DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006.
Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Imaniyati, Neni Sri. Pengantar hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Irmayanto, July dkk. Bank dan lembaga keuangan. Jakarta: Universitas Trisaksi, 2002.
Pandia, Frianto, Elly Santi Ompusunggu dan Achmad Abror, Lembaga keuangan. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Budisantoso, Totok dan Nuritomo. Bank dan Lembaga keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2014.
Tjandra,W.Riawan. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT. Grasindo, 2013.
Sunarmi. hukum kepailitan,edisi 2. Medan: PT. Sofmedia,2010.
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37
Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafitia,
2002.
Sinaga, Syamsudin M. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa,2010. Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: Raih Asa Sukses,
2014.
Irawan, Bagus. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dsn Asuransi. Bandung: PT. Alumni, 2007.
Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Nurdin, Andriani. Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian
Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: Universitas Muhammadyah, 2007.
Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan
yang Terkait dengan Kepailitan. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2006.
Saidi, Muhammad. Hukum Keuangan Negara. Makasar: PT Rajagrafindo Persada, 2008.
B. Peraturan
Republik Indonesia Undang –Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-republik Indonesia, Undang-Undangn Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Otoritas Jasa Keuangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU
Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Republik Indonesia, Peraturan OJK No. 3 Tahun 2014 tentang Tata cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK
Republik Indonesia, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan OJK.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
C. Makalah
Bismar Nasution, “OJK Sebagai Suatu Sistem Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,” Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, 25 November 2014.
Zulkarnain Sitompul, “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan Dalam Menjaga
Stabilitas Sistem Keuangan,” Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, 25 November 2014.
Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan : Kajian Terhadap Independensi dan Pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan,” Medan : Disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Era Baru Pengawasan Sektor Jasa Keuangan yang Terintegrasi, 8 juni 2012.
Bismar Nasution, “Keberadan Pungutan Otoritas jasa Keuangan untuk pelaksaan
tugas, fungsi dan wewenangnya secara independen,” Medan : Disampaikan pada seminar pungutan oleh OJK dalam mendukung fungsi dan tugas OJK secara independen dan professional, 14 April 2014.
D. Jurnal
Asmirawati, Nova. “Catatan Singkat Terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.” Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9 No.3. Oktober 2012.
Sitompul, Julkarnain. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa keuangan.”
Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9 No.3.Oktober 2012.
Pakpahan, Rudy hendra. “Akibat Hukum Dibentuknya lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Lemabaga Keuangan Di Indonesia,”
Jurnal legislasi Indonesia, Volume. 9 No. 3. oktober 2012.
E. Website
http://finansial.bisnis.com/read/20150423/90/426411/iuran-ojk-lebih-baik-dihapus (diakses tanggal 13 Juni 2015).
“Otoritas Jasa Keuangan.” https://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan (diakses tanggal15 Juni 2015).
Sulaiman, Alfin. “Hubungan OJK Terhadap Prosedur Kepailitan Perbankan dan
IndustriKeuangan.”http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52dfe654 d9902/hubungan-ojk-terhadap-prosedur-kepailitan-perbankan-dan-industri-keuangan (diakses tanggal 15 Juni 2015).
Siaran pers. “Aturan Pelaksanaan Pungutan OJK.” http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 16 Mei 2015).
BAB III
KEBERADAAN SUMBER KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT DENGAN FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI
PENGAWAS LEMBAGA KEUANGAN
A.Bentuk Penerimaan sebagai Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan
Sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, anggaran OJK bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ atau pungutan dari pihak yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan adalah lembaga jasa keuangan dan/atau orang perorangan
atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.76
Sehubungan dengan pengaturan secara konstitusional terhadap anggaran,
dalam hal ini adalah APBN Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 19945
menyatakan :77
1. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan PDP.
3. Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan oleh Presiden,
pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.
Penganggaran APBN, untuk pendanaan operasional OJK dilakukan
dengan mekanisme penyusunan APBN secara umum yang berkoordinasi dengan
76Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, penjelasan Pasal 37.
77
Kementerian Keuangan, melalui penyusunan pagu indikatif, pagu anggaran
sementara, dan pagu alokasi anggaran untuk selanjutnya memperoleh persetujuan
DPR.78 Pagu adalah batas tertinggi atas sesuatu, seperti batas tertinggi pemberian
kredit, penetapan bunga deposito dan batas harga nilai tukar mata uang asing;
plafon (ceiling; cap).79OJK memerlukan adanya jaminan sumber pembiayaan
yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah
satu unsur yang menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam
pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.80
Selain anggaran yang diperoleh dari APBN, Pasal 37 UU OJK mengatur
bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Dalam
penjelasan Pasal 37 tersebut dinyatakan bahwa pembiayaan kegiatan Otoritas Jasa
Keuangan sewajarnya dibiayai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari
pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Berkaitan dengan anggaran OJK ditentukan sebagai berikut:81
1. OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan disektor
jasa keuangan.
2. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar
pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
78Zulkarnain Sitompul, Op.Cit., hlm. 17.
79http://www.ojk.go.id/pedia (diakses tanggal 15 juni 2015) 80Ibid ,hlm. 16.
81Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan
4. OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
5. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan
OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke kas
Negara .Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah.
Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap
memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa
keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.82Penerimaan pungutan biaya tahunan
pada tahun berjalan telah cukup untuk memenuhi kebutuhan rencana kerja dan
anggaran OJK tahun berikutnya yeng telah disetujui DPR. Maka OJK
mengenakan tarif 0% pada sisa tahun berjalan, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1)
POJK Nomor 3 Tahun 2014.
Diamati dari ketentuan Pasal 37 UU OJK tersebut, maka OJK dapat
melepaskan diri dari ketergantungan pada kesediaan anggaran yang berasal dari
APBN, sehingga dapat mengurangi intervensi terhadap OJK. Karena akuntabilitas
diperlukan OJK untuk meletigimasi tindakannya atas dasar kewenangan yang
diberikan. Integritas direfleksikan dalam mekanisme yang mensyaratkan
karyawan lembaga dalam mencapai tujuan organisasi tanpa menjadi takut
terhadap intervensi.83
Aspek keadilan dalam pembiyaan OJK merupakan salah satu aspek
filosofis yang dipertimbangkan, dalam arti pembiayaan secara adil harus
82Ibid. 83
dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya
fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK.84
Pengenaan pungutan kepada industri jasa keuangan ini tentunya menjadi
hal penting bagi OJK untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai
amanah UU. Pengenaan pungutan ini jelas bertujuan untuk mendorong dan
memajukan industri jasa keuangan nasional dan bukan untuk sebaliknya.85Praktik
pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga
telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan :
1. Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencabutan Efek, iuran keanggotaan, dan
biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan.
2. Biaya dan Iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut
kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek.
Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam UU LPS
khususnya pada bagian ketiga mengenai premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran
atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang
lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia. Namun demikian,
pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di
industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara
mandiri, antara lain pada masa awal pembentukan OJK.86
84 Zulkarnail Sitompul, Op.Cit., hlm. 17.
85Siaran pers: Aturan Pelaksanaan Pungutan
OJK,http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 16 Mei 2015).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara , yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah
semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pendekatan yang dipergunakan untuk merumuskan defenisi stipulatif
keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:87
1. Dari sisi objek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiscal, moneter dan pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimna tersebut
di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada
kaitannya dengan keuangan negara .
3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
87
4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan
obyek sdalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negera.
Selanjutnya, Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara menyatakan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud
pada Pasal 1 angka 1 meluputi :
1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. penerimaan negara ;
4. pengeluaran negara;
5. penerimaan daerah;
6. pengeluaran daerah;
7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah.
8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
pennyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
Ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas dikelompokan ke dalam
tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberikan pengklasifikasian
terhadap pengelolaan keuangan negara. Yang meliputi bidang pengelolaan pajak ,
bidang pengelolaan moneter dan bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.88
Pasal 37 ayat (3) UU OJK menyebutkan bahwa pungutan kepada pihak
yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan adalah penerimaan OJK.
Berdasarkan uraian diatas maka pungutan OJK yang berasal dari pungutan
sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat (3) UU OJK adalah merupakan kekayaan
negara yang dikelola sendiri oleh OJK dan merupakan lingkup dari keuangan
negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf (g) UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Dengan demikian, penerimaan OJK yang berdasar dari
pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan
merupakan lingkup dari keuangan negara. Hal ini sejalan dengan Pasal 23A UUD
1945 yang menyatakan bahwa pajak dari pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.89
Mempertimbangkan bahwa penerimaan OJK melalui pungutan kepada
pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang tekah diatur dengan
UU OJK merupakan lingkup keuangan negara, maka penerimaan OJK melalui
pungutan tersebut memiliki kekuatan yang sama dengan kewajiban pembayaran
Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang telah diatur dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan PNBP. Dengan
88Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara (Makasar: PT Rajagrafindo
Persada, 2008), hlm.5.
89
demikian, setiap pembayaran atas pungutan oleh pihak-pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan dihitung sebagai beban biaya usaha yang dapat
mengurangi perhitungan pembayaran pajak sesuai dengan Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.90
Pengaturan pungutan OJK sebagai mana diatur dalam UU OJK tersebut,
telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014
tentang Pungutan Oleh OJK. Untuk mendorong struktur regulasi independen,
efisien dan efektif, memang perlu pungutan oleh OJK. APBN bagi OJK dapat
diamati sebagai sebagai sumber pembiayaan sementara. Dengan itu, terdapat
pengelolaan khusus keuangan OJK, sebagaimana dapat diamati dalam UU OJK
dan PP No. 11 Tahun 2014. Pungutan itu dipraktekkan juga oleh otoritas
pengawas industri jasa keuangan di negara-negara lain dan sudah meruapakan
international base practice.91
Pembiayaan kegiatan yang bersumber dari pungutan pihak yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan ini di Indonesia bukan merupakan hal
baru. Pembaiayaan kegiatan regulator di sektor jasa keuangan oleh industri jasa
keuangan dalam bentuk pungutan adalah peraktek yang lazim dibanyak negara.
Sebagai contoh, Office of the Comptroller of the Currency (OCC) di Amerika
Serikat memungut biaya dari bank secara sementara yang didasarkan pada skala
usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan
dengan presentase tertentu sesuai dengan peringkat resiko bank. Selain hal
90
Ibid.hlm19.
91
tersebut diatas, OCC memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan
investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/
investigasi tertentu, pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya dari
kegiatan seminar, penjuaan publikasi dan sebagainya.92
Tidak terlalu berbeda dengan OCC di Amerika Serikat, Office Of
Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di kanada memiliki pendanaan
bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang
diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis
keanggotaan.93
Financial Service Supervisory (FSS) Korea Selatan memperoleh
pendanaan dari supervisory fee, yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga
keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS.
Selain supervisory fee, FSS juga memungut issuer regulatory fee yaitu pungutan
yang dikenakan kepada emiten sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada
FSC-Korea sesuai dengan exchange act (capital market).94
Selain contoh diatas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan
otoritas jasa keuangannya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari indutri,
misalnya Australia, Singapura, Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman,
Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Meksiko, Panama,
Swedia, Peru, Swiss, Turki dan Inggris.95
92
Zulkarnail Sitompul,Op.Cit., hlm. 19.
93Ibid,hlm. 19-20. 94Ibid.
95
Terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh
indutri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama,
Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenugnya dibiayai oleh
negara antara lain Cili, Cina, Costa Rica, Kazakhstan, Libanon, Jepang dan
Uruguay.96
B.Mekanisme Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan
Sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 37 ayat (6) UU OJK, telah ditetapkan
PP No. 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai pungutan OJK kepada Wajib
Bayar yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, yang antara lain
mencakup tata cara penetapan, penggunaan, jenis, besaran, waktu penagihan dan
pembayaran pungutan, dan sanksi denda. Penetapan besaran pungutan tersebut
dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan Wajib Bayar yang melakukan
kegiatan di Sektor Jasa Keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.97 Wajib bayar
adalah Pihak sebagaimna dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 11 Tahun 2014.
Pokok –pokok pengaturan pungutan oleh OJK dan aturan pelaksanaannya
yaitu PP No. 11 Tahun 2014, Peraturan Otoritas jasa Keuangan (POJK) Nomor 3
Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa
Keuangan (selanjutnya disebut POJK Nomor 3 Tahun 2014), serta Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mekanisme
96Ibid.
97Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Pembayaran Pungutan Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut SEOJK
Nomor 4 Tahun 2014), adalah sebagai berikut:98
1. Penerimaan pungutan OJK tahun berjalan digunakan untuk kebutuhan
anggaran OJK tahun berikutnya.
2. Jenis pungutan OJK meliputi :99
a. Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan
atas rencana aksi korporasi (biaya registrasi).
b. Biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penelitian.
3. Penjelasan biaya registrasi :
a. Biaya registrasi tidak berlaku bagi industri jasa keuangan yang telah
memperoleh registrasi sebelum berlakunya pungutan OJK.
b. Biaya regustrasi tidak berlaku bagi perizinan, persetujuan, pendaftaran,
pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi yang masi dalam
proses termasuk izin prinsip bagi perbankan yang diterima OJK sebelum
berlakunya PP tentang Pungutan OJK.
4. Pembayaran biaya registrasi dilakukan sebelum pengajuan dan bersifat final.
5. Penjelasan biaya tahunan :
a. Biaya tahunan dengan tarif presentase
Wajib dibayar dalam 4 (empat) tahap, pembayaran setiap tahap dihitung
dengan cara :100
98“Pungutan Terhadap Industri Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan,” (Medan:
disampaikan pada seminar Pungutan oleh OJK dalam Mendukung Fungsi dan Tugas OJK secara Independen dan Profesional, April 2014), hlm. 5-7.
99Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan
1) Pembayaran biaya tahunan tahap I paling lambat 15 April untuk
pembayaran atas kewajiban triwulan I yaitu mulai tanggal 1 januari
sampai dengan 31 Maret tahun berjalan;
2) pembayaran biaya tahunan tahap II paling lambat tanggal 15 Juli untuk
pembayaran atas kewajiban triwulan II yaitu mulai tanggal 1 April
sampai dengan 30 Juni tahun berjalan;
3) pembayaran biaya tahunan tahap III paling lambat tanggal 15 Oktober
untuk pembayaran atas kewajiban triwulan III yaitu mulai tanggal 1
Juni sampai dengan 30 Desember tahun berjalan; dan
4) pembayaran biaya tahunan tahap IV paling lambat tanggal 31
Desember untuk pembayaran atas kewajiban triwulan IV yaitu mulai
tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 31 Desember tahunan
berjalan. Masing-masing tahap sebesar 25% dari kewajiban biaya
tahunan selama setahun dan dihitung secara self assesment
berdasarkan laporan keuangan tahunan audited tahun sebelumnya.
b. Biaya tahunan dengan tarif nominal tertentu
Biaya tahunan yang besaran tarifnya ditetapkan dalam nominal
tertentu yang tidak mengacu pada laporan keuangan, pembayaran
dilakukan paling lambat tanggal 15 Juni untuk pembayaran atas kewajiban
periode satu tahun yaitu mulai tanggal 1 kewajiban periode satu tahun
100Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang
yaitu mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 desember tahun
berjalan.101
6. Urutan acuan laporan keuangan sebagai dasar perhitungan biaya tahunan
meliputi :102
a. laporan keuangan tahunan audit;
b. laporan keuangan tahunan yang tidak diaudit;
c. buku, catatan, atau dokumen lain atas pembukuan yang dikelola.
7. Biaya tahunan dihitung kembali berdasarkan laporan keuangan tahunan tahun
bersangkutan yang telah diaudit. Apabila terdapat kurang atau lebih akan
diperhitungkan pada pembayaran tahap terdekat berikutnya.103
8. Timbulnya kewajiban biaya tahunan dimulai sejak industri jasa keuangan
memperoleh perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, dan
berakhir setelah perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan dicabut,
dibatalkan, dibubarkan, atau perusahaan terbuka menjadi perusahaan
tertutup.104
9. Industri jasa keuangan yang kewajiban biaya tahunan tidak setahun penuh,
dihitung secara proporsional bulanan dengan bagian bulan dihitung secara
harian.105
101Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang
tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan, Bab II, Pasal 9.
102Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan
oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab V, Pasal 9.
103Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan
oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab V, Pasal 11 ayat (1) .
104
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan, Bab II,Pasal 10 ayat (1).
105Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang
10.Perhitungan biaya tahunan bagi emiten, nilai emisi autstanding dihitung
berdasarkan jumlah keseluruhan nilai emisi yang meliputi :
a. jumlah nilai penerbitan efek yang bersifat ekuitas pada saat penawaran
umum, penawaran umum dalam rangka penambahan modal dengan hak
memesan efek terlebih dahulu (Penawaran Umum terbatas/right issue),
penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu, pelaksanaan
efek yang dpat dikonversi menjadi saham, dikurangi dengan nilai saham
dari emisi yang dibeli kembali dan menurunkan modal disetor;
b. jumlah nilai efek bersifat utang yang diterbitkan melalui penawaran umum
dan belum lunas; dan
c. jumlah nilai sukuk yang diterbitkan melalui penawaran umum dan belum
lunas.
11.Verifikasi oleh OJK
a. Otoritas jasa keuangan dapat melakukan verifikasi atas pembayaran
kewajiban biaya tahunan.
b. Verifikasi dilakukan secara rutin dan khusus
Verifikasi rutin dilaksanakan melalui pencocokan data, permintaan
keterangan, konfirmasi, dan pengujian offsite lainnya.106Dan menurut
Pasal 14 ayat (5) POJK Nomor 3 Tahun 2014, verifikasi khusus dilakukan
dalam hal terdapat antara lain;
106Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang
1)keterangan tertulis dari Wajib Bayar atas kehendak sendiri yang
menyatakan bahwa biaya tahunan yang telah dibayar tidak sesuai
dengan kewajibannya;
2)perubahan nilai dasar pengenaan biaya tahunan;
3)indikasi ketidaksesuaian perhitungan kewajiban dan pembayaran biaya
tahunan.
4)industri jasa keuangan dapat meminta klarifikasi atas hasil verifikasi.
12. Sanksi terhadap biaya tahunan
Apabila wajib bayar tidak melunasi kewajiban biaya tahunan sampai
dengan batas waktu sebagaimana ditetapkan pada surat teguran pertama, OJK
memberikan surat teguran kedua yang memuat :107
a. kewajiban membayar biaya tahunan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal teguran pertama; dan
b. pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar 2% (dua persen)
per bulan dari kewajiban pembayaran pungutan yang wajib dibayar
karena terlambat melakukan pembayaran dan paling banyak 48%
(empat puluh delapan persen) dari pungutan yang wajib dibayar
dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. Selain
sanksi administratif berupa denda OJK dapat menetapkan pengenaan
sanksi administratif tambahan dan tindakan tertentu.
13. OJK menyerahkan penagihan piutang macet kepada Panitia Urusan Piutang
Negara, kriteria piutang macet yaitu apabila kewajiban kepada OJK tidak
107Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang
dibayar selama 1 tahun setelah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan Pasal 13
POJK Nomor 3 Tahun 2014.
Tata cara pembayaran pungutan bagi sektor pasar modal,perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan, bank perkreditan rakyat, bank pembiayaan
rakyat syariah, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dalam SEOJK Nomor 4
Tahun 2014 tetang Mekanisme Pembayaran Pungutan oleh OJK, antara lain :
1. Wajib Bayar bagi sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, bank perkreditan rakyat, bank pembiayaan rakyat syariah, dan
lembaga jasa keuangan lainnya melakukan penyetoran pungutan ke rekening
OJK di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
2. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan cara:.
a. Penyetoran langsung dengan menggunakan Surat Setoran sebagai slip
setoran pada jaringan pelayanan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk
meliputi kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas, unit, dan
teras pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
b. Penyetoran langsung dengan mencantumkan NRS melalui electronic
channel PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk meliputi internet banking, Automatic Teller Machine (ATM), cash management system, dan mobile banking.
c. Pemindah bukuan atau transfer dengan mencantumkan NRS dari rekening
Wajib Bayar di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau bank lain ke
Tata cara pembayaran pungutan bagi bank umum sebagaimana diatur
dalam SEOJK Nomor 4 Tahun 2014 tetang Mekanisme Pembayaran Pungutan
oleh OJK adalah sebagai berikut:
1. Wajib Bayar bagi bank umum melakukan penyetoran Pungutan ke rekening
OJK di Bank Indonesia.
2. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan
pemindahbukuan, kliring atau Real Time Gross Settlement (RTGS) bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, Kantor Cabang dan Kantor
Perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dengan
mencantumkan NRS ke rekening OJK di Bank Indonesia.
3. Segala biaya yang timbul terkait pembayaran pungutan ditanggung oleh Wajib
Bayar.
4. Pembayaran pungutan berlaku efektif pada tanggal dicatatnya penerimaan
pembayaran pungutan di rekening OJK.
5. Wajib Bayar menyimpan bukti pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada
angka 2 sebagai bukti pembayaran.
C. Keberadaan Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan Terkait dengan
Fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai Pengawas Lembaga Keuangan
Berdasarkan pasal 34 ayat (2) UU OJK menentukan bahwa anggaran OJK
pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Berkaitan dengan
anggaran OJK ditentukan sebagai berikut:108
1. OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan disektor
jasa keuangan.
2. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar
pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
4. OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
5. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan
OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas
Negara .
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU OJK menyatakan yang dimaksud dengan
pungutan antara lain pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran,
dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan
transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK
yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan OJk
dingunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan
aset serta kegiatan pendukung lainnnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud
108Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan.109 OJK dapat melepaskan
diri dari ketergantungan pada kesedian anggaran yang berasal dari APBN,
sehingga dapat mengurangi dan membentuk indenpendensi dalam segi
pembiayaan, 110
Independensi dari segi pembiayaan (Budgetary Independence) mengacu
pada keterlibatan dari ekekutif dan legislative dalam memutuskan anggaran OJK
termasuk personel dan besarnya gaji. Otoritas yang mempunyai kebebasan dalam
merancang anggaran dan sumber dayanya akan lebih siap untuk menghadapi
tekanan politik. Sehingga, proses pengambilan keputusan akan berjalan lebih
cepat dan sesuai dengan perkembangan pasar. Dalam hal ini, maka sebaiknya
pendanaan dari OJK diperoleh dari luar anggaran pemerintah.111
Namun demikian, disisi lain, apabila pendanaan hanya berasal dari
industri, ada kekhawatiran bila nantinya OJK akan mengalami conflict interest di
saat mengambil keputusan yang berpotensi merugikan. Misalnya dalam situasi
krisis dimana industri dapat menekan OJK untuk mengambil kebijakan yang
menguntungkan industri tanpa melihat kepentingan publik secara umum.112
Pasal 2 ayat (2) UU OJK menentukan OJK adalah lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
undang-undang, indenpendensi tidak berarti OJK bebas menajalankan pengaturan dan
109 Bismar Nasution, “Keberadan Pungutan Otoritas jasa Keuangan untuk pelaksaan
tugas, fungsi dan wewenangnya secara independen,” ( Medan : disampaikan pada seminar pungutan oleh OJK dalam mendukung fungsi dan tugas OJK secara independen dan professional, 14 April 2014).hlm 3-4.
110 Bismar Nasution, Op Cit, hlm.6. 111Ibid , hlm.14
112
pengawasan yang mereka inginkan. Indenpendensi berarti OJK dapat
menggunakan instrumen yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh sistem politik tanpa adanya campur tangan dari pihak luar OJK. Ini yang disebut dengan “instrument independence”. Konsekwensi independen
bagi OJK adalah harus lebih akuntabel untuk tindakan yang dilakukan dalam
pengaturan dan pengawasan secara transparan.113
Transparansi adalah fitur utama pemerintahan demokratis. Transparansi
dapat mengurangi kekuasaan kelompok penekan dan memberikan kesempatan
luas kepada publik memantau proses pengambilan keputusan. Transparansi
meliputi:114
1. Pemberian informasi kepada publik oleh pembuat kebijakan tentang rencana
kebijakan yang akan diambil dan implikasi kebijakan tersebut bagi
masyarakat.
2. Kemampuan masyarakat atau pihak yang akan diatur untuk mengajukan
tanggapan baik lisan maupun secara tertulis tentang usulan kebijakan.
3. Informasi yang diberikan oleh pembuat kebijakan tentang proses penetapan
kebijakan dan kebijakan yang diputuskan dapat diakses oleh publik.
Esensi dari transparansi adalah pada proses pembuatan kebijakan sehingga
transparansi dapat meningkatkan rasionalitas keputusan karena transparansi
memberikan kesempatan kepada beragam pihak untuk memberi masukan kepada
pembuatan kebijakan.115Dalam membentuk kebijakan yang tepat regulasi di
bidang keuangan haruslah didesain untuk memberikan keleluasaan untuk OJK.
113Bismar Nasution, Op.Cit., hlm.2. 114Zulkarnain Sitompul, Op.Cit., hlm. 5. 115
Undang –undang harus memberikan ruang dan fleksibilitas kepada OJK untuk
dapat mendesain dan merubah kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan
pengembangan ekonomi.116
Mengingat fungsinya yang sangat krusial untuk menyeimbangkan keadaan
perekonomian, menjadi sangat penting untuk menjaga indenpendensi OJK dari
pengaruh politik dan pemerintah. untuk itu ada beberapa faktor penting yang
harus diadopsi oleh sebuah struktur regulasi yang independen sebagai berikut:117
1. Peraturan yang jelas mengenai pengangkatan dan pemberhentian dari personel
senior. Kepastian mengenai proses pengangkatan dan pemberhentian
diperlukan untuk memberikan jaminan kepada anggota OJK untuk dapat
mengambil keputusan tanpa adanya kekhawatiran atas ancaman
pemberhentian.
2. Struktur pengaturan yang jelas. Pengambilan kebijakan di OJK sebaiknya
bersifat kolektif dan diisi oleh para ahli dibidangnya. Hal ini untuk mencegah
adanya satu individu yang terlalu dominan yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi kebijakan yang di ambil.
3. Proses pengambilan kebijakan yang transparan. Walaupun ada beberapa
keputusan yang menurut sifatnya bersifat rahasia dan sensitif. Proses
pengambilan kebijakan yang transparan harus tetap dilakukan. Hal ini penting
untuk memastikan adanya kontrol dari publik terhadap kebijakan yang diambil
oleh OJK.
116Bismar nasution,Op.Cit., hlm. 11. 117
Indonesia adalah negara berkembang dengan perekonomian yang masi
berkembang. Infrastruktur perekonomian yang ada juga masih belum sematang
negara lain yang mempunyai perekonomian yang maju. Oleh karenanya
harmonisasi antara kebijakan pemerintah dan regulasi di bidang perekonomian
menjadi sangat penting untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat dan
tepat untuk kesejahteraan rakyat. Dalam konteks inilah, struktur regulasi otoritas
jasa keuangan di Indonesia (OJK) harus dapat menyeimbangan antara kepentingan
pemerintah dan kepentingsn industri agar nantinya arah kebijakan perekonomian
di bidang keuangan dapat berjalan dengan selaras. Oleh karenanya, independensi
yang dimaksud bukanlah independensi yang absolute. OJK sebagai regulator dan
pengawas jasa keuangann harus dapat berfungsi sebagai katalisator pembangunan
ekonomi dan wasit untuk fair play.118
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan telah mengambil langkah tepat.
Dalam UU OJK, pendanaan OJK berasal dari kombinasi APBN dan premi dari
Industri. Mengingat masih rentannya perekonomian Indonesia, kombinasi ini
merupakan solusi yang baik dimana OJK tetap dapat berfungsi penuh di saat krisis
dengan dukungan dari pemerintah.119
BAB IV
PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN
A. Kepailitan Lembaga Keuangan
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
Pengurusan dan Pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalamPasal 1 ayat (1)
Undang-UndangNomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.)
1. Syarat-syarat kepailitan
Syarat-syarat kepailitansangat penting karena bila permohonan kepailitan
tidak memenuhi syarat, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh
pengadilan niaga. Syarat-syarat tersebut ialah sebagai berikut :120
a. Pailit ditetapkan apabila debitur yang mempunyai dua kreditur atau lebih
tidak mampu membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang t Kepailitan dan PKPU).
b. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditur (concurus creditorum).
c. Harus ada utang.
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak menentukan apa yang
dimaksud dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan
120
suatu permohonan peryataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada
atau tidaknya utang.
d. Syarat utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak membedakan, tetapi
menyatukan syarat utang yang telah jatuh tempo dan utang yang telah
dapat di tagih.
e. Syarat cukup satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Bunyi Pasal 2
ayat (1) di dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU merupakan
perubahan dari bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998 tentang Kepailitan dan Faillissementsverordening Stb. 1905 Nomor
2017 jo.S.1906 Nomor 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv adalah :
“setiap debitur yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam
keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas
permintaannya sendiri maupun atas permintaan seseorangkreditor atau
beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaan pailit”.
f. Debitur harus dalam keadaan insoven, yaitu tidak membayar lebih dari
50% utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan berhenti
membayar kepada para krediturnya, bukan sekedar tidak membayar
kepada satu atau dua orang kreditur saja.121
Sedangkan syarat selanjutnya terdapat suatu utang adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik secara langsung
121
maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, dan bila
tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari
harta kekayaan debitur.122 Berdasarkan definisi atau rumusan di atas, unsur-unsur
untuk dapat dikatakan utang adalah :123
a. Adanya kewajiban
Kewajiban yang dimaksud tidak saja yang timbul akibat suatu perikatan,
baik yang timbul karena persetujuan juga timbul dari undang-undang,
maupun yang timbul akibat suatu perintah hakim demi kepentingan
kreditur.
b. Yang dapat dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah utang
Kalimat atau dapat dinyatakan dalam jumlah utang menunjukan
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah memberikan utang dalam pengertian
yang luas, yaitu utang yang timbul akibat suatu perjanjian, juga termasuk
utang yang timbul akibat suatu undang-undang yang dapat meliputi suatu
akibat perbuatan melawan hukum;
1) baik secara langsung maupun yang timbul di kemudian hari;
2) ditimbulkan akibat suatu perjanjian atau karena undang-undang;
3) wajib dipenuhi oleh debitur; dan
4) menimbulkan hak dari kreditur untuk menuntut debitur.
122
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab I, pasal 1 ayat (6).
123 Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dsn Asuransi (Bandung
Timbulmya utang menimbulkan hak untuk memperoleh pembayaran
sejumlah uang atau Right to payment.
2.Pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit sesuai dengan Pasal 2
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah sebagai berikut :
a. Debitur sendiri
Undang-undang memungkinkan seorang debitur untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika debitur masih terikat
dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya diatur dalam Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
b. Seorang kreditur atau lebih
Kreditur yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debiturnya
adalah kreditur konkuren, kreditur preferen, ataupun kreditur sparatis diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
c. Kejaksaan
Permohonan pailit terhadap debitur juga dapat diajukan oleh kejaksaan
demi kepentingan umum124 Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan negara dan /atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:125
1)debitur melarikan diri;
2)debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaannya;
124Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab II, Pasal 2 ayat (2).
125
3)debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat;
4)debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;
5)debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
6)dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum.
d. Otoritas Jasa Keuangan
Permohonan pernyataan pailit terhadap perbankan, perusahaan
efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan,
dan penyelesaian dengan adanya OJK, otomatis telah mengubah prosedur
permohonan pailit terbatas pada perusahaan perusahaan efek, bursa efek,
lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian
yang dahulu menjadi kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam-LK) dan tersebut beralih ke OJK.126Terhadap perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah juga hanya dapat diajukan oleh OJKsesuai
dengan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian yang menyatakan:
“Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini
hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”.
Sejalan dengan ruang lingkup tugas Otoritas Jasa keuangan yang
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan,
maka kewenangan pengajuan pailit terhadap perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah dan dana pensiun yang semula dilakukan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU beralih
menjadi kewenangan OJK berdasarkan Undanag-Undang ini.127
Transaksi efek di pasar modal, mengandalkan analisis pasar yang
dilakukan oleh profesional di bidang pasar modal. Jika perusahaan yang
bergerak di pasar modal sewaktu-waktu di pailitkan, otoritas jasa
keuangan yang mengetahui seluk-beluk badan usaha yang bergerak di
bidang pasar modal tersebut.128
f. Menteri keuangan
Perusahaan arusansi, perusahaan reasuransi, dana pensiun dan badan
usaha milik negara yang bergerak dibidang kepentingan publik,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan, sesuai denganPasal 2 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU, Namun dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun
127
Republik indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bab X, Pasal 50 ayat (1).
128Sentosa sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang
2014 tentang Perasuransian maka kewenangan permohonan pernyataan
pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah hanya dapat
diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1).
Sedangkan Permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN yang bergerak
di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan, dengan maksud untuk membangun tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap usaha-usaha tersebut.129
Kepailitan perusahaan merupakan cara untuk perampingan perusahaan
yang dilakukan dengan cara mempergunakan pranata hukum tentang kepailitan
yang kemudian diikuti oleh likuidasi perusahaan. Walaupun likuidasi perusahaan
ini dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menggunakan prosedur pailit. Namun
prosedur likuidasi dengan atau tanpa prosedur pailit baru dilakukan jika cara-cara
;ain sudah tidak feasible lagi untuk dilakukan.130 Suatu hukum kepailitan dapat
memenuhi tujuan-tujuan di bawah ini :131
a. Meningkatkan upaya pengembalian kekayaan
Semua kekayaan debitur harus ditampung dalam suatu kumpulan dana
yang sama disebut harta kepailitan yang disediakan untuk pembayaran
tuntutan kreditur. Kepailitan menyediakan suatu forum untuk likuidasi
secara kolektif atas asset debitur.
129 Jono, Op. Cit., hlm. 20.
130 Bagus Irawan, Op.Cit.,hlm. 98-99.
Likuidasi adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran perusahaan dengan menetapkan aktiva dan membagi-bagikan aktiva untuk menutupi utang-utang atau kewajiban-kewajiban.
131
b. Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat diperkirakan
sebelumnya kepada para kreditur
Pada dasarnya, para kreditor dibayar secara pari passu; mereka menerima
suatu pembagian secara pro rata parte dari kumpulan dana tersebut sesuai
dengan besarnya tuntutan masing-masing. Prosedur dan peraturan dasar
dalam hubungan ini harus dapat memberikan suatu kepastian dan
keterbukaan. Kreditur harus mengetahui sebelumnya mengenai kedudukan
hukumnya.
c. Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang
sakit, tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditur dan kebutuhan
sosial dilayani dengan lebih baik dengan mempertahankan debitur dalam
kegiatan usahanya.
3. Peroses permohonan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 11
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yang memuat tahap-tahap sebagai
berikut:
a. Tahap pendaftaran permohonan pailit
Pemohon mengajukan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan
Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan
tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada
pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang dengan tanggal sama dengan tanggal pendaftaran.132
132
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
mewajibkan panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan
pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, jika dilakukan tidak
sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.133Pasal 6 ayat (3)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ini pernah diajukan Judicial
Review di Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dengan Perkara Nomor
001-002/PPU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta
penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera
Pengadilan Niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara
yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera
menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga
paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan.134
b. Tahap pemanggilan para pihak
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan
pemanggilan para pihak baik debitur dan kreditur, dengan ketentuan
sebagai berikut :135
1) Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh kreditor, kejaksaan, OJK, atau Menteri Keuangan.
133Ibid. 134Ibid. 135
2) Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah terpenuhi, pemanggilan
dilakukan juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari
sebelum siding pemeriksaan pertama diselenggarakan.
c. Tahap Persidangan atas permohonan pernyataan pailit
Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan
menetapkansidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Sidang
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan.136
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum
diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, bank Indonesia, OJK, atau Menteri
Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan berupa:137
1) meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan
debitur;
2) menunjuk kurator sementara untuk mengawasi ;
a) pengelolaan usaha debitur;
b) pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau pengagunan
kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang
kurator.
136Ibid.
137Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
d. Tahap putusan atas permohonan pernyataan pailit
Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan
didaftarkan, sebagai perwujudan asas perdilan yang bersifat cepat, murah,
dan sederhana. Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib
diucapkan dlam siding terbuka untuk umum dan wajib memuat secara
lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta
memuat pula;138
1)Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili;
2)pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis.
Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib
disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang
mengajukan permohonan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3
(tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit
diucapkan.139 Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu
meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru.140
138
Jono, Op. Cit., hlm.91.
139Ibid.
140Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: Universitas Muhammadyah, 2007),
B.Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Lembaga Keuangan
Putusan hakim tentang kepailitan ada tiga hal yang esensial yaitu,
pernyataan bahwa si debitur pailit, pengangkatan hakim pengawas yang di tunjuk
hakim pengadilan dan pengajuan kurator. Bila tidak diajukan maka Balai Harta
Peninggalan (BHP) yang bertindak selaku kurator.141Sejak debitur dinyatakan
pailit melalui putusan pengadilan, debitur pailit kehilangan kewenanganya
(onbevoegd) dan dianggap tidak cakap (onbekwaam) untuk mengurus dan
menguasai hartanya tersebut. Pengurusan dan penguasaan atas harta debitur
beralih kepada kurator.142 Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan sebagai berikut :
1. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaanya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan.
2. Tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak pukul
00.00 waktu setempat143.
3. Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan
transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan.
4. Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan
transaksi efek di bursa efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.
141
Rahayu Hartini, Op.Cit.,hlm. 103.
142 Bagus Irawan, Op.Cit., hlm. 28.
143 Waktu setempat adalah waktu tempat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
Transaksi dana melalui bank dan transaksi efek di bursa efek perlu
dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian dan sistem transfer
melalui bank maupun transaksi efek di bursa efek, adapun penyelesaian transaksi
efek di bursa efek dapat dilaksanakan dengan cara penyelesaian pembukuan atau
cara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.144
Putusan Pailit bukan menyangkut para kreditor saja tetapi menyangkut
para pemangku kepentingan lainnya atau stakeholders dari debitur, yaitu Negara
sebagai penerima pajak, para karyawan dan buruhnya, pemasok barang dan jasa
kebutuhan debitur, para pedagang atau pengusaha yang memperdagangan barang
dan jasa debitur.145
Meskipun debitur kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta
kekayaanya tetapi debitur tidak kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum sepanjang perbuatan tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas harta
kekayaan yang telah dikuasi kurator. Apabila debitur tetap melakukan perbuatan
hukum yang berkaitan dengan harta pailit, perbuatan tersebut tidak mengikat harta
pailit kecuali apabila perbuatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta
pailit.146
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 25 Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU yang menyatakan semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah
pernyataan pailit, tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila
144Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penjelasan, Bab II, Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4).
145 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian
Hukum(Bandung : P.T Alumni, 2012), hlm. 217.
146
perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Dalam
pemberesan harta pailit diterapan beberapa asas yakni :147
1. Asas keseimbangan
Penerapan Asas Keseimbangan akan mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh baik debitur yang tidak jujur maupun
kreditur yang tidak beritikad baik.
2. Asas keadilan
Pemenuhan utang-utang debitur dari asset pailit dapat memenuhi rasa keadilan
bagi par pihak yang berkepentingan, dan mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih.
3. Asas kelangsungan
Penyelesaian kepailitan akan diarahkan agar perusahaan debitur pailit yang
prospektif dapat dilanjutkan.
4. Asas integritas
Asas Integritas tidak membedakan proses kepailitan yang menyangkut
perorangan, badan usaha swasta dan BUMN/BUMD, kecuali mengenai
persyaratan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Setelah putusan pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum
maka putusan itu menjadi mengikat secara hukum.148 Akibatnya antara lain
sebagai berikut:
1. Terhadap gugatan-gugatan
147 Andriani Nurdin,Op.Cit.,hlm. 226.
148Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: PT. Tatanusa,2012), hlm.
Akibat hukum dari putusan kepailitan membawa konsekwensi bahwa
gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaa
debitur pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.149Dalam Pasal 28
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU putusan pernyataan pailit membawa akibat
hukum terhadap gugatan-gugatan yang sedang berjalan, baik dalam kapasitas
debitur sebagai tergugat maupun penggugat yaitu:
a. gugatan ditunda/ ditangguhkan;
b. kurator mengambil alih perkara (pengalihan kedudukan kreditor sebagai
tergugat, dialihkan kepada kurator) dengan menggantikan kedududkan
debitur;
c. perkara digugurkan;
d. gugatan diteruskan.
2. Terhadap perikatan-perikatan
a. Perjanjian timbal balik
Apabila terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru
sebagian terpenuhi, maka pihak dengan siapa Debitur mengadakan
perjanjian tersebut dapat meminta kepada kurator untuk memberikan
kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka
waktu yang disepakati oleh kurator dan kedua belah pihak. Bila tidak
tercapai kesepakatan tentang jangka waktu, Hakim Pengawas akan
menetapkan jangka waktu tersebut. Dalam hal kurator tidak memberikan
jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian, maka
149
perjanjian berakhir dan pihak dengan siapa Debitur mengadakan perjanjian
tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan berkedudukan sebagai kreditur
kokuren. Dalam hal kurator menyatakan kesanggupannya, maka kurator
dapat dimintakan untuk memberikan jaminan atas kesanggupannya
melaksanakan perjanjian tersebut.150
b. Penyerahan barang
Apabila perjanjian penyerahan benda dagangan dengan suatu
jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum
penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus
dengan diucapankan putusan pernyataan pailit dan dalam hal pihak lawan
dirugikan maka yang bersangkutan dapat mengajukan disi sebagai kreditor
kunkuren untuk mendapatkan ganti rugi.151
c. Perjanjian sewa menyewa
Bila debitur telah menyewa suatu benda, maka baik kurator
maupun pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian
sewa dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum
berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Untuk itu
harus diindahkan pemberitahuan penghentian menurut perjanjian atau
menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 hari. Bila uang
telah dibayat di muka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih
awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa
150 Sunarmi, Op.Cit.,hlm. 100. 151
tersebut. Sejak tanggal Putusan diucapkan, uang sewa merupakan utang
harta paili.152
d. Hubungan kerja
Pekerja yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan
kerja dan kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka
waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, dengan pengertian paling singkat 45 (empat puluh lima) hari
sebelumnya. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang
terutang sebelum maupun sesudah pernyataan pailit diucapkan merupakan
utang harta pailit.153Terkait dengan kedudukan pekerja, menurut joseph E.
Stiglitz, Hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip yaitu :154
1) Peran utama kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk
menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum kepailitan harus
memberikan waktu cukup bagi perusahaan untuk melakukan
pembenahan perusahaan.
2) Meskipun tidak dikenal Hukum kepailitan yang berlaku universal dan
ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring
dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku,
trsnformasi structural perekonomian dan perkembangan sejarah
masyarakat namun setiap hukum kepailitan bertujuan
menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak
kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature.
152Ibid hlm. 101. 153Ibid.
154
3) Hukum Kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan
debitur, tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan
kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah
pekerja.
e. Pembayaran utang
Jika sebelum Putusan pailit dijatuhkan, Debitur telah melakukan
pembayaran utangnya kepada kreditur tertentu, maka pembayaran uang
tersebut dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan penerima pembayaran
mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitur sudah
didaftarkan dan pembayaran tersebut merupakan persekongkolan antara
Debitur dan Kreditur dengan maksud untuk menguntungkan bagi Kreditur
tersebur melebihi Kreditur lainnya.155
f. Terhadap penjualan surat berharga
Pembayaran yang telah diterima oleh pemegang “surat pengganti’
atau “surat atas tunjuk”, yang karena hubungan hukum dengan pemegang
terdahulu wajib menerima pembayaran, maka pembayaran tersebut tidak
dapat diminta kembali.156
g. Pembayaran kepada debitur pailit akibat perikatan
Setiap orang yang sesudah Putusan pernyataan pailit diucapkan
tetapi belum diumukan, membayar kepada Debitur pailit untuk memenuhi
perikatan yang tertib sebelum putusan peryantaan pailit diucapkan,
155Ibid, hlm. 111. 156
dibebaskan terhadap harta pailit sejauh tidak dibuktikan bahwa yang
bersangkutan mengetaui adanya putusan pernyataan pailit tersebut.157
h.Terhadap sekutu debitur pailit
Setiap orang yang dengan Debitur Pailit berada dalam suatu
persekutuan yang karena atau selama kepailitan menjadi dibubarkan,
berhak untuk mengurangi bagian dari keuntungan yang pada waktu
pembagian diadakan jatuh kepada Debitur pailit, dengan keajiban Debitur
pailit untuk membayar utang persekutuan.158
i. Terhadap hak retensi
Kreditur yang mempunyai hak untuk menahan benda milik
Debitur, tidak kehilangan hak karena adanya ada Putusan pernyataan
pailit. Demikian ditentukan oleh Pasal61Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU. Hak untuk menahan atas benda milik debitur tersebut,menurut
Penjelasan Pasal 61 berlangsung sampai utangnya dilunasi.159
j. Terhadap pemegang hak tanggungan, hak gadai, hak retensi, dan