• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Hasil Inseminasi Buatan Sesudah Pengobatan Fungsi Ovarium Dan Corpus Luteum Persisten Pada Sapi Perah Di Kecamatan Pujon, Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Hasil Inseminasi Buatan Sesudah Pengobatan Fungsi Ovarium Dan Corpus Luteum Persisten Pada Sapi Perah Di Kecamatan Pujon, Malang"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih diantara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang

memi-numnya (Al Qur'an, An-Nahl ayat : 66).

" Teruntuk tercinta Ibu dan Ayah, mas-mas dan adik - adikku serta

(2)

HセH@

EVALUASI HASIL INSEMINASI BUATAN SESUDAH PENGOBATAN

KIPOFUNGSI OVARIUM DAN CORPUS

lUTEUM

PERSISTEN PADA SAPI PERAH

OJ

KECAMATAN PUJON, MALANG

S K R I P S I

Oleh

MOCHAMMAD JAMAL UDDIN

B 17. 1430

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANI'\N I3<"'GOI'I

(3)

MOCKAMMAD JAMALUDDIN, 1985. Evaluasi Hasil Inseminasi Bu-atan Sesudah PengobBu-atan Hipofungsi Ovarium dan Corpus Lu-teum Persisten Pada Sapi Perah di Kecamatan Pujon, Malang.

(Di bawah bimbingan MOZES R. TOELIHERE).

Salah satu usaha peningkatan produksi susu dan me-ningkatkan laju pertambahan ーッーオセ。ウゥ@ ternak adalah penang-gulangan gangguan reproduksi pada sapi perah. Diantara masalah kekurangsuburan pada ternak sapi perah yaitu ada-nya kasus hipofungsi ovarium dan corpus luteum persisten.

Suatu studi lapang tentang evaluasi hasil inseminasi buatan sesudah pengobatan hipofungsi ovarium dan corpus luteum persisten telah dilakukan pada sapi perah di Keca-matan Puj on, Malang, Ja\oJa T imur, selama 2 minggu antara akhir bulan Juni sampai awal Juli 1985. Studi ini

(4)

minasi terhadap sapi perah yang sembuh setelah dilakukan penanggulangan gangguan hipofungsi ovarium dan corpus lu-teum persisten dengan memakai berbagai metode. Survai dilakukan dengan mendatangi dan 8ewancarai para peternak di daerah yang bersangkutan. Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan Dinas Peternakan setempat dan Ko-perasi Peternakan Sapi Perah SAE Pujon, dan data hasil pe-nelitian pendahulu dari team studi koasisten FKH-IPB yang melakukan studi pada bulan Maret sampai April 1985.

Dari hasil operasional diagnosis kemajiran dengan palpasi rektal terhadap 115 ekor sapi perah yang dianggap majir oleh team studi koasisten 1985, menunjukkan bahwa kebanyakan kegagalan reproduksi oleh corpus luteum persls-ten ( 35,90 % ), menyusul hipofungsi ovarium (32,05 % ), kasus aspesifik (24,36 %), siste ovarium (5,13 %) dan ka-sus kecil lainnya (2,56 %). Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan reproduksi terutama disebabkan oleh raktor ma-najemen dan pemberian makanan. ?engobatan yang dilakukan adalah dengan cara manual, penyuntikan hormon dan pembe-rian antibiotika sesuai dengan kasus yang 、ゥエセャャuゥN@

(5)

preparat progesteron intra maskuler menghasilkan angka konsepsi yang lebih baik (CR 54,55 %) dibandingkan de-ngan cara masase ovarium yang disertai antibiotika intra uterin (CR : 42,86 %). Sedangkan penanggulangan corpus luteum persisten dengan preparat prostaglandin dan pembe-rian antibiotika keduanya intra uterin menunjukkan angka konsepsi yang tertinggi (CR : 72,72 %) dan lebih baik di-banding dengan cara enukleasi secara manual dan pember ian antibiotika intra uterin (CR : 58,33 %).

(6)

DI

kecヲオセatan@

PUJON, MALANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan Pada Faku1tas Kedokteran HeHan

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MOCHAMMAD JAMALUDDIN

B 17.1430

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT

pertaniヲオセ@

BOGOR

(7)

HIPOFUNGSI OVARIUM DAN CORPUS LUTEUM PERSISTEN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PUJON, MALANG

50 K R I P S I

01eh

MOCHAMMAD JAMALUDDIN B 17.1430

Te1ah diperiksa dan disetujui,

Prof. Dr. Mozes R. Toe1ihere, MSc. Dosen Pembimbing

<>

セwI[NNM

(8)

Penulis dilahirkan di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 2 Oktober 1961, putra dari Bapak Ardani Marwan dan Ibu Fatimah. Penulis merupakan anak keempat dari delapan ber-saudara.

Pada tahun 1973 penulis lulus dari pendidikan dasar di SD Djama'atul Ikhwan Surakarta dan pada tahun 1976 lu-lus pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri X Surakarta. Pada tahun 1980 lulus pendidikan lanjutan atas di SMA Ne-geri I Surakarta.

Pada tahun 1980 penulis mengikuti pendidikan di Ting-kat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogar dan pada tahun 1981 diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogar. Pada tanggal 1 Agustus 1984 dinyatakan sebagai Sarjana Kedokteran Hewan.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhannahuwata'ala karena dengan rakhmat dan petunjukNya jualah penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter hewan di Fakultas Kedokteran HeHan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan yang baik lnl perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Bapak Prof. Dr. Hozes R. Toeli -here yang bersedia meluangkan Haktu dan perhatiannya un-tuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Direktorat Bina Produksi Peternakan Dit-jen Peternakan yang telah memberi bantuan dalam pelaksa-naan studi ini. Khususnya kepada Ibu Drh. Elizabeth H. Plasman dokter heHan Koperasi SAE Pujon yang telah mem-beri petunjuk dan bimbingan lapangan kami ucapkan banyak terima kasih. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Kepala Dinas Peternakan Daerah Propinsi Dati I Jawa Ti-mur, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Dati II Halang, Pimpinan Koperasi Peternakan Sapi Perah SAE Pujon, dan semua pihak yang telah membantu hingga dapat terselengga-ranya studi ini dan sampai pada penulisan ini.

(10)

kema-digunakan untuk memberi pedoman bagi peneliti yang lebih mendalami masa1ah ini di kemudian hari.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian semoga bermanfaat bagi kita ber-sama. Kritik dan saran membangun sangat penulis hargai.

ii

(11)

Ha1aman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR TABEL v

DAFT AR GAM BAR

vii

PENDAHULUAN 1

TINJAUAN PUSTAKA 5

Faktor-faktor Penyebab Kegaga1an Reproduksi 6

Hipofungsi Ovarium sebagai Penyebab Gangguan

Reproduksi dan Penanggu1angannya . 17

Corpus Luteum Persisten sebagai Penyebab

Gangguan Reproduksi dan Penanggu1angannya 27

Waktu Optimum untuk Inseminasi 34

Peni1aian Hasi1 Inseminasi Buatan 37

MATERI DAN METODE

..

40

BASIL DAN PEMBAHASAN 43

Keadaan Umum Daerah Pene1itian 43

Keadaan dan Potensi Peternakan 43

Keadaan Sosia1 dan Ekonomi Peternakan 44

Tata1aksana Peternakan '17

Kegiatan Reproduksi Ternak 48

Hasi1 Pemeriksaan Berbagai Penyebab Kemajiran

di Pujon, Ma1ang 50

Hasi1 Pengobatan serta Eva1uasi Hasi1 Insemina

si Buatan Sesudah Pengobatan terhadap Kasus

Hipofungsi oカ。イゥセュ@ 53

Hasi1 Pengobatan serta Eva1usai Hasi1 Insemina

si Buatan Sesudah Pengobatan terhadap セ。ウオウ@

Corpus Luteum Persisten 56

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran

lV

59

62

(13)

Nomor Teks Halaman

1.

2 .

3 •

4.

5.

6 .

7 .

Penyebab kegagalan reproduksi berdasarkan peme riksaan rektal pada sapi di daerah inseminasl

buatan (IB) di Propinsi Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, Tahun 1979/1980

Penyebab kegagalan reproduksi berdasarkan peme-riksaan rektal pada sapi di daerah inseminasl buatan (IB) di Propinsi Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat, Tahun 1980/1981

Perbandingan jumlah sus yang diobati di Bogor, Tahun 1983

sapi yang diperiksa dan ka daerah Cianj ur, Sukabumi dciD

.

Hasil k・ァゥ。エセセ@ Pengelolaan Reproduksi pada Ternak Sapi di Kabupaten Bandung, 30 Juli

sam-pai 4 Agustus 1984

Komposisi sapi betina tidak bunting yang mende rita gangguan reproduksi, hasil pemeriksaan Team Pengelo1aan Reproduksi Peternakan Wilayah Timur (Ja\-la Timur) di 10 UWIB, Tahun 1984

Waktu yang Optimum untuk Inseminasi

Perkembangan Populasi Sapi Perah di Kecamatan Pujon 1980 - 1984

8. Populasi Ternak dan Jumlah Peternak di Kecamat

22 23 24 25 26 36 45

an Pujon 1984 45

9. Komposisi Populasi Sapi Perah di Kecamatan

Pu-jon 1984 46

10 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Pujon

1979 46

11. Hasil Kegiatan Pemeriksaan Raktal pada Sapi Pe rah di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang,April

1985 51

12. Metode dan Basil Pengobatan serta Evaluasi Ba-sil Inseminasi Buatan Sesudah Pengobatan Terha dap Kasus Hipofungsi Ovarium pada Sapi Perah

di Pujon 1 9 8 5 . 54

(14)

13. Metoda dan Hasi1 Pengobatan serta Eva1ussi Hasil Inseminasi Buatan terhadap Kasus Cor pus Luteum Persisten pada Sapi Perah dl

Pujon 57

(15)

Nomor Teks

1. Transfer Prostaglandin dari uterus ke vena

uteri, kemudian dengan transfer counter

current ke arteri ovarium

2. Kemungkinan mekanisme PGF

2 alpha pada

pro-ses luteolisis . . . .

3. Waktu Inseminasi pada Sapi

vli

h。ャセャャ。ョ@

28

32

(16)

Dalam menghadapi tahun-tahun Pelita IV ini, kebutuh-an akkebutuh-an pengembkebutuh-angkebutuh-an dkebutuh-an peningkatkebutuh-an produksi di bidang subsektor peternakan sangat dirasakan. Guna mencapai tu-juan pembangunan nasional menciptakan masyarakat yang a-dil dan makmur, sejahtera dengan manusianya yang sehat, kuat, cerdas serta terjamin lapangan kerjanya. Dengan ーセ@

ngembangan dan peningkatan produksi sektor peternakan da lam rangka swasembada protein hewani merupakan salah sa-tu faktor penunjang dalam usaha mencapai sa-tujuan tersebut.

Peningkatan produksi ternak, khususnya sapi di iョ、セ@

nesia melalui program Inseminasi Buatan (IB) telah dilak sanakan sejak tahun 1972/1973 bersama dengan introduksi penggunaan semen beku di negeri ini. Hasil-hasil pelak-sanaan program inseminasi buatan semakin nyata selama pセ@

lita III. Program tersebut telah ikut meningkatkan po-pulasi ternak yang tadinya menurun 1,5 % per tahun se-lama Pelita II kemudian meningkat lebih dari 1 % selama Pelita III. Memasuki tahun pertama Pelita IV kegiatan IB lebih dikonsolidasikan dan dimantapkan untuk mencapai hasil yang optimal (Toelihere et al., 1985).

(17)

penurunan kesuburan ternak yang dipelihara secara inten-sif, terutama sapi perah. Hal ini dapat menurunkan efek-tivitas pelaksanaanIB secara nyata dan menahan laju pe-ningkatan produksi ternak.

Di antara penyebab masalah kekurangsuburan pada ter nak yaitu adanya kasus hipofungsi ovarium dan corpus lu-teum persisten pada sapi. Kedua gangguan reproduksi ini merupakan masalah reproduksi yang serius dimana banyak

ditemukan di beberapa daerah di Indonesia dengan angka prosentase kejadian yang tinggi. Sebagai contoh antara lain menurut data tahun 1979/1980 di propinsi daerah Ti-ngkat I Lampung, Jawa Barat dan Jawa Tengah gangguan re-produksi akibat hipofungsi ovarium (42,53 %) merupakan kasus yang terbanyak di urutan pertama sedang kejadian corpus luteum persisten (27,61 %) menenpati urutan kedua (Toe1ihere et a1., 1980). Sedangkan dari hasi1 1aporan pilot penanggulangan penyakit reproduksi pada ternak sa pi di propinsi Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat tahun 1980/1981 hipofungsi ovarium merupakan penyebab ォセ@ gagalan reproduksi terbesar (38,1 %) sedang corpus lute-urn persisten (25 %) di urutan ketiga (Toe1ihere et a1., 1981). Dari hasi1 laporan oleh team Pengelolaan r・ーイッ、オセ@

(18)

urutan kedua (Toelihere et al., 1985). Sedangkan lapor-an dari Team Pengelolalapor-an Reproduksi Pusat ylapor-ang bertugas di Jawa Timur, bahwa di propinsi ini tahun 1984 ditemui kasus hipofungsi ovarium 928 ekor dari 9184 ekor sapi yang

diperiksa dan corpus luteum persisten 606 ekor. Kedua ka sus ini merupakan gangguan reproduksi yang terbanyak di urutan pertama dan kedua kemudian baru disusul gangguan reproduksi yang lain (Hardjopranoto et al., 1985).

Dengan banyak ditemukannya kejadian gangguan fungsi onal hormonal yang berupa hipofungsi ovarium dan corpus luteum persisten pada ternak sapi seperti yang telah di-laporkan tersebut di atas, maka perlu diambil tindakan

,

serta langkah-langkah untuk menanggulangi masalah ァ。ョァァセ@

an reproduksi yang sang at merugikan para peternak dan hi la tidak segera ditanggulangi akan menghambat laju per -tambahan populasi ternak di Indonesia. Beberapa aspek ーセ@ nanggulangan terhadap hipofungsi ovarium diantaranya de-ngan pember ian pengobatan symtomatik seperti preparat ィッセ@ mon progesteron atau dengan gonadotropin disamping juga dianjurkan untuk perbaikan cara pengelolaan terutama da-lam penyediaan makanan yang bergizi baik serta cukup ェセ@ lahnya. Sedangkan penanggulangan gangguan reproduksi ber upa corpus luteum persisten dapat dilakukan pengobatan dengan penyingkiran secara manual berupa pemijitan mela-lui rektum atau dapat dilakukan pengobatan dengan ー・ョケオセ@

(19)

persisten secara manual mqupun dengan pember ian prosta-glandin umumnya akandisusul dua sampai tujuh hari kemu-dian dengan gejala-gejala berahi.

Menyadari pentingnya penanggulangan kegagalan イ・ーイセ@ duksi sebagai penunjang program inseminasi buatan HibIュセ@

ka penanggulangan kegagalan reproduksi telah diprogram kan secara nasional dan dilaksanakan secara berkesinam -bungan terutama di daerah-daerah tempat pelaksanaan pro-gram inseminasi buatan. Salah satu kegiatan yang telah dilakukan adalah "Sterility Controll". Diantara daerah pelaksanaan inseminasi buatan sapi perah dimana daerah i ni telah エ・イェセャャ。ィ@ oleh kegiatan tersebut adalah di Keca-matan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Untuk melihat sejauh mana keberhasilan dan permasa-lahan yang ada dalam kegiatan penanggulangan kegagalan reproduksi, tulisan ini mencoba mengungkapkan melalui se rangkaian studi kasus di lapangan berupa Evaluasi hasil inseminasi buatan sesudah dilakukan pengobatan terhadap kasus hipofungsi ovarium dan corpus luteum persisten pa-da sapi perah, yang mana kedua kasus ini merupakan seba-gai penyebab kegagalan reproduksi terbanyak dalam suatu

populasi ternak sapi perah di wilayah Kecamatan pオェッョLmセ@

lang.

(20)

Angka Konsepsi. Angka Konsepsi ini diperoleh berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan 、。ャ。セ@ waktu kurang lebih 2

bu-lan sesudah inseminasi. Angka konsepsi ditentukan oleh 3 faktor yaitu, kesuburan,pejantan, kesuburan betina dan taknik inseminasi.

Diharapkan hasil studi ini dapat memberikan sekilas gambaran informasi tentang keberhasilan yang diperoleh setelah dilakukan penanggulangan terhadap kegagalan re-produksi yang berupa hipofungsi ovariurn dan corpus lute-urn persisten pada sapi perah. Demikian pula ditelusuri

(21)

Faktor'-faktor Penyebab Kegagalan Reproduksi

Beberapa faktor penyebab kegagalan reproduksi 、ゥ。ョエセ@

ranya disebabkan oleh faktor dari manusia, makanan, ィ・キ。セ@

nya sendiri yang betina maupun jantannya. Roberts (1971) menyatakan bahwa kegagalan reproduksi pada kelompok ter-nak umumnya bersumber pada 3 faktor yaitu

1. Kesuburan bet ina pada saat pelayanan

2. Kesuburan pejantan atau semen pada inseminasi buatan 3. Ef isiens i manaj emen (F aktor manu sia) termasuk deteksi

berahi, makanan, pelaksanaan inseminasi buatan.

Interaksi dari ketiga faktor terse but yang akan menentu -kan derajat kebuntingan ternak.

Kegagalan reproduksi dapat berarti ternak terse but kurang subur yang disebut Infertilitas (kemajiran semen-tara) dan masih dapat disembuhkan atau berarti tidak su-bur yang disebut Steril/maj i r dan harus disingkirkan. Na-nifestasi dari kegagalan reproduksi dapat berupa kega-galan memperlihatkan gejala berahi, kegakega-galan menjadi

bunting, kegagalan memelihara kebuntingan (Djojosoedarmo, 1983) .

(22)

(1964) menguraikan berbagai faktor kegagalan tatalaksana sebagai berikut :

1. Kegaga1an mengena1 tanda-tanda berahi, sehingga saDi dikawinkan pada waktu yang tidak tepat

2. Terlampau cepat mengawinkan kembali setelah partus 3. Kegagalan mengenal adanya pejantan yang kurang subur

atau mandul da1am suatu peternakan yang menggunakan 1ebih dari seekor pejantan

4. Menukar-nukar pejantan jika seekor sapi betina tidak lang sung bunting pada perkawinan pertama dengan see-kor pejantan lain

5. Tidak dilakukannya pemeriksaan kebuntingan (PKB) se-cara teratur

6. Kurang cepat minta perto1ongan dokter he\-lan j ika ada sapi yang hasi1 reproduksinya kurang memuaskan

7. Tidak mengadakan dan menggunakan catatan ー・イォ。キゥョイオセ@

yang lengkap.

Atmadi1aga et a1. (1974) me1aporkan bahwa ke1a1aian dan kesa1ahan tata1aksana di Indonesia sehubungan dengan program inseminasi buatan terjadi dengan berbagai a1asan antara lain karena kekurang fasilitas dan iEsentif, in-fra struktur yang kurang memadai, organisasi yang belwn

(23)

Dalarn hal peneatatan produksi dan reproduksi ternak tentunya sangat tergantung kesanggupan dari peternak, ゥセ@

seminator dan petugas yang bersangkutan agar tetap dapat dimonitor perkembangan ternak tersebut.

Toelihere CIg81e) mengatakan bahwa peneatatan dalarn pelaksanaan inseminasi buatan harnpir sarna pentingnya se-men dari pejantan. Peneatatan ini diperlukan untuk :

1. Menilai kesanggupan peternak dalarn mendeteksi berahi

2. Menilai ketrampilan kerja inseminator dan sarnpai di-mana ia menguasai teknik inseminasi

3. Menentukan sebab-sebab kegagalan yang bersumber pada pejantan atau pada hewan bet ina

4. Memberi data untuk penilaian hasil inseminasi dan e-fisiensi reproduksi

5. Memperkirakan waktu kelahiran anak yang berhubungan dengan kegiatan pemasaran

6. Memberi informasi tentang identitas induk dan ayah dari anak yang lahir dari hasil inseminasi.

(24)

Faktor, Makanan sebagai Penyebab Kegagalan Reproduksi

Defisiensi makanan sangat besar pengaruhnya terhadap timbulnya gangguan reproduksi, yakni meliputi kelambatan dewasa kelamin dan kadang-kadang kerdil serta tak berahi (Sitorus dan Siregar, 1978). Menurut Joubert (1963); Ma-hadevan (1966); Laster (1972); Siebert dan Field (1975) yang dikutip oleh Sitorus dan Siregar (1978) bahwa berahi pertama dan beranak pertama dapat dipercepat melalui pem-berian makanan yang baik. Kegagalan reproduksi dapat ter-jadi sebagai akibat kekurangan atau keterbatasan kalori, protein dan mineral (Hafez, 1969).

Pember ian makanan yang berlebihan selain merupakan pemborosan dapat pula menyebabkan kegagalan reproduksi. Moustgaard (1969) menyatakan bahwa betina yang kegemukan, ovariumnya kecil. dan dapat terjadi anestrus. Obesitas dan sterilitas mung kin timbul dari penyebab yang sama seperti hypothyroidismus atau lesio pada hypophysa. Sapi dibesar kan dan dipelihara dengan makanan yang berlebihan akan Ie bih ban yak mengalami kegagalan reproduksi di kemudian ha-ri sehingga mempunyai masa produktif yang lebih ウlセァォ。エ@

dari pada sapi yang dipelihara dengan makanan berenergi lebih rendah.

(25)

Kondisi peternakan rakyat yang tradisional seperti di Indonesia, faktorkekurangan makanan mungkin merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan reproduksi atau pe-nurunan efisiensi reproduksi, khususnya pada ternak sapi. Pada kondisi lain, di perusahaan - perusahaan sapi perah yang besar kegagalan reproduksi justru disebabkan oleh

pemberian makanan yang berlebihan dan tidak (Toelihere et al., 1975).

berimbang

Roberts (1971) dan moustgaard (1969) mengatakan bah-wa kebanyakan kasus kemajiran karena faktor makanan meru-pakan defisiensi majemuk. Kekurangan makanan dapat diser-tai dengan rendahnya mutu makanan dan dengan defisiensi protein, fosfor, dan vitamin A. Suatu kekurangan protein オュqセョケ。@ disertai dengan kekurangan fosfor, suatu ォ・ォオイ。ョセ@

an vitamin A biasa disertai dengan kekurangan protein dan fosfor. Sapi dara kerap kali gagal memperlihatkan gejala berahi akibat defisiensi fosfor dan ovariumnya menjadi ku rang aktif (Cole and Cupps, 1969).

Walaupun kualitas dan kuantitas protein penting un-tuk fungsi reproduksi, kekurangan zat tersebut jarang di-temukan kecuali pada kekurangan makanan yang sangat ュ・ョケセ@

10k. Tetapi kekurangan protein dapat menyebabkan kelamba! an berahi dan anestrus (Roberts, 1971; Hafez, 1969).

Kekurangan fosfor dapat menyebabkan kelambatan ーオ「・セ@

(26)

ran-sum yang rendah proteinnya, di padang rumput dengan rum-putnya yang kering dan mati atau daerah-daerah dimana ta-nahnya kekurangan mineral tersebut. Unsur-unsur mineral lainnya jarang mempengaruhi proses reproduksi secara langsung (Roberts, 1971).

Kekurangan vitamin penyebab kemajiran hanya terbatas pad a vitamin A, kekurangan vitamin lainnya tidak ュ・ョケ・「。セ@

kan gangguan reproduksi. Kekurangan vitamin A biasa ter-jadi selama pertengahan kedua masa kebuntingan dan ditan-dai dengan abortus atau kelahiran anak yang lemah atau mati. Sebaliknya siklus berahi, ovulasi, konsepsi dan permulaan perkembangan foetus berlangsung normal. Keku-rang an vitamin A sering terjadi pada sapi yang hanya men-dapat rumput kering (Toelihere, 19S1a).

Toelihere (19S1b) mengatakan bahwa sapi perah yang kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur IS sampai 24 bulan. Setelah perkawinan ,

tingkatan makanan selama kebuntingan pertama harus cukup untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya agar menjelang kelahiran tidak terjadi komplikasi - komplikasi

seperti distokia.

Faktor Kegagalan Reproduksi pada Hewan Betina

(27)

me-nurun, patologi saluran kelamin karena infeksi lokal oleh

ォオュ。ョセォオュ。ョ@ dan berbagai penyakit menular.

Pada umumnya gangguan hormonal penyebab infertilitas pada sapi berpangkal pada faktor makanan, genetik dan stress atau kerja. Kadang kala gangguan hormonal justru disebabkan oleh pemberian atau penyuntikan hormon steroid atau hormon lainnya. Gangguan hormonal dapat meliputi ッセ@ varl yang sistik, kegagalan memperlihatkan berahi (anes trus) dan kawin berulang (Toelihere, 1981).

Arthur et al. (1982) menyatakan bahwa dikenal 2 「・ョセ@

tuk infeksi, yaitu infeksi spesifik dan infeksi non ウー・ウセ@

fik. Infeksi terhadap saluran kelamin mempengaruhi ォ・ウオセ@

buran ternak dengan cara mengubah lingkungan yang ュ・ョァィセ@

bat transfer sperma, kematian sperma kematian embrio dan foetus.

Roberts (1971) membagi infeksi spesifik menjadi 2 ァセ@ longan, yaitu penyakit sintemik seperti tuberculosis, dan ー・ョケ。ォゥエセー・ョケ。ォゥエ@ yang khusus menyerang organ reproduksi

seperti trichomoniasis, vibriosis, brucellosis, ュケ」ッーャ。セ@

ma dan coital vesicula exantema. p・ョケ。ォゥエセー・ョケ。ォゥエ@ ini da pat menyebabkan infertilitas dan kawin berulang karena ke matian embrio dini yang terjadi sekunder terhadap radang

pada endometrium.

Infeksi non spesifik (aspesifik) 、ゥウ・「。「ォイオセ@ oleh cau sa predisposisi dan cenderung mempengaruhi individual ウ。セ@

(28)

hidup dqlam lingkungan ternak seperti di kulit, faces dan lingkungan kandang. Akan tetapi bila keadaan menguntung-kan berubah jadi patogen, seperti group C Streptococcus, Staphylococcus, Corynebacterium pyogenes dan Escherichia coli (Arthur et ·al., 1982).

Infeksi saluran kelamin bet ina dapat berupa vulvitis, cervicitis, vaginitis, endometritis dan pyometra.

Toelihere (1981a) mengatakan bahwa mikroorganisme yang ュセ@

nyebabkan infeksi non spesifik masuk ke dalam uterus pada waktu sesudah partus atau pada pelaksanaan inseminasi bu-atan yang tidak lege artis.

Anestrus atau Kegagalan Berahi

Kegagalan berahi, atau anestrus, pada sapl adalah ァセ@ jala utama dari ban yak faktor yang mempengaruhi siklus be rahi (Toelihere, 1981a). Kegagalan berahi atau anestrus merupakan salah satu sebab yang sering menyebabkan infer-tilitas pada sapi. Umumnya pada sapi dewasa terjadi ウ・ウセ@

dah partus atau sesudah inseminasi apabila tidak terjadi konsepsi, sedangkan pada sapi-sapi dara sering ditemukan sebagai masalah kelompok terutama selama periode ォ・ォオイ。ョセ@

an makanan (Roberts, 1971).

Anestrus yang disebabkan oleh pengaruh hormonal,

0-leh Roberts (1971) dibedakan menjadi 2 golongan : 1. Anestrus pada sapi-sapi dengan corpus luteum

fungsional

(29)

2. Anestrus pada sapi-sapi tanpa corpus luteum atau cor-pus luteum kecilatau tidak fungsional.

Termasuk dalam golongan anestrus dengan corpus lutelUll fungsional adalah sapi-sapi yang bunting, yang berovulasi dan mempunyai siklus beraDi secera tera-ur tetapi tidak diketahui karena berahi yanglemah (silent heat) atau t i -dak terdeteksi karena kelalaian peternak dan yang terakhir adalah sapi-sapi yang mempunyai corpus luteum yang mene-tap (Corpus Luteum Persisten/CLP).

Casida dan Wisnicky yang dikutip oleh Arthur et al.

(1982)

dan Morrow et al.

(1966)

rnendapatkan bahwa ovulasi dengan tanda-tanda berahi yang dikenal. Ovulasi berlang-sung normal dan fertil, hanya tidak disertai gejala-geja-la berahi yang jegejala-geja-las atau tidak sarna sekali. Kemungkinan besar keadaan ini disebabkan kurangnya sekresi estradiol folikel matang, dan beberapa sapi mungkin mempunyai pre-disposisi herediter untuk estrus yang lemah (Roberts, 1971).

Salah satu penyebab anestrus yang lama adalah

kebun-t ingan, tetapi sebaliknya ada pula hewan yang hl.l1ting mem-perlihatkan gejala berahi. Oleh karena itu pemeriksaan ォセ@ buntingan per rektal secara teliti sang at penting. Keja-dian anestru s karena berahi yang tidak terarnat i sering te:::.

(30)

teramati jika pengamatan berahi dilakukan hanya sekali da lam satu hqri (Toelihere, 1981a).

Kelompok anestrus tanpa corpus luteum yang fungsio -nal adalah sapi-sapi yang berahinya kurang jelas, yang mengalami penurunan berat badan dan kelemahan akibat

de-fisiensi makanan, penyakit kronis, senilitas atau iklim, sapi-sapi dengan ovarium yang hipofungsi, hipoplasia,

0-varium yang sistik dan kelainan seperti freemartin, tumor ovari dan gangguan hipofisa (Roberts, 1971).

(31)

Faktor Kegagalan Reproduksi pada Hewan Jantan

Efisiensi reproduksi tidak hanya ditentukan fertili-tas betina tetapi juga pejantan. Kekurangan pejantan dan penggunaan pejantan muda akan menurunkan persentase kela-hiran. Untuk mencapai hasil yang maksimal tidak ィ。ョケ。エセ@

gantung dari jumlah pejantan, akan tetapi juga umur, kon-disi dan sistim pemeliharaan. Pejantan harus berumur di atas 2 tahun dan dalamkkondisi baik (Sitorus dan

M.E.

Si-regar, 1978).

Kegagalan reproduksi dari pihak pejantan sekarang i-ni kurang diperhatikan karena banyak perusahaan peternakan terutama pusatpusat inseminasi buatpeternakan telah mengkhu

-suskan diri dalam produksi semen yang tinggi kualitasnya. Dengan adanya program inseminasi buatan, maka kesulitan-kesulita. dari pihak pejantan dapat diatasi, karena dengan penggunaan teknik modern ini satu pejantan yang berkuali-tas tinggi dapat dipakai untuk melayani banyak 「・エゥョ。Hdェセ@

josudarmo, 1981).

(32)

ber-kembangnya testes, dan jaringan testiku1er yang seni1 atau menjadi tua. Impotentia coeundi atau ketidaksanggul2. an berkopulasi dapat ditimbulkan oleh defek-defek lokal pada penis dan selubungnya, kesakitan yang menghambat pe-naikan dan intromisi, dan gangguan-gangguan kelakuan ke-lamin baik oleh pengaruh fisik maupun psikis (Robert ,1971).

Penyaki t-penyakit ke1amin menu1ar, penyakit-penyakit umum dan kondisi badan yang menurun, faktor-faktor immo-nologik spermatozoa, sperma yang senil, kelainan-kelainan genetik, kekurangan makanan dan gangguan-gangguan keseim-bangan hormonal, sendiri atau bersama-sama menyebabkan kegagalan reproduksi yang dimanifestasikan dalam ompoten-tia generandi dan impotenompoten-tia coeundi tersebut di atas

(Faulkner dan Carrol, 1974).

Hipofungsi Ovarium sebagai Penyebab Gangguan Reproduksi dan Penanggulangannya

Hipofungsi ovarium atau berkurangnya fungsi ovarium dari normal dapat muncul pada waktu yang sangat

bervaria-si, tetapi paling sering terjadi menjelang masa pubertas atau setelah partus pada sapi dewasa atau setelah diinse-minasi, tetapi tidak terjadi konsepsi. Gejala tidak be-rahi (anestrus) yang diperlihatkan oleh sapi dewasa yang mengalami hipofungsi ovarium dapat terjadi 60 hari

(33)

dengan hasil kebuntingan negatif dan didasarkan kepada ーセ@ meriksaan konsentrasl progesteron di dalam air susu dan darah pada waktu dini (Humblot and Mi1ier, 1980).

Ovarium yang mengalami hipofungsi ovarium (ovarium yang kurang aktif) berbentuk agak bulat, rata, licin, ウ・セ@ ta agak kecil dibanding dengan yang normal (Arthur,1975). Hipofungsi ovarium disebabkan oleh beberapa faktor seper-t i fakseper-tor makanan, gangguan posseper-t parseper-tum, dan fakseper-tor mana-jemen. Gangguan atau penyakit post partum seperti ret en-sio secundinae, distokia, hypocalcaemia, ketosis,mastitis dan kelahiran kembar dapat menyebabkan terjadinya ー・ョオョ、セ@

an waktu berahi (Toelihere, 1981a).

Menurut Young (1979), kebanyakan kasus ovarium yang kurang aktif ada1ah karena faktor makanan dan efisiensi manajemen yang tidak menguntungkan. Kebanyakan kasus ke majiran karena faktor makanan adalah efisiensi majemuk. Kekurangan makanan dapat disertai dengan rendahnya mutu makanan dan dengan defisiensi protein, fosfor dan vitamin

A. Suatu defisiensi protein umumnya disertai dengan defi siensi fosfor dan suatu defisiensi vit"amin A disertai de-fisiensi fosfor dan protein (Roberts, 1971; Mousgaard,1969 di dalam Toelihere, 1981a).

(34)

jawab terhadap turunnya fungsi ovarium. Fasciolasis yang bersifat kronis dapat menyebabkan terjadi anemia pada sa-pi, karena cacing ini memakan sari makanan yang terdapat dalam arah (Siegmund, 1979).

Menurut Asdell (1968), bahwa malnutrisi yang dialami oleh sapi menimbulkan pengaruh yang kurang baik terhadap hipofisa anterior, sehingga gagal mensekresikan FSH dalam jumlah cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan ovarium. Sapi dara kerap kali gagal memperlihatkan gejala berahi akibat defisiensi fosfor dan ovariumnya menjadi kurang ak tif (Cole and Cupps, 1969).

Dari gejala klinis sapi yang mengalami hipofungsi 0

-varium memperlihatkan gejala tidak berahi dan merupakan gejala klinis yang paling menonjol (Young, 1979; Toelihe-re, 1981a; Asdell, 1968). Menurut Young (1979),sapi yang ovariumnya tidak aktif dari 2 kelompok sapi yang diseli -diki memperlihatkan gejala tidak berahi masing-masing de-ngan rata-rata 79,2 dan 99,5 hari. Hipofungsi ovarium 、セ@ pat pula terjadi 2 sampai 4 bulan setelah partus (Toeli-.here, 1981a).

Untuk mendiagnosa hipofungsi ovarium didasarkan pada beberapa hal yaitu pengamatan gejala klinis, pemeriksaan laboratoris dan eksplorasi rektal.

(35)

hypocalcaemia, hypoproteinemia, hypoglicaemia dan ketone-mia. Pemeriksaan feces dilakukan terhadap adanya telur

cacing fasciola dan telur parasit cacing lainnya yang ber asal dari lambung dan usus.

Berdasarkan palpasi rektal, ovarium yang kurang ak-tif terasa licin, agak bulat rata serta agak kecil

dibandingkan yang normal (Arthur, 1975).

jika

Keadaan hipofungsi ovarium tidaklah bersifat perma-nen baik sapi perah maupun sapi potong. Sapi yang menderi ta hipofung si ovarium dapat dikembalikan ke keadaan nor-mal apabila kualitas dan kuantitas makanannya diperbaiki. Makanan yang diberikan hendaknya berkadar protein tinggi

serta mengandung unsur mineral yang cukup memadai, khusus nya fosfor (Hafez, 1969; Asdell, 1968).

Pember ian preparat hormonal sangat membantu sekali untuk menimbulkan gejala berahi setelah kualitas dan ォオ。セ@

titas makanannya diperbaiki terlebih dahulu (Young, 1979; Hum blot , 1980).

Arthur (1975), mengemukakan bahwa untuk metabolisme normal, maka di dalam ransum makanannya harus terkandung unsur-unsur seperti besi, mangan, cobalt, yod, cuprum, phosphor dan vitamin. Pengobatan secara teratur terhadap parasit cacing yang terdapat di dalam usus dan lambung sa ngat bermanfaat.

(36)

i cara pengelolaan terutama dalam penyediaan makanan yang baik gizinya serta cukup jumlahnya, Dari segi pengobatan simptomatik, pembentukan folikel dan ovulasi dapat diger-tak dengan penyuntikan hormon gonadotropin, Preparat ィッセ@ mon lain yang dapat digunakan adalah progesteron, Secara umpan balik negatif hormon progesteron akan menghambat ーセ@ ngeluaran hormon gonadotropin untuk sementara waktu. Ham-batan ini memberi rangsangan pada hipofisa anterior untuk memproduksi lebih banyak hormon godanotropin. Dengan hi langnya pengaruh progesteron dalam satu dua hari sesudah penyuntikan, maka hambatan umpan balik negatif akan

hi-lang dan gonadotropin akan disekresikan dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menggertak ovarium. Selanjutnya a-kan terjadi pembentua-kan dan pematangan folikel yang ュ・ョケセ@

babkan estrus dan ovulasi, dengan demikian fungsi ovarium dapat dikembalikan ke keadaan normal.

Kejadian kasus hipofungsi ovarium di Indonesia telah banyak dilaporkan dan di beberapa daerah kegagalan repro-duksi yang disebabkan oleh gangguan hormonal ini ュ・イオー。セ@

kan kasus gangguan reproduksi yang terbanyak yang sering dijumpai. Seperti dapat dilihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 5 dimana kasus hipofungsi ovarium merupakan kasus terbanyak dari berbagai kasus gangguan reproduksi yang dijumpai.

(37)

Tengah, Tahun 1979/1980.

Normal Alnormal

Sista Propinsi

(

c

(ekor)

L P

( % )

Hi pofung si / hipoplasia ovarium

(ekor) ( % )

Penbarahan

alat re-produksi

(ekor) (%)

Aspesifik itas alat (ekor) (%)

repr>oduk-Sl

ovari Jumlah (ekor)(%) (ekor)

Jawa Barat 80

Lampung 38

Jawa Tengah 212

J um:l cl h/ "kor 3 3

°

Ra-ta-rata (%)

29,3

°

16,37 37,17

27,61

95 34,35 137 56,46 206 36,78

lI32 l12,53 24 1 19 IllI

(ekor) (%)

8,79 59 21,73 12 4,49 3 1,34 0,43 49 21,14 12 5,17 1 0,43 3,39 100 18,86 19 3,39 4 0,41

208 LJ3 8

LJ,20 20,57 4 ,35 0,73

273 232 560

1065

!::.iUlII UL! t' 'l'oelihere dkk., 198 0. Laporan Pilot Proyek Penanggulang'an Penyakit Reproduksi

Pada Ternak Sapi di Indonesia 1979/1980, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

[image:37.791.110.750.55.355.2]
(38)

Propinsi

Jawa Timur

B a l i

N.T.B.

Jumlah/ekor

Rata-rata

Hipofungsi ovarium

(ekor) (%)

252 37,7

227 37,6

92 39,1

571

38,1

SUlfiDer' Toelihere dkk. ,

Corpus

lu-teum persis Aspesifik

ten - (ekor) (%)

(ekor) (%)

247 36,9 116 17,3

163 27 147 24

26 11,1 98 41,7

436 361

25 27,8

Perbarahan alat repro

duksi

-(ekor) (%)

30 4,5

46 7,6

16 6,8

92

6,3

Kista ova r i i

(ekor) (%)

11 1,6

20 3,4

2 0,9

33

0,8

Kelainan anatomik

(Ekor) (%)

13 1,9

0 0, 0

1 0,4

14

0,8

1981. Laporan Pilot Proyek Penanggulangan Penyakit Repro-duksi Pada Ternak Sapi di Indonesia 1980/1981, Fakul tas Kedokteran Hewan, IPB.

[image:38.788.126.731.99.330.2]
(39)

Kabupatenl Kot am ad ya

Cianjur Sukabumi Bogor Jumlah Rata-rata (in

Jumlah ウ。セ@

pi yang di 'riksa

-(ekod

454 639 5 07

1. 600

533 ,3

Jurnlah sa- Endometri pi yang di tis/vulvI obati -

tis/vagi;-(ekor) nitis (ekor)

y14 16

533 16

379 12

1. 326 44

442 14,7

Hipofun&. si Ovarl urn (ekor) 34 107 57 198 66 Corpus Luteum persis-ten (ekor) 24 40 25 89 29,7 Abortus (ekor) 10 13 13 36 12 Aspesifik (ekor) 21 10 7 38 12,7

Sumber Laporan Satgas K1inik Hewan Keliling, Faku1tas Kedokteran Hewan IPB, 1983.

N

[image:39.791.127.742.80.348.2]
(40)

Tabel 5. Kompo sisi sapi bet ina t idak bunt ing yang mende-rita gangguan Reproduksi hasil pemeriksaan Team Pengelolaan Reproduksi Peternakan Wilayah Rimur di 10 UWIN tahun 19.84.

No. Macam Gangguan

1. Gangguan Hormonal ;

a. Corpus Luteum Persisten

b. Hipofungsi OvariQm

c. Siste Ovarium

2. Kelainan Anatomis a. Hipoplasia Ovarium

Jumlah (ekor) 606 928 90 60

b. Hipoplasia Uteri 5 c. Hipoplasia Ovarium et Uteri 19

d. Atropi Ovarium

e. Aplasia Ovarium

f. Atresia Ovarium

3. Patologi Alat Kelamin a. Endometritis

b. Pyometra

c. Vaginitis

d. Indurasi Cercix

- Tumor Ovarium, Uterus, Vagina

- Distokia

- Retensio Sekundinarum - Mumif ikasi

- Involusio Uteri lセセ「。エ@

43 3 29 4 3 5 1795 Persentase dari seluruh sapi yang diperiksa

6,60

10,10 0,98

0,65

0,05 0,05

[image:40.541.63.472.110.653.2]
(41)

n

Tabel 4, Hasil Kegiatan Pengelo1aan Reproduksi pada Ternak Sapi di Kabupaten Bandung,3.0 Juli

-4 Agustus 198-4

K a s u s

1. Diperiksa 2. Bunting 3. Dubius

4. Tidak bunting seluruhnya 5. Tidak bunting normal

6. Tidak bunting karena berba-gai kasus

a. G angguan Hormonal a.I. C.L.P.

a.2. Hipofungsi ovarium a.3. Sista ovarium

b. Kelainan Anatomi

b.l. Hipoplasia ovarium b.2. Atrofi ovarium b.3. Aplasia uterus b.4. Freemartin c. Keadaan Pato1ogik

c.l. Endometritis c. 2. Pyometra c.3. Vaginitas c.4. Mumifikasi d. Lain-lain

d.1. Distokia d.2. Tumor

d.3. Retentio secundinae d.4. Bekas abortus

7. Pengobatan Kemajiran

Ekor 834 397 58 379 71 308 142 65 1 10 3 38 1 2 34-12 305 Jumlah (%) 47,6 7, 0 45,4

18 ,7 (dari tak hmting) 87,3

46,1 (dari kasus) 21,1 0,3 3 ,25 1,0 12,3 0,3 0,65 11,0 3,9

[image:41.557.61.472.93.670.2]
(42)

Corpus Lutewn Persisten sebagai Penyebab Gangguan Repro -duksi dan Penanggulangannya

Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan, menun-jukkan bahwa uterus adalah sebagai pusat pengatur kehidu£ an corpora lutea selama siklus berahi. Studi terhadap beberapa spesies hewan piara, menunjukkan bahvla pada ute-rus yang tidak bunting akan memproduksi sUbstansi PGF

2O<, yang merupakan zat luteo litik terhadap corpus luteum (Do nald, 1980).

Pharris dan Wyngarden dikutip oleh Donald (1980), ュセ@

ngatakan bahwa PGF

2 oC sebagai penyebab luteolisis cor-pus luteum melalui pembuluh-pembuluh darah utero - ovaria yaitu dari vena uteri ke arteri ovarium dengan mekanisme transfer "counter-current" (Gambar 1) dan menyebabkan pu-la ischemia serta kematian sel-sel luteal. Menurut Han-sel dikutip oleh Green dan Samuelsson (1972) ュ・ュー・イエゥュセ@

bangkan bahwa sUbstansi prostaglandin berdifusi dari vena uteri ke uteri ovarium kemudian lang sung menuju ovarium.

Selain itu kerja dari prostaglandin adalah berhubungan langsung dengan sintesa progesteron, bersaing dengan LH dengan regresi jaringan letual berjalan lambat dan berta-hap. Regresi corpus luteum tidak hanya oleh PGF2a<:: saja tetapi akan dapat ditimbulkan oleh pengaruh dari ・セ・ォ@ hi-pofisa.

(43)

Gambar 1.

t,:'Ie:'l..,. "'tll'\ 10

overlon O('e"y VIa

セヲFZcZijh・イZヲN@

Transfer prostaglandin dari uterus ke vena

uteri, kemudian dengan mekanisme transfer

"counter current" ke arteri ovarium.

[image:43.544.38.436.157.739.2]
(44)

pelepasan prostaglandin dqn menghilangkan kerja luteoli-tik. Keadaan ini berupa kebuntingan, pemasangan Uterine Device (IUD) pada wanita, histerektomi, pyometra, endome-tritis, mukometra, dan mumifikasi atau maserasi fetus. Semua ini menghambat kerja luteolitik prostaglandin dan menyebabkan tertahannya corpus luteum yang cukup lama

waktunya.

Dikatakan oleh Roberts (1971) corpus luteum persis -ten terjadi karena adanya atau pernah terjadi ォ・ャ。ゥョ。ョMォセ@

lainan di dalam uterus berupa endometritis, pyometra, re-tensio secundinae, maserasi dan mumifikasi fetus dan kela

inan lain yang mengganggu fungsi endometrium.

Ginther (1968) dan Arthur et al. (1982) mengatakan bahwa anestrus yang berhubungan dengan patologi uterus dan corpus luteum yang fungsional, disebabkan oleh kegagalan pelepasan bahan luteolitik dari endometrium, sehingga co£ pus luteum gagal beregresi dan siklus berahi terganggu.

Toelihere (1981a) mengatakan bahwa anestrus karena corpus luteum yang menetap umumnya berhubungan dengan pa-tologi atau pengembangan uterus misalnya pad a keadaan ーケセ@

metra, mumifikasio dan maceratio foetalis, mukometra, re-tensio secundinae atau dengan kematian embryonal dan pe-nyakit-penyakit lain. Corpus luteum persisten umumnya me-netap selama ada gangguan patologi tersebut, sampai wak-tu yang cukup lama. Selama iwak-tu pula hewan tidak menunjuk-kan tanda-tanda berahi. Apabila corpus luteum persisten

(45)

setelqh pelqksanaan inseminasi yang tidak fertil, biasa-nya hewan betina tersebut disangka bunting, setelah ー・ュセ@ riksaan rektal ternyata hewan bet ina tidak bunting dan 0-variumnya mengandung corpus luteum persisten.

Untuk mendiagnosa adanya corpus luteum persisten, se lain gejala klinis dan eksplorasi rektal, suatu sejarah reproduksi ternak yang bersangkutan akan sang at membantu. Pada palpasi rektal, corpus luteum persisten dapat dira-sakan berupa benjolan pada permukaan ovarium yang konsis-tensinya kenyal dan dapat dibedakan dengan konsistensi fo likel matang yang berfluktuasi (Toelihere, 19S1a).

Apa-bila corpus luteum berlangsung beberapa bulan, maka cor-pus luteum tersebut akan terletak di dalam ovarium dan rna kin sulit didiagnosa. Tanpa diagnosa kebuntingan secara teratur, corpus luteum persisten dapat bertahan 6 sampai

S bulan sesudah perkawinan (Roberts, 1971).

Penanggulangan terhadap adanya corpus luteum persls-ten harus didasarkan pada diagnosa perbandingan yang teli t i , memerlukan pencatatan yang sempurna dan beberapa eks-plorasi rektal.

(46)

Penyingkiran corpus luteum persisten dengan cara ma-nual merupakan metode yang Paling sederhana dan praktis, namundemikian penggunaannya harus sejarang mungkin.

Corpus luteum harus dilepaskan seluruhnya dan dijatuhkan ke dalam rongga perut dan tidak dalam bursa ovarium, 、ゥュセ@

na ia dapat menyebabkan adhesi. Adhesi karena manipulasi yang kasar terhadap ovarium adalah sebab umum dari kema-jiran yang permanen (Dowson, 1961).

Menurut Nakano dan Koss (1973); Katz dan Katz HQYWセI@

yang dikutip oleh Setiawan dan Hamidjojo (1982) salah sa-tu cara unsa-tuk menghilangkan corpus luteum persisten ada-lah dengan memberikan prostaglandin (PGF 2 0<- ) , 'karena selain dapat menyerentakkan berahi juga dapat diperguna -kan untuk mengobati gangguan reproduksi pad a ternak sapi yang disebabkan oleh corpus luteum persisten. Pharriss et al . (1972) dalam Setiawan dan Hamidjojo (1982) menyatckan bahwa ada lima hipotesa tentang mekanisme PGF

2 oC menlffi-bulkan luteolysis, yaitu : PGF

2 oC lang sung mempengaruhi hypophisa, mengingat hypophisa penting mempertahankan ak-tivitas corpus luteum (1); PGF 2

=

dapat menginduksi ャオエセ@ olysis melalui uterus melepaskan endogenous luteolysis(2); PGF 2 oC lang sung bereaksi sebagai racun terhadap sel-sel lu teal (3); PGF 2 0< bekerj a sebagai anti gonadotropin HセI[@

PGF 2 oC mempengaruhi aliran darah ke ovar ium (5) Mekanis me PGF

(47)

Gonadotropi

(LH)

Kelenjar hipofise I

I

',2

J

1

5

' I

, イMMMGMMMMMMMMNLセMM

----'\

Vena

utero-ovarika

Gambar 3, Kemungkinan mekanisme PGF -2 oC pad a

proses luteolisis (Pharriss et al.,1972)

I. Feed back secara langsung terhadap hipofise

2. Efek antigonadotropik

3. Stimulasi pada uterus untuk sintesa luteolisin

4. Daya kerja toksisitas secara lang-sung pada corpus luteum

[image:47.546.49.470.62.465.2]
(48)

Penyingkiran eLP secara manual maupun dengan penyun-tikan prostaglandin Umumnya akan diikuti dengan gejala 「セ@

rahi 2 sampai 7 hari kemudian. Untuk memperjelas gejala berahi yang timbul setelah enukleasi, dapat juga diberi -kan penyunti-kan preparat estrogen dan diberi antibiotik secara intra uterin untuk menanggulangi perbarahan atau ifeksi (Toelihere, 1981a).

Prostaglandin yang disuntikkan sebagian kecil dkan dipecahkan dalam hati, ginjal dan limpa tetapi sebagian besar (+ 80 %) dihancurkan dalam paru-paru. Dengan demi-kian pemakaian PGF 2 0<" melalui intra vena kurang

memba-wa efek dan secara intra muskuler kurang efektif dimana diperlukan dosis yang CUkuP tinggi (25 - 30 mg), sedang-kan harga PGF 2 0<: sangat mahal. Agar pemakaian PGF 20<'

efektif dalam dosis kecil, sebaiknya pemakaian melalui intra uterin. Diperkirakan dosis yang diperlukan seper-lima dari dosis secara intra muskuler. Masalah tersebut diperkuat lagi dengan hasil percobaan Donaldson (1977), yang menyatakan bahwa dosis-dosis rata-rata PGF 2

=

yang dipergunakan untuk memperlihatkan berahi pada sapi, anta ra 25 - 30 mg secara intra mu Skuler atau 1 - 4 mg PGF 2 e<::

secara intra uterin infuse.

(49)

dilapor-kan cukup banyak, diantaranya seperti dapat dilihat pad a Tabel 1, 3, 5 dimana corpus luteum persisten merupakan ーセ@ nyebab kegagalan reproduksi di urutan kedua setelah hipo-fungsi ovarium. Sedangkan pada Tabel 4 corpus luteum per

sisten merupakan kasus penyebab kegagalan reproduksi ter-banyak dibanding kasus lain. Sedangkan pada Tabel 2 ka-sus corpus luteum persisten menempati urutan ketiga pada kejadian kasus-kasus reproduksi.

Waktu Optimum untuk Inseminasi

Dalam melakukan inseminasi, waktu yang optimum meru-pakan salah satu faktor yang harus diperhatikan karena inseminasi yang terlampau cepat atau lambat akan mengaki-batkan tidak terjadinya fertilasi sehingga angka konsepsi rendah. Waktu optimum untuk melaksanakan inseminasi

ha-rus diperhitungkan dengan waktu kapasitas, yaitu suatu proses fisiologi yang dialami spermatozoa di dalam salur an kelamin betina untuk memperoleh kesanggupan membuahi 0 vum (Toelihere, 1981c).

(50)

Kapasitas sperma diperkirakan berlangsung 4 jam, 0

-leh karena itu inseminasi dilakukan paling lambat 4 jam sebelum ovulasi. Disamping itu harus diingat bahwa umur sperma dalam saluran kelamin betina berkisar antara

12

@ill pai 24 jam, sedangkan umur ovum lebih singkat lagi hanya sekitar

12

jam. Berdasarkan waktu kapasitasi dan Lunur sperma, maka terbaik untuk inseminasi pada sapi adalah ー・セ@ tengahan berahi sampai 6 jam sesudah akhir berahi (Toeli-here, 1981).

100

4 3 1 2 3

Angka 80 kon-sepsi

(%) 60

40 20

o

iセ@ _ _ L -____ L -____ セ@ __ セ@ __ セ@ ________________________ __

Sebelum berahi

1---18-j am-l Berahi

6 12 18 24 30 Sesudah berahi Waktu Inseminasi (jam)

36 42

[image:50.541.56.493.71.646.2]
(51)

Inseminasi dapat dilakukan 9 jam setelah munculnya gejala berahi sampai 6 jam setelah akhir berahi (Murray dan Entwistle, 1978; dan Salisbury dan Vandemark, 1961 dalam Batosamma, 1980). Suatu gambaraD tentang hubungan antara waktu inseminasi dan pr6sentase konsepsi pada sapi seperti dapat dilihat pada Gambar 3 di atas.

Dalam kenyataannya di lapangan, sulit untuk mengeta-hui saat dimulainya berahi apalagi saat ovulasi.

Untuk mempermudah pelaksanaan inseminasi, Trimberger dan Davis (1948) menyarankan waktu yang optimum untuk insemi-nasi seperti tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Waktu yang Optimum untuk Inseminasi (Trimberger dan Davis, 1948)

Pertama kali No. terlihat berahi

1. Pagi hari

2. Sore atau malam hari

Pelaksanaan IB yang baik

Hari yang sama Hari berikutnya se belum jam 2 siang

Terlambat

[image:51.543.60.479.67.557.2]
(52)

Penilaian Hasil Inseminasi Buatan

Dalam penilaian hasil inseminasi buatan, salah satu pembatasan penentuan efisiensi reproduksi dengan cepat ialah tidak adanya suatu cara penentuan kebuntingan seca-ra mudah dan obyektif segeseca-ra sesudah konsepsi (Toelihere, 1981c). Kemungkinan diagnosa yang tepat hanya dapat ter-jadi sesudah melewati beberapa minggu dari saat insemina-si dan kemungkinan tersebut meninggi dengan bertambahnya waktu. Suatu diagnosa palpasi rektal yang positif mung-kin hanya berlaku pada saat itu karena banyak faktor, te£ utama penyakit - penyakit yang menyebabkan abortus, dapat menginterupsi jalannya kebuntingan yang normal. Jadi ukur an terakhir yang pasti mengenai keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak yang sehat. Akan tetapi, untuk menunggu sampai terjadinya kelahiran akan terlampau

lam-bat dalam penentuan kebijaksanaan selahjutnya dalam ー・ャ。セ@

sanaan program inseminasi buatan, apalagi bila tidak ter-jadi kebuntingan.

(53)

inse-minasi buatan yaitu : Non-Return Rate (NR), Angka Konsep-si atau Conception Rate (CR), Jumlah Inseminasi per Ke-buntingan atau Service per Conception (SIC) dan yang ter-akhir adalah Angka Kelahiran atau (Calving Rate).

Penilaian NR berpegang pada asumsi bahwa sapi - sapi yang tidak kembali minta kawin (non-return) adalah bun-ting, untuk CR dalam penilaian inseminasi berpegang pada prosentase sapi bet ina yang bunting pada inseminasi ー・セ@ tama, sedangkan SIC adalah penilaian atau perhitungan ェセ@ lah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadi kebuntingan atau konsepsidan Calving Rate adalah prosentase jumlah anak yang lahir da-r i hasil satu kali inseminasi (apakah dada-ri inseminasi ー・セ@ tama atau kedua, dan seterusnya).

Menurut Toelihere (1981c) suatu ukuran terbaik dalam penilaian hasil inseminasi buatan "aiialah prosentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama, dan disebut Conception Rate atau Angka Konsepsi. Angka konsepsi 、セ@

tentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh Dok ter Hewan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah insemina-si. Nilai CR diperoleh dengan penentuan sebagai berikut:

Jumlah betina bunting pada IB pertama,

CR (%)

=

yang didiagnosa secara rektal X 100

%

(54)

Angka konsepsi ditentukan oleh 3 faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan bet ina dan teknik inseminasi.

Pada perkawinan normal jarang ditemukan suatu keada-an dimkeada-ana hewkeada-an jkeada-antkeada-an dkeada-an betina mencapai kapasitas 100 prosen, walaupun masing-masing mencapai tingkatan ォ・ウオ「オセ@

an 80 prosen, pengaruh kombinasinya menghasilkan angka konsepsi sebesar 64 prosen (80 X 80). Teknik inseminasi yang baik akan mempertahankan nilai ini, akan tetapi se-tiap penurunan efisiensi reproduksi merupakan suatu per-samaan faktorial dari ketiga variabel tersebut di atas

(prosentase kesuburan jantan

X

prosen kesuburan bet ina

X

prosentase ・ヲゥウゥ・ョセウゥ@ kerja inseminator). Bahwa dalam

sua-tu ー・イウFセ。。ョ@ faktorial, hasil kali adalah selalu rendah

(55)

Studi dilaksanakan di daerah Kecamatan Pujon, Kabu-paten Malang, Jawa Timur.

Studi lapangan berupa survei, pemeriksaan kebunting-an, diagnosa dengan cara palpasi per rektal dan pengambil an data dilakukan selama kurang lebih 2 minggu dari akhir bulan Juni sampai awal Juli 1985.

Sapi-sapi perah bet ina dewasa sebanyak 53 ekor yang mengalami gangguan reproduksi berupa hipofungsi ovarium sebanyak 25 ekor dan corpus luteum persisten 28 ekor. Se-jumlah ternak ini diperoleh dari pengambilan secara acak terhadap 115 ekor sapi perah milik anggota Koperasi Pe-ternakan Sapi Perah SAE Pujon, yang diperkirakan mengala-mi gangguan reproduksi yang berasal dari beberapa desa.

M e t o d e

(56)

Penilaian terhadap pelaksanaan inseminasi buatan pa-da sapi perah yang telah diobati pa-dari gangguan reproduksi hipofungsi ovarium dan corpus luteum persisten dibedakan menjadi 2 kelompok

a. Kelompok kasus yang mengalami hipofungsi ovarium seba nyak 25 ekor dan dibagi menjadi 2 sub kelompok. Sub kelompok pertama sebanyak 17 ekor dilakukan pengobat-an dengpengobat-an preparat hormon progesteron (Potahormon) 6 ml 1M. Sub kelompok kedua 8 ekor ditanggulangi dengan cara masase ovarium melalui palpasi per rektal dengan pemberian antibiotika (Penicillin-Streptomycin 4 : 1) 10 ml atau 1,2 juta IU Pen/500 mg Strep. intra uterin. b. Kelompok kasus yang mengalami corpus luteum persisten

sebanyak 28 ekor juga dibagi menjadi 2 sub kelompok. Sub kelompok pertama sebanyak 15 ekor yang diobati 、セ@

ngan cara enukleasi dan disertai antibiotika 1,2 juta IU Penicillin dan 500 mg Streptomycin dalam 10 ml in-tra uterin. Sub kelompok kedua 13 ekor diobati dengan preparat hormon prostaglandin F20C (Lutalyse) 1,25 ml

dan antibiotika keduanya secara intra uterin.

Sapi yang sembuh yang memperlihatkan gejala berahi kembali segera dilakukan inseminasi oleh petugas insemi-nasi setempat. Penilaian hasil inseminasi dari hasil セ@

(57)

Ang-ka konsepsi ini ditentuAng-kan berdasarAng-kan diagnosa ォ・「オョエゥョセ@

an dengan cara eksplorasi per rektal dalam waktu 2 bulan sesudah inseminasi pertama. Penentuan angka CR adalah se bagai berikut :

CR (%)

=

Jumlah bet ina bunting pada IB pertama, yang diagnosa secara rektal

(58)

Keadaan Umum Daerah Penelitian

Kecamatan Pujon termasuk dalam wilayah Kabupaten Da-t i II Malang dengan luas 13.076 hekDa-tar dan mempunyai pen-duduk sejumlah 44.444 jiwa yang tersebar 10 desa.

Daerah ini di sebelah utara berbatasan dengan daerah Mojokerto, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Batu,

sebelah selatan dengan daerah Blitar, dan daerah barat dengan Kecamatan Ngantang.

Letak ketinggiannya rata-rata 1.140 meter di atas ーセ@ mukaan laut. Udaranya sejuk dengan suhu rata-rata 14 C

°

sampai 24° C dan pada musim kemarau mencapai 20° C sampai 31° C, dengan hari hujan sepanjang tahun rata-rata adalah 138 hari.

Pembagian tanah di daerah ini meliputi areal hutan seluas 9.300 hektar, persawahan 158 hektar,tegalan 3.244,5 hektar, dan tanah pekarangan 373,5 hektar. Struktur ta-nahnya adalah andosol, yaitu campuran antara brongkal, 、セ@

bu, dan lempung. Pertanahan sebagianbesar terdiri dari lereng-lereng dengan kecuraman 25° sampai 45°.

Keadaan dan Potensi Peternakan

(59)

taupun peranakannya. Usaha peternakan sapi perah di dae-rah ini umumnya dilakukan oleh rakyat, dengan rata - rata

pemilikan dua sampai tiga ekor.

Sebagai gambaran mengenai populasi ternak maupun pe-ternak di daerah ini, dapat dilihat pada Tabe1 7 dan 8. Sedangkan komposisi pemi1ikan ternak yang sebagian besar terdiri dari sapi betina, dapat di1ihat pada Tabe1 9.

Untuk mengatasi permasa1ahan pemasaran susu dan sara na produksi ternak, para peternak di daerah Pujon berga-bung dalam wadah koperasi yang diberi nama Koperasi Peter nakan Sapi Perah SAE Pujon.

Keadaan Sosia1 dan Ekonomi Peternak

Sebagian besar penduduk daerah Pujon memelihara sapi perah sebagai mata pencaharian sampingan, di samping mata pencaharian オエセャャ。ョケ。@ sebagai petani sayur dan buah - bu-ahan. Status pemilikan ada1ah sebagai mi1ik sendiri, ga-duhan, atau kredit. Tujuan utama beternak ada1ah untuk produksi susu, sedangkan pupuk hanya sebagai hasil ウ。ーゥョセ@

an.

(60)

Tabe1 7. Perkembangan Popu1asi Sapi Perah di Kecamatan Pujon 1980 - 1984

Tahun Jum1ah Ternak (ekor)

1980 5.557

1981 7.030

1982 9.030

1983 12.058

1984 11.214

Sumber : Anonimus. 1984. Laporan Tahunan Koperasi SAE Pu

jon.

Tabe1 8. Pppu1asi Ternak dan Jum1ah Peternak di

Kecamat-an Pujon 1984

D e s a

Pandesari

Pujon Lor

Ngroto

Pujon Kidu1

Wiyorejo Madirdo Tawangsari Ngabab Sukomu1yo Bendosari

Sumber : &'1 on imu s .

jon.

Popu1asi Ternak (ekor)

2.129

1.141

1. 3 22

1.137 989 945 898 914 709 1.030

1984. Laporan Tahunan

Jum1ah Peternak (orang) 644 280 380 350 345 416 199 266 200 241

(61)

Tabel 9. Komposisi Populasi Sapi Perah di Kecamatan Pujon 1984

K 0 m p 0 s i s i

Sapi Induk Laktasi - Bunting

- Tidak Bunting Kering Kandang - Bunting

- Tidak Bunting Sapi Dara

- Bunting

- Tidak Bunting Pedet Betina

Lain-lain

Jumlah (ekor)

5.505

1. 913

1.441

2.032

1. 959

9 Xlセ@

530

1.178 735

- Pedet jantan 1,214

- Pemacek 55

- Sapi PO 172

sumber : Anonimus. 1984. Laporan Tahunan Koperasi SAE Pujon.

Tabel 10. Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Pujon Tahun 1979

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) ( % )

Tidak seko1ah 2.991 18,14

Tidak tamat SD 4.235 25,69

Tamat SD 8.460 51,32

Tamat SLP 597 3 ,62

Tamat SLA 179 1,09

Tamat Perguruan Tinggi 23 0,14

[image:61.550.39.448.61.676.2]
(62)

Tatalaksana Peternakan

Cara pemeliharaan sapi perah di daerah Pujon umumnya adalah dikandangkan terus-menerus. Kandang umumnya terle-tak berdekatan dengan rumah peternak serta terbuat dari bambu atau kayu dengan atap genteng dan beralaskan bambu atau papan, dan ada beberapa diantaranya telah mengguna -kan lantai semen.

Pembersihan kandang dilakukan satu atau dua kali se-hari,sedangkan ternaknya dimandikan dua kali sekali. Ber-dasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa sanitasi kandang umumnya masih kurang diperhatikan.

Makanan yang diberikan terdiri dari makanan hijauan, makanan penguat, dan sedikit mineral. Makanan hijauan エ・セ@

sebut berupa rumput gajah, rumput lapangan dan sisa -sisa hasil pertanian, sedangkan makanan penguat terdiri dari dedak, bungkil dan jagung, Jumlah yang diberikan bervari asi, untuk makanan hijauan antara 30 sampai 60 ォァO・ォッイOィセ@

ri dengan rata-rata umumnya 40 kg/ekor/hari, dan untuk ュセ@ kanan penguat antara 2 sampai 12 kg/ekor/hari dengan イ。エセ@ rata umumnya 6 kg/ekor/hari. Keadaan rumput di daerah i-ni cukup di musim hujan dan kurang sampai buruk di mushl panas.

(63)

Kegiatan Reproduksi Ternak

Umumnya para peternak di daerah Pujon mengawinkan ternaknya dengan cara lB. Sapi perah di daerah ini memi-liki usia kawin pertama rata-rata antara 18 culan sampai

2'+ bulan. Selanjutnya melahirkan anak setiap satu sampai 2 tahun, dan dikawinkan kembali 2 bulan sampai 3 bulan se telah melahirkan.

Sebagian besar peternak di daerah ini sudah mengenal tandatanda berahi, dan selanjutnya lang sung melaporkan -nya kepada epetugas inseminator apabila tanda-tanda ter-sebut terlihat. Kesan peternak terhadap tanda-tanda

be-rahi yang terutama adalah sapi gelisah dan menguak- nguak serta keluar lendir jernih dan lengket.

Ternak sapi perah yang ditangani pada ー・セ・ャゥエゥ。ョ@ ini umumnya memerlukan lebih dari tiga kali di iI1seminasi a-gar sampai bunting. Kelainan-kelainan yang sering terja-di terja-di daerah ini adalah anak lahir mati, terja-disamping juga

siklus berahi yang tidak teratur yaitu terlalu sering atau lama. Sedangkan kegagalan reproduksi yang sering terjadi adalah ternak sering dikawinkan tetapi tidak jadi.

(64)

telah rnernenuhi syarat pendidikan dan latihan tertentu. Pelayanan inseminasi dilakukan dengan rnenggunakan ウゥセ@ tern aktif, yaitu petugas inserninator setiap pagi dan sore mengontrol kotak laporan berahi di wilayah kerjanya ュ。ウゥョセ@

masing. Apabila ada laporan berahi rnaka biasanya segera lang sung dilakukan inserninasi. Thawing dilakukan dengan cara straw dimasukkan ke dalam air dan kemudian lang sung dipakai.

Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa ー・ョ」。エ。セ@

(65)

Hasil Pemeriksaan Berbagai Penyebab Kemajiran di Pujon, Malang

Kegiatan operasional terhadap sapi-sapi perah yang disangka mengalami gangguan reproduksi diperoleh dari la-poran Keswan bag ian Reproduksi Koperasi Peternakan Sapi Perah SAE Pujon, sebanyak 115 ekor. Sapi - sapi tersebut berada tersebar di seluruh kecamatan, dimana Kecamatan ーセ@

jon terbagi menjadi 10 desa yaitu Desa Pandesari, Desa PujonLor, Desa Ngroto, Desa Pujon Kidul, Desa wゥケオイ・ェッL、セ@

sa Madirdo, Desa Tawangsari, Desa Ngabab, Desa Sukomulyo dan Desa Bendosari.

Berdasarkan diagnosis pemeriksaan per rektal pada ternak sapi perah di Pujon, Malang seperti tertera pada Tabel 11, dari sejumlah 115 ekor sapi yang diperiksa ter-dapat 25 ekor (21,74 %) bunting, 79 ekor (68,69 %) tidak bunting dan 11 ekor (9,57 %) dinyatakan dubius.

Dari 79 ekor sapi yang t idak bunt ing, satu ekor (1,27

%) ternyata normal 、イオセ@ 78 ekor (98,73 %) memperlihatkan berbagai kasus. Kasus utama adalah gangguan hormonal me-nyusul gangguan-gangguan lain.

Dari 78 ekor sapi yang tidak bunting dan tidak nor-mal, 28 ekor (35,90 %) mengandung corpus luteum persisten

ケFセァ@ merupakan kasus terbanyak ditemukan. Kemudian 25

(66)

aspe-sifik sebanyak 19 ekor (24,35 %), pyometra satu ekor

(1,28 %) dan hipop1asia ovqrium et uteri satu ekor (1,28%).

Tabe1 11. Hasil Kegiatan Pemeriksaan Rekta1 Pad a Sapi Pe

rah di Kecamatan Pujon, Kabupaten Ma1ang,April 1985.

Jum1ah K a s u s

Ekor %

l . Diperiksa 115

2 . Bunting 25 21,74

3 . Dubius 11 9,57

4. Tidak bunting se1uruhnya 79 68,69

5. Tidak bunting normal 1 1,27 (dari tak

bmting)

6 . Tidak bunting karena berbagai 78 98,73

kasus

a. Gangguan Hormonal

a.I. Corpus 1uteum persis- 28 35,90 (dari l<asus)

ten

a.2. Hipofungsi ovarium 25 32,05

a.3. Siste ovarium 4 5,13

b. Aspesifik 19 24,36

c. Kelainan Anatomik

- Hipop1asia ovarium

1

1,28

d. Keadaan Pato1ogik

(67)

Dqri hasil pemeriksaan secara rektal yang tertera pad a Tabel 11, ternyata kasus yang paling banyak ditemu. -kan adalah corpus luteum persisten (35,90 %). Hal ini ke-mungkinan besar disebabkan karena pengaruh perbarahan ute rus yang parah atau sedang terjadi pada ternak yang

ber-sangkutan dan biasanya terjadi sejalan dengan kasus peto-logik pada saluran kelamin bet ina seperti vaginitis, re-tentio secundinae, bekas abortus endometritis dan pyome-tra. Kejadian-kejadian tersebut terjadi pada waktu dan segera sesudah partus dan juga pelaksanaan IB, yang dapat menghambat regresi corpus luteum. Kemungkinan terakhir

kecil dan dapat dihilangkan karena inseminator di daerah ini termasuk inseminator-inseminator yang terampil. Se-dangkan kemungkinan yang tersebut terdahululah yang dapat dikatakan merupakan faktor penyebab terbesar timbulnya perbarahan uterus dan corpus luteum persisten (CLP). Bi-asanya sapi-sapi yang baru melahirkan dibiarkan begitu ウセ@

Gambar

Tabel 1. Penyebab kegagalan reproduksi berdasarkan pemeriksaan rektal pada sapi di
Tabel 2. Penyebab kegagalan reproduksi berdasarkan pemeriksaan rektal pada sapi di
Tabel 3. Perbandingan jurnlah sapi yang diperiksa dan kasus yang diobati di daerah
Tabel 5. Kompo sisi sapi bet ina t idak bunt ing yang mende-
+7

Referensi

Dokumen terkait

'Just gone away.' 'Dead of shame,' said Satthralope.. The Doctor, slipping in beside her: 'If they were dead, the House would have replaced them.' 'You are dead,' she said,

3 Universitas Kristen Maranatha kejiwaan yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi

Penyusunan tugas akhir ini mengkaji perencanaan ulang struktur baja menggunakan spesifikasi bangunan gedung baja struktural (SNI 1729:2015) menggunakan pemodelan Structure

Hall (2003) mengungkapkan bawah hal yang terpenting dalam sistem representasi adalah kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu

Gambar 1 menunjukkan hasil biplot pengaruh interaksi model AMMI2 pada karakter produktivitas rimpang dan laju fotosintesis dari 20 genotipe temu hitam dan 3 varietas

Dari penelitian eksperimen ini didapatkan hasil terbaik reduksi emisi CO tertinggi pada kelompok eksperimen 3 menggunakan katalis dengan kandungan logam mangan 200 gr yaitu

Problematika orang tua tunggal yakni merasa kesepian, perasaan terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kekurangan waktu untuk

Terhadap Motivasi Belajar Pada Mata Pelajaran Ekonomi Siswa Kelas X di. SMA