• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Masyarakat Pedalaman (Aktivitas daerah

BAB II KONDISI GEOGRAFIS DAN MASYARAKAT DI CIREBON

B. Keadaan Masyarakat Cirebon

2. Aktivitas Masyarakat Pedalaman (Aktivitas daerah

dari sejarah daerah ini beberapa tahun ke belakang atau sekitar abad ke-19an. Penulis berasumsi demikian karena bila melihat sejarah satu abad ke belakang ada kebijakan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yakni

50

diberlakukannya tanam paksa, yang mengharuskan petani-petani pribumi mananam beberapa komuditas tanaman yang laku di pasaran eropa dan dunia seperti tebu dan kopi yang keuntungan terbesarnya masuk pada kantong pemerintah Hindia Belanda dan bahkan berkat keuntungannya yang amat melimpah hingga bisa menghidupi negeri induknya yakni Belanda.83

Penelusuran penulis terhadap literatur terkait, sejak satu abad ke belakang ketika berlakunya tanam paksa pada tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan penanaman tebu secara besar-besaran. Selain itu ada pula tanaman indigo, kopi dan tembakau yang laku di kawasan Eropa mulai ditanami di wilayah Cirebon.84 Namun, ketika masuk tahun 1901, Ratu Wilhelmina menerapkan Politik Etis dan segera dibentuknya sejumlah saluran besar bagi irigasi serta pembaruan lainnya di bidang pertanian, dengan maksud awal untuk mensejahterakan para petani pribumi sebab banyak petani yang miskin dan memprihatinkan dari sisi kesejahteraan hidup mereka.85 Namun kenyataannya, dalam kebijakan pertanian; masih banyak kecurangan dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja, masih terdapat ketidak seimbangan antara hasil pertanian, terutama padi dan hasil perkebunan, yakni tebu yang ketika itu menjadi komuditas ekspor utama Pelabuhan Cirebon.

Dapat diambil sebagai gambaran bahwa luas perkebunan tebu di daerah Cirebon timur mencapai 7.000 bau86 dengan persebaran pabrik gula di beberapa lokasi seperti di Sindanglaut, Karangsuwung, Jatipiring, Tersana Baru, Leuweng

83

Parakitri Tahi Simbolon. Menjadi Indonesia. (Jakarta : Penerbit Gramedia,2006), h.129 84

Breman, Penguasaan Tanah, h. 10. 85

Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (1900-1942) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 23-26.

86

Bau/Bahu adalah ukuran yang pakai pada masa itu untuk mengukur luas wilayah garapan. 1 bau = 7096,5 m2. Lihat Breman, Penguasaan Tanah, h. xv.

51

Gajah dan Losari Baru. Di daerah lainnya, di Cirebon barat dan Majalengka perkebunan tebu luasnya mencapai 6.000 bau dengan pabrik gula di Kadipaten, Jatiwangi, Parungjaya dan Arjawinangun.87 Persebararan daerah penghasil gula di

hinterland dari Pelabuhan Cirebon membuat semakin intensifnya hubungan

Pelabuhan dangan daerah hinterland yang kemudian membawa dampak pada perkembangan ekonomi dan pertumbuhan di Pelabuhan Cirebon.

Meskipun dampak perkembangan terjadi di Pelabuhan Cirebon, namun efek dan tujuan dari diadakannya perombakan undang-undang agraria untuk menyejahterakan petani pribumi nampaknya belum membuahkan hasil. Setidaknya dari sumber yang penulis dapatkan bahwa sekitar tahun 1920-an bahwa sudah ada kebijakan dari undang-undang agraria yang baru untuk perluasan lahan pertanian, fakta di lapangan yang terjadi malah adanya pengambil alihan hak tanah pertanian oleh perkebunan-perkebunan gula untuk memperluas daerah tanam tebu dengan menggunakan pasal-pasal tuntutan untuk pengajuan perluasan lahan. Padahal desakan kebutuhan untuk kebutuhan dari sektor pertanian makin meningkat karena mulai meningkatnya juga penduduk di daerah Cirebon.88 Kejadian tersebut penulis rasa hanya membuat angan-angan hampa kaum petani untuk berkehidupan lebih baik dan bisa dikatakan sifat pemerintah Hindia Belanda yang hanya memberikan harapan palsu tersebut semakin menambah penderitaan petani pribumi.

Keadaan baik tak selamanya baik, akan ada masa di saat perputaran kegemilangan seperti komuditas ekspor gula yang selama ini di ekspor dan

87“Memori Residen Cirebon J van der Marel 22 April 1922” dalam Memorie van Overgave (Memori Serah Jabatan 1921-1930), Jawa Barat, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 1976, h. cxxvi.

88

Memori Serah Jabatan 1920-1930 Jawa Barat, h. CXVIII dan Verslag Suiker – Enquete Commissie 1921 h. 159. Lihat juga Breman, Penguasaan Tanah, h. 135.

52

menjadi primadona komoditas hinterland dari Pelabuhan Cirebon kini harus mengalami kemunduran atau bisa dikatakan kehancuran total akibat depresi ekonomi tahun 1930.

Saat semakin meluasnya pengambilan hak lahan pertanian untuk penanaman tebu sebagai produksi gula untuk jangka panjang sampai beberapa tahun kedepan, namun justru kini keadaan berbalik menghantam perkebunan-perkebunan tebu untuk mempersempit luas wilayah penanaman tebunya.89 Hancurnya dominasi perkebunan-perkebunan sebenarnya menghancurkan pula rencana pembaharuan undang-undang agraria yang melibatkan pihak perkebunan gula sebagai penyewa lahan pertanian dan menjadi tujuan petani pribumi dalam mencari pemasukan mereka (ketika lahan pertanian mereka di pakai untuk ditanami tebu, para petani ini bekerja di pabrik gula dan menjadi buruh pabrik maupun perkebunan gula). Keruntuhan gula di pasaran Eropa akibat depresi ekonomi berdampak ke masyarakat di daerah hinterland Pelabuhan Cirebon membuat mereka maikn sengsara dan melarat dimulai pula lah era yang biasa orang menyebutnya dengan malaise.

89

53 Tabel 3

Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland Pelabuhan Cirebon Tahun Tanah dalam hektar

1920 8.648 1921 9.290 1922 9.352 1923 9.870 1924 10.055 1925 10.759 1926 10.812 1927 11.503 1928 12.195 1929 12.078 1930 13.151 1931 12.142 1933 6.354 1934 1.549 1935 1.027 1936 699

54 Grafik 3

Sumber: diolah dari Koloniale Verslag diambil dari buku Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial

Meskipun kehancuran industri gula mulai mempersempit lahan tanam tebu dan kembali membuka peluang untuk meluaskan lahan pertanian, namun itu semua tidak serta merta membuat kehidupan para petani pribumi menjadi lebih baik. Sebab pemerintah Hindia Belanda mulai menggunakan berbagai cara untuk teteap mendapatkan keuntungannya kembali, salah satunya adalah dengan menaikan nilai pajak tanah dari 50 sen menjadi f 2,80/bau pada tahun 1932.90 keadaan ini berimplikasi pada kaum petani pribumi yang harus menjual sebagian hasil panen sebelum waktunya dikarenakan sudah tidak adanya uang untuk membayar kenaikan pajak tersebut. Dapat kita pahami betapa menderitanya kaum petani pribumi dan masyarakat yang bergantung pada daerah hinterland

Pelabuhan Cirebon.

Selain itu, kendati Industri Gula telah mengalami kehancuran, ternyata peluang untuk meluaskan kembali lahan pertanian menemui kendala.Karena selama ini pemilik ladang Tebu menggalakan sistem penanaman monokultur

90

55

danakibat pertanian monokultur tebu yang berkelanjutan, muncullah efek negative yang terindikasi dengan tekstur tanah yang mengeras dan ada yang menjadi pasir. Rusaknya ekosistem pada area lahan pertanian tebu karena proses pasca panen melalui pembakaran sisa-sisa daun tebu yang menyebabkan kematian hewan dan vegetasi yang menguntungkan untuk pertanian. Akibatnya, tanah yang seharusnya bersifat subur untuk ditanami oleh para petani menjadi kurang subur sehingga membuat mereka mengalami kerugian.91

Pelabuhan Cirebon yang menjadi pintu masuk dan keluarnya dari komoditas ekspor – impor, ketika komoditas ekspornya hancur ternyata memberikan efek domino pula kepada kaum pribumi di kawasan hinterland terutama yang berprofesi sebagai petani pribumi penggarap sawah dan menjadi buruh pabrik gula. Lebih lanjut keadaan ekspor – impor komoditas primadona (gula) di Pelabuhan Cirebon akan penulis sampaikan di bab selanjutnya.

91

Citha Recha Sari, Pengaruh Monocultur Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.) Terhadap Status NPK di dalam Tanah. Makalah Seminar Umum. Fakultas Agronomi, Universitas Gajah Mada,h.5.

56

Dokumen terkait