• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A BANDAR LAMPUNG"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Samsu Rahman

0852011202

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KELAS II A BANDAR LAMPUNG Oleh

Samsu Rahman 0852011202

Dasar hukum pembebasan bersyarat adalah Pasal 15 KUHP dan yang menyatakan orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 14 yang menyatakan narapidana memiliki hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bila telah melalui dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan dari masa hukumannya. Pemberian pembebasan bersyarat ini jika dilihat secara implisit hanya merupakan hadiah dari Negara kepada narapidana yang dinilai telah memenuhi persyaratan sesuai undang-undang. Perumusan masalah penlitian ini adalah : Bagaimanakah pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandarlampung dan kendala saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat. Tujuan penelitian ini adalah : untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandarlampung dan untuk mengetahui kendala saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat.

(3)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di peroleh sebagai berikut: setiap narapidana memiliki hak untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal 14. dan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor.M. 01-PK.04-10 Tahun 2007 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Meskipun mendapatkan Pembebasan Bersyarat adalah hak bagi Narapidana namun Narapidana tersebut harus melengkapi syarat-syarat yang telah diatur dengan Undang-Undang. Dalam sistem pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat memiliki tujuan untuk memperpendek masa hukuman Narapidana dengan syarat-syarat yang ketat agar tujuan dari pembinaan tersebut tidak berkurang kualitasnya. Secara implisif Narapidana dapat mengambil haknya apabila kewajibannya telah dipenuhi. Dengan adanya Pembebasan Bersyarat tersebut banyak dampak positif yang dirasakan bagi Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan. Pada saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat terdapat kendala yang berasal dari narapidana itu sendiri, masyarakat, petugas, serta sarana dan fasilitas. Namun kendala yang paling sulit pada saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat adalah ketika melengkapi syarat administratif dan subtantif.

Berdasakan simpulan maka yang menjadi saran penulis adalah sebaiknya petugas dapat bekerja lebih profesional lagi sehingga dapat membantu narapidana melengkapi syarat subtantifnya untuk mengusulkan Pembebasan Bersyarat, dan narapidana juga harus lebih mempercepat lagi dalam melengkapi syarat-syarat pengajuan pembebasan bersyarat. Serta jumlah petugas lebih disesuaikan lagi dengan jumlah narapidana dan menambah sarana dan fasilitas seperti gedung dan fasilitas penunjang lainnya. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari Pemerintah yaitu dengan meningkatkan mutu pembinaan bagi narapidana serta menambah jumlah petugas dan fasilitas. Dengan mentaati semua peraturan mengenai Pembebasan Bersyarat, narapidana tidak akan menemukan kendala yang berarti pada saat proses Pembebasan Bersyarat serta dengan menambah jumlah petugas dan fasilitas, pembinaan terhadap narapidana akan lebih maksimal. Berbagai upaya yang telah di lakukan petugas lembaga pemasyarakatan pada hakekatnya hanya merupakan upaya yang bertujuan untuk mengembalikan narapidana menjadi manusia yang lebih berguna lagi dan menumbuhkan kesadaran akan hukum yang berlaku di Indonesia.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah...8

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan...8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual...9

E. Sistem Penulisan...12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tujuan Pidana...13

B. Sistem Pemasyarakatan...17

C. Narapidana...20

D. Tinjauan Umum Narkotika...21

E. Pembebasan Bersyarat...23

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah...29

B. Sumber dan Jenis Data...30

C. Penetapan Narasumber...31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data...32

E. Analisis Data...32

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden...33

(7)

V. PENUTUP

A. Simpulan...53 B. Saran...54

(8)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Norma atau kaidah hukum selalu ada dalam masyarakat yang berguna untuk mengatur masyarakat itu sendiri. Apabila mereka melanggar kaidah-kaidah hukum itu atau melakukan tindak pidana maka akan dikenakan sanksi. Seorang pelaku tindak pidana akan dikenakan hukuman berupa sanksi pidana. Ini merupakan suatu kewajaran karena negara kita ialah negara hukum, jadi setiap pelaku tindak pidana harus berhadapan dengan hukum. Banyaknya pelaku tindak pidana mengakibatkan bertambahnya jumlah narapidana yang menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Pada saat ini kita sering mendengar istilah Pembebasan Bersyarat bagi narapidana, banyak orang yang belum mengetahui tentang Pembebasan Bersyarat tersebut. Masyarakat awam hanya tahu bahwa Pembebasan Bersyarat merupakan upaya pemerintah untuk membebaskan narapidana atau pelaku kejahatan. Pandangan seperti ini harus segera diluruskan karena dapat menimbulkan pandangan negatif.

(9)

Pembebasan Bersyarat bisa diberikan setiap saat bagi yang sudah memenuhi persyaratan baik subtantif maupun administratif. Pasal 15 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa “jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanaya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan Pembebasan Bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana”.

Pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana penyalahgunaan narkotika sering dipandang masyarakat sebagai suatu hal yang bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk memberantas dan memberikan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. Hal ini sesuai dengan maraknya peredaran narkoba ditengah masyarakat. Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya atau istilah yang dikenal masyarakat sebagai tindak pidana Narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidisipliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.

Tindak pidana narkotika merupakan suatu kejahatan yang kompleks karena dalam tindak pidana narkotika, pelaku tindak pidana bisa menjadi sekaligus korban. Berdasarkan pra research yang dilakukan penulis di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung masih cukup banyak ditemukan Narapidana dengan kasus pengedar sekaligus pemakai dan pemakai sekaligus pengedar. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap narapidana tindak pidana narkotika.

(10)

tersebut telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jendral Pemasyarakatan. Pertimbangan yang dimaksud ialah Direktur Jendral Pemasyarakatan wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilam masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pengertian dari narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Meskipun dalam kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Hal ini harus lebih dipertimbangkan lagi apabila Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ingin memberikan Pembebasan Bersyarat kepada narapidana narkotika.

Menurut data yang diperoleh kasus penyalahgunaan narkotika di Lampung pada awal tahun 2012 sampai bulan oktober telah terjadi kasus sebanyak 117 penyalahgunaan narkotika1. Banyaknya kasus penyalahgunaan Narkotika tidak hanya dikota-kota besar saja, tetapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Hal ini menyebabkan banyaknya pelaku penyalahgunaan narkotika yang dikenai sanksi pidana penjara, dan berdampak pada bertambahnya narapidana narkotika di Lampung.

Pemidanaan atau penghukuman diatur lebih jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana ialah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman. Mereka yang telah melakukan tindak pidana dibawa ke pengadilan dan dijatuhi pidana yang setimpal.

(11)

Mengenai jenis pidananya, hukum pidana Indonesia mengenal jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, dimana disebutkan bahwa pidana terdiri atas2:

a. Pidana pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Kurungan 4. Denda b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Hukuman yang diberikan kepada seorang pelaku tindak pidana bukanlah semata-mata sebagai tindakan balasan atas kejahatan yang telah ia lakukan. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin di capai dengan suatu pemidanaa yaitu3:

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hokum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna dalam masyarakayt.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan memulihkan keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.

Indonesia menganut falsafat pembinaan narapidana, yang disebut dengan nama “Pemasyarakatan”, sedangkan istilah penjara diubah namanya menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” yang digunakan sebagai tempat untuk membina dan sekaligus sebagai tempat untuk mendidik narapidana. Pemasyarakatan yang dimaksud disini harus diartikan dengan “memasyarakatkan” kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan berguna( healthily re-entry into community ) yang pada hakekatnya adalah “resosialisasi”4

.

2 Moeljatno, 1992. KUHP( Kitab Undang-undang Hukum Pidana ). Cet XVII. Bumi Aksara. Jakarta.Hlm:35 3 http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-penitensier diakses 20 Nov2012 pukul 22:00 wib

(12)

Istilah “Pemasyarakatan” pertama kali dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963 yang memberikan rumusan bahwa disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, Pemasyarakatan juga membimbing terpidana agar bertobat, mendidik ia supaya menjadi seorang anggota masyarakat yang berguna5. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk Pemasyarakatan. Para Narapidana belum tentu orang jahat. Mereka sebenarnya hanya tidak memahami norma kemasyarakatan yang berlaku sehingga melakukan pelanggaran hukum. Agar narapidana dapat kembali menjadi warga negara yang baik diperlukan pembinaan yang efektif.

Pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan meliputi dua jenis pembinaan yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian yang di dalamnya dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dapat langsung dilakukan oleh narapidana dengan bimbingan Pembina/Pembimbing. Pembinaan kepribadian ditujukan untuk kesadaran mental dan fisik sehingga dapat menyadari kesalahan yang pernah dilakukan. Pembinaan kemandirian ditujukan untuk memberikan keterampilan kepada narapidana agar dapat memiliki bekal hidup setelah selesai menjalani pidana.

Sebagai negara hukum narapidana juga memiliki hak-hak yang dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga harus harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum, di samping itu juga ada ketidakadilan perilaku bagi narapidana, misalnya penyiksaan, tidak mendapat fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat Pembebasan Bersyarat. Untuk itu dalam Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 1995 Pasal 14 secara tegas menyatakan narapidana berhak:

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2. Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani

3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak

(13)

5. Menyampaikan keluhan

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana

10.Mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi keluarga

11.Mendapatkan Pembebasan bersyarat 12.Mendapatkan cuti menjelang bebas

13.Mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain hak-hak narapidana juga ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh narapidana seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu:

1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Menurut peraturan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Bandar Lampung juga tercantum kewajiban narapidana yaitu6:

1. Mentaati semua peraturan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika 2. Wajib berlaku sopan, patuh dan hormat kepada semua petugas 3. Wajib menghargai semua warga binaan

4. Wajib menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan dan keindahan 5. Wajib berpakaian rapi dan sopan

6. Wajib mengikuti program pembinaan

7. Wajib memelihara barang-barang milik negara 8. Wajib menitipkan barang-barang berharga

9. Wajib memberitahu kepada petugas apabila melihat atau mengetahui tanda-tanda atau keadaan bahaya bagi keamanan Lembaga Pemasyarakatan.

Hak dan kewajiban merupakan tolak ukur berhasil tidaknya pola pembinaan yang dilakukan oleh para petugas kepada narapidana. Dalam hal inidapat dilihat apakah

(14)

petugas benar-benar memperhatikan hak-hak narapidana dan apakah narapidana juga sadar selain hak narapidana juga mempunyai kewajiban yang harus dilakukan dengan baik dan penuh kesadaran. Dalam hal ini dituntut adanya kerjasama yang baik antara petugas dan para narapidana.

Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu perwujudan dari pembinaan terhadap Narapidana, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi narapidana yang diberikan Pembebasan Bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya. Masyarakat diharapkan turut berperan dalam memberikan pembinaan dan pendidikan bagi narapidana.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung. Jumlah Narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat dari bulan Januari sampai Oktober 2012 sejumlah 70 (Tujuh puluh) orang dari 127 (Seratus dua puluh tujuh) Narapidana yang mengajukan Pembebasan Bersyarat7. Hal ini menandakan bahwa tidak semua Narapidana bisa dengan mudah mendapatkan Pembebasan Bersyarat karena ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh Naraidana.

Bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu, mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan Pembebasan Bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan permohonan Pembebasan Bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

(15)

Berdasarkan uraian awal ini hendak dikemukakan bahwa Pembebasan Bersyat merupakan salah satu wujud pembinaan terhadap narapidana. Oleh karena itu penulis mengangkat tema mengenai Pembebasan Bersyarat.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandarlampung?

2. Kendala apakah yang ditemukan saat proses pelaksanaan Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Narkotika?

Agar penulisan skripsi ini tidak terlalu luas serta untuk menghemat waktu dalam pelaksanaan penelitian, maka penulisan skripsi ini dibtasi hanya pada pelaksanaan Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung dalam kurun waktu antara bulan Januari sampai Oktober 2012 dan Kendala apakah yang ditemukan saat proses pelaksanaan Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Narkotika.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan penulisan

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung.

b. Untuk mengetahui kendala yang ditemukan saat proses pelaksanaan Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung.

2. Kegunaan penulisan

(16)

b. Secara praktis penelitian diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Pasal 1 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat ialah proses pembinaan Narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. Pembebasan Bersyarat dapat diberikan apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Telah menjalani masa pidana sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;

b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua pertiga) masa pidana; dan

c. Telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Adapun fungsi dari Pembebasan Bersyarat ialah untuk membina narapidana agar kembali layak menjadi bagian masyarakat dan mempersiapkan masyarakat untuk menerima mantan narapidana.

Bila ditinjau hakekat dari tujuan pemidanaan terhadap Narapidana maka hal tersebut menimbulkan beberapa teori dan membawa kita pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan itu dikenakan suatu hukuman pidana. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat tujuan pemidanaan8. Secara garis besar terdapat tiga teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu:

(17)

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan. Teori ini beranggapan bahwa setiap kejahatan harus diikuti dan dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar.

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan. Teori ini beranggapan bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana.

3. Teori Gabungan. Teori menggabungkan antara Teori Absolut dan Teori Relatif. Jadi disamping mengakui bahwa tujuan pemidanaa itu adalah untuk pembalasan, juga mengakui pola unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana

Adapun faktor penghambat penegakan hukum dalam pelaksanaan Pembebasan Bersyarat, menggunakan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah9 :

a. Faktor Undang-undang b. Faktor Penegakan hukum

c. Faktor Sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum d. Faktor Masyarakat

e. Faktor Kebudayaan

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti10.

Guna memperjelas pemahaman terhadap pembahasan skripsi ini, maka penulis akan memberikan beberapa konsep yang bertujuan untuk penjelasan beberapa istilah yang digunakan skripsi ini:

9 Soerjono Soekanto. 1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali pers. Jakarta. Hlm:15

(18)

a. Analisis adalah, penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan11.

b. Pembebasan Bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

c. Narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaannya di Lembaga Pemasyarakatan.

d. Narkotika berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

e. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

(19)

E. Sistem Penulisan

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang berisikan latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang kemudian penulisan menarik pokok-pokok permasalahan serta membatasi ruang lingkup penelitian. Selain itu dalam hal ini juga tertulis tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan tujuan pustaka yang memuat tentang pengertian Pembebasan Bersyarat di Indonesia, dan pemberian Pembebasan Bersyarat sebagai tujuan dari pengungaran masa tahanan tanpa mengurangi efektifitas dari pemidanaan serta kedudukan Pembebasan Bersyarat dalam sistem kemasyarakatan.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang memaparkan tentang metode yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu cara-cara yang dipergunakan dalam penelitian yang memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penelitian populasi dan sampel serta pengumpulan dan pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Bab ini merupakan pokok pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian lapangan, yaitu faktor penyebab tidak semua Narapidana mendapatkan Pembebasan Bersyarat dan proses pemberian Pelepasan Bersyarat terhadap narapidana.

V. PENUTUP

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tujuan Pidana 1. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.1

2. Pengertian tindak pidana

Mengenai pengertian tindak pidana beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :

a. Simons :

Tindak pidana adalah kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab2.

b. Moeljatno :

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggarlarangan tersebut3.

c. Wirjono Prodjodikoro :

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana4.

1 Muladi dan Arief Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.Alumni. Bandung. Hlm:1 2 Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. Hlm:56

3 Ibid., Hlm:54

(21)

3. Tujuan Pidana

Secara garis besar terdapat tiga teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu5:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan. Teori ini beranggapan bahwa setiap kejahatan harus diikuti dan dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan ditentukannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat masa depan.

Dasar pembenaran pidana sebagai “alam pikiran untuk pembalasan”, dikemukakan oleh beberapa sarjana berikut:

1. Immanuel kant:

Seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan (Kategorische Imperatief).

2. Hegel:

Pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari citra susila, maka pidana merupakan Negation der Negation (pengingkaran terhadap pengingkaran).

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan. Teori ini beranggapan bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaatnya pidana masyarakat atau bagi si penjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga ke masa depan. Oleh karena itu perlu ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjauhkan pidana saja.

(22)

Tujuan tersebut semata-mata harus diarahkan ke arah pencegahan (prevensi) atau agar kejahatan tersebut tidak diulang lagi. Usaha prevensi selain ditujukan kepada si penjahat, juga ditujukan kepada orang lain.

c. Teori Gabungan. Teori menggabungkan antara Teori Absolut dan Teori Relatif. Jadi disamping mengakui bahwa tujuan pemidanaa itu adalah untuk pembalasan, juga mengakui pola unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.

Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap pelaku kejahatan, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap narapidana diadakan pembinaan,agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.

4. Faktor Penghambat Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum tidak semudah yang terlihat adanya keterbatasan-keterbatasan baik dari sisi hukum materiil yang dapat diterapkan, berbagai kelemahan dalam hukum acara yang berlaku, kuantitas dan kualitas aparat penegak hukum yang belum memadai, serta kurangnya sarana dan prasarana penunjang dalam upaya penegakan hukum.

Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum, menurut teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut6:

a. Faktor Undang-Undang

Faktor Undang-Undang mempunyai peran yang utama dalam penegakan hukum berlakunya kaedah hukum dimasyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri, menurut teori-teori hukum harus memenuhi tiga macam hal berlakunya kaedah hukum,yaitu:

(23)

1. Berlakunya secara yuridis, artinya kaedah hukum itu harus dibuat sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai syarat berlakunya suatu kaedah hukum. Jika hanya berlaku secara yuridis saja maka kaedah hukum ini merupakan kaedah hukum yang mati.

2. Belakunya secara sosiologis, artinya kaedah hukum itu dapat berlaku secara efektif, baik karena dipaksakan oleh penguasa walaupun tidak diterima masyarakat ataupun berlaku dan diterima masyarakat. Jika hanya berlaku secara sosiologis saja, maka kaedah hukum ini hanyalah menjadi peraturan yang memaksa yang takkan sampai tujuan.

3. Berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Jika hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan.

b. Faktor Penegak hukum

Komponen yang bersifat sruktural ini menunjukan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum. Lembaga-lembaga tersebut mempunyai pelekat, fungsi-fungsi tersendiri didalam berlakunya sistem hukum. Lembag-lembaga itu antara lain adalah : Kepolisian dan PPNS, Kejaksaan, Peangadilan dan Lembaga Pemasyarakatan termasuk lembaga penasehat hukum.

c. Faktor Sarana dan Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum

Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan.

d. Faktor Masyarakat

Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Artinya jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi.

e. Faktor Kebudayaan

(24)

B. Sistem Pemasyarakatan 1. Pengertian Pemasyarakatan.

Ada beberapa pengertian tentang Pemasyarakatan. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa: Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 2007 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan menyebutkan bahwa: Pemasyarakatan adalah bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan Narapidana, anak negara dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu ( dilaksanakan secara bersama-sama dengan semua aparat penegak hukum ) dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik. Secara Etimologi, Pemasyarakatan dapat diartikan sebagai proses , cara, perbuatan memasyarakatkan (memasukkan ke dalam masyarakat menjadikan sebagai anggota masyarakat)7.

Berdasarkan semua definisi tentang Pemasyarakatan, kita dapat memberikan pengertian tentang Pemasyarakatan, yaitu kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam Tata Peradilan Pidana8.

2. Sistem Pemasyarakatan

Sebagai negara yang sudah merdeka dan juga sebagai negara hukum, narapidana harus mendapat perlindungan hukum dari pemerintah dalam rangka mengembalikan mereka kedalam masyarakat sebagai warga negara

7 Departemen Pendidikan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta. Hlm : 655

(25)

yang baik. Dengan dasar membela dan mempertahankan hak asasi manusia pada suatu negara hukum maka oleh Sahardjo dikemukakan suatu gagasan “Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara yaitu disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkanya kemerdekaanya.

Negara membimbing terpidana dengan bertobat, mendidik sehingga ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Pembinaann Narapidana secara institusional di dalam sejarahnya diIndonesia dikenal sejak diberlakukannya Reglement penjara stbl. 1917 No. 708. Pola ini dipertahankan hingga tahun 1963. Pola ini mengalami pembaharuan sejak dikenal sistem pemasyarakatan, dengan karakterisrik sepuluh prinsip pokok yang semuanya bermuara pada suatu falsafah, Narapidana bukanlah orang hukuman.

Menurut sistem pemasyarakatan terdapat proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu proses sejak seseorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas kembali ke tengah-tengah masyarakat. Pemikiran-pemikiran baru mengenai pembinaan yang tidak lagi mengenai penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi sosial warga binaan, maka Pemasyarakatan melahirkan suatu pembinaan yang di kenal dan dinamakan Sistem Pemasyarakatan.

(26)

3. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu tempat atau wadah untuk menampung orang-orang terhukum atau Narapidana yang telah dijatuhi pidana berdasarkan keputusan hakim yang telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap ( pasti ).

Ada beberapa pengertian tentang Lembaga Pemasyarakatan, antara lain:

Menurut Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa: "Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan". Selain pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tersebut, Supramono memberikan definisi Lembaga Pemasyarakatan, sering disingkat dengan akronim LAPAS, sebenarnya merupakan tempat untuk terpidana atau Narapidana menjalani hukuman pidananya bagi mereka yang dihukum penjara maupun kurungan9.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 2007 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan menegaskan bahwa: Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina Narapidana. Sedangkan menurut Ketentuan Pasal 1 ayat ( 3 ) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 01-PP.02.01 Tahun 1990 tentang Dana Penunjang Pembinaan dan Intensif Karya Narapidana menyatakan: Lembaga Pemasyarakatan yang disingkat dengan LAPAS adalah Unit Pelaksana Teknis di bidang pemasyarakatan sebagai wadah kegiatan pembinaan terpidana menurut Sistem Pemasyarakatan. Secara Etimologi, Lembaga Pemasyarakatan berarti tempat orang menjalani hukuman pidana penjara10.

9 Ibid., Hlm:113

(27)

Rumusan yang tercantum baik dalam UU No. 12 Tahun 1995, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.02-PK.04.10 Tahun 2007, maupun Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01-PP.02.01 Tahun 1990 tersebut menyiratkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi Narapidana, Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil11.

4. Pengertian Rumah Tahanan Negara.

Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pembinaan Narapidana/Tahanan menyatakan bahwa: Rumah Tahanan Negara adalah Unit Pelaksana Teknis tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan.

5. Pengertian Balai pemasyarakatan (BAPAS)

Berdasarkan Keputusan Mentri kehakiman Nomor. M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pertimbangan Balai Pemasyrakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, Balai pemasyarakatan (BAPAS) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang mengenai pembinaan klien pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana bersyarat (Dewasa dan Anak), narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat, cuti menjelang bebas, serta anak Negara yang mendapat Pembebasan Bersyarat atau diserahkan kepada keluarga asuh, anak Negara yang mendapat cuti menjelang bebas serta anak Negara yang diputus oleh Hakim dikembalikan kepada orang tuanya.

C. Narapidana

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, dalam memperlakukan orang-orang terpidana dan tahanan (yang pernah melanggar hukum) adalah dengan penjeraan (dibuat jera). Maksud dari penjeraan, agar jera dan kapok sehingga tidak mengulangi kejahatan. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat ( 7 ) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.

(28)

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat ( 1 ) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-PP.02.01 Tahun1990 menyatakan bahwa: Narapidana adalah seseorang terpidana berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan terpidana tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.

D. Tinjauan Umum Narkotika 1. Pengertian Narkotika

Secara umum, yang dimaksud dengan Narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh12.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi, sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Penggolongan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah sebagai berikut:

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

(29)

c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum Narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut13.

3. Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Narkotika

a. Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bentuk Tindak Pidana Narkotika yang umum dikenal antara lain: 1. Penyalahgunaan melebihi dosis

2. Pengedaran Narkotika, karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran Narkotika, baik nasional maupun internasional.

3. Jual beli Narkotika, ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.

(30)

Ketiga bentuk Tindak Pidana Narkotika itu adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri.

E. Pembebasan Bersyarat

1. Pengertian Pembebasan bersyarat

Pembebasan Bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana di luar LAPAS setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan. (Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan).

Berdasarkan Pasal 43 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Pembebasan Bersyarat oleh Menteri apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Telah menjalani masa pidana sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;

b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua pertiga) masa pidana; dan

(31)

Izin Pembebasan Bersyarat dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan :

a. Dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa putusan.

b. Telah memenuhi persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01-PK.04.10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan bagi Narapidana tertentu

c. Tidak termasuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01-PK.04.10 Tahun.1991 tentang Penyempurnaan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. M.01-PK.04.10 Tahun.1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

d. Telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya. Pemberian izin Pembebasan Bersyarat adalah wewenang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM) yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

2. Narapidana yang memperoleh Pembebasan Bersyarat harus memenuhi syarat-syarat:

1) Telah menjalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya, minimal 9 bulan. 2) Tanggal 2/3 dari masa pidana yang sekarang dihitung sejak tanggal

eksekusi jaksa.

3) Tidak sedang menjalani Hukuman Disiplin.

Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.Syarat-syarat Pembebasan Bersyarat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Syarat Substantif

(32)

2. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral positif 3. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan

semangat

4. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan napi dan anak pidana yang bersangkutan

5. Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sekurang-kurangnya sembilan bulan terakhir

6. Telah menjalani masa pidana 2/3 dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut tidak kurang dari sembilan bulan. Khusus untuk anak negara, persyaratan substantifnya, yaitu:

1. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas pelanggaran yang dilakukan

2. Telah menunjukkan budi pekerti dan moral positif

3. Berhasil mengikuti program pendidikan dan pelatihan dengan tekun dan bersemangat

4. Masyarakat dapat menerima Program Pembinaan Anak Negara yang bersangkutan

5. Berkelakuan baik

6. Masa pendidikan yang telah dijalani di Lapas anak sekurang-kurangnya satu tahun.

b. Syarat Administratif

1. Bagi napi atau anak pidana Warga Negara Asing Kutipan putusan hakim (ekstrak vonis)

2. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan napi dan anak didik permasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan

(33)

4. Salinan Register F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan napi dan anak didik permasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari Kepala Lapas atau Kepala Rumah Tahanan (Rutan) 5. Salinan Daftar Perubahan atau Pengurangan Masa Pidana (grasi, remisi,

dan lain-lain) dari Kepala Lapas atau Kepala Rutan

6. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima napi dan anak didik permasyarakatan (pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah, swasta, atau lain-lain) dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya lurah atau kepala desa) Telah mendapat pertimbangan (WNA), ada tambahan syarat administratif berupa:

a. Surat jaminan dari kedutaan besar/konsulat Negara orang asing yang bersangkutan bahwa napi atau anak didik permasyarakatan tidak melarikan diri atau menaati syarat-syarat selama menjalani Pembebasan Bersyarat

b. Surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.

3. Pemberian Pembebasan Bersyarat dan Prosesnya

Pihak yang berwenang memberikan Pembebasan Bersyarat adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Repubuk Inoonesia Nomor M.01.Pk.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti BersyaratAdapun prosesnya adalah:

a. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lapas atau TPP Rutan setelah mendengar pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan dari Wali Pemasyarakatan, mengusulkan Pembebasan Bersyarat kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan untuk dimintai persetujuan

(34)

c. Kakanwil Kemenkumham menyetujui/menolak usul tersebut setelah mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor Wilayah Kemenkumham setempat

d. Apabila disetuji, usulan tersebut diteruskan oleh Kakanwil Kemenkumham setempat kepada Dirjen Pas paling lama 14 hari sejak diterimanya usul tersebut

e. Keputusan Pembebasan Bersyarat diterbitkan oleh Dirjen Pas apabila disetujui Kemenkumham

4. Subyek Pembebasan Bersyarat, yaitu:

a. Narapidana, yaitu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemsyarakatan (Lapas)

b. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana lapas anak paling lama sampai berumur 18 tahun

c. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di lapas anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

Pembebasan Bersyarat tidak bisa diberikan kepada:

a. Narapidana atau anak didik permasyarakatan yang kemungkinan akan terancam jiwanya

b. Narapidana yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup. 5. Perhitungan Masa Pidana

Penjalanan masa pidana dihitung sebagai berikut : a. Sejak ditahan

b. Sejak penahanan terakhir apabila masa penahanan terputus

c. Untuk penahanan kota, pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan dikurangkan dari masa pidana yang dijatuhkan d. Untuk penahanan rumah, pengurangan tersebut sepertiga dari jumlah

lamanya waktu penahanan dikurangkan dari masa pidana yang dijatuhkan e. Perhitungan 1/3, 1/2, atau 2/3 masa pidana adalah 1/3, 1/2, atau 2/3 kali

(35)

6. Pencabutan Pembebasan Bersyarat

Pembebasan Bersyarat dapat dicabut apabila napi atau anak didik permasyarakatan:

a. Mengulangi tindak pidana

b. Menimbulkan keresahan dalam masyarakat; dan/atau c. Melanggar ketentuan Pelepasan Bersyarat.

Pencabutan ini dilakukan oleh Direktur Jendral Pemasyarakatan atas usul Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) melalui Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat.

7. Akibat Pencabutan Pembebasan Bersyarat

Pencabutan Pembebasan Bersyarat mempunyai akibat terhadap napi atau anak pidana yang bersangkutan, yaitu:

a. Tidak diberikan remisi untuk tahun pertama setelah pencabutan

b. Tidak diberikan pembebasan bersyarat lagi, asimilasi, cuti menjelang bebas atau cuti bersyarat selama menjalani sisa pidananya untuk pencabutan kedua kalinya

c. Tidak dihitung menjalani masa pidana selama di luar lapas atau rutan. Khusus untuk anak negara, akibat dari pencabutan Pembebasan Bersyarat adalah:

a. Dihitung sebagai masa menjalani pendidikan selama berada dalam bimbingan Bapas

b. Tidak diberikan Pembebasan Bersyarat atau asimilasi untuk enam bulan pertama setelah pencabutan

(36)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian1. Untuk membahas permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yatu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan2.

Penggunaan dari metode yuridis empiris dalam penelitian skripsi ini, yaitu dari hasil pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian skripsi ini, kemudian dilakukan pengujian secara induktif–verifikatif pada fakta mutakhir yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian

1 Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra aditya bakti. Bandung. Hlm:112

(37)

kebenaran dalam suatu penelitian telah dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses rasionalisasi.

Secara oprasional penelitian yuridis normatif dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Sedangkan pendekatan secara yuridis empiris dilakukan dengan mewawancara beberapa narasumber yang berkompeten dan berhubungan dengan penulisan skripsi ini, untuk mendapatkan data secara oprasional penelitian empiris dilakukan dengan penelitian lapangan.

B. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh langsung dari penelitian lapangan dari sejumlah narasumber yang menyangkut informasi tentang pelaksanaan Pembebasan Bersyarat. Kemudian sumber data yang diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan.

2. Jenis Data

Untuk mengumpulkan data pada penelitian ini, penulis menggunakan tiga jenis Bahan Hukum yaitu:

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian lapangan, diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dari narasumber yang berhubungan dengan objek permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yang terdiri dari:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

(38)

1. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M. 01.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pelepasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat

2. Surat Edaran Dirjenpas Nomor.E.PK.04.10-75 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asai Manusia Republik Indonesia Nomor.M01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat

C. Penetapan Narasumber

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau gejala atau kejadian atau seluruh unit yang diteliti3. Populasi penelitian ini adalah petugas Lembaga Pemasyarakatan dan Narapidana. Dari populasi tersebut ditentukan sampel atau narasumber dengan menggunakan metode pengambilan sampel secara profesional purposive sampling yaitu memilih sampel berdasarkan pertimbangan tertentu disesuaikan dengan kedudukannya. Berikut adalah sampel yang dijadikan responden :

Petugas Lembaga Pemasyarakatan sejumlah 4 (empat) orang yaitu :

- Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS) : 1 Orang - Kepala Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik : 1 Orang - Kepala Sub Seksi Registrasi : 1 Orang - Kepala Sub Seksi Bimbingan dan Perawatan Anak : 1 Orang

- Narapidana : 1 Orang

Jumlah : 5 Orang

Penulisan pengambilan sampel responden petugas tersebut karena petugas dalam bidang tersebut yang berhubungan dengan pemberian Pembebasan Bersyarat.

(39)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data 1. Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua cara pengumpulan data :

a. Studi Kepustakaan

Penulis menggunakan studi kepustakaan dengan menelaah Perundang-Undangan serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan. b. Studi Lapangan

Dalam studi lapangan penulis melakukan pengumpulan data dengan membuat kuesioner dengan wawancara para responden yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Tahap pengelolaan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul atau masalah.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif. c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data

E. Analisis Data

Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis kualitatif yang dipergunakan untuk aspek-aspek normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitu menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungakan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus4.

(40)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah penulis mengadakan penelitian baik melalui pendekatan yuridis Normatif maupun pendekatan yuridis empiris guna memperoleh data yang mencukupi untuk mengungkapkan dan menjawab permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik suatu kesimpualan dari hasil penelitian dan pembahsan yang telah diuraikan di atas adalah sebagai berikut:

1. Pembebasan Bersyarat merupakan proses integrasi yang menggalang semua aspek potensi kemasyarakatan yang secara integral dan gotong-royong terjalin antar warga binaan pemasyarakatan, masyarakat, dan petugas pemasyarakatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 narapidana memiliki hak untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat.

Selanjutnya dalam pelaksanaan Pembebasan Bersyarat diatur berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor.M. 01-PK.04-10 Tahun 2007 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberi pembebasan bersyarat apabila telah memenuhi syarat subtantif dan syarat administratif.

(41)

paling berperan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung dalam pemberian Pembebasan Bersyarat ini adalah Kepala Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung beserta jajaran dibawahnya.

2. Kendala yang paling besar yang dihadapi petugas adalah ketika melengkapi syarat administratif dan subtantif, yaitu penyataan pesetujuan korban atas usulan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Narapidana tersebut dan dari narapidana itu sendiri. Sejauh ini petugas Lapas telah melaksanakan pemberian hak Pembebasan Bersyarat dengan semestinya.

Dari semua usulan untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat, tidak ada satupun usulan Pembebasan Bersyarat yang di tolak, karena petugas akan berusaha secara maksimal untuk memenuhi syarat administratifnya dan setelah semua syarat tersebut terpenuhi, maka petugas mengusulkannya ke Kalapas yang selanjutnya disulkan ke kantor Kementerian Hukum dan HAM Lampung. Hanya saja dalam proses untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat ini harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah disebut diatas dan hal tersebut memakan waktu yang lama sekitar 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan.

B. Saran

Dari hasil pembahasan dan simpulan pada uraian sebelumnya maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Diharapkan para petugas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bandar Lampung dapat bekerja lebih profesional lagi sehingga dapat membantu narapidana melengkapi syarat subtantifnya untuk mengusulkan Pembebasan Bersyarat.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Andrisman, Tri. 2009. Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Atmasasmita, Romli. 1983. Kepenjaraan dalam suatu Bunga Rampai. Cet.1. Armico. Bandung

Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Alumni. Bandung

Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi. Pradnya Paramitha. Jakarta.

Lamintang, P.A.F dan Lamintang, Theo. 2010. Hukum Penitensier Indonesia. Sinar Grafika. edisi kedua. Jakarta.

Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

---, 1992. KUHP( Kitab Undang-undang Hukum Pidana ). Cet XVII. Bumi Aksara. Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra aditya bakti. Bandung

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung

---. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

Prinst, Darwan. 1997. Hukum Anak Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Eresco.

Bandung

Ruba’I , Masruchin.1997. Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. IKIP. Malang

S. Soema, R. Achmad dan Atmasasmita, Romli. 1979. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Binacipta. Bandung

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta

(43)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers. Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali pers. Jakarta.

---. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta Suharsil, Moh Taufik Makaro dan Moh Zakky. 2005. Tindak Pidana Narkotika.

Ghalia Indonesia. Jakarta

Supramono, Gatot. 1998. Hukum Acara Pengadilan Anak. Djambatan. Jakarta.

KAMUS

Departemen Pendidikan.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Daerah.

Departemen Pendidikan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta.

UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan . Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M. 01.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pelepasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana

Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor.M01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat

Keputusan Mentri kehakiman Nomor. M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pertimbangan Balai Pemasyrakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan

INTERNET

(44)

http://lampung.tribunnews.com/2012/11/19/oktober-polisi-sikat-117-kasus-narkoba

https://www.google.co.id/search?hl=id&newwindow=1&client=firefox-a&hs=WUK&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&q=teori+tujuan+pelepasan+

bersyarat&oq=teori+tujuan+pelepasan+bersyarat.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pembinaan tersebut huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa, sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian hukum yang

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan khususnya Pasal 14 memberikan pengakuan yang tegas mengenai hak-hak narapidana di lembaga pemasyarakatan (LAPAS), antara

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti Implementasi Sistem Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A

Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan

Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan merumuskan bahwa : Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan

tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bandar Lampung sudah sesuai dengan peraturan Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan

Menurut Pasal 1angka 2 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta