ENNY SRI HARTATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vi
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:
DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN
KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis pada perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
Enny Sri Hartati A 161050131
ENNY SRI HARTATI. The Impact of Government Spending Composition on Economic Growth, Employment Opportunity, and Poverty Rate (RINA
OKTAVIANI as Chairperson, DIDIK J. RACHBINI and MUHAMMAD
FIRDAUSas the Members of the Advisory Committee)
The Indonesian government spending composition after the 1997 crisis has been dominated by recurrent spending. This condition had caused the fiscal space to occupy 4-5 percent of Gross Domestic Product (GDP) during 2006-2010. The lack of fiscal space had resulted in limited role of fiscal policy to stimulate the economy. Furthermore, the economy has grown at the rate of 5.7 percent in yearly average; unemployment rate at 9.49 percent per year; and the average populations of poor people has reached 33.5 million people. The shifting of government spending composition is necessary, especially to raise the portion of capital spending. By using simultaneous equations model, the simulation result indicate that effective capital spending improvement should focus on infrastructure funding. A simulation of shifting government spending composition through the increasing capital spending in the amount of Rp 20 trillion only increase economic growth by about 0.33 percent, reduce unemployment by about 0.83 percent and poverty by about 0.02 percent. Meanwhile, if the increasing capital spending becomes more efficient, the economy will grow by about 1.37 percent, while unemployment and poverty will decrease by about 3.33 percent and 0.21 percent, respectively. To increase the affect of government spending on economic growth, employment and poverty alleviation, the composition of government spending should be fundamentally changed, specifically to increase the share in capital spending and the efficiency of capital spending utilization.
viii
RINGKASAN
ENNY SRI HARTATI. Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan (RINA
OKTAVIANI sebagai Ketua Komisi Pembimbing, DIDIK J. RACHBINI dan
MUHAMMAD FIRDAUSsebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Komposisi belanja pemerintah Indonesia setelah krisis ekonomi 1997 semakin didominasi oleh belanja rutin. Jika sebelum krisis rata-rata proporsi belanja rutin sebesar 60 persen dan belanja pembangunan 40 persen, namun pada tahun 2010 belanja rutin hampir mencapai 80 persen. Peningkatan porsi belanja rutin tersebut, awalnya merupakan konsekuensi dampak dari krisis. Sebagaimana diketahui, krisis telah mengakibatkan tingginya inflasi, tingkat suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Pada tahun 1998 inflasi mencapai 77 persen, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 50 persen dan Rupiah terdepresiasi hingga berada pada level Rp9 875 per dollar (235 persen). Instabilitas sektor moneter tersebut tentunya berpengaruh pada belanja rutin Pemerintah, utamanya untuk belanja gaji pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang.
Selama enam (6) tahun terakhir kondisi makro ekonomi Indonesia relatif berada dalam kondisi yang stabil. Selama 2006-2010 rata-rata tingkat inflasi sudah kembali berada pada kisaran 6.8 persen, suku bunga SBI 3 bulan sekitar 8.7 persen dan nilai tukar relatif stabil berada pada kisaran Rp9 499 per dolar. Namun demikian porsi belanja rutin Pemerintah tetap terus mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar pada belanja subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Selama 2006-2010, belanja subsidi rata-rata meningkat sebesar 19.7%, terutama untuk subsidi BBM. Kenaikkan subsidi BBM disebabkan oleh peningkatan konsumsi BBM rata-rata 5 persen per tahun. Pada tahun 2010 konsumsi BBM Indonesia sekitar 1.3 juta barel per hari. Sementara produksi kilang minyak Indonesia rata-rata hanya mencapai sekitar 700 ribu barel per hari. Indonesia merupakan negara importer neto BBM, sementara harga BBM ditentukan oleh Pemerintah (administered Price). Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia kebutuhan subsidi menjadi membengkak. Demikian juga belanja pegawai rata-rata meningkat sebesar 22.48 persen. Peningkatan ini disamping dipicu oleh inflasi juga didorong adanya kebijakan pemekaran wilayah sehingga jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami peningkatan drastis. Disisi lain defisit anggaran yang dibiayai dengan utang, telah berdampak pada meningkatnya akumulasi utang pemerintah, sehingga porsi beban pembayaran bunga utang mencapai 14.7 persen dari total belanja pusat.
penduduk miskin masih 33.5 juta orang. Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal, diperlukan peningkatan belanja modal agar dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur ekonomi yang akan mendorong kinerja perekonomian.
Hasil simulasi dengan menggunakan model persamaan simultan menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun demikian, peningkatan belanja modal akan lebih efektif jika disertai dengan efisiensi alokasi belanja modal. Peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun dengan pola yang ada hanya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.33 persen, pengangguran turun 0.83 persen dan kemiskinan turun 0.02 persen. Namun jika peningkatan belanja modal disertai peningkatan efisiensi maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 1.37 persen, pengangguran turun 3.33 persen dan kemiskinan turun 0.21 persen.
Salah satu catatan penting dari hasil studi ini adalah bahwa belanja pemerintah mempunyai dampak yang rendah terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan hanya sebesar 0.01 dalam jangka pendek dan 0.05 dalam jangka panjang. Artinya setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin 0.01 persen. Hasil simulasi juga menunjukkan perubahan komposisi belanja Pemerintah, melalui peningkatan belanja modal, juga belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Hal ini dikarenakan rendahnya alokasi belanja pemerintah untuk fungsi ekonomi. Pada tahun 2010 alokasi belanja Pemerintah untuk fungsi ekonomi hanya 11.6 persen, sementara untuk pelayanan umum sebesar 63.8 persen.
x
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut
Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA
Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
2. Dr. Arif Budimanta
ENNY SRI HARTATI
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
x
Judul Desertasi : Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan
Nama Mahasiswa : Enny Sri Hartati Nomor Pokok : A161050131
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
M
Meennyyeettuujjuuii::
1. Komisi Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani,MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini, M.Sc Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Anggota Anggota
M
Meennggeettaahhuuii::
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA
3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana, IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
T
Penulis dilahirkan di Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 27
Juli 1971 sebagai putri kedua dari Bapak M. Setyobudi dan Ibu Sri Suharni.
Pendidikan dasar penulis selesaikan di kabupaten Sragen, yaitu di SDN Celep III (
1983-1986). Selanjutnya SMP dan SMA di kabupaten Karanganyar, yaitu SMPN
I Mojogedang (1983-1986) dan SMAN I Karanganyar (1986-1989). Pada tahun
1989 penulis melanjutkan studi S1 pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus tahun 1995. Pada
tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan S2 di jurusan Ilmu Ekonomi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2005
penulis melanjutkan S3 di jurusan yang sama yaitu Ilmu EKonomi Pertanian.
Saat ini penulis menjadi direktur Institute for Development of Economics
and Finance (INDEF) Jakarta, dan sebagai staf pengajar tidak tetap di Fakultas
Alhamdullilahiirobbilalamin, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan ridhoNYA yang telah memberi petunjuk dan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Desertasi dengan judul “Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan
Kerja dan Tingkat Kemiskinan” diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini,MSc dan Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing penyelesaian penelitian dan penulisan desertasi ini. Ucapan terimakasih juga saya tujukan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) serta seluruh Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah mengajarkan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat. 2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc dan Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, sebagai dosen penguji pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk penyempurnaan desertasi ini.
3. Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan (Bappenas) dan Dr. Arif Budimanta, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan pertanyaan dan masukan yang bersifat teoritis dan implementatif sehingga semakin mempertajam analisis serta sangat berguna dalam menyempurnakan naskah desertasi ini. 4. Dewan Pendiri, Komisaris dan Peneliti Senior Institute for Development of
x
5. Rekan-rekan peneliti dan seluruh staf INDEF, terutama Mas Erani, Eko, Tauhid, Eisha, Heri, Pak Sugiyono, Abra, Imad, Herta, Edy, Edo,Udin, Trisia, Lia, Pipin, dan Perta yang telah memberi banyak masukkan, kritikan dan bantuan terhadap penyelesaian penyusunan desertasi ini.
6. Dr. Rasidin yang telah dengan sabar menemani diskusi dan membantu pengolahan data desertasi ini
7. Rekan-rekan program doktor EPN Elys, Bu Dewi, mbak Aida, mbak Niken,
Pak Maryadi, Pak Eka, Pak Alla, Pak Dudi, Pak Ibrahim, Pak Roni, terimakasih atas segala kebersamaan dan dukungannya.
8. Seluruh staf sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, terutama mbak Yani, mbak Ruby, mbak Kokom, pak Husin yang dengan kesabaran dan ketulusannya selalu membantu dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan desertasi ini.
9. Terakhir kepada yang tercinta Bapak/Ibu, kakak, adik-adik, keponakan serta keluarga besarku yang dengan penuh cinta kasih selalu memberikan semangat dan do’a yang tiada hentinya di sepanjang kehidupan penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu penulisan desertasi ini yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu. Semoga bantuan Bapak/Ibu menjadikan desertasi ini sebagai dokumentasi ilmu yang bermanfaat yang akan membawa amal kebaikan di dunia dan akherat.
Saya yakin, penulisan desertasi ini ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, oleh karenanya saya berharap ada peneliti yang berminat untuk membuat penelitian yang lebih komprehensif dan sempurna di masa yang akan datang. Terakhir, saya berharap semoga penulisan desertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya dapat berkontribusi dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang “baldatun thoyyibatun warobbun ghofur”. Amin.
Bogor, Februari 2012
Halaman
Daftar Tabel ………...………. xv
Daftar Gambar……….………...………...…..…..…... xix
Daftar Lampiran………..………...……….….……….... xxi
I. PENDAHULUAN
...
11.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah... 11
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...…... 18
1.3.1. Tujuan Penelitian ... 18
1.3.2. Kegunaan Penelitian ...…... 18
1.3.3. Hipotesis Penelitian ...…... 18
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 19
1.5 Kebaruan Penelitian ……... 19
1.6 Keterbatasan Penelitian ...…... 20
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 21
2.1 Peran Pemerintah dalam Perekonomian... 21
2.2 Peran Kebijakan Fiskal ………... 23
2.3 Komponen Kebijakan Fiskal ……... 28
2.3.1. Penerimaan Pemerintah ………... 28
2.3.2. Pengeluaran Pemerintah ………... 31
2.3.3. Keseimbangan Fiskal ………... 33
2.3.4. Desentralisasi Fiskal ……….……... 34
2.4 Pertumbuhan Ekonomi Kesempatan kerja dan Kemiskinan... 37
2.5 Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 43
2.6 Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan ... 49
xii
2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian ………... 60
III. METODOLOGI PENELITIAN ……...……...…… 63
3.1. Model Persamaan Simultan ………..…... 63
3.2. Spesifikasi Model ...…………..…..…... 65
3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model ….…………... 71
3.4. Evaluasi Model ………... 72
3.5. Kesesuaian Model ………... 73
3.6. Validasi Model……….………...………... 74
3.7. Simulasi Model….……….………....…... 75
3.8. Jenis dan Sumber Data ………...…....…....……... 77
IV. KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH BEBERAPA NEGARA DAN KINERJA PEREKONOMIANNYA ……….……… 79
4.1. Komposisi Anggaran Pemerintah Thailand…………...……….….. 80
4.2. Komposisi Belanja Pemerintah Malaysia………... 86
4.3. Komposisi Anggaran Pemerintah Singapura ……….…...… 92
4.4. Komposisi Belanja Pemerintah China ……….………. 96
4.5. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Beberapa Negara …...………...……... 99
V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA ………...…….. 105
5.1. Periode Sebelum Krisis Ekonomi Tahun 1969/1970 -1996/1997...… 108
5.1.1. Realisasi Penerimaan Negara………... 110
5.1.2. Realisasi Belanja Negara ……….………...… 113
5.1.2.1. Belanja Pegawai………...…... 114
5.1.2.2. Belanja Barang………...……... 114
5.1.2.3. Belanja Subsidi………...…….. 115
5.1.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang………….……….. 118
5.1.2.5. Belanja Pembangunan………..…….… 118
xiii
5.2. Periode Setelah Krisis Ekonomi, Tahun 1997 – 2010..………..…….. 126
5.2.1. Realisasi Penerimaan Negara ………... 126
5.2.2. Realisasi Belanja Negara ………..………. 128
5.2.2.1. Belanja Pegawai………...…... 130
5.2.2.2. Belanja Barang……...………...……... 130
5.2.2.3. Belanja Subsidi………..…….……. 133
5.2.2.4. Pembayaran Bunga Utang …………...…... 133
5.2.2.5. Belanja Modal……….………….……….. . 134
5.2.2.6. Komposisi Belanja Pusat dan Daerah……….. 135
5.2.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan ……….…...… 137
5.2.4. Kinerja Perekonomian………..……….... 139
VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN………..…………..……... 141
6.1. Hasil Spesifikasi Model………... 141
6.2. Hasil Pendugaan Model ……...……….. 144
6.2.1. Blok Pendapatan Nasional……….…………... 144
6.2.2. Blok Fiskal………..………... 155
6.2.2.1. Belanja Pegawai………….………... 157
6.2.2.2. Belanja Barang……… ... 159
6.2.2.3. Belanja Modal………. ... 162
6.2.2.4. Belanja Pembayaraan Bunga Utang………... 164
6.2.2.5. Belanja Subsidi Non BBM……….. ... 168
6.2.2.6. Belanja Subsidi BBM……….. ... 170
6.2.2.7. Dana Alokasi Khusus ……….……….………... 173
6.2.2.8. Dana Alokasi Umum ……….………...…... 174
6.2.2.9. Belanja Dana Bagi Hasil ………... 175
6.2.3.Blok Kinerja Perekonomian………....…... 176
6.3. Validasi Model….………... 180
xiv
6.4.3. Dampak Pergeseran Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi
Belanja Modal …...………... 192
6.5. Alternatif Pilihan Kebijakan ………... 194
VII. SIMPULAN DAN SARAN ………..…..…... 197
7.1. Simpulan ... 197
7.2. Saran-saran ... 199
DAFTAR PUSTAKA ... 204
1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara, Tahun 2010 ……….. 2
2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun
2005- 2011 ……… 4
3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010……….. 14
4. Identifikasi Model Persamaan Simultan Komposisi Belanja
Pemerintah ……….…… 72
5. Jenis dan Sumber Data dalam Persamaan Simultan………….. 78
6. Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Thailand Menurut
Klasifikasi Ekonomi ………... 81
7. Perbandingan Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi antara
Indonesia dan Thailand, Tahun 2011 ………..…………
82
8. Komposisi Belanja Pemerintah Thailand di Bidang Ekonomi… 83
9. Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDB Thailand………….. 84
10. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Jenis…………. 87
11. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Sektor …...….. 88
12. Produk Domenstik Bruto Malaysia, Tahun 2005-2010 …….. 91
13. Total Pengeluaran Pemerintah Singapura Menurut Sektor,
Tahun 2011 ………..…………...… 93
14. Alokasi Anggaran Singapura Menurut Klasifikasi Ekonomi….. 94
15. Produk Domenstik Bruto Singapura, Tahun 2005-2010 …….. 95
16. Alokasi Anggaran China Tahun 2009 Menurut Fungsi ………. 97
17. Pendapatan Perkapita Negara ASEAN ………. 99
18. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
antar Negara ASEAN ………...……... 100
xvi
21. Komposisi Penerimaan Negara Pada Masa Orde Baru, Tahun
1969/1970 – 1996/1997………..…….
112
22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Sebelum Krisis, Tahun
1969/1970 1996/1997………..……… 115
23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan………. 121
24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, Tahun 2000-2011………...……….. 129
25. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2011……….. 132
26. Perkembangan Difisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode Pasca Krisis Ekonomi…………...……….. 138 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumahtangga…...……….. 146
28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah………….…….. 149
29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Total………... 150
30. Biaya Transaksi Mulai Usaha ……….……….... 151
31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah………. 153
32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor………... 154
33. Hasil Estimasi Perilaku Impor………... 155
34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak ………. 156
35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai……… 159
36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang……….. 162
37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal………... 164
38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang………. 166
39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia……….…... 170
40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM……… 170
xvii
43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah……….…...… 175
44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Dana Bagi
Hasil………. 176
45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran………... 177
46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia. 178
47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin……….. 180
48. Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja
Pemerintah ………..……… 181
49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun 2003-2010.. 185
50. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat ……
190
51. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal …………... 192
52. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan
Efisiensi Belanja Modal………... 193
53. Perbandingan Dampak Perubahan Komposisi Belanja
Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja
xviii
Nomor Halaman
1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010 …. 3
2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan
pembentukan Modal Domestik Bruto………....………..
6
3. Rata-rata proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis
Pengeluaran, Tahun 2005-2010 ……….……...………
6. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian ……… 27
7. Jalur Efek Black Grant dan Jalur Efek Spesific Grant ………... 37
8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ……….……... 45
9. Perubahan Budget Line Karena adanya Pengeluaran Pemerintah ….
13. Diagram Keterkaitan antar Variabel dalam Model Komposisi
Belanja Pemerintah ………..……….. 64
14. Pertumbuhan GDP Thailand, Tahun 2000-2010 ... 85
15. Perkembangan Sektor Tradeable, Non Tradeable dan PDB
Thailand ...
86
16. Pertumbuhan GDP Singapura, Tahun 2000-2010 ….……..…… 95
17. Pertumbuhan GDP China, Tahun 2000-2010 …..…………... 98
xx
21. Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode
Sebelum Krisis……….……… 113
22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode
Sebelum Krisis 1997 ……….…...………... 120
23. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis
1997 …………... 122
24. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita I – Pelita III ………..…………... 124
25. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan
Selama Periode Pelita IV – Pelita VI ………..……...
125
26. Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis
Tahun 1997-2010 ………..………...………. 127
27. Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis Tahun
1997-2010 …………..……….….……….…………. 128
30. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan
Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi………...
140
31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010….. 158
32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang Tahun 2006-2010... 160
33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal tahun 2006-2010…….. 163
34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang Tahun 2006-2010 .. 165
35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010…….. 169
35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010…….. 171
Nomor Halaman
1. Penerimaan dan Belanja Negara, 1969/1970 – 2010 ... 211
2. Komposisi Belanja Daerah dan Pembiayaan APBN, 1969/1970 –2010 ... 219
3. Data Utama untuk Model Simultan ... 227
1.1. Latar Belakang Masalah
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Selama tahun 1985-1994 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.8 persen, bahkan
tahun 1995-1996 tumbuh 8.1 persen serta dengan defisit Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 0.2 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ketika terjadi krisis ekonomi 1997,
pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam menjadi 4.70 persen, bahkan
pada 1998 menjadi minus 13.13 persen. Pasca krisis ekonomi, kinerja makro
ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan disertai ketidakstabilan ekonomi
seperti tingginya angka inflasi, fluktuasi nilai tukar dan pengangguran. Pada tahun
2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi
Indonesia tetap belum mampu kembali pulih, yaitu masih berada pada kisaran 4.5
persen. Angka pengangguran terbuka sebesar 8.14 persen, setengah penganggur
sebesar 15.0 persen, pekerja paruh waktu 16.36 persen dan tingkat kemiskinan
masih mencapai 14.03 persen. Menginjak tahun 2010, kinerja ekonomi Indonesia
mengalami sedikit kemajuan, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi
6.1 persen. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berkorelasi
secara signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat
pengangguran. Publikasi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada bulan
februari 2010 jumlah penduduk miskin masih mencapai 13.06 persen dan tingkat
pengangguran terbuka diikuti kenaikan pada setengah penganggur menjadi
sebesar 15.27 persen dan pekerja paruh waktu naik menjadi sebesar 17.53 persen.
Artinya penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya mengalami pergeseran
menjadi setengah menganggur dan bekerja paruh waktu. Dengan demikian belum
terjadi peningkatan penciptaan lapangan kerja yang signifikan dalam
perekonomian.
Tingginya tingkat pengangguran menyebabkan penggunaan sumber daya
yang tidak optimal dalam pembangunan. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada 2010 hanya mencapai 4.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya rata-rata sudah diatas 7 persen,
seperti Malaysia 7.2 persen, Thailand 7.9 persen, bahkan China mencapai 10.4
persen dengan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Tingkat pengangguran
di Malaysia hanya sebesar 3.4 persen, Thailand sebesar 1.0 persen dan China 4.1
persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Kinerja Ekonomi Beberapa Negara pada Tahun 2010
(%)
Sumber : Asian Development Bank dan Word Bank, 2011
Rendahnya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat
adanya ketimpangan sumber-sumber pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan
motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengandalkan
pertumbuhan konsumsi, terutama konsumsi masyarakat yang berkontribusi
mencapai 56.7 persen. Peranan investasi terhadap pembentukan PDB baru
mencapai 32.2 persen. Sementara net ekspor hanya menyumbang 1.6 persen
terhadap GDP. Hal ini disebabkan peningkatan kinerja ekspor juga masih diikuti
besarnya volume impor. Artinya, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada
peningkatam konsumsi masyarakat.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Gambar 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010
Relatif rendahnya kontribusi investasi terhadap PDB mengindikasikan
bahwa iklim investasi yang belum kondusif. Padahal investasi merupakan faktor
utama pendorong pertumbuhan kapasitas produksi. Adanya pertumbuhan di
sektor riil ini yang akan dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber
pendapatan masyarakat. Beberapa faktor penyebab lambatnya minat investor
0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 * 2010 **
Konsumsi Rumah tangga Konsumsi Pemerintah
Investasi Ekspor
antara lain adalah rendahnya ketersediaan infrastruktur yang memadai dan
merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di
kawasan Indonesia barat, karena rendahnya pembangunan infrastruktur di
Indonesia Timur. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, belum secara
optimal diolah karena rendahnya investasi. Tabel 1 menunjukkan pada tahun
2010 rangking infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 76, jauh
tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang berada pada rangking 26 dan 42.
Infrastruktur merupakan salah satu barang publik, sehingga penyediaannya tidak
bisa serta merta diserahkan pada swasta. Peranan stimulus fiskal Pemerintah,
mestinya terimplementasi melalui pembangunan sektor infrastruktur. Melalui
APBN Pemerintah semestinya mengalokasikan anggaran yang memadai untuk
pembangunan infrastruktur guna menstimulus perekonomian.
Tabel 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 2005-2010
(Rp Miliar)
KETERANGAN 2005 2006 2007 2008 2009 2010*
A. Pendapatan Negara dan Hibah 495.2 638 707.8 981.6 848.8 992.4 I. Penerimaan DN 493.9 636.2 706.1 979.3 847.1 990.5
1 . Perpajakan 347 409.2 491 658.7 619.9 743.3
Tax Ratio (% thd PDB) 12.7 12.3 12.4 13.3 11.9 11.9
2. PNBP 146.9 227 215.1 320.6 227.2 247.2
II. Hibah 1.3 1.8 1.7 2.3 1.7 1.9
B. Belanja Negara 509.6 667.1 757.6 985.7 937.4 1126.1 I. Belanja Pemerintah Pusat 361.2 440 504.6 693.4 628.8 781.5
II. Transfer ke Daerah 150.5 226.2 253.3 292.4 308.6 344.6
C.Surplus/(Defisit) Anggaran -14.4 -29.1 -49.8 -4.1 -88.6 -133.7
% thd PDB -0.5 -0.9 -1.3 -0.1 -1.6 -2.1
D. Pembiayaan 8.9 29.4 42.5 84.1 112.6 133.7 I. Pembiayaan Dalam Negeri 19.1 56.3 69 102.5 128.1 133.9
II. Pembiayaan Luar Negeri -10.3 -26.6 -26.6 -18.4 -15.5 -0.2
Selama kurun waktu 2005-2010 APBN Indonesia telah mengalami
kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara
baru mencapai Rp.509.6 triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp.1 126
triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi
secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini
disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin
(sekitar 80 persen), sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi
yang sangat rendah (sekitar 8.4 persen).
Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan,
seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah
dalam APBN-P 2010 mencapai Rp.1 126 triliun atau 48.7 persen dari PDB
berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau 17.53 persen dari PDB berdasarkan
harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB
hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan
belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya,
peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan
terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan
pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan
investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto.
Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi
melalui pembangunan infrastruktur.
APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam
pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya
dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi
meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi
swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang
lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan
ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan Pembentukan Modal Domestik Bruto
Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan
penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak.
Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio
masih rendah dimana dalam kurun waktu 2005-2010 rata-rata hanya 12.3 persen
bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen.
0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai 20.17 persen, Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar 17.28 persen. Hal
tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah,
disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah.
Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk
PPn 1.07. Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik
1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07
persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan
atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain
memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas
pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar
2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 (Setiyaji & Amin, 2005). Hal
Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan
pertambahan penerimaan pajak jauh lebih cepat dibanding Indonesia.
Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan
ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas
pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak.
Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai
peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit
anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan
utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran
ditargetkan hanya sebesar Rp 992.4 triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami
defisit sebesar Rp 133.7 triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto
(PDB). Pemerintah harus menambah utang baru sebesar 108.3 triliun, padahal
posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US$ 169.22 miliar
atau ekuivalen dengan Rp. 1 590.66 triliun. Beban pembayaran bunga utang
pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp. 105.7 triliun, dimana Rp.
71.9 triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk
pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk
membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran
pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih
rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya
adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi
anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang
karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada
akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk
memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah.
Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan
kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang
matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola
dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan
berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut
Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh
utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik.
Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai
dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri
mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Sebelumnya,
pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus
bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang
luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan
kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk
dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi (debt-led growth). Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan
pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa
itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling
tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN.
Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari
utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber
pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN
itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah
menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian,
kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong
perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes (1936) meyakini ekspansi
pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk
keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang
bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi
insentif negatif (crowding out) kepada investor. Sementara paham Neo Klasik yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan
berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi.Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit
fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian.
Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang
komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang
pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman
bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik
akan menjadi sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan
devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan Indonesia masuk ke perangkap utang (debt-trap). Kekhawatiran tersebut sangat beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam
pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis
pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab
perumusan masalah.
Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru
semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan
belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4
persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal
tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan
infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur
mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN
proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1
memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal
tinggi, seperti Malaysia (31 persen dari total pengeluaran) mempunyai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah.
Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen,
pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran
sebesar 7.1 persen.
Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi
untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan
pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan
memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur
akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan
efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil.
Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada
penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran.
Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun
2005-2014. Dalam dokumen RPJMN 2010-2014 dan dalam setiap Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu
yaitu: (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas
(pro growth), (2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job), (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman
sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor); dan (d) meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup (proenvironment).
1.2. Perumusan Masalah
Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil
sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan
demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang
berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang
dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam
menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain : pertama, postur anggaran didominasi oleh pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang
menciptakan perubahan. Dalam periode 2005-2010, rata-rata belanja pusat habis
dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar 18.89
persen, belanja barang sebesar 12.20 persen, belanja pembayaran bunga utang
sebesar 14.77 persen, subsidi sebesar 27.81 persen, belanja sosial sebesar 8.98
persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang
diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil
justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011
Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun 2005-2010
Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran.
Subsidi sebelum tahun 1997/1998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara
namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur
APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi
yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik
alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen.Hasil penelitian yang dilakukan
oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008
mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya
sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0
persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk besar
dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja
subsidi selama 2005-2010 yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen
diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM.
Tabel 3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010
(Rp triliun)
Jenis Subsidi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Real. Real. Real. Real Real. APBNP Subsidi Energi 104.4 94.6 116,9 223 94.6 144
1. Subsidi BBM 95.6 64.2 83,8 139.1 45 88.9
2. Subsidi Listrik 8.9 30.4 33,1 83.9 49.5 55.1
Subsidi Non-Energi 16.3 12.8 33,3 52.3 43.5 57.3
1. Subsidi Pangan 6.4 5.3 6,6 12.1 13 13.9
2. Subsidi Pupuk 2.5 3.2 6,3 15.2 18.3 18.4
3. Subsidi Benih 0.1 0.1 0,5 1 1.6 2.3
4. PSO 0.9 1.8 1 1.7 1.3 1.4
5. Kredit Program 0.1 0.3 0,3 0.9 1.1 2.9
6. Subsidi Minyak Goreng - - 0 0.2 - -
7. Subsidi Kedele - - - 0.1 - -
8. Subsidi Pajak 6.2 1.9 17,1 21 8.2 18.4
9. Subsidi Lainnya - 0.3 1,5 - - -
Jumlah 120.8 107.4 150.2 275.3 138.1 201.3
Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun 2011
The Clean Air Initiative for Asian Cities juga menegaskan bahwa subsidi di Indonesia tidak tepat sasaran. Hal ini dilihat dari data tahun 2008 dimana 40
persen dari kelompok pengeluaran terkaya (high income) mendapatkan 70 persen
dari subisidi BBM, sementara 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya
mendapatkan 15 persen. Temuan tersebut, juga sejalan dengan data konsumsi
BBM yang dirilis oleh Kementrian Energi Sumberdaya Mineral tahun 2010.
Pengguna premium terbesar adalah untuk transportasi darat, yaitu sebesar 89
persen, sementara sisanya adalah untuk transportasi air, rumah tangga, usaha kecil
dan perikanan. Sementara itu, pengguna transportasi darat yaitu mobil pribadi
sebesar 53 persen, mobil barang sebesar 4 persen, kendaraan umum sebesar 3
persen, serta motor roda 2 sebesar 40 persen. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa yang menikmati subsidi BBM sebagian besar adalah kalangan
pendapatannya hanya sebesar Rp211.726 per kapita per bulan, kecil kemungkinan
dapat memiliki kendaraan bermotor.
Ketiga, rendahnya ruang gerak fiskal. Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang
dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan
yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar
fiscal space yang tersedia, akan besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan yang
menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur.
Ruang fiskal dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja
mengikat atau non-discretionary seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran untuk daerah.
Gambar 4 menunjukkan dalam lima tahun terakhir, ruang gerak fiskal
(fiscal space) dalam APBN rata-rata hanya berkisar 4-5 persen terhadap PDB. Artinya hanya terdapat sekitar 5 persen yang merupakan anggaran yang tidak
mengikat. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memiliki fleksibilitas dalam
mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas. Pertumbuhan
ruang gerak fiskal selama 2005-2010 tergolong rendah, yaitu hanya 3.16 persen.
Penyebab utama rendahnya ruang fiskal adalah meningkatnya belanja mengikat,
seperti belanja pegawai, subsidi dan pembayaran bunga utang. Faktor lainnya
Pendidikan sebesar 20 persen. Demikian juga bidang-bidang lain seperti dana
perimbangan dan otonomi khusus, kesehatan, dan sebagainya.
Sumber: Kementerian Keuangan,2011
Gambar 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun 2008-2011
Keempat, tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang menumpuk di kuartal IV. Penyerapan anggaran rata-rata menumpuk pada triwulan IV. Gambar 5 menunjukkan pada tahun 2005-2010, penyerapan anggaran
pada triwulan I sebesar 11.13 persen, triwulan II sebesar 21.40 persen, triwulan III
sebesar 24.46 persen serta triwulan IV sebesar 43.01 persen. Bila ditelusuri lebih
jauh, penyerapan anggaran belanja modal yang paling menumpuk di triwulan IV.
Penyebabnya adalah permasalahan pengadaan barang dan jasa, masalah
per-DIPAan dan lain sebagainya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kualitas ouput
tidak terjaga karena terbatasnya waktu pekerjaan, terutama untuk pembangunan
fisik. Disamping itu, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak jadi dilakukan lelang
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
2008 2009 2010 APBN-P 2011 APBN
19,9 18,5
17,5 17,5
15,52
13,16 12,64 12,49
4,38 5,37 4,87 5,03
karena waktunya terlalu sempit. Hal ini tentu menyebabkan inefesiensi anggaran
karena besarnya anggaran tidak sesuai dengan kualitas outputnya.
Sumber: Kementerian Keuangan, 2010.
Gambar 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L per Quartal, Tahun 2005- 2010
Kelima, rendahnya tingkat penyerapan anggaran. Inefesiensi juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang dalam 6
tahun terakhir (2005-2010) penyerapannnya hanya 87 persen saja. Artinya
terdapat rata-rata 13 persen anggaran yang tidak terserap. Padahal pada saat yang
sama pemerintah membiayai anggaran tersebut melalui utang. Nilai yield yang
harus dibayar pemerintah terhadap utang dalam negeri berkisar 9-10 persen per
tahun.
Dengan adanya berbagai permasalahan yang ada dalam pola belanja
pemerintah tersebut maka dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan
diteliti adalah apakah jika komposisi belanja pemerintah dilakukan perubahan
maka akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja dan pengurangan kemiskinan.
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan
Berdasarkan berbagai permasalahan dalam alokasi belanja Pemerintah
tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
1. Menganalisis dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia.
2. Membuat simulasi alternatif komposisi belanja pemerintah guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja serta pengurangan
tingkat kemiskinan di Indonesia.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
1. Mengetahui efektifitas komposisi belanja pemerintah dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia.
2. Memperoleh alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan
kemiskinan di Indonesia.
1.3.3. Hipotesis Penelitian
1. Komposisi belanja pemerintah Indonesia belum berdampak maksimal
terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan
kemiskinan.
2. Komposisi belanja pemerintah Indonesia akan lebih berdampak signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan penentuan komposisi
belanja pemerintah dan efektifitasnya dalam mencapai tujuan pembangunan
ekonomi di Indonesia, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah
dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro poor, dan pro job. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori aggregate demand dari Keynes. Penelitian ini juga disertai deskripsi dari komposisi belanja
dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian beberapa negara lain, seperti
Thailand, Malaysia, Singapura, dan China untuk dijadikan bahan perbandingan
Indonesia.
1.5. Kebaruan Penelitian
Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah
temuan bahwa secara umum perubahan komposisi belanja pemerintah, melalui
peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi,
kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun terdapat beberapa temuan
yang menarik antara lain adalah :
1. Semua perilaku persamaan belanja pemerintah mempunyai hubungan yang
sangat signifikan dengan variabel lag-nya. Hal ini berarti bahwa hampir tidak
ada perubahan dari pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun.
Pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun
sebelumnya.
2. Adanya ketidakefektifan alokasi belanja modal. Kontribusi belanja modal
terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.3, artinya setiap peningkatan
pemerintah sebesar Rp 0.3 miliar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan
belanja modal relatif tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dampak yang signifikan justru jika terjadi efisiensi belanja modal.
3. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk
miskin relatif sangat rendah, yaitu hanya -0.05, artinya setiap 1 Persen
peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada pengurangan
jumlah penduduk miskin sebesar 0.05 persen.
1.6. Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Belum melakukan perbandingan secara komprehensif dengan komposisi
belanja negara lain, sehingga belum mendapatkan benchmarking untuk menentukan komposisi belanja yang ideal untuk perekonomian Indonesia.
2. penelitian ini belum melakukan evalusi efektifitas belanja pemerintah
menurut sektor maupun belanja transfer daerah, dikarenakan struktur alokasi
anggaran menurut sektor dan transfer daerah sering mengalami perubahan
sesuai perubahan rezim pemerintahan.
3. penelitian ini hanya fokus pada aspek kebijakan fiskal, sehingga
perkembangan dan respon dari sisi moneter dianggap ceteris paribus.
4. Penelitian ini belum mengintegrasikan dengan dampak belanja pemerintah
2.1. Peran Pemerintah Dalam Perekonomian
Salah satu peranan pemerintah dalam perekonomian tercermin dalam
kebijakan fiskal. Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah
bentuk tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian agar
keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan
dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan
anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan
negara dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, stabilitas perekonomian,
dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Penyusunan
APBN memiliki tujuan sebagai pedoman pengeluaran dan penerimaan negara
agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam melaksanakan kegiatan
kenegaraan untuk meningkatkan produksi dan kesempatan kerja dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, anggaran pendapatan dan
belanja negara harus dirumuskan sedemikian rupa yang mencakup perkiraan
periodik dari semua pengeluaran dan sumber penerimaan.
Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki enam (6) fungsi yaitu:
1. Fungsi otorisasi, dimana APBN menjadi dasar untuk melaksanakan
2. Fungsi perencanaan, dimana APBN menjadi pedoman bagi penyelenggara
negara dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
APBN disusun untuk merencanakan target penerimaan dan pengeluaran
keuangan negara.
3. Fungsi pengawasan, dimana APBN menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan.
4. Fungsi stabilisasi memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian, utamanya untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang
tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan meredam siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi. APBN diharapkan dapat berfungsi
menjaga kestabilan arus uang dan arus barang sehingga dapat mencegah
terjadinya inflasi yang tinggi maupun deflasi yang akan mengakibatkan
kelesuan perekonomian (resesi).
5. Fungsi alokasi dimana anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta
meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi alokasi
terutama berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods). APBN ditentukan besarnya anggaran pengeluaran masing-masing bidang, ini
berarti di APBN sektor pembangunan, departemen dan lembaga telah
ditentukan dengan jelas. Sehingga melalui APBN kita dapat mengetahui
sasaran dan prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan oleh
6. Fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran negara harus memperhatikan
rasa keadilan, pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan
merata di masyarakat. Pendapatan negara yang dihimpun dari berbagai
sumber akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran negara di
berbagai sektor pembangunan dan di berbagai departemen. Penggunaan
dana harus dapat didistribusikan untuk berbagai sektor pembangunan
secara optimal.
Sedangkan asas penyusunan APBN dikenal dengan tiga azas yaitu:
pertama, azas anggaran seimbang. Semua pengeluaran didasarkan pada penerimaan. Pada akhirnya terdapat kesamaan jumlah antara pengeluaran dan
penerimaan, dengan kata lain APBN seimbang adalah jumlah pendapatan negara
yang diperkirakan diterima akan dapat menutupi semua pengeluaran yang
direncanakan (pengeluaran = penerimaan). Kedua, azas anggaran surplus. Jumlah penerimaan yang direncanakan pemerintah melebihi dari pengeluaran
(Pengeluaran < Penerimaan). Penetapan anggaran seperti ini dilakukan pada
negara yang memiliki masa kenaikan (prosperity). Ketiga, azas anggaran defisit. Anggaran yang ditetapkan oleh suatu negara apabila jumlah pengeluaran negara
lebih besar daripada penerimaan negara (pengeluaran > penerimaan negara).
Anggaran defisit dapat digunakan secara sadar untuk mendorong negara keluar
dari resesi seperti anjuran Keynes.
2.2. Peran Kebijakan Fiskal
Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau
swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi
output (Y) dalam keseimbangan makro:
Y = C + I + G + (X-M)……….……… (2.1) Menurut Keynes dalam perekonomian yang mengalami krisis dan depresi,
permintaan agregat dapat dinaikkan dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal
(Romer, 2001). Anggaran pemerintah (government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi Keynes untuk mengatur permintaan agregat dalam
perekonomian. Jika perekonomian berada di bawah full employment, permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah (G)
atau menurunkan pajak (T). Dalam pandangan Keynes, pemerintah mempunyai
peranan penting untuk mengatur permintaan agregat (AD) dalam rangka
mempertahankan atau menjaga agar perekonomian mendekati tingkat kesempatan
kerja penuh (full employment level).
Keseimbangan makro perekonomian terbuka, dalam Model
Mundell-Fleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan oleh tingkat suku bunga
dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis r = r*. Konsumsi tergantung pada
disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara negatif oleh defisit pada
neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar
(e). Sehingga persamaan (2.1) dapat ditulis seperti pada persamaan (2.2) sebagai
persamaan pasar barang atau fungsi IS.
Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) ………….……….(2.2) Keseimbangan pasar uang, permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh
tingkat suku bunga, dalam hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga
M/P = L(r*,Y) ….………..………(2.3) Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming,
dijelaskan melalui dua persamaan:
Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) …………..……….(2.4)
M/P = L(r*,Y) ……….....(2.5)
Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M),
tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y)
dan nilai tukar (e).
Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif
dalam mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut
didasarkan pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan
output dan sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana
perubahan suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan
uang untuk spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang
cenderung landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva
AS adalah horizontal atau cenderung landai.
Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi
berada pada kondisi unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku,
diasumsikan upah tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan informasi tidak
sempurna (0<p<1), akibatnya pekerja tidak melakukan penyesuaian terhadap
perubahan harga, sehingga model Keynesian dapat disebut sebagai imperfect foresight model. Secara grafis, keseimbangan makro Keynesian disajikan pada Gambar 6. Kebijakan fiskal dilakukan pada keseimbangan awal (A) dengan
sehingga peningkatan Gdapat meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan
kurva IS bergeser ke atas (IS1 ke IS2). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y.
Peningkatan Y pada tingkat harga tetap P1dan suku bunga r1 akan meningkatkan
permintaan uang, sehingga meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM1,
menurunkan investasi dan terjadi crowding out effect.
Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output,
agregate demand (AD) meningkat (AD1 ke AD2). Peningkatan AD akan
berdampak memperketat pasar uang, sehingga akan berakibat meningkatkan r dan
menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga direspons oleh
pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva
permintaan tenaga kerja bergeser ke atas.
Karena asumsi imperfect informations (0<p<1), maka pada saat yang sama, peningkatan permintaan tenaga kerja karena meningkatnya P direspon oleh
buruh dengan tuntutan kenaikan upah dari W1 ke W2 dan menggeser kurva
penawaran tenaga kerja ke kiri, yaitu ke Pe2.g(N), tetapi pergeseran kurva
penawaran lebih kecil dari pergeseran kurva permintaan tenaga kerja.
Keseimbangan pasar tenaga kerja meningkat dari N1ke N2. Peningkatan P terus
berlangsung sampai ekses demand dapat dihilangkan, yaitu pada P2Y3. Penggunaan tenaga kerja atau employment meningkat ke N2 dan upah meningkat
ke W2. Upah riil menurun, tetapi jika elastisitas permintaan tenaga kerja pada
keseimbangan baru lebih besar dari pada elastisitas pada keseimbangan awal,
maka upah riil akan meningkat.
Keseimbangan baru terjadi pada titik B, dimana output akhir adalah
sebesar Y3 yang lebih besar dari keseimbangan awal, artinya terjadi growth. Dampak akhir adalah peningkatan suku bunga (r), penurunan investasi (I),