• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat 1974-2002

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat 1974-2002"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat

1974 – 2002

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: ANDREY GENETON HUTAPEA

NIM

: 070706024

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat 1974-2002

Skripsi Sarjana Yang diajukan oleh:

Nama : Andrey Geneton Hutapea

Nim : 070706024

Pembimbing

Dra. Nurhabsyah M.Si NIP. 195912311985032005

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk

melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat 1974-2002

Yang diajukan oleh:

Nama : Andrey Geneton Hutapea Nim : 070706024

Telah di setujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing

Dra. Nurhabsyah M.Si. Tanggal:

NIP. 195912311985032005

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal:

NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

Kampung Bali di Desa Paya Tusam Kabupaten Langkat 1974-2002

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O

l

e

h

Nama : Andrey Geneton Hutapea Nim : 070706024

Pembimbing

Dra. Nurhabsyah M.Si.

NIP. 195912311985032005

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(5)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 196409221989031001

(6)

Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh.

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Uneversitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Pada :

Hari : Jum’at

Tanggal : 25 Oktober 2013

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A. Nip. 195110131976031001

Panitia Ujian.

No . Nama Tanda tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum. (...)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si. (..…………...)

3. Dra. Lila Pelita Hati, MSi. ( ...)

4. Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP (...)

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini dikerjakan sebagai bentuk tanggung jawab penulis dalam merekonstruksi

masa lalu untuk dijadikan pelajaran masa sekarang dan masa yang akan datang. Di

samping itu skripsi ini juga sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan

perkuliahan penulis di Departemen Sejarah Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Kampung Bali di Desa Paya Tusam

Kabupaten Langkat 1974 – 2002”. Tulisan ini menguraikan perjalanan sejarah

Kampung Bali mulai dari latar belakang historisnya yang berdiri pada tahun 1974,

dinamika yang terjadi selama periode 1974 – 2002. Dalam skripsi ini akan diuraikan

faktor-faktor penyebab eksistensi masyarakat sehingga mereka dapat terus

berkembang untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan perbaikan dalam tulisan ini.

Untuk itu, penulis mengharapkan kritik yang kritis-konstruktif dari pembaca demi

perbaikan tulisan sederhana ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi

pembaca.

Penulis

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Begitu besar gelombang tantangan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan

skripsi ini. Tak jarang penulis terbentur dalam perdebatan dalam diri yang

menghasilkan pertanyaan-pertanyaan baru yang hampir tidak terjawab. Peran besar

maupun kecil dari orang-orang disekitar penulis dirasa sangat berharga sehingga

semakin memantapkan kepercayaan diri dalam menyelesaikan tulisan ini. Untuk itu,

penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka:

1. Bapak saya Drs. H. Hutapea dan Ibu saya R. Br. Siagian. Terima kasih bapak

dan ibu atas dukungan, didikan, nasehat, doa-doa, dan segala kebaikan yang

telah diberikan kepada saya. Kiranya Tuhan Yesus Kristus memberkati kita

selalu sampai selama-lamanya.

2. Terima kasih kepada saudara-saudara kandung saya Haris Saul P. Hutapea,

Wenny Zefanya Hutapea, Novaldo Rios Hutapea, dan Angela Hutapea, atas

dukungan kalian kepada saya. Tak lupa adik saya yang masih balita Yohnes

Marsilius Hutapea yang selalu memberi semangat dalam tawa kepolosannya

disetiap kebersamaan yang selalu menghibur. Semoga kalian lebih baik dari

saya dan tetaplah mengejar mimpi-mimpi kita yang tertunda.

3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum selaku Ketua Departemen Sejarah yang telah

(9)

penting dalam kesibukkannya sebagai Sekertaris Departemen Sejarah dan

Dosen Pembimbing saya.

5. Bapak Drs. Wara Sinuhaji M.Hum selaku dosen wali penulis.

6. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen di Departemen Sejarah yang telah

mendidik penulis selama menjadi mahasiswa.

7. Terima kasih juga kepada Bang Amperawira yang telah memberikan pelayanan

administrasi di Departemen Sejarah.

8. Terima kasih kepada para informan atas informasi yang telah diberikan .

9. Terima kasih kepada Ervi Mandani Sembiring yang mengisi hari-hari saya

dalam melewati segala permasalahan sehingga memposisikan dirinya menjadi

istimewa dalam hati saya.

10.Kepada kawan-kawan yang pernah menjadi mahasiswa Ilmu Sejarah.

Khususnya angkatan 2007 (Naf’an, Siti, Olida, Mohan, Budi CP, Iwan, Oki,

Astina, Avril, Krisman, Meisia, Azmi, Ucil, Henry, Ade Putera, Nora, Eta,

Okta, Sulistia, Intan, Andika, Judika, Julianto, Anton, Usman, Togi, Shoji,

Bona, David, dan, Fasrah). Terima kasih buat waktu yang pernah kita lalui

bersama, dan Sarifah Aini yang menjadi teman terbaik dalam bercanda.

11.Terima kasih kepada senior saya abang Dedy Supriadi S.S, kakak Oryza Sativa

(10)

12.Terima kasih kepada Juice and Coffee Band (Kocu, Iyun, Eel, Ndoet) yang

telah memberi semangat dalam setiap kebersamaan, tetap raih mimpi kita yang

tertunda.

13.Terimakasih kepada Royal Flush Distro yang telah menjadi tempat istirahat dan

santai penulis dalam usaha menginterpretasikan tulisan ini.

14.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang tertarik pada

Sejarah Kampung Bali di Langkat.

Medan, September 2013

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Rumusan Masalah ... 7

1.3Tujuan dan Manfaat ... 8

1.4Tinjauan Pustaka ... 9

1.5Metode Penelitian ... 11

BAB II Terbentuknya Kampung Bali ... 14

2.1Letak Geografis dan Kondisi Alam ... 14

2.2Latar Belakang Historis Kampung Bali ... 18

2.2.1Masyarakat Bali Sebelum Di Kampung Bali ... 19

2.2.2Proses Terbentuknya Kampung Bali ... 24

2.3Awal Kehidupan Masyarakat Kampung Bali ... 28

2.3.1Agama ... 29

2.3.2Mata Pencaharian ... 31

2.3.3Pendidikan ... 32

BAB III Dinamika Kehidupan Masyarakat Kampung Bali ... 35

3.1Kehidupan Sosial ... 35

3.1.1Kedatangan Suku Lain ke Kampung Bali ... 37

(12)

B. Kedatangan Suku Jawa ... 39

3.1.2Interaksi Masyarakat Kampung Bali ... 41

3.1.3Hubungan Ikatan Sosial yang Terjalin ... 43

3.2Ekonomi dan Budaya ... 46

3.2.1Ekonomi ... 46

3.2.2Kehidupan Budaya Masyarakat Kampung Bali ... 49

A. Tempat Pemujaan Dan Fungsi-fungsi Bangunan ... 49

B. Bahasa Bali ... 50

C. Seni Tari dan Karawitan ... 51

D. Pakaian Adat ... 52

BAB IV Eksistensi Masyarakat Kampung Bali ... 53

4.1Faktor Internal ... 53

4.1.1Kemandirian dan Nilai Keluhuran Masyarakat Bali ... 54

A. Kemandirian Bidang Ekonomi ... 54

B. Kemandirian Bidang Sosial dan Budaya ... 59

4.1.2Keterbukaan Masyarakat Bali ... 63

4.2Faktor Eksternal ... 67

4.2.1Peranan Pemerintah ... 67

4.2.2Peranan Masyarakat Luar ... 70

(13)

ABSTRAK

Kampung Bali merupakan daerah pedalaman yang berada di Kabupaten Langkat. Keberlangsungan hidup komunitas masyarakat Kampung Bali sangat ‘asri’ dimana rasa solidaritas di antara sesama masyarakat terasa sangat kuat, diperkaya lagi oleh tradisi dan budaya yang merupakan nilai keluhuran masyarakat yang masih terjaga. Hubungan sosial yang terjadi antara masyarakat kampung menjadi faktor utama keharmonisan kehidupan masyarakat kampung.

Hingga periodisasi penulisan ini, kehidupan masyarakat Kampung Bali sudah jauh lebih baik jika dibandingkan pada masa awal mereka membuka kampung. Kegiatan pertanian sebagai sumber kehidupan masyarakat Kampung Bali nampak memadai untuk bisa memajukan taraf kehidupan perekonomian mereka. Kehidupan masyarakat Bali yang menjadi identitas kampung menjadi daya tarik karena keunikan kampung jika dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya yang ada di Langkat.

Topik permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1) Terbentuknya Kampung Bali (2) Dinamika Kehidupan Masyarakat Kampung Bali (1974 – 2002) (3) Eksistensi Masyarakat Kampung Bali.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan mengetahui latar belakang sejarah terbentuknya pemukiman penduduk Kampung Bali, mengetahui situasi lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kampung Bali, serta menjelaskan bentuk eksistensi kehidupan masyarakat pedalaman kampung Bali.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup tahapan, Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik sumber (mengkritisi setiap sumber informasi), Interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan Historiografi (Penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Terbentuknya suatu pemukiman masyarakat dapat disebabkan karena usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi (2) Masyarakat membentuk pola pemukiman yang tentunya tidak jauh dari tempat di mana mereka mencari nafkah hidup.

Mengingat berkembangan suatu komunitas masyarakat pedalaman Kampung Bali tersebut, maka penulisan dikaji dalam konteks sejarah sosial sebagai manifestasi

(14)

ABSTRAK

Kampung Bali merupakan daerah pedalaman yang berada di Kabupaten Langkat. Keberlangsungan hidup komunitas masyarakat Kampung Bali sangat ‘asri’ dimana rasa solidaritas di antara sesama masyarakat terasa sangat kuat, diperkaya lagi oleh tradisi dan budaya yang merupakan nilai keluhuran masyarakat yang masih terjaga. Hubungan sosial yang terjadi antara masyarakat kampung menjadi faktor utama keharmonisan kehidupan masyarakat kampung.

Hingga periodisasi penulisan ini, kehidupan masyarakat Kampung Bali sudah jauh lebih baik jika dibandingkan pada masa awal mereka membuka kampung. Kegiatan pertanian sebagai sumber kehidupan masyarakat Kampung Bali nampak memadai untuk bisa memajukan taraf kehidupan perekonomian mereka. Kehidupan masyarakat Bali yang menjadi identitas kampung menjadi daya tarik karena keunikan kampung jika dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya yang ada di Langkat.

Topik permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1) Terbentuknya Kampung Bali (2) Dinamika Kehidupan Masyarakat Kampung Bali (1974 – 2002) (3) Eksistensi Masyarakat Kampung Bali.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan mengetahui latar belakang sejarah terbentuknya pemukiman penduduk Kampung Bali, mengetahui situasi lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kampung Bali, serta menjelaskan bentuk eksistensi kehidupan masyarakat pedalaman kampung Bali.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup tahapan, Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik sumber (mengkritisi setiap sumber informasi), Interpretasi (penafsiran terhadap sumber) dan Historiografi (Penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan dekskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Terbentuknya suatu pemukiman masyarakat dapat disebabkan karena usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi (2) Masyarakat membentuk pola pemukiman yang tentunya tidak jauh dari tempat di mana mereka mencari nafkah hidup.

Mengingat berkembangan suatu komunitas masyarakat pedalaman Kampung Bali tersebut, maka penulisan dikaji dalam konteks sejarah sosial sebagai manifestasi

(15)

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Terbentuknya sebuah pemukiman dapat dijelaskan melalui proses dimana

awalnya manusia berkumpul dan tinggal bersama pada tempat-tempat tertentu.

Seiring dengan berjalannya waktu tempat-tempat tersebut menjadi perkampungan

(suatu area hunian yang kemudian tumbuh menjadi pemukiman dan berkembang

menjadi perkampungan).1

Penulisan sejarah yang menyangkut daerah tempat tinggal atau pemukiman

sudah diawali oleh D.H Burger dalam tulisannya “Rapport over de desa Pekalongan

in 1869 en 1928 dan desa Ngablak (Regentschap Pati) 1869 en 1928”. Kedua jenis

tulisan ini menonjolkan aspek sruktural dan perkembangan dua desa dalam waktu Proses terbentuknya daerah tempat tinggal manusia terjadi

melalui proses yang panjang, Proses ini menjelaskan bahwa sejarah mempunyai

peran penting dan sejarah akan selalu terikat pada kronologis peristiwa, artinya selalu

ada kesinambungan antara kejadian sebelumnya dengan kejadian selanjutnya. Sejarah

melihat penting sebuah proses terbentuknya sebuah area hunian karena dalam

pembentukan area hunian pasti melibatkan dimensi ruang, waktu, dan manusia.

Ketiga unsur tersebut merupakan bagian terpenting dalam penulisan sejarah yang

analitis.

1

Benny Octofryana Yousca Marpaung dan Madya Alip Bin Rahim, Fenomena Terbentuknya

Kampung Kota oleh Masyarakat Pendatang Spontan, Medan, CV Suryaputra Panca Mandiri, 2009 hal.

(16)

yang berbeda.2 Sejarah Pedesaan (rural history) menyangkut semua macam masalah sosial, politik, dan kultural di pedesaan. Jenis persoalan ini mencakup persoalan yang

sangat luas.3

Pada umumnya, manusia cenderung mencari tempat tinggal yang aman,

nyaman, dan teratur. Jelas sekali sebagai proses untuk bertahan hidup manusia

menghindari ancaman-ancaman yang dapat membahayakan keberlangsungan hidup

mereka, Ancaman yang dimaksud dapat berupa bahaya banjir, letusan gunung,

gempa, dan lain-lain. Selain itu ada juga faktor seperti kesuburan tanah atau

kurangnya sumber daya alam yang memaksa manusia untuk meninggalkan suatu

tempat tinggal dan membentuk tempat tinggal yang baru. Dalam proses membentuk

ruang sebagai wujud usaha terciptanya pemukiman, manusia melewati banyak

permasalahan maupun tantangan. Namun hambatan-hambatan ini yang memaksa

manusia untuk terus belajar dari waktu ke waktu bagaimana agar dapat bertahan

hidup.

Pembentukkan tempat tinggal merupakan wadah fungsional yang didasarkan

pada pola aktivitas manusia. Pola tersebut boleh bersifat fisik dan non fisik.

Pemukiman merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan sosial budaya seperti

kepercayaan,hubungan kekeluargaan, organisasi sosial, dan interaksi sosial antara

individu.4

2

Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hal.

101

Pemukiman yang dibentuk oleh suatu kelompok masyarakat secara sadar

3

Ibid. 4

(17)

maupun tidak sadar akan menghasilkan sebuah pola. Sebagai contoh, ada keterkaitan

dan hubungan geografis antara desa dengan daerah perbukitan atau lembah. Letak

geografis membedakan perubahan sosial, pendapatan, tingkah laku, dan

kepercayaan.5

Pola dalam suatu desa juga dipengaruhi oleh budaya, “budaya adalah seluruh

cara kehidupan dari masyarakat dan sebagian tata cara hidup yang dianggap lebih

tinggi dan lebih diinginkan”.

6

Pengertian “Kampung Bali” secara etimologis terbagi atas “kampung” dan

“bali”. Pengertian “kampung” menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah

kelompok rumah yang merupakan bagian kota,

Tentu setiap daerah memiliki ciri-ciri adat, kehidupan,

dan tingkah laku yang berbeda. Sebagai contoh kampung orang Jawa dengan

kampung orang Batak tentu memiliki perbedaan yang didasari oleh kebudayaan

mereka masing-masing. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk fisik bangunan, tata

letak dan unsur-unsur lainnya seperti kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat

kampung. Inilah yang menjadi keunikkan dan daya tarik dalam sebuah penelitian

mengenai perkembangan suatu daerah tempat tinggal. Kegiatan ini termasuk dalam

kajian sejarah pedesaan yang dilihat secara prosesual melewati kronologis kejadian di

daerah tempat tinggal tersebut.

7

5

Suhartono W. Pranoto, op. cit, hal. 102

“Kampung” juga dapat diartikan

sebagai lingkungan tradisional khas Indonesia, yang ditandai dengan ciri kehidupan

6

Leonard Siregar, Antropologi dan konsep kebudayaan, Jurnal Antropologi Papua Volume 1,

No. 1 (Universitas Cendrawasih. 2002), hal. 5 7

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,Balai Pustaka, edisi III:

(18)

yang terjadi dalam ikatan kekeluargaan yang erat.8

Sedangkan Bali adalah nama salah

sat

atau yang dikenal juga dengan pulau dewata, merupakan salah satu daerah andalan

wisata Indonesia yang terkenal hingga ke mancanegara.

Terkait dengan penjelasan diatas, pengertian Kampung Bali disini bukanlah

suatu pemukiman yang berada di provinsi Bali, karena Kampung Bali yang dimaksud

merupakan daerah pedalaman yang berada di Kecamatan sei. Wampu Kabupaten

Langkat. Penamaan “Kampung Bali” untuk daerah ini berasal dari masyarakat luar

kampung. Nama kampung Bali ini lebih dikarenakan mayoritas masyarakat dan

penghuni pertama yang tinggal diperkampungan ini adalah masyarakat Bali sekalipun

kampung Bali ini terletak didaerah Langkat.9 Kampung Bali di Langkat memiliki nama asli kampung Cipta Dharma yang berarti menciptakan kebaikan atau

kebenaran. Secara filosofis nama ini diartikan dengan tujuan agar masyarakat

kampung Bali dapat menjadi masyarakat pendatang yang bertujuan menciptakan

kebaikan dan kebenaran bagi seluruh makhluk hidup yang didatangi. Nama kampung

Cipta Dharma ini dihasilkan melalui musyawarah generasi pertama, mereka adalah

orang-orang yang pertama kali membuka kampung Bali.10

Masyarakat Bali yang umumnya menganut agama Hindu adalah orang yang

pertama kali tinggal di Kampung Bali, sumber yang didapat dari lapangan dan

8

Benny Octofryana Yousca Marpaung, op. cit, hal 74 9

Merupakan wilayah administratif yang terletak dipropinsi Sumatra Utara, penduduk asli Melayu.

10

(19)

tulisan-tulisan yang membahas keberadaan Kampung Bali menunjukkan bahwa

Kampung ini dibuka pada tahun 1974. Masyarakat yang membuka kampung

merupakan transmigran dari Bali yang datang ke Sumatera karena terikat kontrak

dengan Perkebunan di Bandar Selamat dan Tanjung Garbus di daerah Lubuk Pakam.

Setelah masa kontrak habis mereka tidak pulang ke kampung halaman mereka di

Bali, melainkan menetap di Sumatera Utara. Pemerintah pada masa itu memberikan

lokasi pemukiman dan tanah olahan kepada mereka di Desa Paya Tusam Kecamatan

Sei Wampu Kabupaten Langkat sebanyak ±2 hektar untuk satu kepala keluarga.

Pada masa awal pembukaan kampung, masyarakat Bali yang tinggal di

kampung ini menghadapi permasalahan yang sangat sulit. Mereka dihadapkan pada

sebuah keadaan yang memaksa mereka untuk bertarung dengan kondisi alam tempat

mereka tinggal yang tidak layak. Mereka mengalami depresi karena ternyata hutan

yang mereka tempati adalah hutan tropis yang belum pernah terjamah oleh manusia.

Menurut sumber yang didapatkan dari hasil wawancara dengan masyarakat yang

pertama kali tinggal dipemukiman ini, daerah tempat mereka tinggal merupakan

hutan lebat dengan pohon-pohon besar yang umurnya sudah sangat lama dan butuh

usaha keras untuk mengolah tempat ini untuk menjadi tempat tinggal yang layak.11

11

Wawancara I nyoman Sumandro. Kampung Bali, 18 Desember 2012.

Tantangan selanjutnya yang mereka hadapi adalah mereka kesusahan mencari

makanan kerena Kampung Bali berada jauh dari kota, sulitnya alat transportasi dan

belum adanya listrik juga menjadi penghambat sehingga mereka merasa sangat

(20)

ada beberapa penduduk yang tidak dapat bertahan hidup pada saat itu sehingga

meninggal dunia. Namun seiring dengan berjalannya waktu, keadaan ini

berangsur-angsur membaik. Sehingga mereka dapat bertahan dan tetap tinggal di Kampung Bali

hingga sekarang.

Suku Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran

akan kesatuan kebudayaannya12

Hingga tahun 2002 penduduk yang ada di Kampung Bali tidak hanya umat

Hindu Bali, namun ada juga yang beragama Islam dan Kristen meskipun jumlahnya

lebih sedikit daripada jumlah penduduk Hindu Bali yang berjumlah 39 kepala

keluarga. Jumlah ini memang lebih sedikit dari sejak awal dibuka Kampung Bali oleh

masyarakat Hindu Bali yang berjumlah 56 kepala keluarga. Keadaan ini berbanding

terbalik dengan peningkatan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Bali.

Peningkatan ekonomi dapat ditelisik dari status awal pada masa bekerja diperkebunan

Tanjung Garbus dan Bandar Selamat sebagai buruh perkebunan yang berkembang

menjadi pemilik perkebunan di Kampung Bali dimana lahan yang awalnya hanya 2 . Masyarakat Bali yang tinggal di Kampung Bali

selalu mempertahankan nilai-nilai budaya mereka sekalipun berada jauh dari tempat

asalnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan dibangunnya Pura atau tempat ibadah di

Kampung Bali, ditambah lagi dengan rutinnya masyarakat Bali yang tinggal

dikampung ini untuk selalu merayakan atau menjalankan ritual yang sesuai dengan

adat budaya mereka.

12

Muhammad Takari, dkk, “Masyarakat Kesenian di Indonesia”, Studia Kultura, Fakultas

(21)

hektar pada tahun 1974, kemudian berkembang menjadi 4 hektar dan bahkan ada

yang memiliki 6 hektar pada tahun 2002.13

Berkembangnya suatu kelompok masyarakat pedalaman Kampung Bali

sebagai bentuk dinamika kehidupan sosial, maka peneliti merasa tertarik untuk

mengkaji dalam konteks karya tulisan sejarah, itu Kampung Bali ini juga belum

pernah diteliti. Adapun pembabakan waktu dalam tulisan ini agar tidak terlalu

meluas, maka ditentukan periodesasi yang tepat. Penelitian ini diawali mulai dari

tahun 1974 dimana sejak tahun inilah awal mulainya dibuka Kampung Bali di

Langkat oleh masyarakat penganut Hindu Bali. Sementara itu skop temporal

penulisan penelitian diakhiri pada tahun 2002, karena pada batasaan tahun itu

Kampung Bali yang berada di kabupaten Langkat mengalami peningkatan taraf

ekonomi walaupun populasi masyarakat Bali pada saat itu mengalami penurunan, dan

pada tahun 2002 Kampung Bali sudah mulai disosialisakan ke masyarakat luas dan

direncanakan untuk menjadi lokasi wisata budaya Bali oleh pemerintah setempat. Hal

ini terbukti dengan dibangunnya beberapa fasilitas, seperti perbaikan jalan dan

bantuan dana pembangunan di Kampung Bali.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam rangka melakukan sebuah penelitian perlu ditentukan landasan yang

menjadi akar permasalahannya. Berangkat dari latar belakang di atas, maka dibuatlah

suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama

13

(22)

dalam penelitian sekaligus menjaga keterkaitan dalam uraian penelitian. Untuk

mempermudah penulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka

pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana awal terbentuknya Kampung Bali di Langkat?

2. Bagaimana dinamika yang terjadi pada masyarakat Kampung Bali sejak

1974 s/d 2002?

3. Bagaimana eksistensi masyarakat Kampung Bali di Kabupaten Langkat?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji

maka langkah selanjutnya adalah menentukan apa yang menjadi tujuan penelitian,

serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan. Seperti diketahui bahwa memang

masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya, namun

rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan dapat memberikan

pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menjelaskan awal terbentuknya Kampung Bali di Langkat.

2. Menjelaskan dinamika yang terjadi pada masyarakat Kampung Bali sejak

1974 s/d 2002.

(23)

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menambah pengetahuan sekaligus motivasi dalam menghasilkan karya-karya

historiografi serta memberikan referensi literatur yang berguna terhadap dunia

akademis, terutama dalam studi ilmu sejarah guna membuka ruang penulisan

sejarah yang berikutnya.

2. Menjadi suatu deskripsi yang berguna bagi pemerintah dan masyarakat dalam

menyelenggarakan proses pembangunan sarana dan prasarana di bidang sosial

ekonomi.

3. Menambah wawasan pembaca mengenai keberadaan Kampung Bali di

Langkat.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang

dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka. Adapun

beberapa buku yang mendukung untuk dijadikan referensi adalah buku yang berjudul

Fenomena Terbentuknya Kampung Kota Oleh Masyarakat Pendatang Spontan

(2009)yang ditulis Beny Octofryana Yousca Marpaung dan Madya Alip Bin Rahim

yang menjelaskan tentang latar belakang awalnya muncul suatu area hunian dan

pemukiman yang tumbuh menjadi perkampungan, buku ini juga menjelaskan adanya

(24)

sosial suatu masyarakat. Lebih jauh lagi buku ini membahas mengenai adanya

keterkaitan antara karakteristik bentuk area hunian dan pemukiman dengan keadaan

sosial budaya masyarakat penghuni yang pada mulanya menempati suatu kampung.

Buku ini dapat membantu peneliti untuk menjelaskan latar belakang terbentuknya

Kampung Bali.

Buku Seminar Sejarah Lokal: Dinamika Masyarakat Pedesaan menguraikan

tentang mengenai proses perubahan dan perkembangan sosial ekonomi pada

masyarakat desa dalam kaitannya dengan mata pencaharian seperti bidang pertanian.

Secara garis besar buku ini juga menjelaskan ciri-ciri dari kehidupan masyarakat

Indonesia. Gambaran-gambaran dari beberapa desa di Indonesia masing-masing

menunjukkan cirinya baik dalam proses adat istiadat, kerukunan, gotong royong

dalam bekerja maupun konflik yang terdapat pada masyarakat. Dapat ditemukan juga

dalam buku ini yaitu perbandingan yang ditampilkan di antara beberapa desa berbeda

di Indonesia. Buku ini juga dapat membantu peneliti untuk melihat perkembangan

masyarakat di Kampung Bali.

Buku yang ditulis oleh Mubyarto dan Sartono Kartodirdjo dengan judul

Pembangunan pedesaan di Indonesia menggambarkan masalah-masalah pedesaan

tentang pembangunan sebuah desa, buku ini dinilai cukup untuk menggambarkan

mengenai proses pembangunan sebuah desa dengan membandingkan apa yang terjadi

(25)

pedesaan dengan menunjukkan bentuk ideal dari pembangunan desa-desa di

Indonesia.

Buku yang berjudul Dinamika permukiman perdesaan pada masyarakat Bali

(2004), buku ini mengkaji bentuk ideal pemukiman oleh Masyarakat Bali. Buku ini

juga menjabarkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan dalam proses

perkembangan pemukiman oleh Masyarakat Bali. I wayan Parwata secara jelas

mengurai struktur kehidupan Masyarakat Bali sehingga buku ini dapat membantu

peneliti dalam melakukan penulisan sejarah Kampung Bali di Langkat yang deskriptif

analitis.

1.5 Metode Penelitian

Karya sejarah tanpa memanfaatkan teori dan metodologi dikatakan sejarah

naratif (narrative history), sedangkan karya sejarah yang memanfaatkan teori dan

metodologi adalah sejarah analitis (analitical history).14

14

Suhartono W. Pranoto, op. cit., hal 9

Ada beberapa tahapan yang

harus dilalui dalam melakukan penulisan sejarah yang deskriptif analitis. Tahap

pertama adalah heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung dengan

objek yang diteliti. Pada tahap heuristik ini digunakan dua cara yaitu penelitian

kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian

kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah,

artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan dengan

(26)

menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap

mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.

Tahap kedua yang dilakukan adalah kritik sumber. Maksudnya dalam tahapan

ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan

sumber, yaitu dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis. Hal ini ditujukan

agar kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah dengan guna

mendapatkan objektivitas suatu kejadian15

Tahapan ketiga ialah interpretasi atau penafsiran, dalam tahapan ini data yang

diperoleh dianalisis sehingga melahirkan satu analisis baru yang sifatnya lebih

objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke

belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi

sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan

fakta sejarah yang objektif. Hal ini juga akan menjadi penting karena tanpa

penafsiran dari seorang sejarawan, data tidak akan dapat berbicara.

. Kritik yang mengacu terhadap kredibilitas

sumber, yang artinya apakah isi dokumen ini terpercaya atau tidak dimanipulasi

dinamakan kritik intern, sedangkan kritik yang mengacu pada usaha mendapatkan

otensitas sumber dengan melakukan penelitian fisik dinamakan kritik ekstern.

Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat

dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha

memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini

15

L. Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method 1956: 118-171; G.J.

Garraghan, 1957: 143-320; J. Tosh, 1985; 49-64 (“Mengerti Sejarah” terjemahan Nugroho

(27)

adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada

(28)

BAB II

Terbentuknya Kampung Bali

2.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam

Kampung Bali merupakan pemukiman Masyarakat Bali yang ada di

pedalaman Kabupaten Langkat. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa Langkat

merupakan salah satu kabupaten yang berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan,

terletak di Bagian Barat Laut Provinsi Sumatera Utara, letak geografis Kabupaten

Langkat berada pada koordinat 3° 14’ – 4° 13’ Lintang Utara dan 97° 52’ – 98° 45’

Bujur Timur. Kabupaten Langkat berada diketinggian 4-105 m dari permukaan laut.

Secara administrasi Kabupaten Langkat mempunyai batas sebagai berikut:

• Sebelah Utara : Kabupaten Aceh Tamiang (Provinsi NAD) dan

Selat Malaka

• Sebelah Selatan : Kabupaten Karo

• Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang

• Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Tenggara/Tanah Alas (Provinsi NAD)

Ibukota dari Kabupaten Langkat adalah Stabat. Kabupaten Langkat memiliki

luas 626.329 Ha sekarang ini Kabupaten Langkat terdiri dari 23 Kecamatan dan 277

(29)

Melayu yang merupakan penduduk asli. Kemudian diikuti oleh suku Jawa, Karo,

Batak Toba, Mandailing, dll. 16

Kampung Bali di Langkat merupakan wilayah dusun VI yang terletak di Desa

Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu. Kecamatan Sei Wampu ini merupakan

kecamatan yang bersebelahan langsung dengan kota Stabat. Antara kota Stabat

dengan Kecamatan Sei Wampu ini dipisahkan oleh keberadaan Sungai Wampu.

Sungai Wampu adalah sebuah sungai yang mengalir melalui 2 kabupaten di Sumatera

Utara, Indonesia, yaitu Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Di kabupaten Karo,

hulu sungai ini dikenal dengan nama Lau Biang. Airnya yang jernih dan cukup deras,

mengalir langsung dari hutan-hutan lebat Taman Nasional Gunung Leuser. Sungai

Wampu memiliki lebar sekitar 150 m, untuk menyeberangi sungai wampu melalui

kota Stabat menuju ke kecamatan Sei Wampu dapat dilalui dengan dua cara, pertama

dengan melalui jembatan sungai Wampu dan yang kedua dengan menaiki jasa

angkutan penyebrangan sungai berupa getek.

Kampung Bali yang menjadi pemukiman masyarakat Bali sebelumnya

merupakan wilayah dari Desa Bingai, namun setelah adanya pemekaran pada tahun

2001 terhadap Desa Bingai ini, maka Desa Bingai terbagi menjadi tiga desa. Ketiga

desa tersebut adalah Desa Bingai, Desa Paya Tusam, dan Desa Setungkit. Kampung

Bali setelah pemekaran Desa Bingai masuk di dalam wilayah Desa Paya Tusam.

16

Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, Kabupaten Langkat Dalam Angka 2013,

(30)

Jarak antara kota Stabat dengan Kampung Bali sekitar 20 km. Perjalanan

menuju ke Kampung Bali jika ditempuh dari Kota Stabat akan melewati beberapa

pemukiman-pemukiman masyarakat yang di dominasi oleh mayoritas Masyarakat

Melayu, perjalanan ini dalam prosesnya akan membelah jalan perkebunan kelapa

sawit dan karet yang merupakan tanaman para warga setempat. Akses ini sekalipun

dimungkinkan untuk kendaraan roda empat namun akan terasa sangat sulit karena

kondisi jalan yang kurang baik. Hal ini lebih disebabkan karena akses jalan yang

berbatu dan struktur tanah yang tidak rata.

Tidak ada jalan yang jelas ataupun yang menjadi jalan umum dalam

perjalanan menuju Kampung Bali dari Kota Stabat, karena jalan-jalan yang dilewati

merupakan jalan-jalan perkebunan yang sengaja dibuka hanya untuk kepentingan

perkebunan dan untuk menghubungkan satu pemukiman kepemukiman lain, keadaan

ini membuat perjalanan menuju Kampung Bali dari kota Stabat terlihat berliku-liku

dan sedikit rumit. Masyarakat setempat setelah penyebrangan getek dari kota Stabat

masih banyak yang tidak mengetahui jalan menuju Kampung Bali. Karena akses jalan

dari kota Stabat menuju Kampung Bali bukanlah akses jalan utama Masyarakat Bali

untuk keluar kampung menuju kota, akses jalan utama masyarakat Kampung Bali

untuk keluar kampung menuju kota adalah melalui Desa Perhiasan yang merupakan

desa dari Kecamatan Selesai menuju kota Binjai. Akses jalan ini merupakan akses

jalan yang baru dibuka untuk mempermudah masyarakat keluar dari kampung

(31)

Kampung Bali dikelilingi oleh perkebunan pribadi milik warga, perkebunan

ini didominasi oleh tanaman karet yang menjadi mata pencarian masyarakat.

Terdapat juga tanaman seperti sawit, kakao dan ada juga tanaman-tanaman liar

lainnya. Tampilan wajah Kampung Bali sendiri menghadap Tenggara arah mata

angin, apabila diamati dari jalan kedatangan menuju kampung dan pintu gerbang

masuk. Setiap orang yang datang memasuki kampung harus terlebih dahulu lewat

pintu gerbang untuk bisa memasuki Kampung Bali. Demikian juga warga yang

berdiam di kampung itu yang hendak pergi untuk meninggalkan kampung harus

melalui gerbang masuk meski memang tidak ada penjaga yang bertugas di gerbang

masuk (Lihat lampiran gambar 3). Semakin kedalam memasuki kampung menuju

arah Barat Laut maka kita akan menemukan Pura Penataran Agung Widya Loka Nata

yang terletak di dataran tertinggi kampung, memang kampung Bali ini jika dilihat

struktur tanahnya semakin memasukki kampung maka tanahnya semakin tinggi

seperti menaiki bukit. Jalan-jalan di areal kampung yang menghubungkan

rumah-rumah warga masih menggunakan jalan setapak, jalan-jalan ini terlihat bergelombang

karena kondisi tanah diperkampungan yang pada dasarnya tidak rata, ditengah-tengah

kampung ada sebuah titi dari kayu yang dibangun untuk melewati sebuah parit besar,

parit ini dahulu memang sudah ada, namun menurut sumber dahulu lebar parit ini

tidak sebesar seperti sekarang, karena kebutuhan sebagai saluran pembuangan air

maka masyarakat memperbesar parit ini agar lebih maksimal fungsinya. Di

(32)

sawit, tanaman ini ditanami secara sengaja oleh masyarakat untuk menambah

penghasilan masyarakat.

Panorama alam Kampung Bali yang masih didominasi warna hijau memberi

kenyamanan tersendiri bagi orang-orang yang rindu akan kehidupan tradisional

perkampungan. Kampung Bali adalah pemukiman khas pedesaan yang masih

memegang nilai-nilai luhur kebudayaannya. Kampung Bali sebagai desa tradisional

ditandai dengan ciri-ciri umum antara lain: mata pencaharian penduduk relatif pada

sektor pertanian, perbandingan antara lahan dan penduduk relatif besar, hubungan

antar warga relatif akrab, pada umumnya tradisi leluhur masih di pegang kuat.

2.2 Latar Belakang Historis Kampung Bali.

Meningkatnya jumlah penduduk akibat aktivitas ekonomi yang terus

berkembang sehingga dapat mendorong pertambahan kebutuhan lahan yang

dijadikan untuk daerah permukiman ataupun lahan usaha sehingga dapat menciptakan

suatu daerah permukiman ataupun pola permukiman baru. Pola permukiman tersebut

bersifat sebaran, dan lebih banyak berkaitan dengan faktor-faktor ekonomi, sejarah

dan faktor budaya beserta dampaknya.

Keberadaan Kampung Bali sendiri merupakan pemukiman yang ada akibat

sebaran penduduk yang dilatarbelakangi karena faktor ekonomi. Perpindahan etnis

Bali dari satu daerah kedaerah pedalaman di Langkat melewati kronologis sejarah,

(33)

pola kehidupan masyarakat yang baru. Masyarakat Bali sendiri merupakan pemeran

terpenting dalam proses terbentuknya Kampung Bali.

2.2.1 Masyarakat Bali Sebelum di Kampung Bali.

Pasca kolonial Indonesia telah menjadi sebuah negeri yang merdeka dan

berdiri sendiri semenjak 17 Agustus 1945, keadaan ekonomi, politik dan kebudayaan

di Indonesia tidak mengalami perubahan secara mendasar. Keterbelakangan ekonomi

banyak terjadi di pedesaan yang merupakan tempat di mana mayoritas rakyat

Indonesia berada khusus untuk Kepulauan Jawa. Pengangguran juga meluas di

pedesaan sebagai akibat sempitnya lapangan pekerjaan. Umumnya masyarakat di

daerah pedesaan menumpukkan ekonominya pada sektor pertanian, namun mayoritas

kaum tani adalah kaum tani yang tidak memiliki lahan. Kalaupun ada yang memiliki

lahan, maka kepemilikan lahan tersebut dalam jumlah yang sangat terbatas sehingga

hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Keadaan ini terjadi karena

lahan-lahan yang ada di desa rata-rata dikuasai oleh “tuan tanah”, tani kaya, dan

orang kaya desa lainnya. Sehingga sedikit sekali kaum tani yang dapat memanfaatkan

tanah bagi kehidupan mereka. Kemiskinan di pedesaan inilah yang menjadi salah satu

sebab utama mengapa banyak penduduk desa terutama yang berusia muda melakukan

migrasi baik ke kota-kota besar bahkan migrasi internasional ke negeri-negeri lain

sebagai buruh migran. Alasan utama para kaum urban tersebut adalah karena

(34)

pada kenyataannya, lebih dari 80% transmigran sama sekali tidak mempunyai

tanah.17 Tidak dapat dipungkiri Masyarakat Bali yang tinggal di Pulau Bali juga mengalami keadaan ini. Kebutuhan akan lahan untuk usaha maupun pemukiman

merupakan alasan utama yang memicu perpindahan masyarakat Bali yang merasa

kesusahan hidup dikampungnya sendiri, sehingga mereka melakukan perpindahan

tempat tinggal dengan tujuan dasarnya untuk memperbaiki taraf hidup yang lebih

baik.

Transmigrasi oleh masyarakat Bali telah dilakukan secara terorganisir,

perpindahan ini telah dimulai setelah kemerdakaan, yaitu pada tahun 1953. Antara

tahun 1953 dan 1968, jumlah transmigran Bali mencapai 10,4% dari seluruh peserta

transmigrasi. Selama periode tersebut, 84% orang Bali bertransmigrasi ke Sumatera.

Jumlah transmigran yang diberangkatkan pertahun bervariasi antara dua tahun

tercatat kurang dari 1.000 orang, lima tahun antara 1.000 hingga 3.000 orang, lima

tahun antara 3.000 hingga 5.000 orang dan akhirnya, pada tahun 1963 sesudah

meletusnya Gunung Agung, tercatat 12.000 pengungsi yang diberangkatkan.18

17

Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata. Transmigrasi di

Indonesia: Orang Bali di Sulawesi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1997, hal. 25

18

(35)

Berikut adalah jumlah dan arah tujuan transmigran Masyarakat Bali:

Tabel I : Jumlah dan arah tujuan transmigran Bali

Tujuan 1953/1968 1969/1974 1975/1976 Sebelum 1978

Kel. Jiwa Kel. JIwa Kel. Jiwa Kel. Jiwa

Sumber: Muriel Charras, Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata,

Transmigrasi Di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press,Hal. 32

Masyarakat Bali yang yang menjadi pemeran utama dari pembukaan

Kampung Bali di Langkat mengawali kedatangan mereka dengan bertransmigrasi

dari Bali ke Sumatera. Dilihat dari Tahun keberangkatan transmigran ini yaitu tahun

1963, Perpindahan masyarakat Bali ini termasuk dalam jenis perpindahan yang

terpaksa. Transmigrasi merupakan satu jalan keluar yang ditawarkan kepada para

korban letusan Gunung Agung di tahun 1963. Namun secara harafiah transmigrasi

ini tidak merupakan “paksaan”. Para korban bencana alam yang sedang kehilangan

harta benda, serta sedang dilanda kebingungan itu memang mudah dipengaruhi dan

diberi anjuran untuk bertransmigrasi.19

19

Ibid,hal. 32

(36)

mengutamakan keberlangsungan hidup masyarakat Bali ini secara sadar di putuskan

oleh masyarakat itu sendiri, itulah sebabnya migrasi orang-orang Bali ini terlepas dari

bentuk sistem yang menekan. Migrasi ini juga perlu lebih lanjut dijelaskan pada

tahun 1963, kira-kira 145 keluarga, yang banyak diantaranya berasal dari Gianyar

Propinsi Bali, telah dikirim untuk bekerja kontrak selama 6 tahun diperkebunan karet

di Medan dan sekitarnya.20

Orang Bali yang bermigrasi ke Medan, mengawali kedatangan mereka dengan

menandatangani kontrak kerja diperkebunan Tanjung Garbus dan Bandar Selamat,

perkebunan Tanjung Garbus dan Bandar Selamat merupakan perkebunan yang

terletak di daerah Lubuk Pakam. Perkebunan yang ada di Tanjung Garbus dan Bandar

Selamat ini merupakan perkebunan yang menghasilkan komoditi karet, kakao, gula

dan tembakau. Orang Bali yang bekerja diperkebunan tersebut memulai kontrak kerja

mereka dari tahun 1963 sampai dengan 1969. Setelah kontrak kerja yang pertama

diselesaikan ditahun 1969, mereka kemudian menerima perpanjangan kontrak kerja

untuk 6 tahun berikutnya.

Sekalipun Masyarakat Bali ini mendapatkan fasilitas rumah atau tempat

tinggal dan gaji selama kontrak kerja sebagai pekerja perkebunan. Kehidupan

masyarakat Bali yang bekerja diperkebunan ini dirasa sangat kurang memuaskan.

Pendapatan dari hasil perkebunan ini bagi mereka masih dianggap tidak dapat

memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Akibatnya banyak Masyarakat Bali yang

20

(37)

bekerja diperkebunan ini mulai merasa tidak betah dan berfikir untuk mencari usaha

yang lebih baik lagi demi meningkatkan taraf hidup.

Bentuk dari ketidakpuasan masyarakat Bali ini terbukti dengan adanya

beberapa pekerja dari Masyarakat Bali yang melakukan pensiun muda pada masa itu,

yaitu pada tahun 1972 dan 1973.21 Namun setelah pensiun masyarakat Bali ini

bukannya mendapatkan kegiatan usaha yang lebih baik melainkan malah menjadi

pengangguran. Kebutuhan Ekonomi yang semakin meningkat memaksa orang-orang

Bali tersebut untuk segera mengambil langkah-langkah agar dapat mempertahankan

keberlangsungan hidup. Berbagai macam usaha dan cara dilakukan untuk dapat

meningkatkan taraf hidupnya. Sebahagian dari orang-rang Bali ini menggunakan

sisa-sisa harta yang mereka miliki untuk melakukan kegiatan berdagang, akan tetapi

hasilnya juga masih belum mencukupi kebutuhan hidup mereka dan keluarga

dikarenakan kurangnya pengetahuan akan teknik berdagang serta minimnya modal

yang mereka miliki. Sebahagian masyarakat Bali ini ada juga yang pulang ke

kampung halamannya di Pulau Bali dengan harapan bahwa situasi disana sudah

berubah dan ada peluang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dengan

bermodalkan pengalaman selama menjadi transmigran. 22

21

Wawancara Nyoman Sumandro, Kampung Bali, 8 Juni 2013 22

(38)

2.2.2 Proses Terbentuknya Kampung Bali

Kesejahteraan adalah hal yang utama bagi para masyarakat transmigran,

tujuan masyarakat transmigran sendiri dengan melakukan migrasi cenderung lebih

kepada peningkatan taraf hidup. Masyarakat Bali yang sudah tidak bekerja

diperkebunan merasa sudah sangat jauh dari tujuan-tujuan tersebut. Keterpurukan

ekonomi melanda orang-orang Bali ini yang kemudian menghadapkan mereka

kepada pilihan yang sulit. Pilihan yang ada pada saat itu mengharuskan mereka untuk

segera mengambil keputusan demi kelangsungan hidup mereka, pilihan yang ada

diantarnya adalah:

1. Bekerja lagi dengan pihak perusahaan perkebunan sebagai buruh lepas.

2. Mereka Kembali ke Pulau Bali dan memulai hidup baru disana, atau

3. Memiliki dan mengolah tanah sendiri dengan cara berpindah dan mencari

lokasi baru untuk tempat menetap.

Kehidupan semasa kontrak kerja di perusahaan perkebunan ini dinilai sangat

kurang memenuhi kesejahteraan masyarakat Bali sehingga pilihan ini dianggap tidak

tepat untuk dilakukan, sementara pilihan untuk kembali pulang ke kampung halaman

adalah pilihan sulit dikarenakan beberapa pertimbangan yaitu, mereka merasa malu

karena ketika pulang belum memiliki harta yang cukup dan ditambah lagi dengan

(39)

padat penduduk dan penuh dengan persaingan, tentunya mereka merasa akan sulit

untuk mencari lapangan pekerjaan disana. 23

Akhirnya sebahagian dari masyarakat Bali ini memutuskan untuk memulai

hidup mandiri dengan membuka lahan sendiri. Keputusan ini diikuti oleh beberapa

masyarakat lainnya yang masih bekerja diperkebunan, mereka berencana untuk

berhenti bekerja dari perkebunan dan mengikuti masyarakat yang ingin membuka

lahan dan tempat tinggal sendiri. Pada tahun 1973 dengan bekal harta seadanya

akhirnya orang-orang Bali yang berjumlah 56 kk tersebut mengusahakan tempat

tinggal yang baru untuk keberlangsungan hidup mereka.

Keputusan untuk mencari lahan sebagai tempat tinggal yang merupakan

upaya tuntutan masyarakat Transmigran yang diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi.

Dimana dalam pasal 8 berbunyi “Hak-hak transmigran untuk mendapatkan bantuan ,

bimbingan dan pembinaan diatur dengan pemerintah.”24

23

Wawancara Nyoman Sumandro, Kampung Bali, 8 Juni 2013

Lebih lanjut mengenai

tujuan masyarakat Bali memilih pilihan untuk berpindah tempat tinggal dan

membuka lahan karena pemerintah dalam mendukung program transmigrasi

memberikan fasilitas-fasilitas bagi para transmigran pada masa itu. Fasilitas yang

disediakan pemerintah antara lain adalah lahan, bantuan dana dan alat-alat pertanian.

Setiap kepala keluarga yang mengikuti program transmigrasi rata-rata mendapatkan

lahan garapan seluas 2 - 2,5 hektar dan juga mendapatkan bantuan dana sebagai

24

Presiden Republik Indonesia, “Undang‐Undang RI Nomor 3 Tahun 1972 Tentang

(40)

modal untuk mengelola lahan tersebut sebesar 16 - 20 juta rupiah. Selain itu

pemerintah juga menyediakan alat-alat pertanian dan brosur-brosur penyuluhan

tentang cara mengelola lahan yang baik dan jenis tanaman budidaya apa yang cocok

untuk ditanam pada lahan tersebut.

Masyarakat Bali yang sudah tidak bekerja di perkebunan Tanjung Garbus dan

Bandar Selamat berkumpul untuk merencanakan perpindahan mereka. Mereka

menggabungkan diri dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) yang berada

dikota Medan untuk memohon bantuan agar diusahakan tempat tinggal yang baru dan

menerahkan proses pengurusan itu sepenuhnya kepada lembaga tersebut. PHDI

menyetujui permohonan masyarakat Bali tersebut yang meminta diusahakan tempat

tinggal yang baru untuk kelangsungan hidup mereka. PHDI mengambil alih rencana

perpindahan ini dalam pengurusannya. Tempat tinggal yang direncanakan untuk

orang-orang Bali ini dinamakan Komplek Bali.

Langkah selanjutnya yang diambil oleh PHDI adalah dengan mengutus

beberapa orang untuk meninjau daerah-daerah yang menjadi tujuan masyarakat Bali.

Ditemukanlah pada masa itu beberapa daerah oleh utusan ini namun hasilnya belum

ada yang cocok. Akhirnya ditemukan daerah pedalaman di Kabupaten Langkat yang

dirasa cocok setelah melalui berbagai pertimbangan untuk menjadi tempat tinggal

masyarakat Bali. Dikirim utusan sebanyak 11 orang yang merupakan dari masyarakat

(41)

Setelah dirasa cocok akhirnya PHDI mengurus segala keperluan untuk perpindahan

masyarakat Bali ini menuju Kabupaten Langkat.

Kawasan yang menjadi tempat tinggal masyarakat Bali ini memiliki luas 180

ha. Status daerah tempat tinggal masyarakat Bali yang dirujukkan ini merupakan

Tanah Negara Bebas (TNB). Tanah Negara Bebas adalah tanah negara yang langsung

dibawah penguasaan negara, diatas tanah tersebut tidak ada satupun hak yang

dipunyai oleh pihak lain selain negara. Tanah negara bebas bisa langsung dimohon

oleh masyarakat kepada negara/ Pemerintah dengan melalui suatu prosedur yang

lebih pendek daripada prosedur terhadap tanah negara tidak bebas.25

Sebelum berakhir tahun 1973 PHDI berhasil mengurus segala kebutuhan bagi

masyarakat Bali yang akan membuka tempat tinggal didaerah Langkat tersebut,

termasuk didalamnya segala urusan izin tanah dan tempat tinggal sementara bagi

masyarakat dikawsan ini. Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan dari

Tanjung Garbus dan Bandar Selamat ke daerah pedalaman Kab. Langkat yang

bernama Kampung Bali. Jadi lebih tepat disimpulkan bahwa masyrakat Bali yang

berperan dalam pembukaan dan yang tinggal dikampung Bali sejak pertama kali

bukanlah masyarakat yang datang langsung dari Bali melainkan masyarakat Bali

yang sebelumnya sudah bekerja dan tinggal di Sumatera yaitu di perkebunan Tanjung

Garbus dan Bandar Selamat.

25

Saputera Rekky, “Pensertipikatan Tanah Negara Menjadi Tanah Hak Di Kecamatan Ilir

Barati Kota Palembang” Tesis Program Sudi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

(42)

2.3 Awal Kehidupan Masyarakat Kampung Bali.

Tahun 1974 masyarakat Bali telah bermukim di pedalaman Kab. Langkat.

Perpindah masyarakat yang terproses ini telah memberikan dampak yang begitu besar

terhadap perkembangan masyarakat Bali dari segala aspek kehidupan. Alasan utama

masyarakat Bali memilih kawasan ini sebagai tempat tinggal mereka hanya karena

keseluruhan jumlah lahan yang disediakan sebagai tempat tinggal dan lahan pertanian

nantinya dirasa mereka sudah cukup untuk dibagi kesetiap kepala keluarga

masyarakat Bali. Dimana setiap keluarga mendapatkan sekitar 2 hektar tanah untuk di

olah dan kerjakan sebagai penghasilan. Pertimbangan lainnya adalah karena

kesuburan tanah dikawasan ini yang mereka rasa sudah baik untuk ditanami tanaman

perkebunan yaitu karet dan sawit.

Dimasa awal-awal kehidupan masyarakat kampung, banyak sekali

permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi, tantangan dan kesulitan pada

awal-awal bermukimnya warga Bali ini sangat terasa bagi masyarakat sejak lima tahun

pertama tinggal yaitu dari tahun 1974 sampai dengan 1979. Permasalahan yang

paling utama pada masa awal berdirinya kampung Bali adalah masalah kesehatan.

Dalam urusan kesehatan pada masa itu bahkan ada warga yang meninggal karena

tidak mendapatkan pengobatan yang layak, umumnya masyarakat hanya mengobati

dengan cara-cara tradisional. Selanjutnya permasalah sandang dan pangan.

Masyarakat di Kampung Bali pada masa awal berdirinya kampung kesulitan untuk

(43)

jarang masyarakat kampung memakan ubi sebagai pengganti nasi, keadaan ini juga

dipersulit karena tempat tinggal mereka yang mulai rusak karena alam.

Banyaknya tantangan hidup yang berdatangan tak membuat masyarakat

kampung menyerah dan putus asa. Bahkan dimasa awal-awal tinggal di Kampung

Bali masyarakat Bali berusaha mengutamakan beberapa aspek yang menunjang

peningkatan kehidupan masyarakat.

2.3.1 Agama

Masyarakat Bali yang tinggal dan menetap di kampung Bali keseluruhannya

beragama Hindu Dharma atau Agama Tirtha (Agama Air Suci) yaitu agama Hindu

yang merupakan sinkretisme unsur-unsur Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan Brahma

yang dipadukan dengan kepercayaan lokal masyarakat Bali.

Dalam masyarakat Bali berlaku sistem Catur Varna yang memiliki pengertian

empat pembagian kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan keterampilan (karma)

seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan,

pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya yang ditopang oleh

ketangguhan mentalnya dalam menghadapi pekerjaan. Empat golongan yang

kemudian dikenal dengan nama Catur Varna itu ialah Brahmana (pendeta), Ksatria

(tentara), Waisya (pedagang), dan Sudra (pekerja/buruh). Dalam perjalanan

kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Varna

(44)

(Turunan Darah). Dalam hal ini Catur Varna menunjukkan pengertian golongan

fungsional sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan Darah.

Kematangan masyarakat Hindu yang tinggal di kampung Bali ini ditandai

dengan perencanaan pembangunan Pura sebelum mereka tinggal di kampung Bali.

Pada masa awal-awal terbentuknya kampug Bali kematangan ini direalisasikan

dengan dibangunnya Pura Penataran Agung Widya Loka Nata yang didirikan pada

tanggal 16 November 1976. Walaupun dengan kondisi ekonomi yang belum stabil

pada masa itu, tidak menutup kemungkinan pembangunan pura terselesaikan. Bagi

masyarakat Hindu Bali agama adalah hal yang paling diutamakan. Karena mereka

beranggapan semakin taat mereka menjalanakan agamanya maka kehidupan yang

baik dan ideal menurut mereka akan terwujud.

Pembangunan pura ini pada prosesnya dilakukan dengan cara bergotong

royong dengan melibatkan seluruh anggota masyarakat. Dimana setiap anggota

masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak mengambil bagiannya

masing-masing dalam pengerjaan pura. Anak muda umumnya membawa bahan baku

pembangunan pura ini yang didatangkan dari luar kampung dengan berjalan kaki.

Baik perempuan maupun laki-laki terjun membawa bahan-bahan tersebut yang

jaraknya sekitar 3 jam perjalanan.26 Keadaan ini menunjukkan solidaritas masyarakat

yang masih sangat kental dalam sistem kepercayaan ditengah-tengah kehidupan

masyarakat kampung pada masa awal berdirinya Kampung Bali.

26

(45)

2.3.2 Mata Pencaharian

Kawasan kampung Bali pada awalnya merupakan kawasan hutan tropis,

dimana pohon-pohon dalam hutan ini berdaun rindang dan lantai hutan gelap karena

sinar matahari tidak dapat menembus daun-daun rindangnya. Pepohonan yang

tumbuh didaerah ini rata-rata sudah berumur dengan batang yang besar-besar, sebut

saja seperti pohon meranti dan jati, Tanah dan udara dalam hutan lembap karena uap

airnya sukar naik terevaporasi ke atas. Tak jarang ditemukan pohon-pohon dalam

hutan tersebut sering dibelit oleh tumbuhan sulur, seperti rotan dan

tumbuhan-tumbuhan pasrasit. Kondisi alam yang masih sangat belantara ini tentunya

menyulitkan kehidupan masyarakat dalam melangsungkan kehidupan.

Menurut salah satu sumber yang peneliti dapatkan, ia mengatakan bahwa tak

jarang masyarakat Bali dalam kesehariannya memakan ubi yang dicampur dengan

nasi.27

Pada dasarnya Masyarakat Bali adalah masyarakat dengan mata pencaharian

sebagai petani. Orang Bali dalam memperjuangkan kehidupan bertumpu pada hasil

perkebunan yang mereka olah. Hal ini pula yang tercermin dari kehidupan

masyarakat Bali yang tinggal di Kampung Bali dimana mereka mengusahakan

penghidupannya dengan bercocok tanam.

Hal ini dilakukan karena faktor keadaan, dimana masyarakat masih belum

berpenghasilan karena mereka masih dalam tahap awal pengerjaan lahan, akibatnya

kondisi ekonomi yang sangat buruk menerpa masyarakat, sehingga masyarakat sangat

kesulitan untuk membeli kebutuhan pokok.

27

(46)

Pada masa awal kehidupan masyarakat, dapat dikatakan bahwa orang-orang

Bali yang tinggal didalamnya bertarung dengan waktu. Mereka dalam pengerjaan

lahan yang dibagi kesetiap kepala keluarga umumnya menanami lahan ini dengan

tanaman keras seperti sawit dan karet. Pengolahan ini merupakan bentuk kontrak

kepada pemerintah atas lahan yang diberikan agar sesegera mungkin dikelola. Dalam

proses penanamannya tanaman karet dan sawit merupakan tanaman tahunan.

Sehingga masyarakat Bali dituntut untuk mengolah lahan tapi harus juga mencari

penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Orang-orang Bali

mensiasati keadaan ini dengan menanam lahan secara bersamaan dengan tanaman

palawija sebagai sumber penghasilan sementara hingga tanaman keras itu

menghasilkan nantinya. Terbukti orang-orang Bali ini dapat bertahan dimasa

awal-awal tinggal dikampung Bali dengan menggunakan strategi ini, hingga tanaman sawit

dan karet yang mereka tanam menghasilkan selanjutnya mereka berhenti menanam

tanaman palawija.

3.3.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam usaha mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

(47)

bermasyarakat merupakan hal yang sangat menunjang dalam peningkatan

sumberdaya manusia yang berfungsi pada peningkatan sumber daya alam nantinya.

Pendidikan termasuk dalam permasalahan yang sangat dicemaskan oleh

Masyarakat Kampung dimasa awal-awal berdirinya Kampung Bali. Belum adanya

sekolah menjadi penghalang bagi anak-anak untuk belajar. Adapun sekolah letaknya

sangat jauh dari kampung, dimana faktor geografis Kampung Bali tidak

memungkinkan masyarakat kampung untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Akibatnya tidak ada anak-anak yang sekolah pada masa itu. Umumnya anak-anak

dimasa awal-awal terbentuknya Kampung Bali pekerjaannya sehari-hari hanyalah

membantu orangtuanya berladang ataupun berkebun. Sampai akhirnya para orang tua

berinisiatif membangun sebuah tempat sebagai prasana belajar dan mengajar yang

tidak resmi pada tahun 1977. Tenaga pengajar yang diangkat juga merupakan warga

kampung.28

Umumnya anak-anak di Kampung Bali bersekolah keluar kampung pada

tingkat SMP dan SMA, karena sekolah yang dibuat di Kampung Bali statusnya

disetarakan untuk tingkat SD. Sekolah ini menjadi resmi dan terdaftar di

pemerintahan menjadi SD inpres pada tahun 1991.

Mereka adalah orang-orang yang dianggap mampu untuk mengajarkan

pengetahuan di sekolah dasar. Sekolah yang dibangun pada masa awal berdirinya

Kampung Bali secara nyata menunjukan bentuk pemikiran maju masyarakat

kampung. Hingga keadaan menjadi baik dan akses yang memungkinkan baru

masyarakat Bali ini menyekolahkan anak-anak mereka keluar kampung.

28

(48)

BAB III

Dinamika Kehidupan Masyarakat Kampung Bali

3.1 Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial masyarakat kampung Bali pada dasarnya sangat lekat

terpengaruh oleh ajaran agamanya yakni agama Hindu. Kehidupan mereka pada

umumnya cenderung lebih terbuka, lebih tentram dengan adanya sistem kekerabatan

yang saling terikat satu sama lain untuk menuju keharmonisan, dan lebih menghindari

perdebatan dalam menyelesaikan permasalahan/konflik.

Dalam hal keterbukaan, masyarakat Bali yang ada di kampung Bali dapat

menerima setiap perkembangan yang datang melalui tahapan penyaringan terlebih

dahulu. Jika dianggap perkembangan itu berdampak positif terhadap mereka maka

mereka akan menerimanya dan memadukan dengan kehidupan mereka

sehari-harinya. Begitu juga sebaliknya, jika perkembangan yang datang dianggap membawa

dampak yang negatif, maka mereka akan secara terang-terangan menolak

perkembangan tersebut karena dianggap dapat mengganggu kehidupan sosial mereka,

tatanan hidup, dan eksistensinya.

Dari sistem bermasyarakat, masyarakat Bali di kampung Bali sangat

memegang kuat sistem kekeluargaan yang bersifat agamis. Mereka meyakini bahwa

dalam bermasyarakat tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Semua

(49)

jatuh ke dalam dosa. Hal inilah yang menjadi pegangan kuat masyarakat Bali di

kampung Bali dalam hal bermasyarakat baik antara sesama masyarakat Bali maupun

dengan masyarakat lain yang ada di sana.

Dalam hubungan bermasyarakat masyarakat Bali di kampung Bali lebih

cenderung menghindari pertikaian/perdebatan dalam setiap permasalahan. Khususnya

permasalahan dengan masyarakat lain di luar masyarakat Bali. Masyarakat Bali lebih

bersifat rendah hati dalm menyelesaikan setiap permasalahan. Sebagai contoh,

masyarakat Bali akan menerima dengan ikhlas setiap kebijakan yang ada dalam ruang

lingkup masyarakat jika memang kebijakan tersebut tidak merugikan pihak

masyarakat Bali. Walaupun terkadang merugikan, kebijakan tersebut akan

dipertanyakan kembali, bukan dengan cara kasar melainkan dengan jalan halus lewat

perbincangan untuk mencapai keputusan bersama yang lebih baik.

Dilihat dari kesejarahannya, masyarakat Bali adalah masyarakat yang pertama

sekali mendirikan dan mendiami kampung Bali. Masyarakat lain seperti Karo dan

Jawa adalah masyarakat pendatang yang datang ke kampung Bali dengan latar

belakang dan tujuan yang sama. Masyarakat pendatang seperti Karo dan Jawa pada

dasarnya datang ke kampung Bali dengan latar belakang keterbelakangan ekonomi

(50)

3.1.1 Kedatangan Suku Lain ke Kampung Bali

A. Kedatangan Suku Karo

Dalam perjalanan kehidupan masyarakat kampung Bali, Pengaruh dari luar

komunitas ini hadir atau lahir dan ini tidak dapat dibendung. Kampung Bali awalnya

merupakan pemukiman yang hanya dihuni oleh sekelompok masyarakat Bali, seiring

dengan perjalanan waktu, susunan masyarakat di Kampung Bali juga mengalami

perubahan.

Keadaan ini ditandai pada tahun 1986 dimana pada masa itu kampung Bali

telah didatangi oleh suku lain yang tinggal didalamnya. Kedatangan masyarakat luar

pertama dikampung Bali adalah orang-orang dari suku Karo. Masyarakat Karo yang

tinggal dikampung Bali tentu membawa kebudayaan mereka sendiri ditengah-tengah

Kampung Bali dan tentunya kebudayaan itu menimbulkan perbedaan. Sekalipun

perbedaan tersebut ada, namun bentuk-bentuk perbedaan itu tidak begitu besar dan

tidak menimbulkan perubahan.

Adapun latar belakang masuknya orang Karo yang tinggal di Kampung Bali

adalah dengan tujuan yang hampir sama dengan tujuan awal masyarakat Bali

sebelumnya. Tujuan yang dimaksud adalah untuk pengolahan lahan-lahan yang masih

kosong. Hanya saja kedatangan orang-orang karo tersebut ke Kampung Bali terjadi

dengan cara yang tidak teroganisir. Artinya orang-orang Karo datang secara

sendiri-sendiri. Karena jika ditinjau dari letak geografis Kampung Bali, sebelah utara menuju

(51)

Karo. Kedatangan orang-orang Karo tidak menimbulkan pergesekan budaya, hal ini

dikarenakan kedatangan orang-orang Karo ini menciptakan hubungan yang baik.

Selain itu kedua kebudayaan ini memiliki kesamaan dalam sistem

kepercayaan yang yang mengkaburkan perbedaan sehingga tercipta semacam

kesamaan antara orang Karo dan orang Bali. Kepercayaan yang dianut oleh

masyarakat karo tersebut adalah Pemena, Pemena merupakan aliran kepercayaan

yang ada pada masyarakat tradisional Karo,29

1. Dibata Diatas (Kaci-kaci)

ataupun bisa juga disebut agama asli

dari masyarakat Karo. Aliran kepercayaan ini menganut sistem politheisme dan

dinamisme. Dikatakan politheisme, karena dalam ajaran dasar pemena, perwujudan

Dibata(Tuhan) digambarkan dalam tiga wujud, yaitu:

2. Dibata Tengah (Banua Koling), dan

3. Dibata Teruh (Paduka Ni Aji)

Sama halnya dengan dengan ajaran Hindu (Senata Dharma) yang meyakini

penjelmaan Dibata (Tuhan) juga dalam tiga wujud, yakni:

1. Brahmana (Pencipta Alam)

2. Waisya (Pemelihara Alam), dan

3. Syiwa (Perusak Alam)

Kesamaan ini yang mewujudkan hubungan yang harmonis antara masyarakat

Bali dan orang-orang Karo. Selain memiliki kesamaan dalam dalam hal aliran

29

Tania Murray Li, “Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia”, Yayasan Obor

(52)

kepercayaan, orang-orang Bali dan orang-orang Karo yang menganut kepercayaan

Pemena juga memiliki kesamaan dalam hal ritual keagamaan yaitu dengan

menggunakan sesajen dalam melakukan peribadatan mereka.

Dari dua kesamaan inilah masyarakat suku Karo yang tinggal ditengah-tengah

masyarakat Bali dapat diterima, sehingga hampir tidak ditemukan adanya pergesekan

budaya maupun konflik sosial yang terjadi.

B. Kedatangan Suku Jawa

Setelah kedatangan masyarakat karo di kampung Bali, perubahan susunan

masyarakat juga terjadi dengan kedatangan orang-orang Jawa pada tahun 1990-an.

Kedatangan masyarakat suku Jawa ini prosesnya juga sama seperti kedatangan

orang-orang Karo. Yaitu kedatangan mereka yang spontanitas dengan cara sendiri-sendiri

yang bertujuan untuk mengolah lahan kosong. Dalam proses pengolahan

lahan-lahan kosong ini menyebabkan adanya perluasan lahan-lahan di komplek perkampungan

Bali. Artinya lahan-lahan kosong yang telah diolah mengalami perubahan fungsi

menjadi lokasi pemukiman dan lokasi pertanian atau perkebunan. Keadaan ini

mengakibatkan dampak yaitu tidak adanya lagi lahan-lahan kosong dikampung Bali

untuk diolah.

Masyarakat Jawa yang datang ke kampung Bali turut serta membawa

kebiasaan mereka dalam hal sosial masyarakatnya. Masyarakat Jawa membawa serta

Gambar

Tabel I : Jumlah dan arah tujuan transmigran Bali
Gambar 1. Papan nama yang menunjukan keberadaan Kampung Bali  (Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3. Gapura memasuki Kampung Bali  (Dokumentasi Pribadi)
Gambar 5. Pura Penataran Agung Widya Loka Nata (Koleksi Pribadi)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang, proses sosialisasi dan dampak yang dilakukan oleh Bandung Creative City Forum dalam membangun kampung kreatif

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang sejarah Syekh Jangkug, (2) Unsur budaya yang terkandung dalam bangunan komplek makam Syekh

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali, yang penelitiannya meliputi wawancara pada Masyarakat Suku Bali di Desa Cipta Dharma atau

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali, yang penelitiannya meliputi wawancara pada Masyarakat Suku Bali di Desa Cipta Dharma atau

Desa Bali Agung adalah sebuah pedesaan yang penduduknya ada suku Jawa dan Bali, kedua suku tersebut mempunyai latar belakang budaya yang berbeda sehingga rawan

Kampung Bali Kecamatan Nibung adalah Kampung yang unik, sudah berdiri sejak berpuluh tahun, hasil wawancara dan observasi yang kami lakukan dari Rumah Moderasi

Mengacu pada latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran stakeholder dalam implementasi kebijakan kampung KB di

latar belakang sejarah kearifan enclave Nyama Bali- Nyama Selam , terutama yang berkaitan dengan menumbuhkembangkan integrasi dan harmoni sosial di era otonomi daerah,