• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL TINGKAT KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI PEMILIK USAHA INDUSTRI KECIL DI KOTA METRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL TINGKAT KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI PEMILIK USAHA INDUSTRI KECIL DI KOTA METRO"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

MODEL OF PURSUANCE LEVEL IN MANAGING ENVIRONMENT IN THE BASE OF SOCIAL-DEMOGRAPHY CHARACTERISTIC

OF SMALL INDUSTRY OWNER IN METRO CITY

By

FEBRIANA SUSIWI

Production activity in small industry creates not only profit and satisfaction but also residual that affect negative externality, as well as various small industries in metro city. It has not been know the characteristic of sosial demography that affects complainment behavior of small industries toward complainment in managing environment. Therefore, it is needed to developed a model to press that negative externality. Therefore, it needs to develop a model pressing that negative externality. This research was aimed to determine a model of pursuance level in managing environment that could be influenced by small industry profile, social-demography characteristic, knowledge and supervision level. This research had been done in the area of Metro City started on April – August 2015. This research used the modelapproachby using primer data from 49 small industries all over Metro City. The model used in this research was ordinal regression by using some dummy variables. Response variables used in this research were pursuance level including very obedient, obedient and not obedient. And then by using pursuance clearing variable including, small industry profile (business permission, financial, turnover, duration, employee, kind of business, and kind of waste), social-demography characteristic (age, sex, and education level), and then the level of knowledge and supervision. Based on the result of ordinal regression using software Minitab V.16 in the credibility interval of 5% and 10% showed that business permission, financial, sex, knowledge and supervision level really influenced toward the pursuance level of the small industry owner in managing the environment.

(2)

ABSRTAK

MODEL TINGKAT KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN

LINGKUNGAN BERBASIS KARAKTERISTIK SOSIAL

DEMOGRAFI PEMILIK USAHA INDUSTRI KECIL

DI KOTA METRO

Oleh

FEBRIANA SUSIWI

Aktifitas produksi dalam industri kecil tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan namun juga menghasilkan residual yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif, demikian pula halnya berbagai industri kecil di Kota Metro. Belum diketahui karateristik sosial demografi yang memperngaruhi sikap kepatuhan para industriawan kecil terhadap kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu perlu dikembangkan sebuah model untuk menekan ekternalitas negatif tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dipengaruhi oleh profil indutri kecil, karakteristik sosial demografi, tingkat pengetahuan dan pengawasan. Penelitian telah dilaksanakan di wilayah Kota Metro dimulai pada Bulan April – Agustus 2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan pemodelan dengan menggunakan data primer dari 94 industri kecil se-Kota Metro. Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi ordinal dengan menggunakan beberapa variabel dummy. Variabel respon yang digunakan adalah tingkat kepatuhan yang meliputi sangat patuh, patuh dan tidak patuh. Kemudian dengan variabel penjelas meliputi, profil industri kecil (izin usaha, modal, omzet, lama usaha, jumlah karyawan, jenis usaha, dan jenis limbah), karekteristik sosial demografi (umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan), kemudian tingkat pengetahuan dan pengawasan. Berdasarkan hasil regresi ordinal yang menggunakan piranti lunak Minitab V.16 pada selang kepercayaan 5% dan 10% menunjukaan bahwa izin usaha, modal, jenis kelamin, tingkat pengetahuan dan pengawasan berpengaruh nyata terhadap tingkat kepatuhan pemilik usaha industri kecil dalam pengelolaan lingkungan.

(3)
(4)
(5)
(6)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa pembangunan adalah sesuatu yang bersahabat, pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia untuk mengembangkan sesuatu yang sesuai dengan pilihannya. Asumsi pemikiran tersebut, bila setiap manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka kontribusinya untuk kesejahteraan bersama akan maksimal, dengan demikian kemakmuran sebuah bangsa dapat dicapai berbasiskan kekuatan masyarakat yang berdaya dan menghidupinya (Dillon dkk, 2012).

(7)

bahan dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan daur ulang, akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi (Hambali, 2003), dalam Damayanti, 2004).

Perkembangan industri menambah urbanisasi dan meningkatkan jumlah penduduk di satu wilayah, hal ini menuntut percepatan pengembangan tata ruang suatu daerah perkotaan yang mau tidak mau harus dilakukan pengkajian secara matang untuk pertumbuhan ekonominya termasuk inventarisasi lahan-lahan yang belum dimanfaatkan dengan baik yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas lingkungan yang ditandai dengan: hilangnya ruang terbuka hijau, munculnya daerah-daerah kumuh, pencemaran udara atau pencemaran dari aktivitas industri, limbah domestik, penggusuran, keambrukan dan kemacetan lalu lintas, hilangnya teknologi hijau, dan munculnya cacapolis atau suatu kota yang mengerikan (Simanjuntak, 2008).

Dan untuk menghindari itu maka pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan bagian sangat penting bagi ekosistem berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi seluruh mahluk hidup yang diarahkan kepada terwujudnya kelestarian serta fungsi lingkungan dalam keadaan dinamis menuju pembangunan berkelanjutan (Simanjuntak, 2008).

(8)

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan pemanfaatan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Jadi pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan baik.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan menjadi hal penting dengan berrkembangnya industri dan meningkatnya aktivitas ekonomi, melalui proses produksi dan konsumsi tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan kepada pengguna, namun juga menghasilkan residual atau limbah yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif. Residual merupakan bagian intrinsic atau bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas ekonomi dan akan

(9)

negosiasi. Namun setelah tahun 1969-an para ahli melihat bahwa masalah eksternalitas adalah masalah yang cukup serius dan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari hukum termodinamika, sehingga pada periode inilah perhatian yang serius terhadap analisis pencemaran dimulai (Fauzi, 2004).

Tingginya aktivitas ekonomi di Kota Metro terutama pada sektor perdagangan dan jasa mulai mendominasi nilai PDRB sejak tahun 2009. Hampir seluruh Bank tersedia di Kota Metro untuk mendukung sektor perdagangan dan jasa. Kota Metro menjadi alternatif kedua bagi masyarakat Lampung Timur, Lampung Selatan dan Pesawaran untuk mengakses perdagangan dan jasa (Bappeda Kota Metro, 2014).

(10)

Peran UMKM sangat strategis bagi perekonomian Kota Metro yang ditunjukkan oleh jumlah industri kecil yang paling banyak di Kota Metro yaitu sekitar 94.14%, dimana golongan ini paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 4.529 orang atau sebesar 95.75%. Tercatat pada tahun 2013 ada 1.681 perusahaan kategori industri kecil, empat perusahaan industri menengah dan satu perusahaan industri besar (Bappeda Kota Metro, 2014).

Industri kecil atau industri rumah tangga secara umum keberadaannya adalah menyebar, namun ada juga yang terkonsentrasi dalam satu sentra industri kecil. Kriteria industri seperti ini mempunyai ciri: berkembang dengan modal kecil, menggunakan teknik produksi dan peralatan yang sederhana, keselamatan dan kesehatan kerja kurang mendapatkan perhatian, tingkat pendidikan SDM nya relatif rendah, kegiatan riset dan pengembangan usaha masih minim, belum mengutamakan faktor-faktor kelestarian lingkungan, belum mampu mengolah limbahnya sampai memenuhi baku mutu yang berlaku (Setiyono, 2004).

(11)

dan kecil tersebar pada seluruh kecamatan di Kota Metro, sedangkan untuk industri menengah dipusatkan di Kecamatan Metro Utara (RTRW Kota Metro, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pemilik perhotelan, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan pabrik besar di Kota Pekanbaru memiliki tingkat kepatuhan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan berada pada

tingkat “patuh” dengan perolehan presentase 58.77 sampai dengan 71.93. Sedangkan perkantoran memiliki persentase kepatuhan rata-rata sebesar 14. 04

dengan tingkat kepatuhan “tidak patuh” (Basri, 2014).

Atas dasar latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka Kota Metro memiliki potensi cemaran lingkungan yang berasal dari aktifitas industri kecil, dan apabila tidak ada pengelolaan yang baik hal ini dapat berisiko terhadap kerusakan lingkungan. Oleh karena hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh karaketeristik sosial demografi pemilik usaha dan profil industri kecil serta pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan, dikerenakan belum ada penelitian yang meneliti mengenai hal tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

(12)

jumlah karyawan dan lama usaha berdiri), jenis limbah, tingkat pengetahuan dalam pengelolaan lingkungan, dan pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model tingkat kepatuhan berbasis karakteristik sosial demografi pemilik usaha industri kecil di Kota Metro.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Sebagai masukan bagi para pelaku usaha industri kecil serta pemerintah dalam upaya pengelolaan lingkungan.

b) Sebagai bahan informasi untuk penelitian sejenis pada masa yang datang.

1.5. Kerangka Pemikiran

(13)

Menjadi sebuah harapan agar Kota Metro dapat menjadi kota dengan lingkungan yang terkelola dengan baik, menjadi kota yang bersih, nyaman untuk ditinggali, serta nyaman untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupan bahkan dapat menjadi kota yang menjadi pusat pendidikan dan pariwisata. Disisi lain makin bertambahnya jumlah usaha mikro dan kecil di Kota Metro yang diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Kota Metro menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan. Namun demikian usaha mikro dan kecil sebagai tulang punggung perekonomian mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mempunyai potensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pencemaran lingkungan ditimbulkan oleh limbah yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil. Berdasarkan kenyataan di lapangan masih banyak usaha mikro dan kecil yang belum mengelola limbahnya dengan baik dan benar. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dimiliki tentang teknologi pengelolaan limbah serta bahaya yang ditimbulkannya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu dengan segala keterbatasan yang ada, mereka masih melihat limbah sebagai sesuatu yang sudah tidak mempunyai nilai ekonomi. Padahal sesungguhnya dengan teknologi tepat guna, limbah yang dihasilkannya masih dapat diolah menjadi barang jadi lainnya sehingga memberi nilai tambah ekonomi dan sekaligus mengurangi beban pencemaran terhadap lingkungannya (Setiyono, 2004).

(14)

pengetahuan dan pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan.Kerangka pemikiran pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Mikro dan Kecil

Usaha mikro dan kecil yang meliputi definisi, dan jenis usaha mikro dan kecil dijelaskan lebih lanjut di bawah ini,

2.1.1. Definisi Usaha Mikro dan Kecil

Usaha Mikro Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikro) adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Adapun definisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM):

a. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(16)

dalam Undang-Undang ini.

c. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Kriteria Usaha Mikro menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 6, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memiliki kriteria sebagai berikut : Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta tidak temasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta. Ciri-ciri Usaha Mikro, yaitu: usaha produktif (Menurut Keputusan Menkeu No. 40/KMK.06/2003, tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil). Usaha pada semua sektor ekonomi yang dimaksudkan untuk dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan usaha.

(17)

BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM menggolongkan suatu usaha sebagai usaha kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per tahun. Untuk usaha menengah, batasannya adalah usaha yang memiliki omset antara Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per tahun. Berdasarkan definisi tersebut, data BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun 2002 menunjukkan populasi usaha kecil mencapai sekitar 41.3 juta unit atau sekitar 99.85 persen dari seluruh jumlah usaha di Indonesia, sedangkan usaha menengah berjumlah sekitar 61.1 ribu unit atau 0.15 persen dari seluruh usaha di Indonesia. Sementara itu persebaran UKM paling banyak berada di sektor pertanian (60 persen) dan perdagangan (22 persen) dengan total penyerapan tenaga kerja di kedua sektor tersebut sekitar 53 juta orang (68 persen penyerapan tenaga kerja secara total).

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, omzet adalah jumlah uang hasil penjualan barang (dagangan) tertentu selama suatu masa jual.

(18)

menggolongkan suatu usaha berdasarkan jumlah tenaga kerja. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 1-19 orang; usaha menengah memiliki pekerja 20-99 orang dan usaha besar memiliki pekerja sekurang-kurangnya 100 orang. Menurut Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) usaha mikro adalah usaha yang memiliki kurang dari 5 orang tenaga kerja. Jumlah industri/perusahaan, tenaga kerja dan nilai investasi di Kota Metro disajikan pada Tabel. 2.1.

Tabel.2.1 Rekapitulasi Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut Kecamatan di Kota Metro Tahun 2014

Sumber : Dinas Koperasi, 2014

2.1.2. Jenis Usaha Mikro, dan Kecil

Jumlah pabrik tempe yang banyak dan sebagian besar mengambil lokasi disekitar sungai ataupun selokan selokan guna memudahkan proses pembuangan limbahnya, akan sangat mencemari lingkungan perairan disekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena belum adanya upaya penanggulangan limbah. Proses produksi tempe, memerlukan banyak air yang digunakan untuk perendaman, perebusan, pencucian serta pengupasan kulit kedelai. Limbah yang diperoleh dari proses proses tersebut diatas dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Sebagian besar limbah padat yang berasal dari kulit kedelai, kedelai yang rusak dan Perdagangan Perindustrian Jasa Investasi

(19)

pelepasan kulit, sudah banyak yang dimanfaatkan untuk makanan ternak. Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air bekas rebusan kedelai masih dibuang langsung diperairan disekitarnya. Jika limbah tersebut langsung dibuang keperairan maka dalam waktu yang relatif singkat akan menimbulkan bau busuk dari gas H2S, amoniak ataupun fosfin sebagai akibat dari terjadinya fermentasi limbah organik tersebut. Adanya proses pembusukan, akan menimbulkan bau yang tidak sedap, terutama pada musim kemarau dengan debit air yang berkurang. Ketidakseimbangan lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis dari perairan yang setiap hari menerima beban limbah dari proses produksi tempe ini, akan dapat mempengaruhi kualitas air dan kehidupan organisme di perairan (Wiryani, 2010).

Pemahaman akan bahan pencemar yang terdapat dalam limbah cair yang berasal dari proses pengolahan kedelai menjadi tempe merupakan suatu hal yang penting. Pemahaman ini diperlukan untuk mengetahui tingkat pencemarannya serta mengkaji cara-cara pengelolaan limbah yang tepat (Wiryani, 2010)

(20)

mampu mengolah limbahnya sampai memenuhi baku mutu yang berlaku. Dengan kondisi seperti tersebut di atas, maka perlu disediakan teknologi yang sederhana yang dapat diterapkan oleh para pengusaha tanpa merasa terbebani sehingga pengolahan limbah dapat diterapkan dan dioperasikan dengan benar. Untuk menghindari terjadinya pencemaran akibat tibulnya limbah industri, maka diperlukan pengelolaan limbah dengan benar dan tentunya dengan biaya yang seminimal mungkin. Hal ini harus dilakukan mulai dari sumbernya dan proses produksi yang ada, yaitu dengan penerapan teknologi bersih (nir-limbah), minimalisasi limbah (re-use, recycle dan lain-lain), baru teknologi pengolahan limbah sebagai alternatif terakhir (Setiyono, 2004).

2.2 Ekonomi Pencemaran

(21)

Sebelum tahun 1960-an, masalah eksternalitas dianggap hal kecil dan bisa diselesaikan melalui negosiasi. Namun, setelah tahun 1960-an, para ahli melihat bahwa masalah eksternalitas adalah masalah yang cukup serius dan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari hukum termodinamika, sehingga pada priode inilah perhatian yang serius terdahap analisis ekonomi pencemaran (contad dan clark, 1987 dalam Fauzi, 2004).

(22)

Akumulasi ini terjadi jika jumlah bahan pencemar yang diproduksi melebihi kapasitas penyerapan lingkungan. Bahan-bahan logam berat yang masuk keperairan, misalnya, akan terakumulasi dan menjadi stok pollutan. Demikian juga sampah yang tidak bisa diurai oleh mikroba akan terakumulasi dan menjadi stok pullutan. Dari perspektif ekonomi, pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumber daya akibat berkurangnya kemampuan sumber daya secara kualitas dan kualitas untuk menyuplai barang dan jasa, juga dampak pencemaran tersebut terhadap kesehatan masyarakat (Fauzi, 2004).

a) Efisiensi Pencemaran

Oleh karena pencemaran merupakan fenomena yang bersifat perfasive (akan tetap ada) sebagai akibat dari proses aktivitas ekonomi, maka dari sudut prinsip ekonomi sumberdaya jalan yang terbaik dalam menangani pencemaran adalah bagaimana mengendalikan pencemaran tersebut ketingkat yang paling efisien. Dalam konteks ini, efensiensi yang dimaksud adalah yang bersifat Pareto improvement. Karna pencemaran menghasilkan utilitas yang negatif, Pareto improvement mengharuskan tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan dari pencemaran tersebut (Fauzi, 2004).

b)Pencemaran Aliran

Bagian ini akan terlebih dahulu membicarakan efisiensi pencemaran aliran. Misalnya, dalam proses produksi suatu barang (X) sebagiannya (α ) menghasilkan pencemaran sebesar Ś (dibaca zeta). Secara matematik, pernyataan diatas ditulis:

(23)

Dimana 0 < α < 1 adalah konstan. Andaikan pula manfaat yang diperoleh dari produksi X adalah B(X, Ś). Jika X adalah barang yang memberikan manfaat

positif, Ś dapat dianggap sebagai barang yang memberikan manfaat negatif.

Hubungan antara manfaat total dan produksi X sering di asumsi bersifat cembung (meningkat dengan peningkatan yang menurun terhadap X), sehingga manfaat marjinal terhadap X akan memiliki kemiringan yang negatif (Gambar 2.1). sementara itu, karna adanya hubungan linier antara pencemaran dan produk (X). Bagaimana dengan kerusakan yang di timbulkan oleh pencemaran, karna pencemaran menimbulkan kurusakan terhadap lingkungan, kerusakan tersebut diukur dalam unit rupiah, merupakan fungsi dari pencemaran atau :

) (2.1) Kurva manfaat total disajikan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Kurva Manfaat Total

Kurva penerimaan marjinal terhadap Ś juga berbentuk sama dengan kurva manfaat karjinal terhadap X, secara intuitif hal ini dapat dipahami karna manfaat ekonomi akan menurun seiring dengan meningkatnya pencemaran (dibaca secara horizontal dari kiri kekanan). Kurva penerimaan marjinal disajikan pada Gambar 2.2

X X

B(X)

(24)

Gambar. 2.2 Kurva Manfaat Total dan Manfaat Marjinal (Sumber : Fauzi, 2004)

Kurva manfaat marjinal terhadap pencemaran disajikan pada Gambar 2.3

Gambar. 2.3 Kurva Manfaat Marjinal terhadap Pencemaran (Sumber : Fauzi, 2004)

Kurva kerusakan yang diukur dalam pengukuran marjinal (perubahan kerusakan per perubahan pencemaran) disajikan pada Gambar 2.4

Ś Ś

Manfaat Marjinal terhadap Pencemaran

Manfaat marjinal

(25)

D (Rp)

Kerusakan Marjinal

Ś

Ś

Gambar. 2.4 Kurva Kerusakan Marjinal (Sumber : Fauzi, 2004)

Kurva kerusakan marjinal memiliki kemiringan (Slope) yang positif karena diasumsikan bahwa kerusakan (dalam ukuran rupiah) akan meningkat sejalan dengan peningkatan pencemaran.

Gambar 2.5 Tingkat Pencemaran yang Efisien (Sumber : Fauzi, 2004)

Dengan diperolehnya kurva manfaat marjinal dan kurva kerusakan marjinal, penggambungan kedua kurva tersebut disajikan pada Gambar 2.5 akan menghasilkan tingkat pencemerana yang efisien secara sosial. Sebagaimana tampak pada Gambar 2.5 tanpa adanya pengendalian, tingkat pencemaran yang

D (Rp)

D *

Ṥ*

Kerusakan Marjinal

Ṥ Manfaat

(26)

optimal ditunjukkan oleh perpotongan kurva manfaat dan kerusakan pada titik Ṥ*. Titik perpotongan ini disebut titik keseimbangan yang paling efisien secara sosial, karena jika Ṥ < Ṥ, manfaat marjinal akan lebih besar daripada kerusakan marjinal, sehingga tinggkat buangan industri pencemaran akan meningkat. Demikian juga jika Ṥ> Ṥ, manfaat marjinal akan lebih kecil daripada kerusakan marjinal yang menyebabkan industri mengurangi buangannya. Jadi keseimbangan tersebut dicapai hanya pada titik Ṥ= Ṥ.

c. Pencemaran Stock

Menganalisis aspek ekonomi pencemaran stock jauh lebih kompleks dibandingkan pencemaran aliran. Hal ini disebabkan karena selain pencemaran stock bersifat akumulatif, pencemaran ini juga bersifat intertemporal (terkait dengan perbedaan antar waktu) sehingga untuk menganalisisnya secara terperinci memerlukan pendekatan dinamik. Berikut ini adalah pendekatan analisis pencemaran stock yang didasarkan pada analisis yang dikenalkan oleh Kaller (1971), Conrad dan Clark (1987), dalam Fauzi (2004).

d. Kebijakan terhadap Pencemaran

(27)

efisiensi tersebut. Karena itu, suatu pendekatan pengendalian pencemaran melalui instrumen-instrumen tertentu perlu dilakukan. Instrumen tersebut berbasis pasar (Market Bassed) atau berupa perintah dan pengendalian (command and control).

Untuk memahami instrumen kebijakan pencemaran tersebut, terlebih dahulu kita memerlukan terminologi baru yang akan menggantikan peran kurva manfaat marjinal pada Gambar 2.2. terminologi yang dimaksud adalah biaya pengurangan pencemaran atau abatement cost, khususnya marjinal abatement cost (MAC). Jika misalnya pencemaran tersebut adalah aliran (flow) dari suatu industri yang mencemari perairan maka dalam operasinya bisa saja industri tersebut melepaskan banyak pencemaran ke perairan. Namun dengan menggunakan teknologi yang ada dan dibantu dengan pengelolaan yang baik, industri tersebut bisa saja mengurangi pencemaran melalui pengurangan jam operasi mengubah proses produksi, mengganti sumber energi dan berbagai alternative lainnya. Biaya untuk melakukan aktivitas tersebut disebut abatement cost karena aktivitas tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi pencemaran. Untuk keperluan analisis ekonomi pencemaran, akan lebih mudah jika kita menggunakan pengukuran marjinal, yakni marginal abatement cost atau MAC yang menggambarkan penambahan biaya akibat pengurangan satu unit pencemaran atau biaya yang bisa dihematkan jika pencemaran ditingkatkan sebesar satu unit.

Transferable Discharge Permit (TDP)

(28)

diperkenalkan oleh Dales (1968) ini pada prinsipnya memberikan hak kepemilikan sebagian (Particial Property Right), dalam hal ini untuk melepaskan pencemaran. TDP bekerja melalui mekanisme pasar karena dengan sistem yang bersifat transfrable, hak tersebut dapat diperjual belikan melalui mekanisme pasar yang berlaku. Jual beli dapat dilakukan oleh pelaku tunggal untuk industri yang berbeda atau pelaku-pelaku yang berbeda. Berbeda dengan pengendalian pencemaran melalui pajak yang berbasis harga, pengendalian bersistem TDP bekerja dengan basis kuantitas bahan pencemar yang dilepas. Dengan kata lain, TDP adalah semacam pengendalian kuantitas (quantity control) pencemaran. Untuk memberikan insentik kepada pelaku industri agar membeli izin, pemerintah menetapkan batas pencemaran maksimum yang diperolehkan sehingga menciptakan nilai kelangkaan (scarcity) lingkungan (Fauzi, 2004).

Pengendalian dengan Commend and Control (CAC)

(29)

air pada suatu sungai. Bentuk standar lainnya bisa saja dilakukan melalui standar teknologi atau technology-based standar (TBE) atau desain standar. Tipe standar ini pada intinya mengharuskan industri untuk mengadopsi teknologi yang mengurangi pencemaran (Fauzi, 2004).

2.3. Pengelolaan Lingkungan

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan benda tak hidup. Keberadaan lingkungan hidup sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Apabila terjadi kerusakan lingkungan hidup maka kehidupan manusia juga akan terganggu. Globalisasi dan reformasi membawa pengaruh yang besar terhadap kebijakan terhadap lingkungan. Adanya globalisasi dan reformasi merubah nilai dan pola pikir terhadap pengambilan kebijakan tentang lingkungan. Mengingat pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan manusia, pemerintah baik pusat maupun daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, peran serta masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup sangat dibutuhkan karena masyarakatlah yang secara langsung berhadapan dengan masalah lingkungan. Dengan program pembangunan yang berwawasan lingkungan diharapkan selain pembangunan itu sendiri berhasil juga lingkungan tidak mengalami penurunan kualitas (Sriyanto, 2007).

(30)

pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

Berdasarkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Purnaweni, 2014). Undang-undang lingkungan hidup antara lain berisi hak, kewajiban, wewenang dan ketentuan pidana yang meliputi berikut ini: Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut diatur dengan perundang-undangan. Barang siapa yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup diancam pidana penjara atau denda (Basri, 2014).

Prinsip pengelolaan lingkungan suatu wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan empat indikator POAC yaitu Planning, Organizing, Actuating dan Controlling (Asdak, 2004. dalam Purnaweni, 2014).

Beberapa konsep pengelolaan limbah yaitu, konsep produksi bersih (Cleaner Production) dan konsep zero waste merupakan suatu strategi untuk menghindari

(31)

sumber (source reduction), dan minimasi limbah (waste minimization) sering disertakan dengan istilah produksi bersih (Cleaner Production). Konsep produksi bersih berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah, dimana limbah merupakan salah satu indikator inefisiensi, karena itu usaha pencegahan tersebut harus dilakukan mulai dari awal (waste avoidance), pengurangan terbentuknya limbah (waste reduction) dan pemanfaatan limbah yang terbentuk melalui daur ulang (recycle). Keberhasilan upaya ini akan menghasilkan penghematan (saving) yang luar biasa karena penurunan biaya produksi yang signifikan sehingga pendekatan ini menjadi sumber pendapatan (revenue generator) (Ditjen IKM, 2007).

(32)

Pengolahan Limbah Cair

Limbah industri pangan merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan. Jumlah dan karakteristik air limbah industri bervariasi menurut jenis industrinya. Contoh untuk industri tahu dan tempe mengandung banyak bahan organik dan padatan terlarut. Untuk memproduksi 1 ton tahu atau tempe dihasilkan limbah sebanyak 3.000-5.000 Liter (Ditjen IKM, 2007).

Petunjuk Teknis Pengelolaan Limbah Industri Pangan Ditjen IKM Departemen Perindustrian (2007), sebagian besar limbah cair industri pangan dapat ditangani dengan mudah dengan sistem biologis, karena polutan utamanya berupa bahan organik, seperti karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin. Polutan tersebut umumnya dalam bentuk tersuspensi atau terlarut sebelum dibuang, ke lingkungan, limbah cair industri pangan harus diolah untuk melindungi keselamatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Tujuan dasar pengolahan limbah cair adalah untuk menghilangkan sebagian besar padatan tersuspensi dan bahan terlarut, kadang-kadang juga untuk penyisihan unsur hara (nutrien) berupa nitrogen dan fosfor. Secara umum, pengolahan limbah cair dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengolahan primer, pengolahan sekunder, dan pengolahan tersier.

(33)

Tabel. 2.2 Baku Mutu Air Limbah Pengolahan Kedelai

Sumber : Permen LH No.5 Tahun 2014

2.4. Konsep Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(34)

Pebreni (2012), pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ini tentunya tidak lepas dari campur tangan dari beberapa dimensi yaitu:

a. Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi Politik. Politik merupakan dimensi yang mendapat perhatian utama dalam bidang undang-undang, falsafah, teologi, dan sosial, terutama konsep tentang keadilan. Konsep keadilan menginginkan supaya setiap individu menerima apa yang wajar bagi dirinya. Perlu diingat bahwa keterlibatan individu dalam berbagai kedudukan dalam dimensi politik, merupakan syarat penting untuk dapat mencapai suatu tujuan.

(35)

c. Pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam dimensi sosial budaya. Sosial budaya ialah suatu konsep kehidupan sekelompok orang maupun beberapa kelompok yang membuat keputusan hidup bersama melalui usaha untuk memanfaatkan lingkungan hidup dalam rangka keperluan hidup bersama.

2.5 Teori Kepatuhan (compliance theory)

Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan.

2.5.1 Konsep Kepatuhan

Pengertian Kepatuhan dalam sebagai berikut: Sarfino (1990) di kutip oleh Smet B. (1994) mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain. Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degresi et al, 1998) dalam Suparyanto (2010).

A.Proses Perubahan Sikap dan Perilaku (teori Kelman)

(36)

menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi perilakunya sendiri.

A.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut (Niven, 2008) dalam Suparyanto (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan diantaranya adalah:

a. Pendidikan

(37)

b. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi (Azwar, 2007).

Pada penelitian tentang bagaimana kepatuhan Polandia terhadap European Environmental Policy (EEP) sebagai salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh European Union (EU). EEP dikeluarkan dengan tujuan untuk mengontrol negara anggota EU dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan dan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat EU. Polandia sebagai salah satu negara anggota yang bergabung dengan EU bersamaan dengan ketujuh negara Central and Eastern Europe (CEE) lainnya pada tahun 2004, berdasarkan ‘acquis

(38)

Penelitian ini menggunakan pendekatan rezim lingkungan internasional untuk melihat tingkat kepatuhan sebuah negara terhadap suatu kebijakan maupun perjanjian internasional, yang mana konsep kepatuhan terhadap rezim internasional digunakan dalam menganalisa kepatuhan Polandia dalam mengimplementasikan EEP. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Polandia dalam mengimplementasikan EEP. Kasus pelanggaran tersebut dibuktikan dengan sejumlah sektor yang tidak mencapai beberapa target dalam EEP. Sehingga Polandia dinilai tidak patuh terhadap EEP dikarenakan adanya ketidaktelitian dengan faktor penyebab ketidakmampuan dari segi ekonomi yang menjadi penghalang dalam mematuhi EEP. Polandia mempunyai keinginan yang tinggi dalam mematuhi EEP, namun ternyata mengalami kegagalan dalam mengimplementasikan EEP sehingga Polandia harus menerima sejumlah sanksi finansial yang dikeluarkan oleh European Court of Justice (ECJ) (Harinanda, 2014).

c. Usia

(39)

2.5.2 Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan

Pada penelitian Basri 2014, menunjukkan bahwa mayoritas pemilik perhotelan, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan fectory besar di Kota Pekanbaru memiliki tingkat kepatuhan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan berada pada tingkat “patuh” dengan perolehan presentase 58,77 s/d 71,93.

Sedangkan perkantoran memiliki persentase kepatuhan rata-rata sebesar 14, 04 dengan tingkat kepatuhan “tidak patuh” (Basri, 2014).

Pengukuran tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan dapat dilihat berdasarkan beberapa faktor: memiliki dokumen lingkungan, memiliki pengolahan limbah cair, memiliki pengolahan limbah padat, memiliki pengolahan limbah gas, memiliki unit IPAL, memiliki unit tpa, memiliki unit incenerator, memiliki unit pengolah akhir sampah, melakukan pemantauan air limbah, melakukan pemantauan udara emisi, melakukan pemantauan udara ambien, melakukan pemantauan air sungai, melakukan pemantauan air sumur (air tanah), melakukan pemantauan sosial lingkungan, melakukan pemantauan kesehatan lingkungan, memiliki personil pemantau lingkungan, melaksanakan pemantauan lingkungan, membuat laporan kondisi lingkungan 1 tahun terakhir dan melaporakan kondisi lingkungan ke instansi terkait (Basri, 2014).

2.6 Karakteristik Sosial Demografi

(40)

2.6.1 Usia

Usia menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah lama hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan. Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi

kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang

yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari

pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara

berfikir semakin matang (Notoatmodjo, 2007).

Menurut WHO (1993) dalam Susiwi (2003), perubahan-perubahan fisiologi karena umur antara lain adalah kompetisi fisik tubuh (masa tubuh, berat dan fungsi otot) yang berkaitan dengan kekuatan dan ketahan serta volume tubuh, perubahan kordiovaskular, sistem respirasi (kapasitas total paru), peribahan organ sensor (penglihatan dan pendengaran), dan perubahan sistem susunan saraf pusat. Kinerja fisik maksimum menurun kurang lebih 1,5% per tahun.

(41)

penurunan yang besar mejelang umur 50 tahun, terdapat juga pengkajian yang menunjukkan bahwa pelatihan dan pengalaman merupakan faktor penentu sehingga pekerja dengan usia 50 sampai 60 dapat mempertahankan tingkat kinerja (WHO,1993 dalam Susiwi 2003).

2.6.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin menurut kamus bahasa indonesia adalah sifat (keadaan) laki-laki atau perempuan. Menurut Chaffin dan Anderson (Susiwi, 2003), rata-rata wanita mempunyai kekuatan otot 66% lebih kecil daripada laki-laki. Menurut Messite dan Welch 1982 (Headpohl dan Clever, 1994) mengemukakan perbedaan ini terlihat terutama pada tulang, pada lumbar spinalis wanita kemampuan untuk menahan antara 15-20% lebih rendah daripada laiki-laki. Kekuatan otot lebih optimal di usia 20 tahun pada wanita dan 30 tahun pada laki-laki.

Pada salah satu penelitian menyimpulkan adanya perbedaan kekuatan fisik pada perempuan yang hanya 65% dari kekuatan laki-laki. Secara umum kapasitas kerja perempuan rata-rata sedikit 30% lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan lebih sesuai dan lebih baik pada pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan dan ketepatan (Susiwi, 2003).

2.6.3 Tingkat Pendidikan

(42)

Undang-Undang Republik Indonesia pasal 1 Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Sisdiknas, 2003, dalam Komalasari, 2014).

Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh sesorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Komalasari, 2015).

2.7 Konsep Sosial Kapital

Pemikiran mengenai capital social yang dibangun dari hasil studi empiris maupun kajian sosiologis dan ekonomis. Pemberdayaan kapital sosial tidak terlepas dari potensi sumber daya lokal yang meliputi aspek struktur dan kelembagaan lokal. Pembangunan sumber daya sosial sampai saat ini kurang memadai, yang terlihat dari lemahnya dukungan lingkungan kebijakan (policy environment) berupa regulasi (formal rules) dan dukungan politik pertanian (Najamudin, 2014).

(43)

pemberdayaan masyarakat lokal. Bahkan kontribusi kapital sosial sebanding dengan modal manusia. Artinya kapital sosial yang bersifat non fisik diyakini mampu menandingi peran kapital fisik. Pendapat itu tentunya kurang lengkap jika aspek kelembagaan, organisasi sosial, norma, kepercayaan maupun jaringan sosial tidak dianalisis secara detail dengan mengutarakan analisis mengenai peran masing-masing sumber kapital sosial itu. Bisa saja terjadi keragaman tingkat ketersediaan sumber sosial diantara individu, kelompok, atau dalam komunitas tertentu, yang didominasi oleh kontribusi jaringan kerja yang ada. Dengan demikian, peran jaringan kerja atau jaringan sosial yang tumbuh dalam komunitas lokal sangat mungkin memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakatnya (Najamudin, 2014).

(44)

Hasil penelitian menjabarkan bahwa penguatan sosial dapat dilakukan dengan mengembangkan skema-skema penguatan modal sosial, seperti peningkatan fungsi BPD, LKMD, Gapoktan, PKK, BUMDes, dan Koperasi. Penguatan sosial kapital dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga-lembaga sosial dengan memfokuskan pada penguatan aspek kepercayaan, mutual respect, dan mutual benefit, serta memperhatikan faktor budaya dan nilai-nilai yang berlaku.

Kelembagaan yang ada dimasyarakat tersebut dipandang sebagai modal sosial. Partisipasi masyarakat dalam kelembagaan-kelembagaan tersebut termasuk tinggi. Setiap kelembagaan memiliki fungsinya masing-masing dan masyarakat diharapkan dapat mengidentifikasi dan memanfaatkannya (Cahyono, dan Adhiatma, 2012).

(45)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain Penelitian menggunakan metode survai. Uji hipotesis menggunakan persamaan ordinal dengan model: (i) Memodelkan karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan (ii) Memodelkan profil industri kecil terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan, (iii) Memodelkan tingkat pengetahuan pemilik industri kecil terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan (iv) Memodelkan pengawasan terhadap pengaruh kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Dengan model tersebut, maka akan dapat diketahui hubungan dan pengaruh antara karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil, profil industri kecil, tingkat pengetahuan dan pengawasan terhadap kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan.

3.2. Waktu dan Tempat

(46)

3.3. Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut: Komputer, software Minitab versi.16, alat tulis, kuisioner (daftar pertanyaan) dan kamera.

3.4. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif untuk dapat mengetahui hubungan dan pengaruh variabel yang diteliti dengan kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dengan cara pengambilan sampel dari suatu populasi menggunakan kuisioner. Data diperoleh melalui survei dengan wawancara langsung menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan (kuisioner) serta melakukan observasi terhadap proses pengelolaan lingkungan.

3.4.1.Teknik Pengumpulan Data

(47)

Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data Primer

Untuk mengukur variabel, maka dibuat definisi operasional pada setiap variabel yang dijadikan sebagai indikator agar mudah melakukan koding pada saat entry data. Indikator dari variabel penelitian disajikan pada Tabel 3.2

Data yang dikumpulkan Sumber Data

Profil UMKM

Wawancara kepada pemilik Industri Kecil

Pengawasan

1. Pernah 2. Tidak Pernah

Wawancara kepada pemilik Industri Kecil

(48)

Tabel 3.2. Definisi Operasional

Data penelitian yang akan diambil berdasarkan jenis dan sumber data sekunder disajikan Tabel 3.3 di bawah ini,

Data yang dikumpulkan Sumber Data

Profil UMKM

 Aneka Olahan Makanan selain keripik bila : tahu, tempe, roti, selai pisang,

 Jenis kelamin : bila laki-laki/ perempuan

 Tidak Pernah bila : tidak pernah dilakukan pengawasan

 Tidak Patuh bila : nilai 0-24.99

 Patuh bila : nilai 25 – 49.99

(49)

Tabel 3.3. Jenis dan Sumber Data Sekunder

Data yang dikumpulkan Sumber

Jumlah dan Sebaran Industri Kecil Dinas Perindustrian Perdagangan

Koperasi dan UMKM Kota Metro

Nama dan Alamat Industri Kecil Dinas Perindustrian Perdagangan

Koperasi dan UMKM Kota Metro

Kajian tentang Kepatuhan Studi pustaka

Kajian tentang Pengawasan Studi pustaka

Kajian tentang Pengetahuan Studi pustaka

Kajian tentang Pencemaran Studi pustaka

Kajian tentang Pengelolaan Lingkungan Studi pustaka

Peraturan Perundangan tentang Pengelolaan Lingkungan

Studi pustaka

Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:

a) Persiapan : pengumpulan data sekunder mengenai jumlah dan alamat Industri Kecil

b) Melakukan survei ke lokasi industri kecil untuk memperoleh data primer dengan variabel yang telah ditentukan dengan pengelolaan lingkungan di lima kecamatan wilayah Kota Metro.

c) Melakukan analisis menggunakan software minitab versi.16

3.4.2. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi Penelitian

(50)

ke dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Metro Pusat, Kecamatan Metro Barat, Kecamatan Metro Timur, Kecamatan Metro Utara, dan Kecamatan Metro Selatan.

b. Sampel Penelitian

Teknik sampling yang digunakan menggunakan teknik probabiliti sampling. Probabiliti sampling adalah teknik sampling dimana setiap anggota populasi memiliki peluang sama dipilih menjadi sampel. Dengan kata lain, semua anggota tunggal dari populasi memiliki peluang tidak nol. Ada bermacam-macam metode probabiliti sampling dengan turunan dan variasi masing-masing, namun paling populer adalah Sampling Rumpun (Cluster Sampling). Populasi dibagi ke dalam kelompok kewilayahan kemudian memilih wakil tiap-tiap kelompok. Dengan menggunakan teknik klaster ini, lebih dapat menghemat biaya dan tenaga dalam menemui responden yang menjadi subjek atau objek penelitian. Teknik ini melibatkan pengambilan acak (dikocok) dari suatu populasi (Sugiyono, 2007). Sampel dalam penelitian ini adalah semua industri kecil baik kelompok industri pangan, maupun industri kerajinan sebesar 1.176, jumlah sebaran populasi industri kecil disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Rekapitulasi Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut Kecamatan di Kota Metro Tahun 2014

Sumber : Dinas Koperasi, 2014 Kecamatan

Bidang Usaha

TK

Industri Menengah Skala Usaha Perdagangan Perindustrian Jasa Investasi

(51)

Sampel dalam penelitian ini adalah usaha dengan skala mikro dan kecil se-Kota Metro yang tersebar pada 5 kecamatan dan 22 kelurahan pada bidang usaha perindustrian dengan jumlah sebesar 1176 usaha mikro dan kecil. Sampel yang akan dijadikan sebagai subyek penelitian ditentukan secara random dan dihitung dengan menggunakan rumus (Arikunto, 2000) yaitu sebagai berikut:

n

Keterangan

n : jumlah responden

N : jumlah total industri mikro dan kecil yang menjadi sampel

e : presisi 10%

n

n

n

n=

94

Dari perhitungan rumus di atas jumlah sampel dari kelima kecamatan didapatkan sebesar 94 industri mikro dan kecil. Kemudian di hitung sampel pada masing-masing kecamatan dengan rumus di bawah ini:

n

Keterangan

n : Jumlah sampel yang akan diambil pada setiap kecamatan N : Jumlah total populasi pada lima kecamatan

Ni : Jumlah populasi pada kecamatan ke (i) ni : Jumlah sampel pada lima kecamatan

(52)

Tabel 3.5. Jumlah Sampel pada Tiap Kecamatan di Kota Metro

No Kecamatan Jumlah Populasi Jumlah Sampel

1 Metro Selatan 79 8

2 Metro Barat 159 13

3 Metro Timur 245 19

4 Metro Pusat 298 24

5 Metro Utara 395 30

Total 1.176 94

Sumber : hasil perhitungan

Adapun peta wilayah pada lima kecamatan yaitu Kecamatan Metro Selatan, Kecamatan Metro Barat, Kecamatan Metro Timur, Kecamatan Metro Pusat dan Kecamatan Metro Utara terlampir. Dan data identitas pemilik usaha industri kecil terlampir

3.4.3. Variabel Penelitian

A. Variabel Penelitian

(53)

Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode statistika untuk menganalisis variabel terikat yang mempunyai skala ordinal yang terdiri atas tiga kategori atau lebih. Variabel bebas yang dapat disertakan dalam model dapat berupa data kategori atau kontinu yang terdiri atas dua variabel atau lebih (Yulianto, 2013). Variabel penelitian ini meliputi variabel penjelas dan variabel respon. Lebih lanjut akan diuraikan dalam bagian berikut.

B. Variabel Respon

Variabel respon dalam penelitian ini adalah kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Variabel respon sering juga disebut variabel terikat, sesuai dengan tujuan penelitian ini maka variable respon (Y) dalam penelitian ini adalah kepatuhan yang dikategorikan dalam tiga kategori yaitu sangat patuh, patuh dan tidak patuh. Jika pemilik industri kecil yang ke i memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan yang baik, tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan yang memadai, adanya proses pengolahan limbah yang menggunakan teknologi tepat guna maka dikategorikan sangat patuh.

(54)

Tabel. 3.6. Tingkat Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan

Memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan yang baik, tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan yang memadai, adanya proses pengolahan limbah yang menggunakan teknologi tepat guna

50 s/d 100

Y= 1 (Patuh)

Jika memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan yang cukup, tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan yang cukup, adanya proses pengolahan limbah yang menggunakan teknologi sederhana

25 s/d 49.99

Y= 0 (Tidak Patuh)

Jika tidak memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan, tidak tersedia sarana prasarana pengelolaan lingkungan, tidak adanya proses pengolahan limbah

0 s/d 24.99

Sumber : Penelitian Basri (2014) yang telah dimodifikasi

(55)

C. Variabel Penjelas

Pada penelitian ini variabel penjelas merupakan variabel yang sangat penting untuk diselidiki terhadap pengaruh atau dampaknya pada tingkat kepatuhan industri kecil dalam pengelolaan lingkungan adalah dikelompokkan ke dalam profil industri kecil (izin usaha, modal, omzet, lama usaha, jumlah karyawan, jenis usaha, dan jenis limbah) , karakteristik sosial demografi pemilik industri kecil (umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan) dan variabel pendukung lain adalah tingkat pengetahuan dan pengawasan.

(56)

Tabel 3.7. Subvariabel Penjelas, Simbol dalam Model dan Pemberian Skor

[D2_ JIMK_AKRP] =0 Jika Aneka Keripik; =0 Jika Lainnya

Aneka Olahan Makanan

[D2_ JIMK_AOM] =1 Jika Aneka Olahan Makanan Selain Keripik; =0 Jika Lainnya

Aneka Kerajinan

(57)

3.4.4. Analisis Data

a. Bentuk Model yang Digunakan dan Hipotesis yang Diajukan

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan dengan lima tahap dibawah ini:

Simbol lain mengacu pada Tabel 3.7 Kolom 3

b. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

H0: Peluang suatu industri kecil terhadap kepatuhan dalam pengelolaan

lingkungan tidak dipengaruhi secara nyata oleh satu pun variabel penjelas seperti yang telah dispesifikasi dalam model tersebut diatas [Atau: β1=β2=β3=β4=β5=... β16=0]

H1: Peluang suatu UMKM terhadap kepatuhan dalam pengelolaan

lingkungan dipengaruhi secara nyata oleh satu atau beberapa variabel penjelas seperti yang telah dispesifikasi dalam model tersebut diatas [Atau: β1 # β2 # β3 # β4 # β5 #... β16# 0]

3.4.5. Uji Hipotesis

(58)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian mengenai model tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan berbasis karakteristik sosial demografi pemilik usaha industri kecil di kota metro maka dapat disimpulkan bahwa :

1) Pengaruh variabel profil industri kecil yang meliputi: izin usaha, modal, omzet, lama usaha, jumlah karyawan, jenis usaha industri kecil, dan jenis limbah. Dari variabel tersebut yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kepatuhan pemilik usaha industri kecil dalam pengelolaan lingkungan adalah: izin usaha dan modal

2) Pengaruh variabel karakteristik sosial demografi yang meliputi: umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Dari variabel tersebut yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kepatuhan pemilik usaha industri kecil dalam pengelolaan lingkungan adalah: jenis kelamin

(59)

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran dapat diberikan adalah:

1) Karakteristik sosial demografi, seperti umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan dapat dijadikan dasar dalam menyusun rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Metro terkait dengan penguatan kapasitas para pemilik industri kecil. Dengan perencanaan yang mempertimbangkan karakteristik sosial demografi dapat memberikan hasil (output) dan dampak (impack) yang diharapkan sehingga tujuan dari perencanaan akan tercapai dan lebih tepat sasaran.

2) Pemilik usaha industri kecil yang memilik izin usaha pada umumnya sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran akan eksternalitas dibandingkan dengan pemilik usaha industri kecil yang tidak memilik izin usaha. Izin usaha dan modal dapat menjadi dasar kebijakan dalam merumuskan rencana kegiatan pada tata kelola pemerintahan maupun manajemen pengelolaan lingkungan. Meningkatkan tata kelola pemerintahan mulai dari kelurahan dan berkoordinasi dengan dinas terkait untuk dapat membina warganya dalam kegiatan ekonomi dan pengelolaan lingkungan. Menyusun kebijakan daerah dalam rangka manajemen pengelolaan lingkungan berupa peraturan daerah yang meneruskan amanat undang-undang tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan.

(60)

pemerintah dalam menjembatani pemasaran produk industri kecil sehingga dapat meningkatkan omzet industri kecil, dan meningkatkan keuntungan industri kecil. Dengan meningkatnya keuntungan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemilik usaha dalam menyediakan sarana prasarana pengelolaan limbah sisa hasil usahanya. Program BDC (Bussines Districk Center) sebagai salah satu program yang dicanangkan

oleh pemerintah pusat dalam membangun kemitraan dan menumbuh kembangkan industri kecil di Kota Metro kiranya dapat pula mempertimbangkan pentingnya pengelolaan lingkungan bagi pelaku usaha industri kecil sehingga manfaat dan eksternalitas dapat terjaga keseimbangannya pada titik yang efisien.

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktis, edisi revisi 2010. Jakarta : Rineka Cipta. https://teorionline.wordpress.com. Diakses pada tanggal 22 Maret 2015.

Azwar, 2007. Sikap Manusia dan Pengukurannya. Jakarta : PT. Rineka Cipta Baihaqi, I. 2009. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Sarung Tangan pada Petugas

Laboratorium Klinik di Cilegon Tahun 2009, FKM UI, Depok.

Basri, 2014, Tingkat Kepatuhan Pemilik Usaha dan atau Kegiatan dalam Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup di Kota Pekanbaru Provinsi Riau.Thesis Jurusan Sosiologi, Universitas Riau.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Metro. 2014. Profil Investasi Kota Metro Tahun 2014.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Metro, 2014. Selayang Pandang Kota Metro Tahun 2014.

Badan Pusat Statistik Kota Metro. 2014. Metro dalam Angka Kota Metro.

Cahyono, B dan Adhiatma, A 2012. Peran Modal Sosial dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Petani Tembakau di Kabupaten Wonosobo. Conference In Business, Accounting and Management (CBAM) 2012. Vol.1 No.1 Hal: 131-144.

Damayanti, A.2004. Analisis Risiko Lingkungan dari Pengolahan Limbah Pabrik Tahu dengan Kayu Apu (Pistia Stratiotes L), Joni Hermana dan Ali Masduqi. Jurnal Purifikasi, Vol.5, No.4, Oktober 2004 : 151-156 Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS. Surabaya.

Dillon, HS. Prasetyantoko, Budianto, Sugeng Bahagijo, S. 2012. Pembangunan Inklusif Prospek dan Tantangan Indonesia, Jakarta LP3ES.

Ditjen IKM, 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah. Departemen Perindustrian. Jakarta. http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner

(62)

Utama Jakarta.

Harinanda, N.D. 2014. Analisis Kepatuhan Polandia dalam Mengimplementasikan European Environmental Policy (eep), Universitas Andalas, Padang 2014. http://www.distrodoc.com/186504-analisis-kepatuhan-polandia-dalam-mengimplementasikan. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.

Komalasari, D. 2014. Definisi Tingkat Pendidikan https://www. .wordpress.com/definisi-tingkat-pendidikan. Diakses pada tanggal 12 Maret 2015.

Linda, (2012). Analisis Dampak Kredit Mikro terhadap Perkembangan Usaha Mikro di Kota Semarang. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang.

Najamudin, 2014. Penguatan Jaringan Sosial (Social Networks) dalam Pengembangan Sistim Usaha Masyarakat Kelurahan Gerantung Kabupaten Lombok Tengahtransformasi, Volume 10, Nomor 2, Juli-Desember 2014.

Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan Ilmu dan Seni. Jakarta.Rineka Cipta. Pebreni, R. 2012. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Pengelolaan

Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.

Purnaweni, H. 2014. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah. Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Undip Jurnal Ilmu Lingkungan. Volume 12 Issue 1: 53-65 (2014) ISSN 1829-8907.

Pranadji, T 2006. Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Studi Kasus: Desa-desa (Hulu DAS) ex Proyek Bangunan Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 24 No.2 : 30-39.

Rejekiningsih, T.W. (2004). Mengukur Besarnya Peranan Industri Kecil dalam Perekonomian di Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Dinamika Pembangunan (Jdp), Volume 1 (Nomor 2). Pp. 125-136. Issn 1829-7617.

(63)

Pembangunan ke Depan. Jurusan Geografi FIS-UNNES. Jurnal Geografi Volume 4 No. 2 Juli 2007.

Simanjuntak, L.H. 2008. Analisis Kebijakan Lingkungan dalam Pengelolaan Tata Ruang di Kota Pematangsiantar. Universitas Sumatra Utara.Medan.

Suparyanto. 2010. Konsep Kepatuhan.

http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/07/konsep-kepatuhan.html. Diakses pada tanggal 12 Maret 2015.

Susiwi, F. 2003. Gambaran Umum Kecelakaan Kerja di PT NKG Berdasarkan Laporan Kecelakaan pada Dinas Tenaga Kerja Serang Tahun 2002. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Sugiyono, 2007. Statistika untuk Penelitian. Cetakan Keduabelas, Alfabeta,

Bandung.http://asiabusinesscentre.blogspot.com/2012/07/teknik pengambilan-sampel.htm. Diakses pada tanggal 24 Maret 2015. Suhartini, Pengelolaan Lingkungan, Universitas Negeri Jogjakarta, 2008.

Thomas, R. L. 1997. Modern Ekonometrics: An Introduction. Addison-Wesley Longman Limietd. Ediburgh, England.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wiryani, E. 2010, Analisis Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe, Laporan Penelitian Lab. Ekologi Dan Biosistematik Jur. Biologi F MIPA. UNDIP Semarang.

(64)

MODEL TINGKAT KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN

LINGKUNGAN BERBASIS KARAKTERISTIK SOSIAL

DEMOGRAFI PEMILIK USAHA INDUSTRI KECIL

DI KOTA METRO

Oleh

FEBRIANA SUSIWI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas lampung

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(65)

MODEL TINGKAT KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN

LINGKUNGAN BERBASIS KARAKTERISTIK SOSIAL

DEMOGRAFI PEMILIK USAHA INDUSTRI KECIL

DI KOTA METRO

(Tesis)

Oleh

FEBRIANA SUSIWI

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(66)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1. Kerangka Pemikiran dalam Penelitian ... 9

2.1. Kurva Manfaat Total ... 18

2.2. Kurva Manfaat Total dan Marjinal ... 19

2.3. Kurva Manfaat Marjinal terhadap Pencemaran ... 19

2.4. Kurva Kerusakan Marjinal ... 20

2.5. Tingkat Pencemaran yang Efisien ... 20

4.1. Peta Wilayah Kota Metro ... 55

4.2. Piramida Penduduk Kota Metro Tahun 2013 ... 62

(67)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAKSI ……….………...…...

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... SANWACANA ... DAFTAR ISI ……….………...

DAFTAR TABEL ……….…...

DAFTAR GAMBAR ………...

Bab I. BAB.I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah ..……….………... 1

1.2. Rumusan Masalah ...………... 6

1.3. Tujuan Penelitian ...………... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Kerangka Pemikiran ... 7

BAB.II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Mikro dan Kecil (Industri Kecil) ...………... 10

2.1.1. Definisi Usaha Mikro dan Kecil (Industri Kecil) ... 10

2.1.2. Jenis Usaha Mikro dan Kecil ... 13

2.2. Ekonomi Pencemaran ....………...…...………... 15

(68)

2.5. Teori Kepatuhan ... 30

2.5.1. Konsep Kepatuhan ... 30

2.5.2. Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan ... 34

2.6. Karakteristik Sosial Demografi ... 34

2.6.1. Usia ... 35

2.6.2. Jenis Kelamin ... 36

2.6.3. Tingkat Pendidikan ... 36

2.7. Konsep Sosial Kapital ... 37

BAB. III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ...………... 40

3.2. Waktu dan Tempat ... 40

3.3. Bahan dan Alat ... 41

3.4. Metode Penelitian ... 41

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 44

3.4.3. Variabel Penelitian ... 47

3.4.4. Analisis Data ... 52

3.4.5. Uji Hipotesis ... 52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kota Metro ………….…... 53

4.1.1. Sejarah Kota Metro ... 53

4.1.2. Kondisi Geografis ... 54

4.1.3. Pendidikan ... 55

4.1.4. Pertanian ... 56

4.1.5. Pariwisata ... 56

4.1.6. Industri Perdagangan dan Jasa ... 56

4.1.7. Pertanian dan Perikanan ... 58

(69)

4.1.10. Transportasi ... 63 4.1.11. Rencana Tata Ruang Wilayah ... 63 4.2. Hasil Penelitian ... 67 4.2.1. Statistik Deskriptif Karakteristik Sosial Demografi Pemilik

Industri ...

Kepatuhan dalam Pengelolaan Lingkungan ...

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran dalam Penelitian
Tabel.2.1 Rekapitulasi Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)    Menurut Kecamatan di Kota Metro Tahun 2014
Gambar 2.1  Kurva Manfaat Total
Gambar. 2.2  Kurva Manfaat Total dan Manfaat Marjinal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat yang diperoleh dengan adanya penelitian tentang pengaruh modal, nilai produksi dan tingkat upah terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil di

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh persepsi keadilan dalam penerapan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak

Pernerintah sangat berperan dalam mengembangkan industri kecil yang berbasis kompetensi melalui kegiatan pendarnpingan khususnya dalam mengatasi ketersediaan bahan Baku yang

SULISTYANINGSIH. PENDAPATAN SENTRA INDUSTRI KECIL GENTENG PRES DITINJAU DARI ASPEK MODAL, TINGKAT PENDIDIKAN DAN JUMLAH TENAGA KERJA PADA INDUSTRI KECIL GENTENG “PRES” DESA

Berdasarkan hasil analisis data dari uji simultan, dapat diketahui bahwa variabel Pengetahuan Perpajakan dan Kepatuhan pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di

Variabel yang berpengaruh pada pengembangan industri kecil bidang tenun dan kerajinan di wilayah Surabaya untuk factor turbulensi lingkungan adalah ketrampilan tenaga

Penelitian bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh pada industri kecil keramik serta mengukur besarnya pengaruh tiap variabel tersebut terhadap penentuan faktor

11 Bimbim Maghriby, Dani Ramdani 2020 Pengaruh dari Kesadaran Diri Wajib Pajak dan Pengetahuan Perpajakannya Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Entitas Usaha Kecil UMKM Variabel