayat pendidikan:

1. Pendidikan Tk di TK Pertiwi, Medan(1998-1999)

2. Pendidikan SD di SD Pertiwi, Medan(1999-2005)

3. Pendidikan SMP di SMP Negeri 11, Medan (2005-2008)

4. Pendidikan SMA di SMA Negeri 3, Medan (2008-2011)

(2)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT) KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,

NAMA :

UMUR :

Setelah membaca dan mendapat penjelasan serta memahami sepenuhnya tentang

penelitian,

Judul Penelitian : Gambaran Gangguan Pendengaran pada

Lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan

pada Tahun 2014

Nama Peneliti : Novia Yulinda Sari

Instansi Penelitian : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara

Dengan ini menyatakan setuju dan bersedia untuk menjadi subjek penelitian

dengan sukarela dan tanpa paksaan.

Medan, 2014

(Nama dan Tanda

(3)
(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal Y, Platz EA, Niparko JK. Prevalence of Hearing Loss and Differences

by Demographic Characteristics among US Adults : data from the National Health and Nutrition Examination Survey, 1999-2004. Arch intern Med. Jul

28 2008;168(14):1522-1530

Alford, R.L. et al., 2014. American College of Medical Genetics and Genomics Guideline for the Clinical Evaluation and Etiologic Diagnosis of Hearing Loss. Genetics in Medicine 16: 347-355.

Al-Ruwali, N. dan Hagr, A., 2010. Prevalence of Prebycusis in the Elderly Saudi

Arabian Population. Journal of Taibah University Medical Sciences 5(1):

21-26.

Blevins, N.H., 2013. Presbycusis. Available From:

http://www.uptodate.com/contents/presbycusis [Accessed on 15 Mei 2014]

Centers for Disease Control and Prevention, 2011. Types of Hearing Loss.

Available from: http://www.cdc.gov/ncbddd/hearingloss/types.html

[Accesed 13 May 2014].

Ciorba, A., et al., 2012. The Impact of Hearing Loss on the Quality of Life of

Elderly Adults. Clin Interv Aging 7: 159-163.

Dalton DS, Cruickshanks KJ, Klein BE, Klein R, Wiley TL, Nondahl DM. The

Impact of Hearing Loss on quality of life in older adults. Gerontologist. 2003;43(5):661-668.

Gates, G.A., dan Mills, J.H., 2005. Presbycusis. The Lancet 366(9491):

1111-1120.

Hee-Nam, K. et al., 2000. Incidence of Prebycusis of Korean Populations in

(5)

Howard, D., 2007. Intercultural Communivations and Conductive Hearing Loss.

First Peoples Child & Family Review 3(4): 96-105.

Kujawa, S.G. dan Liberman, M.C., 2006. Acceleration of Age-Related Hearing

Loss by Early Noise Exposure: Evidence of a Misspent Youth. The Journal

of Neuroscience 26(7): 2115-2123.

Muhaimeed, H.A. et al., 2002. Conductive Hearing Loss: Investigation of

Possible Inner Ear Origin in Three Cases Studies. The Journal of

Laryngology & Otology 116: 942-945

Papalia, D.E., Olds, S.W. dan Feldman, R.D., 2005. Human Development 10th

Edition. Dalam: Zulsita, A., Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H.

Adam Malik Medan dan Puskesmas Petisah Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rodriguez-Paris, J. et al., 2008. Genetic Analysis of Prebycusis by Arrayed

Primer Extension. Ann Clin Lab Sci Autumn 28(4): 352-360.

Roland, P.S., 2014. Presbycusis. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/994159-overview [Accesed 13 May

2014].

Setiati, S., Harimurti, K. dan Roosheroe, A.G., 2006. Proses Menua dan Implikasi

Kliniknya. Dalam: Zulsita, A., Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H.

Adam Malik Medan dan Puskesmas Petisah Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Shah, R.K., 2013. Hearing Impairment. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/994159-overview [Accesed 13 May

2014].

Shemesh, R., 2010. Hearing Impairment: Definitions, Assesment, and

(6)

Silva, L.P.A.d. et al., 2006. Etiology of Hearing Impairment in Children and

Adolescents of A Reference Center APADA in the City of Salvador, State

of Bahia. Rev. Bras. Otorrinolaringol 72(1)

Smith, R.J.H. et al., 2014. Deafness and Hereditary Hearing Loss Overview.

University of Washington, Seattle.

Soesilorini, M., 2011. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap

Prebikusis di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan

THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Soetirto, I., Hendarmin, H., dan Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran

(Tuli). In: Soepardi, E.A. et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorokan Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 10-22.

Sousa, C.S.d. et al., 2009. Risk Factors for Prebycusis in a Socio-Economic

Middle-Class Sample. Braz J. Otorhinolaryngol 75(4)

Susanto, 2010. Risiko Gangguan Pendengaran pada Neonatus

Hiperbilirubinemia. Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Anak Universitas

Diponegoro, Semarang.

Suwento, R. dan Hendarmin, H., 2007. Gangguan Pendengaran pada Geriatri. In:

Soepardi, E.A. et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorokan Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 43-45.

Turner, J.S. dan Per-Lee, J.H., 1990. Auditory Dysfunction: Hearing Loss.Clinical

(7)

World Health Organization, 2014. Prevention of Blindness and Deafness.

Available From:

http://www.who.int/pbd/deafness/hearing_impairment_grades/en/ [Accessed

on 3 Juni 2014]

Zhang, M., Gomaa, N., dan Ho, A., 2013. Presbycusis: A Critical Issue in Our

Community. Ijohns 2(4): 111-120.

Zulsita, A., 2010. Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H. Adam Malik

(8)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep pada

penelitian ini adalah:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Defenisi Operasional

a. Lansia menurut undang-undang No.13 tahun 1998 merupakan seseorang

dengan usia di atas 60 tahun.

b. Tipe-tipe gangguan pendengaran di bagi tiga, yaitu :

1. Tuli Konduktif

Tuli konduktif dapat terjadi apabila terdapat lesi pada telinga luar

maupun telinga tengah yang dapat menyebabkan gangguan penghantaran /

konduksi gelombang suara untuk menggetarkan gendang telinga /

membran timpani.

a. Cara Ukur : Observasi data sekunder

b. Alat Ukur : Audiometri nada murni

c. Hasil Pengukuran : AC dan BC lebih dari 25 dB

AC dan BC berimpit (tidak ada gap)

d. Skala Pengukuran : Nominal

(9)

2. Tuli Sensorineural

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

(2011), tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran yang terjadi

sebagai akibat adanya gangguan pada sepanjang telinga bagian dalam

ataupun gangguan pada fungsi saraf pendengaran. Tuli sensorineural dapat

dibagi menjadi tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.

a. Cara ukur : Observasi data sekunder

b. Alat ukur : Audiometri nada murni

c. Hasil pengukuran : BC normal atau kurang dari 25 dB

AC lebih dari 25 dB

Antara AC dan BC terdapat gap

d. Skala pengukuran : Nominal

3. Tuli Campuran

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan

pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis

sensorineural.

a. Cara ukur : Observasi data sekunder

b. Alat ukur : Audiometri nada murni

c. Hasil pengukuran : AC dan BC lebih dari 25 dB

Antara AC dan BC terdapat gap

d. Skala pengukuran : Nominal

c. Derajat penurunan fungsi pendengaran dapat dihitung dengan

menggunakan indeks Fletcher, yaitu :

(10)

Hasil dari pengukuran kemudian akan dikategorikan menjadi enam

kategori yaitu normal, tuli ringan, tuli sedang, tuli berat, dan tuli sangat berat

berdasarkan International Standard Organization, yaitu :

• 0-25 dB : Normal

• 26-40 dB : Tuli ringan

• 41-55 dB : Tuli sedang

• 56-70 dB : Tuli sedang berat

• 71-90 dB : Tuli berat

(11)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Cross Sectional Study. Desain penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur audiometri para lansia hanya dalam sekali pengukuran.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai September 2014. Pengambilan data dilaksanakan di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

Kriteria inklusi:

1. Para lansia yang ada di Panti Jompo Karya Kasih Medan 2. Bersedia sebagai responden penelitian

Kriteria eksklusi:

1. Lansia yang tidak kooperatif saat pemeriksaan audiometri 2. Lansia yang sedang sakit

3. Lansia yang tidak berada ditempat pada saat penelitian

4.4 Metode Pengumpulan Data

(12)

4.4.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang langsung diperoleh pada saat penelitian berlangsung, pada penelitian ini yang menjadi data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil dari pemeriksaan kemudian akan dikategorikan ke dalam enam kategori seperti yang sudah ditentukan sebelumnya. Selain itu, pola penurunan kemampuan pendengaran dengan intensitas frekuensi nada pada audiometri juga akan ditentukan.

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang didapatkan dari pihak panti jompo perihal populasi para lansia.

4.5 Metode Analisa Data

(13)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Jompo Karya Kasih Medan, yang mana

panti ini diinspirasikan oleh seorang wanita bernama Martha Ponikem yang

berusia 72 tahun. Martha Ponikem hidup tanpa keluarga. Wanita ini ditemukan

oleh serdadu Belanda di satu jalan Martapura Kabupaten Langkat pada tahun

1950. Karena serdadu Belanda merasa kasihan, mereka meminta agar wanita itu

diasuh dan dirawat oleh suster-suster St Yoseph.

Suster Ildefonsa menerima Martha Ponikem dengan baik. Setelah Suster

Ildefonsa Van De Watering mengasuh dan merawat Martha Ponikem dengan

baik, dia mengalami kendala bagaimana usaha supaya Martha Ponikem bisa terus

dirawat dengan baik. Sejak itu pada Februari 1950, Suster Ildefonsa mendirikan

sebuah rumah seperti yayasan yang dinamakan Karya Kasih pada tanggal 17

Oktober 1950.

Setelah berdirinya panti tersebut, kemudian Suster Ildefonsa mencari

beberapa suster dari teman lamanya dahulu yang bersedia untuk berpartisipasi

aktif dalam kegiatan merawat beberapa lansia di panti tersebut.

Sampai pada masa sekarang yaitu dari sejak tahun 1990 sampai pada tahun

2014. Penanggungjawab panti Karya Kasih Medan diserahkan kepada seorang

suster asal Kabanjahe yang bernama Suster Theresia.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang

(14)

Januari 2013 sampai dengan September 2014. Jumlah sampel lansia yang diambil

yaitu sebanyak 75 orang.

5.1.1 Karakteristik Individu

Seperti penjelasan sebelumnya, pada penelitian pengambilan sampel

diambil secara menyeluruh. Pada penelitian ini diambil sampel sebanyak 75 lansia

karena 37 lansia dari 112 lansia tersebut tergolong kriteria eksklusi pada saat

dilakukan penelitian. Dari keseluruhan sampel pada penelitian ini, karakteristik

individu yang dapat diamati adalah kelompok usia dan jenis kelamin.

Berdasarkan data-data yang didapatkan pada saat penelitian, dapat dibuat

karakteristik subjek penelitian sebagai berikut :

Tabel 5.1 Tabel distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik kelompok usia

Kelompok Usia N %

61-70 tahun 28 37.3

71-80 tahun 33 44.0

>80 tahun 14 18.7

Total 75 100.0

Berdasarkan tabel 5.1 diperoleh kelompok usia dengan sampel terbanyak

yaitu pada kelompok usia 71-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%). Urutan

kedua yaitu pada kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 28 orang (37.3%).

Pada peringkat terakhir yaitu pada kelompok usia diatas 80 tahun dengan jumlah

14 orang (18.7%).

5.1.2 Jenis Kelamin

Pada penelitian ini dapat dilihat juga karakteristik sampel melalui jenis

kelamin pada masing-masing sampel yang didata pada saat pelaksanaan penelitian

(15)

kelompok secara garis besar yaitu kelompok jenis kelamin laki-laki dan kelompok

jenis kelamin perempuan.

Tabel 5.2 Tabel distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik jenis kelamin.

Jenis Kelamin N %

Laki-laki 30 40.0

Perempuan 45 60.0

Total 75 100.0

Dari tabel 5.2 diatas dapat diketahui bahwa lansia di Panti Jompo Karya

Kasih Medan dengan jumlah terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 45

orang (60%), sedangkan laki-laki berjumlah 30 orang (40%).

5.1.3 Hasil Analisis Data

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis secara deskriptif pada seluruh

lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan yang dilakukan pemeriksaan

audiometri nada murni. Hasil analisis data meliput dua tabel yang berupa

persentase gangguan pendengaran pada telinga kanan dan persentase gangguan

pendengaran pada telinga kiri.

Tabel 5.3 Tabel distribusi frekuensi antara jenis kelamin dengan hasil audiogram

Jenis Normal Gangguan Pendengaran

Kelamin n % n %

Laki-laki 1 1.3 29 38.7

Perempuan 0 0 45 60.0

Total 1 1.3 74 98.7

Berdasarkan pada tabel 5.3, didapatkan hasil distribusi frekuensi antara

jenis kelamin dengan hasil audiogram yaitu laki-laki normal sebanyak 1 orang

(16)

gangguan pendengaran sebanyak 29 orang (38.7%) dan perempuan yang

mengalami gangguan pendengaran sebanyak 45 orang (60%).

Tabel 5.4 Tabel distribusi frekuensi antara kelompok usia dengan hasil

audiogram.

Dari tabel 5.4 didapatkan hasil distribusi frekuensi antara kelompok usia

dengan hasil audiogram yaitu kelompok usia 61-70 tahun normal sebanyak 1

orang (1.3%), tidak ada yang normal pada kelompok usia 71-80 tahun dan tidak

ada yang normal pada kelompok usia diatas 80 tahun. Gangguan pendengaran

pada kelompok usia 60-70 tahun sebanyak 26 orang (34.7%), kelompok usia

71-80 yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 32 orang (42.7%),

kelompok usia diatas 80 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak

16 orang (21.3%).

Tabel 5.5 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram jenis gangguan

pendengaran pada telinga kanan dan telinga kiri.

(17)

Berdasarkan pada tabel 5.5, hasil audiogram pada telinga kanan yaitu

normal sebanyak 4 orang (5.3%), tuli sensorineural sebanyak 15 orang (20%), tuli

konduktif sebanyak 5 orang (6.7%), tuli campur sebanyak 51 (68%). Pada telinga

kiri juga didapatkan normal sebanyak 1 orang (1.3%), tuli sensorineural sebanyak

19 orang (25.3%), tuli konduktif sebanyak 2 orang (2.7%), tuli campur sebanyak

53 orang (70.7).

Tabel 5.6 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram derajat gangguan

pendengaran pada telinga kanan dan telinga kiri.

Hasil Telinga Kanan Telinga Kiri

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh derajat gangguan pendengaran

paling banyak pada telinga kanan yaitu tuli campur berat dengan jumlah 20 orang

(26.7%) dan derajat gangguan pendengaran paling banyak pada telinga kiri yaitu

(18)

Tabel 5.7 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram derajat gangguan

pendengaran dengan kelompok usia pada telinga kanan.

Hasil Audiogram Telinga

Dari hasil tabel distribusi frekuensi diatas antara kelompok masing-masing

usia para lansia dengan hasil audiogram pada telinga kanan para lansia didapatkan

derajat gangguan pendengaran tuli campur berat pada usia 71-80 tahun dengan

(19)

Tabel 5.8 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram derajat gangguan

pendengaran dengan kelompok usia pada telinga kiri.

Hasil Audiogram Telinga Kiri Usia

61-70 tahun

Dari hasil tabel distribusi frekuensi diatas antara kelompok masing-masing

usia para lansia dengan jenis serta derajat gangguan pendengaran pada telinga

kanan para lansia didapatkan derajat gangguan pendengaran tuli campur berat

(20)

5.2 Pembahasan

Dari jumlah sampel yang didapatkan berdasarkan karakteristik kelompok

usia yaitu kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 28 orang (37.3%), kelompok

usia 7-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%), kelompok usia diatas 80 tahun

dengan jumlah 14 orang (8.7%).

Pada hasil penelitian yang dilakukan, kelompok usia pada sampel

penelitian yaitu kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 26 orang (34.7%),

kelompok usia 71-80 tahun dengan jumlah 32 orang (42.7%), kelompok usia >80

tahun dengan jumlah 16 orang (21.3%). Hasil penelitian ini sama dengan hasil

penelitian lain (Blevins, 2013) yang menyatakan sekitar umur antara 71-80 tahun

yang merupakan jenis kelompok usia dengan tingkat terbanyak.

Dari jumlah sampel yang didapatkan berdasarkan karakteristik jenis

kelamin yaitu jenis kelamin perempuan dengan jumlah 45 orang (60%) lebih

banyak dibandingkan jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 30 orang (40%).

Pada hasil penelitian ini, jenis kelamin yang mengalami gangguan

pendengaran didapatkan bahwa kelompok jenis kelamin perempuan dengan

jumlah 45 orang (60%) lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki

yaitu dengan jumlah 29 orang (38.7%). Hasil penelitian ini berbeda dengan

penelitian (Agrawal,1999) dan (Dalton, 2003) yang menyatakan jenis kelamin

laki-laki lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran dibandingkan jenis

kelamin perempuan, karena pada laki-laki lebih sering terpapar bising dan lebih

banyak faktor resiko dibandingkan perempuan. Pada penelitian ini didapatkan

perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, kemungkinan karena jumlah

sampel jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan literatur yang didapat, gangguan pendengaran yang paling

sering terjadi pada usia lanjut ialah tuli sensorineural (Smith, 2014). Namun pada

penelitian ini, jenis gangguan pendengaran paling yang paling banyak pada

telinga kanan yaitu tuli campur sebanyak 51 orang (68%). Jenis gangguan

(21)

orang (70.7%). Tuli sensorineural pada lanjut usia lebih dikarenakan faktor

degeneratif seperti contohnya presbikusis, sedangkan tuli campur pada lanjut usia

lebih berhubungan dengan otosklerosis (Shemesh, 2010). Penelitian ini

membutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk menetapkan penyebab gangguan

(22)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 75 sampel lansia di panti

jompo Karya Kasih Medan tentang gambaran gangguan pendengaran pada lanjut

usia di panti jompo Karya Kasih Medan pada tahun 2014 dari bulan

Agustus-September, dapat ditarik kesimpulan berupa :

1. Proporsi lansia yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 74

orang (98.7%) dengan karakteristik demografi sebagai berikut :

a. Kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 26 orang (34.7%),

kelompok usia 71-80 tahun dengan jumlah 32 orang (42.7%),

kelompok usia >80 tahun dengan jumlah 16 orang (21.3%).

b. Jenis kelamin perempuan dengan jumlah 45 orang (60%) lebih banyak

daripada jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 29 orang (38.7%).

2. Jenis gangguan pendengaran pada telinga kanan yaitu tuli sensorineural

sebanyak 15 orang (20%), tuli konduktif sebanyak 5 orang (6.7%), tuli

campur sebanyak 51 orang (68%). Jenis gangguan pendengaran pada

telinga kiri yaitu tuli sensorineural sebanyak 19 orang (25.3%), tuli

konduktif sebanyak 2 orang (2.7%), tuli campur sebanyak 53 orang

(70.7%).

3. Derajat gangguan pendengaran yang paling banyak dijumpai pada telinga

kanan yaitu tuli campur berat dengan jumlah 20 orang (26.7%). Derajat

gangguan pendengaran yang paling banyak dijumpai pada telinga kiri

(23)

6.2. Saran

1. Penelitian ini diharapkan mampu mengedukasi pembaca tentang gambaran

gangguan pendengaran pada lanjut usia.

2. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pada para lansia

untuk mengurangi faktor resiko terjadinya gangguan pendengaran pada

para lansia

3. Penelitian ini membutuhkan penelitian lanjutan untuk lebih mendapatkan

penyebab gangguan pendengaran pada lansia.

4. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pedoman untuk

penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini ataupun untuk penelitian

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Pendengaran 2.1.1 Definisi

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara sebagian ataupun

keseluruhan untuk mendengarkan suara pada salah satu maupun kedua telinga

(Susanto, 2010). Definisi lain mengatakan bahwa, gangguan pendengaran

merupakan penurunan persepsi kekerasan suara dan atau disertai ketidakjelasan

dalam berkata-kata. Unit kuantitatif yang digunakan untuk mengukur kekerasan

suatu suara adalah desibel. Pada orang-orang normal, ambang batas (treshold)

pendengaran adalah 0-10 desibel. Pada orang-orang dengan gangguan

pendengaran, didapati peningkatan ambang batas pendengaran disertai dengan

terganggunya proses persepsi suara dan proses pencapaian pengertian dari suatu

percakapan (Turner dan Per-Lee, 1990).

2.1.2 Klasifikasi

Gangguan pendengaran secara umum dapat dibagi menjadi tiga jenis,

yaitu:

a. Tuli konduktif

Tuli konduktif dapat terjadi apabila terdapat lesi pada telinga luar

maupun telinga tengah yang dapat menyebabkan gangguan penghantaran /

konduksi gelombang suara untuk menggetarkan gendang telinga /

membran timpani (Muhaimeed, dkk, 2002). Beberapa contoh kelainan

pada telinga luar yang dapat menyebabkan terjadinya tuli konduktif adalah

atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta,

serta osteoma liang telinga. Sedangkan, contoh-contoh kelainan pada

telinga tengah yang mampu menyebabkan terjadinya tuli konduktif adalah

(25)

timpanosklerosis, hemotimpanum, serta dislokasi tulang-tulang

pendengaran (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).

Menurut penelitian, tuli konduktif banyak dijumpai pada

orang-orang suku Aborigin di Australia. Tuli konduktif pada anak-anak suku

Aborigin paling banyak disebabkan oleh infeksi telinga. Tuli konduktif

pada orang dewasa suku Aborigin biasanya merupakan kelanjutan /

sequelae dari infeksi telinga pada masa anak-anak yang tidak diatasi dengan baik. Akibat dari banyaknya kejadian tuli konduktif pada suku ini,

akhirnya menyebabkan timbulnya budaya “absence and avoidance”

(Howard, 2007).

b. Tuli sensorineural

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

(2011), tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran yang terjadi

sebagai akibat adanya gangguan pada sepanjang telinga bagian dalam

ataupun gangguan pada fungsi saraf pendengaran. Tuli sensorineural dapat

dibagi menjadi tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.

Tuli sensorineural koklea dapat disebabkan oleh terjadinya aplasia

yang biasanya kongenital, labirinitis yang dapat disebabkan oleh bakteri

maupun virus, intoksikasi obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin,

garamisin, neomisin, kina, asetosal ataupun alkohol. Selain

penyakit-penyakit di atas, tuli sensorineural koklea dapat juga terjadi diakibatkan

oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik,

serta pajanan bising yang berlama-lama. Tuli sensorineural retrokoklea

biasanya disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum,

mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, serta kelainan pada otak

(26)

Kerusakan telinga oleh obat-obatan, suara keras / bising yang

berlama-lama, serta usia lanjut akan menyebabkan terjadinya gangguan

dalam menerima nada tinggi pada bagian basal koklea. Gangguan

pendengaran yang disebabkan oleh pajanan bising yang berlama-lama

disebut juga dengan noise-induced hearing loss (NIHL). Sedangkan,

gangguan pendengaran yang disebabkan oleh proses penuaan pada usia

lanjut dapat disebut dengan presbikusis (Soetirto, Hendarmin, dan

Bashiruddin, 2007).

Kedua jenis tuli sensorineural baik koklea maupun retrokoklea

dapat dibedakan dari pemeriksaan audiometri khusus. Tuli sensorineural

retrokoklea cenderung lebih mengancam jiwa bila dibandingkan dengan

tuli sensorineural koklea. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tuli

sensorineural retrokoklea paling sering dicetuskan oleh adanya trauma

ataupun kelainan pada otak. Namun, tuli sensorineural yang paling sering

ditemukan pada orang dewasa diatas 40 tahun merupakan tuli

sensorineural jenis koklea (Turner dan Per-Lee, 1990).

c. Tuli Campuran

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran

jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula

gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya

otesklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan

sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran

jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran

(misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media . Kedua

gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala

yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto,

Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

Klasifikasi gangguan pendengaran menurut waktu kejadiannya dapat

dibagi pula menjadi dua jenis, yaitu:

(27)

Gangguan pendengaran prelingual biasanya timbul sebelum

terjadinya proses perkembangan kemampuan berbahasa pada seseorang.

Seluruh gangguan pendengaran yang bersifat kongenital biasanya masuk

ke dalam gangguan pendengaran prelingual (Smith, dkk, 2014). Menurut

Shemesh (2010), orang-orang dengan gangguan pendengaran prelingual

biasanya lebih terbatas secara fungsional bila dibandingkan dengan

orang-orang dengan gangguan pendengaran yang telah melalui proses berbahasa.

b. Postlingual

Gangguan pendengaran postlingual terjadi setelah berkembangnya

kemampuan berbahasa pada seseorang. Biasanya terjadi setelah berusia 6

tahun. Gangguan pendengaran postlingual jauh lebih jarang terjadi bila

dibandingkan dengan gangguan pendengaran prelingual. Biasanya

gangguan pendengaran postlingual yang terjadi secara tiba-tiba disebabkan

oleh meningitis ataupun penggunaan obat-obat ototoksik seperti

gentamisin (Smith, dkk, 2014).

Terlepas dari jenis serta onset kejadian gangguan pendengaran, American

National Standards Institute membagi gangguan pendengaran berdasarkan ambang batas pendengaran seseorang, seperti berikut (Shah, 2013):

a. Slight hearing loss : 16-25 dB b. Mild hearing loss : 26-40 dB c. Moderate hearing loss : 41-55 dB

d. Moderately Severe hearing loss : 56-70 dB e. Severe hearing loss : 71-90 dB

(28)

2.2 Lansia 2.2.1 Definisi

Menurut undang-undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia,

dituliskan bahwa lansia merupakan seseorang dengan usia di atas 60 tahun.

Dalam menentukan batasan penduduk lanjut usia, terdapat tiga aspek yang harus

diperhatikan, yaitu: aspek biologi, ekonomi, dan sosial (BKKBN, 1998 dalam

Zulsita, 2011).

Dari aspek biologis, penduduk usia lanjut adalah penduduk yang

mengalami proses penuaan yang ditandai dengan menurunnya berbagai fungsi

fisiologis tubuh. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat adanya perubahan dalam

struktur serta fungsi dari sel, jaringan serta organ. Dari aspek ekonomi, lansia

seringkali dipandang sebagai beban bagi keluarga dan juga masyarakat. Banyak

yang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan manfaat

yang berarti. Bila dipandang dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan

suatu kelompok sosial tersendiri. Di negara Barat, para lansia menduduki

tingkatan sosial di bawah kaum muda. Hal ini diakibatkan oleh menurunnya

pengaruh para lansia dalam proses pengambilan keputusan. Lain halnya dengan

negara Barat, di Indonesia tingkatan sosial para lansia menduduk tingkatan

tertinggi. Sehingga para lansia harus dihormati oleh semua orang yang lebih muda

(Zulsita, 2011).

2.2.2 Konsep Menua

Menua adalah proses perubahan seseorang yang pada awalnya merupakan

seorang dewasa sehat menjadi seseorang yang lebih rentan / frail yang disertai

dengan penurunan sebagian besar sistem fisiologis yang mendorong kepada

peningkatan kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Setiati,

Harimurti, dan Roosheroe, 2006 dalam Zulsita, 2011).

Terdapat dua macam penuaan, antara lain penuaan primer dan penuaan

(29)

yang tidak dapat dihindari. Penuaan ini dimulai dari masa awal kehidupan dan

terus berlangsung selama bertahun-tahun. Sedangkan, penuaan sekunder

merupakan proses penuaan yang disebabkan oleh penyakit, kesalahan, ataupun

penyalahgunaan faktor-faktor / bahan-bahan yang sebenarnya dapat dihindari

(Papalia, Olds, dan Feldman, 2005 dalam Zulsita, 2011).

2.2.3 Aspek Biologi Penuaan

Dari aspek biologi, para lansia akan mengalami perubahan-perubahan fisik

selama proses kehidupannya. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat berupa

perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem

kardiovaskuler, sistem pengatur suhu tubuh, sistem pernafasan, sistem

pencernaan, sistem perkemihan, sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, dan

juga perubahan-perubahan mental yang berkaitan dengan perubahan ingatan

(memori) (Watson, 2003 dalam Zulsita, 2011). Berdasarkan perbandingan yang

diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar

fungsi organ akan mengalami penurunan sekitar 1% pertahun, yang dimulai dari

usia 30 tahun (Zulsita, 2011).

Terdapat beberapa teori yang mendukung tentang proses penuaan, salah

satunya adalah teori “radikal bebas”. Teori “radikal bebas” diperkenalkan pertama

kali pada tahun 1956. Teori ini menyatakan bahwa produk dari hasil metabolisme

oksidatif yang sangat reaktif, radikal bebas, dapat berreaksi dengan berbagai

komponen penting pada seluler. Radikal bebas dapat berreaksi dengan protein,

DNA, dan lipid di seluler yang menyebabkan terganggunya fungsi sel lain

(Setiati, Harimurti, dan Roosheroe, 2006 dalam Zulsita, 2011).

2.3 Gangguan Pendengaran pada Lansia

Gangguan pendengaran pada lansia sering juga disebut dengan

presbikusis. Presbikusis merupakan gangguan pendengaran sensorineural yang

terjadi pada orang-orang usia lanjut. Gangguan pendengaran ini ditandai dengan

(30)

yang biasanya terjadi secara bilateral / mengenai kedua buah telinga. Presbikusis

menjadi masalah penting di lingkungan sosial. Akibat dari gangguan ini, biasanya

para lansia memutuskan untuk mengurangi penggunaan telepon yang akhirnya

menyebabkan menurunkan kemampuan bersosialisasi dengan orang lain serta

semakin menurunkan fungsi pengindraan (Roland, 2014).

2.3.1 Epidemiologi

Kejadian presbikusis di seluruh dunia semakin meningkat setiap tahunnya.

Kejadian ini mungkin saja berhubungan dengan semakin meningkatnya jumlah

penduduk di dunia. Di Amerika, diperkirakan sekitar 25-30% orang-orang dengan

rentang usia 65-74 tahun mengalami gangguan pendengaran. Selanjutnya,

kejadian gangguan pendengaran ini meningkat sampai 40-45% pada orang-orang

yang berusia lebih dari 75 tahun (Roland, 2014). Penelitian yang dilakukan di

Brazil didapati prevalensi prebikusis adalah sekitar 36,1% (Sousa, dkk, 2009). Di

Arab Saudi, ditemukan prevalensi kejadian prebikusis pada subjek penelitian yang

berusia 46-50 tahun adalah sekitar 10,17%, dan meningkat menjadi 38,3% pada

subjek penelitian dengan rentang usia 71-75 tahun (Al-Ruwali dan Hagr, 2010).

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan di Korea yang tepatnya berlokasi di Seoul,

provinsi Kyunggi dan Kangwon, menunjukkan bahwa kejadian presbikusis pada

orang-orang berusia 65 tahun ke atas adalah sekitar 43,4% (Hee-Nam, dkk, 2000).

Jumlah penduduk di Indonesia yang berusia lebih dari 60 tahun pada tahun 2005

adalah sekitar 19,9 juta orang dengan prevalensi presbikusis sebesar 8,48%.

Diperkirakan penderita presbikusis di Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami

peningkatan mencapai 4 kali lipat dari sebelumnya (Soesilorini, 2011).

2.3.2 Faktor Risiko dan Etiologi

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya

presbikusis, yaitu : usia, jenis kelamin laki-laki, diabetes melitus, serta gangguan

pendengaran yang diturunkan. Faktor risiko lain yang juga disebut-sebut dapat

menyebabkan presbikusis adalah penyakit-penyakit jantung, merokok, serta

(31)

Walaupun penyebab pasti presbikusis masih belum diketahui secara pasti,

namun telah diterima secara umum bahwa penyebab presbikusis adalah

multifaktorial. Berikut beberapa penyebab yang dipercaya dapat menyebabkan

terjadinya presbikusis:

a. Aterosklerosis

Pada keadaan arterosklerosis, dapat terjadi berkurangnya sampai

hilangnya perfusi serta oksigenasi ke koklea. Keadaan hipoperfusi ini

menyebabkan terbentuknya metabolit berupa reactive oxygen dan juga

radikal bebas. Akibat dari penumpukan oksidan ini, menyebabkan

terjadinya kerusakan pada struktur telinga dalam serta DNA mitokondria

yang berada pada sel-sel di telinga dalam. Akibat dari

kerusakan-kerusakan inilah berkembang presbikusis (Roland, 2014).

b. Diet dan metabolisme

- Diabetes diketahui dapat mempercepat proses pembentukan

aterosklerosis yang selanjutnya akan menyebabkan gangguan perfusi

serta oksigenasi dari koklea.

- Pada keadaan diabetes juga didapati proliferasi dan hipertropi dari

tunika intima di endotel yang juga nantinya akan menyebabkan

gangguan perfusi ke koklea.

- Penelitian yang dilakukan oleh Le dan Keithley mendemonstrasikan

bahwa diet tinggi antioksidan seperti vitamin C dan E dapat

mengurangi progresifitas presbikusis pada tikus (Roland, 2014).

c. Paparan terhadap bising

Dari penelitian yang dilakukan menggunakan model dari tikus

yang memiliki struktur telinga menyerupai manusia, didapati bahwa

paparan terhadap bising mampu meningkatkan kejadian presbikusis.

Paparan bising menyebabkan rusaknya sel-sel di telinga termasuk di

dalamnya sel yang berasal dari spiral ligament, sel fibrosit tipe IV. Dari

(32)

fibrosit tipe IV dapat menyebabkan perubahan ambang batas pendengaran

yang bermakna. Gambaran histopatologi pada tikus yang terpapar bising

menunjukkan bahwa terjadi hilangnya sel-sel spiral ganglion, yang

merupakan badan sel dari saraf aferen di koklea, yang bersinaps dengan

sel-sel rambut dalam (inner hair cells). Intinya, paparan bising pada usia

muda dapat meningkatkan risiko terjadinya presbikusis seiring dengan

bertambahnya usia seseorang (Kujawa dan Liberman, 2006).

d. Genetik

Disebut-sebut bahwa genetik berperan penting dalam menentukan

kerentanan seseorang terhadap faktor-faktor lingkungan seperti bising,

obat-obat ototoksik dan bahan-bahan kimia, serta stress. Pada penelitian

lain didapati bahwa terdapat beberapa gen yang mengalami mutasi pada

penderita presbikusis, yaitu gen GJB2 dan gen SLC26A4. Selain itu,

didapati bahwa orang-orang yang mengalami dua mild mutations pada gen

GJB2 akan terjadi peningkatan risiko berkembangnya presbikusis dini

(Roland, 2014 dan Rodriguez-Paris, dkk, 2008).

2.3.3 Patofisiologi Klinik

Tanda utama dari presbikusis adalah terjadinya penurunan sensitivitas

ambang batas pendengaran pada suara berfrekuensi tinggi. Perubahan ini dapat

terjadi pada dewasa muda, tetapi terutama secara jelas terjadi pada orang-orang

dengan usia 60 tahun ke atas. Seiring bertambahnya usia, penurunan sensitivitas

ini akan mencapai ke suara dengan frekuensi yang rendah pula. Pada kebanyakan

kasus presbikusis dijumpai terjadinya kehilangan sel rambut luar (outer hair cell)

pada koklea bagian basal (Soesilorini, 2011).

Faktor lainnya seperti genetik, usia, serta ototoksik dapat memperberat

proses penurunan fungsi pendengaran seseorang. Pada penelitian yang dilakukan

oleh Mills dkk, didapati bahwa terjadi penurunan fungsi pendengaran yang

(33)

tempat yang bising. Kedua faktor ini sama-sama berperan dalam menyebabkan

terjadinya kerusakan koklea dalam menerima suara dengan frekuensi tinggi

(Soesilorini, 2011).

2.3.4 Klasifikasi

Berdasarkan perubahan patologi yang terjadi, Schuknecht menggolongkan

prebikusis menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Sensorik

Pada presbikusis jenis ini dapat dijumpai lesi yang terbatas pada

koklea. Dijumpai adanya atrofi pada organ corti, serta berkurangnya

jumlah sel-sel rambut dan sel-sel penunjang di koklea.

b. Neural

Pada jenis neural, dijumpai berkurangnya sel-sel neuron pada

koklea serta pada jaras auditorik.

c. Metabolik (strial prebycusis)

Presbikusis dengan jenis metabolik dapat terjadi sebagai akibat

terjadinya atrofi stria vaskularis yang akhirnya menyebabkan

terganggunya fungsi sel serta keseimbangan biokimia / bioelektrik pada

koklea.

d. Mekanik (cochlear presbycusis)

Presbikusis koklear terjadi akibat perubahan gerakan mekanik pada

duktus koklearis. Selain itu, dijumpai pula atrofi ligamen spiralis serta

kekakuan pada membran basalis.

Menurut penelitian, prevalensi presbikusis terbanyak adalah presbikusis

dengan jenis metabolik dengan persentase sebesar 34,6%. Berikutnya adalah jenis

neural sebesar 30,7%, mekanik 22,8%, dan sensorik sebesar 11,9% (Suwento dan

(34)

2.3.5 Derajat Ketulian

Derajat penurunan fungsi pendengaran dapat dihitung dengan

menggunakan indeks Fletcher, yaitu:

������������ = �� 500�� +�� 1000�� +�� 2000�� +��4000�� 4

Dalam menentukan derajat penurunan fungsi pendengaran juga dapat

diketahui hanya dari hantaran udaranya saja (AC / air conduction). Penentuan ini

dilakukan menurut International Standard Organization, yaitu:

a. 0-25 dB : Normal

Penegakan diagnosis gangguan pendengaran pada lanjut usia dapat

dilakukan dengan beberapa pemeriksaan seperti:

*Otoskopik

Pada pemeriksaan otoskopik akan dijumpai penampakan membran timpani yang

suram, serta kekakuan / berkurangnya mobilitas dari membran timpani pada tuli

konduktif.

Tekniknya dengan : Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan

kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang

telinga dan membran timpani. Atur lampu kepala supaya fokus dan tidak

mengganggu pergerakan, kira kira 20-30 cm di depan dada pemeriksa dengan

sudut kira kira 60 derajat, lingkaran focus dari lampu, diameter 2-3 cm.

Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang telinga tidak lurus. Untuk

(35)

depan. Pada anak, daun telinga ditarik ke bawah. Dengan demikian liang telinga

dan membran timpani akan tampak lebih jelas. Liang telinga dikatakan lapang

apabila pada pemeriksaan dengan lampu kepala tampak membran timpani secara

keseluruhan (pinggir dan reflex cahaya) Seringkali terdapat banyak rambut di

liang telinga, atau liang telinga sempit (tak tampak keseluruhan membran timpani)

sehingga perlu dipakai corong telinga. Pada anak oleh karena liang telinganya

sempit lebih baik dipakai corong telinga. Kalau ada serumen, bersihkan dengan

cara ekstraksi apabila serumen padat, irigasi apabila tidak terdapat komplikasi

irigasi atau di suction bila serumen cair. Untuk pemeriksaan detail membran

timpani spt perforasi, hiperemis atau bulging dan retraksi, dipergunakan otoskop.

Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan tangan kanan

untuk memeriksa telinga kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga

kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang

otoskop ditekankan pada pipi pasien. Untuk melihat gerakan membran timpani

digunakan otoskop pneumatic. (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

*Tes Penala

Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Penala terdiri dari 1 set (5 buah) dengan

frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Pada umumnya dipakai

3 macam penala : 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz. Jika akan memakai hanya 1 penala,

digunakan 512 Hz. Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, di pakai tes

Rinne, tes Weber, dan tes Schwabach.

• Tes Rinne, ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang di periksa.

Cara pemeriksaannya: penala digetarkan, tangkainya diletakkan di

prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga

kira-kira 2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak

terdengar disebut Rinne negatif (-).

(36)

Cara pemeriksaannya: penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di

garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah

gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada

salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak

dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut

Weber tidak ada lateralisasi.

• Tes Schwabach, ialah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.

Cara pemeriksaannya: penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada

prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai

penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa

yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar

disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,

pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada

prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat

mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan

pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach

sama dengan pemeriksa.

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis

Positif tidak ada

lateralisasi

sama dengan

pemeriksa

Normal

Negatif lateralisasi ke

telinga yang sakit

memanjang Tuli konduktif

Positif lateralisasi ke

telinga yang sehat

memendek Tuli Sensorineural

Catatan : Pada tuli konduktif <30 dB, Rinne bisa masih positif.

(Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

*Audiometri Nada Murni

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil

(37)

murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan

dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara

(air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa

dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada

frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan antara

10-100 dB (masing-masing dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua

telinga. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada

audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.

Pendengaran Normal

AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB

(38)

Tuli Sensorineural

AC dan BC lebih dari 25 dB

AC dan BC berimpit (tidak ada gap)

Contoh : Presbikusis

Tuli Konduktif

BC normal atau kurang dari 25 dB

AC lebih dari 25 dB

(39)

Tuli Campur

AC dan BC lebih dari 25 dB

Antara AC dan BC terdapat gap

(Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

*Audiometri Tutur (Speech Audiometry)

Pada tes ini di pakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (suku kata).

Monosilabus = satu suku kata

Bisilabus = dua suku kata

Kata-kata ini disusun dalam daftar yang disebut : Phonetically balance word LBT

(PB, LIST).

Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape

recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan bunyi S, R,

N, C, H, CH, sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi. Misalnya pada tuli

perseptif koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan kata “pasar”

didengarnya “padar”.

Apabila kata yang betul : speech discrimination score :

90 - 100 % : berarti tuli pendengaran normal

75 - 90 % : tuli ringan

(40)

50 - 60 % : kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-hari

<50 % : tuli berat

Guna pemeriksaan ini ialah untuk menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan

sehari-hari, dan menilai untuk pemberian alat bantu dengar (hearing aid).

Istilah :

- SRT (speech reception test) = kemampuan untuk mengulangi kata-kata

yang benar sebanyak 50 %, biasanya 20-30 dB di atas ambang

pendengaran.

- SDS (speech discrimination scor) = skor tertinggi yang dapat dicapai

oleh seseorang pada intensitas tertentu.

(41)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendengaran adalah indera yang penting bagi para lanjut usia (lansia)

karena pendengaran meningkatkan kualitas hidup serta mempertahankan

keamanan dirinya. Pendengaran yang baik memungkinkan lansia mendengar

suara alarm, tetap waspada terhadap bahaya ketika tidur, dapat mendengarkan

dalam kegelapan, mendeteksi suara dari belakang, berkomunikasi dengan efisien

dengan orang lain dan mempertahankan hubungan dengan dunia melalui telepon

atau radio terutama setelah masa pensiun. Namun, gangguan pendengaran akibat

usia atau presbikusis telah menjadi masalah yang berkembang (Zhang, 2013).

Presbikusis adalah hilangnya pendengaran yang berhubungan dengan usia

tanpa sebab yang jelas. Lansia adalah orang dengan usia 60 tahun atau lebih

(Sousa, 2009). Presbikusis mempengaruhi lebih dari setengah orang dewasa pada

usia 75 tahun. Presbikusis lebih sering dijumpai pada pria dibandingkan wanita.

Presbikusis menunjukkan pola yang meningkat dengan usia yaitu (Blevins, 2013):

• Pada usia 44 hingga 54 tahun, dijumpai presbikusis pada 11 persen populasi.

• Pada usia 55 hingga 64 tahun, dijumpai presbikusis pada 25 persen populasi.

• Pada usia 65 hingga 84 tahun, dijumpai presbikusis pada 43 persen populasi.

Dengan semakin bertambah tuanya masyarakat, semakin banyak orang

yang hidup pada usia enam puluhan, tujuh puluhan, bahkan delapan puluhan atau

lebih akibat faktor-faktor seperti perkembangan nutrisi dan pelayanan kesehatan.

Di Amerika Serikat, presbikusis mempengaruhi 40% dari populasi di atas usia 75

tahun dan semakin meningkat. Pada tahun 1995 di Inggris, dijumpai 20% orang

(42)

tahun. Perkiraan menunjukkan bahwa pada tahun 2030, akan dijumpai 35 hingga

40 juta penduduk lansia yang mengalami gangguan pendengaran di Amerika

Serikat (Ciorba, 2012). WHO memprediksikan bahwa pada tahun 2025, akan

dijumpai sebanyak 1,2 milyar lansia di atas 60 tahun di dunia yang menderita

gangguan pendengaran yang signifikan akibat presbikusis (Blevins, 2013).

Presbikusis memiliki dampak terhadap kualitas hidup penderitanya. Di

antara penderita presbikusis, hanya 39% di antaranya yang memiliki kualitas

hidup yang baik atau kesehatan fisik yang baik dibandingkan 68% pada lansia

yang tidak mengalami presbikusis. Hampir sepertiga dari populasi dengan

presbikusis memiliki kesehatan yang buruk dan kepuasan hidup yang rendah

(Ciorba, 2012). Apabila tidak diterapi dengan baik, presbikusis dengan derajat

sedang atau lebih dapat mempengaruhi komunikasi dan berkontribusi terhadap

isolasi, depresi, hingga demensia (Gates, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang

gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran

gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan?”.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui proporsi gangguan pendengaran pada lanjut usia

(43)

3. Mengetahui derajat gangguan pendengaran pada lanjut usia

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Bagi pemerintah

Sebagai informasi bagi pemerintah agar meningkatkan kesadaran tentang

kejadian gangguan pendengaran serta dampak gangguan pendengaran bagi

lansia.

2. Bagi tenaga medis

Sebagai informasi agar tenaga medis menyadari tentang kejadian

gangguan pendengaran pada lansia agar dapat mewaspadai gangguan

pendengaran yang tidak dikeluhkan oleh lansia.

3. Bagi peneliti

Sebagai wadah untuk melatih kemampuan menulis Karya Tulis Ilmiah

(44)

ABSTRAK

Pendengaran adalah indera yang penting bagi para lanjut usia (lansia) karena pendengaran meningkatkan kualitas hidup serta mempertahankan keamanan dirinya. Presbikusis adalah hilangnya pendengaran yang berhubungan dengan usia tanpa sebab yang jelas. Lansia adalah orang dengan usia 60 tahun atau lebih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Karya Kasih Medan pada tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Panti Karya Kasih Medan pada bulan September dengan jumlah sampel sebanyak 74 orang. Sampel dipilih dengan cara total sampling. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi.

Dari 75 sampel lansia, diperoleh lansia dengan umur terbanyak yaitu pada 71-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%). Perempuan dengan jumlah terbanyak yaitu 45 orang (60%), sedangkan laki-laki (40%). Pada penelitian ini didapatkan tuli campur berat yang tertinggi pada telinga kanan sebanyak 20 orang (26,7%) dan pada telinga kiri sebanyak 19 orang (25,3%).

(45)

ABSTRACT

Hearing is the important sense for elderly because hearingincrease the quality of life and increase their safety. Presbycusis is hearing loss associated with age without apparent reason. Elderly is age for 60th or more.

Purpose of this study was to determine the picture of hearing loss in

elderly in the Nursing Home Karya Kasih Medan on 2014. Methods used in this study is descriptive. This research was conducted in the Nursing Home KaryaKasih Medan on September with total sample 75 people. Samples in selected with total sampling. The Statistical Analysis used descriptive statistic with analysis of the frequency distribution.

From the 75 samples of the elderly, elderly obtained with the largest age is in 71-80 years the number of 33 people (44%). Women with the highest number is 45 people (60%), while men (40%). In this study, the highest weight mixed deafness in the right ear as many as 20 people (26.7%) and in the left ear as many as 19 people (25.3%).

Keyword : hearing loss, elderly

(46)

Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti

Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

Oleh :

Novia Yulinda Sari

110100027

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(47)

Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti

Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

Novia Yulinda Sari

110100027

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(48)

LEMBAR PENGESAHAN

MAHASISWA T.A 2014/2015

Nama : NOVIA YULINDA SARI

NIM : 110100027

Judul : Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Lanjut Usia di Panti Jompo Karya

Kasih Medan Pada Tahun 2014

Medan, 12 Januari 2015

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH)

NIP. 195402201980111001 Pembimbing

(dr. M. Pahala Hanafi Harahap,Sp.THT-KL)

NIP 197406162009121002

Penguji I

(dr. Meutia Sayuti,Sp.PD)

Penguji II

(dr. Rointan Simanungkalit,Sp.KK (K))

(49)

ABSTRAK

Pendengaran adalah indera yang penting bagi para lanjut usia (lansia) karena pendengaran meningkatkan kualitas hidup serta mempertahankan keamanan dirinya. Presbikusis adalah hilangnya pendengaran yang berhubungan dengan usia tanpa sebab yang jelas. Lansia adalah orang dengan usia 60 tahun atau lebih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Karya Kasih Medan pada tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Panti Karya Kasih Medan pada bulan September dengan jumlah sampel sebanyak 74 orang. Sampel dipilih dengan cara total sampling. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi.

Dari 75 sampel lansia, diperoleh lansia dengan umur terbanyak yaitu pada 71-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%). Perempuan dengan jumlah terbanyak yaitu 45 orang (60%), sedangkan laki-laki (40%). Pada penelitian ini didapatkan tuli campur berat yang tertinggi pada telinga kanan sebanyak 20 orang (26,7%) dan pada telinga kiri sebanyak 19 orang (25,3%).

(50)

ABSTRACT

Hearing is the important sense for elderly because hearingincrease the quality of life and increase their safety. Presbycusis is hearing loss associated with age without apparent reason. Elderly is age for 60th or more.

Purpose of this study was to determine the picture of hearing loss in

elderly in the Nursing Home Karya Kasih Medan on 2014. Methods used in this study is descriptive. This research was conducted in the Nursing Home KaryaKasih Medan on September with total sample 75 people. Samples in selected with total sampling. The Statistical Analysis used descriptive statistic with analysis of the frequency distribution.

From the 75 samples of the elderly, elderly obtained with the largest age is in 71-80 years the number of 33 people (44%). Women with the highest number is 45 people (60%), while men (40%). In this study, the highest weight mixed deafness in the right ear as many as 20 people (26.7%) and in the left ear as many as 19 people (25.3%).

Keyword : hearing loss, elderly

(51)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa atas kasih sayang, nikmat, karunia, dan kehendak-Nya karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Salawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah menuntun umatnya untuk selalu berpegang dijalan-Nya.

Rasa cinta dan kasih sayang penulis, penulis sampaikan kepada Ayahanda Ir. H. Indra Jaya Tanjung, yang sangat penulis cintai sebagai motivasi terbesar penulis untuk terus berjuang. Ibunda tersayang Hj. Murni Sari Harahap, yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa, dan dukungan yang tidak akan pernah terbalas sepenuhnya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulis kepada

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3. Bapak dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL selaku Dosen Pembimbing

yang tulus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan

bimbingan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.

4. Ibu dr. Meutia Sayuti, Sp.PD selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan

saran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

5. Ibu dr. Rointan Simanungkalit, Sp.KK(K) selaku Dosen Penguji II yang telah

memberikan saran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan karya

tulis ilmiah ini.

6. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

(52)

7. Saudara-saudari kandung penulis Bang H. Chrisna Agustian,SH,M.Hum, Kak

Hj. Shinta Irasia Sari, SE dan Bang H. Yudhi Indrawan, SE atas doa, cinta,

kasih sayang dan kebersamaannya selama ini.

8. Sahabat-sahabat penulis Fenti Nofita Sari, M.Luthfi Hasibuan, Naufal Anhari,

Fanny Muslim, Ciklawa Damai, Ficka Febriyani yang telah memberikan

bantuan yang tak terkira, semoga kita tetap bersama.

9. Senior sekaligus teman dekat penulis dr. Heru Agusman yang banyak

memberikan doa, perhatian dan motivasi yang tidak terhingga dalam

penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

10. Adik-adik penulis Nurul Hafizha dan Hafizah yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan bermakna bagi perkembangan ilmu kedokteran.

Medan, 17 Desember 2014

Penulis

(53)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ... ii

Abstract ... ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... ... vi

Daftar Tabel ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Khusus ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Gangguan Pendengaran ... 4

2.1.1. Definisi Gangguan Pendengaran... 4

(54)

2.2. Lansia………... ... 8

2.2.1. Definisi Lansia………... 8

2.2.2. Konsep Menua……... 8

2.2.3. Aspek Biologi Penuaan………... 9

2.3. Gangguan Pendengaran pada Lansia………... ... 9

2.3.1. Epidemiologi... 10

2.3.2. Faktor Risiko dan Etiologi... 10

2.3.3. Patofisiologi Klinik... 12

2.3.4. Klasifikasi………... 13

2.3.5. Derajat Presbikusis……… ... 14

2.3.6. Diagnosis……… ... 14

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL .... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 21

3.2. Defenisi Operasional... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24

4.1. Jenis Penelitian... ... 24

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... ... 24

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 24

4.4.1. Data Primer ... 25

4.4.2. Data Sekunder ... 25

4.5. Metode Analisa Data ... 25

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 26

(55)

... 5.2.1.

Karakteristik Individu ... 27

... 5.2.2. Jenis Kelamin ... 27

... 5.2.3. Hasil Analisis Data ... 28

5.3. Pembahasan ... 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

6.1. Kesimpulan ... 35

6.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(56)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

5.1 Tabel Distribusi Frekuensi Menurut Umur ... 27

5.2 Tabel Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Kelamin ... 28

5.3 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Jenis Kelamin Dengan

Hasil Audiogram ... 28

5.4 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Kelompok Usia Dengan Hasil

Audiogram ... 29

5.5 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Jenis Gangguan Pendengaran Pada Telinga Kanan Dan Telinga Kiri. ... 29

5.6 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan Pendengaran Pada Telinga Kanan Dan Telinga Kiri . ... 30

5.7 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan Pendengaran Dengan Kelompok Usia Pada Telinga Kanan ... 31

5.8 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan Pendengaran Dengan Kelompok Usia Pada Telinga Kiri ... 32

Gambar

Tabel 5.1 Tabel distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik kelompok usia
Tabel 5.2 Tabel distribusi  frekuensi berdasarkan karakteristik jenis kelamin.
Tabel 5.4 Tabel distribusi frekuensi antara kelompok usia dengan hasil
Tabel 5.6 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram  derajat gangguan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan

Tunjangan Khusus Bagi Pegawai Negeri Sipil Dinas Perijinan Kabupaten Bantul Tahun Anggaran 2015;g. Mengingat :

(5) Buku teks pelajaran Bahasa Indonesia sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini,

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Bupati Bantul tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai

The peak change in from a single cell in the presence (left panel) and absence capacitance of the second stimulus was reduced to 71% of (right panel) of the Preconditioned Media..

[r]

We investigated possible involvement of voltage-dependent Ca channels (VDCCs) and several intracellular signaling mechanisms in multiple actions of basic fibroblast growth

[r]