• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION DAN TIPE STAD BERBASIS SAINTIFIK DI SMPN 1 BENDAHARA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION DAN TIPE STAD BERBASIS SAINTIFIK DI SMPN 1 BENDAHARA."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP

INVESTIGATION DAN TIPE STAD BERBASIS SAINTIFIK DI SMPN 1 BENDAHARA

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Matematika

OLEH:

MASITAH PUSPA SARI NIM: 8146172042

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i ABSTRAK

MASITAH PUSPA SARI. Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan Tipe STAD Berbasis Saintifik di SMPN 1 Bendahara. Tesis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan tipe STAD berbasis saintifik, interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa dan proses jawaban siswa yang diajar dengan kedua tipe pembelajaran kooperatif. Jenis penelitian kuasi eksperimen. Populasi seluruh siswa SMP Negeri 1 Bendahara. Sampel menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan komunikasi matematis siswa. Data dianalisis menggunakan ANAVA dua jalur dan analisis deskriptif untuk proses jawaban siswa . Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis saintifik (2) Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa (3) Proses jawaban siswa pada tes kemampuan komunikasi matematis melalui pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation yang termasuk kategori baik sebanyak 44,80%, kategori cukup sebanyak 39,08% dan kategori kurang baik sebanyak 16,13% (4) Proses jawaban siswa pada tes kemampuan komunikasi matematis melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD yang termasuk kategori baik sebanyak 71,89%, kategori cukup sebanyak 19,8% dan kategori kurang baik sebanyak 7,3%. Hal ini menunjukkan bahwa proses jawaban siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik dibanding dengan siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation.

(7)

ii ABSTRACT

MASITAH PUSPA SARI. The Difference Of The Student's Mathematical Communication Ability Between The Cooperative Learning Model Group Investigation and The Cooperative Learning Model STAD Based Scientific in SMPN 1 Bendahara. Thesis. Medan: Postgraduate School of the State University of Medan, 2016.

This study aims to determine: the difference of student's mathematical communication ability between cooperative learning model of Group Investigation and STAD-based scientific, the interaction between the learning model and initial ability (high, medium, low) of mathematical for the student’s mathematical communication ability, the process of the student's answer that taught by both of cooperative learning’s model. This study is a quasi experimental research. The population in this study are all students of SMP Negeri 1 Bendahara. The instrument is test of mathematical communication ability. The data analysis used was ANOVA two ways and a descriptive analysis for the answers process of each learning. The results showed that: (1) There are differences in the ability of mathematical communication between students learning with cooperative learning model Group Investigation and cooperative learning model STAD-based scientific (2) There is no interaction between the learning model and initial ability (high, medium, low) of mathematical for the student’s mathematical communication ability (3) The process of the student's answer that taught by cooperative learning model Group Investigation in solving problems on tests of mathematical communication ability is categorized as good as 44.80%, a category quite as much as 39.08% and the unfavorable category as 16.13%. (4) The process of the student's answer that taught by cooperative learning model STAD in solving problems on tests of mathematical communication ability is categorized as good as 44.80%, a category quite as much as 39.08% and the unfavorable category as 16.13%. This indicates that the process of student answers by STAD cooperative learning is better than the students who were given a type of cooperative learning Group Investigation.

(8)

vi

1.6 Manfaat Penelitian... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 17

2.1 Kerangka Teoritis ... 17

2.1.1 Kemampuan Komunikasi Matematis ... 17

2.1.2 Pendekatan Saintifik ... 24

2.1.2.1Karakteristik dan Langkah-langkah Pendekatan Saintifik ... 26

2.1.2.2Teori Pendukung Pendekatan Saintifik ... 32

2.1.2.3Penerapan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran ... 34

2.1.3 Pembelajaran Kooperatif ... 37

2.1.3.1Karakteristik Pembelajaran Kooperatif ... 40

2.1.3.2Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation 41 2.1.3.3Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation ... 43

2.1.3.4Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD ... 45

2.1.4 Kemampuan Awal Matematika ... 48

2.1.5 Interaksi ... 50

2.1.6 Proses Jawaban Siswa ... 51

2.1.7 Hasil Penelitian yang Relevan ... 53

2.2 Kerangka Konseptual ... 55

2.2.1 Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan Tipe STAD Berbasis Saintifik ... 55

2.2.2 Interaksi Antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal Matematika Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 58

2.2.3 Proses Jawaban Siswa dalam Menyelesaikan Masalah dalam Tes Kemampuan Komunikasi Matematis pada Masing-masing Pembelajaran ... 59

(9)

vii

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 62

3.3.1 Populasi ... 62

3.7.2 Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 71

3.7.3 Proses Jawaban Siswa ... 73

3.10.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 83

3.10.2 Analisis Statistik Inferensial ... 83

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 89

4.1 Hasil Penelitian ... 89

4.1.1 Hasil Tes Kemampuan Awal Matematika (KAM) Siswa . 90 4.1.2 Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa .... 94

4.1.2.1 Analisis Statistik ANAVA Dua Jalur ... 97

4.1.2.2 Uji Hipotesis ... 98

4.1.3 Analisis Proses Jawaban Siswa ... 101

4.1.3.1 Analisis Proses Jawaban Siswa Menyelesaikan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 101

4.1.4 Temuan Penelitian ... 116

4.1.4.1 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation ... 117

4.1.4.2 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) ... 118

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 120

4.2.1 Faktor Pembelajaran ... 120

(10)

viii

4.2.3 Interaksi antara Model Pembelajaran (Group Investigation dan STAD) dan KAM terhadap Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa ... 124

4.2.4 Proses Jawaban Siswa ... 126

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 127

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

5.1 Kesimpulan ... 129

5.2 Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 133

(11)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Hasil Ulangan Harian Siswa Semester Ganjil 2015/2016 ... 4

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 65

Tabel 3.2 Tabel Weiner Keterkaitan Antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol ... 66

Tabel 3.3 Kriteria Pengelompokan Kemampuan Matematika Siswa ... 71

Tabel 3.4 Banyaknya Siswa Berdasarkan Kategori KAM ... 71

Tabel 3.5 Kisi-kisi Soal Kemampuan Komunikasi Matematis ... 72

Tabel 3.6 Pedoman Penskoran Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis ... 73

Tabel 3.7 Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Komunikasi Matematis .... 74

Tabel 3.8 Interpretasi Daya Pembeda ... 78

Tabel 3.9 Interpretasi Indeks Kesukaran ... 78

Tabel 3.10 Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis dan Jenis Uji Statistik yang Digunakan ... 88

Tabel 4.1 Deskripsi Kemampuan Awal Matematika Siswa ... 91

Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Nilai Kemampuan Awal Matematika Siswa ... 91

Tabel 4.3 Hasil Uji Homogenitas Nilai Kemampuan Awal Matematika Siswa ... 93

Tabel 4.4 Sebaran Sampel Penelitian ... 93

Tabel 4.5 Deskripsi Post Test Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Model Pembelajaran ... 94

Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Post Test Kemampuan Komunikasi

Tabel 4.9 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Taraf Signifikansi 5% ... 100

Tabel 4.10 Kriteria Proses Jawaban Kemampuan Komunikasi Matematis .... 102

Tabel 4.11 Rangkuman Kategori Penilaian Tes Kemampuan Komunikasi Matematis pada Indikator Menuliskan Ide Matematika ke dalam Model Matematika ... 107

Tabel 4.12 Rangkuman Kategori Penilaian Tes Kemampuan Komunikasi Matematis pada Indikator Menghubungkan Gambar dan Diagram ke dalam Model Matematika ... 110

(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Jawaban Siswa pada Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 5 Gambar 1.2 Jawaban Siswa pada Tes Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 6 Gambar 2.1 Dampak Instruksional dan Pengiring Model Pembelajaran

Group Investigation ... 45 Gambar 3.1 Prosedur Penelitian ... 82 Gambar 4.1 Interaksi antara Model Pembelajaran dan KAM Terhadap

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 99 Gambar 4.2 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 2a

pada Kelas Eksperimen 1 ... 103 Gambar 4.3 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 2a

pada Kelas Eksperimen 2 ... 103 Gambar 4.4 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

2a pada Kelas Eksperimen 1 ... 103 Gambar 4.5 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

2a pada Kelas Eksperimen 2 ... 103 Gambar 4.6 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 2a pada Kelas Eksperimen 1 ... 103 Gambar 4.7 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 2a pada Kelas Eksperimen 2... 104 Gambar 4.8 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 3a

pada Kelas Eksperimen 1 ... 104 Gambar 4.9 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 3a

pada Kelas Eksperimen 2 ... 104 Gambar 4.10 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

3a pada Kelas Eksperimen 1 ... 105 Gambar 4.11 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

3a pada Kelas Eksperimen 2 ... 105 Gambar 4.12 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 3a pada Kelas Eksperimen 1 ... 105 Gambar 4.13 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 3a pada Kelas Eksperimen 2 ... 105 Gambar 4.14 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 1a

pada Kelas Eksperimen 1 ... 106 Gambar 4.15 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 1a

pada Kelas Eksperimen 2 ... 106 Gambar 4.16 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

1a pada Kelas Eksperimen 1 ... 106 Gambar 4.17 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

1a pada Kelas Eksperimen 2 ... 106 Gambar 4.18 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 1a pada Kelas Eksperimen 1 ... 107 Gambar 4.19 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

(13)

xi

Gambar 4.20 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 1b pada Kelas Eksperimen 1 ... 108 Gambar 4.21 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 1b

pada Kelas Eksperimen 2 ... 108 Gambar 4.22 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

1b pada Kelas Eksperimen 1 ... 109 Gambar 4.23 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

1b pada Kelas Eksperimen 2 ... 109 Gambar 4.24 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 1b pada Kelas Eksperimen 1 ... 110 Garam 4.25 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 1b pada Kelas Eksperimen 2 ... 110 Gambar 4.26 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 2b

pada Kelas Eksperimen 1 ... 111 Gambar 4.27 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 2b

pada Kelas Eksperimen 2 ... 111 Gambar 4.28 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

2b pada Kelas Eksperimen 1 ... 112 Gambar 4.29 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

2b pada Kelas Eksperimen 2 ... 112 Gambar 4.30 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 2b pada Kelas Eksperimen 1 ... 113 Gambar 4.31 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 2b pada Kelas Eksperimen 2 ... 113 Gambar 4.32 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 3b

pada Kelas Eksperimen 1 ... 114 Gambar 4.33 Proses Jawaban Siswa Kategori Baik untuk Butir Soal No. 3b

pada Kelas Eksperimen 2 ... 114 Gambar 4.34 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

3b pada Kelas Eksperimen 1 ... 115 Gambar 4.35 Proses Jawaban Siswa Kategori Cukup untuk Butir Soal No.

3b pada Kelas Eksperimen 2 ... 115 Gambar 4.36 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

Soal No. 3b pada Kelas Eksperimen 1 ... 115 Gambar 4.37 Proses Jawaban Siswa Kategori Kurang Baik untuk Butir

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, matematika merupakan

salah satu pelajaran penting dilihat dari kedudukannya sebagai pelajaran yang

dapat menentukan kenaikan kelas maupun kelulusan siswa. Matematika juga

termasuk dalam pelajaran wajib di jenjang pendidikan atas, baik pada kelompok

ilmu pengetahuan alam, sosial maupun bahasa. Siswa diharapkan dapat

menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari

ilmu pengetahuan lain yang memerlukan penalaran serta keterampilan dalam

penerapan matematika. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika pada

setiap kurikulum yang berlaku di Indonesia yaitu untuk mempersiapkan siswa

agar mampu menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan yang selalu

berkembang.

Permendikbud No.68 Tahun 2013 menyebutkan bahwa keikutsertaan

Indonesia di dalam studi internasional Trends in International Mathematics and

Science Study (TIMSS) sejak tahun 1999 menunjukkan bahwa capaian anak-anak

Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan

TIMSS. Untuk menghadapi tantangan kemajuan arus globalisasi seperti ini,

pengembangan kurikulum harus dilakukan. Salah satu dimensi kurikulum adalah

cara yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar tercapai tujuan dari

(15)

2

Kemampuan memahami konsep matematika, menggunakan penalaran

pada pola dan sifat, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan serta

memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan merupakan

tujuan pembelajaran matematika yang tercantum dalam Permendiknas tahun 2006.

Kemampuan ini sangat diperlukan siswa pada pembelajaran matematika di

sekolah. Hal ini merupakan pengembangan dari standar matematika sekolah

menurut NTCM (National Council of Teachers of Mathematics) yaitu meliputi

standar isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical

process). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving),

penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection),

komunikasi (communication), dan representasi (representation). Dengan

demikian, keterampilan siswa dalam melakukan komunikasi matematis sebagai

salah satu bagian dari standar proses sangat diperlukan untuk memenuhi standar

matematika di sekolah.

Pada saat seorang siswa mengemukakan pendapatnya sendiri secara lisan

atau tulisan tentang suatu materi pembelajaran, secara tidak langsung siswa

tersebut belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan orang lain, sekaligus

mendengarkan gagasan atau penjelasan orang lain. Menurut Marlina dkk

(2014:37) proses komunikasi membantu membangun makna dan kelengkapan

gagasan dan membuat hal ini menjadi milik publik. Selanjutnya menurut Darkasyi

dkk (2014:22) salah satu bentuk komunikasi matematis adalah kegiatan

memahami matematika. Memahami matematika memiliki peran sentral dalam

pembelajaran matematika karena kegiatan memahami mendorong siswa belajar

(16)

3

Steinbring dkk (2001:25) dalam penelitiannya menyatakan “putting

communication in the center of our thinking about learning mathematics must

amount to not less paradigm shift”. Hal ini menunjukkan pentingnya komunikasi

dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematis sebagai salah satu cara

bagi siswa untuk saling berbagi ide dalam memperjelas pemahaman mereka.

Kemampuan komunikasi matematis siswa sangat perlu untuk dikembangkan,

karena dengan demikian siswa dapat mengorganisasi cara berpikir matematisnya

baik dengan lisan maupun tulisan, siswa juga bisa memberi respon dengan tepat,

baik di antara siswa itu sendiri maupun antara siswa dengan guru selama proses

pembelajaran berlangsung.

Melalui aktivitas komunikasi, ide-ide menjadi objek komunikasi untuk

selanjutnya dilakukan diskusi, refleksi, dan perbaikan pemahaman. Ketika siswa

ditantang untuk berfikir dan beralasan tentang ide matematis dan kemudian

mengkomunikasikan hasil pemikirannya kepada siswa lain, baik secara lisan

maupun tulisan maka ide itu semakin jelas dan mantap bagi diri siswa tersebut.

Selain itu bagi siswa lain yang mendengarkannya akan berkesempatan untuk

membangun pengetahuan dari hasil menyimak penjelasan tersebut. Adanya

masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran, memungkinkan

terdapat beragam cara yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah.

Dengan demikian siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani

berpendapat, karena cara yang digunakan satu siswa dengan yang lainnya berbeda

atau bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya pun

(17)

4

Namun kenyataan yang sering ditemukan adalah siswa belum terampil

dalam menyatakan informasi yang diketahui, permasalahan yang ditanyakan, dan

mengkomunikasikan gagasan matematis untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan. Kondisi ini berakibat pada rendahnya hasil belajar yang dicapai dan

tidak terpenuhinya kriteria ketuntasan minimal (KKM). Rendahnya hasil belajar

dan tidak terpenuhinya KKM tersebut, mengindikasikan bahwa keterampilan

komunikasi matematis siswa masih belum optimal.

Kenyataan seperti ini juga terjadi di SMP Negeri 1 Bendahara di

Kabupaten Aceh Tamiang. Berdasarkan MGMP (Musyawarah Guru Mata

Pelajaran) matematika, nilai KKM untuk mata pelajaran matematika di sekolah ini

adalah 70. Jika dibandingkan dengan SMP-SMP Negeri lainnya di kabupaten

Aceh Tamiang, nilai KKM tersebut masih tergolong rendah. Tim MGMP sulit

menaikkan nilai KKM karena hasil belajar siswa yang masih kurang memuaskan

seperti terlihat pada tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1. Hasil Ulangan Harian Siswa Semester Ganjil 2015/2016

No Kelas Nilai Rata-rata Ulangan Harian Siswa

UH 1 UH 2 UH 3 UH 4

1 VIII-A 62.50 63.50 65.00 62.50

2 VIII-B 65.50 65.40 68.00 62.40

3 VIII-C 68.00 63.00 70.00 62.20

Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas, diperoleh beberapa kondisi

yang menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi matematis siswa selama

pembelajaran berlangsung masih perlu ditingkatkan. Kondisi tersebut antara lain

adalah siswa belum mampu untuk menyatakan situasi, gambar, diagram, atau

(18)

5

terbiasa untuk berdiskusi secara berkelompok dalam memahami konsep dan

menyelesaikan suatu permasalahan matematika, dan siswa belum mampu

mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dalam bahasa sendiri, selain itu

siswa juga sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan pada

buku yang digunakan apabila soal yang diberikan sedikit berbeda dengan

permasalahan sebelumnya.

Berdasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan, siswa juga sering

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang berbentuk kontekstual.

Seperti soal dalam materi Persamaan Linier Dua Variabel (PLDV) untuk SMP

kelas VIII berikut ini:

1. Jumlah dua bilangan adalah 20, bilangan yang satu adalah enam lebihnya dari

bilangan yang lain. Hasil kali kedua bilangan tersebut adalah?

2. Harga dua baju dan satu celana adalah Rp. 220.000 sedangkan harga tiga baju

dan dua celana (yang sama) adalah Rp. 380.000. Tentukan berapa harga untuk

dua baju dan dua celana (yang sama)!

Dari 30 siswa, hanya ada dua siswa yang menjawab benar untuk salah satu soal

saja, 20 siswa menjawab tetapi salah dan 8 siswa tidak menjawab sama sekali.

Rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa terlihat pada salah satu

jawaban seorang siswa untuk soal no.1 sebagai berikut:

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

(19)

6

Dari gambar 1.1 terlihat bahwa jawaban yang diberikan siswa tidak

memenuhi indikator kemampuan komunikasi matematis seperti yang telah

dirumuskan oleh NTCM yaitu membaca wacana matematika dengan pemahaman

serta mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematik

dan hubungannya (Ansari, 2009:9). Siswa langsung melakukan operasi perkalian

terhadap angka-angka yang terdapat pada soal tanpa terlebih dahulu memahami

makna soal yang diberikan. Selanjutnya rendahnya kemampuan komunikasi

matematis siswa juga terlihat pada jawaban soal no.2 seperti berikut ini:

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 1.2. Jawaban Siswa pada Tes Kemampuan komunikasi Matematis Pada gambar 1.2 terlihat bahwa siswa belum mampu menyatakan

informasi yang diketahui, permasalahan yang ditanyakan dan

mengkomunikasikan gagasan matematis untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum mampu memenuhi indikator

kemampuan komunikasi matematis yaitu menyatakan ide matematisnya ke dalam

suatu model matematika.

Standar evaluasi untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis

siswa adalah 1). menyatakan ide matematika dengan berbicara, menulis,

demonstrasi dan menggambarkannya dalam bentuk visual; 2). memahami,

menginterpretasi dan menilai ide matematik yang disajikan dalam tulisan, lisan

(20)

7

matematik untuk menyatakan ide, menggambarkan hubungan dan pembuatan

model (Ansari, 2009:10). Dari hasil pengamatan terhadap seluruh lembar jawaban

siswa dapat diindikasikan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih

rendah karena belum memenuhi hampir semua indikator kemampuan komunikasi

matematis. Untuk itu pembelajaran matematika yang berorientasi pada

kemampuan siswa untuk menyatakan suatu situasi ke dalam bahasa atau model

matematika perlu diperhatikan.

Rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa dapat disebabkan

oleh banyak faktor, salah satunya adalah siswa tidak aktif bahkan cenderung pasif

dalam proses pembelajaran. Berdasarkan kegiatan MGMP yang rutin dilakukan

diketahui bahwa guru masih menjadi satu-satunya sumber belajar bagi siswa.

Selain itu, pendekatan yang biasa dilakukan guru tidak selalu melibatkan siswa

secara aktif seperti masih sering menggunakan metode ceramah dan langsung

memberikan materi kepada siswa.

Pendekatan ini sangat tidak mendukung dengan kondisi tempat duduk

siswa yang telah diatur dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4-5

orang siswa. Guru sangat jarang menggunakan pendekatan yang mampu

melibatkan siswa secara aktif. Guru belum sepenuhnya melakukan pendekatan

yang mampu meningkatkan peran aktif siswa melainkan guru yang masih

memegang peranan penting. Untuk itulah perlu diperhatikan pemilihan berbagai

pendekatan, strategi, metode, teknik dan model pembelajaran yang merupakan

suatu hal yang utama untuk melihat perbedaan kemampuan komunikasi matematis

(21)

8

diharapkan siswa tidak hanya sekedar menghafal melainkan mulai terbiasa untuk

berpikir dan selanjutnya memahami materi yang disampaikan oleh guru.

Pendekatan saintifik adalah salah satu pendekatan dalam pembelajaran

yang berpusat pada siswa (student centered approach) sehingga siswa lebih aktif,

seperti yang dinyatakan oleh Hosnan (2014:34) berikut ini:

Pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.

Pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang menggunakan

proses berpikir ilmiah. Atsnan dan Gazali (2013:429) menyatakan pendekatan

saintifik dapat dijadikan sebagai jembatan untuk perkembangan dan

pengembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan siswa. Sesuai materi

Kemendikbud, dinyatakan bahwa dalam pendekatan atau proses kerja yang

memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pendekatan induktif

(inductive reasoning) dari pada pendekatan deduktif (deductive reasoning).

Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk menarik simpulan yang

spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi

spesifik untuk menarik simpulan secara keseluruhan. Penalaran induktif

menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi ide yang lebih luas.

Proses pembelajaran saintifik merupakan perpaduan antara proses

pembelajaran yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi

dilengkapi dengan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan

(22)

9

menggunakan pendekatan saintifik, dapat dilakukan penilaian autentik atau

penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) yaitu proses pengumpulan

berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang

perkembangan pengalaman belajar siswa (Hosnan, 2014:388).

Model pembelajaran yang sering disandingkan dengan pendekatan

saintifik adalah model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat

belajar salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif. Hossain dkk

(2012:108) meyebutkan bahwa “cooperative learning is used as an alternative to

traditional learning as it effectively promotes cognitive and affect outcomes,

increases academic performance and helps to develop social skills that are

required in the society”. Hal ini senada dengan tujuan model pembelajaran

kooperatif yaitu meningkatkan hasil belajar akademik siswa dan siswa dapat

menerima berbagai keragaman serta pengembangan keterampilan sosial (Hosnan,

2014:234).

Model pembelajaran kooperatif bukanlah hal yang sama sekali baru bagi

guru, model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang

mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam

kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan

rendah). Keberhasilan kerja dalam model pembelajaran kooperatif sangat

dipengaruhi oleh keterlibatan seluruh anggota kelompok dalam menyelesaikan

tugas kelompok yang diberikan.

Secara umum berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis,

(23)

10

1. Penjelasan materi

Pada langkah ini, guru langsung menyajikan materi kemudian memberi

contoh-contoh penyelesaian soal kepada siswa.

2. Memberi tugas kelompok

Masing-masing kelompok diberikan maksimal 5 soal yang dikerjakan siswa

secara berkelompok. Namun kenyataan yang sering terjadi adalah hanya siswa

yang pintar yang mengerjakan tugas tersebut.

3. Evaluasi hasil diskusi kelompok

Setelah waktu yang diberikan untuk berdiskusi selesai, guru meminta siswa

untuk saling menukar lembar jawaban antar kelompok untuk diperiksa. Pada

tahap ini, penguatan yang dilakukan guru sering hanya berupa perbaikan atas

jawaban siswa apabila terjadi kesalahan.

Selanjutnya siswa diberikan soal untuk dijawab secara individu. Namun

masih banyak siswa terutama siswa yang kurang pintar tidak mampu memahami

soal sehingga menyontek kepada teman satu kelompoknya. Dari gambaran di atas

terlihat guru sudah melakukan sebagian dari langkah-langkah kegiatan

pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team-Achievement Divisions),

namun belum maksimal dan masih menonjolkan pembelajaran langsung.

STAD adalah salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling

sederhana dan paling banyak diterapkan. Dalam STAD, guru menyampaikan

pelajaran, kemudian siswa bekerja dalam kelompok mereka, selanjutnya siswa

mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai kelompok dan terakhir siswa

mengerjakan soal mengenai materi secara sendiri-sendiri dan tidak diperbolehkan

(24)

11

pembelajaran kooperatif secara berkesinambungan dapat dijadikan sarana bagi

guru untuk melatih dan mengembangkan siswa pada aspek kognitif, afektif dan

psikomotorik.

Selain STAD, banyak tipe model pembelajaran kooperatif diantaranya

yaitu Group Investigation (GI). Şimşek dkk (2013:5) menuliskan bahwa “Group

investigation: Expanding cooperative learning. Working in small cooperative

groups, students investigate a specific topic. The study issue is then divided into

working sections among the members of the groups. Model pembelajaran ini

mengharuskan guru menyiapkan masalah untuk sekelompok siswa pada jenjang

kemampuan tertentu. Akcay dan Doymus (Sari dkk: 2014) menyatakan dalam

pembelajaran GI siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan bekerja di antara

anggota kelompok.

Siswa menghadapi masalah yang kemudian diarahkan kepada menemukan

konsep atau prinsip. Siswa mengumpulkan informasi, analisis, perencanaan, dan

mengintegrasikan data dengan siswa dalam kelompok lain. Dalam proses ini, guru

harus menjadi pemimpin kelas dan memastikan bahwa siswa memahami

penjelasan. Guru berkeliling di antara kelompok-kelompok yang ada untuk

melihat bahwa para siswa bisa mengolah tugasnya dan membantu tiap kesulitan

yang dihadapi dalam interaksi kelompok termasuk kinerja terhadap tugas-tugas

khusus yang berkaitan dengan proyek pembelajaran. Karena siswa secara

bersama-sama menemukan konsep atau prinsip, maka diharapkan konsep tersebut

tertanam dengan baik pada diri siswa yang pada akhirnya siswa menguasai konsep

atau prinsip yang baik pula. Dalam Group Investigation, siswa dituntut untuk

(25)

12

merencanakan dan melaksanakan penyelidikan sampai mensintesis temuan dalam

presentasi kelompok di depan kelas. Sehingga diharapkan metode ini dapat

mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran. Lebih banyaknya peran siswa

dibandingkan guru dalam kegiatan pembelajaran menjadi salah satu pertimbangan

banyaknya peneliti baik di dalam maupun luar negeri yang menerapkan tipe ini.

Selain itu, kemampuan siswa berbeda-beda dalam menyelesaikan suatu

masalah matematika. Hal ini bisa dipengaruhi oleh kemampuan awal matematika

siswa. Menurut Krutetski (Fauzi, 2011:9), telah banyak penelitian yang

memperlihatkan bahwa siswa yang berada pada kelompok kemampuan awal yang

baik akan memperoleh prestasi yang tinggi. Dengan demikian dapat diduga bahwa

siswa yang memiliki kemampuan awal matematis tinggi kemungkinan tidak

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tes kemampuan komunikasi

matematis. Sementara itu, siswa yang memiliki kemampuan awal matematis

sedang dan rendah, kemungkinan akan kesulitan dalam menyelesaikan tes yang

sama.

Perbedaan kemampuan matematis yang dimiliki siswa dalam

menyelesaikan masalah tidak hanya karena bawaan dari lahir dan kemampuan

awalnya tetapi bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan belajarnya. Menurut

Ruseffendi (1991) setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda, ada siswa

yang pandai, ada yang kurang pandai serta ada yang biasa-biasa saja serta

kemampuan yang dimiliki siswa bukan semata-mata merupakan bawaan dari lahir

(hereditas), tetapi juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu,

pemilihan lingkungan belajar khususnya model pembelajaran menjadi sangat

(26)

13

meningkatkan kemampuan matematis siswa yang memiliki kemampuan awal

matematika yang heterogen.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menduga bahwa terdapat perbedaan

kemampuan komunikasi matematis siswa dari dua tipe pembelajaran

kooperatif tersebut melalui pendekatan saintifik. Oleh sebab itu peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ”Perbedaan Kemampuan

Komunikasi Matematis Siswa Antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group

Investigation dan Tipe STAD Berbasis Saintifik di SMPN 1 Bendahara.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat diidentifikasikan

beberapa masalah sebagai berikut:

1. Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran di kelas masih

belum baik dan tergolong rendah.

2. Siswa belum sepenuhnya mampu menyelesaikan soal dengan benar.

3. Proses jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah belum memenuhi

langkah-langkah penyelesaian yang benar.

4. Model pembelajaran yang diterapkan guru di kelas dalam menyampaikan

materi pelajaran tidak melibatkan siswa secara aktif.

5. Pendekatan pembelajaran yang sering dilakukan masih berpusat pada guru.

1.3. Batasan Masalah

Berdasarkan judul penelitian dan identifikasi masalah di atas, serta

(27)

14

pada permasalahan, maka perlu membatasi masalah. Masalah yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah:

1. Perbedaan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Antara Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan Tipe STAD Berbasis

Saintifik.

2. Interaksi antara penerapan model pembelajaran dan kemampuan awal

matematika terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Proses jawaban siswa yang diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe Group

Investigation dalam menyelesaikan masalah pada tes kemampuan komunikasi

matematis.

4. Proses jawaban siswa yang diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD

dalam menyelesaikan masalah pada tes kemampuan komunikasi matematis.

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah dan batasan masalah di atas

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara

model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan tipe STAD

berbasis saintifik?

2. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal

matematika terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?

3. Bagaimana proses jawaban siswa yang diajar dengan pembelajaran kooperatif

tipe Group Investigation dalam menyelesaikan masalah pada tes kemampuan

(28)

15

4. Bagaimana proses jawaban siswa yang diajar dengan pembelajaran kooperatif

tipe STAD dalam menyelesaikan masalah pada tes kemampuan komunikasi

matematis?

1.5. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki kualitas

belajar matematika siswa. Dalam penelitian ini tujuan dirumuskan sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara

model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan tipe STAD

berbasis saintifik.

2. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal

matematika terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Untuk mengetahui proses jawaban siswa yang diajar dengan pembelajaran

kooperatif tipe Group Investigation dalam menyelesaikan masalah pada tes

kemampuan komunikasi matematis.

4. Untuk mengetahui proses jawaban siswa yang diajar dengan pembelajaran

kooperatif tipe STAD dalam menyelesaikan masalah pada tes kemampuan

komunikasi matematis.

1.6. Manfaat Penelitian

Dengan berakhirnya penelitian ini nantinya maka diharapkan akan diperoleh

(29)

16

1. Menjadi bahan masukan bagi kepala sekolah dalam memberdayakan

kebijakan penerapan model pembelajaran inovatif sebagai upaya

meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran matematika di sekolah.

2. Menjadi acuan bagi guru dalam memilih model dan pendekatan pembelajaran

yang relevan dalam bidang matematika dan memberi dampak positif terhadap

siswa maupun guru itu sendiri.

3. Menambah pengalaman bagi siswa dalam mengikuti pembelajaran yang

menyenangkan dan melibatkan siswa secara aktif yang dapat memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi

matematikanya

4. Merupakan alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi

matematis siswa terkait dengan konsep matematika yang telah dipelajari dan

(30)

129 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan temuan peneliti dari lapangan

tentang perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang

belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation

dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis saintifik, diperoleh

beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban atas petanyaan-pertanyaan

pada rumusan masalah, diataranya:

1. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang

belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation

dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis saintifik.

2. Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal

terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Proses jawaban siswa pada tes kemampuan komunikasi matematis melalui

pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation yang termasuk kategori baik

sebanyak 44,80%, kategori cukup sebanyak 39,08% dan kategori kurang baik

sebanyak 16,13%.

4. Proses jawaban siswa pada tes kemampuan komunikasi matematis melalui

pembelajaran kooperatif tipe STAD yang termasuk kategori baik sebanyak

74,48%, kategori cukup sebanyak 18,75% dan kategori kurang baik sebanyak

(31)

130

pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik dibanding dengan siswa yang

diberi pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation.

5.2. Saran

Berdasarkan simpulan penelitian yang diuraikan di atas, dapat

dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi Guru

a. Model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan model

pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis saintifik baik diterapkan

pada pembelajaran matematika di kelas, karena dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa.

b. Dari tiga indikator kemampuan komunikasi matematis, yaitu menuliskan ide

matematis ke dalam model matematika, menghubungkan gambar dan diagram

ke dalam ide matematis, menuliskan prosedur penyelesaian, kelemahan siswa

paling banyak ditemui adalah menuliskan prosedur penyelesaian. Oleh karena

itu, dalam setiap pembelajaran sebaiknya siswa dibiasakan untuk menuliskan

prosedur penyelesaian dengan menggunakan strategi lain.

c. Guru matematika sebaiknya harus membuat perencanaan mengajar yang baik

dengan daya dukung sistem pembelajaran berupa buku-buku yang relevan,

LAS, RPP, dan media pembelajaran yang baik pula agar model

pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan model

pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis saintifik lebih efektif

(32)

131

d. Guru sebaiknya menciptakan suasana belajar yang lebih banyak memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan dalam

meningkatkan kemampuan matematika siswa dengan cara mereka sendiri

sehingga dalam belajar matematika mereka lebih berani berargumentasi, lebih

percaya diri dan kreatif.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

1. Untuk peneliti selanjutnya, hendaknya melakukan penelitian tentang model

pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan model pembelajaran

kooperatif tipe STAD berbasis saintifik, pada pokok bahasan yang berbeda

dengan waktu penelitian yang lebih lama, agar hasil yang diperoleh mencapai

maksimal.

2. Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat dilengkapi

dengan melakukan penelitian aspek-aspek kemampuan matematis yang lain

yaitu kemampuan pemahaman, penalaran, koneksi, dan representasi

matematis secara lebih terperinci dan melakukan penelitian di tingkat

sekolah yang belum terjangkau oleh peneliti saat ini.

3. Untuk peneliti yang ingin meneliti kemampuan komunikasi matematis lebih

lanjut, ataupun kemampuan matematis lain, hendaknya perlu diperhatikan

perkembangan siswa untuk setiap indikator kemampuan yang akan diukur,

agar hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

3. Bagi Lembaga Terkait

Model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan

(33)

132

sebagai salah satu alternatif pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis siswa sehingga dapat dijadikan masukan dan bahan referensi

bagi sekolah untuk dikembangkan sebagai strategi pembelajaran yang efektif untuk

(34)

133

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, B.I. 2009. Komunikasi Matematik; Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Pena.

Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara : Jakarta.

Ariyanto. 2012. Penerapan Teori Ausubel pada Pembelajaran Pokok Bahasan Pertidaksamaan Kuadrat di SMU. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Surakarta.

Asikin, M. 2001. Komunikasi Matematika dalam RME. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional RME, Universitas Sanata Darma, Yogyakarta.

Asmin & Mansur, A. 2014. Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar dengan Analisis Klasik dan Modern. Medan: Larispa

Atsnan, M.F. & Gazali, R.Y. 2013. Penerapan Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran Matematika SMP Kelas VII Materi Bilangan (Pecahan). Prosiding. ISBN: 978-979-16353-9-4, Hal: 429-436. FMIPA: UNY.

Darkasyi, M., Johar, R. & Ahmad, A. 2014. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Motivasi Siswa dengan Pembelajaran Pendekatan Quantum Learning pada Siswa SMP Negeri 5 Lhokseumawe. Jurnal Didaktik Matematika. 1(Vol 1): 22, hal: 21-34.

Depdiknas. 2006. Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. (Online). (http://www.puskur.or.id/data/ringkasankbm.pdf, diakses tanggal 5 Mei 2015).

Effendi, L. A. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. 13 No. 2 Oktober 2012: hal: 1-10. ISSN 1412-565X.

Fahradina, N., Ansari, B.I. & Saiman. 2014. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP dengan Menggunakan Model Investigasi Kelompok. Jurnal Didaktik Matematika. Vol.1 No.1: hal:54-64.

(35)

134

Fitriana, L. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Cooperative Tipe Group Investigation (GI) dan STAD Terhadap Prestasi Belajar Matematika ditinjau dari Kemandirian Belajar Siswa. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Gagne, R. 1982. Prinsip-Prinsip Belajar-Mengajar. Bandung: Alumni.

Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: Armico.

Handayani, D. 2011. Modifikasi Quantum Learning dan Metode Ekspositori untuk Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis tidak diterbitkan. Palembang: Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya.

Hariyanto. 2000. Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara Siswa yang Pembelajarannya Menggunakan Model Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Model Tradisional di Kelas II MAN Jember. Tesis tidak diterbitkan. Bandung : PPS UPI.

Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.

Hossain, M.A., Tarmizi, R.A. & Ayub, A.F.M. 2012. Collaborative and Cooperative Learning in Malaysian Mathematics Education. Journal. IndoMS. J. M. E, Vol. 3 No. 2 July 2012, pp. 103-114.

Juanda, M. 2014. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Model Pembelajaran Means-Ends Analysis. Tesis tidak diterbitkan. Banda Aceh: PPS Universitas Syah Kuala.

Kahn, G.N. & Inamullah, H.M. 2011. Effect of Student’s Team Achievement Division (STAD) on Academic Achievement of Student. Journal. Asian Social Scene Vol. 7 No.12 December 2011, pp. 211-215.

Kemendikbud. 2013. (Online). http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2011

Kerlinger, F.N. 1986. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan oleh Landung R. Simatupang. 1996. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Killen, R. 1998. Effective Teaching Strategies. Second Edition. Australia : Social Science Press.

(36)

135

Maharani, I., Hasratuddin & Syahputra, E. 2013. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kecerdasan Emosional Melalui Pembelajaran Think-Talk-Write. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED. Vol. 09 No. 3, Hal: 201-212. ISSN 1693 – 7732.

Marlina, Ikhsan, M. & Yusrizal. 2014. Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Self-Efficacy Siswa SMP dengan Menggunakan Pendekatan Diskursif. Jurnal Didaktik Matematika. Vol. 1 No. 1, Hal: 35-45.

Muncarno. 2008. Penerapan Model penyelesaian Soal Cerita dengan Langkah- Langkah Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas 1 SMP. Jurnal Nuansa Pendidikan. Vol.VI. No.1. Lampung: LPMP Universitas Lampung.

Nurhadi, Burhan, Y. & Senduk, A.G. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Learning and Teaching/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Nurlaelah, E. 2009. Pengembangan Bahan Ajar Struktur Aljabar yang Berbasis Program Komputer dan Tugas Resitasi untuk Meningkatkan Kreativitas dan Daya Matematik Mahasiswa. Jurnal Pengajaran MIPA. Vol. 14 No. 2, Hal: 10.

National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Executive Summary: Principles And Standars for School Mathematic (online). Reston: NCTM. (http://www.nctm.org/)

Prihaswati, M. 2014. Keefektifan Buku Peserta Didik (BPD) dengan Metode Group Investigation Berbasis Kontekstual untuk Menunjang Pembelajaran Matematika Materi Segitiga SMP. Jurnal Unimus. JKPM, Volume 1 Nomor 1 Januari 2014, hal: 47-53. ISSN: 2339-2444.

Ramdani, Y. 2011. Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Matematika Tingkat Tinggi Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Prosiding. SNaPP2011 Sains, Teknologi dan Kesehatan. ISSN 2089-3582.

Riduwan. 2009. Pengantar Statistika. Bandung: Alfabeta.

Ruseffendi. 1991. Pengantar Kepada Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Mengajar Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:Tarsito.

_______. 2005. Dasar – Dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Non Eksata Lainnya. Bandung:Tarsito.

(37)

136

Sabandar, J. 2007. Berpikir Reflektif. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika, FPMIPA UPI, Bandung.

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Saragih, S. 2007. Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung.

Sardiman, A.M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sari R.I., Budiyono & Subanti, S. 2014. Eksperimentasi Model Pembelajaran Group Investigation (GI) dan Think Talk Write (TTW) dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) pada Materi Relasi dan Fungsi Ditinjau dari Kreativitas Belajar Siswa Kelas VIII Semester 1 SMP N di Kabupaten Sragen. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika. Vol.2 No.6, hal 589-600, Agustus 2014. ISSN: 2339-1685.

Şimşek, U., Yilar, B. & Küçük, B. 2013. The Effects of Cooperative Learning Methods on Students’ Academic Achievements in Social Psychology

Lessons. International Journal on New Trends in Education and Their Implications. Volume: 4 Issue: 3 Article: 01 ISSN 1309-6249.

Slavin, R.E. 2005. Cooperative Learning;Teori, Riset dan Praktek. Bandung: Nusa Media.

Steinbring, H., Bartolini, M.G.B & Sierpinska, A. 2001. Language and Communication in The Mathematics Classroom. Book Reviews. ZDM 2001 Vol. 33 (1). ISBN 0-87353-441-7.

Sudijono, A. 2010. Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudjana. 1985. Disain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito.

______ . 2002. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudrajat, A. 2013. Pendekatan Saintifik Ilmiah dalam Proses Pembelajaran

(Online),

(https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2013/07/18/pendekatan-saintifikilmiah-dalam-proses-pembelajaran/, diakses 11 Oktober 2015).

(38)

137

Suherman, E. dan Winataputra,S.U. 1992. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Universitas terbuka, Departemen Pendidikan.

Sumarmo, U. 2003. Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan dalam Pelatihan Guru Matematika di jurusan Matematika ITB, Bandung, April 2004.

Suprijono, A. 2010. Cooperatif Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Surya, E. dan Rahayu, R. 2014. Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Ar-Rahman Percut Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD). Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA. Vol: 7, No: 1 Hal: 24-34.

Suwito, U. 1999. Komunikasi untuk Pembangunan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta

Tanzeh, A. 2009. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Teras.

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan dan Implementasiya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Bandung: Lauser Cita Pustaka.

Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Gambar 1.1. Jawaban Siswa pada Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Gambar 1.2. Jawaban Siswa pada Tes Kemampuan komunikasi Matematis

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti menyapa siswa dan dilanjutkan dengan memeriksa kelengkapan buku siswa serta mengingatkan siswa akan materi yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya

Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek,

Kelebihan dari alat yang dibuat adalah lengan robot tidak hanya mengambil dan meletakkan benda ditempat yang telah disediakan tetapi juga dapat dilakukan penyusunan

sedangkan pada JS tidak terlalu terlihat pengaruh dari parameter tersebut. Pada strategi kategori suportive move , hampir pada semua jenis

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu ekstraksi maka konsentrasi flavonoid yang diperoleh semakin meningkat dan dalam waktu tertentu konsentrasi

Namun, berhubung syarat untuk mendeteksi penyakit itu cukup banyak, maka yang akan dibahas pada tugas akhir ini hanya salah satu gejalanya saja yaitu Hematuria yang

Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Rumah Sakit Ibu dan Anak di Kota Semarang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pelayanan

Teknik Pengumpulan data secara primer merupakan teknik yang diperoleh dari hasil observasi dengan melakukan pendekatan kualitatif yaitu melakukan