• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

MABRUROH 1110013000009

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Pembelajaran Sastra di SMA” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.

Skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan objektif terhadap karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan karakter tokoh Ayah di dalam novel Ayahku (Bukan)

Pembohong karya Tere-Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Di dalam novel ini, Tere-Liye menghadirkan cerita kedekatan hubungan antara Ayah dan anak laki-lakinya yang dibangun melalui cerita dongeng Ayahnya, kedekatan hubungan mereka dan dongeng itu harus berhenti karena suatu sebab. Untuk menemukan karakter tokoh Ayah di dalam novel, peneliti menggunakan metode karakterisasi melalui tindakan para tokoh yaitu melalui tingkah laku, melalui ekspresi wajah, dan melalui motivasi yang melandasi. Karakter Ayah yang tergambar melalui tingkah laku adalah suka bercerita, penyayang terhadap keluarga, melindungi, dan memilih hidup sederhana. Karakter Ayah yang tergambar melalui ekspresi wajah adalah selalu menahan kesedihan, ceria, optimis dan penuh kayakinan. Karakter Ayah yang tergambar melalui motivasi yang melandasi adalah ambisius, berbohong untuk kebaikan anaknya, tujuan cerita-ceritanya, sikap tegas dan penuh disiplin, menghargai setiap usaha, rasa syukur, dan rasa cinta.

(6)

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Created By Tere-Liye and Implications to Study of Literature in Senior High School” Major Education Language and Indonesia Lecture. Faculty Tarbiyah Science and Teacher. University Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Instructor Lecturer : Novi Diah Haryanti, M.Hum.

This thesis uses descriptive method of analysis using objective approach to literary works. This study aimed to describe the character of the father figure in

the novel Ayahku (Bukan) Pembohong created by Tere-Liye and implications to

study of literature in senior high school. In this novel Tere-Liye presents story father and son relationship proximity fairy stories that built by father proximity relationships and stories that they should stop because of. Father to find characters in researchers using the characterization by the actions of the characters is through behavior, through facial expressions, and through motivation underlying. Father character depicted through the behavior is like storytelling, dear to the family, protect, and the simple life. Father character portrayed through facial expressions are always resist sadness, happy, optimistic and full of faiths. Father character depicted through underlying motivation is ambitious, lie for the good of their children, goal storytelling, assertiveness and discipline, appreciate every effort, gratitude, and love.

(7)

iii

izin Allah SWT hingga skripsi ini pada akhirnya dapat penulis selesaikan. Solawat

dan salam senantiasa penulis curahkan sepenuh hati untuk baginda Nabi

Muhammad SAW dan semoga kita semua mendapatkan syafaatnya.

Skripsi dengan judul “Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi

ini, tidak lepas dari kejenuhan dan hambatan yang hadir silih berganti. Tanpa

semangat dan kemauan yang keras untuk menyelesaikan dengan segera, tidak

mungkin skripsi dapat selesai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan sangat

bangga dan sangat berterima kasih penulis ingin sampaikan kepada:

1. Dr. Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D, selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Hindun, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dona Aji Karunia Putra, M.A, selaku sekretaris Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Novi Diah Haryanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang tidak

bosan-bosannya untuk membimbing penulis dan memberikan arahan,

saran, masukan yang sangat membantu selama proses pembuatan skripsi.

Terima kasih atas waktu serta kesabaran yang Ibu berikan selama proses

bimbingan skripsi ini.

5. Dosen-dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang dengan sabar dan ikhlas telah membagi ilmunya

(8)

iii

7. Keluarga besar LST-POSTAR yang telah memberikan penulis kesempatan

mengenal kalian, memberikan banyak pengalaman dan pelajaran hidup

yang tidak penulis temukan di bangku kuliah, terima kasih atas

kepercayaannya, penulis bangga menjadi bagian dari keluarga

LST-POSTAR.

8. Sahabat-sahabat penulis Tuti Alawiyah, Sutirih, Kurnia Dewi Nurfadillah,

Aisyatul Fitriah, Yunia Ria Rahayu, Dwina Agustin, yang mungkin sudah

bosan mendengarkan segala keluh kesah penulis namun masih mau

mendengarkan dan memberikan semangat serta motivasi. Terima kasih

telah menjadi sahabat yang suatu hari nanti bisa penulis ceritakan dengan

bangga tentang kehadiran kalian di kehidupan penulis.

9. Yudi Ardiansyah yang tidak pernah lelah memberi dukungan, semangat,

dan hobi menyulut emosi penulis untuk segera dan segera merampungkan

skripsi. Terima kasih sudah hadir.

10.Bambang Pribadi yang sudah mencambuk penulis untuk tidak melulu

berada dalam zona aman, mengajak penulis untuk berani memberontak

dari kata tidak bisa dan tidak mungkin, dan meyakinkan penulis untuk

terus berpikir positif terhadap hal yang dikerjakan dengan kesungguhan.

11.Teman-teman kosan berisik bin ajaib Ade Fauziah, Aulia herdiana, Eka

Lutfiyani, Mawaddah, Tazka Adiati, Nurul Inayah, Fitri Khoiriyani.

12.Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang konyol bin

nyebelin, khususnya kelas B angkatan 2010. Terima kasih telah menerima

penulis sebagai bagian dari kelas B yang pada awalnya terjadi karena salah

masuk kelas.

13.Teman-teman Karate BKC UIN Jakarta yang menyelamatkan penulis dari

kejenuhan aktivitas perkuliahan dan membawa penulis mengikuti

(9)

iii

ini menjadi lebih baik lagi. Besar harapan juga semoga penelitian ini dapat

bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.

Jakarta, 08 Januari 2015

(10)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRATC …………..……….………... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Metodologi Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORI A. Karya Sastra ………...8

B. Hakikat Prosa ……...9

C. Unsur-unsur Prosa ………...9

1. Tema ………....10

2. Tokoh ………..11

3. Alur ……… 13

4. Latar……….15

5. Sudut Pandang ……….17

6. Gaya Bahasa ………19

D. Pendekatan Objektif ………...20

E. Pengertian Karakter …...20

(11)

G. Hakikat Pengajaran Sastra ……….………22

H. Penelitian Relevan …………...22

BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Sinopsis ………...25

B. Unsur Intrinsik Novel ...26

1. Tema ...26

2. Tokoh ...27

3. Alur ...45

4. Latar ...52

5. Sudut Pandang ...58

6. Gaya Bahasa ...60

C. Analisis Karakter Ayah …………...61

1. Karakteristik Ayah Melalui Tingkah Laku ……….61

2. Karakteristik Ayah Melalui Ekspresi Wajah ………..70

3. Karakteristik Ayah Melalui Motivasi yang Melandasi ………...73

D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah …...87

BAB IV PENUTUP Simpulan...,...90

Saran ...91

(12)

1

Sastra merupakan bagian dari budaya yang berkembang seusia

perkembangan zaman, dari sastra lisan hingga lahir sastra tulis, dengan

menggunakan bahasa sebagai media komunikatifnya. Pengarang memaparkan,

mengekspresikan, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan yang

memiliki nyawa, yaitu berupa luapan emosi, paparan perasaan dan pikiran,

pengalaman, ide, gagasan, semangat, penelitian, dan keyakinan-keyakinan

yang semakin dipertegas pengarang dalam karyanya.

Pada sastra tulis, tentu yang akan dilihat adalah keindahan dan kepaduan

dalam memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat,

sehingga tersampaikannya maksud dan tujuan si pengarang, karena

sesungguhnya, fenomena-fenomena yang dihadirkan pengarang dalam isi

cerita tidak lepas dari fenomena yang terjadi pada kehidupan di masyarakat.

Itu sebabnya pengarang sering mengangkat realitas sosial yang sedang terjadi

atau yang telah terjadi, dengan harapan para penikmat karya mampu

memahami setiap pesan yang ditawarkan pengarang.

Karya sastra sebagai karya seni atau disebut juga karya fiksi, yaitu berupa

cerita rekaan yang diolah pengarang dalam bentuk tulisan berdasarkan

pandangan dan penilaiannya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di

kehidupan manusia, ataupun peristiwa yang terjadi dan hanya berlangsung

dalam hayalan pengarang saja. Membaca novel serius, jika kita ingin

memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan

disertai kemauan untuk itu.1 Ketenangan dan kenyamanan serta daya simak

yang tinggi dalam membaca karya fiksi, dapat menangkap apa yang

sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang, apakah karya yang dibuatnya

1

(13)

berontak. Tidak semua maksud dipaparkan secara gamblang oleh pengarang

dalam cerita yang dibuatnya.

Karya yang disebut prosa antara lain, novel, novelet, dan cerita pendek

(cerpen). Novel sendiri salah satu genre sastra yang terus berkembang sampai

sekarang, salah satu penulis novel yang juga sangat produkstif mengeluarkan

karya-karyanya adalah Tere-Liye yang dalam bahasa India berarti untukmu.

Tere-Liye merupakan nama pena Darwis, penulis muda yang lahir di

pedalaman Sumatera pada 21 Mei 1979, ia merupakan anak ke enam dari

tujuh bersaudara. Tere-Liye menikah dengan Riski Amelia dan dikarunia

seorang putra bernama Abdullah Pasai. Berikut beberapa karyanya antara lain:

Mimpi-mimpi si Patah Hati (AddPrint, 2005), Hafalan Shalat delisa

(Republika, 2005), Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2005), Cintaku

Antara Jakarta dan Kuala Lumpur (AddPrint, 2006), The Gogongs Series 1:

James & Incridible Incodents (Gramedia Pustaka, 2006), Kisah Sang

Penandai (Serambi, 2007), Bidadari-bidadari Surga (Republika, 2008),

Sunset Bersama Rosie (Grafindo, 2008), Rembulan Tenggelam di Wajahmu

(Grafindo 2006 & Republika 2009), Burlian (Republika, 2009), Daun yang

Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka, 2010), Pukat

(Republika, 2010), Eliana (Republika, 2011), Kau Aku dan Sepucuk Angpau

Merah (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Negeri Para Bedebah (Gramedia

Pustaka Utama, 2012), Negeri Di Ujung Tanduk (Gramedia Pustaka Utama,

2013), Sepotong Hati yang Baru (Mahaka Publishing, 2013), Ayahku (Bukan)

Pembohong (Gramedia Pustaka Utama, cet. Kesepuluh 2014), Berjuta

Rasanya, Dikakatak atau Tidak Dikatakan, Itu tetap cinta (Gramedia Pustaka

Utama, 2014), BUMI (Gramedia Pustaka Utama, 2014), RINDU (Republika,

2014).

Dari semua karyanya hampir tidak ada informasi atau tidak ditemukannya

biografi Tere-Liye, yang umumnya ditulis oleh pengarang di belakang

(14)

melihat gambaran peristiwa itu benar terjadi di depan mata sendiri, menurut

penulis khususnya sebagai pembaca. Pada tulisannya, Tere-Liye bukan saja

memaparkan cerita, juga menyelipkan begitu banyak pesan moral dan

pendidikan yang mengajak, namun tidak terkesan sedang menggurui pembaca.

Pada penelitian ini, penulis akan menganalisis karakter Ayah pada novel

Ayahku (Bukan) Pembohong. Seorang ayah yang membesarkan anak semata

wayangnya Dam dengan cerita-cerita yang kemudian juga dia lakukan pada

cucu-cucunya yaitu Zas dan Qon. Cerita-cerita Ayahnya menjadi inspirasi

hidup Dam, namun setelah Dam tumbuh dewasa, pola pikir pun berubah,

begitu banyak hal yang tidak semuanya bisa terselesaikan hanya dengan

cerita-cerita Ayahnya, Dam pun memutuskan untuk tidak lagi mempercayai

cerita-cerita Ayahnya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, pemilihan novel Ayahku (Bukan)

Pembohong sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama,

ingin mengangkat tulisan yang membahas tentang karakter sosok seorang ayah

dan mengenal sosoknya lebih dalam lagi. Kedua, keunikan alur ceritanya yang

flash back . Ketiga, novel Ayahku (Bukan) Pembohong ceritanya bagus dan

banyak memberikan pelajaran moral serta kearifan hidup, kesederhanaan, dan

kebahagiaan.

Dalam lembaga pendidikan, pelajaran moral dan sosial perlu diajarkan dan

diterapkannya kepada siswa-siswa sekolah, untuk itu dalam pembelajaran

sastra seorang pendidik dapat menggunakan novel Ayahku (Bukan)

Pembohong sebagai bahan bacaan siswa. Berdasarkan latar belakang tersebut,

penulis mengangkat skripsi berjudul “Karakter Ayah dalam Novel Ayahku

(Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA”

B. Identifikasi Masalah

(15)

1. Pemahaman siswa terhadap nilai-nilai moral, pendidikan, dan

kesederhanaan hidup yang mulai memudar saat ini.

2. Permasalahan saat ini orang tua sering menjadikan nasihat-nasihat sebagai

cara mendidik anak, padahal anak-anak zaman sekarang sering tidak

begitu menghiraukan nasihat yang mereka dengar.

3. Gambaran karakter Ayah melalui tingkah laku dalam novel Ayahku

(Bukan) Pembohong.

4. Gambaran karakter Ayah melalui ekspresi wajah,dalam novel Ayahku

(Bukan) Pembohong.

5. Gambaran karakter Ayah melalui motivasi yang melandasi dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong.

C. Batasan Masalah

Pembatasan masalah dibuat agar penelitian lebih terfokus pada sasaran

yang diharapkan dan ruang lingkup kajian penulisan skripsi tidak meluas,

maka penulis membatasi permasalahan pada: “Karakter Ayah dalam Novel

Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA”

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan

masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong?

2. Bagaimana implikasi tokoh Ayah terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong

(16)

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

a) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang sastra

Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik

pada sebuah karya sastra, dalam hal ini difokuskan pada karakter

tokoh dalam sebuah novel.

b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap

pembaca sebagai bahan bacaan terkait dengan kesamaan tema

penelitian seperti, analisis karakter ataupun hal-hal lain yang terkait

dengan isi penelitian.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi siswa, khususnya pada siswa tingkat SMP/MTs dan

SMA/SMK/MA dapat memperdalam pemahaman tentang unsur

intrinsik karya sastra.

b) Untuk guru, khususnya guru bidang studi Bahasa Indonesia dan Sastra

diharapkan penelitian ini juga dapat bermanfaat terkait dengan

unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra.

G. Metodologi Penelitian 1. Bentuk Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan

Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.2 Menurut Locido, Spaulding,

dan Voegtle penelitian kualitatif atau penelitian lapangan adalah suatu

metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan

antopologi dan diadaptasi ke dalam setting pendidikan. Peneliti kualitatif

2

(17)

terdapat banyak perspektif yang akan dapat diungkapkan.3

Anselm Strauss dan Juliet Corbin menyebutkan istilah penelitian

kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya

tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.

Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan

perilaku seseorang.4 Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya

Tere-Liye menggunakan metode kualitatif deskriptif yaitu hasil

analisisinya berbentuk deskriptif dan berisi kutipan-kutipan data penelitian

yang digunakan yaitu novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye.

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses

langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer

dalam penelitian ini adalah novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya

Tere-Liye terbitan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara

tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada

kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta

buku-buku yang berhubungan dengan novel, seperti buku tentang teori

fiksi, kepribadian, karakteristik, dan penokohan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah dengan melakukan pengamatan

langsung pada objek yang akan dianalisis, dengan pembacaan secara

3

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.2 4

(18)

(Bukan) Pembohong karya Tere-Liye. Penandaan bagian-bagian penting

tersebut berfokus pada bukti kutipan untuk unsur-unsur intrinsik yang

membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong, serta bukti kutipan yang

menggambarkan karakter tokoh Ayah.

5. Teknik Analisis Data

Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data

sebagai berikut:

a. Menganalisis novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye

dengan menggunakan pendekatan objektif dan penggunaan teori

Metode karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop.

Penelitian ini hanya dibatasi pada metode karakterisasi melalui

tindakan para tokoh, yaitu melalui tingkah laku, melalui ekspresi

wajah, dan melalui motivasi yang melandasi.

b. Analisis terhadap karakter Ayah pada novel Ayahku (Bukan)

Pembohong dilakukan dengan pembacaan berulang kali untuk

memperoleh pemahaman lebih mendalam mengenai karakternya, juga

untuk melihat kembali catatan atau penandaan yang telah dibuat terkait

tokoh ayah dan bukti kutipan karakternya, berharap tidak ada yang

terlewatkan.

c. Mengimplikasikan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye

pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dilakukan

dengan cara menghubungkan materi unsur intrinsik karya sastra

dengan menggunakan novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya

(19)

8 BAB II KAJIAN TEORI A. Karya Sastra

Wellek dan Warren mendefinisikan sastra sebagai suatu kegiatan

kreatif, sebuah karya seni. Daiches mengacu pada Aristoteles yang melihat

sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan

yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain,” yakni suatu cara yang

memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya

wawasan pembacanya.1 Demikian ciri-ciri sastra yaitu sebagai berikut:

bermediumkan bahasa, unsur fiksionisasi tinggi, bernilai artistik, dan

merupakan ciri suatu kolektif 2

Fungsi utama sastra menurut Horace adalah menghibur dan mendidik

(dulce et utila). Umumnya karya sastra selalu memenuhi salah satu dari

kedua fungsi tersebut atau kedua-duanya. Berdasarkan kategori kita

mengenal beberapa jenis sastra. Sastra sebagai media yaitu ada sastra lisan

dan sastra tulis. Sastra menurut fungsinya ada sastra populer dan sastra

serius. Sastra menurut pembacanya ada sastra anak-anak, sastra remaja,

dan sastra dewasa. Sastra menurut ketuhanan, ada sastra keagamaan dan

sastra sufi, sedangkan sastra menurut perbedaan wilayah ada sastra daerah,

sastra nasional, dan sastra dunia.3

Nurgiyantoro, karya sastra menciptakan berbagai masalah kehidupan

manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, sesama manusia,

lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan

belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang

dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai buah

1

Melani Budianata, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 7 2

Bani Sudardi, Pengantar Teori Sastra Lisan, (Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia, 2002), h. 7

3

(20)

karya seni.4 Dengan demikian, sastra merupakan karya fiksi dari seni bahasa yang di dalamnya mengemas pengetahuan dan wawasan, hiburan,

serta nilai-nilai kehidupan yang dihadirkan pengarang melalui konflik

jalannya sebuah cerita yang disampaikan oleh tokoh-tokoh imajinatif

karya pengarang.

B. Hakikat Prosa

Paniti Sudjinam mendefinisikan prosa merupakan suatu karya sastra

yang bersifat bebas, sehingga pengarang dapat leluasa mengemukakan ide,

pendapat, serta gagasannya. Prosa tidak terlalu terikat dengan irama, rima,

dan kemerduan bunyi.5

Ragam prosa ada dua, yaitu fiksi dan non fiksi. Ragam prosa-fiksi

terbagi menjadi prosa lama dan prosa baru. Prosa lama di antaranya yaitu

dongeng, mite, legenda, sage, fabel, dongeng kejadian alam, dongeng peri,

dongeng jenaka. Sedangkan prosa baru di antaranya adalah cerita pendek,

roman, dam novel. Ragam prosa yang kedua adalah non-fiksi, di antaranya

biografi dan otobiografi, kisah dan lukisan, sejarah, tambo, dan babat, esai

dan kritik sastra.6

Fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, yang dalam hal ini

adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap

bersinonim dengan novel. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan

sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia

imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti

peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang

kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.7

C. Unsur-Unsur Novel

Unsur-unsur pembangun novel yang kemudian secara bersama

membentuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa, masih

4

Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2: Jenis dan Bentuk Karya Sastra Indonesia, (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009), h. 6

5

Widjojoko dan Endang Hidayat. op. cit, h. 32 6

Widjojoko dan Endang Hidayat. op. cit, h. 33 7

(21)

banyak lagi macamnya. Namun secara garis besar dikelompokkan menjadi

dua bagian, yaitu (1) unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun

karya sastra itu sendiri. (2) unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang

berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi

bangunan atau sistem organisme karya sastra.8

Berikut ini diuraikan unsur-unsur pembangun fiksi yang disebut oleh

Stanton:

1. Tema

Tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya

sastra.9 Aminuddin memaparkan tema berperan sebagai pangkal tolok

pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema

merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan

prosa rekaan oleh pengarang.10Dalam pemikiran lain sesuatu yang

menjadi pokok persoalan dan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya

itulah yang disebut tema.11

Shipley dalam Dictionary of World Literature, membedakan

tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan:

a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau dalam tingkat kejiwaan)

molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak

menyarankan dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik

dari pada kejiwaan. Contohnya seperti novel-novel teenlit.

b. Tema tingkat organik, manusia sebagai (dalam tingkat kejiwaan)

protoplasma. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak

menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas,

khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya

penyelewengan dan pengkhianatan suami-istri, atau

skandal-skandal seksual yang lain. Contoh novel yang bertemakan organik

Namaku Hiroko, Jalan Tak Ada Ujung, Pada sebuah Kapal.

8

Ibid., h. 23 9

Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia. (Jakarta: Laskar Aksara), h. 5 10

Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 161 11

(22)

c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial mengandung

banyak permasalahan dan konflik yang menjadi objek pencarian

tema. Masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan,

perjuangan, cinta kasih, propaganda, dan hubungan sosial lainnya

yang berisi kritik sosial dalam sebuah karya sastra. Contoh

novelnya Kemelut Hidup, Ronggeng Dukuh Paruk.

d. Tema tingkat egoik, kedudukannya sebagai makhluk individu yang

senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik,

misalnya reaksi terhadap masalah-masalah sosial yang sedang

dihadapinya. Antara lain, egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat

dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih

bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Contoh novel

yang bertema egoik antara lain, Atheis, Gairah Untuk Hidup dan

Untuk Mati, Jalan Tak Ada Ujung.

e. Tema tingkat divine, masalah yang menonjol dalam tema tingkat

ini adalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah

religiositas, atau yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan

hidup, visi, dan keyakinan. Contoh novel seperti pada Robohnya

Surau Kami, Kemarau, Datang dan Perginya.12

2. Tokoh

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh

dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga

merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh

karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara

alamiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau berciri

“hidup” atau memiliki derajat “seperti-hidup.” Sama halnya dengan manusia yang ada dalam alam nyata, yang bersifat tiga dimensi, maka

tokoh dalam fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis,

12

(23)

sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis

kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri tokoh.13

Aminuddin dalam Wijoko mengatakan, tokoh adalah pelaku yang

mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu

menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh

disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat,

sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada

tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.

Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat

dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh

bawahan), dan tokoh komplomenter (tambahan). Dilihat dari

perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh

dinamis dan tokoh stastis.14

Dalam melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam

cerita dikenal tiga macam cara, yaitu:

a. Secara analitik, pengarang menjelaskan secara terinci watak

tokoh-tokohnya. Misalnya A adalah seorang yang kikir dan dengki.

Hampir setiap hari bertengkar dengan tetangga dan istrinya hanya

karena masalah uang, ia mudah sekali marah.

b. Secara dramatik, di sini pengarang tidak secara langsung

menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi dengan cara:

1) Melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh. Umpamanya

digambarkan keadaan sebuah kamar acak-acakan, buku

berserakan, pakaian kotor berhamburan, sepatu, sandal dan

lain-lain bertebaran di mana-mana. Dengan gambaran

lingkungan tersebut pembaca sudah dapat menduga bagaimana

penghuninya.

13

Sihabudin, dkk, op. cit, h. 17-18 14

(24)

2) Pengarang menampilkan dialog antara tokoh yang satu dengan

tokoh yang lain. Dari dialog-dialognya itu dapat diketahui

bagaimana watak tiap tokoh tersebut. Tutur kata serta bahasa

yang digunakannya biasanya menggambarkan watak

penuturnya.

3) Pengarang menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi

tokoh terhadap suatu kejadian. Apakah reaksinya spontan,

penuh emosi, tenang atau gugup. Semua itu sebenarnya

menampakkan watak yang dimilikinya.

c. Gabungan analitik dan dramatik. Di sini antara penjelasan dan

dramatik saling melengkapi. Hal yang harus diingat di sini adalah

bahwa antara penjelasan dengan perbuatan atau reaksi serta tutur

kata dan bahasanya jangan sampai bertolak belakang. Misalnya

orang yang dikatakan tenang tetapi dalam tutur katanya tiba-tiba

meledak-ledak penuh emosi, hal itu tentu tidak cocok.15

3. Alur

Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki

hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu,

bulat, dan utuh.16 Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa

perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa,

dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.17

Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda

berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula.

Pembedaan plot yang dikemukakan di bawah ini didasarkan pada

tinjauan dari kriteria urutan waktu. Urutan waktu yang dimaksud

adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam

karya fiksi yang bersangkutan atau lebih tepatnya, urutan penceritaan

15

Suroto, op. cit, h. 93-94 16

Ratih Mihardja, op.cit, h. 6 17

(25)

peristiwa-peristiwa yang ditampilkan. Urutan waktu, dalam hal ini,

berkaitan dengan logika cerita.18

Dari sinilah secara teoritis kita dapat membedakan plot ke dalam

dua kategori: kronologis dan tak kronologis. Pertama disebut sebagai

plot lurus, maju, dapat dinamakan juga progresif. Sedangkan yang

kedua adalah sorot balik, mundur, flash back, atau dapat juga disebut

regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa

dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh

peristiwa-peristiwa kemudian atau secara runtut cerita dimulai dari

tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah

(konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Ditulis dalam

bentuk skema, secara garis besar plot progresif tersebut akan terwujud

sebagai berikut.

A B C D E

Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B-C-D melambangkan

kejadian-kejadian berikutnya, tahap tengah yang merupakan inti cerita,

dan E merupakan tahap penyelesaian cerita. Oleh karena

kejadiaan-kejadian yang dikisahkan bersifat kronologis yang secara istilah berarti

sesuai dengan urutan waktu, plot yang demikian disebut juga sebagia

plot maju, progresif. Plot progresif biasanya menunjukkan

kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah

diikuti.

Plot sorot balik atau flas back, urutan kejadian dikisahkan dalam

karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak

dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan tahap awal

cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau

bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.

Karya yang berplot jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan

adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah

meruncing. Padahal, pembaca belum lagi dibawa masuk mengetahui

18Ibid.,

(26)

situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan

pertentangan itu, yang kesemuanya itu dikisahkan justru sesudah

peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudahnya. Jika

digambarkan dalam bentuk skema, plot sorot balik tersebut dapat

berupa sebagai berikut.

D1 A B C D2 E

Teknik pembalikan cerita, atau penyorotbalikan

peristiwa-peristiwa, ke tahap sebelumnya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Mungkin pengarang “menyuruh” tokoh merenung kembali ke masa lalunya, menuturkannya kepada tokoh lain baik secara lisan maupun

tertulis, tokoh lain yang menceritakan masa lalu tokoh lain, atau

pengarang sendiri yang menceritakannya. Teknik flash-back sering

lebih menarik karena sejak awal membaca buku, pembaca langsung ditegangkan, langsung “terjerat” suspense, dengan tidak terlebih dahulu melewati tahap perkenalan seperti pada novel berplot progresif

yang adakalanya berkepanjangan dan agak bertele-tele.19

4. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam

cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang

sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu

(hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.20

Nurgiyantoro menyebutkan unsur latar dapat dibedakan ke dalam

tiga unsur pokok, yaitu:

a. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang

dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama

19

Ibid., h. 153-155 20

(27)

tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.

Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional.

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.21

Latar waktu selalu berkaitan dengan saat berlangsungnya suatu

cerita. Jadi kalau disederhanakan dapat dirumuskan kapankah suatu

cerita berlangsung? Dari bentuk pertanyaan itu suatu cerita dapat

terjadi pada:

a) pagi, siang, senja, dan malam hari

b) hari dan tanggal tertentu

c) bulan dan tahun tertentu tidak begitu jelas, misalnya pada suatu

saat, pada suatu hari, dan sebagainya.22

c. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalam karya fiksi. Di samping itu latar sosial juga

berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,

misalnya rendah, menengah, atau atas.23

Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang

sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan

landasan tumpu, pijakan.24 Namun hal itu tidak berarti melemahkan

karya fiksi yang bersangkutan, mungkin sekali pengarang sengaja tidak

berniat menonjolkan unsur latar dalam karyanya, melainkan lebih

menekankan unsur yang lain, khususnya alur atau tokoh.25

21

Burhan Nurgiyantoro, op.cit, h. 227-234 22

Wijaya Heru Santoso dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka), h. 12

23

Burhan Nurgiyantoro, loc.cit., h. 233-234 24

Ibid., h. 220 25Ibid.,

(28)

5. Sudut Pandang

Pickering dan Hoeper mendefinisikan sudut pandang yaitu suatu

metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana

ceritera disampaikan.26 Nurgiyantoro menyebutkan sudut pandang

pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja

dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.27

Stanton menyebutkan sudut pandang terbagi menjadi empat tipe

utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Pada „orang

pertama-utama‟ sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya

sendiri.

Aku putus asa. “Baiklah Fred,” kataku “mari kita atur rencana ini.” Tanpa mendongak, ia membalik halaman berikut dari bukunya. Aku masih dapat mendengar angin bertiup di luar.

Pada „orang pertama-sampingan‟, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan).

Aku berpura-pura menulis, tetapi sebenarnya aku mengamati Anderson yang sedang mondar-mandir. Mendadak, dengan tampang tanpa ekspresi, ia berhenti di dekat dipan Fred. “Baiklah, mari kita atur rencana ini. “Tanpa sedikit pun mendongak, Fred membalik selembar lagi. Pasangan yang unik, menurutku. Aku masih dapat mendengar angin bertiup di luar.

Pada „orang ketiga-terbatas‟ pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya

menggambarkan apa yang dapat dlihat, didengar, dan dipikirkan oleh

satu orang karakter saja.

Ia mondar-mandir, berusaha keras menemukan satu jalan keluar. Mendadak ia berkata,”Baiklah Fred, mari kita atur rencana ini.” Tanpa mendongak, Fred membalik selembar lagi. Anderson

26

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), h. 87

27

(29)

melipat kedua tangannya dan menunggu, sembari mendengar angin yang tertiup di luar.

Pada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga

dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir

atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.

Anderson mondar-mandir, mencoba untuk mencari jalan keluar. Akhirnya, tanpa punya banyak pilihan, dia berkata, “Baiklah Fred, mari kita atur rencana ini.” Sama sekali tidak menjawab, Fred membalik selembar lagi. Di luar, angin sedang berhembus menerpa pondokan dengan kencang.28

Selain empat jenis sudut pandang menurut Stanton, Nurgiyantoro

menambahkan sudut pandang berikutnya, yaitu penggunaan sudut

pandang yang bersifat campuran. Sudut pandang yang bersifat

campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin menggunakan sudut

pandang pesona ketiga dengan teknik “dia” maha tahu dan “dia”

sebagai pengamat, pesona pertama denga teknik “aku” sebagai tokoh

utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara pesona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia”

sekaligus.29

Penggunaan kedua sudut pandang tersebut dalam sebuah novel

terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Si “aku” adalah tokoh utama protagonis, dan ini memungkinkan pengarang membeberkan berbagai pengalaman

batinnya. Namun, jangkauan si “aku” (yang berarti:narator) terhadap

tokoh lain terbatas, tak bersifat maha tahu. Padahal pembaca

menginginkan informasi penting dari tokoh-tokoh lain, atau narator

ingin menceritakannya kepada pembaca, terutama yang dalam

kaitannya dengan tokoh “aku”. Agar hal ini dapat dilakukan,

28

Robert Stanton, op.cit, h.52-55 29

(30)

pengarang sengaja beralih ke sudut pandang lain yang memungkinkan memberinya kebebasan, dan teknik itu berupa “dia” (mahatahu). Dengan demikian, pembaca memperoleh cerita secara detail baik dari tokoh “aku” maupun ”dia”. Hal itu juga berarti: pembaca menjadi lebih tahu tentang berbagai persoalan hubungan tokoh-tokoh tersebut

daripada tokoh-tokoh itu sendiri. 30

6. Gaya Bahasa

Gaya ialah segala sesuatu yang memberikan ciri khas kepada sbuah

teks, menjadikan teks itu semacam individu bila dibandingkan dengan

teks-teks lainnya.31 Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam

menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur,

karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat

berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan

menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme,

panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan

metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar

tertentu) akan menghasilkan gaya.32

Gaya bahasa ini digunakan pengarang untuk membangun jalinan

cerita dengan pemilihan diksi, ungkapan, majas, dan sebagainya yang

menimbulkan kesan estetik dalam karya sastra. Gaya bahasa ini

mencerminkan cita rasa dan karakteristik personal, bersifat pribadi,

milik perorangan, sehingga setiap pengarang memiliki gaya bahasanya

sendiri yang khas. Dalam karya sastra seperti novel, cerpen atau pun

puisi, gaya bahasa mempunya fungsi : a) memberi warna, pada

karangan, b) alat melukiskan suasana cerita dan mengintensifkan

penceritaan. Dalam kesusastraan Indonesia dikenal bermacam-macam

gaya bahasa di antaranya : Metafora, Personifikasi, Hiperbola,

Simbolik, Asosiasi, Sarkasme, Sinisme, Asidenton, Plisendeto,

30

Ibid., h. 268 31

Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 105

32

(31)

Klimak, Antiklimak, Repetisi, Eufimisme, Litotes, Paradoks,

Pleonasme, Simile, dan Repetisi. 33

D. Pendekatan Objektif

Abrams dalam Pengantar Teori Sastra mengemukakan pendapatnya

tentang komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Di dalam

komunikasi tersebut ia mengemukakan situasi sastra secara menyeluruh

terdiri atas empat hal: karya sastra, sastrawan, semesta, dan pembaca.34

A. Teeuw mengatakan pendekatan yang menitikberatkan karya itu

sendiri; pendekatan itu disebut obyektif.35 Pendekatan objektif adalah

pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajian pada karya sastra.

Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya

sastra menjadi sesuatu yang inti.36

Pendektan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab

pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya

sastra itu sendiri. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan

perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis

intrinsik.37

E. Pengertian Karakter

Echos dan Shadily dalam buku Albertine Minderop, karakter atau

dalam bahasa Inggris, character berarti watak, peran, huruf. Karakterisasi,

atau dalam bahasa Inggris charaterization, berarti pemeran, pelukisan

watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode

melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara

menentukan karakter (tokoh) -dalam hal ini tokoh imajinatif- dan

menentukan watak tokoh atau watak karakter sangat berbeda.38

33

Zulfahnur ZF, Sayuti Kurnia, Zuniar Z. Adji, Teori Sastra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996/1997), h. 38-41

34

Wahyudi Siswanto, op.cit, h.179-180 35

A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya ), h.50 36

Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 183 37

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.73

38

(32)

Kenney pakar teori sastra, memberikan gambaran mengapa seorang

tokoh melakukan sesuatu. Motivasi secara umum menyangkut dorongan

sifat manusia, yang mendasar seperti perasaan cinta, lapar, tamak, dan

sebagainya. Demikian pula misalnya, seorang tokoh melakukan

pembunuhan, tentu terdapat alasan mengapa ia melakukan perbuatan

tersebut, apakah alasan itu memang harus dilakukannya, dalam hal ini

pengarang harus pandai melukiskan kondisi si tokoh secara menyeluruh.39

F. Karakterisasi Melalui Tindakan Para Tokoh

Watak tokoh dapat diamati melalui tingkah-laku. Tokoh dan tingkah

laku bagaikan dua sisi pada uang logam. Henry James mengatakan, bahwa

perbuatan dan tingkah laku secara logis merupakan pengembangan

psikologi dan kepribadian, memperlihatkan bagaimana watak tokoh

ditampilkan dalam perbuatannya.

1. Melalui Tingkah Laku

Untuk membangun watak dengan landasan tingkah laku, penting

bagi pembaca untuk mengamati secara rinci berbagai peristiwa dalam

alur karena peristiwa-peristiwa tersebut dapat mencerminkan watak

para tokoh, kondisi emosi dan psikis, yang tanpa disadari

mengikutinya serta nilai-nilai yang ditampilkan.40

2. Ekspresi Wajah

Bahasa tubuh (gesture) atau ekspresi wajah biasanya tidak terlalu

signifikan bila dibandingkan dengan tingkah laku, namun tidak

selamanya demikian. Kadang kala tingkah laku samar-samar atau

spontan dan tidak disadari seringkali dapat memberikan gambaran

kepada pembaca tentang kondisi batin, gejolak jiwa atau perasaan si

tokoh.41

3. Motivasi yang Melandasi

Untuk memahami watak tokoh lepas dari tingkah laku baik yang

(33)

berprilaku demikian, apa yang menyebabkan ia melakukan suatu

tindakan. Apabila pembaca berhasil melakukan hal itu dengan pola

tertentu dari motivasi (motive = that wich causes somebody to act)

tersebut, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pembaca mampu

menemukan watak tokoh dimaksud dengan cara menelusuri

sebab-musabab si tokoh melakukan sesuatu.42

G. Hakikat Pengajaran Sastra

Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk

mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses

kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini

adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Dengan

pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca,

memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.43

Meskipun dari sudut pandang pendidikan secara umum ada beberapa

buah novel yang dianggap kurang berharga atau bahkan dikatakan sebagai dapat „merusak moral‟ anak-anak, akan tetapi perlu diingat pada kenyataannya novel banyak menampung ide-ide para sastrawan terkenal

selama dua abad terakhir ini. Novel-novel tersebut mengandung banyak

pengalaman yang bernilai pendidikan yang positif, apalagi jika dipilih

dengan pertimbangan yang mendalam, jenis karya sastra yang berbentuk

novel ini akan dapat membina minat baca siswa secara pribadi dan lebih

lanjut akan dapat meningkatkan semangat mereka untuk menekuni bacaan

secara lebih mendalam.44

H. Penelitian Relevan

Fepi Mariani (2012), mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Padang. Meneliti, “Profil Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Tinjauan Sosiologi Sastra.” Pada skripsi ini peneliti membandingkan profil ayah di dalam novel dan profil ayah dalam

42

Ibid, h.45 43

Wahyudi Siswanto, op.cit, h. 168 44

(34)

kehidupan nyata dengan melakukan wawancara pada Bapak Prof. Dr.

Haris Effendi Thahar, M.Hum. Hasil wawancara adalah seorang ayah

memiliki persamaan dan perbedaan masing-masing. Persamaannya adalah

menggunakan waktu senggang untuk bermain dan bercerita kepada

anak-anak, sedangkan perbedaannya mengambil dongeng-dongeng secara lisan

yang masih ada hubungannya dengan nenek moyang.45

Nafi Wahyu Safitri (2012), mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Meneliti, “Tinjauan

Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Pada Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong” Penulis meneliti kritik sosial, meliputi: cerita tentang Lembah Bukhara berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang tidak bisa

memanfaatkan hasil bumi dengan baik, cerita tentang Suku Penguasa

Angin berkaitan dengan penjajah yang merusak penduduk dengan candu,

cerita Si Raja Tidur yang berkaitan dengan penegakan hukum suatu

negara. Nilai pendidikan yang terdapat pada novel Ayahku (Bukan)

Pembohong meliputi: nilai agama, nilai moral, dan nilai sosial.46

Isnaniyah (2013), mahasiswa Mahasiswa Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah

Purworejo, Meneliti, “Pendidikan Karakter Berbasis Moral dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong dan Pembelajaran pada Kelas XI SMA”

penelitian ini melakukan perwujudan novel Ayahku (Bukan) Pembohong

pada pendidikan karakter berbasis moral yang meliputi hubungan manusia

dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan lingkungan yang dianalisis

manfaatnya sebagai bahan pembelajaran.47

45

Fepi Mariani, Profil Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Tinjauan Sosiologi Sastra. diunduh pada pukul 00:05 WIB 13 Juli 2014 dari website: http://www.google.co.id

46

Nafi Wahyu Safitri, Tinjauan sosiologi sastra dan nilai pendidikan pada novel ayahku (bukan) pembohong karya Tere Liye. diunduh pada pukul 22:36 WIB 13 Juli 2014 dari website: http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=28653

47

Isnaniyah, Pendidikan Karakter Berbasis Moral Dalam Novel Ayahku (Bukan)

(35)

Peneliti menemukan sembilan penelitian terkait tentang novel Ayahku

(Bukan) Pembohong di antaranya: “Analisis Nilai Moral dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Skenario Pembelajarannya Di Kelas XI SMA.” FKIP Universitas Muhammadiyah

Purworejo, “Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong karya Tere-Liye.” Universitas Sriwijaya, “Konflik Batin

Tokoh Utama Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye”

Universitas Udayana Bali, “Analisis Nilai Pendidikan dalam Novel

Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA” Universitas Muhamadiyah PROF. DR.

HAMKA, “Pengaruh Konflik Terhadap Sikap Tokoh Utama dalam Novel

Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye” Universitas Batu Raja, “Pendekonstruksian Peran Tokoh Asyah dan sang kapten pada kehidupan

tokoh Dam dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye”

Universitas Brawijaya.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah peneliti lakukan, maka

nampak bahwa belum ditemukan penelitian terkait karakter Ayah dalam

novel Ayahku (Bukan) Pembohong dengan menggunakan metode

karakterisasi melalui tindakan para tokoh untuk menemukan gambaran

(36)

25 BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE-LIYE

A. Sinopsis Ayahku (Bukan) Pembohong

Ayahku (Bukan) Pembohong berkisah tentang seorang ayah yang sangat

suka bercerita kepada anak, menantu, dan cucunya, cerita tentang petualangan

saat dia masih muda. Ayah orang yang dihormati karena keramahan sikap,

santun tutur bahasa, dan suka membantu kepada tetangga-tetangga maupun

yang membutuhkan bantuannya. Ayah juga hidup sederhana meski lulusan

ilmu hukum universitas ternama di Eropa, ayah memilih untuk menjadi

seorang pegawai negeri biasa dengan hidup sederhana. Baginya, kebahagiaan

bukanlah hal yang dapat diukur dari seberapa banyak kita memiliki

barang-barang mewah, atau jalan-jalan ke luar negeri. Bagi ayah, kebahagiaan adalah

bagaimana kita masih tetap bisa mensyukuri setiap apa yang kita miliki

dengan bangga dan ikhlas, kebahagiaan yang lahir dari dalam diri, bukan dari

orang lain atau barang apapun.

Memiliki satu anak bernama Dam, ayah mencoba mendidik Dam dengan

cara yang berbeda, yaitu dengan cara memberikan cerita-cerita yang dia

tanam dalam otak dan prilaku Dam. Hal tersebut telah berhasil membentuk

karakter Dam menjadi anak yang berbeda dengan segala kebaikan hatinya,

sabar, dan ringan membantu orang. Namun, semenjak ibunya meninggal dan

tidak pernah diberi tahu jika ibunya selama ini mengidap penyakit kelainan

darah, Dam sangat kecewa terhadap Ayahnya, lebih kecewa lagi saat tahu,

ayah tidak pernah membawa ibu berobat serius untuk penyembuhan, tapi

lebih memilih percaya pada argumen si Raja Tidur yang mengatakan usia

ibunya bisa bertahan lebih lama jika membawanya selalu dalam suasana hati

bahagia. Itu sangat tidak masuk akal, padahal ayah sendiri yang mengajarkan

(37)

Kini ayah sudah renta, usianya menginjak 78 tahun. Ayah tinggal bersama

Dam atas permintaan menantunya, Taani. Ayah senang bisa berbagi cerita

lagi pada kedua cucunya yaitu Zas dan Qon, namun justru itu yang membuat

Dam kembali marah. Dam tidak ingin keluarga kecilnya diusik dengan

cerita-cerita Ayahnya. Pertengkaran hebat pun terjadi. Sampai akhirnya Ayah

masuk rumah sakit, dan saat Dam tahu bahwa cerita Ayah bukanlah

kebohongan, Ayah telah menutup mata untuk selamanya.

B. Deskripsi Data Unsur Intrinsik Novel 1. Tema

Tema berperan sebagai pangkal tolok ukur pengarang dalam

memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan

hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh

pengarang.1 Tema yang mendasari gagasan pokok inti cerita pada novel

Ayahku (Bukan) Pembohong adalah tentang cerita di masa kecil yang

diharapkan mampu membentuk karakter pribadi seorang anak sedini

mungkin. Novel Ayahku (Bukan) Pembohong termasuk ke dalam tema

yang bersifat egoik, yaitu tema yang lebih mendasar pada reaksi batin

yang dirasakan oleh pribadi tokoh terhadap konflik atau permasalahan

sosial tertentu yang sedang dihadapinya. Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong ini bertemakan tentang cara mendidik anak melalui

cerita-cerita sehingga dapat membentuk karakter pribadi seorang anak menjadi

pribadi yang berbeda, pribadi yang hangat, santun, tangguh, pantang

menyerah, dan sederhana. Cara mendidik anak tidaklah melulu dengan

nasihat-nasihat, tapi memberikan contoh meskipun dalam bentuk sebuah

cerita dongeng yang tentunya akan selalu diingat sampai anak itu tumbuh

dewasa dan tua nanti, karena bagaimanapun yang namanya cerita dongeng

akan jauh lebih melekat lama dalam ingatan manusia.

Ibu meletakkan kertas itu di atas meja, sesenggukan, menyentuh jemari Ayah, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta. “Kau telah mendidiknya menjadi anak yang berbeda sekali… Sungguh dia

1

(38)

akan tumbuh besar dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda dibandingkan jutaan orang lain.”2

Dialog di atas adalah sebuah tuturan rasa bangga yang diucapkan oleh

Ibu atas keberhasilan Ayah dalam mendidik Dam. Keteguhan hati Ayah

tidak mau menuruti keinginan Dam untuk mengirimkan surat pada

idolanya, Ayah tidak mengajarkan Dam untuk berlebihan dan sombong.

Setelah sebulan lamanya Dam tidak mau membantu Ibu di rumah, maka

pagi itu Dam memberikan surat untuk Ayah. Surat yang membuat Ibu

menangis terharu dan bangga akan cara mendidik yang diterapkan oleh

suaminya.

Isi surat itu berupa rasa penyesalan Dam, bahwa dia telah berpikir

panjang dan sepakat dengan pemikiran Ayahnya, Sang Kapten cukup

sebagai idola yang memotivasi tidak lebih tidak kurang, bukan menjadi

idola yang harus diagung-agungkan. Itulah yang diterapkan Ayah, cerita

itu cukup menjadi pelajaran dan motivasi untuk Dam tidak untuk menuruti

keinginan Dam, karena menuruti keinginan anak juga bukan solusi yang

terbaik. Ayah bersabar satu bulan mengahadapi kejengkelan Dam yang

memboikot pekerjaan rumah, Ayah juga tidak berkomunikasi bercanda

seperti hari-hari biasanya, hal itu dia lakukan agar Dam mau untuk

berpikir kenapa Ayah sampai begitu teguh tidak mengabulkan

permintaannya. Butuh waktu lama bagi Dam untuk memahami hal itu,

namun tidak menjadi masalah, asalkan Dam mau berlatih berpikir sendiri

untuk menemukan pemahamannya.

2. Tokoh

Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku

atau watak-watak tertentu, adapun kedudukan tokoh pada suatu karya

sastra amatlah penting, tokohlah yang menjalankan dan menggerakkan

bagaimana sebuah cerita itu hadir, cerita itu bermula dan berakhir, konflik

itu bermula, meningkat dan mereda. Maka kehadiran tokoh menjadi bagian

2

(39)

yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu cerita. Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong, begitu banyak tokoh yang terlibat seperti ayah dan ibu Taani,

Kepala sekolah Akademi Gajah, Petugas perpustakaan, para penonton di

stadion, teman-teman klub renang, Tim Pemburu, Teman-teman sekolah,

para penduduk, namun hanya tokoh yang pengaruh besar dan terlibat

banyak di dalam novel yang akan dibahas di sini.

a) Dam

Dam merupakan tokoh utama, seorang anak laki-laki yang tumbuh

dengan segudang cerita yang kerap dikisahkan oleh Ayahnya. Dam

tumbuh menjadi anak yang baik, penurut, dan pantang menyerah. Dam

kecil sangat menyukai cerita-cerita Ayahnya, tanpa pernah bertanya

kebenaran itu. Dam hanya suka, baginya itu sudah cukup.

Petugas loket bilang sudah tidak ada lagi tiket yang tersisa. Semua kegembiraanku-sejak berangkat, sejak menerima gaji loper koranku, sejak memasukkan seluruh uang logam dan kertas ke dalam kantong, sejak bersepeda secepat mungkin, sejak berlari dari parkiran gedung penjual tiket-jatuh bagai daun dimusim kering.

Semuanya berguguran.3

Meski kerap kali menjadi objek kejailan Jarjit teman sekolahnya,

dipanggil keriting dan si pengecut, Dam berusaha menjadi anak yang

sabar, terbukti saat Dam menolong Jarjit yang hampir tenggelam di dalam

kolam padahal Dam tahu sejak awal Jarjit membencinya.

Aku memukul dada Jarjit keras-keras - teknik yang diajarkan pelatih sebagai pertolongan pertama keadaan darurat. Jarjit bergeming. Tubuh tinggi besarnya terkulai lemah. Aku memukul lebih keras. Ayolah, Kawan, kau bisa melakukannya. Aku berseru cemas. Tetapi tidak ada reaksi. Beruntung sebelum aku panik, Jarjit tersendak memuntahkan air. Ia siuman. Aku membantunya

bersandar.4

Rasa jengkel atas semua perbuatan Jarjit menguap, Dam tidak lagi

memikirkan bahwa yang dia tolong adalah teman yang selama ini

membuatnya susah dan sering dihukum kepala sekolah, bagi Dam saat ini

3

Ibid., h. 85 4Ibid.,

(40)

yang terpenting adalah Jarjit bangun dari pingsannya. Dam tumbuh

menjadi anak yang berhati lembut dan ringan tangan untuk menolong.

Dam sangat menyayangi Ibu, rasa sayangnya yang begitu besar, saat

Ibu masuk rumah sakit dan Ayah masih saja bercerita tentang si Raja

Tidur bahwa sakit Ibunya tidak dapat disembuhkan, hanya bisa bertahan

dengan rasa bahagia hati Ibunya. Dam tidak dapat menerima penjelasan itu

secara logika, dan semenjak itu pun Dam berhenti mempercayai cerita

Ayah, karena baginya, akibat kebohongan cerita Ayah, Ibunya meninggal. “Ibu tidak bahagia!” aku berseru tertahan, memotong kalimat Ayah, rasa marah, bingung, sedih, tidak mengerti bercampur aduk dalam hatiku. Apakah Ayah sudah gila? Lihat, rombongan dokter bersiap membedah Ibu masuk ke dalam ruangan, dan Ayah tetap tidak berhenti dari cerita-cerita bohong itu. Omong kosong soal si

Raja Tidur.5

Konsep bahagia menurut Dam adalah Ibu pergi jalan-jalan, sedangkan

selama ini Ibu hanya tinggal di rumah dengan berpakaian yang sederhana.

Dalam foto-foto pun Ibu hanya menatap datar, tidak ada gambar potret Ibu

tersenyum, padahal tidak semua kebahagiaan itu tergambar dan dapat

dilihat oleh mata telanjang. Dam marah ketika Ibunya masuk ruang operasi

sedangkan Ayah masih saja sibuk bercerita, perasaan Dam yang sedih

membutakan akal sehatnya untuk berpikir bahwa maksud Ayah bercerita

bukan hanya mendongeng, Dam lupa bahwa Ayah selama ini bercerita

adalah untuk memberikan pemahaman dari makna di balik cerita itu, dan

pada saat itu juga Ayah ingin membuat Dam mengerti namun Dam

menolak mentah-mentah cerita Ayah. Pada akhirnya, Dam salah

mengartikan kematian yang merenggut Ibunya, membuat Dam membenci

cerita Ayah sampai dewasa, sampai Dam memiliki anak. Dam tidak

pernah sedikitpun mengajar dan mendidik anak-anaknya dengan cerita,

bahkan untuk menceritakan tentang masa kecilnya Dam tidak pernah,

baginya, cukup dengan mendidik anaknya dengan prinsip dan kedisplinan.

5Ibid.,

(41)

Namun sayang, anak-anak Dam begitu mencintai kakek dan

cerita-ceritanya dan itu membuat Dam berasa kesal.

Zas dan Qon turun dari sofa. Meski wajah mereka sebal, keberatan, merajuk, tetapi mereka tahu persis konsekuensi melanggar janji. Aku mendidik mereka dengan pengertian sebab-akibat, imbalan-hukuman, simpati-empati, serta logika pendidikan anak-anak modern lainnya. Mereka berhak atas metode yang lebih

baik dan terukur.6

Tokoh aku merupakan Dam yang kini sudah menjadi sosok ayah

untuk kedua anaknya. Dam yang sudah tidak lagi mau mendengarkan

cerita-cerita Ayah, Dam mendidik anaknya dengan sebab-akibat, jika ingin

janji mereka dihargai maka harus terlebih dahulu untuk menepati janji. Ini

semua merupakan contoh kecil yang dilakukan Dam pada kedua anaknya.

Hal seperti itu membuat mereka lebih bertanggung jawab terhadap apa

yang mereka lakukan. Cara mendidik seperti itu lebih cocok dan lebih

modern sehingga dapat diterima oleh logika.

Dam kini menjadi seorang arsitek hebat karena karya-karyanya yang

berbeda dari kebanyakan arsitek, Dam menggabungkan

bangunan-bangunan masa kini dengan imaji-imaji cerita petualangan Ayah. Cerita

Ayah menjadi rahasia Dam dalam menciptakan karya disain arsitekturnya.

Sebelum beranjak pergi, aku menyeringai lebar melihat desain setengah jadi di layar laptop. Ini ide yang hebat, fantastis. Aku menggabungkan imajinasiku tentang arsitektur Lembah Bukhara dan perkampungan Suku Penguasa Angin. Sejatinya aku tidak bisa membenci cerita-cerita Ayah, aku bahkan menggunakannya dalam hidupku, mulai dari yang terlihat seperti desain-desain yang kubuat, hingga yang tidak terlihat seperti pemahaman hidup dan

perangaiku.7

Meski sudah berhenti lama untuk tidak lagi mendengarkan cerita

Ayah, tapi sikapnya yang selalu menyimak pembicaraan Ayah dengan

kedua anaknya Zas dan Qon, itu menandakan Dam masih tertarik dengan

cerita, hanya saja ego dan belum ada keikhlasan atas kehilangan Ibu

menyebabkan Dam melampiaskan kebenciannya pada cerita-cerita

6

Ibid., h. 110 7Ibid.,

(42)

petualangan Ayah. Padahal, pekerjaannya sebagai seorang arsitektur hebat,

Dam tidak bisa lepas dari imajinasinya memasukkan cerita-cerita suku

penguasa angin, keindahan lembah bukhara ke dalam unsur-unsur

arsitekturnya. Itu membuktikan kekuatan cerita Ayah sudah amat melekat

dengan hati dan pikiran Dam.

“Ya, aku tidak suka. Kecuali Ayah bilang pada Zas dan Qon

bahwa cerita-cerita itu bohong,” aku berkata tegas, membalas

tatapan Ayah.

Ayah menggeleng. “Aku tidak berbohong.”

“Kalau begitu Ayah tahu resikonya. Ayah harus pergi dari …”8 Sifat pemarah Dam membuatnya buta untuk menerima penjelasan.

Percakapan di atas merupakan sepenggal amarah Dam, prasangka negatif

serta amarah yang meledak-ledak saat mengetahui anaknya sudah berani

membolos sekolah tiga hari demi mencari kebenaran cerita-cerita

kakeknya. Dam marah pada Ayah, Dam berharap agar Ayahnya tidak lagi

bercerita tentang petualangan itu pada kedua anaknya. Dam berharap agar

Ayah mau mengatakan bahwa ceritanya itu hanyalah sebatas cerita tanpa

kebenaran, sehingga kedua anaknya itu tidak akan lagi mencari tahu

kebenaran cerita kakeknya, namun Ayah tetap menolak, sehingga Dam

kehilangan kontrol menjaga ucapannya dan menyakiti perasaan Ayah.

Kekerasan hati, kebencian, dan ego telah membutakan mata dan hati Dam

untuk hanya sekadar melihat bahwa orang yang di depannya adalah Ayah,

orang tua yang membesarkannya dengan semangat kesederhanaan dan

kebersahajaan hidup.

Di balik watak yang keras, emosi yang tidak terkendali, Dam tetaplah

seorang anak yang jauh di dalam hatinya masih memiliki rasa sayang pada

orang tuanya.

Sejenak, saat menatap Ayah di kejauhan, yang sedang di kerumuni dokter dan perawat, seluruh kemarahan itu berguguran. Aku teringat momen yang sama saat dulu menatap Ibu. Tubuh Ayah dililit infus dan belalai. Kesibukan yang sama dan rasa takut yang sama tiba-tiba memenuhi hati. Aku dulu takut sekali Ibu tidak

8Ibid.,

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang dapat mempengaruhi depresi pada remaja adalah pengaruh peran orang tua, faktor sosial ekonomi orang tua, jenis kelamin dan umur remaja yang bersangkutan. Hasil

Adapun ruang lingkup Sistem Manajemen Mutu (SMM) di Jurusan Teknik Industri adalah proses penerimaan mahasiswa, rekruitmen sumber daya manusia, pembelian atau

We hypothesized that compared with healthy volunteers, children with a parent with bipolar disorder (high- risk) would exhibit abnormalities in brain regions that regulate

Mampu melakukan proses estimasi yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah perancangan, perbaikan, pemasangan dan pengoperasian sistem terintegrasi.. Mampu mengenali

dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada Pengadilan Agama.

Sistem proteksi adalah susunan sejumlah perangkat proteksi secara lengkap yang terdiri dari perangkat utama dan perangkat-perangkat lain yang dibutuhkan untuk melakukan

Peserta diharuskan mengangkat sebuah topik tentang Biomedical Signal atau Life Support dengan teknologi alat yang tidak melukai pasien dan memberikan solusi berupa rekayasa

[r]