• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5: DIALEKTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB 5: DIALEKTIKA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 5: DIALEKTIKA

Dalam logika klasik, dialektika berarti suatu metode diskusi tertentu dan satu cara tertentu dalam berdebat yang di dalamnya ide-ide kontradiktif dan pandangan-pandangan yang bertentangan dilontarkan. Masing-masing pandangan itu berupaya menunjukkan titik-titik kelemahan dan kesalahan yang ada pada lawannya, berdasarkan pengetahuan-pengetahuan dan proposisi-proposisi yang sudah diakui. Dengan demikian berkembanglah pertentangan antara penafian dan penetapan di lapangan pembahasan dan perdebatan, sampai berhenti pada kesimpulan yang di dalamnya salah satu pandangan yang bertentangan itu dipertahankan, atau sampai munculnya cara-pandang baru yang merujukkan semua pandangan dari pergulatan pemikiran antara hal-hal yang berlawanan tersebut, setelah menyingkirkan pandangan mereka dan menunjukan kelemahan masing-masingnya. Tetapi, dalam dialektika modern, perdebatan bukan lagi suatu metode pembahasan dan cara-pandang tertentu untuk bertukar pendapat. Tetapi ia telah menjadi suatu metode untuk menerangkan realitas dan hukum umum alam yang berlaku di pelbagai realitas dan macam-macam eksistensi. Jadi, kontradiksi tidak hanya berada di antara pendapat-pendapat dan cara pandang-cara pandang saja. Namun, ia ada di dalam jantung setiap realitas dan kebenaran. Karena itu, tidak ada proposisi yang di dalam dirinya tidak terkandung kontradiksi dan

penafiannya sendiri.

Orang pertama yang membangun suatu logika sempurna berdasarkan (ide dialektika) tersebut adalah Hegel. Dalam logikanya, kontradiksi dialektik adalah titik sentral dan prinsip pokok yang menjadi dasar suatu pemahaman baru tentang alam, dan yang melalui prinsip pokok ini muncullah teori baru tentang alam yang sama sekali berbeda dengan teori klasik yang dianut

orang sejak ia mampu mengetahui dan berpikir.

Hegel bukan orang pertama yang merumuskan prinsip-prinsip dialektika. Prinsip-prinsip tersebut berakar-dalam di dalam sejumlah ide yang sebentar-sebentar muncul di atas pentas pikiran manusia. Hanya saja ia tidak terumuskan berdasarkan suatu logika sempurna yang jelas dalam penjelasan dan pandangannya, dan yang desain-desain dan aturan-aturannya pasti, kecuali di tangan Hegel yang telah mendirikan segenap filsafat idealismenya di atas dasar dialektika tersebut. Kemudian Hegel menjadiannya sebagai penjelasan yang memadai tentang masyarakat, sejarah, bangsa, dan segala aspek kehidupan. Setelah Hegel, Marx menganut dialektika tersebut dan menempatkan filsafat materialismenya dalam bentuk dialektika murni. Jadi, dialektika modern, menurut klaim-klaim kaum dialektikawan, adalah hukum berpikir dan sekaligus realitas. Karena itu, dialektika modern adalah metode berpikir dan prinsip yang menjadi dasar eksistensi dan perkembangan realitas. Berkata Lenin: “Kalau ada kontradiksi-kontradiksi tertentu dalam ide-ide manusia, hal itu karena realitas yang dicerminkan pikiran kita mengandung kontradiksi-kontradiksi. Jadi, pertentangan sesuatu

akan menghasilkan pertentangan ide, bukan sebaliknya.”[137]

Berkata Marx: “Gerak pikiran tidak lain hanyalah cermin gerak realitas yang dipindahkan dan

ditransformasikan di dalam benak manusia.“ [138]

(2)

alam semesta melalui sekumpulan kontradiksi. Karena itu, setiap proposisi tentang alam dianggap sebagai afirmasi; dan pada waktu yang sama ia membentuk penolakannya sendiri. Afirmasi dan penolakan tersintesiskan dalam afirmasi baru. Jadi, metode kontradiktif dialektika yang menguasai alam mengandung tiga tahapan: tesis, antitesis dan sintesis – yakni afirmasi, penafian, dan penafian terhadap penafian. Menurut tuntutan-tuntutan metode dialektika ini, setiap sesuatu bersatu dengan lawannya. Ia sekaligus dikukuhkan dan ditolak, ada dan tidak ada. Logika Hegel mengklaim bahwa ia telah mengenyahkan – dengan dialektika yang dinisbahkannya kepada eksistensi – hal-hal pokok logika klasik. Menurut logika Hegel, hal-hal ini adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip nonkontradiksi, yang menyatakan bahwa sesuatu tidak mungkin disifati dengan suatu sifat tertentu dan sekaligus disifati dengan lawan sifat tersebut. Kedua, prinsip identitas. Ini adalah prinsip yang menyatakan bahwa setiap esensi (mahiyyah) adalah bagaimana ia itu secara niscaya, yakni sesuatu tidak mungkin dilepaskan dari dirinya sendiri. Ketiga, prinsip diam dan beku dalam alam. Prinsip ini menyatakan negativitas dan diamnya alam, dan menolak dinamisnya alam materi.

Logika baru ini tidak memberikan tempat kepada prinsip pertama, karena segala sesuatu yang berkenaan dengan realitas logika ini didasar- kan pada kontradiksi. Nah, kalau kontradiksi sudah mendominasi sebagai hukum umum, maka adalah wajar untuk menggugurkan prinsip lain logika klasik, yaitu prinsip nonkontradiksi. Segala sesuatu kehilangan identitasnya tepat pada waktu dikukuhkan, karena ia berada dalam proses menjadi terus-menerus. Dan selama kontradiksi adalah pondasi utama, tidaklah aneh jika kebenaran selalu berarti dua sesuatu yang kontradiksi. Karena kontradiksi seperti ini, yang berada di jantung setiap realitas, membangkitkan pertentangan terus-menerus dalam segala sesuatu, dan (karena) pertentangan berarti gerak dan progresi, maka alam selalu dalam keadaan aktif dan berkembang, dan selalu dalam keadaan bergerak maju dan menjadi. Inilah pukulan yang diklaim logika dialektika untuk diarahkan kepada logika manusia umum dan ide umum tentang alam yang menjadi

tumpuan metafisika selama beribu-ribu tahun.

Metode baru untuk memahami eksistensi dapat dirangkum dalam asumsi tentang proposisi primer yang dipandangnya sebagai dasar. Lantas dasar itu berubah menjadi lawannya dikarenakan pertentangan di antara hal-hal kontradiktif dari kandungan internal. Setelah itu, dua hal yang berkontradiksi itu tersintesiskan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu menjadi dasar dan titik-tolak baru. Demikianlah, tiga-progresi itu berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan

fenomena dan peristiwa-peristiwa eksistensi.

Hegel memulai dengan kategori-kategori dan ide-ide umum, kemudian menerapkan dialektika terhadapnya, dan menyimpulkannya dengan metode dialektik yang didasarkan pada kontradiksi yang tecermin pada tesis, antitesis dan sintesis. Tiga-serangkainya yang terkenal dan pertama dalam wilayah ini dimulai dari yang paling sederhana dan paling primer dari ide-ide itu: ide tentang eksistensi. Jadi, eksistensi itu ada. Ini merupakan afirmasi atau tesis. Hanya saja ia bukan sesuatu, karena ia dapat merupakan segala sesuatu. Lingkaran, segi empat, putih, hitam, tetumbuhan dan baru itu ada. Jadi, eksistensi bukan sesuatu yang pasti. Ia pada gilirannya adalah tidak maujud. Inilah antitesis yang dihasilkan oleh tesis tersebut. Demikianlah terjadinya kontradiksi dalam ide tentang eksistensi. Kontradiksi itu terlarutkan dalam sintesis eksistensi dan non-eksistensi yang menghasilkan maujud yang tidak sepenuhnya maujud, yakni menjadi dan bergerak. Demikianlah kesimpulan yang dapat ditarik

adalah bahwa eksistensi real itu menjadi.

(3)

dialektika segala sesuatu yang aktual itu sendiri. Kalau suatu ide menimbulkan ide yang menentangnya, hal itu karena realitas yang di- garnbarkan ide pertama tersebut menuntut

realitas yang menentangnya.

Pandangan sekilas saja terhadap tesis, antitesis dan sintesis dalam isu eksistensi, yang merupakan tiga serangkainya Hegel yang terkenal, menunjukkan dengan jelas bahwa Hegel tidak memahami prinsip non- kontradiksi dengan baik ketika ia mengabaikannya dan lantas menggantinya dengan prinsip kontradiksi. Saya sendiri tidak tahu bagaimana Hegel dapat menjelaskan kontradiksi, atau penafian dan penetapan yang bersatu pada ide eksistensi. Sebenarnya tanpa diragukan lagi, ide tentang eksistensi adalah ide umum. Itulah sebabnya ia dapat merupakan segala sesuatu – ia dapat berupa tetumbuhan atau benda anorganik, benda putih atau hitam, lingkaran atau segi empat. Tetapi apakah ini berarti bahwa segala sesuatu yang berlawanan itu bersatu dalan ide tentang eksistensi tersebut, sehingga menjadi tempat pertemuan bagi hal yang kontradiktif dan berlawanan? Tentu saja tidak. Bersatunya hal-hal yang berlawanan dalam satu subjek adalah satu hal-hal, dan kemungkinan berlakunya satu ide pada hal-hal ini adalah sesuatu yang lain. Jadi, eksistensi adalah ide yang tak mengandung sesuatu pun yang hitam atau putih, seperti tetumbuhan atau benda anorganik. Ia dapat

berwujud ini atau itu bukan ia adalah ini dan dalam waku yang sama adalah itu juga.[139]

Mari kita tinggalkan kategori-kategori Hegel, untuk mengkaji dialektika Marxisme dalam hal-hal pokoknya yang konstruksinya dibuat oleh Hegel sendiri. Hal-hal pokok itu ada empat: gerak perkembangan, kontradiksi-kontradiksi perkembangan, lompatan-lompatan perkembangan, dan penegasan adanya hubungan umum.

Gerak Perkembangan

Stalin menyatakan: “Dialektika, berbeda dengan metafisika, tidak menganggap alam sebagai keadaan diam, beku, dan stabil. Tetapi ia menganggapnya sebagai keadaan yang senantiasa bergerak, berubah, berkembang, dan dalam pembaruan terus-menerus. Di dalam alam selalu ada sesuatu yang melahirkan dan berkembang, dan sesuatu yang rusak dan hancur. Karena itu, kita ingin (menegakkan) metode dialektika, sehingga orang takkan puas dengan melihat peristiwa-peristiwa dari perspektif hubungan satu peristiwa dengan lainnya dan dari perspektif beradaptasinya yang satu terhadap lainnya, tetapi juga dari perspektif gerak, perubahan, perkembangan, kemunculan dan kelenyapan peristiwa-peristiwa itu.” [140]

Berkata pula Engels: “Sebaiknya kita tidak melihat alam sebagai seolah-olah tersusun dari hal-hal yang lengkap. Tetapi seyogianya kita melihatnya sebagai seolah-olah tersusun dalam otak kita. Pasase ini (sampai ke komposisi mental) menunjukkan perubahan yang tak terputus-putus dari menjadi dan melenyap, di mana akhirnya cahaya pertumbuhan bersinar, meskipun terdapat hal-hal yang tampak maujud bersamaan dan lenyap kembali secara

temporer.” [141]

(4)

itu. Kemudian salah seorang di antara keduanya itu mengamati perkembangan dan geraknya yang terus-menerus dan menelaahnya berdasarkan seluruh perkembangannya. Sementara yang lain hanya mencukupkan diri pada eksperimen pertama seraya yakin bahwa makhluk hidup tersebut beku dalam strukturnya dan konstan dalam identitas dan realitasnya. Jadi, alam sebagai suatu keseluruhan adalah sama dengan makhluk hidup, seperti tetumbuhan ataupun hewan, dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian, pikiran tidak menyertai alam kecuali jika ia menyerupai alam dalam gerak dan perkembangannya. Faktanya, hukum perkembangan dialektika, yang oleh dialektika modern dianggap sebagai salah satu ciri mendasarnya sendiri, sama sekali bukan hal baru dalam pemikiran manusia. Yang baru adalah watak dialektiknya, yang dari watak dialektiknya ini ia harus dilepaskan, seperti akan kita ketahui kelak. Hukum ini, dalam batas-batasnya yang benar, sesuai dengan logika umum, dan tidak ada hubungannya dengan dialektika, juga tidak ditemukan oleh dialektika. Untuk menerima hukum itu dan mengetahui bahwa metafisika menyadarinya sebelum (dialektika), kita hanya perlu melepaskan hukum ini dari bentuk kontradiksi dan

dasar perdebatan yang menjadi dasar dialektika.

Seorang metafisis, dalam pandangan seorang dialektikawan, yakin bahwa alam itu beku, diam, tetap tak berubah dalam segenap aspeknya. Seolah-olah seorang metafisis tidak memiliki lagi pengetahuan apa pun serta kesadaran dan sensasi. Ia lantas menjadi tidak perseptif dan tak tahu akan berbagai perubahan dan transformasi dalam dunia alam yang disadari oleh semua orang bahkan anak-anak sekalipun. Adalah jelas bagi setiap orang bahwa mempercayai adanya perubahan dalam dunia alam adalah permasalahan yang tidak butuh studi-studi ilmiah terdahulu, dan juga bukan ajang perselisihan. Tetapi, yang pantas dikaji adalah watak perubahan tersebut dan sejauh mana kedalaman dan generalitasnya. Sebab, ada dua perubahan. Pertama, semata-mata suksesi, dan kedua, gerak. Sejarah filsafat meriwayatkan pergulatan yang tajam, bukan dalam masalah perubahan secara umum, akan tetapi dalam esensinya dan penjelasan filosofisnya yang akurat. Pergulatan itu berpusat pada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah perubahan yang terjadi pada suatu benda – ketika benda itu mengarungi suatu jarak tertentu – hanyalah banyak pose yang segera mengikuti satu sama lain dalam banyak tempat, dan dengan begitu terciptalah dalam benak ide tentang gerak? Atau dapatkah perubahan tersebut dinisbahkan kepada satu perjalanan yang berangsur-angsur, yang di dalamnya tidak ada pose maupun diam? Apakah perubahan yang terjadi pada air, ketika temperature air bertambah, berarti satu himpunan temperature yang suksesif yang mengiringi satu sama lain? Atau ia satu temperatur yang menjadi lebih sempurna, dan yang berganti dan menjadi semakin tinggi derajatnya? Demikianlah, kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut berkenaan dengan setiap macam perubahan yang membutuhkan penjelasan filosofis dengan salah satu dari dua cara yang diajukan oleh pertanyaan-pertanyaan tadi. Sejarah Yunani menceritakan bahwa sebagian aliran filsafat mengingkari gerak dan mengambil penjelasan lain tentang perubahan, yang menisbahkan perubahan kepada suksesi hal-hal yang diam. Salah satu tokoh aliran itu adalah Zeno[142] yang menyatakan bahwa gerak seorang musafir dari satu ujung bumi ke ujung bumi

(5)

berbeda sama sekali dengan orang pertama yang berhenti pada titik tertentu. Jadi kedua-duanya diam, meskipun diamnya yang pertama terjadi terus-menerus, dan diamnya yang lain segera berganti ke diam yang lain pada titik lain dari jarak itu. Karenanya perbedaan antara kedua diam itu adalah perbedaan antara diam yang sebentar dan diam yang lama. Inilah yang diupayakan untuk dijelaskan oleh Zeno dan sebagian filosof Yunani lainnya. Ia membuktikan cara-pandangnya dengan empat dalil terkenalnya yang tidak mendapatkan kemajuan dan keberhasilan dalam lapangan filsafat. Karena, aliran Aristoteles – aliran filsafat terbesar di zaman Yunani – mempercayai gerak, menolak dalil-dalil tersebut, dan membuktikan adanya gerak dan perkembangan dalam fenomena-fenomena dan atribut-atribut alam. Hal ini berarti bahwa fenomena alami kiranya tidak sepenuhnya ada pada satu saat. Tetapi, ia ada secara berangsur-angsur dan terus memperoleh kemungkinan adanya sedikit demi sedikit. Dengan demikian, terjadilah perkembangan dan penyempurnaan eksistensi. Ketika temperatur air berlipat ganda, ini tidak berarti bahwa ia setiap saat menerima derajat tertentu temperatur yang sepenuhnya maujud, kemudian lanyap dan kemudian tercipta lagi derajat lain temperatur. Tetapi esensi kegandaan yang ada pada satu temperatur itu sudah ada dalam air tersebut tapi belum sepenuhnya, dalam arti ia tidak memperoleh dalam saat pertama segenap daya dan kemungkinannya. Karena itu, ia mulai memperoleh segenap kemungkinannya dengan berangsur-angsur, dan sesudah itu bergerak maju dan berkembang. Dengan bahasa filsafat, ia adalah gerak progresif terus-menerus. Adalah jelas bahwa proses penyempurnaan atau gerak berkembang tidak mungkin dipahami selain dengan arti itu. Adapun suksesi fenomena-fenomena – yang masing-masingnya memaujud setelah yang lain dan, melalui pelenyapannya sendiri, membuka jalan bagi fenomena baru – itu bukanlah pertumbuhan dan penyempurnaan. Pada gilirannya, ia bukan gerak, tetapi ia adalah semacam

perubahan umum.

Jadi, gerak adalah gerak maju eksistensi sedikit demi sedikit dan perkembangan sesuatu ke tingkat yang diizinkan oleh kemungkinan- kemungkinannya. Karena itu, ide filosofis gerak terdefinisikan sebagai aktualisasi bertahap potensialitas sesuatu.[143] Definisi ini berdasarkan

ide tentang gerak yang telah. kami kemukakan di atas. Gerak, seperti telah kita ketahui, bukan pelenyapan mutlak sesuatu dan adanya sesuatu lain yang baru. Ia adalah progresi sesuatu dalam tatanan eksistensi. Jadi, setiap gerak harus mengandung satu eksistensi terus-menerus, sejak memulai hingga berhenti. Eksistensi inilah yang bergerak, dalam arti bahwa (ia bergerak maju) berangsur-angsur dan terus semakin “kaya”. Setiap tahap adalah tahapan dari tahapan-tahapan satu eksistensi tersebut. Dan tahapan-tahapan ini hanya ada karena gerak. Jadi, sesuatu yang bergerak atau suatu eksistensi yang berkembang tidak memiliki

tahapan-tahapan ini sebelum ia bergerak. Kalau tidak demikian, tentu tidak ada gerak. [144]

(6)

Jadi, kalau kita perhatikan air dalam contoh di atas pada titik tertentu gerak, kita mendapatkan bahwa air itu benar-benar panas pada temperatur 80°C, misalnya. Tetapi, pada waktu yang sama, ia mengandung kemungkinan melampaui derajat tersebut dan potensi maju ke derajat yang lebih tinggi. Aktualitas setiap langkah pada tahap tertentunya berkaitan dengan potensinya untuk melenyap. Mari kita ambil lagi contoh gerak yang lebih dalam. Ia (pada mulanya) ovum, kemudian zygote (bakal janin), janin, kemudian bayi, lantas remaja, lalu dewasa. Makhluk hidup ini, pada tahapan tertentu geraknya, adalah sperma aktual. Tetapi pada waktu yang sama, ia adalah sesuatu lain yang tidak seperti sperma dan lebih tinggi, yaitu secara potensial adalah bayi. Ini berarti bahwa gerak pada makhluk hidup itu sedemikian, sehingga bercampur di dalamnya aktualitas dan potensialitas. Kalau saja dalam makhluk hidup itu tidak ada potensialitas dan kemungkinan untuk suatu tahap baru, tentu tak akan ada gerak. Dan kalau saja tidak ada sesuatu pun yang aktual, tentu itu adalah ketiadaan murni. Tidak ada gerak juga. Jadi, perkembangan selamanya terdiri atas sesuatu yang aktual dan sesuatu yang potensial. Demikianlah, gerak terus-menerus, selama sesuatu mengandung aktualitas dan sekaligus potensialitas, mengandung juga eksistensi dan sekaligus kemungkinan. Kalau kemungkinan tak ada, dan tidak ada lagi kapasitas untuk ke tahap baru,

berakhirlah usia gerak.

Inilah pengertian aktualisasi berangsur dari potensialitas sesuatu, atau bersatunya potensialitas dan aktualitas dalam gerak. Inilah arti filsafat yang tepat tentang gerak yang diberikan metafisika. Materialisme dialektik telah mengambil arti ini, tetapi ia tidak memahaminya dan tidak mengetahuinya secara benar. Ia lantas mengklaim bahwa gerak tidak terjadi kecuali melalui kontradiksi yang terus-menerus dalam jantung sesuatu, seperti akan

kita ketahui sebentar lagi.

Setelah itu, tibalah giliran peranan filsafat Islam di tangan filosof Muslim besar, Sadruddin Asy-Syirazi [145]. Ia membuat teori gerak umum. Ia membuktikan secara filosofis bahwa

gerak, dalam artinya yang akurat yang telah kami kemukakan, tidak hanya mengenai fenomena alam dan permukaan aksidentalnya saja. Tetapi gerak fenomena seperti itu tidak lain hanyalah satu aspek dari perkembangan yang mengungkapkan aspek yang lebih dalam. Yaitu, perkembangan pada jantung alam dan gerak substansial alam. Hal ini demikian, sebab gerak terluar fenomena berarti kebaruan dan kerusak-hancuran, maka sebab langsungnya haruslah sesuatu yang terbarui juga yang esensinya juga tak tetap karenan penyebab apa yang tetap itu tetap, dan penyebab apa yang dapat diubah dan diperbarui adalah dapat diubah dan diperbarui. Maka penyebab langsung gerak tak mungkin sesuatu yang tak bergerak. Kalau tidak demikian, bagian-bagian gerak tak akan sirna tetapi akan menjadi diam. [146]

Filosof Syirazi tidak hanya membuktikan gerak substansial saja. Ia bahkan menjelaskan bahwa prinsip gerak pada alam adalah salah satu prinsip filosofis niscaya metafisika, dan menerangkan, berdasarkan prinsip ini, hubungan yang baru dengan yang lama, [147] dan

sejumlah problem filsafat yang lain, seperti persoalan waktu, [148] persoalan dapat

dipisah-pisahkannya materi, dan hubungan jiwa dengan badan. [149]

(7)

tahap yang berlawanan tanpa bersatunya tahap-tahap yang berlawanan tersebut dalam satu dari tahapan-tahapan gerak. Agar hal ini menjadi jelas, kita harus membedakan antara potensialitas dan aktualitas dan menganalisis kesalahan Marxis yang bertumpu pada anggapan bahwa potensialitas dan aktualitas adalah unit-unit yang kontradiktif. Gerak tersusun dari potensialitas dan aktualitas. Potensialitas dan aktualitas bergandengan dalam berbagai tahap gerak. Tidak mungkin bagi alam gerak untuk memaujud tanpa salah satu dari dua elemen itu. Jadi, eksistensi dalam setiap tahap progresinya ke kesempurnaan mengandung derajat aktual tertentu dan derajat yang lebih tinggi daripada yang berada dalam potensialitas. Pada saat ia beradaptasi dengan derajat (aktual tertentu) tersebut, ia berjalan

menaik dan melangkahi derajat kininya.

Marxisme membayangkan bahwa ini adalah semacam kontradiksi, bahwa eksistensi progresif mengandung sesuatu dan hal yang berlawanan, dan bahwa kontradiksi antara dua lawan itu adalah yang melahirkan gerak. Berkata Engels: “Situasinya akan berbeda sama sekali jika kita melihat segala yang ada ini dalam keadaan bergerak, berubah, dan saling mempengaruhi satu terhadap lainnya; karena kita mendapatkan diri kita, pada awal posisi seperti itu, tenggelam dalam kontradiksi-kontradiksi. Gerak berkontradiksi dengan fakta bahwa perubahan mekanik paling sederhana pada tempat tidak mungkin terjadi kecuali dengan perantaraan eksistensi benda tertentu di tempat tertentu di saat tertentu, dan di tempat lain pada saat yang sama. Dengan kata lain, maujud dan tak maujudnya ada sekaligus pada satu tempat. Maka, suksesi bersinambung dari kontradiksi ini dan rekonsiliasi temporer

kontradiksi ini dengan suksesi ini adalah apa yang disebut gerak.”[150]

Lihatlah, betapa tidak masuk akalnya ide gerak dalam materialisme dialektik, yang diuraikan Engels berdasarkan kontradiksi, tanpa tahu bahwa jika dua derajat dari gerak itu benar-benar ada pada tahap tertentu gerak, tentu tidak mungkin ada perkembangan; dan pada gilirannya, bekulah gerak itu. Karena, gerak adalah suatu perpindahan maujud dari satu derajat ke derajat lainnya, dari satu batas ke batas lain. Nah, kalau semua batas dan titik itu benar-benar tersatukan, tentu saja tidak akan ada gerak. Maka, adalah perlu untuk tidak menafsirkan gerak kecuali dengan prinsip nonkontradiksi. Kalau tidak, kalau kontradiksi itu boleh, maka adalah hak kita untuk mempertanyakan: apakah gerak itu mengandung perubahan dalam derajat-derajat sesuatu yang progresif, dan pergantian batas-batas dan kualitas sesuatu itu atau tidak? Kalau gerak tidak mengandung perubahan atau kebaruan apa pun, maka ia bukan gerak, tetapi ia adalah kebekuan dan kediaman. Dan apabila Marxisme mengakui kebaruan dan perubahan gerak, untuk apa kebaruan ini, jika semua kontradiksi itu benar-benar ada dan tak ada pertentangan di antara mereka? Analisis tersederhana terhadap gerak menunjukkan kepada kita bahwa gerak adalah salah satu fenomena yang mencegah dan membuat mustahil bersatunya hal-hal yang kontradiktif dan yang berlawanan, sesuatu yang menyebabkan maujud progresif berubah terus- menerus dalam derajat dan batasnya. Kontradiksi atau dialektika yang diduga dalam gerak hanyalah disebabkan oleh kekacauan antara potensialitas

dan aktualitas.

(8)

di antara hal-hal yang kontradiksi. Karena itu, Marxisme lantas menolak prinsip nonkontradiksi dan menyingkirkan segenap logika umumnya. Sebagian metafisikawan telah mengupayakan sesuatu yang sama dalam sejarah filsafat kuno, tetapi dengan satu perbedaan antara keduanya: Marxisme hendak membenarkan kontradiksi dengan upaya tersebut. Adapun mereka (kaum metafisikawan kuno itu) berusaha membuktikan penafian kemungkinan gerak, sebab gerak mengandung kontradiksi. Dalam hal ini, Fakhruddin

Ar-Razi [151] juga berusaha, yaitu menjelaskan bahwa gerak adalah progresi berangsur, yakni

adanya sesuatu secara berangsur-angsur. Ia mengklaim bahwa progresi berangsur eksistensi adalah tak mungkin, karena itu mendatangkan suatu kontradiksi. Dan para filosof telah menjelaskan bahwa (ide gerak ini) muncul karena salah memahami makna progresi berangsur

dan eksistensi berangsur.

Karena kita sekarang telah mengetahui dengan jelas bahwa gerak bukanlah konflik di antara hal-hal yang aktual yang kontradiksi selama- nya, tetapi ia adalah terjeratnya potensialitas dengan aktualitas, dan keberangkatan sesuatu secara sedikit demi sedikit dari satu keadaan ke keadaan lainnya, maka dapatlah kita mengetahui bahwa gerak tidak mungkin mandiri (tidak membutuhkan) sebab eksternal; dan bahwa eksistensi progresif tidak berangkat dari aktualitas kecuali karena sebab luar, dan konflik di antara hal-hal yang berkontradiksi bukanlah sebab internal keberangkatan tersebut. Karena, dalam gerak tak ada kesatuan hal-hal yang berkontradiksi dan hal-hal yang berlawanan yang dari sini muncul gerak. Jadi, selama pada permulaan gerak, eksistensi progresif tidak memiliki derajat-derajat atau jenis-jenis yang akan dicapainya melalui tahapan-tahapan gerak, dan selama ia secara internal tidak melibatkan sesuatu kecuali kemungkinan derajat itu dan kesiapan untuk derajat-derajat ini, maka harus ada sebab untuk mengeluarkan eksistensi itu dari potensialitas ke aktualitas, supaya kemungkinannya yang ada di dalam maujud terdalamnya berubah menjadi realitas.

Dengan demikian, kita tahu bahwa hukum umum gerak pada alam membuktikan dengan dirinya sendiri keniscayaan adanya prinsip di luar batas batas material alam. Hal ini karena, gerak, menurut hukum itu, adalah cara (proses) adanya alam. Jadi, adanya alam adalah bentuk lain gerak dan progresi berangsur alam, dan juga keberangkatan terus-menerusnya dari potensial ke aktualitas. Teori mandirinya gerak dikarenakan kontradiksi-kontradiksi internalnya yang konfliknya di antara satu sama lain menghasilkan gerak, dalam pandangan Marxis, sudah rubuh, karena memang tidak ada konflik dan kontradiksi. Karena itu, harus ada kausasi, dan kausasi itu harus dengan sesuatu di luar batas-batas alam. Karena, apa pun yang ada dalam alam adalah sedemikian sehingga eksistensinya adalah gerak dan progresi berangsur, karena, menurut hukum umum gerak, tidak ada ketetapan di dalam alam ini. Jadi, dalam mencari sebab (primer) tidak mungkin kita berhenti pada sesuatu yang alami. Hal kedua, gerak, menurut pandangan Marxis, tidak berhenti pada batas-batas realitas objektif alam. Tetapi, ia mencakup realitas-realitas dan pikiran-pikiran manusia. Jadi, sebagaimana realitas luar materi berkembang dan tumbuh, demikian pula kebenaran-kebenaran dan persepsi mental tunduk kepada hukum perkembangan dan pertumbuhan yang berlaku pada dunia alam. Berdasarkan hal ini, dalam pandangan Marxisme tentang ide tidak ada kebenaran mutlak. Berkata Lenin: “Jadi, dialektika, dalam pandangan Marx, adalah ilmu hukum-hukum umum gerak, baik di dunia luar maupun dalam pikiran manusia.” [152]

Dalam pandangan kita, hukum gerak umum adalah kebalikannya. Ia adalah hukum alami yang menguasai alam materi dan tidak mencakup dunia pikiran dan pengetahuan. Tidak mungkin terdapat perkembangan, dalam arti filosofisnya yang akurat, dalam kebenaran atau pengetahuan, seperti telah kami terangkan dengan jelas dalam pembahasan pertama (“Teori Pengetahuan”).

(9)

membuktikan dialektika pikiran dan geraknya. Dalam hal ini ada tiga upaya. Upaya pertama adalah bahwa pikiran dan pengetahuan adalah refleksi-refleksi realitas objektif. Agar pikiran dan pengetahuan itu sesuai dengan realitas objektif, keduanya harus mencerminkan hukum-hukum, perkembangan dan geraknya. Alam berkembang dan berubah terus-menerus sesuai hukum gerak. Tidak mungkin kebenaran menggambarkan alam dalam akal manusia kalau ia adalah beku dan diam. Tetapi kebenaran itu ada di dalam pikiran kita jika pikiran itu sedemikian sehingga tumbuh dan berkembang secara dialektik, yang pada gilirannya menyebabkan pikiran kita tentang sesuatu sesuai dengan sesuatu itu sendiri. Ada baiknya di

sini kita perhatikan teks-teks berikut:

“Realitas tumbuh, dan pengetahuan yang timbul dari realitas itu mencerminkannya, tumbuh sebagaimana ia tumbuh, dan menjadi elemen efektif pertumbuhannya. Pikiran tidak menghasilkan subjeknya. Tetapi ia hanyalah mencerminkan dan menggambarkan realitas

objektif dengan menyingkapkan hukum-hukum pertumbuhan realitas ini.”[153]

“Perbedaan antara logika formal dan logika dialektik terbatas pada fakta bahwa keduanya menghadapi secara berbeda-beda isu pokok logika, yaitu masalah kebenaran. Dari pandangan logika dialektik, kebenaran bukanlah sesuatu yang diberikan untuk sekali ini saja. Ia bukanlah sesuatu yang sempurna, terdeterminasi, beku dan diam. Tetapi itu berbeda dengan hal ini.

Kebenaran adalah proses pertumbuhan pengetahuan manusia tentang alam objektif.” [154]

“Logika dialektik Marxis membahas sesuatu yang dipelajarinya dari segi sejarah karena ia adalah proses pertumbuhan dan perkembangan. Ia sesuai dengan sejarah umum pengetahuan

dan sejarah ilmu.” [155]

Tidak diragukan lagi bahwa pikiran dan pengetahuan menggambarkan realitas objektif dalam bentuk tertentu. Tetapi, ini tidak berarti bahwa di dalam keduanya tecermin gerak realitas objektif dan, maka, bahwa tumbuh dan bergerak keduanya mengikuti pertumbuhan dan

geraknya. Hal ini karena:

Pertama, dunia alam – alam perubahan, kebaruan dan gerak – niscaya mengandung hukum-hukum umum tetap. Inilah yang tidak mungkin diingkari oleh logika apa pun, kecuali jika ia mengingkari dirinya sendiri. Suatu logika bukanlah logika, kecuali kalau ia mendasarkan metode berpikirnya dan pemahamannya terhadap alam pada hukum- hukum tertentu yang tetap. Bahkan dialektika sendiri menganggap bahwa sejumlah hukum menguasai alam dan selalu mengaturnya. Di antaranya adalah hukum gerak. Jadi, di dalam dunia alam, baik tunduk kepada hukum manusiawi umum atau kepada hukum dialektika, terdapat hukum-hukum yang tetap yang mencerminkan kebenaran-kebenaran yang tetap di dunia pikiran dan

lapangan pengetahuan manusia.

(10)

dipancarkan oleh atom-atom uranium, dan juga rincian-rincian dan informasi lainnya. Tetapi, ide ini, tak soal dengan kedalamannya atau pengungkapan mendalamnya tentang rahasia-rahasia elemen radium, tidak akan mendapatkan sifat-sifat realitas objektif, yakni sifat-sifat radium, juga tidak akan memancarkan radiasi yang dipancarkan atom-atom dan elemen ini. Akibatnya, ide kita tentang atom takkan berkembang menjadi radiasi, sebagaimana dilakukan

beberapa atom dalam alam eksternal.

Demikianlah, menjadi jelas bahwa hukum-hukum dan sifat-sifat realitas objektif tidak terdapat pada ide itu sendiri. Di antara hukum-hukum dan sifat-sifat itu adalah gerak. Jadi, meskipun itu satu sifat umum materi dan salah satu hukumnya yang pasti, tetapi kebenaran di dalam akal kita atau ide yang mencerminkan alam tidak mengandung sifat tersebut. Suatu ide yang sahih tidak perlu mencerminkan realitas objektif dalam sifat-sifat dan berbagai macam aktivitasnya. Kalau tidak demikian, kita tidak akan memiliki ide yang sahih. Jadi, metafisika, meski menganggap bahwa alam adalah dunia gerak dan berkembang yang permanen, berbeda dengan dialektika. Metafisika menolak aplikasi hukum gerak pada ide-ide mental, karena di dalam ide-ide seperti itu tidak ada semua sifat realitas objektif. Ini tidak berarti bahwa jika kaum metafisikawan menciptakan ide tentang alam pada salah satu tahapannya, maka mereka akan membekukan pikiran mereka, menghentikan penelitian mereka dan menganggap ide tersebut memadai untuk mengungkapkan misteri-misteri terdalam alam dalam segenap tahapannya. Kita tidak tahu seorang pandai yang hanya mencukupkan, misalnya, dengan ide ilmiahnya yang diciptakannya tentang ovum, sehingga tidak meneliti perjalanan makhluk hidup pada tahapan keduanya, dan mencukupkan diri dengan ide ilmiah yang dibuatnya

tentangnya pada tahapan tertentu itu.

(11)

elemen beku yang tidak bergerak, tetapi sebagai sesuatu yang melanjutkan perjalanannya dan yang tentang setiap tahapnya orang membuat ide, maka ini akan mendekati diskusi; (karena) ia tak memaksudkan gerak dialektik kebenaran dan ide. Setiap ide yang kita ciptakan tentang tahapan tertentu perkembangan uranium adalah konstan dan tidak berkembang secara dialektik ke ide lain. Tetapi ditambahkan padanya ide baru. Pada akhir proses ini kita memiliki sejumlah ide dan kebenaran konstan, yang masing-masing menggambarkan derajat tertentu realitas objektif. Nah, mana dialektika dalam pikiran? Mana pula ide yang berkembang secara alami mengikuti perkembangan luar? Inilah semua yang berhubungan dengan upaya (penjelasan) dan penolakan Marxisme tentangnya. Upaya kedua yang dibuat Marxisme untuk membuktikan dialektika dan perkembangan pikiran adalah bahwa pikiran atau pengetahuan adalah salah satu fenomena alam dan merupakan produk lebih tinggi materi dan pada gilirannya adalah bagian dan alam. Ia diatur oleh undang-undang yang menguasai alam. Ia berubah dan tumbuh secara dialektik,

sebagaimana dilakukan semua fenomena alam.

Kami harus mengingatkan bahwa pembuktian ini berbeda dengan pembuktian terdahulu. Dalam pembuktian terdahulu, Marxisme berupaya membuktikan adanya gerak dalam pikiran disebabkan karakter pikiran adalah refleksi realitas yang bergerak. Refleksi tidak akan sempurna, jika realitas bergerak itu tidak tecermin dalam pikiran dalam gerak dan pertumbuhannya. Namun dalam upaya ini, Marxisme berupaya menunjukkan bahwa gerak dialektik pikiran disebabkan oleh karakter pikiran sebagai bagian dari alam. Hukum-hukum dialektika berlaku pada materi dan sekaligus pengetahuan, dan mencakup baik realitas maupun pikiran. Karena, keduanya adalah suatu aspek dari alam. Jadi, pikiran atau kebenaran tumbuh dan berkembang, bukan saja karena ia mencerminkan suatu realitas yang berkembang dan tumbuh, karena ia sendiri adalah bagian dari alam yang berkembang sesuai hukum-hukum dialektika. Dialektika, selain memastikan adanya gerak dinamis, yang berdasarkan kontradiksi internal di dalam maujud terdalam setiap fenomena objektif alam, juga memastikan adanya gerak dinamis dalam fenomena-fenomena pikiran dan pengetahuan. Mari kita telaah apa yang berkaitan dengan subjek ini dalam teks-teks berikut: “Maujud adalah gerak materi yang tunduk kepada hukum-hukum. Sebab, pengetahuan kita hanyalah

produk superior alam. Oleh karena itu, ia hanyalah mencerminkan hukum-hukum ini.” [156]

“Kalau kita pertanyakan alam pikiran itu, alam kesadaran dan sumber keduanya, kita dapatkan bahwa manusia itu sendiri adalah produk alam. Ia tumbuh dalam suatu komumtas tertentu dan bersama tumbuhnya komunitas tersebut. Ketika inilah ia menjadi jelas bahwa produk akal manusia yang adalah juga, pada analisis akhir, merupakan produk-produk alam, bukan berada dalam kontradiksi, tetapi dalam kesesuaian dengan seluruh alam

yang saling berhubungan.”[157]

(12)

dialektik pikiran, seperti dilakukan kaum Marxis. Tetapi, kapan kepercayaan terhadap suatu

hukum alam itu menjadi suatu kondisi bagi adanya hukum itu? Bukankah tubuh Pasteur, [158]

yang menemukan mikroba itu dan tubuh Ibn Sina, yang tak tahu apa pun tentang mikroba,

sama-sama bereaksi terhadap hasil-hasil (germs [159]), sesuai dengan hukum-hukum alam yang

menguasai hasil-hasil (germs)? Demikian pula halnya dengan setiap hukum alam. Jadi, kalau dialektika adalah hukum alam yang berlaku pada pikiran dan juga materi sekaligus, maka ia berlaku pada (semua) pikiran manusia juga. Dan jika dalam pengungkapannya ada sesuatu,

maka ia hanya kecepatan gerak berkembang saja.

Upaya ketiga adalah mengeksploitasi kemenyeluruhan dan perkem- bangan ilmiah di berbagai lapangan dan menganggapnya sebagai dalil empirik atas dialektika dan perkembangan pikiran. Sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri – dalam pandangan Marxisme – adalah sejarah gerak dialektik pikiran yang semakin sempurna dalam perjalanan zaman. Berkata Kedrov: “Dan kebenaran mutlak, hasil dari kebenaran-kebenaran nisbi, adalah gerak historik perkembangan. Ia adalah gerak pengetahuan. Oleh sebab itu, logika dialektik Marxis membahas sesuatu yang dipelajarinya dari cara-pandang kesejarahan, dari cara-pandang bahwa maujudnya sesuatu itu adalah proses pertumbuhan dan perkembangan. Logika ini sesuai dengan sejarah umum pengetahuan dan sejarah ilmu. Dan Lenin – ketika menunjukkan bahwa dialektika mendapatkan kesimpulan-kesimpulannya dari sejarah pikiran dan sekaligus menyatakan bahwa sejarah pikiran dalam logika harus sesuai, sebagian atau seluruhnya, dengan hukum-hukum pikiran – menggunakan sebagai contoh ilmu-ilmu alam, ekonomi,

politik dan sejarah.” [160]

(13)

ilmiah. Teori Pasteur tentang makhluk hidup mikrobik yang dibuatnya berdasarkan intuisi, kemudian didukung oleh observasi-observasi cermat dengan perangkat-perangkat ilmiah modern. Juga teori gravitasi umum, yang hipotesis untuknya dibangkitkan di dalam benak Newton oleh pemandangan sederhana (pemandangan jatuhnya buah apel di atas tanah), membuat Newton bertanya: Mengapa kekuatan yang membuat apel itu jatuh ke atas tanah bukan kekuatan yang menjaga keseimbangan bulan dan memandu geraknya? Kemudian eksperimen-eksperimen dan observasi-observasi ilmiah mendukung berlakunya gravitasi pada benda-benda samawi, dan menganggapnya sebagai hukum umum yang didasarkan pada

hubungan tertentu.

Begitu pula dengan teori yang menyatakan bahwa perbedaan kecepatan jatuhnya benda-benda dinisbahkan kepada resistensi udara, bukan kepada perbedaan massanya, yang lahir sebagai peristiwa ilmiah (yang penting) yang kebenarannya kemudian dikukuhkan ilmu melalui eksperimen-eksperimen terhadap berbagai benda di suatu ruang hampa udara sehingga menunjukkan bahwa benda-benda itu sama memiliki derajat tertentu kecepatan – saya katakan, teori-teori tersebut dan beribu-ribu teori lainnya, semuanya telah melewati tahapan perkembangan yang telah disebutkan di atas dengan melalui tangga hipotesis ke tangga hukum. Mereka tidak mengungkapkan melalui pelaluan dan perkembangan pertumbuhan pada kebenaran itu sendiri, tetapi perbedaan derajat pembenaran ilmiah terhadap teori tersebut. Jadi, ide itu adalah ide yang sama, hanya ia telah melewati ujian ilmiah. Karena ini, ia menjadi jelas sebagai kebenaran, setelah sebelumnya ia diragukan. Setelah teori itu mencapai tempatnya yang tepat di antara hukum- hukum ilmiah, ia memerankan peran aplikasinya, dan mendapatkan kualitasnya sebagai referensi ilmiah untuk menerangkan fenomena-fenomena alam yang tampak dalam observasi, eksperimen, atau pengungkapan realitas-realitas dan misteri-misteri baru. Semakin teori itu mampu mengungkapkan realitas-realitas tersembunyi, kemudian eksperimen mempertegas kebenarannya, semakin kukuh dan jelaslah teori tersebut dalam mentalitas ilmiah. Karena itu, ditemukannya planet Neptunus oleh para ahli berdasarkan hukum gravitasi dan formula matematisnya dianggap sebagai kemenangan besar bagi teori gravitasi umum. Adanya planet ini lalu dikukuhkan oleh observasi-observasi ilmiah. Ini juga hanyalah semacam kepercayaan ilmiah yang kuat terhadap kebenaran teori tersebut. Jika teori senantiasa disertai keberhasilan dalam lapangan ilmiah, berarti kebenarannya terkukuhkan. Jika, di lain pihak, ia mulai bergeser dari bersesuaian dengan realitas yang secara ilmiah diselidiki dengan cermat, setelah dengan hati-hati menelaah sistem-sistem dan alat-alatnya, dan setelah membuat observasi-observasi dan pengujian-pengujian yang luas, teori itu memulai pada titik itu tahap penyesuaian (adjustment) dan pembaruan. Pada tahap ini, observasi-observasi dan eksperimen-eksperimen baru kiranya diperlukan untuk melengkapi teori ilmiah sebelumnya melalui ide-ide baru yang ditambahkan pada teori sebelumnya, sehingga satu penjelasan tentang segenap realitas eksperimental akan didapat. Keping-keping bukti ilmiah dapat mengungkapkan kepalsuan teori sebelumnya. Maka, berdasarkan eksperimen dan observasi,

teori ini gugur dan diganti teori lain.

(14)

hipotesis, dan lalu sesuai dengan eksperimen-eksperimen, ia menjadi hukum ilmiah. Lalu berdasarkan eksperimen-eksperimen, fisika dapat mencapai (kesimpulan) bahwa atom bukanlah unit primordial materi, tetapi bahwa ia sendiri juga tersusun dari bagian-bagian. Demikianlah, bagaimana teori atomik dilengkapi ide ilmiah baru tentang nucleus dan muatan-muatan yang darinya atom tersusun. Jadi, kebenaran tidak tumbuh, tetapi kebenaran-kebenaran ilmiah bertambah. Dan pertambahan kuantitatif bukanlah pertumbuhan dialektik

dan gerak filosofis kebenaran.

Termasuk ke dalam kategori kedua (pengungkapan kesalahan teori terdahulu dan validitas ide lain) adalah apa yang terjadi dalam teori gravitasi umum (penjelasan mekanik tentang alam dalam teori-teori Newton). Penjelasan ini telah diketahui tidak sesuai dengan sejumlah fenomena elektrik dan magnetik, dan tidak tepat untuk menerangkan bagaimana caranya cahaya terbentuk dan tersebar, dan juga hal-hal serupa yang diambil kaum fisikawan modern untuk membentuk bukti tentang kesalahan konsep Newton tentang alam. Berdasarkan itu, Einstein menge- mukakan teori relativitasnya yang dituangkannya dalam penjelasan tentang alam secara matematis yang berbeda sama sekali dengan penjelasan Newton. Nah, apakah mungkin kita katakan bahwa teori Newton dan teori Einstein dalam menjelaskan alam itu adalah sama-sama benar, dan bahwa kebenaran telah berkembang dan tumbuh sedemikian sehingga ia berbentuk teori relativitas setelah sebelumnya berbentuk (teori) gravitasi umum? Apakah ruang, waktu dan massa[161] – tiga serangkai besaran konstan mutlak dalam

penjelasan Newton – adalah kebenaran ilmiah yang tumbuh dan berubah sesuai dengan

hukum gerak dialektik, lantas berubah menjadi relativitas dalam ruang, waktu dan massa? [162]

Atau daya gravitasi dalam teori Newton berkembang menjadi keluk pada ruang dan waktu;

lantas daya mekanik oleh gerak merupakan sifat geometri dunia, [163] yang melaluinya gerak

bumi di sekitar matahari dan gerak-gerak lainnya dijelaskan, sebagaimana kelukan radiasi nuklir?

Satu-satunya (interprestasi) yang rasional adalah bahwa eksperimen yang banyak sekali atau cermat telah menampakkan kesalahan (tidak sempurnanya) teori terdahulu, tiadanya kebenaran (atau generalitas) di dalamnya, dan bukti adanya kebenaran (atau generalitas)

dalam penafsiran lain.[164]

Demikianlah, apa yang kami tegaskan menjadi jelas akhirnya: bahwa perkembangan ilmiah tidak berarti bahwa kebenaran itu tumbuh dan berangsur-angsur menjadi maujud. Tetapi artinya adalah menyempurnanya pengetahuan karena pengetahuan adalah suatu keseluruhan, yakni karena ia adalah himpunan teori dan hukum. Lantas, arti menyempurnanya ialah kenaikan kuantitatif kebenaran-kebenarannya dan berkurangnya secara kuantitatif kesalahan-kesalahannya.

(15)

mutlak, dan setiap kebenaran yang dapat terungkap adalah kebenaran mutlak. Saya tambahkan, bahwa Marxisme telah jatuh ke dalam kekacauan yang mendasar antara kebenaran, dalam arti pikiran, dan kebenaran, dalam arti realitas objektif yang mandiri. Metafisika menyatakan adanya kebenaran mutlak dalam arti kedua. Ia meyakini suatu realitas objektif yang tetap di balik batas-batas alam. Ini tidak bertentangan dengan penafian kebenaran dalam arti yang pertama dan perkembangan yang terus menerus. Asumsikanlah bahwa kebenaran dalam akal orang itu berkembang dan bergerak selamanya. “Mudarat” apa yang dikenakan sebab ini kepada realitas metafisis yang diyakini teologi, selama kita menerima kemungkinan adanya realitas objektif. yang berdiri sendiri yang terlepas dari kesadaran dan pengetahuan? Marxisme dapat memenuhi kehendaknya jika kita menuntut idealisme dan kita katakan bahwa realitas adalah kebenaran yang maujud di dalam akal kita saja. Kalau kebenaran di dalam pikiran kita itu berkembang dan berubah, maka tidak akan ada tempat untuk mempercayai suatu realitas mutlak. Jika di lain pihak, kita membedakan antara pikiran dan realitas, dan menerima kemungkinan adanya realitas yang berdiri sendiri yang lepas dari kesadaran dan pikiran, maka tak akan ada mudarat bagi adanya realitas mutlak di luar batas-batas pengetahuan, sekalipun kiranya tidak terdapat kebenaran mutlak apa pun di dalam pikiran kita.

Kontradiksi-Kontradiksi Perkembangan

Berkata Stalin: “Titik mula dialektika, berbeda dengan metafisika, adalah pandangan yang berdasarkan fakta bahwa segala sesuatu dan peristiwa-peristiwa alam mengandung kontradiksi-kontradiksi, karena semuanya memiliki segi negatif dan segi positif di masa lalu dan kini. Di dalam semuanya itu terdapat elemen-elemen yang hancur dan berkembang. Jadi, pergulatan hal-hal yang berlawanan tersebut terletak dalam kandungan internalnya yang

membuat perubahan-perubahan kuantitatif menjadi perubahan-perubahan kualitatif.”[165]

Berkata pula Mao Tse Tung: “Hukum kontradiksi dalam sesuatu, yakni hukum kesatuan hal-hal yang berlawanan, adalah hukum yang paling mendasar dan terpenting dalam materialisme dialektika. Berkata Lenin: ‘Dialektika, dalam artinya yang akurat, adalah mempelajari kontradiksi dalam esensi terdalam sesuatu.’ Dan Lenin sering menyebut hukum ini ‘esensi

dialektika’, sebagaimana ia menyebutnya ‘jantung dialektika’.” [166]

(16)

hukum identitas, kontradiksi, konversi, dan pembuktian. Logika ini berhenti pada batas ini. Tetapi kita menganggap logika dialektika sebagai ilmu pikiran yang berdasarkan metode Marxisme yang dicirikan oleh hal-hal pokok ini: mengakui (1) hubungan umum, (2) gerak perkembangan, (3) lompatan-lompatan perkembangan, dan (4) kontradiksi perkemb angan.”

[167]

Demikianlah kita melihat dialektika menjauhkan sebagian besar pikiran intuitif manusia dari lapangannya. Ia mengingkari prinsip non-kontradiksi dan menganggap kontradiksi sebagai hukum umum alam dan wujud. Dialektika, dalam pengingkaran dan pengasumsian ini, menerapkan prinsip nonkontradiksi tanpa disadarinya. Seorang dialektikawan, ketika mempercayai kontradiksi-kontradiksi dialektik dan penjelasan dialektik tentang alam, mendapati dirinya terpaksa menolak prinsip non- kontradiksi dan penjelasan metafisisnya. Adalah jelas bahwa ini tidak lain hanya karena watak manusia tidak dapat mengkompromikan antara penafian dan afirmasi. Tetapi, ia merasakan secara esensial adanya pertentangan mutlak antara keduanya. Kalau tidak begini, mengapa Marxisme menolak prinsip nonkontradiksi dan yakin akan kepalsuannya? Bukankah itu karena ia mempercayai adanya kontradiksi, dan tidak kuasa mempercayai penafiannya selama ia mempercayai afirmasinya?

Dan demikianlah kita tahu bahwa prinsip nonkontradiksi adalah prinsip pokok umum yang pikiran manusia tidak dapat terlepas darinya, bahkan dalam saat bersemangat terhadap dialektika. Kontradiksi dialektik juga menyebabkan digugurkannya prinsip identitas (A adalah A) dari kamus dialektika, dan diperbolehkan sesuatu itu menjadi bukan dirinya. Bahkan kontradiksi dialektik umum meniscayakan hal itu, karena setiap sesuatu mengandung hal yang bertentangan dengannya dan mengungkapkan penafiannya pada saat penetapannya. Jadi, “A adalah A” tidak demikian secara mutlak. Bahkan setiap maujud adalah hal kontradiktif dan penafian dirinya, sebagaimana ia adalah penetapannya. Karena maujudnya secara esensial kontradiktif dan mengandung penafian serta penetapan yang selalu berkonflik

dan yang melalui konflik mereka, meletuskan gerak.

Kaum Marxis tidak berusaha membuktikan kontradiksi segala sesuatu, yakni hukum dialektika dan asas dialektiknya, kecuali dengan sejumlah contoh dan fenomena. Mereka berupaya menunjukkan kontradiksi dan dialektika alam dengan contoh-contoh dan fenomena-fenomena tersebut. (Bagi mereka) kontradiksi merupakan salah satu hukum logika dialektika, karena alam itu sendiri kontradiktif dan dialektik. Ini terjelaskan oleh jenis-jenis kontradiksi yang dikemukakan indera atau yang diungkapkan ilmu pengetahuan, yang menghancurkan prinsip nonkontradiksi dan menjadikannya tidak selaras dengan realitas dan hukum-hukum alam yang menguasai berbagai lapangan dan wilayah alam. Sebelumnya pernah kita singgung bahwa Marxisme tidak mendapatkan jalan bagi dinamisme alam dan bagaimana membuat kekuatan-kekuatan yang aktif oleh gerak sebagai kandungan internal materi progresif itu sendiri, kecuali dengan berangkat dari kontradiksi dan mempercayai bersatunya hal-hal kontradiktif dalam suatu kesatuan yang progresif, mengikuti pergulatan hal-hal kontradiktif tersebut. Jadi, permasalahan tersebut, dalam pandangan Marxisme, hanya mempunyai dua sisi. Pertama, kita membentuk ide kita tentang alam berdasarkan prinsip yang menyatakan tidak adanya kontradiksi. Maka, tidak ada penafian dan penetapan dalam jantung segala sesuatu, dan tidak ada konflik hal-hal kontradiktif di dalamnya. Dan pada gilirannya, mestilah kita mencari sumber gerak dan perkembangan dalam sebab yang lebih tinggi daripada alam dan perkembangan-perkembangannya. Kedua, kita bangun logika kita berdasarkan keyakinan akan adanya kontradiksi dalam jantung se-gala sesuatu, pada setiap maujud hal-hal kontradiktif atau penafian dan penetapan menyatu.

[168] Dengan demikian, kita mendapati rahasia perkembangan dalam kontradiksi internal itu.

(17)

harus mengambil cara-pandang yang kedua.

Faktanya, prinsip nonkontradiksi adalah hukum yang paling umum dan yang paling lazim bagi berbagai lapangan aplikasi. Tidak ada sama sekali fenomena eksistensi atau rnaujud yang terlepas darinya. Setiap upaya dialektik yang bertujuan untuk menolaknya, atau untuk menunjukkan alam sebagai kontradiktif adalah upaya sederhana yang berdasarkan salah paham terhadap prinsip nonkontradiksi, atau berdasarkan kesesatan tertentu. Karena itu, sebelumnya, mari kita jelaskan prinsip nonkontradiksi dalam arti niscayanya, yang dianggap oleh logika umum sebagai prinsip pokok pikiran manusia. Setelah itu kita bahas fenomena-fenomena dari apa yang diduga sebagai kontradiksi dalam alam dan wujud. Berdasarkan fenomena inilah Marxisme mendirikan logika dialektiknya dan menghancurkan prinsip nonkontradiksi dan prinsip identitas. Kemudian kami akan menjelaskan keharmonisan

fenomena-fenomena tersebut dengan kedua prinsip itu, dan menjelaskan kosongnya[169] kedua

prinsip itu dari kontradiksi-kontradiksi dialektik. Dengan begitu, dialektika kehilangan sandarannya dalam alam dan bukti materialnya. Dan pada gilirannya, kita akan tetapkan sejauh mana dialektika tidak marnpu menerangkan alam dan membuktikan adanya.

Watak Prinsip Nonkontradiksi

Prinsip nonkontradiksi adalah prinsip yang mengatakan bahwa kontradiksi itu mustahil. Jadi, penafian dan penetapan itu tidak mungkin berkompromi dalam setiap keadaan. Ini sudah jelas. Tetapi kontradiksi macam apakah yang ditolak prinsip tersebut, dan yang tidak mung-kin diterima akal? Apakah itu setiap penafian dan penetapan? Tentu saja tidak. Tidak semua penafian itu berkontradiksi dengan setiap penetapan, dan tidak setiap penetapan bertentangan dengan setiap penafian. Tetapi, penetapan berkontradiksi dengan penafiannya sendiri, bukan dengan penafian terhadap penetapan yang lain. Adanya sesuatu bertentangan secara mendasar dengan tidak adanya sesuatu itu, bukan dengan tidak adanya sesuatu yang lain. Yang dimaksudkan dengan pertentangan keduanya adalah bahwa keduanya itu tidak mungkin menyatu atau ada bersama-sama. Segi empat memiliki empat sisi. Ini adaIah kebenaran geometrik yang konstan. Segi tiga tidak mempunyai empat sisi. Ini adalah penafian sahih yang konstan. Antara penafian ini dan penetapan itu tidak ada kontradiksi sama sekali. Karena masing-masing berkenaan dengan subjek tertentu yang berbeda dengan subjek yang ditangani yang lainnya. Jadi, sisi empat itu ada dalam segi empat dan tidak ada dalam segi tiga. Kita tidak menafikan apa yang kita tetapkan, juga tidak menetapkan apa yang kita nafikan. Kontradiksi itu ada jika kita menetapkan dan sekaligus menafikan konteradiksi itu empat atau jika menetapkan dan sekaIigus menafikan bahwa empat sisi itu ada pada segi tiga. Dengan pertimbangan tersebut, logika metafisis menetapkan bahwa kontradiksi itu hanya ada antara penafian dan penetapan yang sesuai keadaannya. Nah, kaIau keadaan penafian itu berbeda dengan keadaan penetapan, tentu penetapan dan penafian itu tidak akan kontradiktif. Mari kita ambil beberapa contoh penafian dan penetapan yang berbeda-beda

keadaan-keadaan keduanya.

1. “Empat adalah genap”. “Tiga bukan genap”. Nah, penafian dan penetapan dalam dua proposisi ini tidak kontradiktif karena berbedanya subjek yang satu dengan subjek yang lainnya. Penetapan tersebut berkaitan dengan “empat”, dan penafian itu berkaitan dengan

(18)

yang tidak kontradiktif. Karena, dalam proposisi pertama, kita tidak menafikan penetapan yang dikandung proposisi kedua. Proposisi pertama menafikan adanya atribut tahu pada seorang bayi, dan proposisi kedua tidak menetapkan adanya atribut tersebut, tetapi menetapkan kemungkinannya, yakni kapasitas seorang bayi dan kesiapannya untuk mendapatkannya. Jadi, potensi mengetahui pada bayi itulah yang ditetapkan proposisi kedua

ini, bukan tahunya bayi itu secara aktual.

Demikianlah, kita tahu bahwa kontradiksi antara penafian dan penetapan hanya terjadi jika keduanya sama-sama memiliki subjek yang sama, dan selaras berkenaan dengan kondisi-kondisi ruang dan waktu, dan lain sebagainya. Sedangkan jika penetapan dan penafian tersebut tidak sekaligus ada dalam semua kondisi ini, maka antara keduanya tidak akan ada kontradiksi. Tidak ada seseorang atau suatu logika apa pun yang dapat menetapkan kemustahilan kebenaran dalam kasus ini.

Cara Marxisme Memahami Kontradiksi

(19)

sesuatu yang sudah jelas dan ditetapkan oleh setiap logika dan setiap filosof – baik itu materialis maupun teolog – sejak jauh sebelum masa-masa materialisme dan teologi, dan sampai hari ini. Mari kita ambil Aristoteles, tokoh aliran metafisika dalam filsafat Yunani, sebagai contoh. Kita jadikan Aristoteles sebagai contoh bukan lantaran ia filosof teologi saja, tetapi juga karena ia telah mengemukakan kaidah, prinsip-prlnsip dan asas-asas login umum yang oleh kaum marxis dinamakan logika formal”. Aristoteles percaya adanya konflik antara hal-hal kontradiktif eksternal, meskipun ia mendirikan logika itu berdasarkan prinsip non-kontradiksi. Tidak terlintas dalam pikiran Aristoteles bahwa beratus-ratus tahun kemudian seseorang akan tampil untuk menganggap konflik tersebut sebagai bukti gugurnya prinsip niscaya ini. Berikut ini beberapa teks Aristoteles tentang konflik antara hal-hat kontradiktif eksternal.

“Secara ringkas, sesuatu dari genus yang sama dapat benar-benar diterima oleh sesuatu yang lain dari genus yang sama. Sebabnya adalah bahwa segala hal kontradiktif itu adalah dari genus yang sama, dan bahwa hal-hal kontradiktif mempengaruhi satu sama lain dan

menerima satu sama lain dari yang lain.” [170]

“Maka sesuai dengan bentuk, dan tak sesuai dengan materi, sesuatu yang tertentu ditambahkan ke setiap bagian dengan cara apa pun. Meskipun begitu keseluruhan menjadi lebih besar, karena sesuatu ditambahkan kepadanya. Sesuatu itu disebut ‘makanan’, dan disebut juga ‘lawan’. Tetapi sesuatu itu tidak lebih daripada berubahnya (keseluruhan) itu sendiri. Misalnya, ketika bendungan ditambahkan ke kering, ia berubah dengan menjadikan dirinya kering. Sesungguhnya, adalah mungkin bahwa yang serupa tumbuh melalui apa-apa yang dengannya ia serupa, dan di pihak lain melalui apa-apa yang dengannya ia tak sama.”

[171]

Maka menjadi jelas bahwa operasi-operasi hal-hal yang berlawanan secara eksternal tak mengungkapkan dialektika, dan juga tak menolak logika metafisis, juga tak membentuk sesuatu baru dalam lapangan fil- safat. Tetapi, itu adalah kebenaran yang terdeterminasikan dengan jelas dalam berbagai filsafat sejak fajar sejarah filsafat. Di dalamnya tidak ada apa pun yang membantu mencapai tujuan-tujuan filosofis Marxis yang hendak dicapai Marxisme berdasarkan dialektika. Sedangkan kalau Marxisme memaksudkan “kontradiksi” dalam arti real istilah itu, yang menisbahkan sumber internal kepada gerak – sesuatu yang ditolak prinsip dasar dalam logika kita – maka kontradiksi akan menjadi sesuatu yang tak dapat diterima pikiran sehat. Marxisme tak memiliki contoh apa pun mengenai kontradiksi dalam arti ini dari alam dan fenomena-fenomena wujud sama sekali. Semua yang dianggap Marxisme sebagai kontradiksi-kontradiksi alam tidak ada hubungannya dengan dialektika. Mari kita tampilkan beberapa contoh seperti itu yang melalui ini Marxisme berupaya membuktikan logika dialektiknya, agar kita tahu sejauh mana kelemahan dan kegagalan

Marxisme dalam membuktikan logikanya.

1. Kontradiksi-kontradiksi gerak. Berkata Georges Lafebvre: [172] “Ketika tak ada yang terjadi,

di sana tidak ada kontradiksi. Sebaliknya, jika tak ada kontradiksi tidak ada yang terjadi, tak ada yang maujud, dan tidak terlihat aktivitas apa pun, dan tidak maujud sesuatu yang baru. Apakah materi berhubungan dengan keadaan mandek, keseimbangan temporer, ataupun dengan keadaan berkembang, maka maujud atau sesuatu yang tak-kontradiksi pada dirinya

itu ada pada keadaan diam sementara.” [173] Berkata Mao Tse Tung: “Suatu proposisi dengan

kontradiksi umum atau keberadaan mutlak kontradiksi memiliki pengertian ganda. Pertama adalah bahwa kontradiksi ada dalam proses perkembangan segala sesuatu. Kedua adalah bahwa dari permulaan hingga akhir perkembangan setiap sesuatu, ada gerak hal-hal kontradiktif. Berkata Engels bahwa gerak itu sendiri adalah kontradiktif.” [174]

(20)

kontradiksi yang terus-menerus. Nah, selama perkembangan dan gerak tersebut terealisasikan di dunia alam, maka orang harus membuang ide nonkontradiksi dan harus mengambil dialektika, yang akan menerangkan kepada kita gerak dengan berbagai bentuk dan macamnya.

Telah kita singgung di depan – yaitu dalam menelaah gerak perkembangan – bahwa berkembang dan menyempurna itu sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip nonkontradiksi, dan bahwa pemikiran yang menyatakan adanya pertentangan antara keduanya itu bertumpu pada kekacauan antara potensialitas dan aktualitas. Gerak adalah, dalam setiap tahapnya, penetapan dalam aktualitas dan penafian dalam potensialitas. Jadi, germ suatu makhluk hidup, ketika berkembang di dalam telur sampai menjadi anak ayam sampai menjadi ayam dewasa, perkembangan ini tidak berarti bahwa telur itu pada periode awalnya bukanlah telur dalam aktualitas. Tetapi, ia adalah telur dalam aktualitas dan ayarn dalam potensialitas, yakni ia berkengkinan menjadi ayam dewasa. Karena itu, kemungkinan untuk menjadi ayam dewasa dan sifat telur, bukan sifat telur dan sifat ayam dewasa, bersatu dalam esensi telur. Sesungguhnya kita tahu lebih dari itu, yaitu bahwa gerak berkembang tidak mungkin dipahami selain dengan prinsip nonkontradiksi. Kalau saja hal-hal kontradiktif itu dapat berkumpul dalam esensi sesuatu, tentu tidak akan terjadi perubahan, dan tentu sesuatu itu tidak akan dapat berganti dari satu ke lain keadaan, dan pada gilirannya tentu tidak

akan ada perubahan dan perkembangan.

Kalau Marxisme hendak menunjukkan kepada kita bahwa proses gerak mengandung kontradiksi yang benar-benar bertentangan dengan prinsip nonkontradiksi, maka hendaklah ia mengajukan contoh perkembangan yang di dalamnya terdapat gerak dan tidak terdapat gerak, yakni di dalamnya baik penafian maupun penetapan berlaku pada perkembangan. Apakah Marxisme, setelah menolak prinsip nonkontradiksi, boleh menyatakan bahwa sesuatu itu berkembang dan tidak berkembang sekaligus? Kalau ini boleh, Marxisme harus menunjukkan bukti kebolehan itu dalam alam dan eksistensi. Dan kalau tidak boleh, maka hal itu tidak lain adalah pengakuan adanya prinsip nonkontradiksi dan kaidah-kaidah logika metafisis.

2. Kontradiksi-kontradiksi kehidupan atau makhluk hidup. Berkata Georges Lefebvre: “Dan meskipun begitu, apakah tidak jelas bahwa kehidupan adalah kelahiran, pertumbuhan dan perkernbangan? Hanya saja maujud hidup tidak mungkin tumbuh tanpa berubah dan berkembang, yakni tanpa berhenti menjadi bagaimana ia itu. Agar ia menjadi orang dewasa, ia harus meninggalkan dan kehilangan masa kanak-kanak. Segala sesuatu yang niscaya menyertai diam akan gugur dan tercampakkan. Jadi, setiap maujud hidup itu berjuang melawan kematian, karena ia membawa kematiannya di dalam dirinya sendiri.”[175]

Berkata Engels: “Kita telah melihat sebelumnya bahwa esensi kehidupan adalah bahwa maujud hidup dalam setiap saat adalah dirinya sendiri, dan sekaligus ia bukan dirinya, yakni ia adalah sesuatu yang bukan dirinya. Jadi, kehidupan adalah kontradiksi yang pasti dalam

maujud-maujud dan proses-proses itu sendiri.” [176]

Tidak diragukan lagi bahwa maujud hidup mengalami dua proses yang dapat diperbarui: kehidupan dan kematian. Selama dua proses itu melakukan fungsinya, maka kehidupan pun ada. Tetapi, tidak ada kontradiksi dalam hal ini. Karena kalau kita analisis kedua proses ini, dan tambahkan kedua proses itu kepada satu maujud hidup pada mula-mula, kita tahu bahwa proses kematian dan proses kehidupan tidak bertemu pada satu subjek. Jadi, maujud hidup, dalam setiap tahap, menerima sel-sel[177] baru dan meninggalkan sel-sel yang sudah aus.

(21)

terdapat kontradiksi, jika kematian dan kehidupan mencakup semua sel maujud hidup pada saat tertentu. Tetapi ini bukanlah yang kita ketahui dari watak kehidupan dan maujud hidup. Maujud hidup tidak membawa dalam dirinya kecuali kemungkinan mati. Kemungkinan mati tidak berkontradiksi dengan kehidupan. Tetapi, yang berkontradiksi dengan-kehidupan adalah

kematian aktual.

3. Kontradiksi dalam kemampuan manusia untuk tahu. Berkata Engels, menerangkan prinsip kontradiksi dalam dialektika: “Seperti yang telah kita lihat, kontradiksi, misalnya, antara kemampuan orang untuk mengetahui, kernampuan yang mengakar dan tidak terbatas, dan realisasi kemampuan tersebut secara aktual pada manusia yang terbatas oleh kondisi-kondisi lingkungannya dan kesiapan menerima pengetahuan secara mental untuk mendapatkan ketetapannya dalam suksesi tak terbatas generasi-generasi dalam kemajuan tak terhingga,

paling tidak berkenaan dengan kita, dan menurut pandangan praktis.”[178]

Dalam hal ini kita mendapatkan contoh baru, bukan tentang prinsip kontradiksi, tetapi tentang kesalahpahaman Marxisme terhadap prinsip nonkontradiksi. Kalau benar bahwa manusia mampu berpengetahuan sempurna, dan mampu mendapatkan pengetahuan tersebut dengan dirinya sendiri, maka ini takkan membenarkan dialektika, juga takkan menjadi fenomena yang merupakan kekecualian bagi logika metafisis serta prinsip dasar logika ini. Tetapi, ia seperti keyakinan kita bahwa tentara mampu mempertahankan negeri, dan anggota tentara itu tidak memiliki kemampuan itu. Nah, apakah ini adalah kontradiktif? Apakah ini sesuatu yang pada penolakannya logika metafisis bersandar? Sungguh tidak. Kontradiksi ada di antara penafian dan penetapan, jika subjek keduanya satu. Kalau penetapan berkenaan dengan seluruh manusia, sementara penafian berkenaan dengan masing-masing individu secara berdiri sendiri – seperti pada contoh yang dikemukakan Engels – maka di sini tidak terdapat

pertentangan antara penafian dan penetapan.

4. Kontradiksi dalam fisika: antara muatan negatif dan positif.[179] Apa yang diduga sebagai

kontradiksi ini mengandung dua kesalahan: Pertama, menganggap muatan positif dan negatif sebagai termasuk dalam kategori ada dan tak ada, penafian dan penetapan, dikarenakan bahwa ungkapan ilmiah untuk yang pertama adalah “muatan positif” dan untuk yang lain “muatan negatif”. Padahal kita semua tahu bahwa ungkapan-ungkapan tersebut semata-mata istilah fisikal teknis. Hal ini tidak berarti bahwa keduanya adalah dua hal yang kontradiktif, sebagaimana non-positif dan positif, atau penafian dan penetapan. Maka muatan positif adalah yang sama dengan muatan yang dihasilkan oleh batangan kaca yang digosok dengan sepotong sutra. Dan muatan negatif adalah sama dengan muatan yang dihasilkan oleh ion yang digosok dengan kulit kucing. Jadi, masing-masing dua muatan itu adalah satu jenis tertentu muatan listrik. Yang satu bukanlah adanya sesuatu, dan yang lain tidak adanya sesuatu itu. Kedua, menganggap atraksi sebagai sejenis persatuan. Berdasarkan ini, hubungan atraksi antara muatan positif dan muatan negatif diterangkan sebagai hubungan kontradiksi, dan kontradiksi itu dianggap sebagai salah satu fenomena dialektika. Padahal faktanya, muatan negatif dan positif tersebut tidak berkumpul dalam satu muatan. Tetapi keduanya adalah dua muatan yang berdiri sendiri-sendiri yang saling menarik satu sama lain, sebagaimana saling menariknya dua kutub magnet yang berbeda, tanpa mengindikasikan satu muatan yang positif dan sekaligus negatif pada saat yang sama, atau adanya satu kutub magnetik yang utara dan sekaligus selatan. Jadi, saling menarik antara muatan-muatan yang berbeda itu (atau penolakan antarmuatan yang sama) adalah satu corak interaksi antara hal-hal kontradiktif eksternal yang berdiri sendiri satu sama lain. Dalam uraian yang lalu kita telah tahu bahwa interaksi antara hal-hal kontradiktif eksternal sama sekali bukanlah dialektika, dan tidak berhubungan sama sekali dengan kontradiksi yang ditolak logika metafisis. Karena itu, permasalahannya adalah permasalahan dua kekuatan yang satu mempengaruhi yang lain, bukan permasalahan kekuatan yang melibatkan kontradiksi dalam

(22)

5. Kontradiksi aksi dan reaksi dalam mekanika. [180] Menurut Marxisme dan Newton, hukum

mekanika yang mengatakan bahwa setiap aksi pasti mempunyai reaksi yang menyamainya dalam kuantitas dan bertentangan arah dengannya (bagi setiap aksi ada reaksi yang sama dan bertentangan) adalah salah satu fenomena kontradiksi dialektik. Sekali lagi kita mendapati diri kita perlu menegaskan bahwa hukum Newton ini tidak dengan corak apa pun membenarkan kontradiksi-kontradiksi dialektik. Karena aksi dan reaksi adalah dua kekuatan yang ada dalam dua tubuh, bukan dua kontradiksi yang berkumpul dalam satu tubuh. Dua roda belakang mobil mendorong bumi dengan kekuatan. Ini adalah aksi. Bumi mendorong dua roda mobil itu dengan kekuatan lain yang secara kuantitatif sama dan berkebalikan arah dengan kekuatan yang pertama. Ini adalah reaksi, dan melalui ini, mobil bergerak. Jadi, tubuh yang satu tidak mengandung dua kekuatan yang kontradiktif, dan kandungan dalamnya juga tidak mengalami pergulatan antara penafian dan penetapan, atau antarhal yang kontradiktif. Tetapi, mobil itu mendorong bumi ke satu arah, dan bumi mendorong mobil ke arah lain. Dialektika berusaha menjelaskan pertumbuhan dan gerak sesuatu dengan dua kekuatan penolak internal atau pergulatan dua kontradiktif internal, masing-masing melawan yang lain agar yang satu menang atas yang lain dan membentuk sesuatu (yang mengandung keduanya) mengikuti dirinya. Apakah ini tak berbeda dengan dua kekuatan luar yang satu melahirkan aksi tertentu dan yang lain reaksi? Kita semua tahu bahwa dua kekuatan yang saling berlawanan itu, yang keduanya dilahirkan oleh aksi dan reaksi itu ada dalam dua tubuh,dan tidak mungkin keduanya ada dalam satu tubuh. Karena, keduanya saling bertentangan dan saling menafikan. Dan ini tidak lain kecuali karena prinsip nonkontradiksi. 6. Kontradiksi-kontradiksi perang yang dikemukakan Mao Tse Tung (dalam kata-katanya): “Sesungguhnya, dalam perang, menyerang dan bertahan, maju dan mundur, menang dan kalah, semuanya itu adalah fenomena-fenomena kontradiktif. Yang satu tak mungkin ada tanpa yang lain. Kedua ekstrem itu saling menyerang (konflik), sebagaimana keduanya menyatu satu sama lain, sehingga membentuk totalitas perang, sehingga berkembang, dan

memecahkan problem-problem perang.”[181]

Pada faktanya, teks tersebut adalah teks yang paling aneh di antara teks-teks terdahulu. Di dalamnya, Mao Tse Tung menganggap perang sebagai suatu maujud hidup real yang mengandung dua kontradiksi, menang dan kalah. Padahal ide tentang perang ini tidak benar kecuali bagi mentalitas primitif yang telah terbiasa memandang segala sesuatu dalam kerangka yang umum. Peperangan, dalam analisis filosofis, tak lain adalah multiplisitas peristiwa-peristiwa, yang tersatukan hanya dalam cara pengungkapannya saja. Menang bukanlah kalah, dan tentara yang menang bukanlah tentara yang kalah, dan metode-metode atau titik-titik kekuatan yang mempersiapkan untuk kemenangan bukanlah metode-metode atau titik-titik kelemahan yang menyebabkan kekalahan. Hasil-hasil yang menentukan yang ke sini peperangan mengarah, bukan disebabkan oleh konflik dialektik dan hal-hal berlawanan yang menyatu. Tetapi disebabkan oleh konflik antara kedua kekuatan luar yang

dari sini yang satu mengatasi yang lain.

7. Kontradiksi-kontradiksi penilaian yang dibicarakan Kedrov: “Betapapun[182] sederhananya

suatu penilaian dan bagaimanapun biasanya penilaian itu, ia mengandung benih-benih atau elemen-elemen kontradiksi dialektik yang bergerak dan mmbuh dalam kerangka semua

pengetahuan manusia.” [183]

Referensi

Dokumen terkait

8.1.2 Makna Konotasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show Orang Pinggiran Makna konotasi kemiskinan yang didapat dari analisis simbol yang ditampilkan pada tayangan

Ketidak seriusan PDAM ini terlihat pada sering menerunnya tekanan aliran air bersih atau bahkan mati, atau ngalir namun airnya keruh dibeberapa daerah di

Struktur biaya produksi usahatani pada ketiga komoditas pangan utama, yaitu padi, jagung dan kedelai relatif sama dengan proporsi terbesar pada upah, disusul sewa

Pada tahun 2016 Prodi Psikologi Universitas Ahmad Dahlan menjadi prodi yang memiliki kekuatan dalam penyelenggaraan proses belajar dan pendidikan psikologi untuk

Walaupun disudutkan secara tidak langsung oleh pihak lain, akan tetapi dengan kebesaran hati dan tidak terlepas dari rasa persatuan kebangsaan Muhammadiyah tetap

Estimasi kondisi keuangan perusahaan untuk jangka panjang yang akan datang, Estimasi kondisi keuangan perusahaan untuk jangka panjang yang akan datang, yang menunjukkan

semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat yang meliputi norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga dan sebagainya, itu