• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agricultural risks in Indonesia: Farmers’ perception on agricultural risks (A case study: farmers of food crops in Bogor Areas)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Agricultural risks in Indonesia: Farmers’ perception on agricultural risks (A case study: farmers of food crops in Bogor Areas)"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

65 Tengah, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan”. Laporan Penelitian.

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Arifin B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Baga, Lukman M. 2005. Penguatan Kelembagaan Koperasi Petani untuk Revitalisasi Pertanian. Makalah disampaikan pada acara Seminar Revitalisasi Pertanian untuk Kesejahteraan Bangsa yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) di Jakarta, 19 Juni 2005.

Bodie, Zvi, and Robert C. Merton. 1998. Finance. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

BPS Kota Bogor. 2009. Kota Bogor Dalam Angka. BPS Kota Bogor. Bogor. BPS Kabupaten Bogor. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka. BPS Kabupaten

Bogor. Bogor.

Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman Kota Bogor. 2009. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman Kota Bogor Tahun 2009. Pemerintah Kota Bogor. Bogor.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dinas Pertanian Tahun 2009. Bogor.

Dinas Agribisnis Kota Bogor. 2009. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dinas Agribisnis tahun 2009. Bogor.

Darwis, Valeriana. 2009. Keragaan Penguasaaan Lahan sebagai Faktor Utama Penentu Pendapatan Petani. Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan : Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani, Bogor, 19 Nopember 2008. Departemen Pertanian. Jakarta.

David, F.R. 2006. Strategic Management. Prentice Hall International Inc. New Jersey.

(2)

Echols, John M., Hassan Shadily, 1982. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Febriyansyah. 2009. Strategi Pengembangan Agribisnis berbasis Tanaman Pangan di Bogor. Thesis. Magister Bisnis-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Firdausy, Carunia Mulya. 2005. Pengembangan sector pertanian di era

globalisasi : Kondisi dan Posisi Sektor Pertanian dalam Era Globalisasi. P2E-LIPI hal. 1 – 23.

Hamdi. 2011. Kajian Kegiatan Simpan Pinjam Khusus Perempuan (Kasus Unit Pengelola Kegiatan Kecamatan Semparuk Kabupaten Sambas). Thesis. Magister Profesional Industri Kecil Menengah – Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hanan, Jacoby G., and E. Skoufias, 1998, “Testing Theories of Consumption

Behavior Using Information on Aggregate Shocks: Income Seasonality and Rainfall in Rural India.” American Journal of Agricultural Economics, 80(1) pp. 1–14.

Hardaker, J. B., R. B. M. Huirne, and J. R. Anderson. 1997. Coping with Risk in Agriculture. New York: CAB International.

Harwood, Joy, Richard Heifner, Keith Coble, Janet Perry, and Agapi Somwaru. 1999. Managing Risk in Farming: Concepts, Research, and Analysis. Market and Trade Economics Division and Resource Economics Division, Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture. Agricultural Economic Report No. 774.

Hubeis, M dan M. Najib. 2008. Manajemen Strategik dalam Pengembangan Daya Saing Organisasi. Elex Media Computindo. Jakarta.

Irawan, Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Publikasi Forum Agro Ekonomi Vol.23 No.01.

Iturrioz, Ramiro. 2009. Agriculture Insurance, Primer Series on Insurance. World Bank. Finance. Seventh Edition of the Iowa State University Press Ames.

Lingkaran Survei Indonesia. 2006. Panduan Penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD). PT. LSI. Jakarta.

(3)

Mosher, A.T. 1984. Menggerakkan dan Membangun Pertanian (Syarat-syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi). CV. Yasaguna. Jakarta.

Mubyarto. 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. Yogyakarta: BPFE dan P3PK UGM.

Naylor, R. N., Battisti, D. S., Vimont, D. J., Falcon, W. P., and M. B. Burke, 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture.PNAS 104 (19), 7752-7757.

Nurmanaf, A.R., Sumaryanto, Sri Wahyuni, E. Ariningsih, Y. Supriatna. 2007. Analisis Kelayakan dan Perspektif Pengembangan Asuransi Pertanian pada Usahatani Padi dan Sapi Potong. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Onal, Hayri, Delima H. Darmawan and Sam H. Johnson III. 1995. A Multilevel Analysis of Agricultural Credit Distribution in East Java, Indonesia. Pergamon, Computer Ops Res. Vol. 22, No. 2, pp. 227-236.

Pasaribu, Sahat M., Iwan Setiajie A., Nur Khoiriyah Agustin, Erna Maria Lokollo, Herlina Tarigan, Juni Hestina dan Yana Supriyatna. 2010. Pengembangan Asuransi Usahatani Padi untuk Menanggulangi Resiko Kerugian 75% Akibat Banjir, Kekeringan dan Hama Penyakit. Pusat Analilsis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian. Diunduh dari www.pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SHP.pdf pada

Rakhmat, J. 1994. Psikologi Komunikasi . Remadja.Karya. Bandung.

Rangkuti, F. 2010. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rosengrant, Mark W. and Peter B.R. Hazell. 2001. Transformation the Rural Asian Economy: the Unfinished Revolution. International Food Policy Research Institute. Washington DC.

Sarwono, Sarlito Wirawan, 1991. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Sayogyo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Sesbany. 2011. Penguatan Kelembagaan Petani untuk Meningkatkan Posisi Tawar Petani. STTP Medan. Diunduh dari www.info.stppmedan.ac.id/ pdf/jurnalsesbany1.pdf, Tanggal perolehan: 11 November 2011.

(4)

Sjah, Taslim., Iean Russell and Donald Cameron. 2003. Acceptance and Repayment of Agricultural Credit in Lombok Indonesia – Farmers’ Perspectives. Paper provide by International Farm Management Association in its series 14th Congress, Perth, Western Australia, August 10-15, 2003 with number 24323.

Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametrik untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. Suharyadi dan Purwanto. 2008. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan Modern.

Salemba Empat. Jakarta.

Sumaryanto dan A.R. Nurmanaf. 2007. Simpul-Simpul Strategis Pengembangan Asuransi Pertanian untuk Usahatani Padi di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 25 No. 2, 2007 : 89 103.

Suthedja, Made Wahyu, W. Romi Sudhita, G. Anggan Suhandana, N. Wirya, Moedjiono, G. Sedana Yasa, 1982. “Persepsi Masyarakat terhadap

Pendidikan Formal dan Nonformal di Bali.” Laporan Penelitian. Singaraja: FKIP UNUD.

Suyatno, Yulistyo. 2008. Penguatan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis Unggulan di Kabupaten

Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Todaro, M.P. 2000. Pembangunan ekonomi di dunia ketiga. Jakarta: Erlangga. Umar, H. 2005. Metode Riset Bisnis Dilengkapi Contoh Proposal dan Hasil Riset

Bidang Manajemen dan Akuntansi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wahyu, Deky. 1985. Perbedaan pendapatan petani kentang tiap hektar pada

berbagai stratafikasi lahan yang garapan berbeda. Skripsi Fakultas Pertanian UNPAD.

Walgito, B. 1997. Pengantar Psikologis Umum. Andi Offset. Yogyakarta. Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Weiss, Paul. 1962. A report to the Committee on Natural Resources of the

National Academy of Sciences-National Research Council, Volume 1. National Academies. US.

Widiyanti, W. 2009. Analysis of Climate Scenarios and Their Impacts upon Rice Production in Main Rice Production Areas of Java, Indonesia. Journal de Scienca y Tecnologia Agraria. CienciAgro. Vol.1 Nr.4 (2009) 166-177. Wigenasantana, M.S. dan T. Waluyo. 1989. Prospek pertanian organik untuk

produksi padi di Indonesia. Kyusei Nature Farming: First International Conference. Proceeding of the Conference of Khon Kaen University, Thailand, October 17-21 1989. Hal 24-29

(5)

(Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)

A N D I Y O N O

AGROCAMPUS OUEST RENNES -

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

(6)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Laporan Tugas Akhir yang berjudul :

Resiko Pertanian Indonesia:

Persepsi Petani Terhadap Resiko Pertanian

(Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan dari komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan ini.

Bogor, Januari 2012

(7)

Andiyono. Agricultural Risks in Indonesia: Farmers’ Perception on Agricultural Risks (A Case Study: Farmers of Food Crops in Bogor Areas) Supervised by Rizal Syarief and Nora H. Pandjaitan from Bogor Agricultural University (Indonesia), Jean Cordier and Catherine Laroche Dupraz from Agrocampus Ouest Rennes (France).

Agricultural risks are a serious matter faced by farmers. The objectives of this study were to identify agricultural risks and risks scores at farm households based on the perception of food crop farmers and to develop effective strategies to deal with agricultural risks. The study was conducted from May to September 2011 in Bogor areas. The analysis methods used in this study were qualitative-descriptive, FGD, SWOT, IE and QSPM. The results showed that based on farmers' perceptions, the agricultural risks included production risks, market risks, human risks, institutional risks and financial risks. The highest impact of the risks on farm was the production risk, mainly influenced by pests and diseases. Risk management strategies implemented by farmers were through the use of inputs. Meanwhile, if there was a failure that interfered with family income and the sustainability of farming, farmers would choose to use the income from off-farm work, or to borrow from other parties as a manifestation of risk management strategies. The results of the study also showed that farming activities in Bogor areas were in a stable position. Alternative strategies that need to be considered in coping with agriculture risks were that the government should: (1) be consistent with agricultural policies that had been issued, (2) strengthen the agribusiness development program, (3) encourage investment in agribusiness of food crops subsector, (4) perform the intensification and diversification of agricultural activities, (5) consolidate farmers through institutional development of farmers’ groups and institutional partnership (contract farming), and (6) protect the rights of farmers by legislation and regulation.

(8)

Andiyono. Resiko Pertanian Indonesia: Persepsi Petani Terhadap Resiko Pertanian (Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor). Dibawah bimbingan : Rizal Syarief dan Nora H. Pandjaitan dari Institut Pertanian Bogor (Indonesia), Jean Cordier dan Catherine Laroche Dupraz dari Agrocampus Ouest Rennes (Prancis).

Berusaha di bidang pertanian diketahui secara umum mempunyai potensi yang tinggi, namun juga memiliki resiko yang sangat besar. Resiko pertanian terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, dimulai dari keragaman dan perubahan iklim, terjadinya bencana alam, ketidakpastian dalam produktivitas dan harga, kelemahan infrastruktur pedesaan, kelemahan pasar dan kurangnya pelayanan keuangan termasuk terbatasnya alat-alat pengendalian resiko seperti kredit dan asuransi, yang masih sedikit sekali menyentuh dunia pertanian.

Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor. 2) Mengidentifikasi tingkat resiko pertanian di wilayah Bogor berdasarkan persepsi petani. 3) Menyusun strategi yang efektif untuk menghadapi resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor. Penelitian ini merupakan studi kasus pada petani tanaman pangan di wilayah Bogor.

Data yang dibutuhkan berasal dari data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari wawancara melalui kuesioner dan FGD kepada petani/kelompok tani, akademisi dan stakeholders terkait serta observasi langsung di lapangan. Data sekunder didapat dari studi kepustakaan.

Metode pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda deskriptif kualitatif, FGD, SWOT, IE dan QSPM. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel.

Berdasarkan hasil FGD dengan petani/kelompok tani teridentifikasi 5 (lima) resiko pertanian utama yaitu resiko produksi yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit serta pengaruh dari perubahan iklim, resiko pemasaran yang mencakup perubahan harga input maupun output serta distribusi produk, dan resiko keuangan yang disebabkan lemahnya akses terhadap permodalan. Manajemen strategi utama yang dilakukan di tingkat petani adalah melalui penggunaan input produksi. Jika terjadi kekurangan pendapatan rumah tangga dan untuk keberlanjutan usahatani, petani cenderung memilih untuk menggunakan pendapatan dari usaha off farm, atau meminjam dari pihak lain seperti teman, tetangga atau tengkulak.

(9)

ancaman yaitu : besarnya resiko produksi, perdagangan bebas, fluktuasi harga produk pertanian, produk impor dan monopoli distribusi oleh pengusaha besar.

Hasil matriks IFE dengan skor 2,395 dan matrik EFE dengan skor 2,285, berarti pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor pada matrik IE menempati posisi kuadran V. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor berada pada kuadran pertumbuhan/stabilisasi dan untuk itu perlu dilakukan strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Hasil analisis dengan metoda QSPM menunjukkan bahwa pertanian tanaman pangan di Bogor harus dapat menjalankan strategi yang direkomendasikan dengan urutan prioritas : 1) Meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian, 2) Penguatan pengembangan agribisnis, 3) Mendorong investasi di sub sektor agribisnis tanaman pangan, 4) Intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan, 5) Pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan serta 6) Melindungi hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi.

(10)

© Hak Cipta IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

(11)

PERSEPSI PETANI TERHADAP RESIKO PERTANIAN

(Studi Kasus: Petani

Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)

A N D I Y O N O

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

AGROCAMPUS OUEST RENNES -

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

(12)
(13)

Persepsi Petani Terhadap Resiko Pertanian

(Studi Kasus:Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)

Nama : Andiyono

Nomor Pokok : P054090205

Program : Industri Kecil Menengah

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Industri Kecil dan Menengah

Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS,Dipl.Ing, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)

Penulis lahir di Sei. Duri, Kalimantan Barat pada tanggal 16 Maret 1983 sebagai putra sulung dari pasangan Bapak Sulaiman (Alm.) dan Ibu Dahlia.

Tahun 1995, penulis lulus Sekolah Dasar (SD) Negeri 4 Sambas, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Sambas dan lulus tahun 1998. Selanjutnya penulis diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Sambas dan lulus tahun 2001. Gelar sarjana diperoleh penulis tahun 2007 dari Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura Pontianak.

Pada tahun 2008 penulis diterima bekerja sebagai Tenaga Pengajar di Politeknik Terpikat Sambas. Penulis menikah dengan Fitri Yulianti pada tahun 2008 dan dikaruniai 1 (satu) orang putri yaitu Azzia Salsa Abia (2 tahun). Penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 dan

Grand Ecole Agrocampus Ouest Rennes pada tahun 2010, melalui beasiswa

(15)

i

Segala puji dipanjatkan bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tugas akhir yang berjudul Resiko Pertanian Indonesia: Persepsi Petani Terhadap Resiko Pertanian (Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor) ini merupakan salah satu syarat untuk penyelesaian studi pada Program Studi Magister Profesional Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih disampaikan atas bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak sehingga tugas akhir ini bisa terselesaikan. Untuk itu, disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku pembimbing utama yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan selama kegiatan kajian dan penulisan tugas akhir ini.

2. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku pembimbing anggota yang juga telah memberikan pengarahan dan bimbingannya.

3. Jean Cordier, Ph.D dan Dr. Catherine Laroche Dupraz selaku pembimbing dari Agrocampus Ouest Rennes, Prancis.

4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah turut memberi bantuan dan dukungan.

5. Ibuku tercinta atas dukungan, serta dorongan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat diselesaikan, serta istri dan anakku tersayang atas pengertian dan cintanya yang selalu memberikan inspirasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan ini.

6. Kepada seluruh petani, kelompok tani, akademisi dan stakeholders yang terkait dengan manajemen resiko pertanian yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi yang berharga di lapangan.

7. Teman-teman MPI angkatan ke-12 yang sudah ikut memberikan dorongan dan bantuan moril dalam penulisan karya akhir ini.

(16)

ii

masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk kesempurnaannya. Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2012

(17)

iii

Halaman

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Petani dan Usahatani ... 5

B. Pertanian Tanaman Pangan ... 6

C. Persepsi, Resiko Pertanian dan Tipologi Resiko ... 7

D. Analisis SWOT dan QSPM ... 10

BAB III. METODOLOGI ... 13

A. Lokasi dan Waktu ... 13

B. Pengumpulan Data ... 13

C. Pengolahan dan Analisis Data ... 14

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Gambaran Umum Wilayah ... 25

B. Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian ... 33

C. Manajemen Resiko di Tingkat Petani ... 39

D. Analisis Faktor Lingkungan ... 42

E. Analisis SWOT ... 52

F. Alternatif Strategi ... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(18)

iv

Halaman

Tabel 1. Matriks IFE ... 19

Tabel 2. Matriks EFE... 20

Tabel 3. Matriks QSP ... 23

Tabel 4. Luas lahan, produksi dan produktivitas tanaman padi, palawija dan hortikultura (sayuran) di wilayah Bogor ... 27

Tabel 5. Karakteristik responden ... 30

Tabel 6. Matriks IFE pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor ... 50

Tabel 7. Matriks EFEpertanian tanaman pangan di wilayah Bogor ... 51

(19)

v

Halaman

Gambar 1. Matriks IE ... 21

Gambar 2. Matriks SWOT ... 22

Gambar 3. Peta daerah kajian ... 25

Gambar 4. Luasan penggunaan lahan wilayah Bogor... 27

Gambar 5. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat wilayah Bogor tahun 2009 ... 28

Gambar 6. Pola tanam yang dilaksanakan petani di wilayah Bogor ... 32

Gambar 7. Biaya produksi dan pendapatan petani responden ... 33

Gambar 8. Skor resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan ... 34

Gambar 9. Perbedaan harga di tingkat petani dan pasar ... 36

Gambar 10. Skor manajemen resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan ... 40

Gambar 11. Matriks IE kegiatan usahatani di wilayah Bogor ... 52

(20)

vi

Halaman

Lampiran 1. Kuesioner penelitian bagi petani/kelompok tani ... 69

Lampiran 2. Kuesioner penelitian bagi akademisi dan stakeholder terkait .. 74

Lampiran 3. Skor persepsi terhadap resiko pertanian di tingkat petani ... 82

Lampiran 4. Skor manajemen resiko pertanian di tingkat petani ... 83

Lampiran 5. Rekapitulasi bobot faktor internal dan eksternal ... 84

Lampiran 6. Rekapitulasi rating faktor internal dan eksternal ... 85

Lampiran 7. Perhitungan matriks QSP ... 86

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di dunia terutama di negara-negara berkembang. Lebih dari 65 % penduduk di negara-negara berkembang tinggal secara permanen, bahkan turun-temurun, di perdesaan, sedangkan di negara-negara maju penduduk yang tinggal di desa kurang dari 27 %. Demikian pula halnya dengan lapangan kerja, yaitu sekitar 58 % tenaga kerja di negara-negara Dunia Ketiga mencari nafkah di sektor pertanian, sedangkan di negara maju hanya 5 % (Todaro,2000).

Di Indonesia sektor pertanian secara umum merupakan lapangan kerja utama. Tercatat lebih dari 50% penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sektor pertanianbukan hanya menyediakan bahan pangan saja tetapi juga menyediakan lapangan kerja yang cukup besar. Selain itu sektor pertanian juga menyediakan bahan baku industri serta bahan baku ekspor baik mentah maupun olahan. Berusaha di bidang pertanian dapat dikatakan mempunyai potensi yang tinggi, namun juga memiliki resiko yang sangat besar.

Usaha pertanian memiliki karakteristik sebagai usaha yang penuh resiko terhadap dinamika alam, bersifat biologis dan musiman, serta rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dapat menyebabkan kerugian bagi petani. Dengan demikian petani secara terus menerus dihadapkan pada pilihan antara mendapatkan keuntungan yang besar tapi dengan resiko yang tinggi atau memilih resiko yang lebih rendah tapi juga dengan keuntungan yang kecil.

Resiko pertanian memainkan peran yang dominan dalam pengambilan keputusan di tingkat petani, namun perannya lebih penting lagi dalam pengendalian ketahanan dan keamanan pangan terutama akses makanan ke masyarakat. Pembuat kebijakan juga dihadapkan kepada tantangan yang besar, khususnya di negara-negara berkembang, dalam menjamin kemudahan terhadap akses makanan pada tingkat harga yang terjangkau bagi masyarakat, karena hal ini

(22)

dipengaruhi oleh ketidakpastian iklim dan perubahan pasar bahan makanan sebagai hasil dari kebijakan dan produksi dari negara-negara lain.

Resiko pertanian terjadi karena berbagai faktor, seperti keragaman dan perubahan iklim, bencana alam, ketidakpastian dalam produktivitas dan harga, kelemahan infrastruktur perdesaan, kelemahan pasar dan kurangnya pelayanan keuangan, termasuk terbatasnya span dan model dari instrumen-instrumen pengendalian resiko seperti kredit dan asuransi yang masih sedikit sekali menyentuh dunia pertanian. Faktor-faktor ini tidak hanya membahayakan kehidupan dan pendapatan para petani tetapi juga melemahkan kekuatan dan potensi sektor pertanian sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kemiskinan petani dan buruh pertanian.

Sektor pertanian Indonesia sebagaimana negara-negara berkembang lainnya menghadapi sejumlah masalah/resiko yang umum terjadi. Secara umum, petani memiliki kontrol (yaitu dengan keamanan yang sangat sedikit atas kepemilikan) hanya sebagian kecil lahan yang miskin hara atau habis dan sering terpecah-pecah, mereka memiliki tingkat modal sumberdaya manusia yang sangat rendah dalam hal pendidikan, pengetahuan dan kesehatan yang digunakan untuk bekerja, dan mereka menderita utang kronis dan kurangnya aksesibilitas untuk kredit kelembagaan dan input. Bersamaan, mereka menghadapi pasar dan harga yang tidak stabil, mereka menerima dukungan ekstensi yang tidak memadai, mereka memiliki akses yang sedikit terhadap kontrol dan operasi dari lembaga-lembaga pedesaan, dan mereka tidak memiliki kekuatan sosial ekonomi untuk mendapatkan akses yang lebih baik ke layanan publik dan lainnya yang tersedia untuk seluruh anggota masyarakat. Akibatnya, keberadaan petani kecil itu sering berbahaya dan efek cuaca yang buruk atau harga dapat menjadi bencana bagi petani dan keluarganya (Dillon dan Hardaker, 1989).

(23)

penduduk dan kebutuhan dalam perkembangan ekonomi (eksternal) dan berlakunya sistem pewarisan keluarga (internal) (Darwis, 2009). Menurut Irawan (2009) konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan sarana publik dapat menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan lahan yang sempit, efisiensi produksi akan sulit ditingkatkan dan pendapatan total petani menjadi terbatas.

Menurunnya jumlah produksi merupakan resiko utama yang sering terjadi akibat pengaruh perubahan alam. Curah hujan yang berlebihan selama musim hujan kemungkinan akan menimbulkan resiko banjir dan meningkatnya suhu juga akan menciptakan kekeringan selama musim kemarau (Widiyanti, 2009). Gabungan kekuatan dari variabilitas iklim dan perubahan iklim dapat memberikan dampak yang sangat dramatis terhadap produksi pertanian di Indonesia (Naylor et al., 2007). Selain itu fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit tanaman/organisme pengganggu tanaman (OPT). Hal ini merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia (Balitklimat, 2011).

(24)

Masalah pemasaran dan harga hasil-hasil pertanian yang cenderung turun dan mengalami fluktuasi di pasaran domestik maupun dunia (Firdausy, 2005). Dua faktor yang menyebabkan kecenderungan ini. Pertama hasil pertanian umumnya tidak tahan lama bahkan mudah rusak, karena itu tidak bisa disimpan lama tanpa teknologi pengawetan, dan sulit dijual ke tempat yang jauh. Kedua, produk pertanian bersifat musiman sehingga dalam waktu-waktu tertentu jika terjadi panen secara serempak, pasokan melimpah dan harga akan turun sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Sebenarnya dengan teknologi pengolahan hasil pertanian, produk pertanian bisa lebih tahan lama dan meningkat nilai tambahnya. Tetapi industri pengolahan menginginkan harga yang murah dan dalam jumlah yang besar.

Mengingat banyaknya resiko usaha pertanian, sudah selayaknya usaha pertanian mendapat perhatian khusus untuk memperkecil resiko. Selain itu juga diperlukan cara-cara penanganan yang tepat terhadap resiko-resiko pada usaha pertanian di Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu dilakukan kajian awal mengenai persepsi petani terhadap resiko pertanian di Indonesia dengan studi kasus petani tanaman pangan di wilayah Bogor.

B. Rumusan Masalah

1. Resiko-resiko pertanian apa saja yang sering terjadi di wilayah Bogor?

2. Bagaimana tingkat resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor berdasarkan persepsi petani?

3. Bagaimanakah bentuk strategi yang dapat dilaksanakan untuk menghadapi resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor?

C. Tujuan

1. Mengidentifikasi resiko-resiko usaha pertanian di wilayah Bogor.

2. Mengidentifikasi tingkat resiko pertanian di wilayah Bogor berdasarkan persepsi petani.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Petani dan Usahatani

Petani menurut Mosher (1984), dikategorikan memegang dua peranan yaitu sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus sebagai seorang pengelola (manager) dalam usahataninya. Peranan pertama dari petani adalah memelihara tanaman dan hewan guna mendapatkan hasil-hasilnya dan berfaedah pada tanaman. Pemeliharaan ini mencakup menyiapkan persemaian, menyebarkan benih, penyiangan, mengatur kelembaban tanah serta melindungi tanaman terhadap hama penyakit. Peranan lain yang dilakukan petani dalam usahataninya adalah sebagai pengelola. Apabila keterampilan bercocok tanam sebagai juru tani pada umumnya adalah keterampilan tangan, otot dan mata, maka keterampilan pengelola mencakup kegiatan pikiran yang didorong oleh kemauan juga tercakup didalamnya terutama pengambilan alternatif-alternatif yang ada ataupun keputusan-keputusan.

Langkah-langkah yang diambil petani (Mosher, 1984) sangat dipengaruhi oleh sikap dan hubungan dalam masyarakat setempat dimana ia hidup. Bagi seorang petani, masyarakat itulah yang merupakan sumber pokok kesejahteraannya.

Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani padi" atau "petani jagung". Pelaku budidaya hewan ternak secara khusus disebut sebagai peternak. Pertanian sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam serta pembesaran hewan ternak untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.

Keadaan luas lahan pemilikan usahatani di perdesaan sangat bervariasi. Menurut Sayogyo (1990), berdasarkan luas lahannya petani dibedakan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu (1) petani lapis bawah yang memiliki luas lahan garapan kurang dari 0,5 ha, (2) petani lapisan menengah yang memiliki luas lahan garapan

(26)

antara 0,5 ha sampai 1,0 ha, (3) petani lapisan atas yang memiliki luas lahan garapan lebih dari 1,0 ha.

Wahyu (1985) mengemukakan bahwa petani lapisan atas mempunyai motivasi dan empati yang tinggi, fatalisme yang kurang dan jaringan hubungan yang luas. Mereka menerima banyak unsur teknologi pertanian baru, memperhatikan segi pemasaran dan hidup hemat sehingga mereka mempunyai investasi yang lebih besar pula dalam mencari nafkah.

Menurut Sayogyo (1990), bahwa petani lapisan bawah mempunyai motivasi dan empati yang rendah serta fatalisme yang tinggi. Mereka merupakan lapisan petani yang paling lemah dalam hal modal kerja. Disamping itu petani lapisan menengah mempunyai sifat di antara kedua sifat lapisan-lapisan di atas.

Usahatani adalah suatu jenis kegiatan pertanian rakyat yang diusahakan oleh petani dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan pada peningkatan produksi (Agung et. al.1999). Usaha tani dapat diartikan juga sebagai bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya.

B. Pertanian Tanaman Pangan

Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pangan diperuntukkan bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau minuman, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (Purnomo dan Purnamawati, 2007).

Komoditas pangan harus mengandung zat gizi yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Kelompok tanaman budidaya yang tergolong komoditas ini meliputi kelompok tanaman pangan, tanaman hortikultura non tanaman hias, dan kelompok tanaman lain penghasil bahan baku produk yang memenuhi batasan pangan.

(27)

pada kelompok tanaman yang berumur semusim. Batasan ini di masa mendatang harus diperbaiki karena akan menyebabkan sumber karbohidrat menjadi terbatas. Tanaman pangan sebaiknya memasukkan jenis tanaman lain yang dapat menjadi sumber karbohidrat tanpa dibatasi pada kelompok tanaman semusim. Dengan perbaikan batasan ini, tanaman umbian selain ubi kayu, ubi jalar dan talas dapat masuk ke dalam kelompok tanaman pangan misalnya garut, ganyong dan kimpul. Demikian juga dengan buah yang merupakan sumber karbohidrat dapat masuk ke dalam tanaman pangan, misalnya sukun.

Kajian ini membahas resiko pertanian pada petani tanaman pangan unggul yang termasuk kelompok serealia (padi dan jagung), legum pangan (kacang tanah, kedelai dan kacang hijau), umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar). Alasan pemilihan komoditas tersebut adalah peranannya sebagai sumber karbohidrat dan sumber protein bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga disebut sebagai tanaman pangan utama. Komoditas tanaman pangan memiliki peran penting dalam ketahanan nasional, untuk mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan wilayah, penyerapan tenaga kerja, serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu komoditas tanaman pangan sangat dipengaruhi oleh resiko-resiko pertanian.

C. Persepsi, Resiko Pertanian dan Tipologi Resiko

Dalam Kamus Inggris-Indonesia, perception atau persepsi diartikan sebagai tanggapan, atau menanggapi sesuatu (Echols dan Shadily, 1982). Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 1994). Menurut Walgito (1997) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan yang merupakan proses yang berujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya.

(28)

merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi, bukan pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha dalam Suthedja, dkk., 1982). Menurut Bernhardt dalam

Sarwono (1991) persepsi adalah pengetahuan mengenai sesuatu objek dalam kaitannya dengan usaha-usaha penyesuaian, sedangkan menurut Karn, persepsi merupakan suatu kesadaran yang terpilih dan terorganisasi terhadap rangsangan yang muncul dari luar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, persepsi adalah tanggapan yang mengandung makna yang terorganisasi tentang suatu rangsangan setelah melalui proses memahami, menafsirkan, menginterpretasikan, dan memikirkan secara sadar.

Munculnya persepsi masyarakat berkaitan dengan munculnya suatu program, kegiatan ataupun masalah-masalah yang timbul di masyarakat maupun suatu kelompok masyarakat. Munculnya resiko-resiko pertanian dan cara-cara mengatasinya, menimbulkan berbagai bentuk respon atau tanggapan berupa pernyataan, penilaian, komentar, argumentasi dari petani atau masyarakat yang disebut persepsi. Kualitas persepsi yang muncul tergantung dari kemampuan petani menafsirkan, menginterpretasikan, dan memahami informasi resiko-resiko pertanian yang diterima. Bentuk persepsi yang muncul dianggap sah, karena persepsi bukan pencatatan yang benar atas suatu rangsangan, tetapi hasil dari menafsirkan, menginterpretasikan, dan kemampuan memahami melalui proses berpikir atas suatu rangsangan.

Kegiatan ekonomi pada usaha tani beresiko tinggi dan sangat tidak pasti. Kurangnya kapasitas untuk mengantisipasi resiko dan ketidakpastian telah menyebabkan kerugian besar akibat rendahnya produksi (Pasaribu et al., 2010). Menurut Bodie dan Merton (1998) resiko adalah ketidakpastian yang mempengaruhi kesejahteraan individu, dan sering dikaitkan dengan kesulitan dan kerugian. Resiko adalah ketidakpastian yang "penting," dan mungkin melibatkan probabilitas kehilangan uang, bahaya yang mungkin terjadi terhadap kesehatan manusia, dampak yang mempengaruhi sumber daya dan jenis lain dari peristiwa yang berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang (Harwood et al. 1999).

(29)

hama/penyakit); (2) resiko bencana yang sulit diprediksi misalnya kebanjiran, kebakaran, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan sebagainya; (3) ketidakpastian harga masukan maupun keluaran, (4) ketidak pastian yang terkait dengan ketidak-tepatan teknologi sehingga produktivitas jauh lebih rendah dari harapan; (5) ketidakpastian akibat tindakan pihak lain (sabotase, penjarahan, ataupun adanya peraturan baru yang menyebabkan usahatani tak dapat dilanjutkan; dan (6) ketidakpastian yang sifatnya personal, misalnya petani/anggota keluarganya sakit atau meninggal dunia. Resiko yang terkait tipe (1) dan (2) kadangkala bersifat katastropik dan dapat menyebabkan gagal panen dalam skala yang luas.

Menurut Iturrioz (2009) produksi pertanian menghadapi berbagai resiko. Namun, dua resiko utama yang menjadi perhatian, adalah resiko harga pertanian yang disebabkan oleh volatilitas potensial dari harga dan resiko produksi yang disebabkan oleh ketidakpastian tentang tingkat produksi yang dapat dicapai produsen primer dari kegiatan mereka saat ini. Kemungkinan besar akan terjadi peningkatan resiko di masa depan pada resiko harga akibat liberalisasi perdagangan dan resiko produksi yang disebabkan oleh efek dari perubahan iklim. Hardaker et al (1997) membagi resiko di perusahaan-perusahaan pertanian sebagai resiko bisnis dan resiko keuangan. Manajemen resiko berarti mengidentifikasi resiko dan berbagai pilihan, kemudian mengevaluasi, memilih dan menerapkan tindakan. Manajemen resiko bisnis berarti "mengetahui bisnis," dan melakukannya dengan cara yang terampil. Yang termasuk resiko bisnis adalah resiko produksi; resiko harga atau pasar, resiko kelembagaan; dan resiko manusia atau pribadi.

1. Resiko produksi terlihat dari ketidakpastian proses perkembangan alami tanaman pangan dan peternakan. Resiko produksi timbul dari ketidakpastian tentang cuaca termasuk kekeringan, beku, curah hujan yang berlebihan pada saat panen, hama, penyakit, dan banyak faktor-faktor tak terduga lainnya yang mempengaruhi jumlah dan kualitas produksi.

(30)

harga akibat kenaikan pasokan, atau permintaan berubah; hilangnya akses pasar karena relokasi atau penutupan pabrik pengolahan; dan kehilangan tenaga pemasaran karena ukurannya yang kecil.

3. Resiko institusional atau kelembagaan timbul karena ketidakpastian kebijakan pemerintah. Perubahan dalam aturan, hukum pajak, peraturan yang berhubungan dengan penggunaan bahan kimia, peraturan-peraturan tentang limbah peternakan, dan tingkat harga atau dukungan pendapatan merupakan contoh-contoh dari keputusan pemerintah yang dapat memberikan dampak yang besar terhadap usaha pertanian.

4. Resiko sumberdaya manusia mencakup beberapa kemungkinan seperti masalah pada kesehatan manusia atau hubungan pribadi yang dapat memberi pengaruh kepada usaha pertanian. Kecelakaan, sakit, kematian dan cerai juga merupakan contoh-contoh dari krisis personal yang dapat mengancam usaha pertanian.

Resiko finansial atau keuangan, berbeda dengan resiko bisnis. Resiko keuangan lebih menekankan pada masalah modal, penggunaan dana pinjaman, asuransi, dan kewajiban.

D. Analisis SWOT dan QSPM

Analisis matriks Strenghts, Weaknesses, Opportunities dan Threats

(SWOT) merupakan salah satu alat analisis yang dapat menggambarkan secara jelas keadaan yang dihadapi oleh perusahaan. Menurut Rangkuti (2010), analisis SWOT dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang secara sistematis untuk merumuskan strategi. Rumusan strategi tersebut didasarkan pada logika untuk memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang ada, serta secara bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan ancaman yang timbul yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan.

(31)

dengan tujuan untuk memonitor dan beradaptasi secara kontinyu dan terus menerus terhadap lingkungan, baik lingkungan internal dan lingkungan eksternal.

Menurut Jauch dan Glueck (1999), strategi merupakan rencana yang disatukan secara menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan suatu perusahaan dengan tantangan dan lingkungan. Strategi dirancang untuk memastikan agar tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat.

Secara umum, manajemen strategi diawali dari tahap perumusan strategi, tahap implementasi dan selanjutnya tahap evaluasi strategi (David, 2006). Tahap perumusan strategi meliputi pernyataan misi, penetapan tujuan, identifikasi peluang dan ancaman, serta kekuatan dan kelemahan.

Lingkungan eksternal adalah segala kekuatan yang ada di luar organisasi/perusahaan, pengaruh perusahaan tidak terlihat sama sekali. Lingkungan eksternal sangat mempengaruhi kinerja perusahaan dalam suatu industri. Lingkungan eksternal tersebut terdiri atas lingkungan umum dan lingkungan industri.

Lingkungan internal suatu organisasi adalah hasil analisis dari nilai atau identifikasi segala faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi. Kumpulan sumberdaya, kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga mampu memanfaatkan peluang dengan cara efektif dan secara bersama mampu mengatasi ancaman.

Setelah melakukan analisis faktor internal dan eksternal perusahaan, maka langkah selanjutnya adalah menyusun matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) yang kemudian diberikan rating. Penentuan rating oleh pakar atau manajemen di perusahaan dilakukan terhadap peubah-peubah hasil analisis dan memberikan peringkat dengan skala yang ditetapkan, misalnya 1, 2, 3, dan 4.

(32)

matriks IFE dan EFE didasari atas kuesioner yang diberikan kepada para pakar atau manajemen di perusahaan/organisasi yang dapat dilihat pada lampiran 2.

Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis strategi dengan analisis SWOT, yaitu analisis kekuatan-kelemahan (Strenghts-Weaknesses) dan peluang-ancaman (Opportunities-Threats). Matriks SWOT akan menghasilkan empat tipe strategi yaitu; (a) strategi Strenghts-Opportunities, (b) strategi Strenghts-Threats, (c) strategi Weaknesses-Opportunities dan (d) strategi Weaknesses-Threats.

Setelah ditentukan strategi-strategi terpilih, maka perusahaan dapat memilih alternatif strategi yang tepat untuk menjalankan usahanya dengan memanfaatkan kekuatan dan peluangnya untuk mengurangi kelemahan dan ancaman.

Tahap terakhir adalah penggunaan Quantitative Strategic PlanningMatrix

(33)

BAB III METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu

Kegiatan ini dibatasi sebagai studi kasus pada komoditas pertanian sub sektor tanaman pangan di wilayah Bogor Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, yaitu didasarkan pertimbangan bahwa 1) adanya keterbatasan terutama dana dan waktu dalam pelaksanaan penelitian, 2) lokasi kajian merupakan salah satu sentra produksi tanaman pangan Indonesia. Selain itu penelitian ini lebih bersifat deskriptif kualitatif untuk menggambarkan resiko pertanian yang berlaku di Indonesia. Namun diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan untuk penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang resiko pertanian terutama di Indonesia.

Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai September 2011. Mengingat luasnya wilayah kajian serta terbatasnya waktu pelaksanaan, maka responden yang dipilih sebanyak 59 orang, terdiri dari para petani, kelompok tani, akademisi serta stakeholder yang terkait dengan manajemen resiko pertanian.

B. Pengumpulan Data

Untuk analisis data pada kajian ini dibutuhkan data yang terdiri dari dua sumber data, yaitu:

1. Data primer, merupakan data utama yang diperoleh langsung dari lapangan. Untuk mendapatkan data tersebut digunakan kuesioner, dan pengumpulan data dilakukan melalui :

a. Wawancara langsung

Wawancara langsung dalam hal ini dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan 59 responden yang terdiri dari 49 responden dari para petani, kelompok tani atau gapoktan di wilayah Bogor, dan 10 responden dari akademisi serta stakeholder yang terkait dengan manajemen resiko pertanian (3 responden dari dosen Institut Pertanian Bogor, 2 responden dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2 responden dari Dinas Agribisnis Kota Bogor, 1 responden dari peneliti bidang agribisnis Bogor, 1 responden dari pengusaha, dan 1 responden dari penyuluh pertanian lapangan wilayah Bogor).

(34)

b. Observasi

Teknik ini digunakan untuk melakukan pencatatan secara teliti dan sistematis terhadap obyek kajian yang langsung diamati di lapangan guna melengkapi teknik wawancara.

2. Data sekunder, merupakan data pendukung yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan berupa literatur, dokumen, jurnal dan laporan penelitian, majalah dan karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah penelitian dan juga melalui media internet.

C. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Analisis dapat dibedakan atas analisis kualitatif dan kuantitatif. Apabila data yang terkumpul hanya sedikit, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris), maka yang digunakan adalah analisis kualitatif (Priadana dan Muis, 2009).

1. Analisis Statistik Deskriptif

Statistika deskriptif adalah metode statistika yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan menjadi sebuah informasi (Suharyadi dan Purwanto, 2008). Sugiyono (2004), menambahkan bahwa statistik deskriptif mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Walpole (1993), memberikan contoh statistika deskriptif yang sering muncul adalah tabel, diagram, dangrafik. Dengan Statistika deskriptif maka kumpulan data yang diperoleh akan tersaji dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari kumpulan data yang ada.

(35)

2. Analisis Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) merupakan diskusi kelompok yang dilakukan secara sistematis dan terarah atas suatu isu atau masalah tertentu. FGD dirancang sedemikian rupa untuk mendapatkan informasi tertentu. FGD merupakan salah satu bentuk riset dalam penelitian sosial dan pelaksanaannya dilakukan dengan prosedur tertentu. Penyelenggara menentukan tujuan riset dan merumuskan tujuan tersebut ke dalam tahapan-tahapan FGD (Lingkaran Survei Indonesia, 2006).

Adapun ciri-ciri penting dari FGD adalah terfokus dan terarah. FGD dikatakan sebuah diskusi yang terfokus dan terarah karena: 1) Topik ataupun materi yang akan didiskusikan telah ditentukan oleh penyelenggara, dan 2) Peserta FGD sudah ditentukan ataupun diseleksi sedemikian rupa sesuai dengan tujuan dan target informasi yang ingin didapat dari sebuah FGD.

FGD memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1) berupa format diskusi, 2) peserta FGD berjumlah antara 6 – 12 orang, 3) panjang/lama diskusi yang dilakukan antara 1,5 – 2 jam per sesi, 4) peserta diskusi sudah diseleksi atau ditentukan berdasarkan karakteristik atau ciri yang sama oleh penyelenggara sesuai dengan tujuan riset, 5) bentuk data berupa percakapan (termasuk intonasi atau mimik muka) dan gerak tubuh dan bahasa non verbal, 6) pengambilan data dapat dilakukan melalui rekaman diskusi baik audio maupun video serta transkrip hasil diskusi, 7) moderator menggunakan petunjuk pelaksanaan diskusi yang dilengkapi dengan topik-topik yang akan didiskusikan termasuk alokasi waktu dari masing-masing topik, 8) bentuk serta format laporan berupa deskripsi dan narasi dengan pengutipan pilihan komentar atau pendapat. Analisis ditujukan pada aspek yang banyak dibicarakan seperti argumentasi yang banyak muncul, dan sudut pandang yang banyak keluar dari peserta (Lingkaran Survei Indonesia, 2006).

(36)

diseleksi adalah homogen, yaitu peserta yang dipilih berdasarkan karakteristik dan latar belakang yang sama. Pengambilan data FGD bersifat sosial, artinya peserta FGD saling berinteraksi dalam menyampaikan, mendengarkan maupun dalam mendebat pendapat orang lain.

Dalam penelitian ini dilakukan FGD terhadap 59 responden yang terdiri dari 49 responden petani/kelompok tani, serta 10 responden dari akademisi dan instansi teknis yang terkait dengan manajemen resiko pertanian di Wilayah Bogor Provinsi Jawa Barat. Peserta FGD melakukan diskusi mengenai beberapa topik untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang dapat digunakan untuk mengetahui persepsi ataupun pandangan terhadap resiko pertanian yang berlaku di Indonesia. Wawancara dalam FGD dilakukan secara langsung dan dibantu dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk kuesioner.

3. Analisis SWOT

Analisis kasus secara keseluruhan dapat dirumuskan sebagai berikut (Rangkuti, 2010):

Tahap 1: memahami situasi dan informasi yang ada.

Tahap 2: memahami permasalahan yang terjadi, baik masalah yang bersifat umum maupun spesifik.

Tahap 3: menganalisis dan memberikan berbagai alternatif pemecahan masalah. Tahap 4: evaluasi pilihan alternatif dan pilih alternatif yang terbaik.

Pemilihan alternatif dilakukan dengan membahas sisi pro maupun kontra. Setelah itu diberikan bobot dan skor untuk masing-masing alternatif dan menyebutkan kemungkinan yang akan terjadi.

Berikut adalah petunjuk untuk memahami masalah yang ada. 1. Mengetahui tujuan analisis

a. Ke arah mana perusahaan ingin dibawa?

b. Faktor-faktor kunci apa yang harus diperhatikan? c. Kapan tujuan tersebut harus dicapai?

(37)

c. Bagaimana keahlian manajemen yang dimiliki? d. Bagaimana kondisi persaingan yang ada? e. Siapa pemain yang paling kuat di industri ini? 3. Mengidentifikasi deskripsi organisasi

a. Bagaimana struktur organisasi yang dimiliki?

b. Bagaimana mengenai perencanaan, pengendalian, dan sistem yang dimiliki?

c. Bagaimana mengenai keahlian sumber daya manusia? d. Bagaimana dengan gaya manajemen?

4. Mengevaluasi secara keseluruhan a. Bagaimana peluang yang ada?

b. Bagaimana dengan kekuatan yang dimiliki? c. Bagaimana dengan masalah yang dihadapi? d. Bagaimana kelemahan yang ada?

5. Menganalisis alternatif kunci

a. Bagaimana caranya menggunakan seluruh kekuatan untuk merebut peluang dan mengatasi ancaman?

b. Bagaimana mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman?

c. Bagaimana prioritas ditentukan? 6. Memilih alternatif

a. Alternatif apa yang terbaik?

b. Alternatif apa yang dapat memperbaiki situasi?

c. Alternatif apa yang dapat meningkatkan kegiatan operasional? d. Perubahan apa yang bersifat kritis?

e. Sumber daya apa yang bersifat kritis?

f. Bagaimana dengan penjadwalan yang bersifat kritis?

(38)

dalam membuat analisis adalah strategi telah berubah, manajemen sangat lemah, struktur organisasi sudah tidak sesuai, perencanaan yang sangat tidak efektif, dan sebagainya. Isu yang berkaitan dengan semua permasalahan di atas perlu dirumuskan mengingat setiap saat lingkungan berubah. Dengan demikian, pengenalan terhadap pasar baru dan peluang pemasaran diperlukan. Selain itu, pemahaman mengenai perubahan internal perusahaan, seperti perubahan teknologi, perubahan produk, dan perubahan struktur biaya, juga diperlukan.

Berbagai model dan konsep dapat digunakan sebagai alat analisis. Dalam analisis kasus yang bersifat strategis, tidak ada jawaban yang benar atau salah. Ini disebabkan karena setiap kasus yang berhasil diselesaikan diikuti oleh pendekatan baru dan pencarian masalah baru yang muncul dari permasalahan sebelumnya.

Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif, terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dengan menggunakan model yang tercanggih maupun tradisional. Keputusan yang berbobot hanya dapat dibuktikan oleh waktu. Artinya keputusan yang diambil akan benar-benar terbukti setelah periode waktu tertentu.

Langkah selanjutnya adalah analisis matriks SWOT untuk memilih alternatif strategi yang tepat dalam menghadapi resiko-resiko pertanian. Analisis ini terdiri dari kekuatan, yaitu sumber daya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar. Kelemahan yaitu keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan kapabilitas yang secara serius menghambat kinerja efektif. Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan, sedangkan ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan.

(39)

1. Matriks IFE

Matriks IFE digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting. Data dan informasi aspek internal perusahaan dapat diperoleh dari beberapa data/informasi fungsional perusahaan, misalnya dari aspek manajemen, keuangan, SDM, pemasaran, sistem informasi dan produk/operasi (Hamdi, 2011).

Tabel 1. Matriks IFE

Faktor strategis internal Bobot (a) Rating (b) Skor (a x b)

A. Kekuatan 1.

10.

Jumlah (A) B. Kelemahan

1.

10.

Jumlah (B) Total (A + B)

2. Matriks EFE

(40)

Tabel 2. Matriks EFE

Faktor strategis eksternal Bobot (a) Rating (b) Skor (a x b)

A. Peluang 1.

10.

Jumlah (A) B. Ancaman

1.

10.

Jumlah (B) Total (A + B)

3. Matriks IE

Gabungan kedua matriks IFE dan EFE menghasilkan matriks IE yang berisikan sembilan macam sel yang memperlihatkan kombinasi total nilai terboboti dari matriks-matriks IFE dan EFE. Tujuan penggunaan matriks ini adalah untuk memperoleh strategi pengembangan yang lebih rinci. Diagram tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan sel strategi perusahaan. Menurut David (2006), kesembilan sel itu dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi utama, yaitu.

a. Growth Strategy merupakan pertumbuhan perusahaan itu sendiri (sel I, II, dan IV). Strategi yang cocok digunakan adalah strategi intensif seperti penetrasi pasar, pengembangan pasar, pengembangan produk dan integrasi.

b. Stability Strategy adalah strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang sudah ditetapkan (sel III, V dan VII). Strategi yang cocok adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk.

(41)

Skor Total IFE

Matriks SWOT adalah alat untuk mencocokkan faktor-faktor penting yang akan membantu manajer mengembangkan strategi (Hubeis dan Najib, 2008). Ada 4 strategi, yaitu SO (kekuatan-peluang atau strenghts-opportunities), WO (kelemahan-peluang atau weaknesses-opportunities), Strategi ST (kekuatan-ancaman atau strenghts-threats), dan WT (kelemahan-ancaman atau weaknesses-threats).

a. Strategi SO (Strenghts-Opportunities atau kekuatan-peluang) adalah strategi yang digunakan perusahaan dengan memanfaatkan atau mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada. b. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities atau Kelemahan-Peluang) adalah

strategi yang digunakan perusahaan yang seoptimal mungkin meminimalisir kelemahan yang ada untuk memanfaatkan berbagai peluang.

c. Strategi ST (Strenghts- Threats atau Kekuatan-Ancaman) adalah strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada. d. Strategi WT (Weaknesses-Threats atau Kelemahan-Ancaman) adalah strategi

untuk mengurangi kelemahan guna meminimalisir ancaman yang ada.

(42)

Faktor

Tahap terakhir dari perumusan strategis adalah pengambilan keputusan. Alat yang digunakan pada tahap ini adalah matriks perencanaan strategis kuantitatif atau Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Untuk mengembangkan matriks QSP langkah-langkahnya adalah (David, 2006):

a) Mendaftarkan peluang atau ancaman eksternal dan kekuatan atau kelemahan internal perusahaan pada kolom kiri matriks QSP;

b) Memberikan bobot untuk setiap faktor eksternal dan internal. Bobot yang sama dengan yang dipakai dalam matriks IFE dan EFE;

c) Memeriksa tahap kedua (pemaduan) matriks dan mengidentifikasi strategi alternatif yang dapat dipertimbangkan perusahaan untuk diimplementasikan; d) Menetapkan nilai daya tarik (Attractive Score/AS) yang menunjukkan daya

tarik relatif setiap strategi dalam alternatif set tertentu;

e) Menghitung total nilai daya tarik dengan mengalikan bobot dengan nilai daya tarik;

(43)

Tabel 3. Matriks QSP

Faktor-faktor kunci Bobot

Alternatif strategi Strategi 1 Strategi 2

AS TAS AS TAS

Peluang Ancaman Kekuatan Kelemahan

Jumlah total nilai daya tarik

Keterangan : AS = nilai daya tarik, TAS = total nilai daya tarik

Nilai daya tarik: 1 = tidak menarik/mempengaruhi, 2 = agak mempengaruhi 3 = cukup mempengaruhi, 4 = sangat mempengaruhi

(44)

25

A. Gambaran Umum Wilayah

1. Wilayah Bogor

Secara geografis wilayah Bogor terletak antara 106o 43’30’’BT - 106o

51’00’’BT dan 6o 30’30’’LS

- 6o 41’00’’LS. Wilayah Bogor berada di Provinsi Jawa Barat dan hanya berjarak kurang lebih 56 km dari pusat pemerintahan Indonesia, Jakarta. Curah hujan rataan Bogor 4.000 mm/tahun.

Sumber: BPTP Bogor, 2012

Gambar 3. Peta daerah kajian

(45)

Wilayah Bogor yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Bogor memiliki luas 311.277,94ha. Wilayah ini pada tahun 2009 dihuni 5.093.047 jiwa (BPS kota dan kabupaten Bogor, 2009) tersebar di 46 kecamatan, yang mencakup 85 kelurahan dan 411 desa.

Kondisi geografi wilayah Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 190 sampai dengan 350 m dpl. Sumber air bagi wilayah Bogor menurut asalnya terdiri dari sungai, air tanah dan mata air. Sungai utama yang mengalir di wilayah Bogor terdiri dari sungai Ciliwung dan sungai Cisadane, sungai Cibeureum, sungai Cileungsi, sungai Cidurian serta beberapa sungai yang lain. Curah hujan rata-rata di wilayah Bogor berkisar antara 250-335 mm/bulan. Curah hujan minimum terjadi pada bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Bogor adalah 260C, dan temperatur tertinggi sekitar 34,40C. Kelembaban udara rata-rata lebih dari 70% dan kecepatan angin rata-rata adalah 2 km/jam dengan arah timur laut. a. Penggunaan lahan

Berdasarkan gambar 4, pola penggunaan lahan identik dengan struktur penggunaan lahan dimana wilayah Bogor terdistribusi ke dalam lahan pertanian dan lahan non pertanian. Lahan pertanian wilayah Bogor mencapai 147.684,05 ha atau 47% dari luas wilayah, yang terdiri dari lahan pertanian sawah 16% atau 49.775 ha dan lahan pertanian bukan sawah 31% atau 97.912 ha. Penggunaan luas lahan ini mengalami penurunan terus menerus akibat dari adanya perubahan fungsi guna lahan.

(46)

Sumber: 1. Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman kota Bogor, 2009 2. Dinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Bogor, 2009

Gambar 4. Luasan penggunaan lahan wilayah Bogor

b. Pertanian

Dalam ketersediaan pangan, khususnya aspek produksi (on farm), wilayah Bogor melaksanakan program intensifikasi pertanian pada tahun 2003 dengan cara menetapkan sasaran areal tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Intensifikasi tanaman pangan meliputi sub kegiatan perluasan areal tanam dan areal panen melalui peningkatan indeks pertanaman dan peningkatan mutu intensifikasi serta pengendalian organisme pengganggu tanaman pada tanaman padi, palawija dan hortikultura.

Tabel 4. Luas lahan, produksi dan produktivitas tanaman padi, palawija, dan hortikultura (sayuran) di wilayah Bogor

No Komoditi Luas Panen

(ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (kw/ha)

1 Padi 89.537 504.089 56,30

2 Jagung 1.183 3.990 33,73

3 Ubi kayu 9.510 184.527 194,04

4 Ubi jalar 3.887 55.688 143,27

5 Kacang Tanah 1.829 2.330 12,74

6 Talas 181 1.231 68,00

7 Sayuran 5.416 59.559 109,97

Jumlah 111.543 811.415 72,74

Sumber: 1. Dinas Pertanian kota Bogor, 2009

(47)

Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari seluruh luasan lahan pertanian tanaman pangan dan sayuran pada tahun 2009 yang mencapai luasan panen sebesar 111,543 ha, luas lahan panen padi mencapai 80,27% dengan produktivitas 56,30 kw/ha. Luas panen ubi kayu sebesar 8,53% dengan produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya yaitu 194,04 kw/ha. Produktivitas terbesar kedua setelah ubi kayu adalah tanaman ubi jalar yaitu sebesar 143,27 kw/ha dengan luas panen 3,48%. Kacang tanah dengan luas panen 1,64% memiliki produktivitas paling kecil yaitu 12,74 kw/ha. Jagung dan talas merupakan tanaman pangan yang memiliki luas panen paling kecil pada tahun 2009 dengan luas panen masing-masing 1,06% dan 0,16%. Komoditas hortikultura terutama sayuran memiliki luas panen 4,86% yang terdiri dari wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, cabe, tomat, terung, bayam, kangkung, buncis, katuk, dan caysin.

Kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat wilayah Bogor dipenuhi oleh hasil kegiatan on farm maupun off farm. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5 yang menggambarkan pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat pada tahun 2009.

Sumber: 1. BPS kota Bogor, 2009 2. BPS kabupaten Bogor, 2009

(48)

Kebutuhan bahan makanan masyarakat wilayah Bogor pada tahun 2009 cukup tinggi yaitu 2.590.450 ton, khusus padi/sereal sebesar 40,92%, umbi-umbian 13,96%, kacang-kacangan 6,61%, sayur-sayuran 16,56% dan buah buahan 14,45%. Dari Gambar 5 terlihat bahwa ketersediaan pangan lokal (produksi lokal) belum dapat memenuhi kebutuhan bahan makanan dari tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan yaitu rata-rata masih di bawah 50% dari kebutuhan konsumsi penduduk yang berjumlah 5.093.047 jiwa. Kekurangannya dipenuhi dengan mendatangkan dari luar daerah ataupun luar negeri (impor) yaitu sekitar 70,75%. Adapun persediaan pangan lokal (produksi lokal) berkisar antara 1,74% sampai dengan 70,73% dari kebutuhan konsumsi penduduk. Kekurangannya dipenuhi dengan mendatangkan dari luar daerah atau pun luar negeri (impor). Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan beras, wilayah Bogor disuplai dari luar daerah seperti Indramayu, Karawang dan Cianjur serta dari luar negeri seperti Cina, Vietnam dan Amerika Serikat.

Mengingat persediaan pangan lokal (produksi lokal) untuk kebutuhan konsumsi penduduk lebih kecil dibanding suplai dari luar. Untuk itu pemerintah wilayah Bogor telah melaksanakan kegiatan pemantauan cadangan pangan, baik cadangan pangan milik pemerintah yang diperuntukkan bagi keluarga miskin (raskin) maupun cadangan pangan milik masyarakat (ditingkat petani dan pasar).

(49)

2. Karakteristik Responden

Karakteristik petani di wilayah Bogor, sebagaimana petani-petani tanaman pangan yang ada di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir sama (homogen). Ada beberapa karakteristik yang melekat pada petani tanaman pangan di wilayah Bogor terutama dilihat dari jenis kelamin, usia, pendidikan, status dan luas lahan, pengalaman usahatani, pola tanam serta pendapatan petani. Hasil olah data tentang karakteristik petani responden di wilayah Bogor dapat ditunjukkan pada Tabel 5 berikut.

Pendidikan Tidak sekolah 11 22.45

SD/MI 22 44.90

Pengalaman usahatani <5 tahun 10 20.41

5 - 10 th 17 34.69

>10 th 22 44.90

(50)

Usia petani responden rata-rata di atas 30 tahun, dimana sekitar 46,93% berusia kurang dari atau sama dengan 50 tahun, sedangkan sebagian besar petani responden yaitu 53,07% berusia lebih dari 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia, terutama di Bogor cenderung tidak diminati oleh pemuda. Ada anggapan bahwa petani atau pertanian itu identik dengan pekerjaan bercocok tanam dan kemiskinan. Hal ini menyebabkan pemuda lebih cenderung untuk mencari pekerjaan lain selain bekerja di bidang pertanian.

Dari sisi tingkat pendidikan formal, petani responden di Bogor sebagian besar hanya sampai sekolah dasar (67,35%), dan sekolah lanjutan (32,65%). Tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, tidak selalu berarti kurang pengetahuan. Namun demikian, pendidikan formal yang tinggi akan sangat berperan dalam kemampuan menganalisis berbagai situasi, wawasan berpikir dan pemanfaatan teknologi terkini. Seperti umumnya ciri petani Indonesia memiliki lahan rata-rata 0,5 ha, begitu juga petani responden di Bogor dengan pemilikan lahan rata-rata di Bogor adalah <0,5 ha dengan status kepemilikan lahan tersebut rata-rata adalah milik petani sendiri (63,27%) meskipun ada juga yang berupa tanah sewa.

Sebagian besar responden (44,90%) telah melakukan usahatani > 10 tahun, sedangkan yang berpengalaman 5-10 tahun sebanyak 34,69% dan sisanya baru berpengalaman < 5 tahun. Dilihat dari persentase pengalaman usahatani, menunjukkan bahwa petani di Bogor sudah memiliki pengalaman yang cukup dalam usahatani. Sehingga dapat dikatakan petani sudah memiliki pengalaman serta pengetahuan yang cukup tentang resiko pertanian.

(51)

14,29%. Responden yang melaksanakan pola tanam palawija yang diikuti dengan padi 12,24%, palawija dan sayuran 20,41%, sedangkan pola tanam palawija, padi dan sayuran 10,20%.

Gambar 6. Pola tanam yang dilaksanakan petani di wilayah Bogor

Pola tanam padi – palawija – sayur lebih diminati oleh petani dibandingkan hanya bertanam padi saja, atau palawija saja. Hal ini dikarenakan menurut pendapat petani bahwa usahatani dengan pola tanam yang demikian lebih menguntungkan. Keputusan petani untuk melakukan penanaman satu atau beberapa jenis tanaman pangan serta untuk melakukan polikultur/diversifikasi usahatani paling dominan didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman berusahatani.

(52)

Gambar 7. Biaya produksi dan pendapatan petani responden

Keuntungan petani tanaman pangan di wilayah Bogor Rp 500.000 – Rp 2.000.000 per satu kali musim tanam. Menurut pengakuan sebagian petani, terutama petani yang memiliki lahan pertanian kecil, dengan keuntungan yang demikian kecil tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Hal ini memaksa petani untuk melakukan pekerjaan selain di ladang, yaitu mengerjakan pengolahan pasca panen, atau kegiatan yang bersifat off farm seperti buruh tani, buruh di pasar, berjualan, tukang bangunan dan pekerjaan lainnya.

B. Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian

Gambar

Tabel 2. Matriks EFE
Gambar 1. Matriks IE
Tabel 3. Matriks QSP
Gambar 3. Peta daerah kajian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perwakilan Diplomatik dan Konsuler, Misi Khusus, Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Perwakilan Badan-badan Khusus PBB, dan Organisasi. Internasional di dalam menjalankan

Hasil penelitian menunjukkan (1) Bentuk pembinaan akhlak yang dilakuka oleh guru di MTs Negeri 1 Manado adalah dengan cara menerapkan pembelajaran akhlak kepada peserta

Dengan meningkatnya mutu proses belajar mengajar besar pula kemungkinannya untuk meningkatkan mutu keluarannya. Menimbulkan koherensi

The aim of this retrospective study was to investigate the prevalence of A.baumannii from routine clinical specimens sent to clinical microbiology.. laboratory RSUP HAM Medan and

Berdasarkan hasil perhitungan dengan program SPSS dari tabel 9, dapat diketahui bahwa semua pernyataan untuk variabel Komitmen Organisasi, Kompetensi Auditor dan Kinerja

Manajemen risiko adalah sebuah proses, yang dipengaruhi oleh dewan pengawas, manajemen senior dan personil lainnya, diterapkan dalam perumusan strategi dan diterapkan di seluruh

KULIAH KERJA NYATA (KKN) merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa UIN Alauddin Makassar sebelum memperoleh gelar sarjana dalam bidang disiplin ilmu

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Pola Bilangan