• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ketepatan Diagnosa Dan Pemberian Jenis Obat Pada Balita Sakit Ispa Dengan Menggunakan Pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (Mtbs) Di Puskesmas Kota Bandung - Analysis Of Diagnosis Accuracy And Used Of Drugs On Upper Respiratory Infection (Ur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ketepatan Diagnosa Dan Pemberian Jenis Obat Pada Balita Sakit Ispa Dengan Menggunakan Pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (Mtbs) Di Puskesmas Kota Bandung - Analysis Of Diagnosis Accuracy And Used Of Drugs On Upper Respiratory Infection (Ur"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KETEPATAN DIAGNOSA DAN PEMBERIAN JENIS OBAT PADA BALITA SAKIT ISPA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MANAJEMEN TERPADU

BALITA SAKIT (MTBS) DI PUSKESMAS KOTA BANDUNG

Sharon Gondodiputro1, Henni Djuhaeni 2

1&2

Staff of Public Health Department, Faculty of Medicine , Universitas Padjadjaran Bandung , West Java, Indonesia

ABSTRAK

Setiap tahun lebih dari 10 juta balita di Negara berkembang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun. Penyebab kematian ini pada umumnya dapat dicegah. Dengan terbatasnya sumber daya di Negara-negara berkembang, maka sejak tahun 1994, WHO dan UNICEF mengembangkan program Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ketepatan diagnosa dan penggunaan obat-obatan pada balita dengan ISPA kasus baru secara efektif dan efisien di Puskesmas yang telah dilatih MTBS dibandingkan dengan Puskesmas yang belum dilatih MTBS.

(2)

(Puskesmas) sangat efisien dan efektif, sehingga disarankan bahwa seluruh Puskesmas yang ada sebaiknya dilatih untuk melaksanakan program MTBS.

Kata kunci : MTBS, Ketepatan diagnosa, Efisiensi obat

ANALYSIS OF DIAGNOSIS ACCURACY AND USED OF DRUGS ON UPPER RESPIRATORY INFECTION (URI) USING INTEGRATED MANAGEMENT OF CHILDHOOD ILLNESS (IMCI) AT COMMUNITY HEALTH CENTER , BANDUNG

MUNICIPALITY

Sharon Gondodiputro1, Henni Djuhaeni 2

1&2

Staff of Public Health Department, Faculty of Medicine , Universitas Padjadjaran Bandung , West Java, Indonesia

ABSTRACT

Most developing countries concern that expenditure on health was increasing and resources are scarce. Those situations, have led to the introduction of many health programs that are cost effective. Each year more than 10 million children in developing countries die before they reach their fifth birthday. Most of deaths can be prevented. Since 1994 WHO and UNICEF developed a strategy called Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). This study aimed to evaluate accuracy of diagnosis and drug use efficiency at Puskesmas (Community Health Center- 1st health facility) with IMCI program for new Acute Respiratory Infection (ARI) cases in under 5 year-age children.

(3)

could detected about 40.2% cases of pneumonia compared 20.1% cases of pneumonia at Puskesmas non IMCI program. At Puskesmas with IMCI program they gave 1-2 sorts of drugs,whereas at Puskesmas non IMCI they gave 4–5 sorts of drugs. Those results showed that IMCI program at

first level health facility (Puskesmas) proved to be efective and drug efficient

Keywords : IMCI , Diagnosis accuracy, Drug efficiency

PENDAHULUAN

Di Negara berkembang , setiap tahunnya kurang lebih 12 juta anak meninggal sebelum ulang tahunnya yang kelima dan sebagian besar disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA ) , Diare dan Campak 1. Di Indonesia diperkirakan kematian karena Pnemonia adalah 6 per 1000 balita (150,000 balita) per tahun 2

Program ISPA telah dilakukan sejak tahun 1980 di seluruh Indonesia yaitu menerapkan pendekatan diagnosa Pnemonia dan Pnemonia Berat melalui pemeriksaan nafas cepat dan tarikan dinding dada ke dalam . Dikatakan bahwa bila hal ini diterapkan dengan baik , maka mampu mencegah kematian balita akibat ISPA sampai 60 – 80 %. Namun sampai saat ini program ISPA belum berjalan sesuai dengan standar operasional . Hal ini dapat dilihat pada hasil survey tahun 1995 yang menunjukkan bahwa hanya 5 % petugas kesehatan melakukan tatalaksana ISPA dengan benar 3

(4)

- Pada balita yang sakit, umumnya menunjukkan gejala dan tanda dari beberapa kondisi, sehingga kemungkinan didapatkan lebih dari satu diagnosis.

- Bila hal tersebut terjadi, maka pengobatan yang dilakukan harus berupa kombinasi, bukan hanya satu pengobatan saja

- Perhatian tidak hanya ditujukan kepada penyakitnya saja, tetapi harus kepada balita secara utuh.

- Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas pelayanan seperti ketersediaan obat, organisasi dari sistem kesehatan, rujukan pelyanan dan perilaku masyarakat perlu diperhatikan dalam satu strategi integrasi

Indonesia mengadaptasi dan mengadopsi pendekatan ini dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) . Pelaksanaan program MTBS ini membutuhkan kerjasama dan koordinasi di seluruh tingkatan sistem kesehatan dengan harapan dapat meningkatkan efektivitas pelayanan dan menurunkan biaya bila tujuan program ini tercapai yaitu 5

- Menurunkan angka kesakitan dan kematian balita, berhubungan dengan penyebab utama penyakit

- Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan balita yang sehat

(5)

terhadap pasien balita dengan ISPA di Puskesmas yang telah menerapkan MTBS dengan Puskesmas yang belum menerapkan MTBS karena sebenarnya Puskesmas-Puskesmas tersebut telah melakukan program ISPA.

SUBJEK DAN METODE

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional bersifat analitik dengan subyek penelitian adalah balita sakit kasus baru ISPA di Kota Bandung , jumlah sampel sebesar 184 balita, sedangkan obyek penelitian adalah jenis obat yang diberikan pada balita sakit kasus baru ISPA. Analisis statistic menggunakan uji Chi Square.

Subjek penelitian adalah balita kasus baru ISPA dengan rentang usia umur 2 bulan sampai < 5 tahun. Selanjutnya dikategorikan berdasarkan (1) Bukan Pnemonia, (2) Pnemonia (3) Pnemonia Berat. Klasifikasi Bukan Pnemonia mencakup kelompok penderita balita yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas atau napas cepat dan tidak adanya tarikan dinding dada kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pnemonia kemungkinan mencakup adalah penyakit-penyakit ISPA lain diluar pnemonia seperti batuk pilek biasa (Common Cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis. Klasifikasi Pnemonia, jika didapatkan anak dengan gejala batuk dan kesukaran bernapas dengan frekuensi napas yang cepat yaitu untuk umur 2 bl sampai < 1 th :  40x/menit, umur 1 th sampai < 5 th :  50x/menit. Klasifikasi Pnemonia Berat didasarkan pada adanya batuk dan keskuran bernapas disertai napas sesak atau penarikan dinding dada kedalam (Chest indrawing).8

Protokol pemberian obat pada kasus-kasus tersebut dilakukan sesuai standar yaitu:

- Klasifikasi bukan Pnemonia tidak disertai demam (<38,5ºC) tidak diberikan obat hanya dilakukan perawatan di rumah dengan memberikan obat tradisional saja sedangkan jika ada demam (>38,5ºC) diberikan obat paracetamol dengan dosis sesuai dengan umur anak.

(6)

- Klasifikasi Pnemonia Berat, balita di rujuk ke Rumah Sakit terdekat.

Lokasi penelitian adalah di 7 Puskesmas Kota Bandung yang telah melaksanakan program MTBS , sebagai pembanding adalah 7 Puskesmas yang belum melaksanakan MTBS tetapi telah melaksanakan program ISPA yang ditentukan secara purposif yaitu dengan kriteria jumlah kunjungan balitanya hampir sama dengan Puskesmas MTBS9 ( Diagram 1)

BALITA SAKIT KASUS BARU ISPA

BALITA SAKIT KASUS BARU ISPA

PUSKESMAS MTBS PUSKESMAS BELUM MTBS

BUKAN

PNEMONIA PNEMONIA

< 38.5C

< 38.5C

> 38.5C

PEMBERIAN JENIS OBAT

BUKAN

PNEMONIA PNEMONIA

< 38.5C >

38.5C

< 38.5C

> 38.5C

PEMBERIAN JENIS OBAT

(7)

HASIL PENELITIAN 11

Pada tabel 1, diketahui proporsi penderita ISPA terbesar terdapat pada kelompok umur 12-<60 bulan (MTBS=92,90% dan Belum MTBS=94,10%).

Tabel 1

Distribusi penderita ISPA berdasarkan umur Di Puskesmas MTBS dan belum MTBS

di Kota Bandung Tahun 2004

Kelompok

MTBS (N=184) Belum MTBS (N=184) Karakteristik

n % n %

Umur (Bulan)

~ Umur 2 - <4 bulan 1 0,50 1 0,50

~ Umur 4 - <12 bulan 12 6,50 10 5,40

~ Umur 12 - <60 bulan 171 92,90 173 94,10

Dari seluruh sampel, menunjukkan bahwa suhu badan penderita ISPA Pnemonia dengan suhu <38,5C pada Puskesmas MTBS proporsinya 60,80% (45 penderita) lebih besar bila dibandingkan dengan proporsi penderita ISPA Pnemonia dengan suhu >38,5C, yaitu 39,20% (29 penderita). Hal yang sama juga terdapat pada Puskesmas Belum MTBS dimana proporsi suhu badan penderita ISPA Pnemonia <38,5C sebesar 75,70% (28 penderita) lebih besar bila di bandingkan dengan penderita ISPA Pnemonia dengan suhu >38,5C yaitu 24,30% (9 penderita).

(8)

93,90% (138 penderita) lebih besar bila di bandingkan dengan penderita ISPA Bukan Pnemonia dengan suhu >38,5C yaitu 6,10% (9 penderita) seperti yang terlihat pada table 2 di bawah ini:

Tabel 2. Distribusi Penderita ISPA menurut Klasifikasi Dan Suhu di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS

Kota Bandung Tahun 2004

Kelompok

MTBS (N=184) Belum MTBS (N=184) Karakteristik

n % n %

Suhu :

Pnemonia ~ < 38,5C 45 60.80 28 75.70

~ > 38,5C 29 39.20 9 24.30

Jumlah 74 100 37 100

Suhu :

Bukan ~ < 38,5C 67 60.90 138 93,90

Pnemonia ~ > 38,5C 43 39.10 9 6,10

Jumlah 110 100 147 100

Penderita Pneumonia

Pada tabel 3, menggambarkan penggunaan obat-obatan pada kasus Pneumonia dengan atau tanpa demam. Sebagian besar Penderita Pnemonia baik yang mempunyai suhu <38,5ºC maupun >38,5ºC menggunakan antibiotik baik pada Puskesmas MTBS maupun belum MTBS ( suhu <38,5ºC : Puskesmas MTBS 95,56% dan belum MTBS 89,30%, >38,5ºC : Puskesmas MTBS 96,55% dan belum MTBS 100,00% ). Proporsi penderita Pnemonia suhu <38,5ºC yang mempergunakan antipiretik pada Puskesmas MTBS hanya sebesar 4,44% lebih kecil bila dibandingkan dengan proporsi pada Puskesmas Belum MTBS yaitu 89,30%, sedangkan proporsi penderita Pnemonia suhu >38,5ºC sebagian besar mengunakan antipiretik baik pada Puskesmas MTBS (75,90%) maupun pada Puskesmas Belum MTBS (100,00%).

(9)

Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan anti alergi pada penderita Pnemonia baik pada suhu <38,5ºC (96,40%) maupun pada penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (100,00%).

Obat batuk tidak diberikan pada penderita Pnemonia pada suhu <38,5ºC maupun pada suhu >38,5ºC di Puskesmas MTBS (0%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan obat batuk kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC (85,70%) maupun penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%).

Pada Puskesmas MTBS hampir seluruhnya tidak memberikan vitamin pada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC (97,78%) dan suhu >38,5ºC (100,00%), hampir sama dengan Puskesmas Belum MTBS yang sebagian besar tidak memberikan vitamin ada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC (53,60%) dan penderita Pnemonia suhu >38,5ºC (55,60%).

Tabel 3. Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita Pnemonia Menurut Suhu Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS

Di Kota Bandung Tahun 2004

Pnemonia

Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC

MTBS (N=45)

Belum MTBS (N=28)

MTBS (N=29)

Belum MTBS (N=9) Jenis obat

n % n % n % n %

1. Antibiotik

~ Tidak 2 4,44 3 10,70 1 3,40 0 0,00

~ Ya 43 95,56 25 89,30 28 96,60 9 100,00

2. Antipiretik

~ Tidak 43 95,56 3 10,70 7 24,10 0 0,00

~ Ya 2 4,44 25 89,30 22 75,90 9 100,00

3. Anti alergi

~ Tidak 45 100,00 1 3,60 24 82,80 0 0,00

~ Ya 0 0,00 27 96,40 5 17,20 9 100,00

4. Obat Batuk

~ Tidak 45 100,00 4 14,30 29 100,00 1 11,10

~ Ya 0 0,00 24 85,70 0 0,00 8 88,90

5. Vitamin

~ Tidak 44 97,78 15 53,60 29 100,00 5 55,60

(10)

Tabel 4, menggambarkan banyaknya jenis obat yang diberikan . Pada Puskesmas MTBS jumlah jenis obat yang diberikan kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC sebagian besar hanya memberikan 1 jenis obat (88,90%), pada suhu >38,5ºC memberikan 2 jenis obat (89,70%). Pada Puskesmas Belum MTBS jumlah jenis obat terbanyak diberikan kepada penderita Pnemonia suhu <38,5ºC yaitu 4 jenis obat (57,10%) bahkan 5 jenis obat (25,00%) dan pada suhu >38,5ºC diberikan 4 jenis obat (66,67%) serta 5 jenis obat. (33,33 %) .

Tabel 4. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita Pnemonia Menurut Suhu Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS

Di Kota Bandung Tahun 2004

Pnemonia

Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC MTBS

(N=45)

Belum MTBS (N=28)

MTBS (N=29)

Belum MTBS (N=9) Jumlah Jenis Obat

n % n % n % n %

~ Tidak memakai obat 2 4,40 0 0,00 0 0,00 0 0,00

~ 1 jenis 40 88,90 0 0,00 3 10,30 0 0,00

~ 2 Jenis 3 6,70 0 0,00 26 89,70 0 0,00

~ 3 Jenis 0 0,00 5 17,90 0 0,00 0 0,00

~ 4 Jenis 0 0,00 16 57,10 0 0,00 6 66,67

~ 5 Jenis 0 0,00 7 25,00 0 0,00 3 33,33

45 100,00 28 100,00 29 100,00 9 100,00

(11)

Penderita Bukan Pneumonia

Tabel 5 menggambarkan penggunaan obat-obatan pada kasus Pneumonia baik di Puskesmas MTBS maupun Non MTBS. Proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC yang tidak diberikan antibiotik pada kelompok MTBS (88,10%) lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok Belum MTBS (28,30%), tetapi pada penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC sebagian besar tidak memberikan antibiotik pada kelompok MTBS (93,33%) dan pada kelompok Belum MTBS (55,56%).

Proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC yang mempergunakan antipiretik pada Puskesmas MTBS hanya sebesar 20,90% lebih kecil bila dibandingkan dengan proporsi pada Puskesmas Belum MTBS yaitu 92,80%, sedangkan proporsi penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC sebagian besar mengunakan antipiretik baik pada Puskesmas MTBS (65,10%) maupun pada Puskesmas Belum MTBS (100,00%).

Pada Puskesmas MTBS sebagian besar penderita Bukan Pnemonia tidak diberikan obat anti alergi baik pada suhu <38,5ºC (89,60%) maupun pada suhu >38,5ºC (69,80%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan anti alergi pada penderita Bukan Pnemonia baik pada suhu <38,5ºC (82,60%) maupun pada penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%).

Obat batuk tidak diberikan pada penderita Bukan Pnemonia pada suhu <38,5ºC maupun pada suhu >38,5ºC di Puskesmas MTBS (0%), sedangkan pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar memberikan obat batuk kepada penderita Bukan Pnemonia suhu <38,5ºC (87,004%) maupun penderita Bukan Pnemonia suhu >38,5ºC (88,90%).

(12)

Tabel 5

Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita Bukan Pnemonia Menurut Suhu Di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS

Di Kota Bandung Tahun 2004

Bukan Pnemonia

Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC

MTBS (N=67) Belum MTBS (N=138) MTBS (N=43) Belum MTBS (N=9) Jenis Obat

n % n % n % n %

1. Antibiotik

~ Tidak 59 88,10 39 28,30 40 93,00 5 55,60

~ Ya 8 11,90 99 71,70 3 7,00 4 44,40

67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00

2. Antipiretik

~ Tidak 53 79,10 10 7,20 15 34,90 0 0,00

~ Ya 14 20,90 128 92,80 28 65,10 9 100,00

67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00

3. Anti alergi

~ Tidak 60 89,60 24 17,40 30 69,80 1 11,10

~ Ya 7 10,40 114 82,60 15 30,20 8 88,90

67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00

4. Obat Batuk

~ Tidak 67 100,00 18 13,00 43 100,00 1 11,10

~ Ya 0 0,00 120 87,00 0 0,00 8 88,90

67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00

5. Vitamin

~ Tidak 59 88,10 40 29,00 41 95,30 5 55,60

~ Ya 8 11,90 98 71,00 2 4,70 4 44,40

67 100,00 138 100,00 43 100,00 9 100,00

(13)

Tabel 6. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita Bukan Pnemonia Menurut Suhu

Di Puskesmas MTBS dan Belum MTBS Di Kota Bandung Tahun 2004

Bukan Pnemonia

Suhu <38,5ºC Suhu >38,5ºC MTBS

(N=45)

Belum MTBS (N=34)

MTBS (N=43)

Belum MTBS (N=9) Jumlah Jenis Obat

n % n % n % n %

~ Tidak memakai obat 37 55,20 0 0,00 2 4,70 0 0,00

~ 1 jenis 23 34,30 1 0,70 36 83,70 0 0,00

~ 2 Jenis 7 10,40 5 3,60 5 11,60 1 11,11

~ 3 Jenis 0 0,00 30 21,70 0 0,00 3 33,33

~ 4 Jenis 0 0,00 52 37,70 0 0,00 3 33,33

~ 5 Jenis 0 0,00 50 36,20 0 0,00 2 22,22

77 100,00 166 100,00 45 100,00 9 100,00

Hasil uji chi square menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara penderita Bukan Pnemonia dan jenis obat pada kelompok MTBS dan Belum MTBS dengan nilai X2 sebesar 218,019 dan p value < 0.05 (p=0,000)

PEMBAHASAN 1. Distribusi Umur

(14)

2. Ketepatan diagnosa

Dari hasil yang tampak pada tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar (40.2%) kasus Penumonia dapat dideteksi di Puskesmas MTBS, sedangkan di Puskesmas belum MTBS hanya terdeteksi sebesar 20.1%. Di pihak lain di Puskesmas yang belum MTBS sebagian besar (79,9%) penderita didiagnosa ISPA Bukan Pneumonia. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian kriteria diagnosa ISPA pada Puskesmas MTBS dan yang belum MTBS serta kemungkinan menimbulkan dampak yang buruk karena penderita yang seharusnya sudah didiagnosa dini sebagai Pneumonia yaitu gejala batuk dan kesukaran bernapas dengan frekuensi napas yang cepat yaitu untuk umur 2 bl sampai < 1 th :  40x/menit, umur 1 th sampai < 5 th :  50x/menit dan didiagnosa ISPA bukan pneumonia, akan jatuh pada Pneumonia berat dan kematian. 8

3. Jenis Obat

Tindakan pengobatan dilakukan dengan rasionalisasi dalam penggunaan obat-obatan terutama antibiotika. Standar penanganan tersebut menggunakan alur terapi yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa proporsi pemberian obat yang tidak sesuai dengan tatalaksana pada Puskesmas Belum MTBS (97,8%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan Puskesmas MTBS (8,2%). Secara umum, obat-obatan yang sering digunakan adalah antibiotika, antipiretik, anti alergi, obat batuk dan vitamin.

(15)

dengan pneumonia tanpa demam, yaitu penderita diberikan 4 jenis obat bahkan proporsinya lebih besar dibandingkan dengan pneumonia tanpa demam yaitu 66,67%. Masih ada pula yang diberikan 5 jenis obat yaitu sebesar 33,33%. Keadaan di Puskemas Belum MTBS ini tidak sesuai dengan tatalaksana standar yang menyatakan bahwa penderita Pnemonia dengan suhu <38,5C hanya diberikan satu macam obat saja yaitu antibiotik (kotrimoksasol) dan suhu >38,5C diberikan dua jenis obat yaitu antibiotik dan antipiretik (Kotrimoksasol dan Paracetamol). Dengan demikian tatalaksana pengobatan penderita Pneumonia pada Puskesmas belum MTBS tidak rasional dan tidak efisien. Hal ini juga dibuktikan dengan Survey Kesehatan Program Pemberantasan ISPA (1995), yaitu terdapat kecenderungan petugas untuk memberikan antibiotika berlebihan (over prescription). Sebanyak 60% kasus batuk pilek biasa telah diberi antibiotika, yang memprihatinkan

adalah sebesar 14% kasus Pnemonia justru tidak diberi antibiotika 10.

Penderita ISPA bukan Pneumonia tanpa demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (55,20%) tidak diberikan obat dan hanya 34,30% yang diberikan 1 jenis obat yaitu 11,90% antibiotika atau 20,90 % antipiretik atau 10,40% anti alergi atau 11,90 % vitamin. Pada Puskesmas Belum MTBS sebagian besar (37,70%) penderita diberikan 4 jenis obat ,bahkan ada yang diberikan 5 jenis obat (36,2%). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan pemberian obat pada penderita pneumonia. Penderita ISPA bukan pneumonia dengan demam di Puskesmas MTBS sebagian besar (83,70%) hanya diberikan 1 jenis obat yaitu utamanyanya adalah antipiretik (65,10%), yang lainnya adalah antibiotika (7%) atau anti alergi (30,20%) atau vitamin (4,70%). Di Puskesmas Belum MTBS kondisinya hampir sama seperti tatalaksana penderita dengan tanpa demam, yaitu sebagian besar (33,33%) penderita diberikan 3 jenis obat bahkan ada yang diberikan 4 jenis obat (33,33%) dan 5 jenis obat (22,22%).

(16)

alokasikan untuk pengadaan obat di puskesmas maupun di tingkat kota sehingga menyebabkan perencanaan penganggaran obat yang tidak rasional. Mengingat Petugas kesehatan yang melaksanakan tatalaksana MTBS adalah perawat dan bidan maka diharapkan pelayanan promotif dan preventif lebih optimal dibandingkan kuratif. Dengan demikian sangat dibutuhkan petugas yang berwawasan dan keterampilan yang baik terhadap pelaksanaan program.

Bertitik tolak dari kajian diatas dapatlah dipahami bahwa penelitian ini sejalan dengan penyataan WHO (1999) yang menyatakan bahwa penerapan MTBS pada Puskesmas dipandang sangat strategis mengingat MTBS merupakan salah satu intervensi yang memberikan dampak terbesar pada penurunan penggunaan obat serta dampaknya adalah penurunan beban biaya kesehatan bahkan mampu menghemat 14% beban biaya di negara berpenghasilan rendah sehingga dikatakan MTBS ini merupakan intervensi yang paling cost efficient dan cost effective untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak penderita di negara berkembang dan negara tertinggal.

KESIMPULAN

1. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam ketepatan diagnosa dan efisiensi pemberian obat di Puskesmas yang telah dilatih program MTBS dibandingkan dengan Puskesmas yang belum dilatih program MTBS

2. Puskesmas yang telah dilatih MTBS jauh lebih tepat mendiagnosis ISPA dan lebih efisien dalam penggunaan obat-obatan. Hal ini menunjukkan program MTBS mempunyai dampak yang positif

SARAN

(17)

DAFTAR PUSTAKA

1. Department of Child and Adolescent Health and Development, World Health Organization. The multy-country evaluation of IMCI effectiveness,cost and impact (MCI) progress report May 2000-April 2001,2001

2. Departemen kesehatan RI. Pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta, 2002

3. Abdul Manaf. Pelaksanaan konsep manajemen terpadu anak sakit dalam menunjang pelaksanaan program pemberantasan diare dan pemberantasan ISPA di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan nasional evaluasi kelangsungan hidup perkembangan dalam pencapaian SKS, 1996

4. Division of Child health and development, World Health Organization. IMCI information Geneva: WHO-UNICEF publication, 1999, p. 1-6

5. World Health Organization. IMCI planning guide (integrated management of childhood illness), gaining experience with the IMCI strategy in a country.1999.

6. World Health Organization, the world health report 2002, reducing risks, promoting healthy life. Geneva: WHO library, 2002

7. Dinas Kesehatan Kota Bandung. Evaluasi Tiga bulanan pelaksanaan MTBS di Puskesmas. Bandung, 2002

8. Dirjen Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Rencana kerja jangka menengah nasional, penanggulangan penumonia balita tahun 2005 – 2009.Jakarta, 2005

9. Dinas Kesehatan Kota Bandung. Profil kesehatan Kota Bandung. Bandung ,2001

(18)

11. Septiani Susilowati., Analisis pemberian jenis obat dan biaya obat pada balita sakit ISPA dengan menggunakan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di puskesmas kota Bandung. Thesis, 2005.

Gambar

Tabel 3.  Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita  Pnemonia Menurut Suhu  Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS
Tabel 4. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita  Pnemonia Menurut Suhu Pada Puskesmas MTBS dan Belum MTBS
Tabel 5 Distribusi Penggunaan Jenis Obat Penderita Bukan Pnemonia Menurut Suhu
Tabel 6. Distribusi Jumlah Jenis Obat Yang diberikan Kepada Penderita  Bukan Pnemonia Menurut Suhu

Referensi

Dokumen terkait

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

Pusat otomotif mobil merupakan wadah fisik yang menampung beberapa kegiatan mengenai otomotif mobil, yaitu kegiatan jual-beli mobil bekas ( dealer) ,

Dengan multimedia informasi yang disajikan menjadi lebih variatif dan menarik Aplikasi ini bertujuan untuk membantu para mahasiswa dalam mempelajari matakuliah Pengantar Sistem

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Oleh karena itu dibuat penulisan ilmiah mengenai pembuatan aplikasi multimedia pariwisata Pulau Bali, dimana akan ditampilkan sajian informasi yang menarik dan interaktif, yang

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Game jaringan Reversi dapat menjadi sarana melatih keterampilan dan kemampuan berpikir, karena selain strategi yang tepat, pemain juga harus memperhitungkan berbagai kemungkinan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa construct yang dibuat dari TPB, berupa Konsekuensi, Norma Subyektif, Faktor Situasional dan Kontrol Perilaku bisa efektif untuk