• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942)"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI PELABUHAN CIREBON:

STUDI EKONOMI POLITIK MASA HINDIA BELANDA

(1930-1942)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

Firman Faturohman

NIM. 1110022000003

PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan sudah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 November 2015

(3)
(4)
(5)

iv

DEDIKASI

(6)

v

UCAPAN TERIMA KASIH

“Setiap tulisan memiliki sejarahnya sendiri”

Kutipan tersebut sedikitnya bisa menggambarkan tentang perjuangan serta perjalanan panjang penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Alhamdulillah adalah kata yang terus terucap dari penulis ketika sudah menyelesaikan kewajiban di akhir masa studi dengan membuat sebuah karya ini.

Banyak rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam merampungkan skripsi yang berjudul: Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942). Namun, semua ritangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dengan usaha, kerja keras dan bantuan “Tangan-tangan Allah” yang ada di mana-mana untuk membantu hamba-Nya yang mengalami kesulitan. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada mereka semua, di antaranya:

1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.

2. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga segalanya menjadi mudah

(7)

vi

mahasiswa di prodi SKI tercinta ini baik yang berkenaan dengan surat menyurat ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

4. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. selaku dosen pembimbing I yang memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta segala kemudahan yang penulis dapatkan ketika menjadi mahasiswa bimbingan beliau.

5. Bunda Imas Emalia, M.Hum. selaku dosen pembimbing II sekaligus pembimbing penulis dalam beberapa event nasional seperti Pekan Nasional Cinta Sejarah (PENTAS) dan Arung Sejarah Bahari (AJARI). merupakan dosen yang membuka wawasan awal penulis tentang dunia kemaritiman.

6. Mas Dr. Didik Pradjoko, M.Hum. Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di Universitas Indonesia (UI) yang ahli di bidang sejarah maritim, yang telah meminjamkan buku-buku terkait sejarah maritim dan membuka wawasan penulis lebih luas lagi tentang sejarah kemaritiman.

7. Penguji I, Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum. Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dosen yang mengispirasi dan menambah wawasan penulis terkait keilmuan sejarah terutama Sejarah Islam. Terlebih tentang pengetahuan mengenai ilmu Arkeologi sebagai ilmu bantu sejarah yang membuat penulis berminat untuk terjun di dalamnya

(8)

vii

Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiswa (FORSA) UIN Jakarta yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis meskipun aktif di organisasi namun wawasan keilmuan harus tetap dijaga dan terus diasah. 9. Dr. Saidun Derani, MA. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi serta bantuan buku-buku yang amat bermanfaat selama masa perkuliahan. 10.Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum. Guru Besar Filologi Islam

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, meskipun belum pernah belajar langsung dengannya dalam perkuliahan formal namun merupakan salah seorang dosen yang mengispirasi penulis. Diskusi-diskusi singkat dalam beberapa pertemuan membuat penulis termotivasi untuk terus belajar dan bekerja keras.

11.Dr. Bart Luttikhuis peneliti dari Koninklijk Instituut voor Taal Land en

Volkenkunde (KITLV) Belanda, yang secara tidak sengaja bertemu saat

penulis mencari sumber di ANRI dan berbicara banyak hal tentang sejarah di Indonesia serta membuka lebih luas lagi wawasan penulis mengenai berbagai hal terkait kesejarahan.

12.Keluargaku, Ibundaku Yoyoh Khoeriyah, Ayahandaku Indra Subekti dan adik tercintaku Farah Nur Arafah yang selalu memberikan dukungan setiap hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan di rumah ini menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter.

(9)

viii

berbagai hal mengenai pelajaran hidup dengan berbagai sudut pandang yang sedikit banyaknya telah membentuk pribadi penulis.

14.Om Max Yusuf Alkadrie, keluarga dari Kesultanan Pontianak yang selalu mensupport penulis agar terus menajdi pribadi lebih baik dan sejarawan yang berani mengungkap fakta.

15.Pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang tak bosan-bosannya membantu penulis dalam penelusuran sumber dan membantu dalam memahami isi dari arsip-arsip masa lalu terutama Bu Hapsari, Bu Rini, Mba Nia, Mas Rudi dan Saudari Tantri (teman seperjuangan penulis dari UGM yang kini telah meniti karir di ANRI).

16.Pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang membantu penulis dalam penelusuran sumber buku dan surat kabar masa lalu.

17.Bapak Ridwan selaku Kepala Sekolah MAN Serpong yang mengizinkan penulis untuk menimba pengalaman mengajar dan berbagi ilmu dengan adik-adik di MAN Serpong, tak lupa juga Bunda Novry dan Pak Sukoyo, guru yang selalu memotivasi penulis dan mengajarkan banyak hal selama menjadi pengajar di MAN Serpong

18.Saudara Hanafi Wibowo, S.Hum. sahabat penulis, teman diskusi, sharing dan bertukar pikiran mengenai berbagai hal dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

(10)

ix

20.Saudari Tika Ramadhini, S.Hum. teman penulis dari Universitas Indonesia yang kini sedang melanjutkan studi S2 di negeri Kincir Angin Belanda, yang memberikan penulis sumber-sumber Belanda serta diskusi terkait sejarah maritim.

21.Saudari Dini Nurlaelasari S.Hum, teman penulis dari Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung yang kini sedang melanjutkan studi S2 di universitas yang sama, teman diskusi yang baik dengan prespektif sejarah yang berbeda dan memberikan sumber-sumber tentang Cirebon.

22.Saudara Dio Rama Aditia, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang telah mau meluangkan waktunya untuk menelusuri jejak masa lalu di Cirebon.

23.Saudara Abel Jatayu, S.Hum. mahasiswa Universitas Diponogoro (UNDIP) Semarang yang telah membuka koneksi dengan Prof. Singgih Trisulistyono dan mengusahakan pengiriman beberapa karya dibidang maritim.

24.Teman-teman seperjuangan di SKI 2010 dan senior-juniornya yang saking banyaknya sehungga tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun penulis merasa harus berterima kasih kepada Nana dan Johan sahabat penulis yang selalu penulis repotkan selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

(11)

x

dan Aziz (Ushuluddin UIN Jogja) yang sudah banyak berbagi pengalaman dan kisah sehingga penulis dapat mengambil ilmu dari disiplin-disiplin ilmu mereka masing-masing.

26.Teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah Kebudayaaan Islam (SKI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa(BEM) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) tempat penulis meluangkan waktu untuk berproses dalam organisasi.

27.Teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiwa (FORSA) tempat penulis belajar untuk memimpin sebuah organisasi, terutama untuk teman seperjuangan di FORSA seperti Lina, Ojan, Aceng, Ines dan Mazda serta Bang Adi selaku pembina.

28.Teman-teman Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI) yang sudah sering membantu terutama Sekretaris Jendral (periode 2011-2013) sdr. Unang dari Universitas Tadulako (UNTAD) Sulawesi Tengah, Sekretaris Jendral (periode 2012-sekarang) sdr. Samantha dan mas Erwin dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang banyak membantu penulis dan membuka jalan penulis untuk bisa masuk mengkaji sejarah dari berbagai prespektif dan sudut pandang di seluruh Indonesia.

(12)

xi

30.Alumni Arung Sejarah Bahari tahun 2012 di Lombok dan Sumbawa – Nusa Tenggara Barat yang mempertemukan penulis dengan mahasiswa sejarah dari seluruh Indonesia yang membahas tentang maritim.

31.Alumni Forum Indonesia Muda (FIM) terutama FIM 16 dan FIM regional dejapu tempat kumpulnya orang-orang hebat dari seluruh penjuru Indonesia dimana motivasi dan aksi nyata untuk membangun negeri tercinta Indonesia akan terus menyala terutama untuk Pak Elmir, Bunda Tatty, Kak Ivan, Adik, Mufti, Arif, Jali, Mubin, Gita, Nafizah, Rias, Euis, Ninette, Risa, Tear, Cenna, Dira dan semua keluarga besar FIM.

(13)

xii ABSTRAK Firman Faturohman

Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942)

Studi ini mengkaji Pelabuhan Cirebon yang menjadi jantung dari perekonomian dan politik masa pemerintahan Hindia Belanda untuk daerah Jawa Barat. Hampir di sebagian besar wilayah di Nusantara basis kekuatan politik dan ekonomi dari Hindia Belanda terletak di daerah pesisir, tak terkecuali Cirebon. Di saat itu, ketika awal abad ke-20, penguasa lokal Cirebon pun telah kehilangan legitimasi politiknya yang diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.

Keinginan bangsa penjajah yang terus menerus mengeksploitasi kekayaan alam Cirebon, salah satunya dengan cara membangun industri gula secara besar-besaran yang kala itu menjadi komoditas primadona di pasaran dunia. Hal tersebut membuat aktifitas maritim yang terjadi di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya semakin ramai dan terus meningkat sampai masa depresi ekonomi melanda dunia tahun 1930. Saat inilah dimulainya masa malaise (kesengsaraan) yang banyak melanda kaum pribumi. Selain itu, pada masa ini dapat dilihat pula usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk tetap menjadikan Pelabuhan Cirebon eksis demi menunjang kepentingan negaranya.

Tema penulisan sejarah yang diambil adalah sejarah maritim, dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik penulis berusaha menjelaskan dinamika yang terjadi di Pelabuhan Cirebon sebelum dan saat terjadinya depresi ekonomi yang berdampak kepada lapisan masyarakat di Cirebon. Penulis juga menemukan adanya kepentingan dari pemerintah Hindia Belanda dan kaum pribumi terhadap Pelabuhan Cirebon, terutama pada komoditas gula dan tembakau yang mempunyai pengaruh kuat bagi eksistensi Pelabuhan Cirebon di saat depresi ekonomi melanda dunia. Selain itu, dapat dilihat dinamika gerakan politik yang terjadi di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya untuk menuntut keadilan dari pemerintah Hindia Belanda. Dijelaskan pula beberapa organisasi massa pergerakan yang berjuang menuntut kemerdekaan dari pemerintah Hindia Belanda. Gerakan itu terus berlanjut hingga akhirnya pasukan tentara Jepang datang untuk pertama kalinya di Pulau Jawa, dengan berlabuh di sekitar daerah

hinterland Pelabuhan Cirebon untuk melakukan penyerangan terhadap Hindia

Belanda.

(14)

xiii

KATA PENGANTAR

Asia Tenggara merupakan wilayah yang menjadi tujuan dari para bangsa di dunia, baik dari Eropa, Asia maupun Timur Tengah. Asia tenggara sebagai perlintasan jalur laut internasional yang melewati semenanjung Malaka hingga ke Maluku telah membuat peradaban-peradaban baru dan hegemoni penguasa lokal terdengar hingga ke luar wilayah yang sempat disebut negeri bawah angin ini, bila penulis meminjam term dari buku karya Anthony Reid.

Keadaan masyarakat yang beragam suku namun ramah dan terbuka kepada bangsa pendatang, serta tempat asal dari komoditas-komoditas yang laku di pasaran dunia pada saat itu membuat banyak pendatang terutama dari Eropa dengan menggunakan jalur laut. Mereka berlomba-lomba mencapai negeri yang subur dan menyimpan kekayaan alam ini. Beberapa kekuatan besar Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Spanyol yang silih berganti berusaha menancapkan hegemoni kekuasaanya di beberapa wilayah Asia Tenggara untuk mengeruk kekayaan alam demi kesejahteraan negeri-negeri mereka di Eropa.

(15)

xiv

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 20

C. Tujuan dan Manfaat ... 21

D. Tinjauan Pustaka ... 23

E. Kerangka Teori dan Pendekatan ... 25

F. Metode Penelitian ... 27

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II KONDISI GEOGRAFIS DAN MASYARAKAT DI CIREBON TAHUN 1930-1942 ... 34

A. Kondisi Geografis ... 34

B. Keadaan Masyarakat Cirebon ... 40

1. Masyarakat Pesisir ... 40

2. Aktivitas Masyarakat Pedalaman (Aktivitas daerah Hinterland)...49

BAB III KONDISI PELABUHAN CIREBON 1930 - 1942 ... 56

A. Penduduk Kota Pelabuhan Cirebon ... 56

B. Peran Penting Pelabuhan Cirebon bagi Pemerintah Hindia Belanda ... 60

(16)

xv

D. Sarana Pelabuhan dan Pendistribusian Komoditas utama Ekspor –

Impor di Pelabuhan Cirebon ... 85

BAB IV GERAKAN POLITIK MASYARAKAT CIREBON HINGGA KEDATANGAN JEPANG ... 90

A. Munculnya Gerakan Politik Masyarakat dan Elite Modern di Cirebon ... 90

B. Pergerakan Politik Pasca Depresi Ekonomi 1930 ... 98

C. Awal Mula Kedatangan Militer Jepang di Pulau Jawa ... 102

BAB V PENUTUP ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Indeks pendapatan perkapita penduduk Pribumi Jawa dan

Madura (1929 = 100 Gulden) 47

Tabel 2 Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen) 48 Tabel 3 Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland

Pelabuhan Cirebon 53

Tabel 4 Penduduk Cirebon 58

Tabel 5 Pelabuhan Induk dan Binaan di Hindia Belanda 67 Tabel 6 Nilai Eksor – Impor tahun 1859 -1869 72 Tabel 7 Presentase Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon Tahun 1914 75 Tabel 8 Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1929 76 Tabel 9 Harga Gula per 100 kg Tahun 1920-1934 78 Tabel 10 Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1932 79 Tabel 11

Paket Volume Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937 80 Tabel 12

Paket Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937 80 Tabel 13

daftar nilai impor Pelabuhan Cirebon tahun 1929 83 Tabel 14 Ikan Asin yang dibongkar di Pelabuhan Cirebon dan Tanjung

(18)

xvii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Pendapatan Perkapita 48

Grafik 2 Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen) 49

Grafik 3 Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland

Pelabuhan Cirebon 54

Grafik 4 Penduduk di Cirebon 58

Grafik 5 Ekspor Pelabuhan Cirebon 1903 -1929 74

(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Gemeente Cirebon Masa Kolonial 37

Gambar 2 Peta Pulau Jawa dan Pembagian Residensi 38

Gambar 3 Foto perahu-prahu nelayan pribumi di Pelabuhan Cirebon 41

Gambar 4 Gambar sero untuk menangkap ikan 43

Gambar 5 Gambar jaring payang 43

Gambar 6 Kapal nelayan masyarakat di pelabuhan Cirebon 44

Gambar 7 Jaring muroami 45

Gambar 8 Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1940 56

Gambar 9 Keadaan Pelabuhan Cirebon saat kapal-kapal berlabuh di Pelabuhan 65 Gambar 10 Foto pengawas Pelabuhan Cirebon sedang mengawasi kapal-kapal yang

sedang berlabuh 66

Gambar 11 Kantor Pelabuhan Cirebon 70

Gambar 12 Salah satu kapal pengangkut komoditas berlabuh di Pelabuhan Cirebon 73 Gambar 13 Keadaan bongkar muat kapal di Pelabuhan Cirebon 73

Gambar 14 Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1930 86

Gambar 15 Foto keadaan rel kereta api yang bermuara di Pelabuhan Cirebon untuk

kebutuhan sarana distribusi komoditas 87

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wilayah perairan Indonesia mencakup hampir dari 2/3 wilayah keseluruhan dari Negara Indonesia. Fakta tersebut membuat Negara Indonesia dikenal sebagai archipelagic state (negara bahari atau buana bahari).1 Sebagai negara bahari, Indonesia seharusnya tidak menggunakan kata negara kepulauan namun lebih menggunakan konsep “laut utama” atau heartsea karena setidaknya ada tiga zona laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda.

Ketiga zona laut utama di Indonesia yang penulis sebutkan di atas, wilayah kawasan Laut Jawa meliputi kawasan Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara merupakan kawasan jantung perdagangan laut di wilayah Indonesia bahkan Asia Tenggara.2 Menurut penulis kajian sejarah mengenai kawasan laut dan hal-hal yang terkait di dalamnya, merupakan aspek kajian sejarah maritim yang tepat bila dikaji menggunakan pendekatan ekonomi politik.

Saat ini penulisan sejarah maritim sangat penting bagi penemuan kembali jati diri Negara Indonesia yang kini di tahun 2014 telah memiliki visi sebagai “poros maritim dunia”, artinya Indonesia menjadi pusat dari kegiatan maritim di

1

Archipelagic berasal dari kata “archipelagus” yang berasal dari kata archi yang berarti utama dan pelagus yang berati laut, sehingga memiliki arti “laut utama”. Maka dapat disimpulkan archipelagic state bukan negara kepulauan melainkan negara bahari. Lihat A. M. Djuliati Suroyo, dkk., Sejarah Maritim Indonesia 1 Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17 (Semarang: Jeda, 2007), h. 9. Lihat juga A. B. Lapian, “Dunia Maritim sebagai Unit Kajian Sejarah”. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Metode Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Sejarah di Surabaya, 13-17 Juli 2005, h. 4.

2

(21)

2

dunia. Maka penulisan sejarah yang berorientasi kepada sejarah maritim menjadi sebuah kebutuhan wajib dipenuhi civitas akademika tidak terkecuali di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, sangat disayangkan bila melihat 34.202 koleksi skripsi di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta3 masih sedikit pembahasan mengenai sejarah maritim bahkan penulis belum menemukan skripsi mengenai pelabuhan di pesisir-pesisir yang memiliki peran penting dalam penulisan sejarah maritim karena memilki fungsi ekonomi, politik, dan budaya.

Bila melihat jauh ke belakang tentang maritim Indonesia, sebenarnya sudah memiliki gen maritim jauh sebelum negara ini memproklamirkan kemerdekaanya. Zaman kerajaan-kerajaan Islam yang bertempat di pesisir pantai seperti Kesultanan Malaka, Samudera Pasai, Aceh, Palembang, Jambi, Banten, Cirebon, Demak, Pontianak, Banjarmasin, Gowa Tallo, Ternate, dan Tidore merupakan kerajaan-kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan maritim di Indonesia (dahulu masih Nusantara) pada saat itu dan memiliki kerajaan-kerajaan tersebut memiliki pelabuhan yang baik untuk kegiatan maritim. Setelah habis era kerajaan maritim yang bertempat di pesisir pantai mulai muncul era penjajah Eropa yang kemudian menguasai pelabuhan-pelabuhan kerajaan dan aktivitas maritim di wilayah pesisir yang selanjutnya menguasai pula hasil kekayaan alam di bumi nusantara. Kejadian yang terjadi yang berhubungan dengan aktivitas maritim seperti yang penulis ungkapkan merupakan salah satu kajian dari sejarah maritim.

A. B. Lapian dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Sejarah Maritim mengatakan “hal terpenting dari sejarah maritim adalah pertumbuhan wilayah laut menjadi satu kesatuan sebagai akibat adanya interaksi kultural,

3

(22)

3

sosial, ekonomi, dan politik antara penduduknya, yang kemudian meluas karena berinteraksi dengan sistem-sistem lain sehingga terlibat dalam jaringan maritim Nusantara, bahkan masuk dalam sistem ekonomi dunia”,4 Dalam mengkaji sejarah maritim, penulis menemukan banyak kawasan perairan di Nusantara yang dapat dikaji dan diteliti, seperti beberapa zona laut utama yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Selain itu banyak pula pelabuhan yang tersebar di pulau-pulau dan zona-zona laut di Indonesia. Setelah menelusuri sumber, literatur, dan letak geografis akhirnya untuk penelitian ini penulis akan membahas salah satu kawasan di perairan zona Laut Jawa yang masuk dalam wilayah Pulau Jawa serta merupakan salah satu zona perdagangan dan perlintasan di kawasan Laut Jawa yakni Pelabuhan Cirebon.

Pelabuhan Cirebon yang terletak di tengah-tengah jalur perlintasan antara Batavia menuju Semarang ditopang dengan kondisi geografis yang baik terletak di teluk, membuat Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu tempat yang aman untuk berlabuhnya kapal untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke pelabuhan di sebelah timur maupun singgah untuk menjajakan barang dagangan. Peran Pelabuhan Cirebon semakin penting karena dari pelabuhan inilah mula-mula diangkutnya komoditas ekspor seperti gula yang saat itu menjadi primadona di pasaran Eropa dengan nilai jual jutaan Gulden.5

Sementara itu, di bidang impor Pelabuhan Cirebon tidak kalah penting dengan menempati posisi teratas untuk beberapa komoditi impor seperti tembakau yang mengalahkan tiga pelabuhan besar lainnya seperti Pelabuhan Tanjung Priok,

4 Adrian B. Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, pidato pengukuhan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, (Depok: 4 Maret 1992), h. 16.

5

(23)

4

Semarang, dan Surabaya; khususnya ketika import tembakau menanjak sekali tahun 1930 (5.851.277 Gulden) berkat adanya pabrik rokok British American

Tobacco di Cirebon.6 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami betapa

pentingnya kajian terkait Pelabuhan Cirebon yang memiliki peran begitu segnifikan dalam aktivitas kemaritiman, tidak hanya dalam jaringan di kawasan lokal namun juga jaringan aktivitas maritim internasional.

Pelabuhan Cirebon merupakan suatu wilayah yang terletak di Pesisir Utara dari Pulau Jawa dan kini masuk ke dalam wilayah Kotamadya Cirebon Provinsi Jawa Barat. Cirebon juga menjadi salah satu basis penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat dengan Kesultanan Cirebon sebagai motor penggeraknya.

Wilayah Cirebon mulanya merupakan cakupan dari vasal7 Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Saat Kerajaan Pajajaran diperintah oleh Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi, Islam mulai menyebar di daerah Cirebon dan sedikit demi sedikit mulai ada keinginan untuk melepaskan diri dari vasal Kerajaan Pajajaran karena mulai timbulnya kekuasaan politik Islam di Cirebon.8

Maka sejak tahun 1479 Kesultanan Cirebon tidak lagi menjadi vasal dari Kerajaan Pajajaran, melainkan berdiri sendiri sebagai Kesultanan Islam.9 Tokoh sentral yang menjadikan Cirebon lepas dari vasal Pajajaran serta menguatkan

6 “Memorie Residen Cirebon CJAE T Hiljee, 3 Juni 1930” dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), (Memorie van Overgave) Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat) (Jakarta: ANRI, 1976), h. CL.

7

(24)

5

Islam sebagai corak dalam Kesultanan Cirebon ini adalah Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Selain menjadi Raja Kesultanan Cirebon pertama juga merupakan ulama pemimpin agama yang merupakan bagian dari sembilan tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang sering disebut dengan Wali Songo.10

Wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon pada masa awal membentang dari ujung barat Pulau Jawa hingga perbatasan Mataram di Jawa Tengah dan meliputi sejumlah daerah penting seperti Banten, Sunda Kelapa, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Ciamis, dan sebagainya. Semakin luasnya kekuasan Kesultanan Cirebon, maka Sunan Gunung Jati melantik putra sulungnnya yakni Pangeran Sabakingkin atau yang lebih dikenal sebagai Maulana Hasanudin menjadi penguasa di Banten pada tahun 1526 guna menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.11

Seiring berjalannya waktu Kesultanan Cirebon di Jawa Barat dibagi menjadi 2 (dua) daerah. Sebelah timur Sungai Citarum termasuk ke dalam Kesultanan Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu dan sebelah barat Sungai Citarum masuk ke dalam wilayah Banten dipegang oleh Maulana Yusuf.12

Letak Kesultanan Cirebon yang berada di Pesisir Utara Pulau Jawa, menjadi suatu kewajiban memiliki Pelabuhan sebagai pintu gerbang terjalinnya kontak sosial dengan bangsa yang lain dari jalur laut.13 Kesultanan Cirebon memiliki beberapa pelabuhan di wilayahnya sebagai wadah serta pusat dari aktivitas maritim untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya. Di antaranya yang paling

10

Slamet Muljana. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. (Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara,2005), h. 72.

11

M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon, h. 6. 12

Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon, h. 12. 13

(25)

6

dikenal pada saat itu adalah Pelabuhan Muara Jati dan Pelabuhan Talang (sekarang Pelabuhan Cirebon).14

Berdasarkan berita Tome Pires dapat diketahui bahwa Cirebon sudah memiliki pelabuhan yang baik dengan adanya 3-4 jung yang berlabuh di pelabuhan tersebut. Pires juga menyebutkan bahwa di pelabuhan ini terdapat beras dan bahan makanan lain dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, Pires juga menyebutkan bahwa jung bisa masuk ke daerah pelabuhan dengan memanfaatkan sungai yang ada di sekitar pelabuhan.15 Bila melihat penjelasan dari Pires, kuat dugaan pelabuhan yang dimaksud adalah Pelabuhan Muara Jati.

Selain Pelabuhan Muara Jati, Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati juga membangun pelabuhan baru yang diberi nama Pelabuhan Talang.16 Pelabuhan baru ini berkembang dengan cepat dan sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang yang berasal dari luar wilayah Cirebon, terutama dari Cina. Letak dari pelabuhan baru ini berjarak kurang lebih 3 KM dari Istana Pakungwati (sekarang dikenal sebagai Keraton Kasepuhan), dimungkinkan menjadi salah satu faktor utama berkembang pesatnya pelabuhan tersebut.

Adanya Pelabuhan Cirebon telah mendorong terjadinya akivitas maritim seperti interaksi perdagangan yang terjadi antara penduduk pribumi dengan pendatang yang berasal dari daerah foreland (daerah seberang) seperti India dan Cina. Pelabuhan Cirebon sangat terbantu dengan adanya daerah hinterland

14

Suroyo, Sejarah Maritim Indonesia 1, h. 123-124. 15

Tome Pires, Suma Oriental, h. 256-257.

16

(26)

7

penghasil pertanian seperti Majalengka dan Kuningan yang menghasilkan komoditas gula, kopi, teh, dan indigo17 yang dibutuhkan oleh bangsa pendatang.18

Dampak selanjutnya yang dihasilkan dengan adanya interaksi perdagangan penduduk pribumi dan kaum pendatang di Pelabuhan Cirebon, membuat minat dari bangsa-bangsa luar semakin besar untuk datang ke Cirebon. Ketika bangsa pendatang singgah di Cirebon sembari menunggu angin musim yang membawa mereka ke daerah asal mereka, para pendatang ini juga mulai bermukim dan bertempat tinggal di Cirebon sehingga terjadi pula diaspora etnis serta akulturasi budaya antara budaya lokal Cirebon dan budaya yang berasal dari luar Cirebon.19

Kedatangan para pedagang ke Pelabuhan Cirebon dan bermukimnya para pendatang dari luar Cirebon menjadikan pelabuhan ini salah satu pelabuhan yang ramai dengan adanya hubungan jaringan perdagangan lokal, regional, dan internasional (terutama Arab dan Cina). Hubungan perdagangan baik yang terjalin di antara orang-orang Arab dan Cina dengan Pelabuhan Cirebon dapat dilihat dari masih ada dan berkembangnya pemukiman komunitas Arab di sepanjang Jalan Panjunan dan pemukiman komunitas Cina di sepanjang Jalan Pasuketan.20

Banyak pendatang yang datang ke bumi Nusantara, tidak hanya dari kalangan Arab dan Cina melainkan juga bangsa Eropa ke wilayah ini melalui pintu gerbang pelabuhan-pelabuhan yang ada di Nusantara. Bangsa Eropa yang mulanya datang untuk berdagang namun lama kelamaan merasa nyaman dengan

17

Indigo merupakan tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami dan merupakan salah satu komoditas unggulan selain kopi dan gula (tebu). Lihat Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 43.

18

J.C van Leur, Indonesia Trade and Society (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 281-282. Lihat juga Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 51-54.

19

Paramita R. Abdurachman, Cerbon (Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982), h. 32.

20

(27)

8

bumi Nusantara yang subur sehingga menjadikan mereka berniat untuk memiliki dan memonopoli semua perdagangan di Nusantara, termasuk di wilayah Cirebon.21

Berdirinya perusahaan dagang milik Belanda yaitu Vereenigde

Oost-Indische Compagnie (VOC)22 tahun 1602 menjadi titik awal sekaligus bukti nyata

dari keinginan bangsa Eropa yang ingin menguasai perdagangan di Nusantara. Berbagai cara dilakukan oleh VOC untuk mengeruk semua keuntungan dagang. VOC banyak membuat kebijakan yang menguntungkan mereka tetapi merugikan pribumi bahkan VOC juga berusaha untuk ikut serta dalam pemerintahan lokal dan akhirnya tidak sedikit pemerintah lokal mereka kuasai.23

Kesultanan Cirebon merupakan salah satu pemerintah lokal yang pemerintahannya berusaha untuk dikuasai oleh VOC. Salah satu momentum VOC untuk menguasai Kesultanan Cirebon setelah mangkatnya Penguasa Cirebon terakhir Panembahan Girilaya. Ditangkapnya Panembahan Girilaya dan dikenakan status tahanan rumah oleh Amangkurat II akibat kecurigaan atas loyalitas Panembahan Girilaya sebagai sekutu Mataram. Panembahan Girilaya dimakamkan di Bukit Girilaya,24 namun kedua Putranya yaitu Pangeran Martawidjaja dan Kartawidjaja tidak diperbolehkan pulang kembali ke Cirebon.25

21

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 27.

22

Vereenigde Oost-Indische Compagnie(VOC)merupakan Perhimpunan Dagang Hindia Timur yang didirikan oleh para Pedagang Belanda pada tahun 1602. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), h. 71.

23

Anthony Ried, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdaganagn Global (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 317.

24

Bukit Girilaya sebuah tempat dimakamkannya Panembahan Girilaya, dekat dengan makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. (Wawancara dengan Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum)

25

(28)

9

Sehingga status dari kekuasaan di Cirebon dijabat oleh putra bungsu yakni Pangeran Wangsakerta.

Pangeran Wangsakerta yang menjalankan administrasi pemerintahan di Cirebon, meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyelamatkan kedua kakaknya yang ditahan di Mataram. Berkat kerjasama Sultan Ageng Tirtayasa dan pemberontak Trunojoyo dari Madura, kedua Pangeran Cirebon tersebut berhasil diselamatkan dan dibawa pulang. Pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dengan kapasitasnya selaku Sultan Banten memutuskan melantik Pangeran Martawidjaja sebagai Sultan Sepuh, Pangeran Kartawidjaja sebagai Sultan Anom dan Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Carbon. Pembagian wilayah Cirebon ini dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa sebagai langkah preventif guna mencegah perebutan kekuasaan antara anak-anak Panembahan Girilaya tersebut.26

Pembagian wilayah Cirebon yang awalnya dilandasi atas niat baik tersebut, ternyata malah mengundang musuh baru, yaitu VOC yang berhasrat menguasai Cirebon dengan politik adu domba/devide et impera di antara para Sultan yang ada di Cirebon tersebut. Seiring semakin panasnya gesekan internal di Cirebon membuat VOC semakin di atas angin untuk melancarkan siasatnya sebagai penengah dari perselisihan. Inilah titik awal dari penancapan pengaruh VOC dalam politik Kesultanan Cirebon dan selanjutnya sedikit demi sedikit menguasai pemerintahan maupun perekonomian di Cirebon.27

Lemahnya mental dan pengaruh sultan-sultan Cirebon dalam menjalankan roda pemerintahan dan penyelesaian masalah, membuat pemerintahan Kesultanan Cirebon memiliki rasa ketergantungan kepada VOC dalam menyelesaikan hal-hal

26

Yoseph Iskandar. Sejarah Banten. (Jakarta : Tryana Sjamoen,2001),h.216 27

(29)

10

terkait pemerintahan. Adanya perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1681 membuat Kesultanan Cirebon secara politik berada di bawah protektorat VOC.28

Pembubaran VOC, setelah mengalami kebangkrutan, oleh rezim Belanda Pro-Prancis yaitu Republik Bataaf pada 1799,29 mengakibatkan terjadinya akuisisi atas semua aset VOC sebelumnya dan Pemerintah baru pun melanjutkan monopoli dagang serta campur tangan atas wilayah yang pernah ditundukkan oleh VOC. Dengan membuat perjanjian-perjanjian dan kebijakan-kebijakan yang semakin melemahkan kekuasaan lokal yaitu Kesultanan Cirebon bahkan menyengsarakan penduduk di wilayah ini.

Perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1681, salah satu contohnya, memberikan kekuasaan pada VOC untuk melakukan intervensi dalam kebijakan-kebijakan domestik Kesultanan Cirebon (intern kesultanan), termasuk juga kebijakan ekonomi khususnya yang menyangkut Pelabuhan Cirebon sebagai sumber pemasukan kas Kesultanan Cirebon. Hal ini dikarenakan Pelabuhan Cirebon sudah diibaratkan sebagai jantung dari perekonomian dan aktivitas maritim yang ada di Cirebon. Keadaan di Pelabuhan Cirebon sama seperti halnya beberapa wilayah pesisir yang juga menjadi basis kekuasaan lokal (pada saat itu kekuasaan lokal kerajaan-kerajaan Islam) mulai perlahan-lahan diambil alih dan dilemahkan bahkan ada yang sampai mundur ke pedalaman dan tidak lagi memiliki akses terhadap pelabuhan yang ada di pesisir-pesisir. Bahkan Sumber Belanda menyebutkan bahwa pada tahun 1700-an Cirebon digambarkan sebagai negeri pedalaman (inlandsche stad) karena kelemahan para sultan dalam

28

Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon., h. 40. 29

(30)

11

mengelola pelabuhan dan daerah yang dilecehkan (het geminachte strandnest) karena lemahnya posisi Cirebon dalam Percaturan Politik Regional.30

Kenyataan ini semakin membuat Hindia Belanda lebih leluasa kekuasaan serta dominasinya di wilayah pesisir dan pelabuhan-pelabuhan.Selain itu, kini Cirebon bukan lagi menghadapi pedagang, tetapi sebuah negeri Eropa yang sedang bergiat menancapkan kuku kolonialismenya lebih dalam. Apalagi, Benua Eropa sejak tahun 1792 sedang berada dalam gejolak militer besar, di mana Prancis bertempur melawan Aliansi Besar yang terdiri atas Kekaisaran Romawi Suci, Kerajaan Prussia, Kerajaan Inggris Raya, dan Kekaisaran Rusia. Konflik ini tentu berdampak hingga koloni-koloni milik negara negara Eropa yang ikut terlibat dalam konflik ini.31

Republik Bataaf pun dirombak kembali oleh Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte. Alasannya, ia ingin Belanda menjadi garis pertahanan pesisir dalam menghadapi Inggris, maka ia menamai ulang negara tersebut menjadi „Kerajaan Holland‟ dan menobatkan adiknya, Louis Bonaparte menjadi raja di sana.32 Herman Willem Daendels dikirim oleh Raja Louis Bonaparte ke Nusantara menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1808-1811, dia kemudian mulai memobilisasi pertahanan Nusantara (Jawa sebagai pusatnya) dengan membuat jalan dari Anyer hingga Panarukan sepanjang seribu kilometer yang lebih dikenal sebagai „De Groote Postweg’.33

30

Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919: 407 31

Gregory Fremont-Barnes, The French Revolutionary Wars (Oxford : Osprey Publishing, 2001), h.17.

32

Martijn van der Burg, 'Transforming the Dutch Republic into the Kingdom of Holland: the Netherlands between Republicanism and Monarchy (1795-1815)'. European Review of History (2010). vol.17 no.2, h. 151–170

33

(31)

12

Alasan Daendels membuat sistem pertahanan terpadu di Pulau Jawa, dikarenakan adanya ancaman dari George Wilhelm Friedrich von Hanover yang bergelar “Raja Inggris Raya dan Irlandia, Adipati Brunschwick-Luneburg dan Elektor Kekaisaran Romawi Suci” yang juga adalah paman dari pemimpin Belanda pada masa VOC yaitu Stadtholder Willem V. Angkatan laut Inggris sudah berhasil memblokir jalur laut di sekitar pulau Jawa sehingga hanya pertahanan darat Jawa saja yang dikosentrasikannya untuk menahan serangan Inggris.34

Ketika keadaan di Eropa sedang mengalami peperangan yang dilancarkan oleh Kekaisaran Prancis dengan Napoleon sebagai aktor utamanya, negeri induk dari penjajah, yakni Belanda telah mengalami kekalahan atas Prancis sehingga membuat kekuasaan Hindia Belanda beralih ke tangan Inggris dari tahun 1811-1816. Keadaan ini terjadi karena kekalahan Belanda atas Prancis tersebut membuat Stadtholder Willem V, melarikan diri dan meminta perlindungan Inggris, maka berdasarkan kesepakatan yang disebut dengan „surat-surat kew‟,35 kekuasaan daerah jajahan Belanda beralih ke Inggris.36 Pada tahun 1813 ketika wilayah Hindia Belanda dikelola oleh Inggris, kekuasaan Kesultanan Cirebon yang sebelumnya sudah terbagi menjadi beberapa kesultanan, kemudian oleh pemerintah Inggris tidak lagi diakui legitimasi kekuasaan dari Kesultanan Cirebon tersebut baik di bidang ekonomi maupun politik karena sudah masuk dalam

34 William James.The Naval History of Great Britain: From the Declaration of War by France in 1793 to the Accession of George IV. (London: R. Bentley,1847), h.27.

35 “Surat-surat kew” diambil dari nama sebuah daerah di Inggris yang bernama „Kew‟ di dekat London,dinamakan surat Kew sebab saat terjadi serangan oleh Napoleon, Willem V dari negeri Belanda berhasil lolos dari serangan pasukan prancis dan melarikan diri ke kerajaan inggris di daerah kew dekat London. Dia mengeluarkan surat/dokumen dari Kew yang memrintahkan agar para pejabat jajahan belanda menyerahkan wilayah mereka kepada Pamannya, Raja Inggris George Wilhelm Friedrich von Hanover

36

(32)

13

lindungan Hindia Belanda sebelum kekalahan Belanda atas Prancis.Untuk lebih leluasa menjalankan dominasinya di Cirebon maka dihapuslah Kesultanan Cirebon oleh Raffles yang menjabat sebagai Letnan-Gubernur Jawa saat itu. Maka sejak saat itulah Kesultanan Cirebon kehilangan legitimasi politik dalam pemerintahan di Cirebon dan hanya menjadi pemangku adat saja.37

Pasca pemerintahan singkat Inggris, berdasarkan hasil Konvensi London tahun 1814, Hindia Belanda diserahkan kembali kepada Kepangeranan Belanda Bersatu pada tahun yang sama dengan syarat menyerahkan daerah kekuasaan VOC seperti Semenanjung Malaya dan Afrika Selatan sebagai gantinya.38 Setelah mendapatkan penguasaannya kembali di Nusantara termasuk di wilayah Cirebon, selanjutnya Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu pusat perekonomian dan aktivitas maritim yang dikelola sesuai dengan kepentingan Hindia Belanda.

Di lain pihak, penghapusan legitimasi politik Kesultanan Cirebon ketika penjajahan masih dipegang oleh pemerintah Inggris, membuat Kesultanan Cirebon tidak bisa berbuat apa-apa di daerah yang dahulu pernah dikuasainya dan kini berpindah ke pemerintah Hindia Belanda kembali.39

Mangkatnya para sultan generasi pertama dan situasi nyaman yang didapatkan oleh sultan dan keluarganya menjadikan ada rasa malas serta keengganan para penerusnya untuk mengurus politik pemerintahan kesultanan di wilayah Cirebon. Sehingga pada tahun 1880-an, Cirebon diubah menjadi

37

Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon, h. 40. 38

H. R. C. Wright. 'The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824'. The Economic History Review, New Series, Vol. 3, No. 2 (1950), h. 229-239

39

(33)

14

karesidenan di bawah pemerintah Hindia Belanda guna mempermudah administrasi pemerintahan.40

Setelah menjadi sebuah residensi Cirebon, jabatan kepala residen dan asisten residen diduduki orang-orang Belanda, sementara bagian jabatan yang mengelola distrik-distrik di bawah residen diduduki oleh orang-orang pribumi (pangreh praja) yang dipimpin oleh bupati. Perlu diketahui bahwa para bupati di Cirebon ini tidak diambil dari keluarga sultan melainkan dari berbagai latar belakang seperti yang dahulunya abdi dalem di kesultanan lalu kemudian diangkat menjadi bupati. Sultan-sultan yang sebelumnya mempunyai legitimasi politik memutuskan mengundurkan diri dan hanya menjadi pelindung tradisi kesenian lokal seperti membatik dan mengukir kayu dengan alasan pragmatis bahwa mereka tak memiliki kekuatan militer yang memadai guna menentang Belanda secara terang-terangan.41

Sementara itu, keadaan di Pelabuhan Cirebon menjadi kian penting bagi pemerintahan Hindia Belanda karena semakin berkembangnya aktivitas perdagangan di wilayah Cirebon, tersedianya kekayaan alam di wilayah ini terutama daerah hinterland menjadi nilai lebih tersendiri untuk semakin menunjang daerah Cirebon sebagai daerah pemasok hasil bumi (Wingewest) bagi pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya dengan keadaan alam Cirebon yang subur membuat pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk mengeksploitasi hasil alam dengan menjalankan sistem taman paksa pada tahun 1830 untuk menambah nilai ekonomis yang masuk ke kantong Hindia Belanda meskipun

40

Abdurachman, Cerbon, h.63. 41

(34)

15

mengakibatkan terjadinya kelaparan besar di Cirebon pada tahun 1844.42 Selain itu, adanya tanam paksa membuat makin meningkatnya persaingan ekonomi global yang bersifat liberal dalam menjual hasil-hasil bumi yang ada di Cirebon, maka sejak tahun 1858 dikeluarkanlah keputusan bahwa Pelabuhan Cirebon menjadi pelabuhan yang menjalankan fungsi ekspor dan impor yang dikelola oleh seorang haven en equipagemeester43dari kalangan Belanda.

Setelah adanya penguasaan oleh pemerintah Hindia Belanda atas Pelabuhan Cirebon, maka segala urusan terkait aktivitas maritim seperti perdagangan dan pelayaran kapal yang dilakukan oleh kapal pribumi maupun kapal asing harus memiliki izin yang diberikan oleh permerintahan Hindia Belanda.44 Dikuasainya Pelabuhan Cirebon oleh pemerintah Hindia Belanda menjadikan pula sentral ekonomi dari Kesultanan Cirebon terganggu karena tidak ada lagi pemasukan dari bea cukai pelabuhan dan aktivitas ekonomi sebelumnya masuk ke Kesultanan Cirebon beralih menjadi pendapatan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini karena penguasaan dari Pelabuhan Cirebon berpindah tangan ke pemerintah Hindia Belanda yang selanjutnya Pelabuhan Cirebon dijadikan sebagai pusat pemerintahan dari Hindia Belanda dalam bidang ekonomi di wilayah ini.45

42

Cornelis Fasseur. The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System. (New York : Cornel University Press,1992), h.74. Lihat juga Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 21.

43

Yang dimaksud Haven en Equipameester adalah Kepala Pelabuhan dan Perlengkapan Kapal, dahulunya jabatan ini terkenal dengan sebutan Syahbandar sebagai seorang kepala yang mengelola pelabuhan. Lihat Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 81.

44 Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 140. 45

(35)

16

Selain itu pemanfaatan daerah hinterland yang dijadikan perkebunan tebu (gula) dan kopi sebagai pemasok komoditas utama ekspor Pelabuhan Cirebon semuanya diatur oleh pemerintahan Hindia Belanda sehingga membuat para pedagang pribumi dan pemilik lahan menderita karena kebijakan pemanfaatan lahan tersebut lewat penyewaan paksa yang dilakukan oleh aparat pejabat desa yang juga merupakan perpajangan tangan Hindia Belanda.46 Kebijakan ini tidak lain adalah untuk menguntungkan pemerintahan Hindia Belanda dengan meningkatkan produksi dari komoditas ekspor yang laku di pasaran dunia dan selanjutnya di ekspor melalui Pelabuahan Cirebon

Memasuki tahun 1924, keluarlah peraturan yang menjadikan Pelabuhan Cirebon dikategorikan kedalam pelabuhan kecil (kleine haven) karena dianggap intensitas kegiatan ekonomi dan ekspor-impor Pelabuhan Cirebon yang mengakomodir produk dari daerah hinterland masih kalah saing dengan Pelabuhan Semarang sebagai pelabuhan besar. Hal ini menjadikan Pelabuahn Cirebon berada di bawah binaan dari Pelabuhan Semarang.47 Selain itu juga penulis rasa, bahwa secara de facto masih adanya Kesultanan Cirebon yang letaknya masih dekat di wilayah pesisir menjadi kekhawatiran tersendiri, meskipun para sultan sudah menjadi mitra dari Hindia Belanda, keberadaan ini yang membuat kekuasaanya di hati masyarakat Cirebon masih tetap ada sebagai penguasa masyarakat Cirebon. Sikap ini yang menurut hemat penulis bisa

dan memudahkan para pedagang dari kawasan foreland dalam menjalani aktivitas ekonomi lebih dekat.

46

Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 62.

47

(36)

17

dijadikan faktor atau alasan lain mengapa Pelabuhan Cirebon masih eksis walaupun dikategorikan sebagai pelabuhan kecil.

Meskipun Pelabuhan Cirebon ditetapkan menjadi kleine haven namun, pelabuhan ini tidak kehilangan eksistensinya dan masih menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Pulau Jawa pada awal abad ke-20, setidaknya sekalipun terjadi depresi ekonomi tahun 1930 yang menerpa dunia. Hal ini disebabkan pemanfaatan daerah hinterland dari Pelabuhan Cirebon masih dikelola dengan baik untuk kepentingan Hindia Belanda dan menghasilkan komoditi yang menjadi primadona pada saat itu yakni tebu, kopi, dan indigo. Dengan demikian dikategorikannya Pelabuhan Cirebon sebagai kleine haven dan binaan dari Pelabuhan Semarang tidak begitu menghambat Pelabuhan Cirebon untuk berkembang serta bisa mengimbangi dari 3 pelabuhan besar yang lainnya atas beberapa komoditas ekspor-impor.

Betapa vitalnya peran dari adanya Pelabuhan Cirebon yang bisa mempengaruhi sektor ekonomi, politik, dan agama di wilayah Cirebon. Kegiatan maritim tidak saja dengan kalangan domestik seperti simpul aktivitas pesisir utara Pulau Jawa namun jauh lebih luas lagi hubungannya dengan jaringan internasional, seperti yang dikemukakan oleh A.B. Lapian bahwa fungsi pelabuhan dalam negara kepulauaan sangat penting di antaranya adalah penghubung maritim (laut) dan darat.48 Maka dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai Pelabuhan Cirebon yang di dalamnya ada kepentingan pemerintah Hindia Belanda sebagai pemegang kekuasaan pada saat itu dan kalangan pribumi sebagai pihak

48

(37)

18

terjajah yang memiliki hubungan (kepentingan) pula terhadap Pelabuhan Cirebon baik langsung maupun tidak langsung, terlebih ketika terjadinya depresi ekonomi di Cirebon, yang ternyata mampu bertahan hingga masa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Tahun 1930-1942 dijadikan rentangan waktu yang dikaji oleh penulis karena tahun 1930 merupakan masa dimulainya depresi ekonomi. Ketika Hindia Belanda baru saja menerapkan beberapa kebijakan di daerah hinterland

untuk kepentingan pelabuhan seperti penanman gula secara besar-besaran untuk mendpatkan untung yan besar pula, namun kesalahan prediksi yang dilakukan Hindia Belanda karena datangnya depresi ekonomi yang tak diduga sebelumnya mengakibatkan dampak negatif kepada pemerintah Hindia Belanda dan pribumi di Cirebon dalam berbagai aspek kehidupan. Keadaan tersebut menimbulkan kesenjangan di masa yang sulit ekonomi makin terlihat sehingga tuntutan-tuntutan tentang perbaikan taraf hidup makin terdengar dan memunculkan gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia, gerakan-gerakan itu hadir dari masyarakat di sekitar Pelabuhan Cirebon dan daerah hinterlandnya, selain itu pula dapat dilihat peran daerah hinterland Pelabuhan Cirebon yang tidak hanya memiliki peran ekonomis tetapi juga peran dalam pertahanan keamanan bila dikelola dengan baik. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis menganggap penting untuk menulis tentang Pelabuhan Cirebon. Dalam hal ini penulis mengambil judul: Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda

(38)

19

Pelabuhan Cirebon kini merupakan salah satu Pelabuhan yang tetap eksis melakukan kontak akivitas sosial dan ekonomi bila dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan yang dahulu sempat ada di daerah atau berdekatan dengan daerah Cirebon. Ditambah dengan adanya sokongan dari daerah hinterland

Pelabuhan Cirebon menjadikan Cirebon sebagai salah satu Pelabuhan penting pada masa Hindia Belanda. Terlepas dari eksistensi Pelabuhan Cirebon ini yang ternyata pada tahun 2004 di perairan Cirebon terjadi penemuan harta karun bawah laut terbesar yang pernah ditemukan di daerah Asia yang berasal dari kapal yang tenggelam di perairan tersebut.49 Penemuan harta karun bawah laut tersebut yang dilelang tahun 2010 setidaknya bisa menambah gambaran dan informasi berharga bahwa betapa pentingnya Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan internasional yang memiliki peranan cukup besar serta menjadi tujuan dari kedatangan bangsa-bangsa dari luar Nusantara termasuk penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Belum adanya pelabuhan besar yang mengakomodir jalur laut Provinsi Jawa Barat pun menjadi menarik bila diadakan kajian tersendiri sebab di Provinsi Jawa Barat sendiri menurut hemat penulis, kebutuhan akan adanya pelabuhan besar yang mengakomodir aktivitas laut di daerah Jawa Barat sangat penting, dalam hal ini Pelabuhan Cirebon memiliki peluang besar untuk kembali menjadi sebuah Pelabuhan Besar bila kembali menelisik tarikan sejarah masa lalu. Dari pemaparan di atas diidentifikasi ternyata banyak masalah yang terjadi di Pelabuhan Cirebon ataupun wilayah Cirebon itu sendiri. Seperti masalah politik Kesultanan Cirebon, etnis pendatang yang masuk ke Cirebon memalui Pelabuhan

49

(39)

20

Cirebon, dan masalah tentang eksistensi Pelabuhan Cirebon saat terjadi depresi ekonomi.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, masalah pokok yang akan penulis kaji dalam skripsi ini adalah sejauh mana eksistensi Pelabuhan Cirebon ketika depresi ekonomi melanda seluruh dunia hingga berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda. Tentunya akan dibahas proses sebelum maupun sesudah terjadi depresi ekonomi dengan melihat kebijakan Pemerintahan Hindia Belanda terkait dengan Pelabuhan Cirebon, yang berdampak terhadap dinamika yang terjadi dalam masyarakat Cirebon baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis juga ingin menjelaskan dampak dari kebijakan Hindia Belanda masa depresi berdasarkan sumber-sumber sejarah, terhadap eksistensi Pelabuhan Cirebon dalam rentang tahun 1930-1942.

Pembatasan periode sekitar tahun 1930-1942 dipilih karena saat terjadi masa-masa sulit karena datangnya depresi ekonomi maka kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda terkait dengan Pelabuhan Cirebon maupun yang berhubungan dengan Pelabuhan Cirebon seperti pembatasan kapal yang berlabuh di pelabuhan Cirebon dengan harus memiliki izin berlabuh dari pelabuhan di Batavia dahulu sebelum bisa singgah di Pelabuhan Cirebon, selain itu kebijakan penanaman komoditas dagang utama seperti tebu di daerah

hinterland dari Pelabuhan Cirebon sangat berhubungan dengan aktivitas ekspor –

impor di Pelabuhan Cirebon.50 Pada periode tersebut selain tujuan utama dari

50

(40)

21

pemerintaha Hindia Belanda untuk mengeruk keuntungan dari kekayaan alam di Cirebon, sekalipun masa itu adalah masa yang sedang sulit, juga secara politik adalah untuk melanggengkan dominasi kekuasaan di Cirebon yang merupakan bekas kekuasaan Kesultanan Cirebon. Lebih jauh lagi dalam rentang waktu tersebut kekuasaaan Hindia Belanda di Cirebon memberikan dampak politik dan ekonomi terhadap masyarakat Cirebon hingga tahun 1942. Dengan demikian akan dibahan pula dampak ekonomi dan politik yang terjadi di Cirebon pada masa itu.

Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana keadaan masyarakat Cirebon tahun 1930-1942 ?

2. Bagaimana fungsi Pelabuhan Cirebon tahun 1930-1942 dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda ?

3. Bagaimana sikap masyarakat Cirebon terhadap kebijakan pemerintahan Hindia Belanda menjelang dan sesudah masa depresi terkait masalah di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya ?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menelaah lebih jauh bagaimana keadaan Pelabuhan Cirebon sebagai salah satu pusat perekonomian di pesisir utara Pulau Jawa yang menjadi pintu masuknya perkembangan agama Islam di Cirebon. 2. Mengetahui bagaimana fungsi dari Pelabuhan Cirebon tahun

1930-1942, yaitu masa Pemerintahan Hindia Belanda.

(41)

22

4. Untuk lebih mendalami potensi kemaritiman di wilayah Cirebon dan mencari akar masalah mundurnya eksistensi Pelabuhan Cirebon. Adapun manfaat yang dapat penulis harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Edukatif, dapat menjadi pelajaran bagi Bangsa Indonesia pada umumnya dan rakyat Cirebon pada khususnya di mana Cirebon sebagai bagian wilayah pusat dari perkembangan Islam di Jawa Barat, mengenai betapa pentingnya peran sebuah pelabuhan bagi pengembangan ekonomi dan untuk melindungi eksistensi pelabuhan, maka perlu adanya kedaulatan dalam bidang politik.

2. Manfaat Inspiratif, memberikan motivasi lebih bagi para akademisi Sejarah Kebudayaan Islam dan para peminat serta pemerhati sejarah untuk mendalami sejarah di bidang maritim Indonesia, karena Indonesia adalah Negara yang sudah memiliki gen sebagai Negara Maritim.

3. Manfaat sebagai sarana transfer keilmuan dan pemikiran mengenai Sejarah Maritim kepada khalayak luas.

(42)

23 D. Tinjauan Pustaka

Penulis menelusuri literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang diambil yakni, Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930 – 1942), dalam pencarian penulis di koleksi Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ternyata belum ada tulisan yang membahas pelabuhan secara mendetail termasuk sejarah dari Pelabuhan Cirebon.

Namun, saat penulis mencari literatur di Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) penulis menemukan penelitian tesis S2 Universitas Gajah Mada (UGM) dari Singgih Tri Sulistiyono yang juga membahas tentang Pelabuhan Cirebon dengan judul Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930,

penelitian ini menjelaskan tentang keadaaan Pelabuhan Cirebon saat di buka tahun 1859 oleh Pemrintahan Hindia Belanda sebagai pelabuhan yang berfungsi sebagai ekspor dan impor hingga munculnya depresi tahun 1930.51 Dalam tesis ini Singgih menjelaskan potensi Cirebon di daerah pedalaman namun tidak menjelaskan potensi pesisir dari Pelabuhan Cirebon, ini menjadikan salah satu perbedaan yang panulis angkat. Selain itu, tahun kajian dari penulis juga berbeda dengan tahun kajian dalam tesis Singgih, namun bisa dikatakan juga penulis melanjutkan apa yang telah ditulis sebelumnya oleh Singgih tapi penulis menambahkan beberapa bagian yang belum tersentuh seperti potensi pesisir dan pergerakan perjuangan kaum pribumi untuk mendapatkan hak politik dan kehidupan lebih layak.

(43)

24

Buku yang berjudul Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa

Kolonial karangan Jan Breman dengan penerbit LP3ES, tahun 1986.52

Memberikan informasi tentang reformasi agraria (undang-undang agraria) di wilayah Cirebon, memberikan banyak gambaran terkait komoditi dagang daerah

hinterland Pelabuhan Cirebon serta beberapa kebijakan terkait komoditi dagang

tersebut serta dampak yang terjadi terhadap kaum buruh di kawasan Cirebon. Maskipun ada kesamaan tempat yang di ambil dalam penelitiannya namun Jan Breman hanya fokus pada daerah hinterland berbeda dengan penelitian penulis yang mengabungkan keadaan hinterland dan pesisir.

Buku Cilacap 1830 – 1942 Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di

Jawa karya Susanto Zuhdi yang diangkat dari tesis S2 diterbitkan oleh

Kepustakaan Populer Gramedia, merupakan buku rujukan penulis dan menginformasikan banyak tentang komoditas-komoditas ekspor impor di Cirebon dan Cilacap, buku ini pun penting untuk penulis membandingkan eksitensi dan peran Pelabuhan Cirebon dan Pelabuhan Cilacap memiliki daerah hinterland

sama. Perbedan tempat kajian sudah menjadikan pembeda antara skripsi yang akan penulis tulis.

Selain buku-buku tentang maritim, sosio-ekonomi Cirebon penulis mendapatkan pula buku karangan Imas Emalia berjudul Gerakan Politik

Keagamaan Islam Karesidenan Cirebon 1911-1942 diterbitkan Pustaka Intermasa

tahun 2011.53 Menjelaskan tentang keadaan keagamaan yang terjadi pada tahun 1930-1942 di Cirebon. Dapat diketahui pula dari buku ini di Cirebon dalam hal

52

Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986)

53

(44)

25

keagamaan memiliki karakteristik yang khas yakni dengan adanya jabatan penghulu yang memiliki kaitan dengan kebijakan Politik Islam Hindia Belanda. Kajian dari Imas jelas berbeda dengan studi yang penulis ambil namun memiliki kesamaan di tahun kajian.

E. Kerangka Teori dan Pendekatan

Peran sebuah pelabuhan dapat semakin tergambar ketika sejauh kapal berlayar melintasi samudera dan laut pasti suatu ketika akan menepi ke pelabuhan. Dalam mengkaji sejarah maritim, peran pelabuhan sangat penting sebagai pusat aktivitas dari kegiatan maritim. Seperti aktivitas pelayaran dan perdagangan yang berlangsung di pelabuhan mempunyai pengaruh besar terhadap dianamika masyarakat dan perkembangan suatu tempat yang dekat dengan pelabuhan menjadi sebuah kota pelabuhan (port city).54

Untuk memahami pelabuhan dalam perspektif historis, maka dibutuhkan pemahaman tentang konsep pelabuhan itu sendiri. Terdapat dua konsep terkait pengertian pelabuhan, yakni mengacu pada konsep fisik dan ekonomi. Berdasarkan konsep fisik (harbour) memiliki pengertian pelabuhan sebagai tempat berlabuhnya kapal serta menjadi tempat berlindungnya kapal-kapal dari ombak besar. Sementara itu, berdasarkan konsep ekonomi (port) adalah pelabuhan dilihat sebagai tempat atau pusat dari tempat tukar menukar atau keluar masuknya barang-barang komoditas antara daerah hinterland (daerah pedalaman)55 dan foreland (daerah sebrang).56 Begitu pula di Cirebon yang

54

Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 101.

55

(45)

26

menjadi wilayah penelitian penulis dalam skripsi ini memiliki 2 (dua) konsep seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagai harbour, Pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai tempat berlindung dari ombak karena letak geografis Cirebon yang menjorok ke dalam serta sebagai pelabuhan transit kapal-kapal antar pulau

(interinsuler). Sebagai port, Pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai tempat keluar

masuknya arus komoditas yang dihasilkan oleh daerah hinterland maupun dari daerah foreland dibutuhkan pasar regional maupun global.

Penjelasan penulis dapat diketahui bahwa Pelabuhan memiliki konsep

harbour dan port. Namun, pada penelitian yang dibahas oleh penulis antara tahun

1930-1942 menjelaksan peran penting dari Pelabuhan Cirbon dengan konsep port

yakni pembahasan tentang ekonomi di pelabuhan dan fluktuatif dari volume dan nilai ekspor impor menjadi indikator dari aktivitas maritim di Pelabuhan yang masih tetap eksis meski terjadi depresi ekonomi di dunia.

Singgih Tri Sulistiyono dalam bukunya Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, “Eksistensi sebuah pelabuhan perlu dipahami dari sisi arti itu sendiri, sehingga dapat diketahui peran apa yang dimainkan oleh sebuah pelabuhan dan ini pun akan memeberikan arahan untuk memahami penelitian tentang pelabuhan”.57

Menurut R. Bintarto, pelabuhan memiliki empat arti.58Pertama, arti ekonomis karena sebuah pelabuhan mempunyai fungsi sebagai tempat ekspor

pelabuhan. Lihat Agus Supriyono, “Hubungan Antara Pelabuhan dengan Daerah-Daerah Hinterland: Studi Kasus di Pelabuhan Semarang Pada Masa Kolonial Belanda Abad XX, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, ed., Arung Samudera: Persembahan Sembilan Windu A.B. Lapian, (Depok: PPKB LP UI, 2001), h. 21.

56

Yang dimaksud dengan foreland adalah daerah sebrang, daerah sebrang disini merupakan daerah yang terletak di sebrang pusat perdagangan dan penulis menyebutnya daerah sebrang lautan. Lihat Singgih Tri Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930”(Tesis S2 pada Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 1994), h. 11. (tidak diterbitkan)

57

Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 104.

58

(46)

27

impor dan kegiatan ekonomi lainnya. Kedua, arti budaya karena pelabuhan menjadi tempat pertemuan berbagai bangsa, sehingga kontak-kontak sosial budaya dapat terjadi terhadap masyarakat setempat. Ketiga, arti politis karena pelabuhan memiliki arti ekonomis sebagai urat nadi negara, maka harus dipertahankan. Keempat, arti geografis karena keterkaitannya dengan lokasi dan syarat-syarat berlangsungnya sebuah pelabuhan.

Berdasarkan dari yang dikemukakan oleh R. Bintarto, penulis akan lebih fokus mengkaji sejarah pelabuhan dengan menggunakan pendekatan ekonomi dan politik sebab ekonomi menjadi faktor penting yang tak bisa dilepaskan karena kegiatan ekonomi dan para pelakunya terus berkembang saling berhubungan menjadi sebab akibat. Dan politik sangat erat juga kaitannya dengan ekonomi terlebih saat mengkaji sejarah maritim di masa pemerintahan Hndia Belanda, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dalam mata rantai perekonomian Hindia Belanda pada masa itu dan kelak menjadi dasar dari perkembangan perkonomian di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian sejarah dengan bersifat deskriptif analitis yakni dengan proses menguji dan menganalisis data rekaman jejak dan peninggalan pada masa lampau.59 Maka dalam penelitian ini penulis menguraikan dan menggambarkan keadaan dinamika yang terjadi di Cirebon terkait dengan Pelabuhan Cirebon tahun 1930-1942. Dengan analisa data untuk mendapatkan fakta objektif terkait korelasi dan dampak dari kebijakan

59

(47)

28

fungsi Pelabuhan Cirebon terhadap aspek ekonomi dan politik, di Cirebon yang menjadi objek kajian penulis.

Adapun langkah-langkah penulisan yang penulis tempuh sebagai berikut,60 yaitu:

1. Heuristik

Heuristik adalah kegiatan untuk mengumpulkan sumber sejarah. Adapun sumber yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber, yaitu: sumber tertulis yang bersifat primer berupa arsip-arsip sezaman. Selain itu sumber-sumber yang bersifat sekunder seperti buku-buku, tesis, desertasi, dan sebagainya.

Langkah awal penulis lakukan untuk mencari sumber data, adalah menggunakan teknik libray research (penelitan/studi kepustakaan) dan studi kearsipan61, yakni suatu cara memeperoleh data dengan mempelajari buku-buku yang ada di berbagai perpustakaan dan mempelajari arsip-arsip yang berkaitan dengan penulisan. Maka dari itu penulis mengunjungi beberapa perpustakaan milik lembaga ataupun lembaga arsip dan individu yang memiliki koleksi buku maupun arsip yang terkait dengan penulisan ini, seperti Arsip Nasional Republik

Indonesia (ANRI) di Jakarta, penulis dapat memperoleh beberapa sumber primer

berupa arsip untuk memperoleh data berupa arsip Staatsblad van

Nederlandsch-Indie, Regeeringsalmanak Nederlandsch-Indie, ENI (Encyclopaedie

vanNederlandsch-Indie), Citra Daerah Cirebon dalam Arsip, dan beberapa sumber

pendukung lainnya. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) di Jakarta untuk mendapatkan sumber-sumber Cirebon awal abad ke-20 berupa koran-koran

60

Muhamad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, (Bandung: Yrama Widya, 2011), h.32. 61

(48)

29

sezaman untuk memahami dinamika yang terjadi di Cirebon pada masa itu, juga

micro file sebagai bahan-bahan sumber primer dan buku-buku yang ada di

perpustakaan ANRI sebagai sumber sekunder yang berkaitan dengan tema penulisan skripsi ini. Dari Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) penulis menemukan hasil-hasil penelitian terkait dengan Cirebon dan pelabuhan seperti karya dari Masyhuri yang berjudul “Interaksi VOC dengan Pantai Utara Jawa”, memberikan wawasan tentang penulisan ini. Dari Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan mendapatkan buku atlas Pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia yang mendukung Pelabuhan Cirebon sebagi salah satu pelabuhan bersejarah di Indonesia. Dari Perpustakaan TNI mendapatkan buku terkait perlawanan - perlawanan yang terjadi di sekitaran daerah Cirebon. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Universitas Indonesia, penulis juga mendapatkan buku-buku terkait tema penulisan ini. Dari beberapa perpustakaan pribadi milik beberapa dosen seperti Imas Emalia, Didik Pradjoko, dan Saidun Derani penulis banyak mendapatkan buku-buku pendukung dalam penulisan skripsi ini.

(49)

30

saat ini penulis juga mengunjungi langsung Pelabuhan Cirebon yang di dalamnya kini terdapat PT. PELINDO II selaku pengelola Pelabuhan Cirebon.

2. Kritik Sumber

Setelah data-data terkumpul, tahapan selanjutnya adalah kritik sumber. Penulis berusaha melakukan kritik dengan memverifikasi dan menguji sumber baik yang bersifat kritik intern maupun ekstern. Kritik intern adalah menilai kredibiltas serta kelayakan sumber-sumber yang penulis daatkan untuk dapat mengungkap kebenaran sejarah pada kurun waktu peristiwa yang penulis ambil. Beberapa sumber yang penulis kritisi adalah temuan arsip-arsip dari masa pemerintahan Hindia Belanda yang memiliki relevansi seperti Staatsblad, Verslag, Memori Sarah Terima Jabatan, Encyclopedie van Nederlandsch-Indie,

kontrak-kontak kesultanan dan surat kabar sezaman. Penulis juga melakukan

kritik ekstern dibantu oleh beberapa pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia tentang keaslian dokumen yang penulis teliti dalam penulisan skripsi ini seperti pengecekan tanggal terbit dokumen arsip untuk menyesuaikan dengan tahun bahasan penulis. Selain itu, meskipun ada kontrak-kontran yang berangka tahun jauh lebih kebelakang dari rentang waktu yang penulis bahas, tetap masuk dalam sumber yang penulis pakai karena memiliki benang merah sampai pada tahun yang penulis bahas.

3. Interpretasi

Gambar

Gambar 1: Peta Gemeente Cirebon Masa Kolonial (Sumber: Tropenmuseum)
Gambar 2: Peta Pulau Jawa dan Pembagian Residensi (Sumber: Melvill van Cambee, P. &
Gambar 3: Foto perahu-prahu nelayan pribumi di Pelabuhan Cirebon (Sumber: KITLV)
Gambar 4: Gambar sero untuk menangkap ikan (Sumber: academica.edu)
+7

Referensi

Dokumen terkait

In spite of these objections, the government upholds article 39 of the Islamic Legal Compilation, which prohibits a Muslim woman from marrying a non-Muslim man, and has

Abstrak:Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman konsep sifat-sifat cahaya melalui model pembelajaran Logan Avenue Problem Solving (LAPS) – Heuristik pada

Tingginya bahan organik pada titik sampling 4 disebabkan karena pada titik sampling ini memiliki kandungan substrat lumpur yang paling tinggi dibandingkan titik

mengandung bahan kasar tanah di wilayah Terbanggi Besar, Lampung Tengah PT Great Giant Pineapple (GGP) pada bulan Maret sampai April 2014.. dilaksanakan dengan metode

Pengaturan terhadap anak penyandang cacat disebutkan pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan khusus bagi anak

sudah mulai ada banyak dokter yang naik ke atas sini, dan pemerintah juga sudah lakukan beberapa pembinaan khusus buat dokter-dokter baru khusus untuk malaria, tapi semua kembali

Bank di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Nasabah yang menabung di bank Syariah tidak akan diberikan keuntungan bunga

Semua tenaga kependidikan sudah melaksanakan tugas dengan baik dan selalu mengondisikan kelas agar proses belajar mengajar berjalan secara efektif dan