COMMUNICATIONS STRATEGY IN A FAMILY TO KEEP THE ETHNIC IDENTITY OF BALI’S ADOLESCENTS. (STUDY ON BALI’S ADOLESCENTS AT BATARANILA, HAJIMENA, SOUTH LAMPUNG)
By
FAJRIATI MEUTIA
As the immigrant ethnic in Lampung, Bali ethnics is the minority ethnic in some part of Lampung, one of those is Bataranila housing complex. Bali’s identity is the unique ethnic which is tightly related with hinduism and the culture, that was different with the others ethnic in Bataranila that mostly consist of Islam. The differences of ethnic identity are probably influence the habitual pattern, attitude, values, culture of Bali’s adolescent. The research problems were how the forming process of adolescents ethnic identity and how communications strategy to keep the ethnic identity of Bali’s adolescents. The Purpose of this study were to know a forming process of ethnic identity and communications strategy in a family to keep the ethnic identity of Bali’s adolescents. The basis theory of this study are identity management theory (IMT) by Cupach and Imahori, social identity by Heneri Tajfel and ethnic identity development theory by Phinney. This study used qualitative methods. The results of this study was known that the more adolescents getting older the more ethnic identity of adolescents formed of themselves or in the other word called as a depersonalization process. In maintaining the ethnic identity of Bali’s adolescents, the role of parents were substansial enough to accompanying them and also active to have a communication interpersonal and intracultural to keep the values of ethnic indetity of themselves.
ABSTRAK
STRATEGI KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MEMPERTAHANKAN IDENTITAS ETNIK REMAJA BALI (STUDI PADA REMAJA ETNIK BALI DI PERUMAHAN BATARANILA, DESA HAJIMENA LAMPUNG
SELATAN) Oleh
FAJRIATI MEUTIA
Sebagai etnik pendatang di Lampung etnik Bali merupakan etnik minoritas yang tersebar di beberapa daerah di Lampung, salah satunya di perumahan Bataranila desa Hajimena Lampung Selatan. Identitas etnik Bali merupakan etnik unik yang kental dengan nilai agama Hindu dan kebudayaan, berbeda dengan etnik lainnya yang berada di Perumahan Bataranila yang mayoritas beragama Islam. Perbedaan identitas etnik dikhawatirkan berdampak pada perubahan pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya etnik Bali pada remaja Bali. Rumusan masalah Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja dan bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila. Tujuan untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali serta untuk mengatahui strategi dalam komunikasi keluarga untuk mempertahankan identitas etnik remaja Bali. Penelitian ini didukung oleh teori manajemen identitas (IMT) Cupach dan Imahori, identitas sosial oleh Henri Tajfel dan teori perkembangan identitas etnik oleh Phinney. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian adalah diketahui bahwa semakin bertambah usia remaja Bali maka semakin terbentuk identitas etnik pada diri remaja Bali atau disebut dengan proses depersonalisasi. Dalam mempertahankan identitas etnik remaja Bali peran orangtua cukup besar dalam mendampingi dan aktif dalam melakukan interaksi komunikasi antar pribadi dan intrabudaya untuk mempertahankan nilai-nilai etnik Bali di dalam diri remaja Bali
Oleh Fajriati Meutia
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI
Pada
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
Strategi Komunikasi Keluarga Dalam Mempertahankan Identitas Etnik Remaja Bali (Studi Pada Remaja Bali di Perumahan Bataranila Desa Hajimena Kabupaten
Lampung Selatan) (Skripsi)
Oleh: Fajriati Meutia
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
Halaman
DAFTAR ISI
2.3 Tinjauan Komunikasi Antar Pribadi ...14
2.3.1 Pengertian Komunikasi Antar Pribadi ...14
2.3.2 Bentuk-Bentuk Komunikasi Antar Pribadi ...16
2.3.3 Komponen-komponen komunikasi Antar Pribadi ...17
2.4 Tinjauan Komunikasi Keluarga ...19
2.4.1 Tipe-tipe Keluarga ...21
2.5 Tinjauan Identitas Etnik ...26
2.6 Tinjauan Etnik Bali dan Budaya Bali ...27
2.7 Tinjauan Awig-awig...30
2.8 Tinjauan Psikologi Remaja ...31
2.9. Landasan Teori...32
2.9.1Tinjauan Teori Manajemen Identitas ...32
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian ...46
3.2 Fokus Penelitian ...47
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian ...47
3.4 Informan Penelitian...49
3.5 Teknik Pengumpulan Data ...49
3.6 Sumber Data Dalam Penelitian ...51
3.7 Teknik Analisis Data...52
BAB IV GAMABARAN UMUM 4.1 Latar Belakang Perumahan Batranila Dan Lokasi ...55
4.2 Jumlah Penduduk Perumahan Bataranila...56
4.3 Jumlah Penduduk Menurut Umur ...56
4.4 Jumlah Penduduk Menurut Agama ...57
4.5Gambaran Etnis Masyarakat Perumahan Bataranila...58
4.6 Struktur Kepengurusan Perumahan Batranila ...58
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identitas Informan ...61
5.2 Data Informan ...63
5.3 Hasil Wawancara ...65
5.3.1 Hasil Wawancara dasar etnik Bali di perumahan bataranila ...65
5.4.1 Pembahasan pembentukan identitas etnik remaja Bali ...120
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu ...10
Tabel 4.1 Tabel Jumlah Warga di Bataranila ...56
Tabel 4.2 Tabel Usia Warga Bataranila ...56
Tabel 4.3 Tabel Agama Warga Bataranila ...57
Tabel 5.1 Data Informan ...64
Tabel 5.2 Hasil Wawancara proses adaptasi etnik Bali ...65
Tabel 5.3 Hasil Wawancara pemegang awig-awig diperumahan Bataranila ...68
Tabel 5.4 Hasil Wawancara landasan hidup peraturan agama Budaya yang digunaka etnik Bali dalam keseharian...70
Tabel 5.5 Hasil Wawancara relasi etnik Bali dengan alam dilingkungan Bataranila ...71
Tabel 5.6 Hasil Wawancara pada informan remaja Bali tentang pentingnya Identitas etnik pada remaja Bali ...74
Tabel 5.7 Hasil Wawancara pada orangtua tentang pentingnya membentuk identitas etnik remaja Bali...75
Tabel 5.8 Hasil Wawancara pada remaja Bali tentang Pengadopsian identitas etnik pada proses pembentukan identitas etnik remaja Bali ...78
Tabel 5.9 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai proses Pembentukan identitas pada remaja Bali ...82
Tabel 5.10 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai Strategi yang digunakan dalam membentuk Identitas etnik remaja Bali ...84
Tabel 5.11 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai Kedekatan remaja Bali dengan Orangtua dan keluarganya ...88
Tabel 5.12 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai Hal yang memperat hubungan keluarga Beretnik ...90
Tabel 5.15 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai instensitas Komunikasi remaja Bali dan orangtua dalam
Mengkomunikasikan identitas etnik ...99 Tabel 5.16 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai
Komunikasi keluarga dalam strategi Pemertahanan
identitas etnik remaja Bali oleh orangtua...102 Tabel 5.17 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai
Pentingnya identitas etnik bagi diri remaja Bali ...105 Tabel 5.18 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai
Penunjukan identitas etnik Bali di
Lingkungan tempat tinggalnya...108 Tabel 5.19 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai
Penunjukan identitas etik keluarga Bal
Lingkungan sekitar rumah...112 Tabel 5.20 Hasil Wawancara pada remaja Bali mengenai
Tanggapan remaja Bali tentang identitas
Etnik yang dimilikinya ...115 Tabel 5.21 Hasil Wawancara pada orangtua mengenai
Kerberhasilan strategi yang diterapkan pada
LAA TAHZAN
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.
” (
QS. Alam Nasyroh: 5)
“
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan
tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap
kali kita jatuh." (Confusius)
Pekerjaan yang paling mulia adalah mengukir
senyuman bahagia di bibir kedua orangtua dan
meringkangkan bebannya.
PERSEMBAHAN
Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan hidayahnya, saya dapat menyelesaikan karya tulisku yang pertama ini.
Dengan penuh syukur, bangga dan bahagia kupersembahkan karya kecilku ini untuk:
Mamaku dan ayahku tercinta yang selalu kusayangi dan ku hormati di sepanjang hidupku
Adiku tercinta dan satu-satunya yang selalu ku sayangi Nadira Meutia
Serta saudara, sahabat dan teman-teman yang ku sayangi
Semoga karya kecilku ini berguna bagi banyak orang dan bukan menjadi karya tulisku yang terakhir, melainkan menjadi awal dari karya-karyaku lainnya dimasa
Penulis memiliki nama lengkap Fajriati Meutia.
Dilahirkan di Lampung, pada tanggal 2 September
1993. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara
dari pasangan drh. Azhar dan Mailani, SH.
Menempuh pendidikan di TK Pembina Kabupaten
Bengkalis Provinsi Riau, SDN 003 Tarakan
Kalimantan Timur, SMP Al-Kautsar Bandar
Lampung, SMA Al-Kautsar Bandar Lampung. Menjadi mahasiswa jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP Universitas Lampung pada tahun 2011. Selama kuliah aktif
sebagai anggota HMJ Ilmu Komunikasi. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di desa Bumi Asih, Palas, Lampung Selatan pada Januari 2014 dan
Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi
SANWACANA
Alhamdulillahhirobbil’alamin. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan karunia, berkah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan semangat. Skripsi ini dapat
diselesaikan tidak semata hanya berbekal pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki penulisi. Tanpa adanya dukungan, motivasi, bantuan dan semangat dari
berbagai pihak tidak mungkin skripsi ini bisa terselesaikan, maka dalam
kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa hormat dan terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, Selaku dekan Fakultas IlmuSosial dan
Ilmu Politik Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu
Komunikasi.
3. Ibu Dr. Nina Yudha Aryanti, S.Sos, M.Si. selaku dosen pembimbing dan
pembimbing akademik, yang senantiasa meluangkan waktunya untuk
sabar membimbing saya, bertukar pikiran, berbagi banyak ilmu yang
bermanfaat. Saya sangat berterimakasih bu, atas ilmu, bimbingan,
yang membangun guna perbaikan skripsi saya menjadi lebih baik lagi.
5. Kedua orang tuaku tercinta, Azhar & Mailani, serta adikku tersayang
Nadira Meutia. Ku ucapkan terimakasih dari hati yang paling dalam atas
doa dan dukungan semangat penuh cinta yang diberikan dalam
menyelesaikan skripsi ini, aku sayang ayah, mama dan dek Dira.
6. Almarhumah nenek ku tersayang, nenek Jalisah yang sempat menemaniku
pada saat mengerjakan skripsi ini, walaupun dalam kondisi sakit tetap
memberikan doa dan dukungan dengan senyuman cantiknya, semoga
nenek bahagia disana bersama atok.
7. Mbak Lena dan Dila tersayang, terimakasih atas bantuan, doa dan
semangatnya buatku selama mengerjakan skripsi ini, selalu siap
mendengarkan keluh kesahku, dan motivasi yang bermanfaat buatku,
Love you sist.
8. Sahabat SMA tersayang Fatwa, Mizaany, Tanty, Annisa Ika, Lera, Yosi,
dan Puraka terimakasih atas doa, dukungannya, dan waktunya yang selalu
siap kapanpun dibutuhkan, aku sayang kalian semoga kita sukses
semuanya amin.
9. Yang tersayang cuyung-cuyungkuh Ayu, Hesti, Mayang, Lidya, Pipit, Ida,
Ade, Fikri, Syahid Dan Reza makasih yah untuk semangat, doa,
kapanpun dan dimanapun makasih yah bantuannya selama ini, aku sayang
kalian.
10. Temen-temen komsebelas Cita, Imel, Arum, Tere, Amel, Apin, Bowo, Aji,
Bang Jaya, Fajri, Manda, Bayu, Rizal, Yessy, Riksa, Riski, Hamham, Ami,
Ayu Agustina, Alif, Dimas, Novian, Fahriadli, Imam, Prita, Mifta, Rizka,
Fitri, Uwi, Adel, Hilda, Inka, Yazid, Day, Ageta, Sartika, Arta, Okta, Diki,
Nanang, Gigih, Yoga, Pije, Irwin, Sade, Meta, Satya, Shela, Teddy, Metal,
Ricky, Wahyu Eka, Vio, Uti, dan seluruh komsebelas yang sudah banyak
membantu selama masa perkuliahan dan masa-masa skripsi kita yang
makin akrab banget karena sering banget nungguin dosen bareng dan
berbagi informasi, terimakasih untuk masa kuliah yang paling seru
11. Keluarga KKN Desa Bumi Asih tahun 2011 Dina, Audi, Felis, Dian, Epi,
Eka, kak Egi, kak Edi dan kak Ekin. Terimakasih sudah menjadi orang
terdekat yang siap bahu membahu memberi pertolongan, kasih sayang,
dan kehangatan selayaknya keluarga, semoga kita selalu menjadi satu
keluarga yang hangat yang saling berbagi rasa sayang.
12. Kakak-kakak komunikasi, terutama untuk kak Dendi, mba Rina, dan
Ahong, yang mau direpotkan dengan berbagi informasi dan pengalaman
selama proses perkuliahan dan skripsi
13. Adik-adik komunikasi 2012, 2013, 2014, 2015, dst. terimakasih untuk
dukungan semangatnya selama ini, semoga kalian menjadi generasi yang
untuk penelitian ini terima kasih sudah ikut mendukung saya
15. Untuk orang-orang di sekeliling saya, yang tak bisa saya sebutkan
satu-satu yang telah memberikan semangat dan doa untuk kelancaran saya
dalam mengerjakan skripsi ini saya ucapkan terimakasih semoga Allah
membalas kebaikan kalian semua dengan rahmat dan berkah dari Allah
SWT amin.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semuan, amin.
Bandarlampung, 17 Desember 2015
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera,
tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang
dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut
membuat Lampung pada masa pemerintahan terdahulu sering didatangi oleh para
pedagang-pedagang yang berasal dari luar daerah Lampung, seperti daerah Pulau
jawa dan daerah-daerah lainya yang ada di Indonesia. Lampung yang berada di
ujung pulau Sumatera dahulunya di jadikan tujuan transmigrasi penduduk yang
berasal dari pulau Jawa dan pulau Bali. Program Transmigrasi tersebut membuat
etnik Jawa dan Bali sering di jumpai di daerah Lampung, dan begitu juga dengan
etnik Bali yang memiliki ciri khusus dan unik tersendiri dibanding dengan etnik
lainnya di daerah Lampung.
Awal mula kedatangan etnik Bali di daerah Provinsi Lampung diawali dari
program pemerintah yaitu transmigrasi, yang diadakan oleh pemerintah pada
tahun 1953 hingga puncaknya yaitu pada tahun 1963. Pada saat Gunung Agung
yang berlokasi di daerah kepulauan Bali meletus sebanyak dua kali pada 17 Maret
panen dan kelaparan yang disebabkan oleh rusaknya sawah-sawah di kawasan
meledaknya gunung tersebut dan krisis ekonomi sosial yang akhirnya
menyebabkan inflasi yang berlebihan.
Peristiwa meledaknya Gunung Agung tersebut menjadi momen terpenting bagi
masyarakat Bali Nusa yang berada di Nusa Penida untuk bertransmigrasi ke
Lampung, yang merupakan daerah Sumatera bagian selatan (Wirawan,A.A 2008:
32). Masyarakat Bali Nusa merupakan kalangan etnik Bali yang sudah terbiasa
untuk melakukan transmigrasi, pada saat itu masyarakat Bali Nusa terpaksa
melakukan transimgrasi karena terkena imbas dari meletusnya Gunung Agung.
Saat itu etnik Bali kekurangan pasokan bahan pangan dari daerah pusat yang
berada di kawasan sekitaran Gunung Agung, Hal tersebut membuat masyarakat
Bali Nusa juga mengikuti program transmigrasi bersama masyarakat Bali Agung
ke daerah Lampung.
Pada saat itu mereka sudah merasa yakin untuk bertransmigrasi ke Lampung,
faktor alam yang mendukung di daerah Lampung. Ekonomi dan faktor lainnya
yang tak kalah penting yaitu adanya kerabat-kerabat yang telah berada di
Lampung setelah transmigrasi pertama pada tahun 1953. Berbekal surat jalan dan
contact person para transmigrasi Bali Nusa bertransmigrasi ke tanah Sumatera.
Saat itu daerah yang dituju yaitu daerah Seputih Raman (Lampung Tengah), dan
Sidomulyo (Lampung Selatan) yang pada saat itu adalah lokasi terdekat dari
pelabuhan Panjang. Pada tahun 1968 munculah desa Balinuraga yang terletak di
Kabupaten Lampung Selatan, yang berawal dari banjar yang dikembangkan.
Kemudian pada tahun 1970 situasi etnik Bali di kawasan Balinuraga mulai
3
daerah asal yaitu Bali Nusa untuk mengajak keluarga bertransmigrasi ke daerah
Lampung.
Pada tahun 1980 juga Etnik Bali yang bertempat di Desa Balinuraga mulai
bertransimgrasi keluar dari desa Balinuraga ke daerah Lampung Timur dan
Sumatera Selatan (perbatasan Lampung). Masyarakat etnik Bali yang
bertransmigrasi keluar dari desa Balinuraga memiliki alasan yang mendasari
perpindahan tersebut diantaranya adalah lapangan pekerjaan, lingkungan tempat
tinggal dan alasan lainya. Awalnya warga Bali hanya ada di tiga Kabupaten di
Lampung. Kini warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di Lampung
dan jumlah total warga beretnik Bali di Lampung kini mencapai 1,1 juta lebih dan
saat ini sudah masuk generasi yang ketiga. Jumlah warga Bali terbesar ada di
Lampung Tengah, menyusul Lampung Timur dan Lampung Selatan. Di Lampung
Selatan memiliki beberapa titik daerah yang ditinggali oleh masyarakat etnik Bali
salah satunya Perumahan Bataranila yang berada di kecamatan Natar, dusun
Hajimena.
Hasil data prariset menunjukan bahwa masyarakat Bali di perumahan Bataranila
hanya berjumlah 106 orang dari 2.097 jiwa. Masyarakat perumahan Bataranila,
dari 106 orang beretnik Bali, dikelompokan menjadi 20 keluarga etnik Bali di
Perumahan Bataranila yang termasuk ke dalam kelompok minoritas, karena
Perumahan Bataranila ditinggali oleh masyarakat dari berbagai budaya. Dalam
kehidupan sehari-hari keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila berbaur
dengan masyarakat lainnya disekitar lingkungannya, begitu juga dengan remaja
beretnik Bali. Hal itu membuat identitas etnik remaja Bali di Perumahan
Bataranila. Banyaknya pengaruh dari luar etnik Bali membuat kekhawatiran akan
memudarnya identitas etnik remaja Bali di perumahan Bataranila, dan dapat
berdampak pada perubahan pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan
budaya masyarakat Bali. Bataranila merupakan perumahan yang sudah mulai
menganut sistem modern di dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berbeda jauh
dengan ciri khas etnik Bali yang selalu menjalankan kehidupan sehari-harinya
dengan kebudayaan yang berasal dari etnik mereka dan diturunkan dari leluhur
etnik Bali.
Penelitian ini tertuju pada keluarga asli beretnik Bali yang terdiri dari, Ayah dan
Ibu, serta anak berusia 11-22 tahun. Masa remaja merupakan waktu dimana masa
pencarian identitas dimulai. Pengertian identitas sendiri secara umum adalah
gambaran diri seseorang. Identitas juga terbagi dalam berbagai bentuk salah
satunya adalah identitas etnik. Spencer dan Dornbusch dalam Papalia (2008: 593)
menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan sesuatu yang rumit dan
membingungkan bagi remaja kelompok minoritas. Perbedaan bahasa, dan
stereotip kedudukan sosial dapat sangat mempengaruhi dalam membentuk konsep
diri remaja minoritas.
Etnik Bali merupakan etnik yang membagi kalangan mereka ke dalam empat jenis
kasta yang dibagi sesuai dengan garis keturunan. Kasta tersebut terbagi atas; kasta
Brahmana, kasta Ksatriya, kasta Waisya, kasta Sudra. Dalam penelitian ini, kasta
yang dimiliki oleh subyek penelitian adalah kasta Sudra yang lebih dominan
terdapat di Bali, dan kelas sosial yang paling rendah di dalam sistem kasta di Bali.
5
untuk awalan nama laki-laki dan Ni untuk awalan nama perempuan, setelah itu
baru diikuti nama Wayan, Made, Nyoman, Putu dan Ketut.
Remaja Bali dalam mempertahankan identitas etniknya memerlukan peran
keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan
pendidikan pertama bagi anak hingga berkembang menjadi remaja kemudian
dewasa. Keluarga berperan untuk memperkokoh nilai spritual dan budaya seperti
halnya dengan etnik Bali di Perumahan Bataranila lakukan dalam
mempertahankan identitas etnik remajanya. Peran anggota keluarga yang paling
berpengaruh dalam mempertahankan identitas etnik remaja adalah peran ayah dan
ibu.
Strategi diperlukan bagi orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya,
karena dengan adanya strategi diharapkan mudah bagi orangtua untuk
mengenalkan, menanamkan dan menganjarkan nilai-nilai budaya etnik, yang
identik dengan nilai religi sebagai dasar budaya. Orangtua beretnik Bali akan
membentuk identitas etnik remaja Bali dengan proses komunikasi dalam keluarga.
Keberhasilan peran orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya
ditentukan oleh strategi komunikasi yang digunakan. Dengan strategi ini, tujuan
keluarga atau orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anak akan lebih
mudah untuk dicapai.
Mempertahankan identitas etnik minoritas di dalam suatu lingkungan yang
memiliki keberagaman budaya bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu dengan
adanya strategi diharapkan mampu untuk tetap menjaga identitas etnik remaja
mengenal dan mempertahankan identitas etnik Balinya dan dapat melestarikan
budaya Bali sebagai salah satu budaya yang memiliki keunikan tersendiri di
Indonesia.
Peneliti memilih Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung
Selatan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan keluarga beretnik Bali di
Perumahan Bataranila merupakan kelompok etnik minoritas dibanding dengan
lingkungan tempat tinggal Etnik Bali lainnya. Di daerah sekitar perumahan
Bataranila seperti daerah Bandarlampung, hasil survei menunjukan bahwa etnik
Bali di daerah Bandarlampung mayoritas tersebar di daerah Labuhan Dalam dan
Wayhalim. Wilayah Labuhan Dalam dan Wayhalim sudah memiliki banjar (Desa
adat Bali atau Perkumpulan etnik Bali) sendiri, sedangkan etnik Bali di
Perumahan Bataranila belum membentuk banjar. sehingga butuh strategi bagi
keluarga beretnik Bali di perumahan Bataranila untuk mempertahankan
identitasnya di lingkungan masyarakat dengan beragam budaya. Bataranila juga
sudah menganut sistem kehidupan modern sehingga masyarakat sudah mulai
meninggalkan kebudayaan dalam kehidupannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan
7
2. Bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja
dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena
Kabupaten Lampung Selatan ?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan
Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
2. Untuk mengetahui strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada
remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa
Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
1.1 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam
mengembangkan ilmu strategi komunikasi dalam keluarga dan
pemertahanan identitas etnik.
2. Secara Praktis
a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
bersama dalam memahami konteks komunikasi dalam keluarga dan
b) Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
pada tingkat srata satu (S1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.
3. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera,
tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang
dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut
membuat Lampung pada masa pemerintahan terdahulu sering didatangi oleh para
pedagang-pedagang yang berasal dari luar daerah Lampung, seperti daerah Pulau
jawa dan daerah-daerah lainya yang ada di Indonesia. Lampung yang berada di
ujung pulau Sumatera dahulunya di jadikan tujuan transmigrasi penduduk yang
berasal dari pulau Jawa dan pulau Bali. Program Transmigrasi tersebut membuat
etnik Jawa dan Bali sering di jumpai di daerah Lampung, dan begitu juga dengan
etnik Bali yang memiliki ciri khusus dan unik tersendiri dibanding dengan etnik
lainnya di daerah Lampung.
Awal mula kedatangan etnik Bali di daerah Provinsi Lampung diawali dari
program pemerintah yaitu transmigrasi, yang diadakan oleh pemerintah pada
tahun 1953 hingga puncaknya yaitu pada tahun 1963. Pada saat Gunung Agung
yang berlokasi di daerah kepulauan Bali meletus sebanyak dua kali pada 17 Maret
panen dan kelaparan yang disebabkan oleh rusaknya sawah-sawah di kawasan
meledaknya gunung tersebut dan krisis ekonomi sosial yang akhirnya
menyebabkan inflasi yang berlebihan.
Peristiwa meledaknya Gunung Agung tersebut menjadi momen terpenting bagi
masyarakat Bali Nusa yang berada di Nusa Penida untuk bertransmigrasi ke
Lampung, yang merupakan daerah Sumatera bagian selatan (Wirawan,A.A 2008:
32). Masyarakat Bali Nusa merupakan kalangan etnik Bali yang sudah terbiasa
untuk melakukan transmigrasi, pada saat itu masyarakat Bali Nusa terpaksa
melakukan transimgrasi karena terkena imbas dari meletusnya Gunung Agung.
Saat itu etnik Bali kekurangan pasokan bahan pangan dari daerah pusat yang
berada di kawasan sekitaran Gunung Agung, Hal tersebut membuat masyarakat
Bali Nusa juga mengikuti program transmigrasi bersama masyarakat Bali Agung
ke daerah Lampung.
Pada saat itu mereka sudah merasa yakin untuk bertransmigrasi ke Lampung,
faktor alam yang mendukung di daerah Lampung. Ekonomi dan faktor lainnya
yang tak kalah penting yaitu adanya kerabat-kerabat yang telah berada di
Lampung setelah transmigrasi pertama pada tahun 1953. Berbekal surat jalan dan
contact person para transmigrasi Bali Nusa bertransmigrasi ke tanah Sumatera.
Saat itu daerah yang dituju yaitu daerah Seputih Raman (Lampung Tengah), dan
Sidomulyo (Lampung Selatan) yang pada saat itu adalah lokasi terdekat dari
pelabuhan Panjang. Pada tahun 1968 munculah desa Balinuraga yang terletak di
Kabupaten Lampung Selatan, yang berawal dari banjar yang dikembangkan.
Kemudian pada tahun 1970 situasi etnik Bali di kawasan Balinuraga mulai
3
daerah asal yaitu Bali Nusa untuk mengajak keluarga bertransmigrasi ke daerah
Lampung.
Pada tahun 1980 juga Etnik Bali yang bertempat di Desa Balinuraga mulai
bertransimgrasi keluar dari desa Balinuraga ke daerah Lampung Timur dan
Sumatera Selatan (perbatasan Lampung). Masyarakat etnik Bali yang
bertransmigrasi keluar dari desa Balinuraga memiliki alasan yang mendasari
perpindahan tersebut diantaranya adalah lapangan pekerjaan, lingkungan tempat
tinggal dan alasan lainya. Awalnya warga Bali hanya ada di tiga Kabupaten di
Lampung. Kini warga asal Bali sudah tersebar di 14 Kabupaten/Kota di Lampung
dan jumlah total warga beretnik Bali di Lampung kini mencapai 1,1 juta lebih dan
saat ini sudah masuk generasi yang ketiga. Jumlah warga Bali terbesar ada di
Lampung Tengah, menyusul Lampung Timur dan Lampung Selatan. Di Lampung
Selatan memiliki beberapa titik daerah yang ditinggali oleh masyarakat etnik Bali
salah satunya Perumahan Bataranila yang berada di kecamatan Natar, dusun
Hajimena.
Hasil data prariset menunjukan bahwa masyarakat Bali di perumahan Bataranila
hanya berjumlah 106 orang dari 2.097 jiwa. Masyarakat perumahan Bataranila,
dari 106 orang beretnik Bali, dikelompokan menjadi 20 keluarga etnik Bali di
Perumahan Bataranila yang termasuk ke dalam kelompok minoritas, karena
Perumahan Bataranila ditinggali oleh masyarakat dari berbagai budaya. Dalam
kehidupan sehari-hari keluarga beretnik Bali di Perumahan Bataranila berbaur
dengan masyarakat lainnya disekitar lingkungannya, begitu juga dengan remaja
beretnik Bali. Hal itu membuat identitas etnik remaja Bali di Perumahan
Bataranila. Banyaknya pengaruh dari luar etnik Bali membuat kekhawatiran akan
memudarnya identitas etnik remaja Bali di perumahan Bataranila, dan dapat
berdampak pada perubahan pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, dan
budaya masyarakat Bali. Bataranila merupakan perumahan yang sudah mulai
menganut sistem modern di dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini berbeda jauh
dengan ciri khas etnik Bali yang selalu menjalankan kehidupan sehari-harinya
dengan kebudayaan yang berasal dari etnik mereka dan diturunkan dari leluhur
etnik Bali.
Penelitian ini tertuju pada keluarga asli beretnik Bali yang terdiri dari, Ayah dan
Ibu, serta anak berusia 11-22 tahun. Masa remaja merupakan waktu dimana masa
pencarian identitas dimulai. Pengertian identitas sendiri secara umum adalah
gambaran diri seseorang. Identitas juga terbagi dalam berbagai bentuk salah
satunya adalah identitas etnik. Spencer dan Dornbusch dalam Papalia (2008: 593)
menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan sesuatu yang rumit dan
membingungkan bagi remaja kelompok minoritas. Perbedaan bahasa, dan
stereotip kedudukan sosial dapat sangat mempengaruhi dalam membentuk konsep
diri remaja minoritas.
Etnik Bali merupakan etnik yang membagi kalangan mereka ke dalam empat jenis
kasta yang dibagi sesuai dengan garis keturunan. Kasta tersebut terbagi atas; kasta
Brahmana, kasta Ksatriya, kasta Waisya, kasta Sudra. Dalam penelitian ini, kasta
yang dimiliki oleh subyek penelitian adalah kasta Sudra yang lebih dominan
terdapat di Bali, dan kelas sosial yang paling rendah di dalam sistem kasta di Bali.
5
untuk awalan nama laki-laki dan Ni untuk awalan nama perempuan, setelah itu
baru diikuti nama Wayan, Made, Nyoman, Putu dan Ketut.
Remaja Bali dalam mempertahankan identitas etniknya memerlukan peran
keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan
pendidikan pertama bagi anak hingga berkembang menjadi remaja kemudian
dewasa. Keluarga berperan untuk memperkokoh nilai spritual dan budaya seperti
halnya dengan etnik Bali di Perumahan Bataranila lakukan dalam
mempertahankan identitas etnik remajanya. Peran anggota keluarga yang paling
berpengaruh dalam mempertahankan identitas etnik remaja adalah peran ayah dan
ibu.
Strategi diperlukan bagi orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya,
karena dengan adanya strategi diharapkan mudah bagi orangtua untuk
mengenalkan, menanamkan dan menganjarkan nilai-nilai budaya etnik, yang
identik dengan nilai religi sebagai dasar budaya. Orangtua beretnik Bali akan
membentuk identitas etnik remaja Bali dengan proses komunikasi dalam keluarga.
Keberhasilan peran orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anaknya
ditentukan oleh strategi komunikasi yang digunakan. Dengan strategi ini, tujuan
keluarga atau orangtua dalam mempertahankan identitas etnik anak akan lebih
mudah untuk dicapai.
Mempertahankan identitas etnik minoritas di dalam suatu lingkungan yang
memiliki keberagaman budaya bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu dengan
adanya strategi diharapkan mampu untuk tetap menjaga identitas etnik remaja
mengenal dan mempertahankan identitas etnik Balinya dan dapat melestarikan
budaya Bali sebagai salah satu budaya yang memiliki keunikan tersendiri di
Indonesia.
Peneliti memilih Perumahan Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung
Selatan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan keluarga beretnik Bali di
Perumahan Bataranila merupakan kelompok etnik minoritas dibanding dengan
lingkungan tempat tinggal Etnik Bali lainnya. Di daerah sekitar perumahan
Bataranila seperti daerah Bandarlampung, hasil survei menunjukan bahwa etnik
Bali di daerah Bandarlampung mayoritas tersebar di daerah Labuhan Dalam dan
Wayhalim. Wilayah Labuhan Dalam dan Wayhalim sudah memiliki banjar (Desa
adat Bali atau Perkumpulan etnik Bali) sendiri, sedangkan etnik Bali di
Perumahan Bataranila belum membentuk banjar. sehingga butuh strategi bagi
keluarga beretnik Bali di perumahan Bataranila untuk mempertahankan
identitasnya di lingkungan masyarakat dengan beragam budaya. Bataranila juga
sudah menganut sistem kehidupan modern sehingga masyarakat sudah mulai
meninggalkan kebudayaan dalam kehidupannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan
7
2. Bagaimana strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada remaja
dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa Hajimena
Kabupaten Lampung Selatan ?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pembentukan identitas etnik remaja Bali di Perumahan
Bataranila desa Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
2. Untuk mengetahui strategi mempertahankan identitas etnik Bali pada
remaja dalam komunikasi keluarga di Perumahan Bataranila Desa
Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
1.1 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam
mengembangkan ilmu strategi komunikasi dalam keluarga dan
pemertahanan identitas etnik.
2. Secara Praktis
a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
bersama dalam memahami konteks komunikasi dalam keluarga dan
b) Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
pada tingkat srata satu (S1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.
3. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tinjauan pustaka harus mengemukakan hasil penelitian lain yang relevan dalam
pendekatan permasalahan penelitian seperti teori, konsep-konsep, analisa,
kesimpulan, kelemahan, dan keunggulan pendekatan yang dilakukan orang lain.
Peneliti diharapkan belajar dari peneliti lain, untuk menghindari duplikasi dan
pengulangan penelitian atau kesalahan yang sama seperti yang dibuat oleh peneliti
sebelumnya.
Penelitian sebelumnya berjudul Negosiasi Identitas Kultural Tionghoa Muslim
dan Kelompok Etnisnya Dalam Interaksi Antarbudaya. Penelitian ini dilakukan
oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2014. Akan tetapi penelitian
sebelumnya memfokuskan pemaknaan dan pengalaman Tionghoa muslim
terhadap identitas kulturalnya, dan bagaimana pengalaman menegosiasikannya.
Adapun keterangan dari penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel di bawah
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu
1. Judul Negosiasi Identitas Kultural Tionghoa Muslim Dan Kelompok Etnisnya dalam Interaksi Antarbudaya
Penulis Isti Murfia
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponogoro, 2004
11
Deskripsi Penelitian :
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pemaknaan dan pengalaman Tionghoa muslim terhadap identitas
kulturalnya.
2. Bagaimana pengalaman menegosiasikannya.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah tipe kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi yang berupaya menjelaskan proses pengalaman Tionghoa muslim
dalam menegosiasikan identitas kulturalnya dengan kelompok etnisnya. Penelitian
ini juga didukung oleh Teori Pengelolaan Identitas, Teori Negosiasi Identitas dari
Stella Ting - Toomey, dan Co Cultural Theory. Selain ketiga teori tersebut,
terdapat penambahan konsep yaitu pengungkapan diri. Informan dalam penelitian
ini, terdiri dari Tionghoa muslim dan Tionghoa non muslim.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses negosiasi identitas kultural yang
terjadi dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengungkapkan dirinya.
Pengungkapan individu dalam proses menuju negosiasi identitas juga dipengaruhi
faktor pengungkapan diri itu sendiri, seperti: besar kelompok, topik, dan jenis
kelamin. Kemudian, faktor kondisi dari intercultural communication ini, seperti
kecenderungan interaksi dan pemahaman (lebih) terhadap suatu hal, ikut serta
memengaruhi penunjukkan identitas kultural. Selain itu, kecenderungan informan
dalam penelitian ini memiliki upaya pengolahan stereotip melalui sikap proaktif,
sehingga memberikan pemahaman yang cukup baik dalam memaknai Islam,
Akhirnya, pemahaman tersebut membantu mereka dalam proses negosiasi
identitasnya sesuai dengan tujuan yang mereka harapkan. Di antara ketiga
kategori tujuan yang diungkapkan Orbe dalam Co Cultural Theory, menunjukkan
bahwa kedua informan Tionghoa muslim berhasil mencapai tujuan akomodasi.
Satu informan Tionghoa muslim memilih tujuan asimilasi, dan satu informan
lainnya menetapkan tujuannya ke separasi. Kemudian, hal yang dianggap sebagai
penyebab terhambatnya negosiasi tidak terlalu memengaruhi karena minimnya
interaksi di antara kedua belah pihak.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada jenis teori yang
digunakan dimana menggunakan teori pengelolan identitas atau teori manajemen
identitas. walaupun berbeda pelopornya karena dalam penelitian ini peneliti lebih
memilih teori pengelolaan identitas Imahori sebagai landasan teori peneliti yaitu
etnik remaja Bali yang berada dalam kondisi lingkungan etnik minoritas.
2.2 Tinjauan Tentang Strategi
Strategi memiliki beberapa pengertian, seperti yang dijelaskan oleh beberapa para
ahli pada bukunya. Pada dasarnya kata strategi berasal dari kata strategos dalam
bahasa Yunani merupakan kata gabungan dari katastratosatau tentara denganego
atau pemimpin. Strategi memiliki landasan atau rancangan untuk mencapai
sasaran yang dituju atau diinginkan. Pada dasarnya strategi dapat diartikan
sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen untuk
mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Tujuan sentral strategi komunikasi R.
13
pertama adalahto secure understanding, memastikan bahwa komunikan mengerti
dan menerima pesan yang disampaikan. Jika komunikan sudah dapat mengerti
dan menerima, maka penerimaan itu harus dibina( to establish acceptance). Pada
akhirnya kegiatan di dimotivasikan(to motivate action).
Effendy (2000: 30) mengatakan bahwa kaitan antara strategi dengan sistem
komunikasi, jika kita membicarakan sistem komunikasi maka hal itu berkaitan
dengan sistem masarakat dan berbicara tentang manusia. Oleh sebab itu
pendekatannya dilakukan secara makro dan mikro baik prosesnya secara vertikal
maupun secara horizontal. Secara Makro sistem komunikasi menyangkut sistem
pemerintahan dan secara mikro menyangkut dengan nilai kelompok. Yang
dimaksud dengan sistem komunikasi mikro horizontal adalah komunikasi sosial
antar manusia dalam tingkatan status sosial yang hampir sama dan terjadi dalam
unit-unit yang relatif kecil. Lebih Lanjut, strategi komunikasi, baik secara makro
(planned multi-media strategy) maupun secara mikro (single communication
medium strategy) mempunyai fungsi ganda yaitu :
1. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif
dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil
optimal.
2. Menjembatani “cultural gap” akibat kemudahan diperolehnya dan
kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh yang
jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya.
Dalam perumusan strategi, khalayak memiliki kekuatan penangkal yang bersifat
kelompoknya. Di samping itu khalayak, tidak hanya dirangsang oleh hanya satu
pesan saja melainkan banyak pesan dalam waktu yang bersamaan. Artinya,
terdapat juga kekuatan pengaruh dari pesan-pesan lain yang datang dari sumber
(komunikator) lain dalam waktu yang sama, maupun sebelum dan sesudahnya.
Dengan demikian pesan yang diharapkan menimbulkan efek atau perubahan pada
khalayak bukanlah satu-satunya kekuatan, melainkan, hanya satu di antara semua
kekuatan pengaruh yang bekerja dalam proses komunikasi, untuk mencapai
efektivitas yang dituju. Hal ini mengartikan pesan sebagai satu-satunya yang
dimiliki oleh komunikator yang harus mampu mengungguli semua kekuatan yang
ada untuk menciptakan efektivitas. Kekuatan pesan ini, dapat didukung oleh
metode penyajian, media dan kekuatan kepribadian komunikator sendiri.
2.3 Tinjauan Komunikasi Antarpribadi 2.3.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai komunikasi yang dilakukan oleh
dua orang dengan tujuan untuk menyampaikan informasi secara langsung. Dalam
komunikasi antarpribadi orang yang terlibat di dalamnya memilki ikatan yang
dekat. Komunikasi antarpribadi juga merupakan komunikasi utama yang
menggambarkan individu yang saling terlibat bergantungan satu sama lain dan
memiliki pengalaman yang sama. Mulyana (2003: 24) menyatakan bahwa
komunikasi antara pribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap
muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik verbal maupun non-verbal. Komunikasi antarpribadi merupakan
15
mempengaruhi. Devito dalam Liliweri (1991:13) mengungkapkan komunikasi
antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh
orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan yang Balik yang
bersifat langsung (Liliweri, 1991: 13).
Komunikasi antarpribadi sering disebut juga dengan dyadic communication yang
dimaksud adalah komunikasi antara dua orang, dimana terjadi kontak dalam
bentuk percakapan. Komunikasi antara pribadi juga bisa terjadi secara tatap muka
(face to face) atau dapat juga melalui media telepon. Ciri khas dari komunikasi
antarpribadi adalah sifatnya yang dua arah atau timbal Balik (two ways
communication). Komunikasi antarpribadi melalui tatap muka mempunyai suatau
keuntungan dimana melibatkan prilaku non-verbal, ekspresi fasial, jarak fisik,
prilaku paralinguistik yang sangat menentukan jarak sosial dan keakraban
(Liliweri, 1991: 67).
Fungsi dan tujuan dari komunikasi antarpribadi untuk berusaha meningkatkan
hubungan insani (human relation), menghindari dan mengatasi konflik-konflik
pribadi, mengurangi ketidakpastian serta berbagai pengetahuan dan pengalaman
dengan orang lain (Cangara, 2004: 33). Dengan melakukan komunikasi
antarpribadi manusia dapat membina dan meningkatkan hubungan yang baik
dengan individu lainnya. Fungsi komunikasi antarpribadi berpeluang sebagai alat
untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, sebagai komunikasi yang paling
lengkap dan paling sempurna karena komunikasi tatap muka (face to face)
membuat individu yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi menjadi lebih
akrab dengan sesamanya berbeda dengan komunikasi melalui media. Komunikasi
antarpribadi, dan hubungan antarpribadi. Komunikasi dianggap efektif apabila
jika orang lain memahami pesan yang disampaikan dengan benar, dan
memberikan respon sesuai dengan yang komunikator inginkan, komunikasi yang
efektif berfungsi sebagai membentuk dan menjaga hubungan baik antara individu,
menyampaikan pengetahuan atau informasi, mengubah sikap dan prilaku,
pemecah masalah dalam hubungan manusia, dan jalan menuju sukses. Dalam
semua aktivitas tersebut esensi komunikasi interpersonal yang berhasil proses
saling berbagi (sharing) informasi yang menguntungkan kedua belah pihak yaitu
komunikan dan komunikator (Suranto Aw, 2011: 80).
Dari definisi yang telah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang paling efektif.
Dalam mengubah sikap, pendapat, dan prilaku seseorang, hal ini disebabkan oleh
komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang dialogis atau adanya timbal
Balik yang secara langsung.
2.3.2 Bentuk-Bentuk Komunikasi Antarpribadi
Dalam (Suranto Aw, 2011: 93) bentuk dari komunikasi antarpribadi menggunakan
lambang-lambang sebagai media penyampaian pesan, yaitu:
1. Lambang verbal, biasanya berbentuk dalam bentuk bahasa, dengan bahasa
komunikator dapat menyampaikan sebuah pesan yang berupa informasi,
dan isi pemikirannya semua hal yang telah terjadi, yang sedang terjadi
maupun yang akan terjadi dengan baik kepada komunikannya.
2. Lambang non verbal, lambang yang dipergunakan dalam komunikasi yang
17
lainnya. Contohnya seperti gerak gerik tubuh, lirikan mata dan lainnya.
Pada dasarnya dengan isyarat non verbal
3. seseorang individu dapat memahami orang lain yang takut berbicara dan
menulis bahasanya untuk menyatakan sesuatu tentang dirinya.
2.3.3 Komponen-Komponen Komunikasi Antarpribadi
Menurut (Suranto, 2011: 7-9) komponen-komponen komunikasi antarpribadi
dikemukakan dari suatu asumsi bahwa proses komunikasi antarpribadi akan
terjadi apabila ada pengirim yang menyampaikan pesan informasi berupa lambang
verbal maupun non verbal kepada penerima dengan menggunakan medium suara
manusia (human voice), maupun dengan medium tulisan. Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut terdapat komponen-komponen komunikasi secara intergratif
saling berperan sesuai dengan karakteristik komponen itu sendiri, yaitu adalah:
1. Sumber atau komunikator, yaitu orang yang mempunyai kebutuhan untuk
melakukan komunikasi, baik yang bersifat emosional maupun
informasional dengan orang lain. Dalam konteks komunikasi antarpribadi
komunikator adalah individu yang menciptakan, memfokuskan dan
menyampaikan pesan.
2. Encoding adalah suatu aktivitas internal pada komunikator dalam
menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan
non-verbal. Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran ke
dalam simbol-simbol, kata-kata, dan lainnya sehingga komunikator merasa
3. Pesan adalah hasil dari encoding. pesan merupakan seperangkat
simbol-simbol baik verbal maupun non verbal atau gabungan keduanya. Pesan
merupakan unsur yang sangat penting yang disampaikan oleh komunikator
kepada komunikan.
4. Saluran merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke
penerima. Dalam komunikasi antarpribadi penggunaan saluran atau media
komunikasi dilakukan jika kondisi tidak memungkinkan untuk
dilaksanakannya komunikasi tatap muka. Pada prinsipnya sepanjang masih
dimungkinkan untuk dilaksanakan komunikasi secara tatap muka, maka
komunikasi tatap muka lebih efektif.
5. Penerima/komunikan adalah seseorang yang menerima, memahami dan
menginterprestasi pesan. Dalam komunikasi antarpribadi komunikan
bersifat aktif. Selain menerima pesan juga melakukan interaksi dan
memberikan umpan Balik. Berdasarkan umpan Balik inilah kita dapat
menilai keefektifan komunikasi antarpribadi tersebut.
6. Decoding merupakan kegiatan internal dalam penerima. Melalui indranya
penerima mendapatkan bermacam-macam data dalam bentuk mentah,
berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah kedalam
pengalaman-pengalaman yang mengandung makna secara bertahap.
7. Respon yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan
tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral dan negatif.
Respon positif apabila di sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
19
tidak menerima keinginan komunikator dan respon negatif apabila
bertentangan dengan yang diinginkan oleh komunikator
8. Gangguan (noise) merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat
kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk hal yang bersifat
fisik dan psikis.
9. Konteks komunikasi, konteks komunikasi terbagi dalam tiga dimensi yaitu
ruang, waktu dan nilai.
2.4 Tinjauan Komunikasi Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal dan
masing – masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi
saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri yang
dijalin oleh kasih sayang. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi
anak, dimana keluarga akan mengajarkan dan menanamkan nilai nilai sosial serta
budaya pada anak untuk pertama kali. (Djamarah, 2004: 16)
Keluarga juga berfungsi sebagai pembentuk identitas anak. Dimana dalam
penelitian ini keluarga merupakan sebuah kelompok etnik dalam skala kecil,
Keluarga beretnik Bali memiliki anggota yang terdiri dari etnik yang sama dan
komunikasi keluarga berperan dalam pembentukan identitas etnik remaja Bali dan
merupakan strategi yang digunakan untuk mempertahankan identitas etnik remaja
Bali.
Komunikasi keluarga dapat diartikan sebagai membicarakan segalanya dengan
Komunikasi keluarga juga dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dalam
keluarga ataupun masalah yang terjadi pada salah satu anggota keluarga untuk
ditemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Dengan adanya komunikasi,
permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan untuk
mengambil solusi terbaik.
C. H. Cooley dalam (Daryanto, 1984: 64) berpendapat bahwa keluarga sebagai
kelompok primer, tiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat
digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam
kelompok. Murdok dalam (Dloyana, 1995: 11) menyatakan bahwa keluarga
merupakan kelompok primer paling penting dalam masarakat, yang terbentuk dari
hubungan laki-laki dan perempuan. Perhubungan ini yang paling sedikit
berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga
dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak-anak. Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di
dalam keluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer
merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai,
dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk
kehidupan sosial (Daryanto, 1984: 64).
Dalam komunikasi keluarga kejujuran dan keterbukaan menjadi dasar sebuah
hubungan. Adanya komunikasi dalam keluarga penting karena dapat
mengkokohkan fungsi‐fungsi keluarga yang mencakup delapan fungsi, mulai dari
fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi,
sosialisasi dan pendidikan, hingga fungsi ekonomi dan pembinaan lingkungan.
21
kepentingan saja, tetapi juga fungsi tersebut harus dengan upaya sistematis yang
melibatkan pihak‐pihak terkait termasuk keluarga sebagai sasaran. Orangtua
sebagai tokoh sentral dalam keluarga semestinya memiliki kesadaran dan
kepedulian untuk menjalankan fungsi‐fungsinya dengan baik, dengan komunikasi
di dalam keluarga (Daryanto, 1984:65).
2.4.1 Tipe-tipe Keluarga
Fitzpatrick telah mengidentifikasi empat tipe keluarga, yaitu konsensual, plularist,
protektif, dan laaissez faire (Morissan, 2013: 184-187). Masing-masing tipe
keluarga ini memiliki tipe orang tua tertentu yang ditentukan oleh cara-cara
mereka menggunakan ruang, waktu dan energi mereka serta derajat mereka dalam
mengungkapkan perasaan, dan penggunaan. Berikut adalah penjelasan tentang
tipe keluarga tersebut :
1. Tipe Konsensual
Tipe konsensualis, yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, dan
juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Keluarga tipe ini suka sekali ngobrol
bersama, tetapi pemegang otoritas keluarga, dalam hal ini orang tua adalah pihak
yang membuat keputusan. Keluarga jenis ini sangat memnghargai komunikasi
secara terbuka, namun tetap menghendaki kewenangan orang tua yang jelas.
Orang tua tipe ini biasanya sangat mendengarkan apa yang dikatakan
anak-anaknya, dan berupaya menjelaskan alsan keputusan itu agar anak-anak mengerti
Orang tua yang berada dalam tipe keluarga kosensual ini cenderung tradisional
dalam hal orientasi perkawinannya. Ini berarti mereka cenderung konvensional
dalam memandang lembaga perkawinan dengan lebih menekankan pada stabilitas
dan kepastian daripada keragaman dan spontanitas. Mereka memilih rasa saling
ketergantungan yang besar dan sering menghabiskan waktu bersama. Walaupun
mereka tidak tegas dalam hal perbedaan pendapat, tetapi mereka tidak
menghindari konflik. Menurut Fitzpatrick, istri dengan orientasi perkawinan
tradisional suka menggunakan nama suaminya dibelakang namanya, suami atau
istri dengan orientasi perkawinan tradisional ini memiliki perasaan yang sangat
sensitif terhadap perselingkuhan dan mereka sangat sering bersama-sama. Mereka
kerap merancang jadwal kegiatan bersama dan berusaha menghabiskannya
sebanyak pekerjaan mereka masing-masing.
Riset menunjukan tidak terdapat banyak konflik dalam tipe perkawinan
tradisional karena kekuasaan dan pengambilan keputusan dibagi-bagi menurut
norma-norma yang biasa berlaku. Suami, misalnya, berwenang mengambil
keputusan-keputusan tertentu, sedangkan istri memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan dibidang lainnya. Pembagian kewenangan ini menyebabkan
negoisasi tidak terlalu dibutuhkan atau dengan kata lain, terdapat sedikit
kebutuhan untuk bernegoisasi sehingga tidak terdapat banyak konflik yang
disebabkan perbedaan pendapat. Namun, pada saat yang sama, terdapat sedikit
dorongan untuk perubahan tegas satu sama lainnya, tetapi masing-masing
pasangan cenderung mendukung keinginan masing-masing demi kebaikan
23
Pasangan tradisional sangat ekspresif dan terbuka dalam mengapa mereka
menghargai komunikasi terbuka yang menghasilkan tipe keluarga konsensual ini.
2. Tipe Plularistis
Tipe plularistis, yaitu keluarga yang saling melakukan percakapan, dan memiliki
kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga tipe ini sering sekali berbicara secara
terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusannya
masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak mereka karena
setiap pendapat dinilai berdasarkan ada kebijakannya, yaitu pendapat mana yang
terbaik, dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan.
Suami dan istri berasal dari tipe kelurga plularistis cenderung independen dalam
hal orientasi perkawinannya karena mereka memiliki pandangan yang tidak
konvesioanl (nonkonvesional). Sebagai suami atau istri yang independen maka
mereka tidak terlalu mengandalkan pasangannya dalam banyak hal. orangtua
cenderung mendidik anak-anak mereka untuk berpikir secara bebas. Walaupun
pasangan suami istri tipe ini juga sering menghabiskan waktu bersama, namun
mereka menghargai otonomi masing-masing dengan memiliki ruangan terpisah di
rumah, untuk mengerjakan tugas masing-maisng. Mereka memiliki minat dan
teman mereka masing-masing yang terpisah dengan minat dan teman bersama.
Karena tipe keluarga plularistis memiliki pandangan yang tidak konvesional,
maka pasangan independen semacam ini akan terus-menerus melakukan
negoisiasi. Pasangan independen biasanya memiliki banyak konflik. Suami atau
istri saling berebut kekuasaan. Mereka sering menggunakan berbagai macam
argumen masing-masing. Sebagaimana pasangan tradisional, pasangan
independen juga bersifat ekspresif. Mereka akan menanggapi setiap petunjuk
nonverbal pasangannya, biasanya memahami pasangannya dengan baik dan
menghargai komunikasi yang terbuka.
3. Tipe Protektif
Tipe protektif, yaitu keluarga yang jarang melakukan percakapan, namun meiliki
kepatuhan yang tinggi. Jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga, tetapi
sedikit komunikasi. Orang tua tipe dari keluarga ini tidak melihat alasan penting
mengapa mereka harus harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau
ngobrol. Karena alasan inilah orang tua atau suami istri semacam ini
dikategorikan sebagai ‘terpisah’ (seperate) dalam hal orientasi perkawinannya.
Pasangan semacam demikian cenderung tidak yakin mengenai peran dan
hubungannya. Mereka Memiliki padangan konvensional dalam hal perkawinan,
tetapi mereka tidak saling bergantung dan tidak terlalu sering menghabiskan
waktu bersama. Fitzpatrick dalam (morissan, 2013: 186) menyebut pasangan ini
sebagai emotionally divorced (bercerai secara emosional).
Suami istri pada tipe ini memiliki sifat gigih dalam mempertahankan
pendapatkan, tetapi konflik tidak bertahan lama karena mereka cepat menarik diri
dari konflik. Mereka tidak mampu mengelola tindakan mereka untuk waktu yang
cukup lama untuk mempertahankan konflik. Upaya mereka untuk mendapatkan
kepatuhan jarang sekali menggunakan daya tarik hubungan, tetapi lebih sering
mengemukakan hal-hal buruk yang akan terjadi jika pasangan mereka tidak patuh.
25
banyak pertanyaan, tetapi jarang sekali memeberikan saran. Mereka tidak
memiliki sifat ekspresif sehingga tidak memahami perasaan pasangan mereka
dengan baik.
4. Tipe Laissez-faire
Tipe yang jarang melakukan percakapan dan juga memiliki kepatuhan yang
rendah laissez-faire, lepas tangan dengan keterlibatan rendah. Anggota keluarga
dari tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakan anggota keluarga
lainnya, karena tidak ingin membuang wkatu mereka untuk membicarakannya.
Suami istri dari tipe keluarga ini cenderung memiliki orientasi perkawinan
campuran (mixed), artinya mereka tidak memiliki pikiran yang sama untuk
menjadi dasar bagi mereka untuk berinteraksi. Mereka memiliki orientasi yang
merupakan kombinasi dari orientasi terpisah dan independen atau kombinasi
lainnya.
Sebenarnya tipe keluarga semacam ini cukup banyak ditemui di masarakat.
Diketahui dalam (Morissan, 2013:187) sekitar 40 persen dari keseluruhan
pasangan yang menjadi objek penelitian Fitzpatrick menunjukan sejumlah
kombinasi dari tipe-tipe: terpisah-tradisional, tradisional-independen, atau
independen-terpisah. Pada dasarnya, pasangan tipe ini memiliki sifat yang lebih
kompleks dari pasangan yang telah kita bahas sebelumnya. Pada akhirnya,
kesimpulan yang dapat kita tarik dari teori ini adalah bahwa setiap keluarga
memiliki perbedaan dalam hal kebersamaan (togetherness) dan jarak pemisah
2.5 Tinjauan Identitas Etnik
Istilah “etnik” berasal dari bahasa yunani kuno, yaituethnosyang berarti sejumlah
orang yang “berbeda” yang tinggal dan bertindak bersama-sama. Kelompok etnik
dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok masarakat yang tinggal disuatu
negara yang memiliki budaya, sejarah, mata uang, kepercayaan dan norma yang
berbeda dengan budaya nasional negara tersebut. Sedangkan identitas sendiri
merupakan konsep abstrak, kompleks dan dinamis. Tiny Tomey dalam (Samovar,
2010: 187) beranggapan bahwa identitas merupakan gambaran seorang individu
dan konsep dari individu yang direfleksikan. Pada dasarnya identitas itu sendiri
merujuk kepada pandangan reflektif pada pandangan tentang diri sendiri maupun
persepsi orang lain tentang gambaran diri sendiri.
Isajiw, W.W. (1999: 413) menerangkan bahwa identitas etnik mengacu pada
identifikasi dan pengalaman etnik pada tingkat individu, dimana tiap-tiap individu
berbagai dan merasakan hal yang sama dan beda budaya yang ada sekarang dan
masa lalu. Dalam hal ini kebudayaan adalah sebuah hal yang penting dari identitas
etnik dan tidak hanya mengacu pada adat/kebiasaan yang berbeda, kepercayaan
bahasa dan mengidentifikasi dengan pengalaman unik dari sebuah kelompok.
Dalam definisi lainnya identitas etnik atau disebut juga etnisitas, berasal dari
sejarah, tradisi, warisan, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah dan bahasa yang
sama. Masarakat yang memiliki etnik yang sama di daerah tempat perpindahan
akan membentuk komunitas etniknya sendiri. Pada komunitas etnik ini, identitas
etnik cenderung tetap kuat. Hal ini dikarenakan praktik, kepercayaan, dan bahasa
dari bahasa tradisional yang dipertahankan dan dipelihara (Samovar, 2010: 189).
27
dalam (Rahardjo, 2005: 1-2) mendefinisikan identitas kultural sebagai perasaan
(emotional significance) dari seseorang untuk turut memiliki (sense of belonging)
atau berafiliasi terhadap kultur tertentu.
Aspek internal dari identitas etnik mengacu pada gambaran, ide, sikap, perasaan,
dan termasuk empat dimensi seperti: aktif, kepercayaan (fiducial),
kesadaran/pengertian(cognitive), dan moral.
2.6 Tinjauan Etnik Bali dan Budaya Bali
Manusia Bali adalah manusia etnik Bali, yaitu sekumpulan orang-orang yang
memiliki kesadaran tentang kesatuan budaya Bali, bahasa Bali dan kesatuan
agama Hindu. Etnik Bali memiliki emosi etnosentris keBalian relatif lebih kuat,
dan sifat lain dari etnik Bali yaitu terbuka, ramah dan luwes, jujur, kreatif dan
estetis, kolektif, kosmologis, religius, dan moderat. Manusia Bali memiliki
keyakinan ajaran agama yang kompleks. Keyakinan terhadap agama Hindu
melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya, kesenian, dan lain sebagainya
yang memiliki karakteristik yang khas, yang merupakan perpaduan antara tradisi
dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik tersebut mewujudkan diri
kedalam berbagai konsepsi, aktivitas sosial, maupun karya fisik orang Bali
Dalam kehidupan kesehariannya, perilaku etnis Bali juga mendasarkan pada
nilai-nilai Agama Hindu dan falsafahTri Hita Karana. Kebudayaan Bali sesungguhnya
menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan),
dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam
ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab
kesejahteraan Tiga unsur tersebut (Institut Hindu Dharma, 1996:3), yaitu :
1. Sanghyang
2. Jagatkarana(Tuhan SangPencipta)
3. Bhuana(alam semesta)
4. manusa (manusia)
Secara umum dapat dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti
bahwa bahwa kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya dapat terwujud
bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur tuhan, manusia, dan
alam di atas, yaitu sebagai berikut :
1. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik
sebagai individu maupun kelompok.
2. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
3. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana tiada lain
adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai
ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai
ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia
dengan Sanghyang Jagat Karana atau Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik