Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
MABRUROH 1110013000009
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i
Pembelajaran Sastra di SMA” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.
Skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan objektif terhadap karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan karakter tokoh Ayah di dalam novel Ayahku (Bukan)
Pembohong karya Tere-Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Di dalam novel ini, Tere-Liye menghadirkan cerita kedekatan hubungan antara Ayah dan anak laki-lakinya yang dibangun melalui cerita dongeng Ayahnya, kedekatan hubungan mereka dan dongeng itu harus berhenti karena suatu sebab. Untuk menemukan karakter tokoh Ayah di dalam novel, peneliti menggunakan metode karakterisasi melalui tindakan para tokoh yaitu melalui tingkah laku, melalui ekspresi wajah, dan melalui motivasi yang melandasi. Karakter Ayah yang tergambar melalui tingkah laku adalah suka bercerita, penyayang terhadap keluarga, melindungi, dan memilih hidup sederhana. Karakter Ayah yang tergambar melalui ekspresi wajah adalah selalu menahan kesedihan, ceria, optimis dan penuh kayakinan. Karakter Ayah yang tergambar melalui motivasi yang melandasi adalah ambisius, berbohong untuk kebaikan anaknya, tujuan cerita-ceritanya, sikap tegas dan penuh disiplin, menghargai setiap usaha, rasa syukur, dan rasa cinta.
Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Created By Tere-Liye and Implications to Study of Literature in Senior High School” Major Education Language and Indonesia Lecture. Faculty Tarbiyah Science and Teacher. University Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Instructor Lecturer : Novi Diah Haryanti, M.Hum.
This thesis uses descriptive method of analysis using objective approach to literary works. This study aimed to describe the character of the father figure in
the novel Ayahku (Bukan) Pembohong created by Tere-Liye and implications to
study of literature in senior high school. In this novel Tere-Liye presents story father and son relationship proximity fairy stories that built by father proximity relationships and stories that they should stop because of. Father to find characters in researchers using the characterization by the actions of the characters is through behavior, through facial expressions, and through motivation underlying. Father character depicted through the behavior is like storytelling, dear to the family, protect, and the simple life. Father character portrayed through facial expressions are always resist sadness, happy, optimistic and full of faiths. Father character depicted through underlying motivation is ambitious, lie for the good of their children, goal storytelling, assertiveness and discipline, appreciate every effort, gratitude, and love.
iii
izin Allah SWT hingga skripsi ini pada akhirnya dapat penulis selesaikan. Solawat
dan salam senantiasa penulis curahkan sepenuh hati untuk baginda Nabi
Muhammad SAW dan semoga kita semua mendapatkan syafaatnya.
Skripsi dengan judul “Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi
ini, tidak lepas dari kejenuhan dan hambatan yang hadir silih berganti. Tanpa
semangat dan kemauan yang keras untuk menyelesaikan dengan segera, tidak
mungkin skripsi dapat selesai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan sangat
bangga dan sangat berterima kasih penulis ingin sampaikan kepada:
1. Dr. Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D, selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Hindun, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dona Aji Karunia Putra, M.A, selaku sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang tidak
bosan-bosannya untuk membimbing penulis dan memberikan arahan,
saran, masukan yang sangat membantu selama proses pembuatan skripsi.
Terima kasih atas waktu serta kesabaran yang Ibu berikan selama proses
bimbingan skripsi ini.
5. Dosen-dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dengan sabar dan ikhlas telah membagi ilmunya
iii
7. Keluarga besar LST-POSTAR yang telah memberikan penulis kesempatan
mengenal kalian, memberikan banyak pengalaman dan pelajaran hidup
yang tidak penulis temukan di bangku kuliah, terima kasih atas
kepercayaannya, penulis bangga menjadi bagian dari keluarga
LST-POSTAR.
8. Sahabat-sahabat penulis Tuti Alawiyah, Sutirih, Kurnia Dewi Nurfadillah,
Aisyatul Fitriah, Yunia Ria Rahayu, Dwina Agustin, yang mungkin sudah
bosan mendengarkan segala keluh kesah penulis namun masih mau
mendengarkan dan memberikan semangat serta motivasi. Terima kasih
telah menjadi sahabat yang suatu hari nanti bisa penulis ceritakan dengan
bangga tentang kehadiran kalian di kehidupan penulis.
9. Yudi Ardiansyah yang tidak pernah lelah memberi dukungan, semangat,
dan hobi menyulut emosi penulis untuk segera dan segera merampungkan
skripsi. Terima kasih sudah hadir.
10.Bambang Pribadi yang sudah mencambuk penulis untuk tidak melulu
berada dalam zona aman, mengajak penulis untuk berani memberontak
dari kata tidak bisa dan tidak mungkin, dan meyakinkan penulis untuk
terus berpikir positif terhadap hal yang dikerjakan dengan kesungguhan.
11.Teman-teman kosan berisik bin ajaib Ade Fauziah, Aulia herdiana, Eka
Lutfiyani, Mawaddah, Tazka Adiati, Nurul Inayah, Fitri Khoiriyani.
12.Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang konyol bin
nyebelin, khususnya kelas B angkatan 2010. Terima kasih telah menerima
penulis sebagai bagian dari kelas B yang pada awalnya terjadi karena salah
masuk kelas.
13.Teman-teman Karate BKC UIN Jakarta yang menyelamatkan penulis dari
kejenuhan aktivitas perkuliahan dan membawa penulis mengikuti
iii
ini menjadi lebih baik lagi. Besar harapan juga semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.
Jakarta, 08 Januari 2015
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ... i
ABSTRATC …………..……….………... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….1
B. Identifikasi Masalah ... 3
C. Pembatasan Masalah ... 4
D. Rumusan Masalah ... 4
E. Tujuan Penelitian ... 4
F. Manfaat Penelitian ... 5
G. Metodologi Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN TEORI A. Karya Sastra ………...8
B. Hakikat Prosa ……...9
C. Unsur-unsur Prosa ………...9
1. Tema ………....10
2. Tokoh ………..11
3. Alur ……… 13
4. Latar……….15
5. Sudut Pandang ……….17
6. Gaya Bahasa ………19
D. Pendekatan Objektif ………...20
E. Pengertian Karakter …...20
G. Hakikat Pengajaran Sastra ……….………22
H. Penelitian Relevan …………...22
BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Sinopsis ………...25
B. Unsur Intrinsik Novel ...26
1. Tema ...26
2. Tokoh ...27
3. Alur ...45
4. Latar ...52
5. Sudut Pandang ...58
6. Gaya Bahasa ...60
C. Analisis Karakter Ayah …………...61
1. Karakteristik Ayah Melalui Tingkah Laku ……….61
2. Karakteristik Ayah Melalui Ekspresi Wajah ………..70
3. Karakteristik Ayah Melalui Motivasi yang Melandasi ………...73
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah …...87
BAB IV PENUTUP Simpulan...,...90
Saran ...91
1
Sastra merupakan bagian dari budaya yang berkembang seusia
perkembangan zaman, dari sastra lisan hingga lahir sastra tulis, dengan
menggunakan bahasa sebagai media komunikatifnya. Pengarang memaparkan,
mengekspresikan, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan yang
memiliki nyawa, yaitu berupa luapan emosi, paparan perasaan dan pikiran,
pengalaman, ide, gagasan, semangat, penelitian, dan keyakinan-keyakinan
yang semakin dipertegas pengarang dalam karyanya.
Pada sastra tulis, tentu yang akan dilihat adalah keindahan dan kepaduan
dalam memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat,
sehingga tersampaikannya maksud dan tujuan si pengarang, karena
sesungguhnya, fenomena-fenomena yang dihadirkan pengarang dalam isi
cerita tidak lepas dari fenomena yang terjadi pada kehidupan di masyarakat.
Itu sebabnya pengarang sering mengangkat realitas sosial yang sedang terjadi
atau yang telah terjadi, dengan harapan para penikmat karya mampu
memahami setiap pesan yang ditawarkan pengarang.
Karya sastra sebagai karya seni atau disebut juga karya fiksi, yaitu berupa
cerita rekaan yang diolah pengarang dalam bentuk tulisan berdasarkan
pandangan dan penilaiannya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di
kehidupan manusia, ataupun peristiwa yang terjadi dan hanya berlangsung
dalam hayalan pengarang saja. Membaca novel serius, jika kita ingin
memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan
disertai kemauan untuk itu.1 Ketenangan dan kenyamanan serta daya simak
yang tinggi dalam membaca karya fiksi, dapat menangkap apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang, apakah karya yang dibuatnya
1
berontak. Tidak semua maksud dipaparkan secara gamblang oleh pengarang
dalam cerita yang dibuatnya.
Karya yang disebut prosa antara lain, novel, novelet, dan cerita pendek
(cerpen). Novel sendiri salah satu genre sastra yang terus berkembang sampai
sekarang, salah satu penulis novel yang juga sangat produkstif mengeluarkan
karya-karyanya adalah Tere-Liye yang dalam bahasa India berarti untukmu.
Tere-Liye merupakan nama pena Darwis, penulis muda yang lahir di
pedalaman Sumatera pada 21 Mei 1979, ia merupakan anak ke enam dari
tujuh bersaudara. Tere-Liye menikah dengan Riski Amelia dan dikarunia
seorang putra bernama Abdullah Pasai. Berikut beberapa karyanya antara lain:
Mimpi-mimpi si Patah Hati (AddPrint, 2005), Hafalan Shalat delisa
(Republika, 2005), Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2005), Cintaku
Antara Jakarta dan Kuala Lumpur (AddPrint, 2006), The Gogongs Series 1:
James & Incridible Incodents (Gramedia Pustaka, 2006), Kisah Sang
Penandai (Serambi, 2007), Bidadari-bidadari Surga (Republika, 2008),
Sunset Bersama Rosie (Grafindo, 2008), Rembulan Tenggelam di Wajahmu
(Grafindo 2006 & Republika 2009), Burlian (Republika, 2009), Daun yang
Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka, 2010), Pukat
(Republika, 2010), Eliana (Republika, 2011), Kau Aku dan Sepucuk Angpau
Merah (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Negeri Para Bedebah (Gramedia
Pustaka Utama, 2012), Negeri Di Ujung Tanduk (Gramedia Pustaka Utama,
2013), Sepotong Hati yang Baru (Mahaka Publishing, 2013), Ayahku (Bukan)
Pembohong (Gramedia Pustaka Utama, cet. Kesepuluh 2014), Berjuta
Rasanya, Dikakatak atau Tidak Dikatakan, Itu tetap cinta (Gramedia Pustaka
Utama, 2014), BUMI (Gramedia Pustaka Utama, 2014), RINDU (Republika,
2014).
Dari semua karyanya hampir tidak ada informasi atau tidak ditemukannya
biografi Tere-Liye, yang umumnya ditulis oleh pengarang di belakang
melihat gambaran peristiwa itu benar terjadi di depan mata sendiri, menurut
penulis khususnya sebagai pembaca. Pada tulisannya, Tere-Liye bukan saja
memaparkan cerita, juga menyelipkan begitu banyak pesan moral dan
pendidikan yang mengajak, namun tidak terkesan sedang menggurui pembaca.
Pada penelitian ini, penulis akan menganalisis karakter Ayah pada novel
Ayahku (Bukan) Pembohong. Seorang ayah yang membesarkan anak semata
wayangnya Dam dengan cerita-cerita yang kemudian juga dia lakukan pada
cucu-cucunya yaitu Zas dan Qon. Cerita-cerita Ayahnya menjadi inspirasi
hidup Dam, namun setelah Dam tumbuh dewasa, pola pikir pun berubah,
begitu banyak hal yang tidak semuanya bisa terselesaikan hanya dengan
cerita-cerita Ayahnya, Dam pun memutuskan untuk tidak lagi mempercayai
cerita-cerita Ayahnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, pemilihan novel Ayahku (Bukan)
Pembohong sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama,
ingin mengangkat tulisan yang membahas tentang karakter sosok seorang ayah
dan mengenal sosoknya lebih dalam lagi. Kedua, keunikan alur ceritanya yang
flash back . Ketiga, novel Ayahku (Bukan) Pembohong ceritanya bagus dan
banyak memberikan pelajaran moral serta kearifan hidup, kesederhanaan, dan
kebahagiaan.
Dalam lembaga pendidikan, pelajaran moral dan sosial perlu diajarkan dan
diterapkannya kepada siswa-siswa sekolah, untuk itu dalam pembelajaran
sastra seorang pendidik dapat menggunakan novel Ayahku (Bukan)
Pembohong sebagai bahan bacaan siswa. Berdasarkan latar belakang tersebut,
penulis mengangkat skripsi berjudul “Karakter Ayah dalam Novel Ayahku
(Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA”
B. Identifikasi Masalah
1. Pemahaman siswa terhadap nilai-nilai moral, pendidikan, dan
kesederhanaan hidup yang mulai memudar saat ini.
2. Permasalahan saat ini orang tua sering menjadikan nasihat-nasihat sebagai
cara mendidik anak, padahal anak-anak zaman sekarang sering tidak
begitu menghiraukan nasihat yang mereka dengar.
3. Gambaran karakter Ayah melalui tingkah laku dalam novel Ayahku
(Bukan) Pembohong.
4. Gambaran karakter Ayah melalui ekspresi wajah,dalam novel Ayahku
(Bukan) Pembohong.
5. Gambaran karakter Ayah melalui motivasi yang melandasi dalam novel
Ayahku (Bukan) Pembohong.
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dibuat agar penelitian lebih terfokus pada sasaran
yang diharapkan dan ruang lingkup kajian penulisan skripsi tidak meluas,
maka penulis membatasi permasalahan pada: “Karakter Ayah dalam Novel
Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA”
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan
masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong?
2. Bagaimana implikasi tokoh Ayah terhadap pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
a) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang sastra
Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik
pada sebuah karya sastra, dalam hal ini difokuskan pada karakter
tokoh dalam sebuah novel.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap
pembaca sebagai bahan bacaan terkait dengan kesamaan tema
penelitian seperti, analisis karakter ataupun hal-hal lain yang terkait
dengan isi penelitian.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi siswa, khususnya pada siswa tingkat SMP/MTs dan
SMA/SMK/MA dapat memperdalam pemahaman tentang unsur
intrinsik karya sastra.
b) Untuk guru, khususnya guru bidang studi Bahasa Indonesia dan Sastra
diharapkan penelitian ini juga dapat bermanfaat terkait dengan
unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra.
G. Metodologi Penelitian 1. Bentuk Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan
Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.2 Menurut Locido, Spaulding,
dan Voegtle penelitian kualitatif atau penelitian lapangan adalah suatu
metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan
antopologi dan diadaptasi ke dalam setting pendidikan. Peneliti kualitatif
2
terdapat banyak perspektif yang akan dapat diungkapkan.3
Anselm Strauss dan Juliet Corbin menyebutkan istilah penelitian
kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan
perilaku seseorang.4 Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya
Tere-Liye menggunakan metode kualitatif deskriptif yaitu hasil
analisisinya berbentuk deskriptif dan berisi kutipan-kutipan data penelitian
yang digunakan yaitu novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses
langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya
Tere-Liye terbitan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara
tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada
kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta
buku-buku yang berhubungan dengan novel, seperti buku tentang teori
fiksi, kepribadian, karakteristik, dan penokohan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah dengan melakukan pengamatan
langsung pada objek yang akan dianalisis, dengan pembacaan secara
3
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.2 4
(Bukan) Pembohong karya Tere-Liye. Penandaan bagian-bagian penting
tersebut berfokus pada bukti kutipan untuk unsur-unsur intrinsik yang
membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong, serta bukti kutipan yang
menggambarkan karakter tokoh Ayah.
5. Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data
sebagai berikut:
a. Menganalisis novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye
dengan menggunakan pendekatan objektif dan penggunaan teori
Metode karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop.
Penelitian ini hanya dibatasi pada metode karakterisasi melalui
tindakan para tokoh, yaitu melalui tingkah laku, melalui ekspresi
wajah, dan melalui motivasi yang melandasi.
b. Analisis terhadap karakter Ayah pada novel Ayahku (Bukan)
Pembohong dilakukan dengan pembacaan berulang kali untuk
memperoleh pemahaman lebih mendalam mengenai karakternya, juga
untuk melihat kembali catatan atau penandaan yang telah dibuat terkait
tokoh ayah dan bukti kutipan karakternya, berharap tidak ada yang
terlewatkan.
c. Mengimplikasikan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye
pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dilakukan
dengan cara menghubungkan materi unsur intrinsik karya sastra
dengan menggunakan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya
8 BAB II KAJIAN TEORI A. Karya Sastra
Wellek dan Warren mendefinisikan sastra sebagai suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Daiches mengacu pada Aristoteles yang melihat
sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan
yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain,” yakni suatu cara yang
memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya
wawasan pembacanya.1 Demikian ciri-ciri sastra yaitu sebagai berikut:
bermediumkan bahasa, unsur fiksionisasi tinggi, bernilai artistik, dan
merupakan ciri suatu kolektif 2
Fungsi utama sastra menurut Horace adalah menghibur dan mendidik
(dulce et utila). Umumnya karya sastra selalu memenuhi salah satu dari
kedua fungsi tersebut atau kedua-duanya. Berdasarkan kategori kita
mengenal beberapa jenis sastra. Sastra sebagai media yaitu ada sastra lisan
dan sastra tulis. Sastra menurut fungsinya ada sastra populer dan sastra
serius. Sastra menurut pembacanya ada sastra anak-anak, sastra remaja,
dan sastra dewasa. Sastra menurut ketuhanan, ada sastra keagamaan dan
sastra sufi, sedangkan sastra menurut perbedaan wilayah ada sastra daerah,
sastra nasional, dan sastra dunia.3
Nurgiyantoro, karya sastra menciptakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan
belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai buah
1
Melani Budianata, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 7 2
Bani Sudardi, Pengantar Teori Sastra Lisan, (Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia, 2002), h. 7
3
karya seni.4 Dengan demikian, sastra merupakan karya fiksi dari seni bahasa yang di dalamnya mengemas pengetahuan dan wawasan, hiburan,
serta nilai-nilai kehidupan yang dihadirkan pengarang melalui konflik
jalannya sebuah cerita yang disampaikan oleh tokoh-tokoh imajinatif
karya pengarang.
B. Hakikat Prosa
Paniti Sudjinam mendefinisikan prosa merupakan suatu karya sastra
yang bersifat bebas, sehingga pengarang dapat leluasa mengemukakan ide,
pendapat, serta gagasannya. Prosa tidak terlalu terikat dengan irama, rima,
dan kemerduan bunyi.5
Ragam prosa ada dua, yaitu fiksi dan non fiksi. Ragam prosa-fiksi
terbagi menjadi prosa lama dan prosa baru. Prosa lama di antaranya yaitu
dongeng, mite, legenda, sage, fabel, dongeng kejadian alam, dongeng peri,
dongeng jenaka. Sedangkan prosa baru di antaranya adalah cerita pendek,
roman, dam novel. Ragam prosa yang kedua adalah non-fiksi, di antaranya
biografi dan otobiografi, kisah dan lukisan, sejarah, tambo, dan babat, esai
dan kritik sastra.6
Fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, yang dalam hal ini
adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap
bersinonim dengan novel. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan
sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia
imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti
peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang
kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.7
C. Unsur-Unsur Novel
Unsur-unsur pembangun novel yang kemudian secara bersama
membentuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa, masih
4
Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2: Jenis dan Bentuk Karya Sastra Indonesia, (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009), h. 6
5
Widjojoko dan Endang Hidayat. op. cit, h. 32 6
Widjojoko dan Endang Hidayat. op. cit, h. 33 7
banyak lagi macamnya. Namun secara garis besar dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu (1) unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. (2) unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme karya sastra.8
Berikut ini diuraikan unsur-unsur pembangun fiksi yang disebut oleh
Stanton:
1. Tema
Tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya
sastra.9 Aminuddin memaparkan tema berperan sebagai pangkal tolok
pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema
merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan
prosa rekaan oleh pengarang.10Dalam pemikiran lain sesuatu yang
menjadi pokok persoalan dan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya
itulah yang disebut tema.11
Shipley dalam Dictionary of World Literature, membedakan
tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan:
a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau dalam tingkat kejiwaan)
molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
menyarankan dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik
dari pada kejiwaan. Contohnya seperti novel-novel teenlit.
b. Tema tingkat organik, manusia sebagai (dalam tingkat kejiwaan)
protoplasma. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas,
khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya
penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri, atau
skandal-skandal seksual yang lain. Contoh novel yang bertemakan organik
Namaku Hiroko, Jalan Tak Ada Ujung, Pada sebuah Kapal.
8
Ibid., h. 23 9
Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia. (Jakarta: Laskar Aksara), h. 5 10
Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 161 11
c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial mengandung
banyak permasalahan dan konflik yang menjadi objek pencarian
tema. Masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan,
perjuangan, cinta kasih, propaganda, dan hubungan sosial lainnya
yang berisi kritik sosial dalam sebuah karya sastra. Contoh
novelnya Kemelut Hidup, Ronggeng Dukuh Paruk.
d. Tema tingkat egoik, kedudukannya sebagai makhluk individu yang
senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik,
misalnya reaksi terhadap masalah-masalah sosial yang sedang
dihadapinya. Antara lain, egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat
dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih
bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Contoh novel
yang bertema egoik antara lain, Atheis, Gairah Untuk Hidup dan
Untuk Mati, Jalan Tak Ada Ujung.
e. Tema tingkat divine, masalah yang menonjol dalam tema tingkat
ini adalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah
religiositas, atau yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan
hidup, visi, dan keyakinan. Contoh novel seperti pada Robohnya
Surau Kami, Kemarau, Datang dan Perginya.12
2. Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh
dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga
merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh
karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara
alamiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau berciri
“hidup” atau memiliki derajat “seperti-hidup.” Sama halnya dengan manusia yang ada dalam alam nyata, yang bersifat tiga dimensi, maka
tokoh dalam fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis,
12
sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis
kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri tokoh.13
Aminuddin dalam Wijoko mengatakan, tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu
menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh
disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat,
sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada
tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat
dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh
bawahan), dan tokoh komplomenter (tambahan). Dilihat dari
perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh
dinamis dan tokoh stastis.14
Dalam melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam
cerita dikenal tiga macam cara, yaitu:
a. Secara analitik, pengarang menjelaskan secara terinci watak
tokoh-tokohnya. Misalnya A adalah seorang yang kikir dan dengki.
Hampir setiap hari bertengkar dengan tetangga dan istrinya hanya
karena masalah uang, ia mudah sekali marah.
b. Secara dramatik, di sini pengarang tidak secara langsung
menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi dengan cara:
1) Melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh. Umpamanya
digambarkan keadaan sebuah kamar acak-acakan, buku
berserakan, pakaian kotor berhamburan, sepatu, sandal dan
lain-lain bertebaran di mana-mana. Dengan gambaran
lingkungan tersebut pembaca sudah dapat menduga bagaimana
penghuninya.
13
Sihabudin, dkk, op. cit, h. 17-18 14
2) Pengarang menampilkan dialog antara tokoh yang satu dengan
tokoh yang lain. Dari dialog-dialognya itu dapat diketahui
bagaimana watak tiap tokoh tersebut. Tutur kata serta bahasa
yang digunakannya biasanya menggambarkan watak
penuturnya.
3) Pengarang menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi
tokoh terhadap suatu kejadian. Apakah reaksinya spontan,
penuh emosi, tenang atau gugup. Semua itu sebenarnya
menampakkan watak yang dimilikinya.
c. Gabungan analitik dan dramatik. Di sini antara penjelasan dan
dramatik saling melengkapi. Hal yang harus diingat di sini adalah
bahwa antara penjelasan dengan perbuatan atau reaksi serta tutur
kata dan bahasanya jangan sampai bertolak belakang. Misalnya
orang yang dikatakan tenang tetapi dalam tutur katanya tiba-tiba
meledak-ledak penuh emosi, hal itu tentu tidak cocok.15
3. Alur
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki
hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu,
bulat, dan utuh.16 Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa
perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa,
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.17
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda
berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula.
Pembedaan plot yang dikemukakan di bawah ini didasarkan pada
tinjauan dari kriteria urutan waktu. Urutan waktu yang dimaksud
adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
karya fiksi yang bersangkutan atau lebih tepatnya, urutan penceritaan
15
Suroto, op. cit, h. 93-94 16
Ratih Mihardja, op.cit, h. 6 17
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan. Urutan waktu, dalam hal ini,
berkaitan dengan logika cerita.18
Dari sinilah secara teoritis kita dapat membedakan plot ke dalam
dua kategori: kronologis dan tak kronologis. Pertama disebut sebagai
plot lurus, maju, dapat dinamakan juga progresif. Sedangkan yang
kedua adalah sorot balik, mundur, flash back, atau dapat juga disebut
regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa
dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh
peristiwa-peristiwa kemudian atau secara runtut cerita dimulai dari
tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah
(konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Ditulis dalam
bentuk skema, secara garis besar plot progresif tersebut akan terwujud
sebagai berikut.
A B C D E
Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B-C-D melambangkan
kejadian-kejadian berikutnya, tahap tengah yang merupakan inti cerita,
dan E merupakan tahap penyelesaian cerita. Oleh karena
kejadiaan-kejadian yang dikisahkan bersifat kronologis yang secara istilah berarti
sesuai dengan urutan waktu, plot yang demikian disebut juga sebagia
plot maju, progresif. Plot progresif biasanya menunjukkan
kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah
diikuti.
Plot sorot balik atau flas back, urutan kejadian dikisahkan dalam
karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak
dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan tahap awal
cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau
bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
Karya yang berplot jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan
adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah
meruncing. Padahal, pembaca belum lagi dibawa masuk mengetahui
18Ibid.,
situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan
pertentangan itu, yang kesemuanya itu dikisahkan justru sesudah
peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudahnya. Jika
digambarkan dalam bentuk skema, plot sorot balik tersebut dapat
berupa sebagai berikut.
D1 A B C D2 E
Teknik pembalikan cerita, atau penyorotbalikan
peristiwa-peristiwa, ke tahap sebelumnya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Mungkin pengarang “menyuruh” tokoh merenung kembali ke masa lalunya, menuturkannya kepada tokoh lain baik secara lisan maupun
tertulis, tokoh lain yang menceritakan masa lalu tokoh lain, atau
pengarang sendiri yang menceritakannya. Teknik flash-back sering
lebih menarik karena sejak awal membaca buku, pembaca langsung ditegangkan, langsung “terjerat” suspense, dengan tidak terlebih dahulu melewati tahap perkenalan seperti pada novel berplot progresif
yang adakalanya berkepanjangan dan agak bertele-tele.19
4. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang
sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu
(hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.20
Nurgiyantoro menyebutkan unsur latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok, yaitu:
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
19
Ibid., h. 153-155 20
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.21
Latar waktu selalu berkaitan dengan saat berlangsungnya suatu
cerita. Jadi kalau disederhanakan dapat dirumuskan kapankah suatu
cerita berlangsung? Dari bentuk pertanyaan itu suatu cerita dapat
terjadi pada:
a) pagi, siang, senja, dan malam hari
b) hari dan tanggal tertentu
c) bulan dan tahun tertentu tidak begitu jelas, misalnya pada suatu
saat, pada suatu hari, dan sebagainya.22
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Di samping itu latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, atau atas.23
Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang
sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan
landasan tumpu, pijakan.24 Namun hal itu tidak berarti melemahkan
karya fiksi yang bersangkutan, mungkin sekali pengarang sengaja tidak
berniat menonjolkan unsur latar dalam karyanya, melainkan lebih
menekankan unsur yang lain, khususnya alur atau tokoh.25
21
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, h. 227-234 22
Wijaya Heru Santoso dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka), h. 12
23
Burhan Nurgiyantoro, loc.cit., h. 233-234 24
Ibid., h. 220 25Ibid.,
5. Sudut Pandang
Pickering dan Hoeper mendefinisikan sudut pandang yaitu suatu
metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana
ceritera disampaikan.26 Nurgiyantoro menyebutkan sudut pandang
pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.27
Stanton menyebutkan sudut pandang terbagi menjadi empat tipe
utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Pada „orang
pertama-utama‟ sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya
sendiri.
Aku putus asa. “Baiklah Fred,” kataku “mari kita atur rencana ini.” Tanpa mendongak, ia membalik halaman berikut dari bukunya. Aku masih dapat mendengar angin bertiup di luar.
Pada „orang pertama-sampingan‟, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan).
Aku berpura-pura menulis, tetapi sebenarnya aku mengamati Anderson yang sedang mondar-mandir. Mendadak, dengan tampang tanpa ekspresi, ia berhenti di dekat dipan Fred. “Baiklah, mari kita atur rencana ini. “Tanpa sedikit pun mendongak, Fred membalik selembar lagi. Pasangan yang unik, menurutku. Aku masih dapat mendengar angin bertiup di luar.
Pada „orang ketiga-terbatas‟ pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dapat dlihat, didengar, dan dipikirkan oleh
satu orang karakter saja.
Ia mondar-mandir, berusaha keras menemukan satu jalan keluar. Mendadak ia berkata,”Baiklah Fred, mari kita atur rencana ini.” Tanpa mendongak, Fred membalik selembar lagi. Anderson
26
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), h. 87
27
melipat kedua tangannya dan menunggu, sembari mendengar angin yang tertiup di luar.
Pada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga
dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir
atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.
Anderson mondar-mandir, mencoba untuk mencari jalan keluar. Akhirnya, tanpa punya banyak pilihan, dia berkata, “Baiklah Fred, mari kita atur rencana ini.” Sama sekali tidak menjawab, Fred membalik selembar lagi. Di luar, angin sedang berhembus menerpa pondokan dengan kencang.28
Selain empat jenis sudut pandang menurut Stanton, Nurgiyantoro
menambahkan sudut pandang berikutnya, yaitu penggunaan sudut
pandang yang bersifat campuran. Sudut pandang yang bersifat
campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin menggunakan sudut
pandang pesona ketiga dengan teknik “dia” maha tahu dan “dia”
sebagai pengamat, pesona pertama denga teknik “aku” sebagai tokoh
utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara pesona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia”
sekaligus.29
Penggunaan kedua sudut pandang tersebut dalam sebuah novel
terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Si “aku” adalah tokoh utama protagonis, dan ini memungkinkan pengarang membeberkan berbagai pengalaman
batinnya. Namun, jangkauan si “aku” (yang berarti:narator) terhadap
tokoh lain terbatas, tak bersifat maha tahu. Padahal pembaca
menginginkan informasi penting dari tokoh-tokoh lain, atau narator
ingin menceritakannya kepada pembaca, terutama yang dalam
kaitannya dengan tokoh “aku”. Agar hal ini dapat dilakukan,
28
Robert Stanton, op.cit, h.52-55 29
pengarang sengaja beralih ke sudut pandang lain yang memungkinkan memberinya kebebasan, dan teknik itu berupa “dia” (mahatahu). Dengan demikian, pembaca memperoleh cerita secara detail baik dari tokoh “aku” maupun ”dia”. Hal itu juga berarti: pembaca menjadi lebih tahu tentang berbagai persoalan hubungan tokoh-tokoh tersebut
daripada tokoh-tokoh itu sendiri. 30
6. Gaya Bahasa
Gaya ialah segala sesuatu yang memberikan ciri khas kepada sbuah
teks, menjadikan teks itu semacam individu bila dibandingkan dengan
teks-teks lainnya.31 Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur,
karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat
berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan
menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme,
panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan
metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar
tertentu) akan menghasilkan gaya.32
Gaya bahasa ini digunakan pengarang untuk membangun jalinan
cerita dengan pemilihan diksi, ungkapan, majas, dan sebagainya yang
menimbulkan kesan estetik dalam karya sastra. Gaya bahasa ini
mencerminkan cita rasa dan karakteristik personal, bersifat pribadi,
milik perorangan, sehingga setiap pengarang memiliki gaya bahasanya
sendiri yang khas. Dalam karya sastra seperti novel, cerpen atau pun
puisi, gaya bahasa mempunya fungsi : a) memberi warna, pada
karangan, b) alat melukiskan suasana cerita dan mengintensifkan
penceritaan. Dalam kesusastraan Indonesia dikenal bermacam-macam
gaya bahasa di antaranya : Metafora, Personifikasi, Hiperbola,
Simbolik, Asosiasi, Sarkasme, Sinisme, Asidenton, Plisendeto,
30
Ibid., h. 268 31
Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 105
32
Klimak, Antiklimak, Repetisi, Eufimisme, Litotes, Paradoks,
Pleonasme, Simile, dan Repetisi. 33
D. Pendekatan Objektif
Abrams dalam Pengantar Teori Sastra mengemukakan pendapatnya
tentang komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Di dalam
komunikasi tersebut ia mengemukakan situasi sastra secara menyeluruh
terdiri atas empat hal: karya sastra, sastrawan, semesta, dan pembaca.34
A. Teeuw mengatakan pendekatan yang menitikberatkan karya itu
sendiri; pendekatan itu disebut obyektif.35 Pendekatan objektif adalah
pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajian pada karya sastra.
Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya
sastra menjadi sesuatu yang inti.36
Pendektan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab
pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya
sastra itu sendiri. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan
perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis
intrinsik.37
E. Pengertian Karakter
Echos dan Shadily dalam buku Albertine Minderop, karakter atau
dalam bahasa Inggris, character berarti watak, peran, huruf. Karakterisasi,
atau dalam bahasa Inggris charaterization, berarti pemeran, pelukisan
watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode
melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara
menentukan karakter (tokoh) -dalam hal ini tokoh imajinatif- dan
menentukan watak tokoh atau watak karakter sangat berbeda.38
33
Zulfahnur ZF, Sayuti Kurnia, Zuniar Z. Adji, Teori Sastra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996/1997), h. 38-41
34
Wahyudi Siswanto, op.cit, h.179-180 35
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya ), h.50 36
Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 183 37
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.73
38
Kenney pakar teori sastra, memberikan gambaran mengapa seorang
tokoh melakukan sesuatu. Motivasi secara umum menyangkut dorongan
sifat manusia, yang mendasar seperti perasaan cinta, lapar, tamak, dan
sebagainya. Demikian pula misalnya, seorang tokoh melakukan
pembunuhan, tentu terdapat alasan mengapa ia melakukan perbuatan
tersebut, apakah alasan itu memang harus dilakukannya, dalam hal ini
pengarang harus pandai melukiskan kondisi si tokoh secara menyeluruh.39
F. Karakterisasi Melalui Tindakan Para Tokoh
Watak tokoh dapat diamati melalui tingkah-laku. Tokoh dan tingkah
laku bagaikan dua sisi pada uang logam. Henry James mengatakan, bahwa
perbuatan dan tingkah laku secara logis merupakan pengembangan
psikologi dan kepribadian, memperlihatkan bagaimana watak tokoh
ditampilkan dalam perbuatannya.
1. Melalui Tingkah Laku
Untuk membangun watak dengan landasan tingkah laku, penting
bagi pembaca untuk mengamati secara rinci berbagai peristiwa dalam
alur karena peristiwa-peristiwa tersebut dapat mencerminkan watak
para tokoh, kondisi emosi dan psikis, yang tanpa disadari
mengikutinya serta nilai-nilai yang ditampilkan.40
2. Ekspresi Wajah
Bahasa tubuh (gesture) atau ekspresi wajah biasanya tidak terlalu
signifikan bila dibandingkan dengan tingkah laku, namun tidak
selamanya demikian. Kadang kala tingkah laku samar-samar atau
spontan dan tidak disadari seringkali dapat memberikan gambaran
kepada pembaca tentang kondisi batin, gejolak jiwa atau perasaan si
tokoh.41
3. Motivasi yang Melandasi
Untuk memahami watak tokoh lepas dari tingkah laku baik yang
berprilaku demikian, apa yang menyebabkan ia melakukan suatu
tindakan. Apabila pembaca berhasil melakukan hal itu dengan pola
tertentu dari motivasi (motive = that wich causes somebody to act)
tersebut, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pembaca mampu
menemukan watak tokoh dimaksud dengan cara menelusuri
sebab-musabab si tokoh melakukan sesuatu.42
G. Hakikat Pengajaran Sastra
Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk
mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses
kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini
adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Dengan
pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca,
memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.43
Meskipun dari sudut pandang pendidikan secara umum ada beberapa
buah novel yang dianggap kurang berharga atau bahkan dikatakan sebagai dapat „merusak moral‟ anak-anak, akan tetapi perlu diingat pada kenyataannya novel banyak menampung ide-ide para sastrawan terkenal
selama dua abad terakhir ini. Novel-novel tersebut mengandung banyak
pengalaman yang bernilai pendidikan yang positif, apalagi jika dipilih
dengan pertimbangan yang mendalam, jenis karya sastra yang berbentuk
novel ini akan dapat membina minat baca siswa secara pribadi dan lebih
lanjut akan dapat meningkatkan semangat mereka untuk menekuni bacaan
secara lebih mendalam.44
H. Penelitian Relevan
Fepi Mariani (2012), mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Padang. Meneliti, “Profil Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Tinjauan Sosiologi Sastra.” Pada skripsi ini peneliti membandingkan profil ayah di dalam novel dan profil ayah dalam
42
Ibid, h.45 43
Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 168 44
kehidupan nyata dengan melakukan wawancara pada Bapak Prof. Dr.
Haris Effendi Thahar, M.Hum. Hasil wawancara adalah seorang ayah
memiliki persamaan dan perbedaan masing-masing. Persamaannya adalah
menggunakan waktu senggang untuk bermain dan bercerita kepada
anak-anak, sedangkan perbedaannya mengambil dongeng-dongeng secara lisan
yang masih ada hubungannya dengan nenek moyang.45
Nafi Wahyu Safitri (2012), mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Meneliti, “Tinjauan
Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Pada Novel Ayahku (Bukan)
Pembohong” Penulis meneliti kritik sosial, meliputi: cerita tentang Lembah Bukhara berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang tidak bisa
memanfaatkan hasil bumi dengan baik, cerita tentang Suku Penguasa
Angin berkaitan dengan penjajah yang merusak penduduk dengan candu,
cerita Si Raja Tidur yang berkaitan dengan penegakan hukum suatu
negara. Nilai pendidikan yang terdapat pada novel Ayahku (Bukan)
Pembohong meliputi: nilai agama, nilai moral, dan nilai sosial.46
Isnaniyah (2013), mahasiswa Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah
Purworejo, Meneliti, “Pendidikan Karakter Berbasis Moral dalam novel
Ayahku (Bukan) Pembohong dan Pembelajaran pada Kelas XI SMA”
penelitian ini melakukan perwujudan novel Ayahku (Bukan) Pembohong
pada pendidikan karakter berbasis moral yang meliputi hubungan manusia
dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan lingkungan yang dianalisis
manfaatnya sebagai bahan pembelajaran.47
45
Fepi Mariani, Profil Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Tinjauan Sosiologi Sastra. diunduh pada pukul 00:05 WIB 13 Juli 2014 dari website: http://www.google.co.id
46
Nafi Wahyu Safitri, Tinjauan sosiologi sastra dan nilai pendidikan pada novel ayahku (bukan) pembohong karya Tere Liye. diunduh pada pukul 22:36 WIB 13 Juli 2014 dari website: http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=28653
47
Isnaniyah, Pendidikan Karakter Berbasis Moral Dalam Novel Ayahku (Bukan)
Peneliti menemukan sembilan penelitian terkait tentang novel Ayahku
(Bukan) Pembohong di antaranya: “Analisis Nilai Moral dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Skenario Pembelajarannya Di Kelas XI SMA.” FKIP Universitas Muhammadiyah
Purworejo, “Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Ayahku (Bukan)
Pembohong karya Tere-Liye.” Universitas Sriwijaya, “Konflik Batin
Tokoh Utama Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye”
Universitas Udayana Bali, “Analisis Nilai Pendidikan dalam Novel
Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA” Universitas Muhamadiyah PROF. DR.
HAMKA, “Pengaruh Konflik Terhadap Sikap Tokoh Utama dalam Novel
Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye” Universitas Batu Raja, “Pendekonstruksian Peran Tokoh Asyah dan sang kapten pada kehidupan
tokoh Dam dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye”
Universitas Brawijaya.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah peneliti lakukan, maka
nampak bahwa belum ditemukan penelitian terkait karakter Ayah dalam
novel Ayahku (Bukan) Pembohong dengan menggunakan metode
karakterisasi melalui tindakan para tokoh untuk menemukan gambaran
25 BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE-LIYE
A. Sinopsis Ayahku (Bukan) Pembohong
Ayahku (Bukan) Pembohong berkisah tentang seorang ayah yang sangat
suka bercerita kepada anak, menantu, dan cucunya, cerita tentang petualangan
saat dia masih muda. Ayah orang yang dihormati karena keramahan sikap,
santun tutur bahasa, dan suka membantu kepada tetangga-tetangga maupun
yang membutuhkan bantuannya. Ayah juga hidup sederhana meski lulusan
ilmu hukum universitas ternama di Eropa, ayah memilih untuk menjadi
seorang pegawai negeri biasa dengan hidup sederhana. Baginya, kebahagiaan
bukanlah hal yang dapat diukur dari seberapa banyak kita memiliki
barang-barang mewah, atau jalan-jalan ke luar negeri. Bagi ayah, kebahagiaan adalah
bagaimana kita masih tetap bisa mensyukuri setiap apa yang kita miliki
dengan bangga dan ikhlas, kebahagiaan yang lahir dari dalam diri, bukan dari
orang lain atau barang apapun.
Memiliki satu anak bernama Dam, ayah mencoba mendidik Dam dengan
cara yang berbeda, yaitu dengan cara memberikan cerita-cerita yang dia
tanam dalam otak dan prilaku Dam. Hal tersebut telah berhasil membentuk
karakter Dam menjadi anak yang berbeda dengan segala kebaikan hatinya,
sabar, dan ringan membantu orang. Namun, semenjak ibunya meninggal dan
tidak pernah diberi tahu jika ibunya selama ini mengidap penyakit kelainan
darah, Dam sangat kecewa terhadap Ayahnya, lebih kecewa lagi saat tahu,
ayah tidak pernah membawa ibu berobat serius untuk penyembuhan, tapi
lebih memilih percaya pada argumen si Raja Tidur yang mengatakan usia
ibunya bisa bertahan lebih lama jika membawanya selalu dalam suasana hati
bahagia. Itu sangat tidak masuk akal, padahal ayah sendiri yang mengajarkan
Kini ayah sudah renta, usianya menginjak 78 tahun. Ayah tinggal bersama
Dam atas permintaan menantunya, Taani. Ayah senang bisa berbagi cerita
lagi pada kedua cucunya yaitu Zas dan Qon, namun justru itu yang membuat
Dam kembali marah. Dam tidak ingin keluarga kecilnya diusik dengan
cerita-cerita Ayahnya. Pertengkaran hebat pun terjadi. Sampai akhirnya Ayah
masuk rumah sakit, dan saat Dam tahu bahwa cerita Ayah bukanlah
kebohongan, Ayah telah menutup mata untuk selamanya.
B. Deskripsi Data Unsur Intrinsik Novel 1. Tema
Tema berperan sebagai pangkal tolok ukur pengarang dalam
memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan
hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh
pengarang.1 Tema yang mendasari gagasan pokok inti cerita pada novel
Ayahku (Bukan) Pembohong adalah tentang cerita di masa kecil yang
diharapkan mampu membentuk karakter pribadi seorang anak sedini
mungkin. Novel Ayahku (Bukan) Pembohong termasuk ke dalam tema
yang bersifat egoik, yaitu tema yang lebih mendasar pada reaksi batin
yang dirasakan oleh pribadi tokoh terhadap konflik atau permasalahan
sosial tertentu yang sedang dihadapinya. Novel Ayahku (Bukan)
Pembohong ini bertemakan tentang cara mendidik anak melalui
cerita-cerita sehingga dapat membentuk karakter pribadi seorang anak menjadi
pribadi yang berbeda, pribadi yang hangat, santun, tangguh, pantang
menyerah, dan sederhana. Cara mendidik anak tidaklah melulu dengan
nasihat-nasihat, tapi memberikan contoh meskipun dalam bentuk sebuah
cerita dongeng yang tentunya akan selalu diingat sampai anak itu tumbuh
dewasa dan tua nanti, karena bagaimanapun yang namanya cerita dongeng
akan jauh lebih melekat lama dalam ingatan manusia.
Ibu meletakkan kertas itu di atas meja, sesenggukan, menyentuh jemari Ayah, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. “Kau telah mendidiknya menjadi anak yang berbeda sekali… Sungguh dia
1
akan tumbuh besar dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”2
Dialog di atas adalah sebuah tuturan rasa bangga yang diucapkan oleh
Ibu atas keberhasilan Ayah dalam mendidik Dam. Keteguhan hati Ayah
tidak mau menuruti keinginan Dam untuk mengirimkan surat pada
idolanya, Ayah tidak mengajarkan Dam untuk berlebihan dan sombong.
Setelah sebulan lamanya Dam tidak mau membantu Ibu di rumah, maka
pagi itu Dam memberikan surat untuk Ayah. Surat yang membuat Ibu
menangis terharu dan bangga akan cara mendidik yang diterapkan oleh
suaminya.
Isi surat itu berupa rasa penyesalan Dam, bahwa dia telah berpikir
panjang dan sepakat dengan pemikiran Ayahnya, Sang Kapten cukup
sebagai idola yang memotivasi tidak lebih tidak kurang, bukan menjadi
idola yang harus diagung-agungkan. Itulah yang diterapkan Ayah, cerita
itu cukup menjadi pelajaran dan motivasi untuk Dam tidak untuk menuruti
keinginan Dam, karena menuruti keinginan anak juga bukan solusi yang
terbaik. Ayah bersabar satu bulan mengahadapi kejengkelan Dam yang
memboikot pekerjaan rumah, Ayah juga tidak berkomunikasi bercanda
seperti hari-hari biasanya, hal itu dia lakukan agar Dam mau untuk
berpikir kenapa Ayah sampai begitu teguh tidak mengabulkan
permintaannya. Butuh waktu lama bagi Dam untuk memahami hal itu,
namun tidak menjadi masalah, asalkan Dam mau berlatih berpikir sendiri
untuk menemukan pemahamannya.
2. Tokoh
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku
atau watak-watak tertentu, adapun kedudukan tokoh pada suatu karya
sastra amatlah penting, tokohlah yang menjalankan dan menggerakkan
bagaimana sebuah cerita itu hadir, cerita itu bermula dan berakhir, konflik
itu bermula, meningkat dan mereda. Maka kehadiran tokoh menjadi bagian
2
yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu cerita. Novel Ayahku (Bukan)
Pembohong, begitu banyak tokoh yang terlibat seperti ayah dan ibu Taani,
Kepala sekolah Akademi Gajah, Petugas perpustakaan, para penonton di
stadion, teman-teman klub renang, Tim Pemburu, Teman-teman sekolah,
para penduduk, namun hanya tokoh yang pengaruh besar dan terlibat
banyak di dalam novel yang akan dibahas di sini.
a) Dam
Dam merupakan tokoh utama, seorang anak laki-laki yang tumbuh
dengan segudang cerita yang kerap dikisahkan oleh Ayahnya. Dam
tumbuh menjadi anak yang baik, penurut, dan pantang menyerah. Dam
kecil sangat menyukai cerita-cerita Ayahnya, tanpa pernah bertanya
kebenaran itu. Dam hanya suka, baginya itu sudah cukup.
Petugas loket bilang sudah tidak ada lagi tiket yang tersisa. Semua kegembiraanku-sejak berangkat, sejak menerima gaji loper koranku, sejak memasukkan seluruh uang logam dan kertas ke dalam kantong, sejak bersepeda secepat mungkin, sejak berlari dari parkiran gedung penjual tiket-jatuh bagai daun dimusim kering.
Semuanya berguguran.3
Meski kerap kali menjadi objek kejailan Jarjit teman sekolahnya,
dipanggil keriting dan si pengecut, Dam berusaha menjadi anak yang
sabar, terbukti saat Dam menolong Jarjit yang hampir tenggelam di dalam
kolam padahal Dam tahu sejak awal Jarjit membencinya.
Aku memukul dada Jarjit keras-keras - teknik yang diajarkan pelatih sebagai pertolongan pertama keadaan darurat. Jarjit bergeming. Tubuh tinggi besarnya terkulai lemah. Aku memukul lebih keras. Ayolah, Kawan, kau bisa melakukannya. Aku berseru cemas. Tetapi tidak ada reaksi. Beruntung sebelum aku panik, Jarjit tersendak memuntahkan air. Ia siuman. Aku membantunya
bersandar.4
Rasa jengkel atas semua perbuatan Jarjit menguap, Dam tidak lagi
memikirkan bahwa yang dia tolong adalah teman yang selama ini
membuatnya susah dan sering dihukum kepala sekolah, bagi Dam saat ini
3
Ibid., h. 85 4Ibid.,
yang terpenting adalah Jarjit bangun dari pingsannya. Dam tumbuh
menjadi anak yang berhati lembut dan ringan tangan untuk menolong.
Dam sangat menyayangi Ibu, rasa sayangnya yang begitu besar, saat
Ibu masuk rumah sakit dan Ayah masih saja bercerita tentang si Raja
Tidur bahwa sakit Ibunya tidak dapat disembuhkan, hanya bisa bertahan
dengan rasa bahagia hati Ibunya. Dam tidak dapat menerima penjelasan itu
secara logika, dan semenjak itu pun Dam berhenti mempercayai cerita
Ayah, karena baginya, akibat kebohongan cerita Ayah, Ibunya meninggal. “Ibu tidak bahagia!” aku berseru tertahan, memotong kalimat Ayah, rasa marah, bingung, sedih, tidak mengerti bercampur aduk dalam hatiku. Apakah Ayah sudah gila? Lihat, rombongan dokter bersiap membedah Ibu masuk ke dalam ruangan, dan Ayah tetap tidak berhenti dari cerita-cerita bohong itu. Omong kosong soal si
Raja Tidur.5
Konsep bahagia menurut Dam adalah Ibu pergi jalan-jalan, sedangkan
selama ini Ibu hanya tinggal di rumah dengan berpakaian yang sederhana.
Dalam foto-foto pun Ibu hanya menatap datar, tidak ada gambar potret Ibu
tersenyum, padahal tidak semua kebahagiaan itu tergambar dan dapat
dilihat oleh mata telanjang. Dam marah ketika Ibunya masuk ruang operasi
sedangkan Ayah masih saja sibuk bercerita, perasaan Dam yang sedih
membutakan akal sehatnya untuk berpikir bahwa maksud Ayah bercerita
bukan hanya mendongeng, Dam lupa bahwa Ayah selama ini bercerita
adalah untuk memberikan pemahaman dari makna di balik cerita itu, dan
pada saat itu juga Ayah ingin membuat Dam mengerti namun Dam
menolak mentah-mentah cerita Ayah. Pada akhirnya, Dam salah
mengartikan kematian yang merenggut Ibunya, membuat Dam membenci
cerita Ayah sampai dewasa, sampai Dam memiliki anak. Dam tidak
pernah sedikitpun mengajar dan mendidik anak-anaknya dengan cerita,
bahkan untuk menceritakan tentang masa kecilnya Dam tidak pernah,
baginya, cukup dengan mendidik anaknya dengan prinsip dan kedisplinan.
5Ibid.,
Namun sayang, anak-anak Dam begitu mencintai kakek dan
cerita-ceritanya dan itu membuat Dam berasa kesal.
Zas dan Qon turun dari sofa. Meski wajah mereka sebal, keberatan, merajuk, tetapi mereka tahu persis konsekuensi melanggar janji. Aku mendidik mereka dengan pengertian sebab-akibat, imbalan-hukuman, simpati-empati, serta logika pendidikan anak-anak modern lainnya. Mereka berhak atas metode yang lebih
baik dan terukur.6
Tokoh aku merupakan Dam yang kini sudah menjadi sosok ayah
untuk kedua anaknya. Dam yang sudah tidak lagi mau mendengarkan
cerita-cerita Ayah, Dam mendidik anaknya dengan sebab-akibat, jika ingin
janji mereka dihargai maka harus terlebih dahulu untuk menepati janji. Ini
semua merupakan contoh kecil yang dilakukan Dam pada kedua anaknya.
Hal seperti itu membuat mereka lebih bertanggung jawab terhadap apa
yang mereka lakukan. Cara mendidik seperti itu lebih cocok dan lebih
modern sehingga dapat diterima oleh logika.
Dam kini menjadi seorang arsitek hebat karena karya-karyanya yang
berbeda dari kebanyakan arsitek, Dam menggabungkan
bangunan-bangunan masa kini dengan imaji-imaji cerita petualangan Ayah. Cerita
Ayah menjadi rahasia Dam dalam menciptakan karya disain arsitekturnya.
Sebelum beranjak pergi, aku menyeringai lebar melihat desain setengah jadi di layar laptop. Ini ide yang hebat, fantastis. Aku menggabungkan imajinasiku tentang arsitektur Lembah Bukhara dan perkampungan Suku Penguasa Angin. Sejatinya aku tidak bisa membenci cerita-cerita Ayah, aku bahkan menggunakannya dalam hidupku, mulai dari yang terlihat seperti desain-desain yang kubuat, hingga yang tidak terlihat seperti pemahaman hidup dan
perangaiku.7
Meski sudah berhenti lama untuk tidak lagi mendengarkan cerita
Ayah, tapi sikapnya yang selalu menyimak pembicaraan Ayah dengan
kedua anaknya Zas dan Qon, itu menandakan Dam masih tertarik dengan
cerita, hanya saja ego dan belum ada keikhlasan atas kehilangan Ibu
menyebabkan Dam melampiaskan kebenciannya pada cerita-cerita
6
Ibid., h. 110 7Ibid.,
petualangan Ayah. Padahal, pekerjaannya sebagai seorang arsitektur hebat,
Dam tidak bisa lepas dari imajinasinya memasukkan cerita-cerita suku
penguasa angin, keindahan lembah bukhara ke dalam unsur-unsur
arsitekturnya. Itu membuktikan kekuatan cerita Ayah sudah amat melekat
dengan hati dan pikiran Dam.
“Ya, aku tidak suka. Kecuali Ayah bilang pada Zas dan Qon
bahwa cerita-cerita itu bohong,” aku berkata tegas, membalas
tatapan Ayah.
Ayah menggeleng. “Aku tidak berbohong.”
“Kalau begitu Ayah tahu resikonya. Ayah harus pergi dari …”8 Sifat pemarah Dam membuatnya buta untuk menerima penjelasan.
Percakapan di atas merupakan sepenggal amarah Dam, prasangka negatif
serta amarah yang meledak-ledak saat mengetahui anaknya sudah berani
membolos sekolah tiga hari demi mencari kebenaran cerita-cerita
kakeknya. Dam marah pada Ayah, Dam berharap agar Ayahnya tidak lagi
bercerita tentang petualangan itu pada kedua anaknya. Dam berharap agar
Ayah mau mengatakan bahwa ceritanya itu hanyalah sebatas cerita tanpa
kebenaran, sehingga kedua anaknya itu tidak akan lagi mencari tahu
kebenaran cerita kakeknya, namun Ayah tetap menolak, sehingga Dam
kehilangan kontrol menjaga ucapannya dan menyakiti perasaan Ayah.
Kekerasan hati, kebencian, dan ego telah membutakan mata dan hati Dam
untuk hanya sekadar melihat bahwa orang yang di depannya adalah Ayah,
orang tua yang membesarkannya dengan semangat kesederhanaan dan
kebersahajaan hidup.
Di balik watak yang keras, emosi yang tidak terkendali, Dam tetaplah
seorang anak yang jauh di dalam hatinya masih memiliki rasa sayang pada
orang tuanya.
Sejenak, saat menatap Ayah di kejauhan, yang sedang di kerumuni dokter dan perawat, seluruh kemarahan itu berguguran. Aku teringat momen yang sama saat dulu menatap Ibu. Tubuh Ayah dililit infus dan belalai. Kesibukan yang sama dan rasa takut yang sama tiba-tiba memenuhi hati. Aku dulu takut sekali Ibu tidak
8Ibid.,