EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT
DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI DAN MEMPREDIKSI
Oleh
DYAH EMI WAHYUNI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Kimia
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT
DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI DAN MEMPREDIKSI
Oleh
DYAH EMI WAHYUNI
Penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan karakteristik model pembelajaran
Problem Solving yang efektif dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi
dan memprediksi. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan
Non Equivalent (pretest and posttest) Control Group Design. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel dalam
penelitian ini adalah siswa SMA Persada Bandar Lampung kelas X2 dan kelas X3
semester genap Tahun Ajaran 2012-2013 yang memiliki karakteristik hampir
sama. Analisis data menggunakan N-Gain dan uji-t.
Hasil penelitian menunjukkan nilai rerata N-Gain keterampilan berkomunikasi
untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,46 dan 0,61; dan rerata
N-Gain keterampilan memprediksi untuk kelas kontrol dan eksperimen
Berdasarkan uji-t diketahui bahwa kelas dengan pembelajaran Problem Solving
memiliki keterampilan berkomunikasi dan keterampilan memprediksi yang lebih
tinggi dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran Problem Solving efektif dalam meningkatkan
keterampilan berkomunikasi dan keterampilan memprediksi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Efektivitas Pembelajaran ... 10
B.Pembelajaran Konstruktivisme... 10
C. Model Pembelajaran Problem Solving ... 12
D. Keterampilan Proses Sains ... 15
E. Kerangka Berpikir………... 18
F. Anggapan Dasar ... 20
G. Hipotesis Umum ... 20
III. METODE PENELITIAN ... 26
A. Populasi dan Sampel Penelitian... 21
E.Instrumen Penelitian dan Validitas ... 23
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 24
G. Teknik Analisis Data ……….. 25
1. Perhitungan n-Gain ... 29 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 34 1. Silabus Kelas Eksperimen ... 56
2. Silabus Kelas Kontrol ……… 61
3. RPP Kelas Eksperimen ... 65
4. RPP Kelas Kontrol ……….. 88
5. Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 95
6. Soal Pretest dan Posttet... 118
9. Perhitungan dan Analisis Data ... 146
10.Lembar Penilaian Aspek Aktivitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ...
174
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam BSNP 2006, pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) diharapkan dapat
menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam
sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah.
Ilmu kimia merupakan cabang dari ilmu IPA yang mencari jawaban atas
per-tanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan
komposisi, struktur, serta energi yang menyertai perubahan materi. Ada tiga hal
yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk
(pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan
ilmuan, kimia sebagai proses (kerja ilmiah), dan kimia sebagai sikap. Oleh sebab
itu pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik kimia sebagai proses,
produk, dan sikap (BNSP,2006).
Pembelajaran kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang ada dalam
kehidupan sehari-hari, seperti pada topik larutan elektrolit dan nonelektrolit.
dengan materi ini, misalnya pemanfaatan listrik untuk menangkap ikan disungai,
perkaratan besi, pembakaran dan lain sebagainya. Namun yang terjadi selama ini
pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit dalam pembelajaran kimia di
Sekolah Menengah Atas (SMA) lebih terkondisikan untuk dihafal oleh siswa
tanpa memberikan pengalaman bagaimana proses ditemukannya konsep dan teori
tersebut. Akibatnya, siswa mengalami kesulitan menghubungkannya dengan apa
yang terjadi di lingkungan sekitar, dan tidak merasakan manfaat dari
pembelajaran larutan non-elektrolit dan elektrolit , sehingga keterampilan proses
sains tidak berkembang.
Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di SMA Persada Bandar Lampung
terkait dengan mata pelajaran kimia, bahwa selama ini pembelajaran kimia
domi-nan dilakukan dengan metode ceramah, eksperimen dilakukan hanya untuk
membuktikan teori kimia yang sudah diberikan. LKS yang digunakan hanya berisi
rangkuman materi dan latihan soal. LKS yang digunakan tidak membimbing
siswa untuk menemukan konsep, sehinngga keterampilan proses sains tidak
dilatihkan dalam memecahkan masalah secara ilmiah, mengemukakan hipotesis,
merencanakan suatu eksperimen untuk menguji hipotesis, dan mengambil suatu
kesimpulan dari sekumpulan data yang diperoleh siswa dari pelajaran kimia
tersebut. Siswa hanya mencatat dan menghafal materi pembelajaran kimia
sehingga siswa sulit untuk memahami materi kimia yang dapat menyebabkan
minat siswa berkurang pada pembelajaran kimia.
Salah satu komponen yang penting dalam pembelajaran adalah penggunaan
siswa. Salah satu upaya yang dilakukan agar pembelajaran kimia menjadi lebih
menarik, mudah dipahami oleh siswa, serta siswa dapat terlatih dalam
memecah-kan masalah adalah dengan menggunamemecah-kan model pembelajaran yang berbasis
pemecahan masalah (problem solving), karena dilihat dari karakteristik siswa,
materi larutan non-elektrolit dan elektrolit dengan menggunakan model
pem-belajaran tersebut akan memberikan siswa kesempatan seluas-luasnya untuk
memecahkan masalah kimia dengan strateginya sendiri. Penelitian yang mengkaji
tentang penerapan model problem solving adalah hasil penelitian Purwani (2009),
yang dilakukan pada siswa SMA kelas X di SMA Negeri 1 Jombang,
menunjuk-kan bahwa pembelajaran dengan menggunamenunjuk-kan model pembelajaran problem
solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan
berpikir pada materi konsep mol. Kemudian hasil penelitian Lidiawati (2011),
yang dilakukan pada siswa SMA kelas XI SMA Negeri 1 Abung, menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan model problem solving memberikan
kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan mengkomunikasikan
dan penguasaan konsep materi koloid.
Model pembelajaran problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran
dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan atau
diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini, siswa
diharuskan melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap
masalah yang diberikan. Mereka menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, membuat
Pembelajaran dengan model problem solving dapat berlangsung lancar dengan
ketersediaan LKS yang berisi masalah yang akan dipecahkan, menyusun hipotesis
awal, melakukan percobaan untuk membuktikan hipotesis, diskusi dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan menarik kesimpulan. Hal itu dapat
membantu siswa untuk meningkatkan penguasaan konsep dengan menganalisis
masalah yang ada sehingga siswa dapat menyelesaikannya.
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), siswa harus
menguasai standar kompetensi pada setiap jenjang pendidikannya dan standar
kompetensi ini dijabarkan dalam bentuk kompetensi dasar. Salah satu standar
kompetensi yang harus dicapai siswa kelas X semester genap adalah memahami
sifat-sifat larutan non-elektrolit dan elektrolit. Pada materi larutan elektrolit dan
non elektrolit, siswa diajak untuk mengamati fenomena yg terjadi dalam
ke-hidupan sehari-hari mengenai larutan elektrolit dan non elektrolit, dan diajak
untuk melakukan praktikum. Contohnya pada materi sifat-sifat larutan elektrolit
dan non elektrolit, melalui praktikum, siswa bisa mendapatkan pengalaman
langsung dalam mempelajari materi tersebut. Dengan demikian pembelajaran
materi larutan elektrolit dan non elektrolit dapat menunjukkan keterampilan
proses sains. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan
keterampilan prosessains siswa adalah model pembelajaran problem solving.
Salah satu indikator dalam keterampilan proses sains adalah keterampilan
berkomunikasi dan memprediksi. Kedua keterampilan ini sesuai dengan
tahapan-tahapan problem solving yaitu : adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan,
menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut , menguji kebenaran
jawaban sementara tersebut, dan menarik kesimpulan.
Keterampilan berkomunikasi penting bagi siswa dalam upaya menyelesaikan
masalah-masalah yang kelak mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui keterampilan berkomunikasi siswa dituntut mampu menjelaskan hasil
percobaan; menggambar data empiris dengan grafik, tabel/diagram; membaca dan
mengkompilasi informasi dalam grafik atau diagram; menyusun dan
menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas. Selain itu keterampilan
berkomunikasi menjadi sangat penting karena setiap orang mempunyai kebutuhan
untuk mengemukakan ide, membantu dalam proses penyusunan pikiran, juga
merupakan dasar untuk memecahkan masalah.
Keterampilan memprediksi merupakan keterampilan meramal yang akan terjadi,
berdasarkan gejala yang ada. Keteraturan dalam lingkungan kita mengizinkan kita
untuk mengenal pola dan untuk memprediksi terhadap pola-pola apa yang
mung-kin dapat diamati. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) memprediksi dapat
diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang
akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan perkiraan pada pola atau
kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam
pengetahuan.
Terampil memprediksi sekilas bukanlah keterampilan yang begitu penting untuk
dikuasai siswa, namun sebaliknya keterampilan inilah yang harus menjadi dasar
dalam pengamatan-pengamatan langsung yang mereka lakukan terhadap suatu
yang sangat memerlukan keterampilan ini. Hal ini menunjukkan bahwa secara
tidak langsung model pembelajaran problem solving ini mampu meningkatkan
keterampilan berkomunikasi dan memprediksi siswa.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian guna melihat efektivitas model
pembelajaran ini dalam upaya meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan
memprediksi siswa khususnya pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian dengan judul
“Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi Larutan
non-elektrolit dan non-elektrolit dalam Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi dan
Memprediksi ”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Apakah model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan
keterampilan berkomunikasi dan memprediksi siswa pada materi larutan
non-elektrolit dan non-elektrolit ?
2. Bagaimana karakteristik model pembelajaran problem solving dalam
meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan memprediksi siswa pada
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan untuk
1. Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam
meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan memprediksi siswa pada
materi larutan non-elektrolit dan elektrolit.
2. Mendeskripsikan karakteristik model pembelajaran problem solving yang
efektif dalam meningkatkan ketreampilan berkomunikasi dan memprediksi
pada pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat antara lain :
1. Siswa
Penerapan model pembelajaran problem solving dalam kegiatan belajar
mengajar diharapkan dapat menumbuhkan motivasi dan minat belajar siswa
sehingga dapat mengembangkan keterampilan proses sains (KPS).
2. Guru
Pembelajaran dengan model problem solving diharapkan dapat menjadi salah
satu pilihan pemecahan masalah bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran
kimia di sekolah, dapat melaksanakan pembelajaran yang efektif, efisien dan
mempermudah guru dalam pelaksanaan pembelajaran serta dapat
3. Sekolah
Penerapan model problem solving dalam pembelajaran merupakan alternatif
untuk meningkatkan mutu pembelajaran kimia di sekolah.
E.Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Model pembelajaran dikatakan efektif apabila secara statistik keterampilan
berkomunikasi dan memprediksi menunjukkan perbedaan N-Gain yang
signifikan antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen.
2. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini
digunakan di SMA Persada Bandar Lampung. Guru mengajarkan konsep
secara langsung tanpa membimbing siswa untuk menemukan konsep (metode
ceramah), guru melakukan tanya jawab dengan siswa, kemudian guru
memberi latihan. Pratikum dilakukan pada submateri-submateri tertentu dan
pratikum hanya untuk membuktikan konsep.
3. Model pembelajaran problem solving meliputi mengorientasikan siswa pada
masalah, mencari data atau keterangan yang digunakan untuk memecahkan
masalah tersebut, menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut,
menguji kebenaran jawaban sementara tersebut, dan menarik kesimpulan.
4. Keterampilan berkomunikasi yang diukur merupakan keterampilan proses
sains tingkat dasar yang meliputi mampu membaca dan mengkompilasi
tabel, atau diagram, menjelaskan hasil percobaan, menyusun dan
menyampai-kan laporan secara sistematis dan jelas.
5. Keterampilan memprediksi adalah dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau
membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang,
berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan
antara fakta, konsep, dan prinsip dalam pengetahuan..
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Efektivitas Pembelajaran
Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan
ting-kat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran diting-katakan efektif
meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa
me-nunjukan perbedaan Gain yang signifikan antara keterampilan proses sains awal
dengan keterampilan proses sains setelah pembelajaran.
Kriteria keefektifan menurut Wicaksono (2008) mengacu pada:
a. Ketuntasan belajar, pembelajaran, dapat dikatakan tuntas apabila
sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai = 60 dalam peningkatan hasil belajar.
b. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembe-lajaran (gain yang signifikan).
c. Model pembelajaran dikatakan efektif jika dapat meningkatkan minat dan motivasi apabila setelah pembelajaran siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar lebih giat dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Serta siswa belajar dalam keadaan yang menyenangkan.
B.Pembelajaran Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan di kelompokkan dalam teori
konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai. Teori
ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan
teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010).
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah
pemaduan data baru dengan stuktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah
penye-suaian stuktur kognitif terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyepenye-suaian
kembali yang terus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994).
Prespektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan pembelajaran problem
solving, banyak meminjam pendapat Piaget (1954). Prespektif ini mengatakan,
seperti yang dikatakan Piaget, bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat
secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan
pengeta-huannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara
konstan selama pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang
memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan
sebelumnya. Keyakinan Piaget ini berbeda dengan keyakinan Vygotsky dalam
beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan
intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks sosial atau kulturalnya,
Vygot-sky menekankan pentingnya aspek sosial belajar. VygotVygot-sky percaya bahwa
interaksi sosial dengan orang lain memacu pengonstruksian ide-ide baru dan
dari minat Vygotsky pada aspek sosial pembelajaran adalah konsepnya tentang
zone of proximal development. Menurut Vygotsky, pelajar memiliki dua tingkat
perkembangan yang berbeda yakni tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual, menentukan fungsi
intelektual individu saat ini dan kemampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal
tertentu. Individu juga memiliki tingkat perkembangan potensial, yang oleh
Vygotsky didefinisikan sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh
individu dengan bantuan orang lain, misalnya guru, orang tua, atau teman
sebaya-nya yang lebih maju. Zona yang terletak diantara kedua tingkat perkem-bangan
inilah yang disebutnya sebagai zone of proximal development (Arends, 2007).
C.Model Pembelajaran Problem Solving
Salah satu pembelajaran kontruktivisme adalah pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran problem solving (metode pemecahan masalah). Menurut
Sriyono (1992), model pembelajaran problem solving adalah suatu cara mengajar
dengan menghadapkan siswa kepada suatu masalah agar dipecahkan atau
diselesaikan. Metode ini menuntut kemampuan untuk melihat sebab akibat,
mengobservasi masalah, mencari hubungan antara berbagai data yang terkumpul
kemudian menarik kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan masalah.
Menurut Sukarno (1981) dengan menggunakan model pembelajaran problem
solving, anak dapat dilatih untuk memecahkan masalah secara ilmiah, melatih
mengemukakan hipotesis, melatih merencanakan suatu eksperimen untuk
yang diperoleh anak-anak dari pelajaran sains itu, juga segi-segi lainnya yang
terdapat pada sains.
Djamarah dan Zain (2010) mengemukakan bahwa salah satu model mengajar
adalah model pembelajaran problem solving. Namun model pembelajaran
problem solving bukan hanya sekedar model mengajar, tetapi juga merupakan
suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan
metode-metode lainnya yang dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik
kesimpulan. Langkah-langkah dalam penggunaan model pembelajaran problem
solving yaitu sebagai berikut:
1. Mengorientasikan siswa pada masalah. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
2. Mencari data atau keterangan yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.
3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dengan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas.
4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawab-an ini tentu saja diperlukjawab-an metode-metode lainnya seperti demonstrasi, tugas diskusi, dan lain-lain.
5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
Dengan model pembelaran problem solving siswa harus berpikir, mencobakan
hipotesis dan bila berhasil memecahkan masalah tersebut, siswa akan mempelajari
sesuatu yang baru. Dalam memecahkan masalah harus dilalui berbagai langkah
seperti mengenal setiap unsur dalam masalah itu, mencari aturan-aturan yang
berkenaan dengan masalah itu dan harus berpikir kritis sehingga siswa akan
Model pembelajaran problem solving dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas
pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi
secara ilmiah. Terdapat 3 ciri utama dari model pembelajaran problem solving
yaitu sebagai berikut:
a. Model pembelajaran problem solving merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran.
Artinya dalam implementasi problem solving ada sejumlah kegiatan yang
harus dilakukan siswa.
b. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Model
pembelajaran ini menempatkan masalah sebagai kunci dari proses
pembelajaran.
c. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir
secara ilmiah.
Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran problem solving menurut
Dzamarah dan Zain (2010) adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan model pembelajaran problem solving
a. Model ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan.
b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil. c. Model ini merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa secara
kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi da-lam rangka mencari pemecahannya.
2. Kekurangan model pembelajaran problem solving
b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain
c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalah sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.
3. Cara-Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Problem Solving
a. Masalah yang diajukan untuk diselesaikan, carilah masalah yang aktual, sering terjadi. Untuk itu juga perlu kiranya memperoleh input dari peserta diklat terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapat mereka tentang masalah itu. Apakah kemampuan dan pengetahuan peserta diklat diperkirakan masih sanggup untuk menyelesaikannya.
b. Diusahakan agar melihat sesuatu masalah dari sudut lain, dalam arti masalah itu harus diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prior knowledge dan kemampuan peserta diklat.
c. Uraikanlah suatu masalah menjadi unsur-unsur sebab akibat, dan pilihlah mana yang betul-betul relevan serta cocok dengan keadaan peserta diklat. Jangan sampai terjadi kekaburan bagi peserta diklat tentang dari mana mereka harus memulai tugasnya.
d. Cara menyelesaikan masalah, peserta didik bisa dibantu dengan membuat model pohon masalah, atau memetakan masalah (problem mapping) dan masing-masing dicarikan alternatif penyelesaiannya.
D.Keterampilan Proses Sains
Keterampilan proses sains (KPS) dibutuhkan untuk menggunakan dan memahami
sains ( Hartono, 2007). Untuk dapat memahami hakikat IPA secara utuh, yakni
IPA sebagai proses, produk, dan aplikasi, siswa harus memiliki kemampuan KPS.
Dalam pembelajaran IPA aspek proses perlu ditekankan bukan hanya pada hasil
akhir dan berpikir benar lebih penting dari pada memperoleh jawaban yang benar.
Dengan kata lain bila seseorang telah memiliki KPS, IPA sebagai produk akan
mudah dipahami, bahkan mengaplikasikan dan mengembangkannya. KPS adalah
semua keterampilan yang terlibat pada saat proses berlangsungnya sains. KPS
pengetahuan/ informasi baru kepada siswa atau mengembangkan pengetahuan
atau informasi yang telah dimiliki siswa.
Menurut Semiawan (1992) berpendapat bahwa terdapat empat alas an mengapa
pendekatan keterampilan sains diterapkan dalam proses belajar mengajar
sehari-hari, yaitu : perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung semakin
cepat sehingga tidak mungkin lagi guru mengajarkan semua konsep dan fakta
pada siswa. Adanya kecenderungan bahwa siswa lebih memahami konsep-konsep
yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh yang konkret. Penemuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bersifat mutlak 100%, tapi
bersifat relative. Dalam proses belajar mengajar, pengembangan konsep tidak
terlepas dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak didik.
Menurut Indrawati (1999) mengemukakan bahwa KPS merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip atau teori, untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya, ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan.
Jadi KPS adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam
me-mahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat
pen-ting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam
mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau
me-ngembangkan pengetahuan yang telah dimiliki.
KPS bukan tindakan instruksional yang berada di luar kemampuan siswa. tetapi
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki
keterampilan proses dasar (Basic Science Proses Skill) meliputi observasi,
klasi-fikasi, pengukuran, berkomunikasi dan inferensi.
Tabel 1. Indikator keterampilan proses sains dasar
Keterampilan dasar Indikator
Observasi
Klasifikasi
Pengukuran
Berkomunikasi
Inferensi
Mampu menggunakan semua indera (penglihatan, pembau, pendengaran, pengecap, dan peraba) untuk mengamati, mengidentifikasi, dan menamai sifat benda dan kejadian secara teliti dari hasil pengamatan.
Mampu menentukan perbedaan, mengkontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentu-kan dasar penggolongan terhadap suatu obyek
Mampu memilih dan menggunakan peralatan untuk menentukan secara kuantitatif dan kualitatif ukuran suatu benda secara benar yang sesuai untuk panjang, luas, volume, waktu, berat dan lain-lain. Dan mampu mendemontrasikan perubahan suatu satuan pengukur-an ke satupengukur-an pengukurpengukur-an lain
Memberikan/menggambarkan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dengan tabel, menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis, men-jelaskan hasil percobaan, membaca tabel, mendiskusi-kan hasil kegiatan suatu masalah atau suatu peristiwa.
Mampu membuat suatu kesimpulan tentang suatu benda atau fenomena setelah mengumpulkan, menginterpretasi data dan inormasi
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) memprediksi dapat diartikan sebagai
mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada
waktu mendatang, berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu,
Keterampilan proses sebagaimana disebutkan di atas merupakan KPS yang
diapli-kasikan pada proses pembelajaran. Pembentukan keterampilan dalam memperoleh
pengetahuan merupakan salah satu penekanan dalam pembelajaran sains. Oleh
ka-rena itu, penilaian terhadap keterampilan proses siswa harus dilakukan terhadap
semua keterampilan proses sains baik secara parsial maupun secara utuh.
E.Kerangka Berpikir
Materi larutan non-elektrolit dan elektrolit merupakan salah satu materi pelajaran
kimia yang berkaitan langsung dengan pengetahuan alam yang sering dijumpai di
lingkungan. Melalui pembelajaran dengan model pembelajaran problem solving,
siswa diajak untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka temui dalam
kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan larutan elektrolit dan
nonelek-trolit serta menuntun siswa untuk menemukan konsep secara sistematis, sehingga
pemahaman siswa terhadap materi larutan non-elektrolit dan elektrolit akan lebih
mendalam dan siswa dapat menerapkan pengetahuannya.
Tahap awal pembelajaran problem solving adalah mengorientasikan siswa pada
masalah . Guru memulai pembelajaran dengan menyampaikan indikator dan
tujuan pembelajaran. Kemudian guru mengajukan fenomena untuk memunculkan
masalah dan mengembangkan rasa ingin tahu siswa dalam rangka memotivasi
siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah tesebut. Siswa diberikan
fakta-fakta tentang larutan non-elektrolit dan elektrolit agar siswa mampu
mendeskrip-sikan teori-teori larutan non-elektrolit dan elektrolit dengan menentukan jenis dan
sifat larutan non-elektrolit dan elektrolit. Setelah itu siswa di minta menentukan
pelaksanaan-nya, setelah diberikan pertanyaan-pertanyaan yang menggali rasa keingintahuan
siswa, siswa mulai memikirkan adanya suatu masalah tertentu mengenai materi
larutan non-elektrolit dan elektrolit.. Lalu pada tahap dua diminta mencari data
atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Pada tahap
ini setelah siswa merumuskan masalah, guru mendorong siswa agar mendapatkan
informasi yang sesuai dan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan penjelasan
dari permasalahan yang diajukan atau menjabarkan masalah dengan jelas dan
spesifik. Fakta yang terjadi pada kelas eksperimen sesuai dengan kegiatan
akomodasi yang dikemukakan Piaget yaitu terjadi penyesuaian stuktur kognitif
siswa terhadap situasi baru. Dengan kata lain, karena siswa sudah mengalami
asimilasi pada tahap satu, siswa ingin memahami konsep baru atau permasalahan
yang timbul melalui kegiatan akomodasi. Pada tahap tiga siswa diminta
me-netapkan jawaban sementara dari masalah. Pada tahap ini, setelah melalui
kegiatan asimilasi dan akomodasi siswa akan mengalami ketidakseimbangan
struktur kognitif (coqnitive disequilibrium) yaitu ada fakta-fakta yang telah
dimiliki siswa sebelumnya (pengetahuan lama siswa) yang tidak sesuai dengan
pengetahuan baru siswa. Pada tahap empat model pembelajaran problem solving
ini, siswa diminta untuk menguji kebenaran hipotesis atau jawaban sementara dari
masalah yang telah dirumuskan. Pada tahap ini siswa melakukan percobaan yang
bertujuan memberi kesempatan siswa untuk memanfaatkan panca indera
se-maksimal mungkin untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi. Kegiatan
ini mampu meningkatkan kemampuan psikomotor siswa. Kemudian siswa diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi
siswa diminta memprediksi gejala yang akan terjadi berdasarkan gejala yang ada
atau gejala yang telah diamati sebelumnya. Sehingga diharapkan dapat
meningkatkan keterampilan proses sains siswa yaitu keterampilan memprediksi. .
Pada tahap kelima yakni menarik kesimpulan, ketika siswa telah mendapatkan
kesimpulan dari permasalahan diharapkan siswa dapat mengkomunikasikan
hasilnya dengan yang lain dan memberikan penjelasan sederhana dari data yang
didapat untuk menyelesaikan masalah.
Dalam proses model pembelajaran problem solving, siswa diajak mencari tahu
jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukan. Sehingga guru dapat
melatihkan keterampilan berkomunikasi dan memprediksi kepada siswa sebagai
salah satu komponen dalam Keterampilan Proses Sains (KPS). KPS dimaksudkan
untuk melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual atau kemampuan
berfikir siswa. Selain itu juga mengembangkan sikasp-sikap ilmiah dan
ke-mampuan siswa untuk menemukan dan mengembangkan fakta, konsep, dan
prinsip ilmu atau pengetahuan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka keterampilan berkomunikasi dan memprediksi
yang dibelajarkan dengan model pembelajaran problem solving akan lebih efektif
F. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Siswa-siswa kelas X semester genap SMA Persada Bandar Lampung tahun
ajaran 2012-2013 yang menjadi populasi mempunyai kemampuan dasar yang
sama dalam penguasaan konsep kimia.
2. Perbedaan keterampilan berkomunikasi dan keterampilan memprediksi
siswa kelas X semester genap SMA Persada Bandar Lampung pada materi
larutan non-elektrolit dan elektrolit semata-mata karena perbedaan perlakuan
dalam proses pembelajaran.
G.Hipotesis Umum
Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah pembelajaran model problem solving
pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit lebih efektif dalam
meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan keterampilan memprediksi pada
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Persada Bandar
Lampung, Tahun Ajaran 2012-2013 yang berjumlah 128 siswa dan tersebar dalam
empat kelas. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu.
Dengan pertimbangan kemampuan kognitif siswa yang sama, maka dipilihlah X2 dan
X3 sebagai sampel penelitian. Selanjutnya ditentukan kelas X3 sebagai kelas
eksperi-men yang dalam pembelajarannya eksperi-menggunakan model pembelajaran problem
solving, dan X2 sebagai kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran
konven-sional.
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran problem solving dan pembelajaran konvensional.
b. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan berkomunikasi dan
C. Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat
kuantitatif dan data sekunder yang bersifat kualitatif. Data kuantitatif yaitu data
hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan hasil tes setelah
pembela-jaran diterapkan (postest) siswa. Data kualitatif berupa data kinerja guru dan
aktivitas belajar siswa.
Sumber data kuantitatif dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Data hasil pretest dan postest kelompok eksperimen
2. Data hasil pretest dan postest kelompok kontrol
D. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen. Desain penelitian yang
digunakan adalah non equivalent control group design yaitu desain kuasi ekperimen
dengan melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol (Purwanto, 2007). Di dalamnya terdapat langkah-langkah yang
menunjukkan suatu urutan kegiatan penelitian yaitu:
Tabel 2. Desain penelitian
Pretest Perlakuan Postest
Kelas eksperimen O1 X1 O2
Keterangan :
X1 : Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran problem
solving
O1 : Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi pretest
O2 : Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi posttest
E. Instrumen Penelitian dan Validitas
Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu.
Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data
untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 2010). Ada beberapa
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
a. Silabus dan Renacana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan
standar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
b. LKS kimia berbasis problem solving dan LKS kimia yang digunakan di sekolah
tempat penelitian dengan materi larutan non-elektrolit dan elektrolit, yang
berjumlah dua LKS yaitu LKS 1 berisi sub materi larutan non-elektrolit dan
elektrolit dan LKS 2 berisi sub materi sifat hantar listrik larutan elektrolit.
c. Soal-soal pretest dan posttest yang masing-masing terdiri dari dua bagian, yaitu
soal-soal keterampilan berkomunikasi dan memprediksi dalam bentuk soal
uraian. Soal pretest dan posttest pada penelitian adalah materi larutan
non-elektrolit dan non-elektrolit yabg terdiri 6 butir soal uraian. Dalam pelaksanaannya
Untuk mengetahui instrumen yang digunakan valid atau tidak, maka dilakukan
pengukuran validitas instrumen. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan
kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang
diteliti secar tepat.
Soal uraian pretest dan posttes menggunakan uji validitas isi dengan cara judgment
(penilaian). Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan
keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini
dilakukan oleh Ibu Dra. Ila Rosilawati, M.Si. dan Bpk Drs. Tasviri Efkar, M.S.
sebagai Pembimbing penelitian untuk memvalidasinya.
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Langkah-langkah yang digunakan penelitian ini adalah:
1. Observasi pendahuluan
a. Meminta izin kepada Kepala SMA Persada Bandar Lampung untuk melaksanakan
penelitian.
b. Menentukan populasi dan sampel penelitian.
2. Pelaksanaan penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap persiapan
b. Tahap pelaksanaan penelitian
Pada tahap pelaksanaannya, penelitian dilakukan dalam dua kelas yaitu kelas
eksperimen yang diterapkan pembelajaran problem solving dan kelas kontrol dengan
pembelajaran konvensional.
Urutan prosedur pelaksanaanya sebagai berikut :
1. Melakukan pretest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol
2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran pada materi larutan non-elektrolit dan
elektrolit sesuai dengan model pembelajaran yang telah ditetapkan masing-masing
kelas.
1.1. Kelas eksperimen
Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran, guru mengelompokkan siswa dalam 5
kelompok secara heterogen berdasarkan kemampuan kognitif siswa yang telah
teramati berdasarkan nilai ujian akhir semester ganjil.
a) Tahap 1 : Mengorientasikan siswa pada masalah
Guru menggali pengetahuan awal siswa dengan suatu fenomena sebagai langkah
permasalahn bagi siswa.
b) Tahap 2 : Mencari data atau keterangan yang digunakan untuk memecahkan
masalah.
Guru membimbing siswa untuk mencari data atau keterangan yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah
c) Tahap 3 : Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut
Guru membimbing siswa dalam menetapkan jawaban sementara dari masalah
d) Tahap 4 : Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut
1) Guru membimbing siswa dalam melakukan percobaan bersama dengan teman
sekelompokknya. Meminta siswa pada setiap kelompok untuk mempresentasikan
hasil diskusi dan pengamatannya.
2) Guru membimbing siswa dalam diskusi kelompok.
3) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan pendapat dan
melengkapi jawaban.
e) Tahap 5 : Membuat kesimpulan
1) Guru membimbing siswa dalam menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusi
siswa dan guru.
2) Guru memberikan penguatan dari kesimpulan siswa tentang materi yang telah
dipelajari.
1.2. Kelas control
a). Kegiatan awal
Guru membuka pelajaran dan menyampaikan tujuan pembelajaran.
b). Kegiatan inti
1) Guru memberikan uraian materi dan penjelasan kepada siswa.
2) Siswa mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang penting.
3) Guru meminta siswa untuk mengerjakan latihan soal.
4) Siswa mengerjakan latihan soal yang diberikan guru.
5) Guru bersama siswa membahas latihan tersebut.
c). Kegiatan akhir
1) Guru meminta siswa untuk menyimpulkan materi yang baru saja mereka
2) Guru memberikan tugas kepada siswa.
3) Melakukan posttest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas
control.
4) Analisis data
5) Penulisan pembahasan dan simpulkan
Prosedur pelaksanaan penelitian ini digambarkan dalam bentuk bagan seperti sebagai
berikut :
Diagram 1. Prosedur pelaksanaan penelitian Mempersiapkan Instrumen
Menentukan Populasi dan Sampel
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Analisis Data
Kesimpulan
Validasi Instrumen Observasi Pendahuluan
Pretest
Pembelajaran Konvensional
Posttest
Pretest
Pembelajaran Problem Solving
G. Teknik Analisis Data
Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti,
yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah,
tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
Nilai pretest dan postest dirumuskan sebagai berikut:
……… (1)
Data yang diperoleh kemudian dianalisis, dengan menghitung N-Gain yang
selanjut-nya digunakan untuk menguji kenormalan dan homogenitas dua varians.
1. Perhitungan N-Gain
Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran metode problem solving dalam
meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan memprediksi siswa, maka dilakukan
analisis skor gain ternormalisasi. Rumus N-Gain menurut Meltzer adalah sebagai
berikut :
………(2)
Kriteria interpertasi indeks gain yang dikemukakan oleh Hake, yaitu:
g ≥ 0,7 (indeks gain tinggi)
0,3 ≤ g < 0,7 (indeks gain sedang)
g < 0,3 (indeks gain rendah)
2. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel berasal
dari populasi berdistribusi normal atau tidak.
Hipotesis untuk uji normalitas :
Ho = data penelitian berdistribusi normal
H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal
Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :
X2 =
3. Uji homogenitas dua varians
Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok
sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak. Untuk uji homogenitas dua
varians ini, rumusan hipotesisnya adalah :
H0: σ12= σ22 Data N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians
homogen.
H1: σ12≠ σ22 Data N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians yang
Sedangkan untuk uji homogenitas kedua varians kelas sampel, digunakan uji
kesamaan dua varians, dengan rumusan statistik :
Keterangan:
varians skor kelompok I
varians skor kelompok II
= varians terbesar
= varians terkecil
Dengan kriteria uji adalah terima Ho jika FHitung < FTabel pada taraf nyata 5%
(Sudjana,2002).
4. Pengujian hipotesis
Rumusan hipotesis adalah sebagai berikut :
1) Hipotesis 1 (keterampilan berkomunikasi)
H0 µ1x≤ µ2x : Rata-rata N-Gain keterampilan berkomunikasi yang diterapkan
pembelajaran dengan metode problem solving kurang dari atau
sama dengan dengan pembelajaran konvensional siswa SMA
Persada Bandar Lampung.
H1 µ1x> µ2x: Rata-rata N-Gain keterampilan berkomunikasi yang diterapkan
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional siswa SMA
Persada Bandar Lampung.
2) Hipotesis 2 (keterampilan memprediksi)
H0 µ1y≤ µ2y : Rata-rata N-Gain keterampilan memprediksi yang diterapkan
pembelajaran dengan metode problem solving lebih rendah atau
sama dengan penguasaan konsep pembelajaran konvensional siswa
SMA Persada Bandar Lampung.
H1 µ1y> µ2y : Rata-rata N-Gain keterampilan memprediksi yang diterapkan
pembelajaran dengan metode problem solving lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diberi pembelajaran konvensional siswa
SMA Persada Bandar Lampung.
Keterangan:
µ1 : Rata-rataN-Gain (x,y) pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit pada kelas
yang diterapkan pembelajaran dengan metode problem solving
µ2 : Rata-rata N-Gain (x,y) pada materi larutan non-elektrolit dan elektrolit pada
kelas dengan pembelajaran konvensional
x: keterampilan berkomunikasi
y : keterampilan memprediksi
Uji hipotesis dilakukan dengan uji perbedaan dua rata-rata yang bergantung pada
homogenitas kedua varians data. Dikarenakan kedua varians kelas sampel homogen
( ), maka uji hipotesis dilakukan dengna menggunakan rumus sebagai
Keterangan:
= Rata-rata gain berkomunikasi larutan non-elektrolit dan elektrolit /
keterampilan memprediksi yang diterapkan pembelajaran metode problem
solving.
= Rata-rata gain keterampilan berkomunikasi larutan non-elektrolit dan elektrolit/
keterampilan memprediksi yang diterapkan pembelajaran konvensional.
S = Simpangan baku gabungan
= Jumlah siswa pada kelas yang diterapkan pembelajaran metode problem
solving
= Jumlah siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
= Simpangan baku siswa yang diterapkan pembelajaran metode problem solving
= Simpangan baku siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Dengan kriteria pengujian: terima H0 jika t < t1-α dengan derajat kebebasan
d(k) = n1 + n2– 2 dan tolak H0 untuk harga t lainnya. Dengan menentukan taraf
signifikan α = 5% peluang (1- α ).
V. SIMPULAN DAN SARAN
A.Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam
pene-litian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Model pembelajaran Problem Solving efektif dibandingkan pembelajaran
konvensional pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dalam
meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan memprediksi.
2. Dengan model pembelajaran Problem Solving pada tahap pengumpulan data,
siswa dapat dilatih untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan
memprediksi dari hasil diskusi yang menggunakan LKS berbasis model
pembelajaran Problem Solving. Dengan demikian model pembelajaran
Problem Solving efektif dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan
memprediksi.
B.Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:
1. Model pembelajaran Problem Solving hendaknya diterapkan dalam
karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan
keterampilan memprediksi siswa.
2. Agar penerapan model pembelajaran Problem Solving berjalan efektif,
hendaknya guru menguasai materi kimia dan langkah-langkah pembelajaran
Problem Solving dengan benar, serta guru harus memiliki kreativitas dalam
merancang dan melaksanakan proses pembelajaran dengan maksimal.
3. Agar penerapan model pembelajaran Problem Solving berjalan maksimal,
hendaknya guru mempersiapkan lebih awal hal-hal yang menunjang proses
pembelajaran yang akan dilakukan siswa dan lebih memperhatikan
pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran
Problem Solving.
Kendala :
1. Tidak semua siswa dapat merumuskan masalah dengan tepat.
2. Waktu yang digunakan untuk melaksanakan penelitian kurang dikarenakan
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R.I. 2007. Learning To Teach. Edisi VII. Pustaka pelajar. Yogyakarta.
Arikunto, S. 2004. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Bell, G. M. E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Depdiknas. 2003. Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.
Djamarah, B.S. dan A. Zein. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.
Djamarah, S.B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif . Rineka Cipta. Jakarta.
Hartono. 2007. Profil Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Program
Pendidikan Jarak Jauh S1 PGSD Universitas Sriwijaya. FKIP Universitas Sriwijaya. Palembang. Proceeding of The First International Seminar on Science Education.ISBN: 979-25-0599-7
Indrawati dan Setiawan, wanwan. 2010. Pembelajaran inovatif Kreatif dan Inovatif untuk siswa sekolah dasar. [Online]. Tersedia di
http://www.p4tkipa.org/data/pakem/pdf. [22 Februari 2010].
Lidiawati. 2011. Efektivitas Penerapan Metode Problem Solving Dalam
Meningkatkan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Penguasaan Konsep Koloid (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.
Meltzer, D.E. 2002. Relation between Student’ Problem-Solving Performance and Representation Format. American Journal of Physic. 73. No.5. P.465.
Nur, M. 1996. Proses Belajar Mengajar dengan Metode Pendekatan Keterampilan Proses. SIC. Surabaya.
Purba, M. 2006. Kimia SMA Kelas X. Erlangga. Jakarta.
Sudjana, N. 2005. Metode Statistika. PT. Tarsito. Bandung.
Semiawan, Cony. 1992. Pendidikan Ketrampilan Proses. Jakarta : Gramedia.
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Bandung.