• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biosintesis dan karakterisasi nanopartikel silika (SiO2) dari sekam oleh Fusarium oxysporum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biosintesis dan karakterisasi nanopartikel silika (SiO2) dari sekam oleh Fusarium oxysporum"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

IRMA ROSIANA ELIZABETH

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Silika dari Sekam oleh

Fusarium oxysporum

. Dibawah bimbingan LAKSMI

AMBARSARI dan YUSMANIAR

Nanopartikel silika memiliki kelebihan diantaranya yaitu, luas permukaan

besar, ketahanan panas, kekuatan mekanik dan inert sehingga digunakan sebagai

prekursor katalis, adsorben, dan filter komposit. Biosintesis merupakan metode

dalam mensintesis nanopartikel melalui sel mikroba dengan melibatkan reaksi

enzimatis. Penelitian ini bertujuan menghasilkan produk biosintesis nanopartikel

silika oleh

F.oxysporum

dengan optimasi fase pertumbuhan dan jumlah substrat

berupa sekam.

F.oxysporum

ditumbuhkan dalam kondisi pH media 4-6, suhu

inkubasi 27ºC, dan sistem aerasi 200 rpm.

Keberadaan enzim ekstraseluler

F.oxysporum

dilihat berdasarkan kemampuannya dalam mereduksi silika yang

terkandung dalam sekam. Jumlah substrat optimum ditentukan dengan dua

perlakuan yaitu 5 gram dan 2.5 gram sekam. Pemanenan biomassa

F.oxysporum

dilakukan pada jam ke-72, yaitu saat sel memasuki fase stasioner berdasarkan

kurva pertumbuhan. Hasil analisis SEM untuk kedua jenis perlakuan jumlah

substrat menunjukkan partikel terlihat beragregat satu dengan lainnya dan

memiliki ukuran partikel relatif tidak berbeda, dengan variasi ukuran antara

200-1000 nm. Tiga puncak tertinggi ditemukan dalam spektrum absorbsi FTIR, yaitu

berada pada 3408.18 cm

-1

untuk gugus

H2O, 1639.04 cm

-1

untuk gugus CO3

2-

, dan

1078.71 cm

-1

untuk gugus Si-O-Si. Sekam dengan perlakuan

F.oxysporum

(3)

by

Fusarium oxysporum

and Its Characterization. Under supervision of LAKSMI

AMBARSARI and YUSMANIAR.

Silica nanoparticles have many advantages such as large surface, heat

resistance, mechanical strength, and inert. Therefore has been used as a precursor

catalyst, an adsorben, and a composit filter. Biosynthesis is a method to find the

nanoparticles through enzymatical mechanism from microbe. This research aims

to produce the silica nanoparticles by

F.oxysporum

with a phase growth and an

amount of rice husk as substrate optimization.

F.oxysporum

is

grown in a media

pH 4-6, incubation temperature 27ºC, and 200 rpm aeration system. The presence

of extracellular enzymes

F.oxysporum

views based on their ability in reducing the

silica which is contained in the rice husk. The number of optimum substrate is

determined by the two treatments, 2.5 gram and 5 gram of rice husks. The

(4)

IRMA ROSIANA ELIZABETH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

NIM : G84061307

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Laksmi Ambarsari, MS

Yusmaniar, MSi

Ketua

Anggota

Diketahui

Dr. I Made Artika, M. App. Sc.

Ketua Departemen Biokimia

(6)

tanggal 17 Februari 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari

Ibu Indriyani Diah Rahayu dan Ayah Popo Suherman. Pendidikan akademik

penulis dimulai pada tahun 1994 di SDN 10 Cakung Jakarta Timur, kemudian

melanjutkan ketingkat SMP di SMPN 234 Jakarta Timur. Setelah menamatkan

SMA di SMAN 89 Jakarta Timur, penulis melanjutkan kuliah di IPB melalui jalur

USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Penulis memilih mayor Biokimia dan Ilmu komunikasi sebagai keahlian

pendukung (minor) pada tingkat kedua. Selama mengikuti perkuliahan, penulis

juga menjadi asisten praktikum untuk sejumlah mata kuliah seperti Biologi dasar,

Pengantar Penelitian Biokimia, Biokimia Klinis, Keteknikan Asam Nukleat dan

Protein, Metabolisme, serta Biokimia Umum. Selain itu, Penulis pernah menjalani

Praktik Lapang di Seksi Vaksin, Bidang Produk Biologi PPOMN, Badan POM

RI.

Laporan Praktik Lapangan: Uji Kontrol Kualitas Vaksin BCG, Sirih Merah

sebagai Obat anti Diabetes Melitus, Pemanfaatan Dedak Padi sebagai Pencegahan

Hiperlipidemia, dan Sup Instan Singkong merupakan beberapa karya ilmiah yang

(7)

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah

mengenai Biosintesis dan Karakterisasi Nanopartikel Silika dari Sekam oleh

Fusarium oxysporum

. Penelitian ini telah berlangsung selama 6 bulan dari bulan

Maret hingga Agustus 2010. Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian

Bogor.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Laksmi Ambarsari, MS

dan Yusmaniar, MSi selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan penulis

dalam penelitian ini. Tidak lupa pula penulis sampaikan ucapan terima kasih

kepada seluruh staf laboran di Laboratorium Biokimia atas bantuan yang telah

diberikan. Ucapan terima kasih yang paling besar penulis sampaikan kepada

kedua orang tua, mama dan aa Teten atas kasih sayang dan do

a yang tiada henti.

Karya ilmiah ini juga di dedikasikan untuk papa. Terima kasih juga untuk seluruh

keluarga di Cengkareng untuk mami Ina, papa Didi, mba Pipi, mba Dede, mami

Yanli, om Rudy, dan ka Iwan, untuk keluarga di Bandung, teman-teman Biokimia

43, untuk sahabat-sahabat di Ponah, Ratna Idola, Sheila, Sifa, Indri, Yuli, Evi,

Shabrina, Erni, dan Riri, serta semua Guru, keluarga, dan sahabat yang tidak bisa

disebutkan satu persatu,

atas do’a,

ilmu, dukungan, perhatian dan kasih sayangnya

selama ini.

Karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan, sehingga penulis mengharapkan

adanya kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2011

(8)

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Nanoteknologi dan Nanopartikel ... 2

Biosintesis Nanopartikel ... 3

Fusarium Oxysporum

... 4

Pertumbuhan Sel Kapang ... 5

Silika (SiO2) dan Sekam ... 6

Metode Analisis Nanopartikel Silika ... 7

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 9

Metode Penelitian ... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Peremajaan dan Penumbuhan Isolat Cair

Fusarium oxysporum

...10

Kurva Pertumbuhan dan Hasil Pemanenan Isolat

Fusarium oxysporum

...12

Nanopartikel Silika sebagai Hasil Biosintesis oleh

F.oxysporum

...13

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ...17

Saran ...17

DAFTAR PUSTAKA ... 17

(9)

1 Mekanisme reduksi biosintesis nanopartikel Ag. ... 3

2

Fusarium oxysporum

. ... 5

3 Spora Aseksual

Fusarium oxysporum

. ... 5

4 Pertumbuhan spora kapang. ... 6

5 Kurva pertumbuhan fungi. ... 6

6 Pemrosesan padi ... 7

7 Skema kerja SEM. ... 8

8 Skema kerja FTIR. ... 9

9 Skema kerja XRD ... 9

10

F.oxysporum

berumur 4 hari dalam media PDA ... 11

11 Pengamatan mikroskopis

F. oxysporum

perbesaran 10x10. ... 11

12

F. oxysporum

dalam PDL ... 11

13 Kurva pertumbuhan

F.oxysporum

. ... 12

14 Proses pemurnian. ... 14

15 Hasil analisis SEM nanopartikel silika dengan 5 gram sekam. ...14

16 Hasil analisis SEM sekam tanpa perlakuan

F.oxysporum

. ...14

17 Hasil analisis SEM silika gel perbesaran 1000 x. ... 14

18 Hasil analisis FTIR. ...15

19 Hasil analisis SEM nanopartikel silika dengan 2.5 gram sekam ...16

20 Puncak difraksi nanopartikel silika kristalin (

crystoballite)

. ... 16

21 Puncak difraksi sekam tanpa perlakuan

F.oxysporum.

... 16

(10)

Halaman

1 Komposisi media PDA dan media PDL ...21

2 Bagan alur pembuatan media ... 22

3 Bagan alur proses ... 23

4 Biosintesis nanopartikel ... 24

5 Pertumbuhan

F.oxysporum

... 25

6 Data kurva pertumbuhan ... 26

(11)

yang melibatkan partikel dengan dimensi

ukuran 100 nm atau kurang, yaitu

nanopartikel. Studi mengenai nanopartikel khususnya nanopartikel logam saat ini sedang berkembang pesat dan mendapat perhatian

yang lebih dari para peneliti karena

pemanfaatan yang luas dalam menciptakan teknologi baru di bidang kimia, elektronika, kesehatan, dan bioteknologi (Marlina 2008;

Moghaddam 2010). Nanopartikel silika

memiliki beberapa sifat diantaranya, luas permukaan besar, ketahanan panas yang baik, kekuatan mekanik yang tinggi, dan inert sehingga digunakan sebagai prekursor katalis (Benvenutti dan Yoshitaka 1998), sebagai adsorben (Kalapathy et al. 2000), dan sebagai filter komposit (Jamarun et al. 1997).

Berbagai metode dikembangkan dalam sintesis nanopartikel. Secara umum, diketahui terdapat 3 metode utama yang dikembangkan dalam sintesis nanopartikel. Metode sintesis tersebut diantaranya adalah sintesis secara kimia, sintesis fisika, dan sintesis secara biologi. Metode sintesis nanopartikel silika secara fisika dan kimia telah dilakukan Hadiyawarman et al. (2008) dan Fatmawati

(2010). Hadiyawarman et al. (2008)

menggunakan metode simple mixing, yaitu dengan menggunakan resin berupa suatu polimer epoxy dan perlakuan suhu. Metode ini memerlukan perlakuan yang lebih sulit,

yaitu seperti suhu, waktu pemanasan,

pengadukan, dan penggunaan resin kimiawi. Proses yang berlangsung sangat sensitif terhadap lingkungan, bila nanosilika yang dibuat memiliki kontak langsung dengan lingkungan pada saat perlakuan pengadukan menggunakan mixer, maka tidak terbentuk nanopartikel yang baik (Hadiyawarman et al.

2008). Fatmawati (2010) memerlukan suhu 850ºC dalam waktu 6 jam untuk mengubah sekam padi menjadi nanopartikel silika, namun demikian hasil yang didapat adalah

silika berukuran mikrometer kemudian

dilanjutkan dengan perlakuan fisik dan kimia.

Perlakuan fisik miling selama 36 jam

menghasilkan nanopartikel silika kristalin 32.377 nm dan perlakuan kimia dengan

presipitasi HCL-NaOH menghasilkan

nanopartikel silika berukuran 31.375 nm.

Biosintesis dipertimbangkan sebagai

metode alternatif tanpa perlakuan sulit dalam sintesis nanopartikel selain metode sintesis

secara kimia dan fisika. Proses ini

berlangsung ramah terhadap lingkungan,

merupakan pengembangan teknologi baru dengan menghasilkan nanopartikel melalui sel mikroba dengan melibatkan reaksi enzimatis (Moghaddam 2010).

Beberapa mikroorganisme memiliki

kemampuan untuk melakukan sintesis

nanopartikel logam, baik eukariot maupun

prokariot. Prokariot yang memiliki

kemampuan tersebut adalah bakteri, seperti

Pseudomonas aeruginosa dan Eschericia coli.

Eukariot yang mampu mensintesis

nanopartikel adalah fungi dan alga. Jenis fungi yang dapat digunakan adalah Fusarium oxysporum dan alga yang dapat digunakan

adalah Sargassum wightii (Moghaddam

2010).

Fusarium oxysporum dilaporkan sebagai mikroorganisme dengan penanganan yang lebih mudah bila dibandingkan dengan mikroorganisme lain (Moghaddam 2010).

Fusarium oxysporum dapat digunakan untuk menghasilkan nanopartikel logam. Fungi tersebut dapat bertahan dan tumbuh dalam konsentrasi ion logam yang tinggi, sehingga memiliki ketahananan untuk melawan kondisi

ekstrim dalam sintesis nanopartikel.

Biosintesis nanopartikel logam dilakukan dengan menggunakan perangkat yang terdapat pada fungi tersebut (Duran et al. 2005).

Fusarium oxysporum mampu

menghasilkan enzim, toksin, polisakarida, dan antibiotik secara ekstraseluler (Bilgrami dan

Dube 1976 dalam Sari 2006). Fusarium

oxysporum dikenal sebagai fungi penyebab penyakit layu pembuluh dan bersifat patogen bagi sebagian tanaman akibat toksin yang dikeluarkan (Efendi et al. 2008). Enzim

ekstraseluler spesifik yang dihasilkan

Fusarium oxysporum mampu menciptakan mekanisme dalam sintesis nanopartikel logam dengan mereduksi substrat dalam proses sintesis nanopartikel logam (Duran et al

2005).

Pemanfaatan Fusarium oxysporum untuk

biosintesis nanopartikel logam sedang

berkembang. Fusarium oxysporum dapat

digunakan untuk biosintesis nanopartikel perak berukuran 20-50 nm (Duran et al. 2002), nanopartikel emas (Mukherjee 2002), serta nanopartikel titania dan silika berukuran 5-15 nm (Bansal et al. 2005). Bansal et al. (2005) memanfaatkan bahan alam berupa pasir untuk sintesis nanopartikel silika. Keberadaan silika (SiO2) dalam tanaman

(12)

Padi (Oryza sativa) yang merupakan anggota keluarga gramineae diketahui mengandung silika. Soepardi (1982) mengatakan bahwa kandungan silika tertinggi padi terdapat pada sekam. Sekam padi dapat digunakan sebagai

sumber substrat dalam biosintesis

nanopartikel silika (SiO2). Sekam padi adalah

bahan pertanian berbasis limbah yang murah

dan kaya akan sejumlah silika. Proses

penggilingan gabah akan menghasilkan 16,3-28% sekam dan sebanyak 16.98% silika terkandung dalam sekam (Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001). Material anorganik silika yang terkandung dalam

sekam, berada dalam bentuk dasar

(amorphous silica) (Bansal 2006).

Sintesis silika secara kimia dan fisika tidak hanya mahal dan membahayakan lingkungan, tetapi juga membutuhkan kondisi yang lebih sulit, yaitu perlakuan temperatur, tekanan, dan pH ekstrim. Penelitian mengenai pemanfaatan sekam yang merupakan limbah pertanian sebagai sumber substrat silika oleh Fusarium oxysporum dan biotransformasinya menjadi nanopartikel silika kristalin belum banyak dilakukan. Penelitian mengenai biosintesis nanopartikel silika dari sekam oleh Fusarium oxysporum perlu dilakukan.

Penelitian ini bertujuan menghasilkan produk biosintesis berstruktur silika kristalin dan berbentuk nanopartikel silika dengan optimasi fase pertumbuhan dan jumlah substrat. Karakterisasi nanopartikel silika berdasarkan ukuran untuk analisis SEM (Scanning Electron Microscope), komposisi

kimiawi untuk analisis FTIR (Fourier

Transformer Infrared Spectroscopy), dan

struktur untuk analisis XRD (Xray

Difraction). Hipotesis penelitian ini adalah terdapat enzim ekstraseluler F.oxysporum

yang dapat mereduksi silika dari sekam padi dan karakterisasi produk biosintesis berupa silika berukuran nano. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data awal

dalam optimasi perlakuan biosintesis

nanopartikel silika dari sekam oleh

F.oxysporum dan dilanjutkan ke skala produksi yang lebih besar.

TINJAUAN PUSTAKA

Nanoteknologi dan Nanopartikel

Konsep nanoteknologi pertama kali

diperkenalkan oleh seorang ahli Fisika bernama Richard P. Feyman dalam suatu kuliah perkumpulan ahli Fisika di Amerika pada tahun 1979. Eric Drexler kemudian

memperkenalkan konsep nanoteknologi

kepada masyarakat luas melalui buku yang bejudul Engines of Creation pada pertengahan tahun 1980 (Park 2007).

Website resmi NASA memberikan definisi mengenai nanoteknologi, yaitu merupakan

teknologi dalam pembentukan bahan

fungsional, sumber, dan sistem melalui pengaturan berdasarkan skala atau ukuran (1-100 nm) dan didapatkan dengan pemanfaatan fenomena umum, secara fisika, kimia, serta biologi dalam skala yang lebih besar.

Nanoteknologi didefinisikan sebagai

teknologi dalam skala atom dengan dimensi kurang dari 100 nanometer dalam kamus bahasa inggris Oxford. Kata depan nano- berasal dari bahasa yunani, yang berarti satu nanometer sama dengan 10-9 meter. Produk yang dihasilkan dalam pemrosesan melalui nanoteknologi berdasarkan ukuran partikel dan berdasarkan definisi sebelumnya adalah nanopartikel. Nanopartikel dianggap sebagai bahan dengan dimensi ukuran kurang dari 100 nm. Luas permukaan nanopartikel dibuat sangat besar sehingga ukuran partikelnya menjadi sangat kecil, yaitu kurang dari 100 nm. Luas permukaan menentukan ukuran, struktur, dan ukuran agregasi partikel (Park 2007).

Nanopartikel dapat dihasilkan dalam tiga bentuk yaitu: (1) nanopartikel alami, (2)

nanopartikel antropogenik, dan (3)

nanopartikel buatan. Nanopartikel alami terbentuk secara sendirinya serta mencakup bahan yang mengandung nanokomponen dan kemungkinan ditemukan di atmosfir seperti garam laut yang dihasilkan oleh evaporasi air laut kedalam bentuk spray air, debu tanah, abu vulkanik, sulfat dari gas biogenik, dan bahan organik dari gas biogenik. Kandungan dari masing-masing nanopartikel alami tersebut di dalam atmosfer bergantung kepada kondisi bumi. Nanopartikel antropogenik merupakan nanopartikel yang terbentuk secara kebetulan dihasilkan dalam bentuk bahan bakar fosil. Nanopartikel antropogenik lain berada dalam bentuk asap dan partikulat yang dihasilkan dari oksidasi gas, seperti sulfat dan nitrat. Sedangkan, nanopartikel buatan merupakan nanopartikel yang dibentuk untuk tujuan tertentu dan kemungkinan ditemukan dalam satu atau beberapa bentuk yang berbeda (Lead 2007; Park 2007).

(13)

dimanfaatkan dalam berbagai bidang aplikasi (Park 2007).

Nanopartikel digunakan melalui

pemanfaatan yang luas untuk menemukan teknologi baru di bidang kimia, elektronika, kesehatan, dan bioteknologi. Nanopartikel, khususnya nanopartikel logam dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi, seperti antimikroba, optika, elektronika, biomedis, biosensor, biolabel, biofiltrasi, magnetika, mekanika,

katalis, bioremediasi, pereduksi limbah

industri, dan sumber energi (Marlina 2008; Moghaddam 2010). Aplikasi tersebut juga termasuk pembuatan baterai, remediasi tanah, dan bahan pembuatan peledak (Park 2007). Aplikasi nanopartikel yang luas berimplikasi

dengan banyaknya metode yang

dikembangkan dalam sintesis nanopartikel logam.

Biosintesis Nanopartikel

Secara umum, diketahui terdapat 3 metode utama yang dikembangkan dalam sintesis nanopartikel logam, diantaranya sintesis secara kimia, sintesis fisika, dan sintesis secara biologi (Moghaddam 2010). Sintesis nanopartikel secara biologi (biosintesis) dipertimbangkan sebagai metode paling baik

dalam membuat nanopartikel, daripada

metode sintesis secara kimia dan fisika. Hal tersebut dikarenakan sintesis nanopartikel secara biologi memiliki nilai pemanfaatan dan

komersil yang lebih tinggi, memiliki

simpanan reduktan yang banyak, energi yang dikeluarkan lebih sedikit, serta nilai produksi yang tinggi. Produksi nanopartikel dalam skala besar dengan menggunakan metode kimia dan fisik biasanya menghasilkan partikel yang lebih besar dalam ukuran mikrometer, metode sintesis nanopartikel

secara biologi dapat menghasilkan

nanopartikel yang baik dalam skala besar. Biosintesis juga merupakan metode yang lebih disarankan daripada kedua metode lainnya karena prosesnya bersifat bersih, nontoksik, murah, dan ramah lingkungan. Pertimbangan perlakuan kondisi juga perlu

diperhatikan, bahwa metode fisika

memerlukan temperatur tinggi dan metode kimia membutuhkan tekanan tinggi. Hal

tersebut menandakan metode sintesis

nanopartikel secara fisik dan kimia

memerlukan kondisi yang lebih sulit

dibandingkan dengan biosintesis nanopartikel (Moghaddam 2010).

Biosintesis nanopartikel merupakan

pengembangan teknologi baru dengan

menghasilkan nanopartikel logam dari sel mikroba serta melibatkan reaksi enzimatis.

Biosintesis nanopartikel berlangsung dalam mekanisme khusus yang bervariasi meliputi, sistem efluksi, reaksi oksidasi-reduksi, bioabsorpsi, bioakumulasi, presipatsi logam, dan sistem transport spesifik logam. Salah satu mekanisme untuk membuat nanopartikel logam, adalah dengan menggunakan enzim spesifik yang dapat mereduksi, seperti NADH reduktase (Moghaddam 2010).

Assay protein dalam biosintesis

nanopartikel Ag menunjukkan bahwa NADH reduktase diketahui sebagai enzim yang terlibat dalam proses biosintesis nanopartikel logam dan merupakan faktor penting yang bertanggung jawab dalam proses biosintesis. Reduktase memperoleh elektron dari NADH

dan mengoksidasinya menjadi NAD+,

kemudian reduktase mereduksi NO3- menjadi

NO2-. Enzim ini di dalam F.oxysporum

berkonjugasi dengan donor elektron bernama anthraquinon. Enzim ini kemudian mereduksi ion logam dan mengubahnya menjadi bentuk

lain (Gambar 1) (Duran et al. 2005;

Moghaddam 2010).

Enzim reduktase yang dihasilkan

F.oxysporum dalam biosintesis nanopartikel silika bersifat spesifik, F.monoliforme tidak

menghasilkan enzim ekstraseluler yang

dipergunakan dalam biosintesis nanopartikel silika (Bansal et al. 2002). Nanopartikel silika yang terbentuk kemungkinan adalah produk dari pertukaran elektron oleh reduktase spesifik F.oxysporum. Biosintesis dengan

mempergunakan enzim ekstraseluler ini

berlangsung dalam beberapa menit, sehingga biosintesis dapat menghasilkan nanopartikel dalam proses yang cepat (Duran et al. 2005; Moghaddam 2010).

Ag+ Ag

(14)

Berdasarkan enzim pereduksi yang

dihasilkan mikroba, teknik biosintesis

nanopartikel logam diklasifikasikan menjadi biosintesis intraseluler dan biosintesis ekstraseluler. Biosintesis secara intraseluler

melaksanakan proses sintesis yang

berlangsung di dalam sel. Proses detoksifikasi logam berbahaya dimediasikan oleh suatu reaksi enzimatis yang berlangsung melalui bioreduksi. logam dan terjadi di dalam sel. Melalui mekanisme tersebut, nanopartikel didapatkan dari sel dengan metode tertentu (Moghaddam 2010).

Proses reduksi tidak terjadi di dalam sel mikroba pada biosintesis ekstraseluler dari

nanopartikel logam. Pereaksi biologis

dibutuhkan untuk bioreduksi dalam bentuk biolikuid. Enzim yang berperan dalam bioreduksi disekresikan keluar sel. Air yang telah menyimpan biomassa selama sehari

digunakan dalam metode biosintesis

ekstraseluler. Pereaksi biologis berupa enzim dibebaskan oleh biomassa kedalam air steril. Air steril yang mengandung enzim tersekresi digunakan sebagai reduktan untuk mereduksi ion logam dan menciptakan nanopartikel logam (Moghaddam 2010).

Biosintesis ekstraseluler memiliki dua keuntungan. Proses tambahan diperlukan untuk mendapatkan nanopartikel yang berada dalam biomassa dalam metode intraseluler, yaitu dengan ultrasound atau reaksi kimiawi dengan menggunakan detergen. Biosintesis ekstraseluler tidak perlu dilakukan proses tersebut. Biosintesis ekstraseluler dianggap

sebagai proses yang lebih murah.

Keuntungan-keuntungan tersebut yang

membuat metode biosntesis ekstraseluler, lebih banyak digunakan bagi pengembangan proses ekstraseluler dalam biosintesis logam (Moghaddam 2010).

Beberapa mikroorganisme memiliki

kemampuan dalam mensintesis nanopartikel logam, baik eukariot maupun prokariot. Prokariot yang memiliki kemampuan tersebut adalah bakteri. Sedangkan mikroorganisme

eukariot yang mampu mensintesis

nanopartikel adalah fungi dan alga. Meskipun banyak mikroorganime yang dapat digunakan,

fungi F.oxysporum dilaporkan sebagai

mikroorganisme dengan penanganan yang lebih mudah bila dibandingkan dengan mikroorganisme lain (Moghaddam 2010).

Fusarium Oxysporum

Fungi adalah organisme dengan sel-sel berinti sejati (eukariot), biasanya berbentuk benang, bercabang-cabang, tidak berklorofil,

dan dinding selnya mengandung kitin serta

selulosa. Fungi merupakan organisme

heterotrof, absortif, dan membentuk beberapa macam spora. Bagian vegetatif fungi biasanya berupa benang-benang yang disebut sebagai hifa. Kumpulan benang-benang hifa disebut miselium. Fungi dapat bereproduksi aseksual

melalui spora aseksual (konidia) dan

reproduksi seksual melalui spora seksual. Berdasarkan sistem reproduksinya, fungi dibedakan atas beberapa kelas, diantaranya askomikotina, basidiomikotina, oomikotina, dan deuteromikotina (Semangun 1996 dalam Sari 2006).

Deuteromikotina merupakan cendawan tingkat tinggi yang mempunyai hifa bersekat. Jenis fungi ini memiliki karakteristik dengan tidak diketahui siklus reproduksi seksualnya, sehingga dikenal dengan fungi imperfek.

Salah satu fungi yang tergolong

deuteromikotina adalah Fusarium sp

(Semangun 1996 dalam Sari 2006).

Fusarium oxysporum masuk kedalam kelas Deuteromikotina, ordo Hypomiseta atau

Monilia. Fusarium oxysporum masuk

kedalam famili Tuberkulariceae dengan letak

konidia pada sporodochium. Fusarium

oxysporum juga termasuk kedalam kelompok Fragmonospora, yaitu memiliki konidia satu atau lebih, berseptat, bening atau berwarna,

dan berbentuk sabit atau kumparan

(Thompson dan Lim 1995 dalam Sari 2005). Fusarium oxysporum yang merupakan spesies yang dapat tumbuh dalam lingkung anaerob ini biasanya ditumbuhkan pada medium PDA (Potato Dextrose Agar) dan dapat mencapai diameter 3.5-5.0 cm. Miselia tampak banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya sedikit keunguan yang tampak lebih kuat dekat permukaan medium (Gandjar et al.1999) (Gambar 2).

Fusarium oxysporum dalam siklus

hidupnya mengalami fase patogenesa dan saprogenesa atau merupakan saprofit tanah tetapi dapat bersifat patogen bagi banyak tumbuhan. Fungi ini hidup sebagai parasit pada tanaman inang yang masuk melalui luka akar, kemudian patogen berkembang dalam jaringan tanaman. Spesies ini dapat diisolasi dari biji atau serealia, kacang tanah, kacang kedelai, buncis, kapas, pisang, umbi bawang, kentang, jeruk, apel, dan bit (Gandjar et al.1999).

Fusarium oxysporum menghasilkan

beberapa macam bentuk spora aseksual yaitu,

makrokonidia, mikrokonidia, dan

(15)

merupakan bentuk spora yang yang paling sering dihasilkan dalam semua keadaan. Spora ini bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk pada

fialid yang terdapat pada konidiofor

bercabang pendek, umumnya terdapat dalam jumlah banyak sekali, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk elips sampai silindris, lurus atau sedikit bengkok, dan

berukuran (5.0x12.0)x(2.2-3.5) μm.

Makrokonidia merupakan spora yang sangat khas terdapat pada galur Fusarium sp. Makrokonidia terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3, dan berukuran (20)27-(46)50x3.0-4.5(5)

μm. Klamidospora terdapat dalam hifa atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus atau sedikit kasar, berbentuk semibulat dengan diameter 5.0-15 μm., terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal (Booth 1971).

Gambar 2 Fusarium oxysporum.

Gambar 3 Spora Aseksual Fusarium

oxysporum (a) makrokonidia (b) konidiofor (c) fialid (d)

mikrokonidia (e)

Khlamidospora.

Fusarium oxysporum mampu

menghasilkan enzim, toksin, polisakarida, dan antibiotik secara ekstraseluler (Bilgrami dan

Dube 1976 dalam Sari 2006). Fusarium

oxysporum dikenal sebagai fungi penyebab penyakit layu pembuluh dan bersifat patogen bagi sebagian tanaman akibat toksin yang dikeluarkan (Efendi et al. 2008). Enzim

spesifik disekresikan oleh Fusarium

oxysporum diluar sel (ekstraseluler). Enzim yang ekstraseluler tersebut dapat mereduksi substrat tertentu (Sari 2006).

Pertumbuhan Sel Kapang

Definisi pertumbuhan didalam sudut

pandang mikrobiologi adalah pertambahan volume sel karena adanya pertambahan

protoplasma dan asam nukleat yang

melibatkan sintesis DNA dan pembelahan mitosis (Gandjar et al. 2006). Pertumbuhan volume sel tersebut bersifat irreversibel, artinya tidak dapat kembali ke volume semula. Benang-benang hifa yang terbentuk membuktikan terjadi pertumbuhan pada suatu sel kapang (Gandjar et al. 2006).

Pertumbuhan sel kapang berawal dari sesuatu yang semula tidak terlihat, yaitu suatu spora atau konidia, menjadi benang-benang hifa (Gambar 4). Benang-benang hifa yang dapat terlihat secara makroskopik disebut miselium. Miselium menyebabkan timbulnya kekeruhan pada media cair dalam waktu tertentu. Kekeruhan media berbanding lurus dengan pertambahan biomassa miselium kapang dan dapat digambarkan dengan kurva pertumbuhan (Gandjar et al. 2006).

Kurva pertumbuhan diperoleh dengan menghitung kekeruhan media dalam waktu

tertentu. Kurva pertumbuhan umumnya

melewati beberapa fase, antara lain: (1) fase lag, (2) fase akselerasi, (3) fase eksponensial, (4) fase deselerasi, (5) fase stasioner, dan (6) fase kematian (Gambar 5). Fase-fase yang dilewati suatu sel dalam kurva pertumbuhan

tersebut dapat memberikan informasi

mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan suatu biomassa sel kapang di dalam media, seperti suhu

optimum, derajat keasaman optimum,

perlakuan substrat, dan aerasi. Selain itu, informasi mengenai waktu saat enzim-enzim ekstraseluler dikeluarkan untuk menguraikan senyawa-senyawa kompleks serta nutrien-nutrien juga dapat diketahui (Gandjar et al.

2006).

(16)

yang diperlukan. Secara umum, nutrien yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, kalium, magnesium, natrium, kalsium, natrium mikro (besi, mangan, zinc, kobalt, molibdenum) dan vitamin. Karbon menempati posisi yang unik karena semua organisme hidup memiliki karbon sebagai salah satu pembangun tubuh (Gandjar et al.

2006).

Kapang adalah mikroorganisme heterotrof karena tidak memiliki kemampuan untuk mengoksidasi senyawa karbon. Senyawa karbon yang dapat dimanfaatkan kapang untuk membuat materi sel baru berkisar dari molekul sederhana, seperti asam organik, gula terikat alkohol, polimer rantai pendek, dan panjang yang mengandung karbon. Senyawa kompleks, seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat juga dapat dimanfaatkan kapang sebagai sumber karbon (Gandjar et al.

2006).

Gambar 4 Pertumbuhan spora kapang.

Gambar 5 Kurva pertumbuhan fungi (1)fase lag ,(2) fase akselerasi, (3) fase eksponensial, (4) fase deselarasi. (5) fase stasioner, (6) fase kematian.

Silika (SiO2) dan Sekam

Silika merupakan material yang tersedia di alam dan secara kuantitatif memiliki jumlah yang melimpah. Tanaman berperan secara signifikan dalam siklus biogeokimia silika. Silika berada di dalam tanah berbentuk silika larut air (H4SiO4). Tanaman menyerap silika,

dipolimerisasi dan dipresipitasi menjadi

bentuk silica amorphous. Beberapa

karbohidrat dan protein tanaman diketahui memiliki peran dalam polimerisasi biosilika

menjadi bentuk silica amorphous sama

dengan bentuk silika yang terdapat di biosfer. Tanaman mati akan meninggalkan silika kembali kedalam tanah dan berlangsung aktivitas mikrobial (Soepardi 1982).

Silika terakumulasi dalam bentuk phytolit

yang merupakan bentuk primer dari silica amorphous (SiO2 dengan 5-15% H2O).

Berbagai jenis tanaman baik dikotil maupun

monokotil memproduksi phytolit. Jenis

tanaman dikotil yang memprodukisi phytolit

diantaranya mytaceae, casuarinaceae,

proteaceae, xantorhoeceae, dan mimosceaee. Jenis tanaman monokotil yang memproduksi

phytolit adalah equistaceae dan gramineae (Bansal 2006).

Keberadaan silika (SiO2) dalam tanaman

gramineae telah diketahui sejak tahun 1938. Padi (Oryza sativa) yang merupakan anggota

keluarga gramineae dan diketahui

mengandung silika. Menurut Soepardi (1982), kandungan silika tertinggi pada padi terdapat pada sekam bila dibandingkan dengan bagian tanaman padi lain seperti helai daun, pelepah daun, batang, dan akar. Sekam dalam padi (gramineae) merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa pertanian atau limbah penggilingan pada proses penggilingan padi (Bansal 2006)

(Gambar 6). Proses penggilingan gabah akan dihasilkan 16,3-28% sekam. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak, dan energi

(Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001).

Ditinjau dari komposisi kimiawinya, sekam mengandung beberapa unsur penting seperti terlihat pada Tabel 1. Sebanyak 16.98% silika terkandung dalam sekam. Material anorganik silika yang terkandung dalam sekam, berada dalam bentuk dasar (amorphous silica) (Balai Penelitian Pasca

Panen Pertanian 2001; Bansal 2006).

(17)

Gambar 6 Pemrosesan padi (a) hasil pemrosesan padi (b) serbuk sekam hasil penggilingan

Tabel 1(a) Komposisi kimiawi sekam

Komponen Kandungan (%)

Kadar air 9.02

Protein kasar 3.03

Lemak 1.18

Serat kasar 35.68

Abu 17.71

Karbohidrat kasar 33.71

Karbon (zat arang) 1.33

Hidrogen 1.54

Oksigen 33.64

Silika (SiO2) 16.98

Sumber : Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian (2001).

Tabel 1(b) Komposisi kimiawi sekam

Komponen Kandungan (%)

H2O 2.40-11.35

Crudeprotein 1.70-7.26

Crude fat 0.38-2.98 Ekstrak nitrogen bebas 24.70-38.79

Crude fiber 31.37-49.92

Abu 13.16-29.04

Pentosa 16.94-21.95

Selulosa 34.34-43.80

Lignin 21,40-46.97

Sumber : Ismunadji (1988) dalam Laksmono (2000).

Komposisi kandungan kimia seperti yang di deskripsikan dalam Tabel 1, sekam antara lain dapat dimanfaatkan untuk (1) bahan baku industri bahan bangunan, terutama kandungan silika (SiO2) yang dapat digunakan untuk

campuran pada pembuatan semen, bahan isolasi, husk-board dan campuran pada industri bata merah; (2) sumber energi panas karena kadar selulosanya cukup tinggi sehingga dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil. Sekam memiliki kerapatan jenis (bulk density) 125 kg/m3, dengan nilai kalori 3.300 kkal/ kg sekam (Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001).

Silika adalah material anorganik yang penting. Silika secara khusus digunakan pada berbagai aplikasi, seperti resin, penyaring molekuler, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam pembuatan polimer. Selain itu, saat ini silika sedang dikembangkan dalam bidang aplikasi biomedis (Bansal 2006). Silika yang dikembangkan saat ini, adalah silika sebagai bahan nanostrukur anorganik yang berpori. Silika berbentuk nanopartikel memiliki beberapa kelebihan sebagai partikel berdensitas rendah, partikel yang bersifat stabil secara termal, dan juga sebagai struktur yang dapat dikemas dalam bentuk kapsul, serta tahan terhadap proses mekanik dalam aplikasi pemanfaatnnya (Bansal 2006). Nanopartikel silika memiliki beberapa sifat diantaranya, luas permukaan besar, ketahanan panas yang baik, kekuatan mekanik yang tinggi, dan inert sehingga digunakan sebagai prekursor katalis (Benvenutti dan Yoshitaka 1998), sebagai adsorben (Kalapathy et al. 2000), dan sebagai filter komposit (Jamarun et al. 1997).

Metode Analisis Nanopartikel Silika

Produk sintesis berupa nanopartikel silika dari bahan dasar sekam dianalisis dengan menggunakan tiga jenis instrumentasi, yaitu SEM (Scanning Electrone Microscope), FTIR (Fourier Transformer Infrared Spectroscopy)., dan XRD (Xray Diffraction). Analisis SEM, FTIR, dan XRD dapat

menentukan bahwa produk biosintesis

berukuran nano, berkomposisi kimiawi silika, dan berstruktur nanopartikel silika kristalin sudah terbentuk atau belum.

Scanning electrone microscope (SEM)

SEM adalah jenis mikroskop elektron yang mampu menampilkan gambar permukaan objek pengamatan dengan resolusi gambar

yang tinggi. SEM digunakan untuk

pengamatan detail permukaan objek. Sistem

a.

(18)

kerja SEM terdiri dari sumber cahaya elektron, sistem lensa, detektor, dan layar TV (Balaz 2008).

SEM bekerja melalui mekanisme kerja sehingga mampu menghasikan tampilan

gambar objek amatan. Gambar 7

menggambarkan mekanisme kerja SEM. Sumber cahaya elektron dihasilkan didalam suatu penembak elektron yang berbentuk filamen pemanas berupa tabung tanpa udara. Sumber cahaya elektron ini dipercepat dan difokuskan oleh sistem lensa magnetik yang berada diatas objek. Elektron dikumpulkan oleh detektor, diubah dalam bentuk voltase (energi listrik), kemudian disebar (Balaz 2008). Elektron dengan cepat mengenai permukaan objek untuk menginduksi radiasi-radiasi yang membentuk suatu bayangan yang dapat diperagakan melalui suatu tabung sinar katode. Proses yang terjadi didalam tabung katode mirip pembentukan gambar televisi. Objek yang akan dilalui radiasi elektron sebelumnya telah difiksasi dan dilapisi dengan logam berat seperti emas didalam hampa udara untuk mencegah distorsi (Dharmaputra 1989).

Hasil pencitraan SEM lebih baik bila dibandingkan dengan mikroskop cahaya konvensional. SEM memiliki jangkauan pandang yang luas terhadap objek yang diamati sehingga menghasilkan gambar detail permukaan objek yang sangat jelas. Struktur permukaan objek lebih terlihat curam dari pada hasil pencitraan mikroskop cahaya konvensional yang terlihat datar, sehingga SEM mampu mencitrakan objek dengan kontras yang baik (Balaz 2008).

Gambar 7 Skema kerja SEM.

SEM memiliki resolusi yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan mikroskop cahaya kovensional. Hal tersebut dikarenakan SEM

mempergunakan sumber cahaya berupa

elektron yang memiliki energi sangat besar beberapa ribu elektronvolt, energi tersebut 1000 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan energi yang dihasilkan dari cahaya tampak (2-3Ev). Resolusi SEM yang baik membuat SEM memiliki daya pisah hingga 50 nm dan dapat memperbesar bayangan hingga 8000-400000 kali (Balaz 2008).

FTIR (Fourier Transformer Infrared Spectroscopy)

Metode spektroskopi Inframerah (IR) didasarkan kepada absopsi cahaya IR oleh suatu molekul. Metode ini berguna untuk menentukan gugus fungsional suatu sampel. Jika suatu molekul ditempatkan di dalam

suatu daerah elektromagnetik (sinar

inframerah), akan terjadi perubahan bentuk energi dari daerah elektromagnetik ke

molekul. Kemampuan molekul dalam

mengabsorpsi radiasi berdasarkan sifat khas masing-masing molekul, yaitu perubahan dalam tingkat loncatan energetik elektron, pergerakan getaran dari atom, dan rotasi suatu molekul (Hendrayana et al. 1994; Balaz 2008).

Sumber radiasi (Z) pada FTIR berupa laser inframerah. Cahaya inframerah memiliki energi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ultraviolet dan sinar tampak. Hal tersebut menentukan tebal sampel (S) yang dipakai, tebal Sampel yang dipakai pada FTIR lebih tipis daripada spektrofotometer lainnya, yaitu sekitar 0.02 mm. Sampel (S) berupa padatan digerus dalam mortar bersama KBr kering dalam jumlah sedikit (0.5-2 mg sampel dengan 100 mg KBr kering). Campuran tersebut dipres diantara dua sekrup memakai kunci, kemudian terbentuk tablet sampel tipis yang diletakkan di tempat sel FTIR dengan lubang mengarah ke sumber radiasi (Z). Sampel dibiarkan terkena radiasi IR didalam FTIR. Radiasi dari sumber (Z) pergi melalui contoh (S) dan lewat melalui prisma (P).

Prisma (P) merupakan tempat terjadi

pemisahan komponen cahaya monokromatik

(Gambar 8). Rotasi perlahan prisma

(19)

untuk menghubungkan antara instrumen dengan komputer. Hasil peaks terlihat didalam monitor sesuai dengan gugus fungsi yang khas untuk masing-masing molekul (Hendrayana et al. 1994; Balaz 2008).

Gambar 8 Skema kerja FTIR.

XRD (X-Ray Diffraction)

Sinar X merupakan radiasi

elektromagnetik dengan panjang gelombang 10-10 m. Sinar ini terbentuk akibat pembagian spektrum elektromagnetik antara sinar γ dan ultraviolet. Sinar X mampu menyelidiki struktur kristal dari suatu padatan pada tingkat atomik. Bagian dalam suatu atom yang merupakan suatu padatan berada di daerah yang sama dengan panjang gelombang sinar X, kemudian sinar X dapat melewati padatan. Hal tersebut merupakan alasan mengapa sinar X dipantulkan dari atom kedalam kristal (Balaz 2008).

Difraksi sinar X membutuhkan sumber cahaya, contoh yang belum diketahui, dan sebuah detektor sebagai pengumpul sinar X (Gambar 9). Hasil dari pengukuran difraksi sinar X adalah pola yang digambarkan sebagai sebagai garis (peaks) dengan intensitas yang

berbeda-beda. Posisi garis (peaks)

menjelaskan karakteristik contoh yang diamati (Balaz 2008).

Gambar 9 Skema kerja XRD

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah isolat fungi Fusarium oxysporum (koleksi LIPI Biologi), sekam, akuades steril, sejumlah fenol-kloroform dan silika gel. Media yang dipergunakan adalah

media agar dekstrosa kentang (Potato

Dextrose Agar) yang terdiri atas 1000 mg/L ekstrak kentang dengan 200 g/L kentang, 15 g/L agar kentang, dan 20 g/L dekstrosa dan media agar dekstrosa cair (Potato Dextrose Liquid) yang terdiri atas ekstrak kentang

dengan 200 g/L kentang, 20 g/L dekstrosa dalam akuades steril. Beserta bahan tambahan lain, seperti HCL dan NaOH.

Alat-alat yang digunakan, meliputi neraca analitik OHAUS GA 200 Laminar Air Flow,

inkubator, inkubator bergoyang,

spektrofotometer Genesys 10UV, Beckman

High Speed Centrifuge, otoklaf TOMY High Pressure Steam Sterilzer ES-315, serta

peralatan laboartorium yang biasa

dipergunakan di laboratorium mikrobiologi.

Selain itu, instrumen seperti Scanning

Electron Microscope (SEM), Transmission Electron Microscope (TEM), serta X-Ray Diffraction (XRD) juga digunakan untuk katakterisasi nanopartikel.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap pengerjaan, yaitu meliputi: pembuatan media pertumbuhan, peremajaan dan pembuatan isolat cair Fusarium oxysporum, pembuatan kurva pertumbuhan dan pemanenan isolat

Fusarium oxysporum, serta sintesis nanopartikel silika. Penelitian dilakukan di

Laboratorium Biokimia FMIPA IPB,

Labortaorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, Laborartorium Fisika Program Material Sains UI untuk analisis dengan SEM dan XRD, serta Laboratorium Pengujian Balai

Besar Riset Pengolahan Produk dan

Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan-Kementarian Kelautan dan Perikanan untuk FTIR.

Pembuatan media pertumbuhan

Media pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Potato Dekstrose Agar (PDA) dan Potato Dekstrose Liquid

(PDL). Komposisi media PDA, yaitu 1000 ml/l air suling dengan 200 g/L kentang, 15 g/L agar kentang, dan 20 g/L dekstrosa. Komposisi media PDL, yaitu 1000 ml/L air suling dengan 200 g/L kentang, dan 20 g/L

dekstrosa. Antibiotik kloramfenikol

ditambahkan kedalam media sebanyak 250 mg/l (Dharmaputra et al. 1989).

(20)

dan PDL dengan pH 4 (Sari 2006). Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit.

Peremajaan dan pembuatan isolat cair

Fusarium oxysporum.

Isolat Fusarium oxysporum yang akan diremajakan diambil dengan menggunakan

coreborer dan dipindahkan kedalam cawan petri berisi media PDA. Cawan ditutup dan disegel menggunakan plastik wrap. Proses ini

dilakukan di dalam laminar air flow.

Fusarium oxysporum yang telah ditumbuhkan pada media PDA, kemudian diinkubasi pada suhu 27ºC selama 96 jam sampai fungi memenuhi cawan petri.

Isolat stok Fusarium oxysporum yang ditumbuhkan dalam PDA diinokulasikan

menggunakan coreborer pada labu

Erlenmeyer berisi 10 mL PDL yang merupakan suatu inoculum starter. Hasil

inokulasi ditutup dengan kapas dan

alumunium foil steril. Inoculum starter

selanjutnya diinkubasi dengan inkubator bergoyang dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 27ºC selama 12-18 jam.

Sebanyak 1% atau sebanyak 500 μL

inoculum starter diinokulasikan kedalam 50 mL media PDL. Hasil inokulasi ditutup dengan kapas dan alumunium foil steril. Isolat selanjutnya diinkubasi dengan inkubator bergoyang dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 27ºC.

Pembuatan kurva pertumbuhan dan pemanenan isolat Fusarium oxysporum

Fusarium oxysporum diukur biomassa pertumbuhannya yang tumbuh dalam media cair dekstrosa kentang (PDL) pada pembuatan

kurva pertumbuhan. Isolat Fusarium

oxysporum cair dalam PDL diukur optical density (OD) dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm dan interval waktu 12 jam, yaitu jam ke-0, 12, 24, 36, 48, 60, 72, 84, dan 96.

Isolat Fusarium oxysporum yang dipanen adalah isolat yang telah ditumbuhkan pada medium PDL dan diinkubasi dalam inkubasi bergoyang dalam waktu sesuai informasi yang didapatkan berdasarkan kurva pertumbuhan. Setelah diinkubasi dilakukan pemanenan

fungi dengan menggunakan teknik

sentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm selama 30 menit. Tahap selanjutnya adalah dilakukan pencucian pelet menggunakan air destilata

untuk menghilangkan sisa media dan

kemudian dilakukan proses sentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm selama 30 menit.

Sintesis nanopartikel silika

Perlakuan pertama dilakukan dengan 50 mL air destilata yang mengandung 5 gram sekam diautoklaf dalam labu Erlenmeyer 250 mL. Perlakuan kedua dilakukan dengan 50 mL air destilata yang mengandung 2.5 gram sekam diautoklaf dalam labu Erlenmeyer 250

mL. Kemudian, biomassa Fusarium

oxysporum yang telah dipanen sebanyak 10 gram diresuspensikan dalam air destilata yang mengandung sekam. Reaksi antara biomassa fungi dilaksanakan di inkubator bergoyang pada 200 rpm pada 27ºC selama 24 jam.

Suspensi difiltrasi sehingga dapat

dipisahkan antara miselia fungi dan sekam dari komponen air (filtrat produk). Filtrat yang didapat diberi perlakuan fenol-kloroform (1:1) dan disentrifugasi pada 6000 rpm selama 10 menit untuk menghilangkan protein ekstraseluler fungi dari pelarut cair.

Tahap selanjutnya adalah kristalisasi nanopartikel silika, yaitu filtrat nanopartikel silika dibuat dalam bentuk kristal dengan teknik spray dry, sehingga diperoleh dalam bentuk serbuk. Bubuk tersebut dikarakterisasi dengan SEM, FTIR, dan XRD.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Peremajaan dan Penumbuhan Isolat Cair Fusarium oxysporum

Peremajaan F.oxysporum merupakan

proses berkelanjutan yang dilakukan dengan tujuan menjaga agar kondisi isolat kapang yang dipergunakan masih dalam kondisi yang baik. Kondisi tersebut diperoleh jika isolat kapang tumbuh tanpa kontaminasi dan tercukupi nutrisi pertumbuhannya. Fungi

Fusarium oxysporum membutuhkan media tumbuh yang mengandung senyawa organik sebagai sumber karbon, seperti karbohidrat, asam organik, dan karbon dioksida (Gandjar

et al. 2006). Unsur karbon tersebut diperoleh dari media PDA (Potato Dekstrose Agar). Spora isolat F.oxysporum akan tertanam dalam cawan petri berisi media PDA pada proses peremajaan. Benang-benang hifa akan terbentuk dalam 1-2 hari. Benang-benang hifa terbentuk semakin banyak membentuk miselia pada hari ke-4. Miselia berwarna putih dan sedikit keunguan dengan diameter 3-5 cm di hari ke-4 (Gambar 10).

Pemeriksaan mikroskopis akan

membuktikan bahwa benang yang tumbuh

adalah isolat F.oxysporum. Gambar 11

(21)

terjalin. cabang-cabang hifa tumbuh dalam jumlah yang tidak sedikit menjauhi hifa yang pertama tumbuh. Gandjar et al. (2006) mengatakan bahwa pada titik percabangan

hifa dapat terjadi lisis dinding sel

(anastomosis) sehingga protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa. Dalam kondisi tersebut, miselia akan terbentuk dalam jumlah yang banyak.

Masing-masing hifa memiliki lebar 5-10

μm (Pelczar & Chan 2008). Hal tersebut

dijadikan dasar untuk membedakan dengan sel bakteri yang pada umumnya memiliki

diameter 1 μm. Karakteristik khas dari suatu

F.oxysporum bila dibandingkan dengan fungi jenis lain ditunjukkan dalam Gambar 11 bahwa miselia terdiri dari hifa bersekat dan terdapat nukleus. Pelczar & Chan (2008) mengatakan bahwa sekat membagi hifa menjadi sel berisi nukleus tunggal.

Hasil peremajaan yang tumbuh dengan

baik tanpa kontaminan berdasarkan

pemeriksaan mikroskopis dijadikan sebagai inokulum. Inokulum merupakan sumber bahan yang mengandung spora sel kapang dan dengan sengaja ditambahkan pada substrat (Gandjar et al. 2006). Sumber substrat yang dipergunakan dalam pembuatan isolat cair

berasal dari media cair PDL (Potato

Dekstrose Liquid) dengan pH 4.

Gambar 10 F.oxysporum berumur 4 hari dalam media PDA

Gambar 11 Pengamatan mikroskopis F.

oxysporum perbesaran 10x10.

Suatu inocoloum starter dipersiapkan terlebih dahulu dalam pembuatan isolat cair.

Inocoloum starter berfungsi dalam mengaktifkan isolat F.oxysporum didalam

media PDL, sehingga diharapkan

F.oxysporum sudah siap untuk tumbuh. 4/5 bagian ruang kosong labu Erlenmeyer

dipersiapkan dalam pembuatan suatu

inocoloum starter. 4/5 bagian ruang kosong labu Erlenmeyer merupakan salah satu usaha untuk memaksimalkan sistem aerasi dalam penumbuhan F.oxysporum di media cair PDL.

Aerasi dilakukan karena F.oxysporum

merupakan organisme aerob, sehingga

persediaan oksigen yang cukup diperlukan bagi pertumbuhan. Oksigen dibutuhkan untuk melakukan reaksi enzimatis dan proses respirasi (Sari 2006). Inocoloum starter

ditumbuhkan dalam kondisi suhu 27ºC dan di

aerasi dengan shaker orbital dengan

kecepatan 200 rpm selama 12-18 jam. Inocoloum starter yang berumur 18 jam akan terlihat keruh berwarna putih. Kekeruhan dalam inocoloum starter mengindikasikan bahwa terdapat miselia F.oxysporum yang sudah siap untuk tumbuh. Inocoloum starter

diinoukulasikan sebanyak 1% dari jumlah volume PDL, kemudian diinkubasi pada suhu 27ºC dan di aerasi dengan shaker orbital

dengan kecepatan 200 rpm.

Miselia akan terbentuk berupa suatu benang-benang putih yang semakin lama semakin menebal dan berwarna keunguan dalam beberapa hari. Gandjar et al. (2006) mengatakan hifa vegetatif tumbuh kedalam

medium cair seperti akar-akar yang

bercabang. Miselia tumbuh di dalam media seperti benang tebal, berwarna keunguan, dan menyebabkan warna media yang semula bening berubah menjadi keruh serta berwarna keunguan (Gambar 12).

Gambar 12 F. oxysporum dalam PDL

(a)biomassa miselia (b) isolat cair

(22)

Kurva Pertumbuhan dan Hasil Pemanenan Isolat Fusarium oxysporum

Kurva pertumbuhan memberikan informasi mengenai pertumbuhan jumlah isolat kapang

F.oxysporum yang tumbuh pada waktu-waktu

tertentu sesuai dengan fase-fase yang

dilewatinya. Kurva pertumbuhan dapat

menentukan fase pertumbuhan optimum bagi

Fusarium oxysporum dalam menghasilkan enzim ekstraseluler yanga mampu mereduksi

substrat tertentu. Kurva pertumbuhan

F.oxysporum dibuat dengan menghubungkan

Optical Density (OD) dengan berbagai interval waktu pengamatan.

Optical Density (OD) ditentukan

berdasarkan kekeruhan media yang diukur dengan instrumen berupa spektrofotometer

pada panjang gelombang 600 nm.

Spektrofotometer bekerja berdasarkan hukum Lambert-Beer yaitu menghitung banyaknya energi radiasi gelombang cahaya yang tidak diteruskan atau yang diserap oleh kekeruhan

media. Cahaya yang diserap media

berbanding lurus dengan pertumbuhan sel kapang.

Kurva pertumbuhan F.oxysporum dibuat dengan interval waktu 12 jam (Gambar 13). Warna media yang semula bening mulai berubah menjadi keruh pada jam ke-12, sehingga mengindikasikan bahwa pada jam ke-12 terjadi fase lag dan akselerasi. Fase lag adalah fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungannya, sedangkan fase akselerasi adalah fase saat sel bersiap untuk aktif membelah (Gandjar et al. 2006). Peningkatan OD sangat pesat terjadi pada jam ke-24 dan 36. Fase eksponensial terjadi pada jam

ke-12 sampai ke-36. Fase eksponensial

merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak dan aktivitas sel meningkat (Gandjar et al. 2006). Titik deselarasi terjadi pada jam ke-48, dimulai dari titik ini biomassa

F.oxysporum dapat dipanen (Gandjar et al. 2006).

Gambar 13 Kurva pertumbuhan F.oxysporum.

Pemanenan biomassa F.oxysporum

dilakukan pada jam ke-72, yaitu saat sel memasuki fase stasioner berdasarkan kurva pertumbuhan yang diperoleh. Fase stasioner ditentukan sebagai waktu panen bagi

F.oxysporum karena diharapkan pada fase tersebut jumlah sel yang tumbuh relatif seimbang, sehingga jumlah miselia yang tumbuh relatif banyak (Gandjar 2006). Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bansal et al. (2002) dan Bansal et al (2005), F.oxysporum ditumbuhkan selama 72 jam dalam kondisi aerasi pada kecepatan

shaker 200 rpm dan diinkubasi pada suhu 27ºC. (Mukherjee 2002) mengatakan bahwa

F.oxysporum yang ditumbuhkan pada jam

ke-72 telah terdapat keberadaan protein,

ditunjukkan dengan pita yang terbentuk dalam elektroforesis. Pita elektroforesis dalam penelitian tersebut mengindikasikan sejumlah

protein yang berasal dari biomassa

F.oxysporum.

Proses pemanenan biomassa F.oxysporum

dilakukan dengan mempergunakan teknik sentrifugasi. Sentrifugasi merupakan suatu

teknik untuk memisahkan substansi

berdasarkan berat jenis molekul. Substansi yang lebih berat akan berada di dasar, sedangkan substansi yang lebih ringan akan terletak di atas dalam teknik sentrifugasi. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya gaya sentrifugal (Harjadi 2006).

Berat jenis biomassa F.oxysporum lebih besar bila dibandingkan dengan media,

sehingga biomassa F.oxysporum menjadi

pelet yang terletak dibawah dan media menjadi supernatan pada saat diberi gaya sentrifugal dengan kecepatan 6000 rpm selama 15 menit. Supernatan berupa media PDA kemudian dipisahkan dari peletnya. Pencucian pelet dengan akuades steril dilakukan sebanyak dua kali. Hal tersebut dilakukan agar biomassa F.oxysporum berupa pelet bebas dari media PDL. F.oxysporum

yang telah dipanen dan bebas dari media PDL kemudian siap diberikan substrat dalam proses biosintesis.

Biomassa F.oxysporum sudah dapat diukur bobotnya dalam 72 jam (3 hari), sebab sudah terlihat jelas miselia yang menebal. Rata-rata biomassa F.oxysporum yang terbentuk dalam 50 mL PDL adalah 9.834 gram bobot basah. Bobot basah yang tumbuh berbeda-beda untuk

setiap ulangannya (Tabel 2). Inocoloum

starter F.oxysporum yang diinokulasikan kedalam 50 mL PDL mengandung jumlah benang-benang miselia yang relatif tidak sama

(23)

mempengaruhi perbedaan jumlah biomassa yang tumbuh dalam isolat cair.

Sebanyak 9.834 gram bobot basah

biomassa dapat menghasilkan 0.361 gram

bobot kering. Penyusutan biomassa

F.oxysporum disebabkan karena komponen utama sel adalah air (Gandjar et al. 2006). Air yang terkandung di dalam sel akan teruapkan ke udara pada proses pengeringan.

Tabel 2 Biomassa F. oxysporum dalam PDL. Volume PDB (mL) Bobot basah (g) Bobot kering (g)

50 13.780 0.221

50 10.632 0.371

50 5.091 0.491

Rata-rata 9.834 0.361

Nanopartikel Silika sebagai Hasil Biosintesis oleh F.oxysporum

Biosintesis nanopartikel silika dilakukan

dengan menumbuhkan F.oxysporum dalam

media yang mengandung sekam padi sebagai sumber silika sekaligus sebagai substrat bagi

pertumbuhan F.oxysporum. Sekam yang

mengandung 16.98% silika (Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian 2001) dapat diubah menjadi nanopartikel silika secara biosintesis

dengan menggunakan F.oxysporum.

Komponen yang terkandung dalam sekam, yaitu selulosa dapat dimanfaatkan oleh

F.oxysporum sebagai substrat dalam siklus hidupnya (Soepardi et al. 1982). Selulosa merupakan polisakarida dari monomer berupa D-glukosa dengan subunit monomer berupa selobiosa yang banyak ditemukan di hampir semua jaringan tumbuhan sebagai komponen penyusun dinding sel tumbuhan dan dikenal sebagai serat di dalam suatu tumbuhan. Sebanyak 34.34-43.80 % selulosa terkandung dalam sekam (Hawab 2004).

Penelitian ini mempergunakan dua jenis perlakuan jumlah substrat sekam untuk menentukan jumlah substrat optimum yang mampu dimanfaatkan F.oxysporum dan dapat

disintesis menjadi nanopartikel silika.

Perlakuan pertama mempergunakan 5 gram sekam dan 10 gram biomassa F.oxysporum

berumur 72 jam. Perlakuan kedua

mempergunakan 2.5 gram sekam dan 10 gram

biomassa F.oxysporum berumur 72 jam.

Sekam ditambah dengan 50 mL akuades, kemudian di autoklaf. Proses sterilisasi ini

perlu dilakukan untuk menghilangkan

kontaminan dari substrat yang akan

dimanfaatkan F.oxysporum. Kultur diinkubasi 27ºC dan diaerasi 200 rpm selama 24 jam. Warna kultur berubah menjadi cokelat

kehitaman setelah F.oxysporum diberi

perlakuan dengan substrat berupa sekam. Produk hasil kultur berupa filtrat dipisahkan dari substrat berupa sekam dan sel kapang F.oxysporum dalam proses filtrasi. Produk biosintesis akan berada di filtrat karena enzim spesifik F.oxysporum yang berperan dalam biosintesis dikeluarkan secara ekstraseluler (Duran et al. 2005). Filtrat,

sekam, dan biomassa F.oxysporum dapat

dipisahkan dengan mudah satu dengan lainnya, karena ukuran partikel yang

berbeda-beda. Filtrat yang merupakan produk

biosintesis akan lolos melalui penyaring, sedangkan sekam dan biomassa tertahan pada penyaring. Sekam dan biomassa juga dengan mudah dapat dipisahkan, karena ukuran miselia biomassa F.oxysporum lebih besar dari partikel sekam.

Filtrat hasil biosintesis perlu dilakukan

pemurnian dengan fenol:kloroform 1:1.

Pelarut organik ini dapat memurnikan filtrat

hasil biosintesis dari protein melalui

mekanisme denaturasi protein (Lestari 2008). Hal tersebut dilakukan karena nanopartikel sebagai produk biosintesis yang terbentuk lebih baik bila dibandingkan dengan produk biosintesis tanpa perlakuan ekstraksi fenol-kloroform, yaitu tanpa pengotor (Bansal et al. 2005). Pelarut organik akan berada di lapisan paling bawah pada saat proses sentrifugasi. Lapisan tengah merupakan lapisan gumpalan protein dan lapisan air atas adalah filtrat hasil proses biosintesis (Gambar 14).

Proses analisis produk hasil biosintesis

dilakukan dengan menggunakan tiga

instrumen Scanning Electron Microscope

(SEM), Fourier Transformer InfraRed

Spectroscopy (FTIR), dan Xray Difraction

(XRD). Gambar 15 menunjukkan hasil

(SEM) produk biosintesis hasil reaksi

F.oxysporum dengan 5 gram sekam selama 24 jam pada perbesaran 2000 kali. Partikel terlihat beragregat satu dengan lainnya. Gambar 16 dan Gambar 17 merupakan

sekam tanpa perlakuan F.oxysporum dan

silika gel. Keduanya diperlakukan sebagai pembanding atau kontrol negatif, untuk membuktikan bahwa produk biosintesis telah mengindikasikan berukuran nano. Partikel hasil biosintesis terlihat memiliki berbagai variasi ukuran antara 200-1000 nm (Gambar 15). Ukuran partikel sekam tanpa perlakuan

(24)

ekstraseluler yang dikeluarkan F.oxysporum

telah bekerja dalam mereduksi sekam

sehingga terbentuk produk biosintesis dengan ukuran 200-1000 nm.

Produk hasil biosintesis yang merupakan

suatu nanopartikel silika kemudian

dibandingkan dengan silika gel sebagai kontrol negatif. Ukuran silika gel standar berdasarkan analisis SEM pada Gambar 17 adalah 15-5000 μm. Ukuran silika gel standar tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan produk hasil biosintesis yang memiliki ukuran 200-1000 nm. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa dalam produk hasil biosintesis, sebagian partikel telah berada dalam ukuran nano.

Gambar 14 Proses pemurnian (a)pelarut organik dan pelet (b) filtrat.

Gambar 15 Hasil analisis SEM nanopartikel silika dengan 5 gram sekam perbesaran 2000 x.

Gambar 16 Hasil analisis SEM sekam tanpa perlakuan F.oxysporum perbesaran 500 x (Ahmad et al. 2009).

Gambar 17 Hasil analisis SEM silika gel perbesaran 1000 x.

Hasil analisis SEM dapat didukung dengan analisis FTIR. Analisis FTIR dilakukan untuk memperdalam analisis produk biosintesis bahwa produk yang terbentuk adalah silika. Analisis ini didasarkan kepada spektrum inframerah pada setiap gugus fungsional suatu molekul yang bersifat spesifik. Nilai spektrum absorbsi inframerah setiap gugus fungsi dapat dilihat pada Lampiran 7. Menurut Balaz (2008) setiap gugus fungsi memiliki nilai spektrum absorbsi yang khas, yaitu gugus fungsi MOH memiliki nilai spektrum absorbsi 3700-2900 cm-1, gugus H2O memiliki nilai

spektrum absorbsi 3700-2900 cm-1, gugus CO32- memiliki nilai spektrum absorbsi

1600-1300 cm-1, NO32- memiliki nilai spektrum

absorbsi 1500-1250 cm-1, BO32- memiliki nilai

spektrum absorbsi 1300-1200 cm-1, SO4

2-memiliki nilai spektrum absorbsi 1200-1050 cm-1, PO43- memiliki nilai spektrum absorbsi

1100-950cm-1, SixOy 2-

memiliki nilai spektrum absorbsi 1200-900 cm-1, ASO43- memiliki nilai

spektrum absorbsi 900-750 cm-1, VO42-

memiliki nilai spektrum absorbsi900-750cm-1, dan WO4

2-

memiliki nilai spketrum absorbsi

850-750 cm-1. Spektrum absorbsi yang

diinginkan sebagai hasil biosintesis adalah spektrum absorbsi untuk gugus fungsi SixOy2-.

Spektrum absorbsi untuk gugus fungsi SixOy

2-berada pada rentang 1200-900 cm-1 (Balaz 2008) dan menurut (Handayani 2009) gugus Si-O-Si berada pada rentang spektrum absorbsi 1000-1110 cm-1.

Spektrum FTIR bagi silika gel berada pada spektrum absorbsi 1105.2 cm-1 (Gambar 18 a). Spektrum silika gel digunakan sebagai pembanding atau kontrol positif. Kontrol positif dapat membuktikan bahwa produk hasil biosintesis adalah silka secara kimiawi.

Hasil FTIR produk biosintesis pada

penambahan substrat sekam sebanyak 5 gram ditunjukkan dalam Gambar 18 b. Sebanyak 12 puncak ditemukan dalam spektrum absorbsi FTIR, yaitu 3408.18 cm-1, 2924.29 cm-1,

(25)

2852.59 cm-1, 1639,04 cm-1, 1415.77 cm-1, 1324.49 cm-1, 1078 cm-1, 1046.95 cm-1, 793.12 cm-1, 616.55 cm-1, 531.49 cm-1, dan 468.33 cm-1. Namun demikian, setidaknya terdapat tiga puncak yang memiliki puncak tertinggi, yaitu berada pada spektrum absorbsi 3408.18 cm-1, 1639.04 cm-1, dan 1078.71cm-1.

Hasil spektrum FTIR bagi produk

biosintesis dengan penambahan 5 gram substrat sudah mengindikasikan silika. Puncak

dengan spektrum absorbsi 1078.71 cm-1

diindikasikan sebagai silika karena spektrum absorbsi untuk gugus SixOy

berada pada rentang 1200-900 cm-1 (Balaz 2008). Hal tersebut juga diperkuat dengan bukti bahwa nilai serapan absorbsi produk biosintesis tidak berbeda jauh dengan nilai spektrum silika gel standar, yaitu 1105.2 cm-1.

Gugus fungsi lain selain SixOy2ditemukan

dalam analisis FTIR produk biosintesis, yaitu

gugus fungsi CO3

yang berada pada spektrum absorbsi 1639.04 cm-1 dan H2O

yang berada pada spektrum absorbsi 3408.18

cm-1. Keberadaan gugus fungsi yang

mengandung karbon dan air, menandakan bahwa masih terdapat selulosa yang belum dimanfaatkan oleh F.oxysporum. Selulosa merupakan komponen yang berasal dari sekam.

Proses sintesis kedua dilakukan dengan mempergunakan sebanyak setengah dari jumlah sintesis pertama, yaitu dengan jumlah substrat sebanyak 2.5 gram. Sintesis kedua mendapatkan perlakuan yang sama seperti pada sintesis pertama. Substrat yang telah steril kemudian diberikan 10 gram biomassa

F.oxysporum. Kultur diinkubasi 27ºC dan diaerasi 200 rpm selama 24 jam. Hasil SEM pada 1000 kali perbesaran dapat diamati pada Gambar 19.

(26)

Gambar 19 Hasil analisis SEM nanopartikel silika dengan 2.5 gram sekam perbesaran 1000 x

Hasil pengamatan dengan SEM pada produk biosintesis mempergunakan 2.5 gram sekam, memperlihatkan bahwa partikel berada dalam berbagai variasi ukuran partikel dan beragregasi. Ukuran partikel relatif tidak berbeda jauh dengan perlakuan 1 yang

mempergunakan 5 gram sekam, yaitu

memiliki ukuran 200-1000 nm. Hal yang sama terjadi pada perlakuan 2 bahwa

nanopartikel yang terbentuk masih

mengandung selulosa yang belum

dimanfaatkan oleh F.oxysporum. Faktor

waktu inkubasi pada saat F.oxysporum

memanfaatkan substrat berupa sekam

merupakan faktor diluar faktor eksperimental yang juga mempengaruhi hasil produk biosintesis nanopartikel silika.

Karakteristik struktur produk biosintesis dianalisis dengan menggunakan XRD. Hasil analisis dengan XRD berupa puncak-puncak difraksi. Gambar 20 merupakan puncak difraksi khas untuk nanopartikel silika dengan struktur kristalin (crystoballite). Gambar 21 merupakan puncak difraksi untuk sekam tanpa

perlakuan F.oxysporum dan diperlakukan

sebagai kontrol negatif. Material anorganik silika yang terkandung dalam sekam, berada dalam struktur dasar (amorphous silica) (Bansal 2006). Gambar 22 merupakan puncak difraksi produk biosintesis yang merupakan

sekam dengan perlakuan F.oxysporum.

Puncak difraksi produk biosintesis berbeda dengan puncak difraksi sekam dan mendekati struktur puncak difraksi khas nanopartikel kristalin. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa sekam dengan perlakuan

F.oxysporum mengalami perubahan struktur

dari bentuk dasar (amorphous) dan

mengindikasikan berbentuk nanopartikel

silika kristalin (crystoballite).

Gambar 20 Puncak difraksi nanopartikel silika kristalin (crystoballite).

Gambar 21 Puncak difraksi sekam tanpa perlakuan F.oxysporum.

Gambar 22 Puncak difraksi produk biosintesis

Biosintesis nanopartikel merupakan

pengembangan metode baru dengan

menghasilkan nanopartikel logam dari sel mikrob serta melibatkan reaksi enzimatis.

(27)

Gambar

Gambar 1 Mekanisme reduksi biosintesis nanopartikel Ag.
Gambar 5 Kurva pertumbuhan fungi (1)fase lag ,(2) fase akselerasi, (3) fase eksponensial, (4) fase deselarasi
Gambar  6
Gambar 7 Skema kerja SEM.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kutub medan yang menghasilkan medan magnet terikat kuat pada rotor dan terbuat dari lapisan tipis inti yang dibelitkan dengan belitan excitasi yang diambil melalui slipring atau

Kebijakan-kebijakan terkait infrastruktur hijau kemudian menjadi salah satu kebijakan yang dimasukkan dalam perencanaan tata ruang (EM3 - Green Infrastructure) dan

Sedangkan menurut Mangkunegara (2000), kinerja merupakan prestasi yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan dan sesuai dengan

Peranan KSPPS Bina Syariah Ummah untuk meningkatkan kesejahteraan adalah mengeluarkan inovasi produk pembiayaan SPBU Mini, manajemen pembiayaan yang baik, jangka

bahwa dalam rangka melaksanakan proses Seleksi Pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Karanganyar Masa Kerja Tahun 2021-2026 sebagaimana dimaksud dalam

Investor dapat mengetahui kemampuan perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan secara efisien dan efektif, sehingga akan meningkatkan keuntungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan indeks massa tubuh dan profil lipid antara penderita diabetes melitus tipe 2 dan bukan penderita diabetes melitus yang

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dankuantitatif, untuk mencari informasi mengenai tata rias, busana, dan aksesoris tokoh Minakjinggo danpenilaian