• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Komunikasi Keluarga Dalam Mempertahankan Identitas Etnik Remaja Bali (Studi Pada Remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Komunikasi Keluarga Dalam Mempertahankan Identitas Etnik Remaja Bali (Studi Pada Remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

COMMUNICATIONS STRATEGY IN A FAMILY TO KEEP THE ETHNIC IDENTITY OF BALI’S ADOLESCENTS. (STUDY ON BALI’S ADOLESCENTS AT BATARANILA, HAJIMENA, SOUTH LAMPUNG)

By

FAJRIATI MEUTIA

As the immigrant ethnic in Lampung, Bali ethnics is the minority ethnic in some part of Lampung, one of those is Bataranila housing complex. Bali’s identity is the unique ethnic which is tightly related with hinduism and the culture, that was different with the others ethnic in Bataranila that mostly consist of Islam. The differences of ethnic identity are probably influence the habitual pattern, attitude, values, culture of Bali’s adolescent. The research problems were how the forming process of adolescents ethnic identity and how communications strategy to keep the ethnic identity of Bali’s adolescents. The Purpose of this study were to know a forming process of ethnic identity and communications strategy in a family to keep the ethnic identity of Bali’s adolescents. The basis theory of this study are identity management theory (IMT) by Cupach and Imahori, social identity by Heneri Tajfel and ethnic identity development theory by Phinney. This study used qualitative methods. The results of this study was known that the more adolescents getting older the more ethnic identity of adolescents formed of themselves or in the other word called as a depersonalization process. In maintaining the ethnic identity of Bali’s adolescents, the role of parents were substansial enough to accompanying them and also active to have a communication interpersonal and intracultural to keep the values of ethnic indetity of themselves.

(2)

ABSTRAK

STRATEGI KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MEMPERTAHANKAN IDENTITAS ETNIK REMAJA BALI (STUDI PADA REMAJA ETNIK BALI DI PERUMAHAN BATARANILA, DESA HAJIMENA LAMPUNG

SELATAN) Oleh

FAJRIATI MEUTIA

Sebagai etnik pendatang di Lampung etnik Bali merupakan etnik minoritas yang tersebar di beberapa daerah di Lampung, salah satunya di perumahan Bataranila desa Hajimena Lampung Selatan. Identitas etnik Bali merupakan etnik unik yang kental dengan nilai agama Hindu dan kebudayaan, berbeda dengan etnik lainnya yang berada di Perumahan Bataranila yang mayoritas beragama Islam. Perbedaan identitas etnik dikhawatirkan berdampak pada perubahan pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya etnik Bali pada remaja Bali. Rumusan masalah Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja dan bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila. Tujuan untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali serta untuk mengatahui strategi dalam komunikasi keluarga untuk mempertahankan identitas etnik remaja Bali. Penelitian ini didukung oleh teori manajemen identitas (IMT) Cupach dan Imahori, identitas sosial oleh Henri Tajfel dan teori perkembangan identitas etnik oleh Phinney. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian adalah diketahui bahwa semakin bertambah usia remaja Bali maka semakin terbentuk identitas etnik pada diri remaja Bali atau disebut dengan proses depersonalisasi. Dalam mempertahankan identitas etnik remaja Bali peran orangtua cukup besar dalam mendampingi dan aktif dalam melakukan interaksi komunikasi antar pribadi dan intrabudaya untuk mempertahankan nilai-nilai etnik Bali di dalam diri remaja Bali

(3)

Oleh Fajriati Meutia

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI

Pada

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

Strategi Komunikasi Keluarga Dalam Mempertahankan Identitas Etnik Remaja Bali (Studi Pada Remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten

Lampung Selatan) (Skripsi)

Oleh: Fajriati Meutia

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

Halaman

(6)

DAFTAR ISI

2.3 Tinjauan Komunikasi Antar Pribadi ...14

2.3.1 Pengertian Komunikasi Antar Pribadi ...14

2.3.2 Bentuk-Bentuk Komunikasi Antar Pribadi ...16

2.3.3 Komponen-komponen komunikasi Antar Pribadi ...17

2.4 Tinjauan Komunikasi Keluarga ...19

2.4.1 Tipe-tipe Keluarga ...21

2.5 Tinjauan Identitas Etnik ...26

2.6 Tinjauan Etnik Bali dan Budaya Bali ...27

2.7 Tinjauan Awig-awig...30

2.8 Tinjauan Psikologi Remaja ...31

2.9. Landasan Teori...32

2.9.1Tinjauan Teori Manajemen Identitas ...32

(7)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian ...46

3.2 Fokus Penelitian ...47

3.3 Subyek dan Obyek Penelitian ...47

3.4 Informan Penelitian...49

3.5 Teknik Pengumpulan Data ...49

3.6 Sumber Data Dalam Penelitian ...51

3.7 Teknik Analisis Data...52

BAB IV GAMABARAN UMUM 4.1 Latar Belakang Perumahan Batranila Dan Lokasi ...55

4.2 Jumlah Penduduk Perumahan Bataranila...56

4.3 Jumlah Penduduk Menurut Umur ...56

4.4 Jumlah Penduduk Menurut Agama ...57

4.5Gambaran Etnis Masyarakat Perumahan Bataranila...58

4.6 Struktur Kepengurusan Perumahan Batranila ...58

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identitas Informan ...61

5.2 Data Informan ...63

5.3 Hasil Wawancara ...65

5.3.1 Hasil Wawancara dasar etnik Bali di perumahan bataranila ...65

5.4.1 Pembahasan pembentukan identitas etnik remaja Bali ...120

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu ...10

Tabel 4.1 Tabel Jumlah Warga di Bataranila ...56

Tabel 4.2 Tabel Usia Warga Bataranila ...56

Tabel 4.3 Tabel Agama Warga Bataranila ...57

Tabel 5.1 Data Informan ...64

Tabel 5.2 Hasil Wawancara proses adaptasi etnik Bali ...65

Tabel 5.3 Hasil Wawancara pemegang awig-awig diperumahan Bataranila ...68

Tabel 5.4 Hasil Wawancara landasan hidup peraturan agama Budaya yang digunaka etnik Bali dalam keseharian...70

Tabel 5.5 Hasil Wawancara relasi etnik Bali dengan alam dilingkungan Bataranila ...71

Tabel 5.6 Hasil Wawancara pada informan remaja Bali tentang pentingnya Identitas etnik pada remaja Bali ...74

Tabel 5.7 Hasil Wawancara pada orangtua tentang pentingnya membentuk identitas etnik remaja Bali...75

Tabel 5.8 Hasil Wawancara pada remaja Bali tentang Pengadopsian identitas etnik pada proses pembentukan identitas etnik remaja Bali ...78

Tabel 5.9 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai proses Pembentukan identitas pada remaja Bali ...82

Tabel 5.10 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai Strategi yang digunakan dalam membentuk Identitas etnik remaja Bali ...84

Tabel 5.11 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai Kedekatan remaja Bali dengan Orangtua dan keluarganya ...88

Tabel 5.12 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai Hal yang memperat hubungan keluarga Beretnik ...90

(9)

Tabel 5.15 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai instensitas Komunikasi remaja Bali dan orangtua dalam

Mengkomunikasikan identitas etnik ...99 Tabel 5.16 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai

Komunikasi keluarga dalam strategi Pemertahanan

identitas etnik remaja Bali oleh orangtua...102 Tabel 5.17 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai

Pentingnya identitas etnik bagi diri remaja Bali ...105 Tabel 5.18 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai

Penunjukan identitas etnik Bali di

Lingkungan tempat tinggalnya...108 Tabel 5.19 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai

Penunjukan identitas etik keluarga Bal

Lingkungan sekitar rumah...112 Tabel 5.20 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai

Tanggapan remaja Bali tentang identitas

Etnik yang dimilikinya ...115 Tabel 5.21 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai

Kerberhasilan strategi yang diterapkan pada

(10)
(11)
(12)
(13)

LAA TAHZAN

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemudahan.

” (

QS. Alam Nasyroh: 5)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan

tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap

kali kita jatuh." (Confusius)

Pekerjaan yang paling mulia adalah mengukir

senyuman bahagia di bibir kedua orangtua dan

meringkangkan bebannya.

(14)

PERSEMBAHAN

Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan hidayahnya, saya dapat menyelesaikan karya tulisku yang pertama ini.

Dengan penuh syukur, bangga dan bahagia kupersembahkan karya kecilku ini untuk:

Mamaku dan ayahku tercinta yang selalu kusayangi dan ku hormati di sepanjang hidupku

Adiku tercinta dan satu-satunya yang selalu ku sayangi Nadira Meutia

Serta saudara, sahabat dan teman-teman yang ku sayangi

Semoga karya kecilku ini berguna bagi banyak orang dan bukan menjadi karya tulisku yang terakhir, melainkan menjadi awal dari karya-karyaku lainnya dimasa

(15)

Penulis memiliki nama lengkap Fajriati Meutia.

Dilahirkan di Lampung, pada tanggal 2 September

1993. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara

dari pasangan drh. Azhar dan Mailani, SH.

Menempuh pendidikan di TK Pembina Kabupaten

Bengkalis Provinsi Riau, SDN 003 Tarakan

Kalimantan Timur, SMP Al-Kautsar Bandar

Lampung, SMA Al-Kautsar Bandar Lampung. Menjadi mahasiswa jurusan Ilmu

Komunikasi FISIP Universitas Lampung pada tahun 2011. Selama kuliah aktif

sebagai anggota HMJ Ilmu Komunikasi. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja

Nyata (KKN) di desa Bumi Asih, Palas, Lampung Selatan pada Januari 2014 dan

Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi

(16)

SANWACANA

Alhamdulillahhirobbil’alamin. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan karunia, berkah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan semangat. Skripsi ini dapat

diselesaikan tidak semata hanya berbekal pengetahuan dan kemampuan yang

dimiliki penulisi. Tanpa adanya dukungan, motivasi, bantuan dan semangat dari

berbagai pihak tidak mungkin skripsi ini bisa terselesaikan, maka dalam

kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa hormat dan terimakasih kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, Selaku dekan Fakultas IlmuSosial dan

Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu

Komunikasi.

3. Ibu Dr. Nina Yudha Aryanti, S.Sos, M.Si. selaku dosen pembimbing dan

pembimbing akademik, yang senantiasa meluangkan waktunya untuk

sabar membimbing saya, bertukar pikiran, berbagi banyak ilmu yang

bermanfaat. Saya sangat berterimakasih bu, atas ilmu, bimbingan,

(17)

yang membangun guna perbaikan skripsi saya menjadi lebih baik lagi.

5. Kedua orang tuaku tercinta, Azhar & Mailani, serta adikku tersayang

Nadira Meutia. Ku ucapkan terimakasih dari hati yang paling dalam atas

doa dan dukungan semangat penuh cinta yang diberikan dalam

menyelesaikan skripsi ini, aku sayang ayah, mama dan dek Dira.

6. Almarhumah nenek ku tersayang, nenek Jalisah yang sempat menemaniku

pada saat mengerjakan skripsi ini, walaupun dalam kondisi sakit tetap

memberikan doa dan dukungan dengan senyuman cantiknya, semoga

nenek bahagia disana bersama atok.

7. Mbak Lena dan Dila tersayang, terimakasih atas bantuan, doa dan

semangatnya buatku selama mengerjakan skripsi ini, selalu siap

mendengarkan keluh kesahku, dan motivasi yang bermanfaat buatku,

Love you sist.

8. Sahabat SMA tersayang Fatwa, Mizaany, Tanty, Annisa Ika, Lera, Yosi,

dan Puraka terimakasih atas doa, dukungannya, dan waktunya yang selalu

siap kapanpun dibutuhkan, aku sayang kalian semoga kita sukses

semuanya amin.

9. Yang tersayang cuyung-cuyungkuh Ayu, Hesti, Mayang, Lidya, Pipit, Ida,

Ade, Fikri, Syahid Dan Reza makasih yah untuk semangat, doa,

(18)

kapanpun dan dimanapun makasih yah bantuannya selama ini, aku sayang

kalian.

10. Temen-temen komsebelas Cita, Imel, Arum, Tere, Amel, Apin, Bowo, Aji,

Bang Jaya, Fajri, Manda, Bayu, Rizal, Yessy, Riksa, Riski, Hamham, Ami,

Ayu Agustina, Alif, Dimas, Novian, Fahriadli, Imam, Prita, Mifta, Rizka,

Fitri, Uwi, Adel, Hilda, Inka, Yazid, Day, Ageta, Sartika, Arta, Okta, Diki,

Nanang, Gigih, Yoga, Pije, Irwin, Sade, Meta, Satya, Shela, Teddy, Metal,

Ricky, Wahyu Eka, Vio, Uti, dan seluruh komsebelas yang sudah banyak

membantu selama masa perkuliahan dan masa-masa skripsi kita yang

makin akrab banget karena sering banget nungguin dosen bareng dan

berbagi informasi, terimakasih untuk masa kuliah yang paling seru

11. Keluarga KKN Desa Bumi Asih tahun 2011 Dina, Audi, Felis, Dian, Epi,

Eka, kak Egi, kak Edi dan kak Ekin. Terimakasih sudah menjadi orang

terdekat yang siap bahu membahu memberi pertolongan, kasih sayang,

dan kehangatan selayaknya keluarga, semoga kita selalu menjadi satu

keluarga yang hangat yang saling berbagi rasa sayang.

12. Kakak-kakak komunikasi, terutama untuk kak Dendi, mba Rina, dan

Ahong, yang mau direpotkan dengan berbagi informasi dan pengalaman

selama proses perkuliahan dan skripsi

13. Adik-adik komunikasi 2012, 2013, 2014, 2015, dst. terimakasih untuk

dukungan semangatnya selama ini, semoga kalian menjadi generasi yang

(19)

untuk penelitian ini terima kasih sudah ikut mendukung saya

15. Untuk orang-orang di sekeliling saya, yang tak bisa saya sebutkan

satu-satu yang telah memberikan semangat dan doa untuk kelancaran saya

dalam mengerjakan skripsi ini saya ucapkan terimakasih semoga Allah

membalas kebaikan kalian semua dengan rahmat dan berkah dari Allah

SWT amin.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi

kita semuan, amin.

Bandarlampung, 17 Desember 2015

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera,

tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang

dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut

membuat Lampung pada masa pemerintahan terdahulu sering didatangi oleh para

pedagang-pedagang yang berasal dari luar daerah Lampung, seperti daerah Pulau

jawa dan daerah-daerah lainya yang ada di Indonesia. Lampung yang berada di

ujung pulau Sumatera dahulunya di jadikan tujuan transmigrasi penduduk yang

berasal dari pulau Jawa dan pulau Bali. Program Transmigrasi tersebut membuat

etnik Jawa dan Bali sering di jumpai di daerah Lampung, dan begitu juga dengan

etnik Bali yang memiliki ciri khusus dan unik tersendiri dibanding dengan etnik

lainnya di daerah Lampung.

Awal mula kedatangan etnik Bali di daerah Provinsi Lampung diawali dari

program pemerintah yaitu transmigrasi, yang diadakan oleh pemerintah pada

tahun 1953 hingga puncaknya yaitu pada tahun 1963. Pada saat Gunung Agung

yang berlokasi di daerah kepulauan Bali meletus sebanyak dua kali pada 17 Maret

(21)

panen dan kelaparan yang disebabkan oleh rusaknya sawah-sawah di kawasan

meledaknya gunung tersebut dan krisis ekonomi sosial yang akhirnya

menyebabkan inflasi yang berlebihan.

Peristiwa meledaknya Gunung Agung tersebut menjadi momen terpenting bagi

masyarakat Bali Nusa yang berada di Nusa Penida untuk bertransmigrasi ke

Lampung, yang merupakan daerah Sumatera bagian selatan (Wirawan,A.A 2008:

32). Masyarakat Bali Nusa merupakan kalangan etnik Bali yang sudah terbiasa

untuk melakukan transmigrasi, pada saat itu masyarakat Bali Nusa terpaksa

melakukan transimgrasi karena terkena imbas dari meletusnya Gunung Agung.

Saat itu etnik Bali kekurangan pasokan bahan pangan dari daerah pusat yang

berada di kawasan sekitaran Gunung Agung, Hal tersebut membuat masyarakat

Bali Nusa juga mengikuti program transmigrasi bersama masyarakat Bali Agung

ke daerah Lampung.

Pada saat itu mereka sudah merasa yakin untuk bertransmigrasi ke Lampung,

faktor alam yang mendukung di daerah Lampung. Ekonomi dan faktor lainnya

yang tak kalah penting yaitu adanya kerabat-kerabat yang telah berada di

Lampung setelah transmigrasi pertama pada tahun 1953. Berbekal surat jalan dan

contact person para transmigrasi Bali Nusa bertransmigrasi ke tanah Sumatera.

Saat itu daerah yang dituju yaitu daerah Seputih Raman (Lampung Tengah), dan

Sidomulyo (Lampung Selatan) yang pada saat itu adalah lokasi terdekat dari

pelabuhan Panjang. Pada tahun 1968 munculah desa Balinuraga yang terletak di

Kabupaten Lampung Selatan, yang berawal dari banjar yang dikembangkan.

Kemudian pada tahun 1970 situasi etnik Bali di kawasan Balinuraga mulai

(22)

3

daerah asal yaitu Bali Nusa untuk mengajak keluarga bertransmigrasi ke daerah

Lampung.

Pada tahun 1980 juga Etnik Bali yang bertempat di Desa Balinuraga mulai

bertransimgrasi keluar dari desa Balinuraga ke daerah Lampung Timur dan

Sumatera Selatan (perbatasan Lampung). Masyarakat etnik Bali yang

bertransmigrasi keluar dari desa Balinuraga memiliki alasan yang mendasari

perpindahan tersebut diantaranya adalah lapangan pekerjaan, lingkungan tempat

tinggal dan alasan lainya. Awalnya warga Bali hanya ada di tiga Kabupaten di

Lampung. Kini warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di Lampung

dan jumlah total warga beretnik Bali di Lampung kini mencapai 1,1 juta lebih dan

saat ini sudah masuk generasi yang ketiga. Jumlah warga Bali terbesar ada di

Lampung Tengah, menyusul Lampung Timur dan Lampung Selatan. Di Lampung

Selatan memiliki beberapa titik daerah yang ditinggali oleh masyarakat etnik Bali

salah satunya Perumahan Bataranila yang berada di kecamatan Natar, dusun

Hajimena.

Hasil data prariset menunjukan bahwa masyarakat Bali di perumahan Bataranila

hanya berjumlah 106 orang dari 2.097 jiwa. Masyarakat perumahan Bataranila,

dari 106 orang beretnik Bali, dikelompokan menjadi 20 keluarga etnik Bali di

Perumahan Bataranila yang termasuk ke dalam kelompok minoritas, karena

Perumahan Bataranila ditinggali oleh masyarakat dari berbagai budaya. Dalam

kehidupan sehari-hari keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila berbaur

dengan masyarakat lainnya disekitar lingkungannya, begitu juga dengan remaja

beretnik Bali. Hal itu membuat identitas etnik remaja Bali di Perumahan

(23)

Bataranila. Banyaknya pengaruh dari luar etnik Bali membuat kekhawatiran akan

memudarnya identitas etnik remaja Bali di perumahan Bataranila, dan dapat

berdampak pada perubahan pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan

budaya masyarakat Bali. Bataranila merupakan perumahan yang sudah mulai

menganut sistem modern di dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berbeda jauh

dengan ciri khas etnik Bali yang selalu menjalankan kehidupan sehari-harinya

dengan kebudayaan yang berasal dari etnik mereka dan diturunkan dari leluhur

etnik Bali.

Penelitian ini tertuju pada keluarga asli beretnik Bali yang terdiri dari, Ayah dan

Ibu, serta anak berusia 11-22 tahun. Masa remaja merupakan waktu dimana masa

pencarian identitas dimulai. Pengertian identitas sendiri secara umum adalah

gambaran diri seseorang. Identitas juga terbagi dalam berbagai bentuk salah

satunya adalah identitas etnik. Spencer dan Dornbusch dalam Papalia (2008: 593)

menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan sesuatu yang rumit dan

membingungkan bagi remaja kelompok minoritas. Perbedaan bahasa, dan

stereotip kedudukan sosial dapat sangat mempengaruhi dalam membentuk konsep

diri remaja minoritas.

Etnik Bali merupakan etnik yang membagi kalangan mereka ke dalam empat jenis

kasta yang dibagi sesuai dengan garis keturunan. Kasta tersebut terbagi atas; kasta

Brahmana, kasta Ksatriya, kasta Waisya, kasta Sudra. Dalam penelitian ini, kasta

yang dimiliki oleh subyek penelitian adalah kasta Sudra yang lebih dominan

terdapat di Bali, dan kelas sosial yang paling rendah di dalam sistem kasta di Bali.

(24)

5

untuk awalan nama laki-laki dan Ni untuk awalan nama perempuan, setelah itu

baru diikuti nama Wayan, Made, Nyoman, Putu dan Ketut.

Remaja Bali dalam mempertahankan identitas etniknya memerlukan peran

keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan

pendidikan pertama bagi anak hingga berkembang menjadi remaja kemudian

dewasa. Keluarga berperan untuk memperkokoh nilai spritual dan budaya seperti

halnya dengan etnik Bali di Perumahan Bataranila lakukan dalam

mempertahankan identitas etnik remajanya. Peran anggota keluarga yang paling

berpengaruh dalam mempertahankan identitas etnik remaja adalah peran ayah dan

ibu.

Strategi diperlukan bagi orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya,

karena dengan adanya strategi diharapkan mudah bagi orangtua untuk

mengenalkan, menanamkan dan menganjarkan nilai-nilai budaya etnik, yang

identik dengan nilai religi sebagai dasar budaya. Orangtua beretnik Bali akan

membentuk identitas etnik remaja Bali dengan proses komunikasi dalam keluarga.

Keberhasilan peran orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya

ditentukan oleh strategi komunikasi yang digunakan. Dengan strategi ini, tujuan

keluarga atau orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anak akan lebih

mudah untuk dicapai.

Mempertahankan identitas etnik minoritas di dalam suatu lingkungan yang

memiliki keberagaman budaya bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu dengan

adanya strategi diharapkan mampu untuk tetap menjaga identitas etnik remaja

(25)

mengenal dan mempertahankan identitas etnik Balinya dan dapat melestarikan

budaya Bali sebagai salah satu budaya yang memiliki keunikan tersendiri di

Indonesia.

Peneliti memilih Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung

Selatan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan keluarga beretnik Bali di

Perumahan Bataranila merupakan kelompok etnik minoritas dibanding dengan

lingkungan tempat tinggal Etnik Bali lainnya. Di daerah sekitar perumahan

Bataranila seperti daerah Bandarlampung, hasil survei menunjukan bahwa etnik

Bali di daerah Bandarlampung mayoritas tersebar di daerah Labuhan Dalam dan

Wayhalim. Wilayah Labuhan Dalam dan Wayhalim sudah memiliki banjar (Desa

adat Bali atau Perkumpulan etnik Bali) sendiri, sedangkan etnik Bali di

Perumahan Bataranila belum membentuk banjar. sehingga butuh strategi bagi

keluarga beretnik Bali di perumahan Bataranila untuk mempertahankan

identitasnya di lingkungan masyarakat dengan beragam budaya. Bataranila juga

sudah menganut sistem kehidupan modern sehingga masyarakat sudah mulai

meninggalkan kebudayaan dalam kehidupannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan

(26)

7

2. Bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja

dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena

Kabupaten Lampung Selatan ?

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan

Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.

2. Untuk mengetahui strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada

remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa

Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.

1.1 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam

mengembangkan ilmu strategi komunikasi dalam keluarga dan

pemertahanan identitas etnik.

2. Secara Praktis

a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bersama dalam memahami konteks komunikasi dalam keluarga dan

(27)

b) Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi

pada tingkat srata satu (S1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.

3. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya

(28)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera,

tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang

dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut

membuat Lampung pada masa pemerintahan terdahulu sering didatangi oleh para

pedagang-pedagang yang berasal dari luar daerah Lampung, seperti daerah Pulau

jawa dan daerah-daerah lainya yang ada di Indonesia. Lampung yang berada di

ujung pulau Sumatera dahulunya di jadikan tujuan transmigrasi penduduk yang

berasal dari pulau Jawa dan pulau Bali. Program Transmigrasi tersebut membuat

etnik Jawa dan Bali sering di jumpai di daerah Lampung, dan begitu juga dengan

etnik Bali yang memiliki ciri khusus dan unik tersendiri dibanding dengan etnik

lainnya di daerah Lampung.

Awal mula kedatangan etnik Bali di daerah Provinsi Lampung diawali dari

program pemerintah yaitu transmigrasi, yang diadakan oleh pemerintah pada

tahun 1953 hingga puncaknya yaitu pada tahun 1963. Pada saat Gunung Agung

yang berlokasi di daerah kepulauan Bali meletus sebanyak dua kali pada 17 Maret

(29)

panen dan kelaparan yang disebabkan oleh rusaknya sawah-sawah di kawasan

meledaknya gunung tersebut dan krisis ekonomi sosial yang akhirnya

menyebabkan inflasi yang berlebihan.

Peristiwa meledaknya Gunung Agung tersebut menjadi momen terpenting bagi

masyarakat Bali Nusa yang berada di Nusa Penida untuk bertransmigrasi ke

Lampung, yang merupakan daerah Sumatera bagian selatan (Wirawan,A.A 2008:

32). Masyarakat Bali Nusa merupakan kalangan etnik Bali yang sudah terbiasa

untuk melakukan transmigrasi, pada saat itu masyarakat Bali Nusa terpaksa

melakukan transimgrasi karena terkena imbas dari meletusnya Gunung Agung.

Saat itu etnik Bali kekurangan pasokan bahan pangan dari daerah pusat yang

berada di kawasan sekitaran Gunung Agung, Hal tersebut membuat masyarakat

Bali Nusa juga mengikuti program transmigrasi bersama masyarakat Bali Agung

ke daerah Lampung.

Pada saat itu mereka sudah merasa yakin untuk bertransmigrasi ke Lampung,

faktor alam yang mendukung di daerah Lampung. Ekonomi dan faktor lainnya

yang tak kalah penting yaitu adanya kerabat-kerabat yang telah berada di

Lampung setelah transmigrasi pertama pada tahun 1953. Berbekal surat jalan dan

contact person para transmigrasi Bali Nusa bertransmigrasi ke tanah Sumatera.

Saat itu daerah yang dituju yaitu daerah Seputih Raman (Lampung Tengah), dan

Sidomulyo (Lampung Selatan) yang pada saat itu adalah lokasi terdekat dari

pelabuhan Panjang. Pada tahun 1968 munculah desa Balinuraga yang terletak di

Kabupaten Lampung Selatan, yang berawal dari banjar yang dikembangkan.

Kemudian pada tahun 1970 situasi etnik Bali di kawasan Balinuraga mulai

(30)

3

daerah asal yaitu Bali Nusa untuk mengajak keluarga bertransmigrasi ke daerah

Lampung.

Pada tahun 1980 juga Etnik Bali yang bertempat di Desa Balinuraga mulai

bertransimgrasi keluar dari desa Balinuraga ke daerah Lampung Timur dan

Sumatera Selatan (perbatasan Lampung). Masyarakat etnik Bali yang

bertransmigrasi keluar dari desa Balinuraga memiliki alasan yang mendasari

perpindahan tersebut diantaranya adalah lapangan pekerjaan, lingkungan tempat

tinggal dan alasan lainya. Awalnya warga Bali hanya ada di tiga Kabupaten di

Lampung. Kini warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di Lampung

dan jumlah total warga beretnik Bali di Lampung kini mencapai 1,1 juta lebih dan

saat ini sudah masuk generasi yang ketiga. Jumlah warga Bali terbesar ada di

Lampung Tengah, menyusul Lampung Timur dan Lampung Selatan. Di Lampung

Selatan memiliki beberapa titik daerah yang ditinggali oleh masyarakat etnik Bali

salah satunya Perumahan Bataranila yang berada di kecamatan Natar, dusun

Hajimena.

Hasil data prariset menunjukan bahwa masyarakat Bali di perumahan Bataranila

hanya berjumlah 106 orang dari 2.097 jiwa. Masyarakat perumahan Bataranila,

dari 106 orang beretnik Bali, dikelompokan menjadi 20 keluarga etnik Bali di

Perumahan Bataranila yang termasuk ke dalam kelompok minoritas, karena

Perumahan Bataranila ditinggali oleh masyarakat dari berbagai budaya. Dalam

kehidupan sehari-hari keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila berbaur

dengan masyarakat lainnya disekitar lingkungannya, begitu juga dengan remaja

beretnik Bali. Hal itu membuat identitas etnik remaja Bali di Perumahan

(31)

Bataranila. Banyaknya pengaruh dari luar etnik Bali membuat kekhawatiran akan

memudarnya identitas etnik remaja Bali di perumahan Bataranila, dan dapat

berdampak pada perubahan pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan

budaya masyarakat Bali. Bataranila merupakan perumahan yang sudah mulai

menganut sistem modern di dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berbeda jauh

dengan ciri khas etnik Bali yang selalu menjalankan kehidupan sehari-harinya

dengan kebudayaan yang berasal dari etnik mereka dan diturunkan dari leluhur

etnik Bali.

Penelitian ini tertuju pada keluarga asli beretnik Bali yang terdiri dari, Ayah dan

Ibu, serta anak berusia 11-22 tahun. Masa remaja merupakan waktu dimana masa

pencarian identitas dimulai. Pengertian identitas sendiri secara umum adalah

gambaran diri seseorang. Identitas juga terbagi dalam berbagai bentuk salah

satunya adalah identitas etnik. Spencer dan Dornbusch dalam Papalia (2008: 593)

menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan sesuatu yang rumit dan

membingungkan bagi remaja kelompok minoritas. Perbedaan bahasa, dan

stereotip kedudukan sosial dapat sangat mempengaruhi dalam membentuk konsep

diri remaja minoritas.

Etnik Bali merupakan etnik yang membagi kalangan mereka ke dalam empat jenis

kasta yang dibagi sesuai dengan garis keturunan. Kasta tersebut terbagi atas; kasta

Brahmana, kasta Ksatriya, kasta Waisya, kasta Sudra. Dalam penelitian ini, kasta

yang dimiliki oleh subyek penelitian adalah kasta Sudra yang lebih dominan

terdapat di Bali, dan kelas sosial yang paling rendah di dalam sistem kasta di Bali.

(32)

5

untuk awalan nama laki-laki dan Ni untuk awalan nama perempuan, setelah itu

baru diikuti nama Wayan, Made, Nyoman, Putu dan Ketut.

Remaja Bali dalam mempertahankan identitas etniknya memerlukan peran

keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan

pendidikan pertama bagi anak hingga berkembang menjadi remaja kemudian

dewasa. Keluarga berperan untuk memperkokoh nilai spritual dan budaya seperti

halnya dengan etnik Bali di Perumahan Bataranila lakukan dalam

mempertahankan identitas etnik remajanya. Peran anggota keluarga yang paling

berpengaruh dalam mempertahankan identitas etnik remaja adalah peran ayah dan

ibu.

Strategi diperlukan bagi orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya,

karena dengan adanya strategi diharapkan mudah bagi orangtua untuk

mengenalkan, menanamkan dan menganjarkan nilai-nilai budaya etnik, yang

identik dengan nilai religi sebagai dasar budaya. Orangtua beretnik Bali akan

membentuk identitas etnik remaja Bali dengan proses komunikasi dalam keluarga.

Keberhasilan peran orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya

ditentukan oleh strategi komunikasi yang digunakan. Dengan strategi ini, tujuan

keluarga atau orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anak akan lebih

mudah untuk dicapai.

Mempertahankan identitas etnik minoritas di dalam suatu lingkungan yang

memiliki keberagaman budaya bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu dengan

adanya strategi diharapkan mampu untuk tetap menjaga identitas etnik remaja

(33)

mengenal dan mempertahankan identitas etnik Balinya dan dapat melestarikan

budaya Bali sebagai salah satu budaya yang memiliki keunikan tersendiri di

Indonesia.

Peneliti memilih Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung

Selatan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan keluarga beretnik Bali di

Perumahan Bataranila merupakan kelompok etnik minoritas dibanding dengan

lingkungan tempat tinggal Etnik Bali lainnya. Di daerah sekitar perumahan

Bataranila seperti daerah Bandarlampung, hasil survei menunjukan bahwa etnik

Bali di daerah Bandarlampung mayoritas tersebar di daerah Labuhan Dalam dan

Wayhalim. Wilayah Labuhan Dalam dan Wayhalim sudah memiliki banjar (Desa

adat Bali atau Perkumpulan etnik Bali) sendiri, sedangkan etnik Bali di

Perumahan Bataranila belum membentuk banjar. sehingga butuh strategi bagi

keluarga beretnik Bali di perumahan Bataranila untuk mempertahankan

identitasnya di lingkungan masyarakat dengan beragam budaya. Bataranila juga

sudah menganut sistem kehidupan modern sehingga masyarakat sudah mulai

meninggalkan kebudayaan dalam kehidupannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan

(34)

7

2. Bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja

dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena

Kabupaten Lampung Selatan ?

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan

Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.

2. Untuk mengetahui strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada

remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa

Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.

1.1 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam

mengembangkan ilmu strategi komunikasi dalam keluarga dan

pemertahanan identitas etnik.

2. Secara Praktis

a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bersama dalam memahami konteks komunikasi dalam keluarga dan

(35)

b) Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi

pada tingkat srata satu (S1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.

3. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya

(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tinjauan pustaka harus mengemukakan hasil penelitian lain yang relevan dalam

pendekatan permasalahan penelitian seperti teori, konsep-konsep, analisa,

kesimpulan, kelemahan, dan keunggulan pendekatan yang dilakukan orang lain.

Peneliti diharapkan belajar dari peneliti lain, untuk menghindari duplikasi dan

pengulangan penelitian atau kesalahan yang sama seperti yang dibuat oleh peneliti

sebelumnya.

Penelitian sebelumnya berjudul Negosiasi Identitas Kultural Tionghoa Muslim

dan Kelompok Etnisnya Dalam Interaksi Antarbudaya. Penelitian ini dilakukan

oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2014. Akan tetapi penelitian

sebelumnya memfokuskan pemaknaan dan pengalaman Tionghoa muslim

terhadap identitas kulturalnya, dan bagaimana pengalaman menegosiasikannya.

Adapun keterangan dari penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel di bawah

(37)

Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu

1. Judul Negosiasi Identitas Kultural Tionghoa Muslim Dan Kelompok Etnisnya dalam Interaksi Antarbudaya

Penulis Isti Murfia

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponogoro, 2004

(38)

11

Deskripsi Penelitian :

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pemaknaan dan pengalaman Tionghoa muslim terhadap identitas

kulturalnya.

2. Bagaimana pengalaman menegosiasikannya.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah tipe kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi yang berupaya menjelaskan proses pengalaman Tionghoa muslim

dalam menegosiasikan identitas kulturalnya dengan kelompok etnisnya. Penelitian

ini juga didukung oleh Teori Pengelolaan Identitas, Teori Negosiasi Identitas dari

Stella Ting - Toomey, dan Co Cultural Theory. Selain ketiga teori tersebut,

terdapat penambahan konsep yaitu pengungkapan diri. Informan dalam penelitian

ini, terdiri dari Tionghoa muslim dan Tionghoa non muslim.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses negosiasi identitas kultural yang

terjadi dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengungkapkan dirinya.

Pengungkapan individu dalam proses menuju negosiasi identitas juga dipengaruhi

faktor pengungkapan diri itu sendiri, seperti: besar kelompok, topik, dan jenis

kelamin. Kemudian, faktor kondisi dari intercultural communication ini, seperti

kecenderungan interaksi dan pemahaman (lebih) terhadap suatu hal, ikut serta

memengaruhi penunjukkan identitas kultural. Selain itu, kecenderungan informan

dalam penelitian ini memiliki upaya pengolahan stereotip melalui sikap proaktif,

sehingga memberikan pemahaman yang cukup baik dalam memaknai Islam,

(39)

Akhirnya, pemahaman tersebut membantu mereka dalam proses negosiasi

identitasnya sesuai dengan tujuan yang mereka harapkan. Di antara ketiga

kategori tujuan yang diungkapkan Orbe dalam Co Cultural Theory, menunjukkan

bahwa kedua informan Tionghoa muslim berhasil mencapai tujuan akomodasi.

Satu informan Tionghoa muslim memilih tujuan asimilasi, dan satu informan

lainnya menetapkan tujuannya ke separasi. Kemudian, hal yang dianggap sebagai

penyebab terhambatnya negosiasi tidak terlalu memengaruhi karena minimnya

interaksi di antara kedua belah pihak.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada jenis teori yang

digunakan dimana menggunakan teori pengelolan identitas atau teori manajemen

identitas. walaupun berbeda pelopornya karena dalam penelitian ini peneliti lebih

memilih teori pengelolaan identitas Imahori sebagai landasan teori peneliti yaitu

etnik remaja Bali yang berada dalam kondisi lingkungan etnik minoritas.

2.2 Tinjauan Tentang Strategi

Strategi memiliki beberapa pengertian, seperti yang dijelaskan oleh beberapa para

ahli pada bukunya. Pada dasarnya kata strategi berasal dari kata strategos dalam

bahasa Yunani merupakan kata gabungan dari katastratosatau tentara denganego

atau pemimpin. Strategi memiliki landasan atau rancangan untuk mencapai

sasaran yang dituju atau diinginkan. Pada dasarnya strategi dapat diartikan

sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.

Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen untuk

mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Tujuan sentral strategi komunikasi R.

(40)

13

pertama adalahto secure understanding, memastikan bahwa komunikan mengerti

dan menerima pesan yang disampaikan. Jika komunikan sudah dapat mengerti

dan menerima, maka penerimaan itu harus dibina( to establish acceptance). Pada

akhirnya kegiatan di dimotivasikan(to motivate action).

Effendy (2000: 30) mengatakan bahwa kaitan antara strategi dengan sistem

komunikasi, jika kita membicarakan sistem komunikasi maka hal itu berkaitan

dengan sistem masarakat dan berbicara tentang manusia. Oleh sebab itu

pendekatannya dilakukan secara makro dan mikro baik prosesnya secara vertikal

maupun secara horizontal. Secara Makro sistem komunikasi menyangkut sistem

pemerintahan dan secara mikro menyangkut dengan nilai kelompok. Yang

dimaksud dengan sistem komunikasi mikro horizontal adalah komunikasi sosial

antar manusia dalam tingkatan status sosial yang hampir sama dan terjadi dalam

unit-unit yang relatif kecil. Lebih Lanjut, strategi komunikasi, baik secara makro

(planned multi-media strategy) maupun secara mikro (single communication

medium strategy) mempunyai fungsi ganda yaitu :

1. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif

dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil

optimal.

2. Menjembatani “cultural gap” akibat kemudahan diperolehnya dan

kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh yang

jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya.

Dalam perumusan strategi, khalayak memiliki kekuatan penangkal yang bersifat

(41)

kelompoknya. Di samping itu khalayak, tidak hanya dirangsang oleh hanya satu

pesan saja melainkan banyak pesan dalam waktu yang bersamaan. Artinya,

terdapat juga kekuatan pengaruh dari pesan-pesan lain yang datang dari sumber

(komunikator) lain dalam waktu yang sama, maupun sebelum dan sesudahnya.

Dengan demikian pesan yang diharapkan menimbulkan efek atau perubahan pada

khalayak bukanlah satu-satunya kekuatan, melainkan, hanya satu di antara semua

kekuatan pengaruh yang bekerja dalam proses komunikasi, untuk mencapai

efektivitas yang dituju. Hal ini mengartikan pesan sebagai satu-satunya yang

dimiliki oleh komunikator yang harus mampu mengungguli semua kekuatan yang

ada untuk menciptakan efektivitas. Kekuatan pesan ini, dapat didukung oleh

metode penyajian, media dan kekuatan kepribadian komunikator sendiri.

2.3 Tinjauan Komunikasi Antarpribadi 2.3.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai komunikasi yang dilakukan oleh

dua orang dengan tujuan untuk menyampaikan informasi secara langsung. Dalam

komunikasi antarpribadi orang yang terlibat di dalamnya memilki ikatan yang

dekat. Komunikasi antarpribadi juga merupakan komunikasi utama yang

menggambarkan individu yang saling terlibat bergantungan satu sama lain dan

memiliki pengalaman yang sama. Mulyana (2003: 24) menyatakan bahwa

komunikasi antara pribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap

muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara

langsung, baik verbal maupun non-verbal. Komunikasi antarpribadi merupakan

(42)

15

mempengaruhi. Devito dalam Liliweri (1991:13) mengungkapkan komunikasi

antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh

orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan yang Balik yang

bersifat langsung (Liliweri, 1991: 13).

Komunikasi antarpribadi sering disebut juga dengan dyadic communication yang

dimaksud adalah komunikasi antara dua orang, dimana terjadi kontak dalam

bentuk percakapan. Komunikasi antara pribadi juga bisa terjadi secara tatap muka

(face to face) atau dapat juga melalui media telepon. Ciri khas dari komunikasi

antarpribadi adalah sifatnya yang dua arah atau timbal Balik (two ways

communication). Komunikasi antarpribadi melalui tatap muka mempunyai suatau

keuntungan dimana melibatkan prilaku non-verbal, ekspresi fasial, jarak fisik,

prilaku paralinguistik yang sangat menentukan jarak sosial dan keakraban

(Liliweri, 1991: 67).

Fungsi dan tujuan dari komunikasi antarpribadi untuk berusaha meningkatkan

hubungan insani (human relation), menghindari dan mengatasi konflik-konflik

pribadi, mengurangi ketidakpastian serta berbagai pengetahuan dan pengalaman

dengan orang lain (Cangara, 2004: 33). Dengan melakukan komunikasi

antarpribadi manusia dapat membina dan meningkatkan hubungan yang baik

dengan individu lainnya. Fungsi komunikasi antarpribadi berpeluang sebagai alat

untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, sebagai komunikasi yang paling

lengkap dan paling sempurna karena komunikasi tatap muka (face to face)

membuat individu yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi menjadi lebih

akrab dengan sesamanya berbeda dengan komunikasi melalui media. Komunikasi

(43)

antarpribadi, dan hubungan antarpribadi. Komunikasi dianggap efektif apabila

jika orang lain memahami pesan yang disampaikan dengan benar, dan

memberikan respon sesuai dengan yang komunikator inginkan, komunikasi yang

efektif berfungsi sebagai membentuk dan menjaga hubungan baik antara individu,

menyampaikan pengetahuan atau informasi, mengubah sikap dan prilaku,

pemecah masalah dalam hubungan manusia, dan jalan menuju sukses. Dalam

semua aktivitas tersebut esensi komunikasi interpersonal yang berhasil proses

saling berbagi (sharing) informasi yang menguntungkan kedua belah pihak yaitu

komunikan dan komunikator (Suranto Aw, 2011: 80).

Dari definisi yang telah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang paling efektif.

Dalam mengubah sikap, pendapat, dan prilaku seseorang, hal ini disebabkan oleh

komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang dialogis atau adanya timbal

Balik yang secara langsung.

2.3.2 Bentuk-Bentuk Komunikasi Antarpribadi

Dalam (Suranto Aw, 2011: 93) bentuk dari komunikasi antarpribadi menggunakan

lambang-lambang sebagai media penyampaian pesan, yaitu:

1. Lambang verbal, biasanya berbentuk dalam bentuk bahasa, dengan bahasa

komunikator dapat menyampaikan sebuah pesan yang berupa informasi,

dan isi pemikirannya semua hal yang telah terjadi, yang sedang terjadi

maupun yang akan terjadi dengan baik kepada komunikannya.

2. Lambang non verbal, lambang yang dipergunakan dalam komunikasi yang

(44)

17

lainnya. Contohnya seperti gerak gerik tubuh, lirikan mata dan lainnya.

Pada dasarnya dengan isyarat non verbal

3. seseorang individu dapat memahami orang lain yang takut berbicara dan

menulis bahasanya untuk menyatakan sesuatu tentang dirinya.

2.3.3 Komponen-Komponen Komunikasi Antarpribadi

Menurut (Suranto, 2011: 7-9) komponen-komponen komunikasi antarpribadi

dikemukakan dari suatu asumsi bahwa proses komunikasi antarpribadi akan

terjadi apabila ada pengirim yang menyampaikan pesan informasi berupa lambang

verbal maupun non verbal kepada penerima dengan menggunakan medium suara

manusia (human voice), maupun dengan medium tulisan. Berdasarkan

asumsi-asumsi tersebut terdapat komponen-komponen komunikasi secara intergratif

saling berperan sesuai dengan karakteristik komponen itu sendiri, yaitu adalah:

1. Sumber atau komunikator, yaitu orang yang mempunyai kebutuhan untuk

melakukan komunikasi, baik yang bersifat emosional maupun

informasional dengan orang lain. Dalam konteks komunikasi antarpribadi

komunikator adalah individu yang menciptakan, memfokuskan dan

menyampaikan pesan.

2. Encoding adalah suatu aktivitas internal pada komunikator dalam

menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan

non-verbal. Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran ke

dalam simbol-simbol, kata-kata, dan lainnya sehingga komunikator merasa

(45)

3. Pesan adalah hasil dari encoding. pesan merupakan seperangkat

simbol-simbol baik verbal maupun non verbal atau gabungan keduanya. Pesan

merupakan unsur yang sangat penting yang disampaikan oleh komunikator

kepada komunikan.

4. Saluran merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke

penerima. Dalam komunikasi antarpribadi penggunaan saluran atau media

komunikasi dilakukan jika kondisi tidak memungkinkan untuk

dilaksanakannya komunikasi tatap muka. Pada prinsipnya sepanjang masih

dimungkinkan untuk dilaksanakan komunikasi secara tatap muka, maka

komunikasi tatap muka lebih efektif.

5. Penerima/komunikan adalah seseorang yang menerima, memahami dan

menginterprestasi pesan. Dalam komunikasi antarpribadi komunikan

bersifat aktif. Selain menerima pesan juga melakukan interaksi dan

memberikan umpan Balik. Berdasarkan umpan Balik inilah kita dapat

menilai keefektifan komunikasi antarpribadi tersebut.

6. Decoding merupakan kegiatan internal dalam penerima. Melalui indranya

penerima mendapatkan bermacam-macam data dalam bentuk mentah,

berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah kedalam

pengalaman-pengalaman yang mengandung makna secara bertahap.

7. Respon yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan

tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral dan negatif.

Respon positif apabila di sesuai dengan apa yang diinginkan oleh

(46)

19

tidak menerima keinginan komunikator dan respon negatif apabila

bertentangan dengan yang diinginkan oleh komunikator

8. Gangguan (noise) merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat

kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk hal yang bersifat

fisik dan psikis.

9. Konteks komunikasi, konteks komunikasi terbagi dalam tiga dimensi yaitu

ruang, waktu dan nilai.

2.4 Tinjauan Komunikasi Keluarga

Keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal dan

masing – masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi

saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri yang

dijalin oleh kasih sayang. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi

anak, dimana keluarga akan mengajarkan dan menanamkan nilai nilai sosial serta

budaya pada anak untuk pertama kali. (Djamarah, 2004: 16)

Keluarga juga berfungsi sebagai pembentuk identitas anak. Dimana dalam

penelitian ini keluarga merupakan sebuah kelompok etnik dalam skala kecil,

Keluarga beretnik Bali memiliki anggota yang terdiri dari etnik yang sama dan

komunikasi keluarga berperan dalam pembentukan identitas etnik remaja Bali dan

merupakan strategi yang digunakan untuk mempertahankan identitas etnik remaja

Bali.

Komunikasi keluarga dapat diartikan sebagai membicarakan segalanya dengan

(47)

Komunikasi keluarga juga dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dalam

keluarga ataupun masalah yang terjadi pada salah satu anggota keluarga untuk

ditemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Dengan adanya komunikasi,

permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan untuk

mengambil solusi terbaik.

C. H. Cooley dalam (Daryanto, 1984: 64) berpendapat bahwa keluarga sebagai

kelompok primer, tiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat

digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam

kelompok. Murdok dalam (Dloyana, 1995: 11) menyatakan bahwa keluarga

merupakan kelompok primer paling penting dalam masarakat, yang terbentuk dari

hubungan laki-laki dan perempuan. Perhubungan ini yang paling sedikit

berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga

dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu

dan anak-anak. Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di

dalam keluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer

merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai,

dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk

kehidupan sosial (Daryanto, 1984: 64).

Dalam komunikasi keluarga kejujuran dan keterbukaan menjadi dasar sebuah

hubungan. Adanya komunikasi dalam keluarga penting karena dapat

mengkokohkan fungsi‐fungsi keluarga yang mencakup delapan fungsi, mulai dari

fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi,

sosialisasi dan pendidikan, hingga fungsi ekonomi dan pembinaan lingkungan.

(48)

21

kepentingan saja, tetapi juga fungsi tersebut harus dengan upaya sistematis yang

melibatkan pihakpihak terkait termasuk keluarga sebagai sasaran. Orangtua

sebagai tokoh sentral dalam keluarga semestinya memiliki kesadaran dan

kepedulian untuk menjalankan fungsi‐fungsinya dengan baik, dengan komunikasi

di dalam keluarga (Daryanto, 1984:65).

2.4.1 Tipe-tipe Keluarga

Fitzpatrick telah mengidentifikasi empat tipe keluarga, yaitu konsensual, plularist,

protektif, dan laaissez faire (Morissan, 2013: 184-187). Masing-masing tipe

keluarga ini memiliki tipe orang tua tertentu yang ditentukan oleh cara-cara

mereka menggunakan ruang, waktu dan energi mereka serta derajat mereka dalam

mengungkapkan perasaan, dan penggunaan. Berikut adalah penjelasan tentang

tipe keluarga tersebut :

1. Tipe Konsensual

Tipe konsensualis, yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, dan

juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Keluarga tipe ini suka sekali ngobrol

bersama, tetapi pemegang otoritas keluarga, dalam hal ini orang tua adalah pihak

yang membuat keputusan. Keluarga jenis ini sangat memnghargai komunikasi

secara terbuka, namun tetap menghendaki kewenangan orang tua yang jelas.

Orang tua tipe ini biasanya sangat mendengarkan apa yang dikatakan

anak-anaknya, dan berupaya menjelaskan alsan keputusan itu agar anak-anak mengerti

(49)

Orang tua yang berada dalam tipe keluarga kosensual ini cenderung tradisional

dalam hal orientasi perkawinannya. Ini berarti mereka cenderung konvensional

dalam memandang lembaga perkawinan dengan lebih menekankan pada stabilitas

dan kepastian daripada keragaman dan spontanitas. Mereka memilih rasa saling

ketergantungan yang besar dan sering menghabiskan waktu bersama. Walaupun

mereka tidak tegas dalam hal perbedaan pendapat, tetapi mereka tidak

menghindari konflik. Menurut Fitzpatrick, istri dengan orientasi perkawinan

tradisional suka menggunakan nama suaminya dibelakang namanya, suami atau

istri dengan orientasi perkawinan tradisional ini memiliki perasaan yang sangat

sensitif terhadap perselingkuhan dan mereka sangat sering bersama-sama. Mereka

kerap merancang jadwal kegiatan bersama dan berusaha menghabiskannya

sebanyak pekerjaan mereka masing-masing.

Riset menunjukan tidak terdapat banyak konflik dalam tipe perkawinan

tradisional karena kekuasaan dan pengambilan keputusan dibagi-bagi menurut

norma-norma yang biasa berlaku. Suami, misalnya, berwenang mengambil

keputusan-keputusan tertentu, sedangkan istri memiliki kewenangan untuk

mengambil keputusan dibidang lainnya. Pembagian kewenangan ini menyebabkan

negoisasi tidak terlalu dibutuhkan atau dengan kata lain, terdapat sedikit

kebutuhan untuk bernegoisasi sehingga tidak terdapat banyak konflik yang

disebabkan perbedaan pendapat. Namun, pada saat yang sama, terdapat sedikit

dorongan untuk perubahan tegas satu sama lainnya, tetapi masing-masing

pasangan cenderung mendukung keinginan masing-masing demi kebaikan

(50)

23

Pasangan tradisional sangat ekspresif dan terbuka dalam mengapa mereka

menghargai komunikasi terbuka yang menghasilkan tipe keluarga konsensual ini.

2. Tipe Plularistis

Tipe plularistis, yaitu keluarga yang saling melakukan percakapan, dan memiliki

kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga tipe ini sering sekali berbicara secara

terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusannya

masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak mereka karena

setiap pendapat dinilai berdasarkan ada kebijakannya, yaitu pendapat mana yang

terbaik, dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan.

Suami dan istri berasal dari tipe kelurga plularistis cenderung independen dalam

hal orientasi perkawinannya karena mereka memiliki pandangan yang tidak

konvesioanl (nonkonvesional). Sebagai suami atau istri yang independen maka

mereka tidak terlalu mengandalkan pasangannya dalam banyak hal. orangtua

cenderung mendidik anak-anak mereka untuk berpikir secara bebas. Walaupun

pasangan suami istri tipe ini juga sering menghabiskan waktu bersama, namun

mereka menghargai otonomi masing-masing dengan memiliki ruangan terpisah di

rumah, untuk mengerjakan tugas masing-maisng. Mereka memiliki minat dan

teman mereka masing-masing yang terpisah dengan minat dan teman bersama.

Karena tipe keluarga plularistis memiliki pandangan yang tidak konvesional,

maka pasangan independen semacam ini akan terus-menerus melakukan

negoisiasi. Pasangan independen biasanya memiliki banyak konflik. Suami atau

istri saling berebut kekuasaan. Mereka sering menggunakan berbagai macam

(51)

argumen masing-masing. Sebagaimana pasangan tradisional, pasangan

independen juga bersifat ekspresif. Mereka akan menanggapi setiap petunjuk

nonverbal pasangannya, biasanya memahami pasangannya dengan baik dan

menghargai komunikasi yang terbuka.

3. Tipe Protektif

Tipe protektif, yaitu keluarga yang jarang melakukan percakapan, namun meiliki

kepatuhan yang tinggi. Jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga, tetapi

sedikit komunikasi. Orang tua tipe dari keluarga ini tidak melihat alasan penting

mengapa mereka harus harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau

ngobrol. Karena alasan inilah orang tua atau suami istri semacam ini

dikategorikan sebagai ‘terpisah’ (seperate) dalam hal orientasi perkawinannya.

Pasangan semacam demikian cenderung tidak yakin mengenai peran dan

hubungannya. Mereka Memiliki padangan konvensional dalam hal perkawinan,

tetapi mereka tidak saling bergantung dan tidak terlalu sering menghabiskan

waktu bersama. Fitzpatrick dalam (morissan, 2013: 186) menyebut pasangan ini

sebagai emotionally divorced (bercerai secara emosional).

Suami istri pada tipe ini memiliki sifat gigih dalam mempertahankan

pendapatkan, tetapi konflik tidak bertahan lama karena mereka cepat menarik diri

dari konflik. Mereka tidak mampu mengelola tindakan mereka untuk waktu yang

cukup lama untuk mempertahankan konflik. Upaya mereka untuk mendapatkan

kepatuhan jarang sekali menggunakan daya tarik hubungan, tetapi lebih sering

mengemukakan hal-hal buruk yang akan terjadi jika pasangan mereka tidak patuh.

(52)

25

banyak pertanyaan, tetapi jarang sekali memeberikan saran. Mereka tidak

memiliki sifat ekspresif sehingga tidak memahami perasaan pasangan mereka

dengan baik.

4. Tipe Laissez-faire

Tipe yang jarang melakukan percakapan dan juga memiliki kepatuhan yang

rendah laissez-faire, lepas tangan dengan keterlibatan rendah. Anggota keluarga

dari tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakan anggota keluarga

lainnya, karena tidak ingin membuang wkatu mereka untuk membicarakannya.

Suami istri dari tipe keluarga ini cenderung memiliki orientasi perkawinan

campuran (mixed), artinya mereka tidak memiliki pikiran yang sama untuk

menjadi dasar bagi mereka untuk berinteraksi. Mereka memiliki orientasi yang

merupakan kombinasi dari orientasi terpisah dan independen atau kombinasi

lainnya.

Sebenarnya tipe keluarga semacam ini cukup banyak ditemui di masarakat.

Diketahui dalam (Morissan, 2013:187) sekitar 40 persen dari keseluruhan

pasangan yang menjadi objek penelitian Fitzpatrick menunjukan sejumlah

kombinasi dari tipe-tipe: terpisah-tradisional, tradisional-independen, atau

independen-terpisah. Pada dasarnya, pasangan tipe ini memiliki sifat yang lebih

kompleks dari pasangan yang telah kita bahas sebelumnya. Pada akhirnya,

kesimpulan yang dapat kita tarik dari teori ini adalah bahwa setiap keluarga

memiliki perbedaan dalam hal kebersamaan (togetherness) dan jarak pemisah

(53)

2.5 Tinjauan Identitas Etnik

Istilah “etnik” berasal dari bahasa yunani kuno, yaituethnosyang berarti sejumlah

orang yang “berbeda” yang tinggal dan bertindak bersama-sama. Kelompok etnik

dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok masarakat yang tinggal disuatu

negara yang memiliki budaya, sejarah, mata uang, kepercayaan dan norma yang

berbeda dengan budaya nasional negara tersebut. Sedangkan identitas sendiri

merupakan konsep abstrak, kompleks dan dinamis. Tiny Tomey dalam (Samovar,

2010: 187) beranggapan bahwa identitas merupakan gambaran seorang individu

dan konsep dari individu yang direfleksikan. Pada dasarnya identitas itu sendiri

merujuk kepada pandangan reflektif pada pandangan tentang diri sendiri maupun

persepsi orang lain tentang gambaran diri sendiri.

Isajiw, W.W. (1999: 413) menerangkan bahwa identitas etnik mengacu pada

identifikasi dan pengalaman etnik pada tingkat individu, dimana tiap-tiap individu

berbagai dan merasakan hal yang sama dan beda budaya yang ada sekarang dan

masa lalu. Dalam hal ini kebudayaan adalah sebuah hal yang penting dari identitas

etnik dan tidak hanya mengacu pada adat/kebiasaan yang berbeda, kepercayaan

bahasa dan mengidentifikasi dengan pengalaman unik dari sebuah kelompok.

Dalam definisi lainnya identitas etnik atau disebut juga etnisitas, berasal dari

sejarah, tradisi, warisan, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah dan bahasa yang

sama. Masarakat yang memiliki etnik yang sama di daerah tempat perpindahan

akan membentuk komunitas etniknya sendiri. Pada komunitas etnik ini, identitas

etnik cenderung tetap kuat. Hal ini dikarenakan praktik, kepercayaan, dan bahasa

dari bahasa tradisional yang dipertahankan dan dipelihara (Samovar, 2010: 189).

(54)

27

dalam (Rahardjo, 2005: 1-2) mendefinisikan identitas kultural sebagai perasaan

(emotional significance) dari seseorang untuk turut memiliki (sense of belonging)

atau berafiliasi terhadap kultur tertentu.

Aspek internal dari identitas etnik mengacu pada gambaran, ide, sikap, perasaan,

dan termasuk empat dimensi seperti: aktif, kepercayaan (fiducial),

kesadaran/pengertian(cognitive), dan moral.

2.6 Tinjauan Etnik Bali dan Budaya Bali

Manusia Bali adalah manusia etnik Bali, yaitu sekumpulan orang-orang yang

memiliki kesadaran tentang kesatuan budaya Bali, bahasa Bali dan kesatuan

agama Hindu. Etnik Bali memiliki emosi etnosentris keBalian relatif lebih kuat,

dan sifat lain dari etnik Bali yaitu terbuka, ramah dan luwes, jujur, kreatif dan

estetis, kolektif, kosmologis, religius, dan moderat. Manusia Bali memiliki

keyakinan ajaran agama yang kompleks. Keyakinan terhadap agama Hindu

melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya, kesenian, dan lain sebagainya

yang memiliki karakteristik yang khas, yang merupakan perpaduan antara tradisi

dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik tersebut mewujudkan diri

kedalam berbagai konsepsi, aktivitas sosial, maupun karya fisik orang Bali

Dalam kehidupan kesehariannya, perilaku etnis Bali juga mendasarkan pada

nilai-nilai Agama Hindu dan falsafahTri Hita Karana. Kebudayaan Bali sesungguhnya

menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan

manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan),

dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam

(55)

ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab

kesejahteraan Tiga unsur tersebut (Institut Hindu Dharma, 1996:3), yaitu :

1. Sanghyang

2. Jagatkarana(Tuhan SangPencipta)

3. Bhuana(alam semesta)

4. manusa (manusia)

Secara umum dapat dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti

bahwa bahwa kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya dapat terwujud

bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur tuhan, manusia, dan

alam di atas, yaitu sebagai berikut :

1. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik

sebagai individu maupun kelompok.

2. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

3. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana tiada lain

adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai

ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai

ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia

dengan Sanghyang Jagat Karana atau Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai

kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik

Gambar

Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu
Tabel 1. Jumlah warga di Bataranila
Tabel 3. Agama Warga Bataranila

Referensi

Dokumen terkait

笔者跟 Pratama 基督教小学校长联系

 Semua model salah karena mereka selalu lebih sederhana dari kenyataan, dan dengan demikian beberapa fitur dari sistem kehidupan nyata bisa disalahtafsirkan atau diabaikan

Untuk lebih mempermudah pegawas, maka data absensi pegawai yang ada dalam PC dapat dicetak tanpa melihat LCD atau tampilan peraga pada alat tersebut. Sencer Yeralan,

Perhitungan Penentuan Bobot Jenis Pada Minyak Daun

Selama penulisan tugas akhir penulis banyak menerima bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, teristimewa kepada kedua Orangtuaku tercinta, Ayahanda Junjungan Hasugian dan

PRESENTED IN TIE-ALLSAW Int ernat ional Conference/ UNIVERSITAS GALUH 2013 Promoting Reflective Learning in Microteaching Class through Self and Peer Assessments.. Lusi Nurhayati

Pengawasan Teknis Pengembangan Pengelolaan Daerah Rawa Dalam Rangka Pengendalian Banjir Kegiatan II. Pengembangan Pengelolaan

DINAS CIPTA KARYA KABUPATEN TANGERANG Gedung Lingkup Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten