• Tidak ada hasil yang ditemukan

Munculnya Gerakan Politik Masyarakat dan Elite Modern di

BAB IV GERAKAN POLITIK MASYARAKAT CIREBON HINGGA

A. Munculnya Gerakan Politik Masyarakat dan Elite Modern di

masyarakat pribumi yang memiliki kepentingan terhadap Pelabuhan Cirebon, baik masyarakat pesisir maupun di daerah hinterland Pelabuhan Cirebon. Kedua unsur masyarakat ini memiliki hubungan sangat besar terhadap Pelabuhan Cirebon terutama masyarakat yang tinggal di daerah hinterland, sebab unsur masyarakat

hinterland memiliki kepentingan terhadap pelabuhan yang merupakan pintu

gerbang ekspor dari komoditas-komoditas daerah hinterland seperti gula sebagai salah satu ekspor unggulan dari Pelabuhan Cirebon. Tetapi penting juga dilihat peran politik masyarakat pribumi terkait dengan Pelabuhan Cirebon ini antara tahun 1930 – 1942, sebab kita dapat melihat dinamika yang terjadi di Cirebon setelah melemahnya elite lokal (Kesultanan Cirebon) diperlukan leader di masyarakat Cirebon yang bisa menjadi tumpuan baru dalam hal memperjuangkan hak-hak mereka serta sebuah aksi nyata untuk melawan ketidakadilan dari pemerintah Hindia Belanda. Maka pada bagian ini akan menjelaskan hal itu, khususnya bagi kemunculan dari elite pribumi yang mengantikan peran penguasa lokal di masyarakat Cirebon untuk berjuang melawan ketidakadilan penjajah dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh masyarakat Cirebon untuk melawan pemerintah Hindia Belanda.

Pada bab pendahuluan sedikitnya telah dijelaskan tentang keadaan Kesultanan Cirebon yang sudah dihilangkan kekuasaannya di bidang politik,

91

namun masih mempunyai tempat di masyarakat sebagai kaum elite yang sejak dahulu mempimpin wilayah Cirebon. Keadaan seperti ini terus dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan segala cara melakukan intervensi terhadap Kesultanan Cirebon agar bisa menjadikannya sebagai salah satu penguasa lokal yang bisa dikendalikan atau “diajak berkawan” untuk memenuhi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Cirebon, strategi ini dilakukan bertujuan pula untuk mengamankan pemerintah Hindia Belanda dari gangguan-gangguan yang datang oleh masyarakat Cirebon.

Pada awal abad ke-20 hingga akhir kolonialisme Belanda di wilayah Cirebon, Kesultanan Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan dalam sistem yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, baik residen, bupati ataupun jabatan - jabatan di Cirebon tidak menyertakan Kesultanan Cirebon dalam struktur kekuasaan di wilayah tersebut. Dalam perjalanannya setelah mangkatnya para sultan pertama yang di gaji oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tahun – tahun selanjutnya para sultan dari Kesultanan Cirebon ini malah megundurkan diri dari struktur pemerintahan sebagai pegawai (abdi) dari Hindia Belanda sebagaimana yang telah diungkapkan pada bab pendahuluan. Keputusan yang diambil oleh para sultan tersebut lebih memilih diam di istana dan menjadi pelindung dari budaya kesenian tradisional.121 Dapat dipahami bila beralihnya kesultanan yang sulit bergerak bebas ketika masuk ke dalam sistem politik pemerintahan Hindia Belanda membuat Kesultanan Cirebon mulai mundur dari percaturan politik di Cirebon dan mulai menitikberatkan pada bidang kebudayaan, inilah yang mampu masyarakat Cirebon.

121

92

Patut diketahui pula sebelum Kesultanan Cirebon dihapuskan tahun 1809 oleh Deandels, Kesultanan Cirebon telah terpecah menjadi 3 (Tiga) keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan).122 Hal ini menyebabkan Kesultanan Cirebon pun seolah menjadi sasaran dari masuknya intervensi Hindia Belanda dalam kekuasaan lokal di Cirebon tersebut, intervensi yang dilakukan oelh pemerintah Hindia Belanda merupakan salah satu cara untuk semakin melemahkan Kesultanan Cirebon dalam menjalankan kekuasaan serta merebut legitimasi politik di wilayah Cirebon.

Saat wilayah Cirebon sudah sepenuhnya berada dalam penguasaan Hindia Belanda, pemeritah Hindia Belanda menjalankan kebijakannya dengan tidak adil terhadap masyarakat kaum pribumi di Cirebon, masyarakat Cirebon yang kebanyakan kaum pribumi ini mengalami banyak ketidakadilan seperti kebijakan terhadap pengelolaan Pelabuhan Cirebon yang tidak menyertakan orang pribumi dan kebijakan mengenai pajak dan upah kaum pribumi yang amat kecil. Kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat pribumi di Cirebon ini membuat mereka amat membutuhkan sosok elite yang bisa menanungi dan memperjuangkan hak-hak mereka yang tertindas oleh kaum penjajah. Disaat yang bersamaan pula ketika itu Kesultanan Cirebon sudah terpecah dan tidak memiliki kekuatan, dengan kata lain juga Kesultanan Cirebon tidak lagi bisa ikut berjuang dengan masyarakat pribumi menuntut keadilan pemerintah Hindia Belanda.

Situasi ini membuat kebutuhan akan sosok seorang elite yang memiliki kemampuan menyerukan dan memperjuangkan melawan ketidakadilan terhadap pemerintah Hindia Belanda semakin dibutuhkan oleh masyarakat kaum pribumi di

122

Husein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta :Djambatan, 1983), h.109-110.

93

Cirebon. Sebenarnya kemunculan elite baru sudah mulai terlihat sejak menjaelang tahun 1800-an, elite baru ini muncul masih dari lingkup Kesultanan Cirebon, meskipun memang dalam hal ini bukan para sultan yang menjadi tokoh penentang kebijakan Hindia Belanda ini. Tokoh penentang Hindia Belanda itu datang dari para penghulu Kesultanan Cirebon, dan bila penulis boleh meminjam kata dari Max Weber „rutinisasi kharismatik‟ di Cirebon berlanjut dengan dimotori oleh para penguhul Kesultanan Cirebon yang sudah terpecah, kharisma dan kekuatan yang digunakan untuk melawan penjajah sebelumnya dimiliki oleh para sultan kini beralih pada para penghulu keraton sebagai elite massa yang memiliki dukungan dari masyarakat. Kemunculan elite massa dari kalangan pengahulu ini lahir dari ketidakpuasan sikap pemerintah Hindia Belanda ditambah lagi akumulasi dari sikap Kesultanan Cirebon yang seolah enggan diajak untuk berani menentang ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda membuat para penghulu ini mulai bergerak. Para penghulu sebagai elite massa di Cirebon ke depannya aktif pula bergerak dalam organisasi Sarekat Islam (SI) di Cirebon. Pada tahun 1913 SI di Cirebon mulai didirikan dan merupakan salah satu organisasi massa yang menjadi sebuah wadah pergerakan nasional di daerah Cirebon, di dalam tubuh SI sendiri terdapat elite massa yang dapat mengakomodir masyarakat atau pendukungnya di Cirebon untuk ikut sama-sama berjuang melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Hidia Belanda terhadap kaum pribumi.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang elite massa yang membentuk gerakan massa di Cirebon awal abad ke-20 hingga berakhirnya masa kekuasaan Hindia Belanda, perlu diketahui pula asal mula kemunculan elite massa di

94

Cirebon ini yang bisa menghimpun massa ternyata datang dari lingkup Kesultanan Cireboon. Meskipun dalam hal ini bukan para sultan yang berperan menjadi tokoh utama, seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya. Salah satu tokoh yang bisa dikatakan menjadi perintis awal mula munculnya elite massa tersebut setelah Kesultanan Cirebon terpecah adalah Kiai Muqoyim bin Abdul Hadi, seorang penghulu dari Keraton Kanoman yang meninggalkan keraton dan mendirikan pondok pesantren yang kini dikenal dengan Pesaantren Buntet tahun 1750, kelak salah satu murid yang pernah belajar di Pesantren Buntet ataupun keturunan dari Kiai Muqoyim menjadi tokoh pergerakan nasional di Cirebon awal abad ke-20.123 Kharisma yang dimiliki oleh para Kiai sebagai pemuka dan pemimpin agama yang di segani telah membuat masyarakat percaya dan mendukung kegiatan serta sepak terjangnya yang menentang campur tangan dari pemerintah Hindia Belanda di Cirebon. Seperti yang dilakukan oleh Kiai Muqoyim ketika menjadi penghulu dari Keraton Kanoman kerap kali menentang ketidak puasan terhadap pemerintah Hindia Belanda, apa yang dilakukannya tersebut telah membuat para kiai menjadi elite massa yang menganti peranan elite para sultan Cirebon dan memiliki

bargaining power terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh Hindia Belanda

(bisa jadi hal ini pula yang melatarbelakangi terbitnya ordonansi guru/ulama tahun 1905).

Pesantren Buntet yang menjadi wadah dari perjuangan elite massa di Cirebon makin dikenal karena berhasil membuka jaringan dengan pesantren-pesantran yang ada di Pulau Jawa, bahkan pada tahun 1913 ketika Pesantren Buntet di pimpin oleh Kiai Abdul Jamil yang juga menjabat sebagai penghulu dari

123

95

Keraton Kasepuhan mulai berafiliasi dengan santrinya yakni H. Smanhudi untuk selanjutnya mendirikan Sarekat Islam (SI) di Cirebon untuk melawan pemerintah Hindia Belanda.124 Mesikpun peran sultan-sultan dari Kesultanan Cirebon tidak begitu terlihat namun peran dari elite massa yang muncul dari lingkup kesultanan dengan dipelopori oleh para penghulu kesultanan telah membangkitkan kembali semangat nasionalisme untuk menentang ketidakadilan penjajah.

Kemunculan gerakan nasional menentang penjajahan pemerintah Hindia Belanda di Cirebon salah satunya dilakukan oleh SI setelah berhasil mengakomodir masyarakat Cirebon dan memiliki dukungan massa yang cukup banyak dari golongan pribumi tak kurang jumlah anggota pada tahun 1913 mencapai 23.000 orang.125 Banyaknya animo masyarakat yang bergabung dalam organisasi pergerakan nasional SI ini dapat dipahami, karena latar belakang kejenuhan atas sikap dari pemerintah Hindia Belanda yang selalu berlaku tidak adil dalam memperlakukan kaum pribumi seperti gajih para buruh yang sangat kecil dan jam kerja yang panjang menjadi salah satu alasan kaum buruh untuk ikut serta mendukung perjuangan dari SI. Selanjutnya dengan munculnya tokoh-tokoh kharismatik yang ada di dalam tubuh SI dan menjabat pula sebagai pemimpin keagamaan membuat SI cepat tumbuh di Cirebon yang notabene merupakan salah satu basis Islam terbesar di daerah Jawa Barat.

Peran SI disini cukup penting dalam memperjuangkan hak-hak kaum pribumi terutama kalangan pekerja buruh untuk pebaikan kehidupan mereka. Salah satu cara atau strategi yang dilakukan SI dalam menekan pemerintah Hindia Belanda adalah dengan melakukan pemogokan-pemogokan buruh di beberapa

124

Emalia, Gerakan Politik Keagamaan, h. 81. 125

96

tempat di Cirebon seperti buruh pelabuhan, buruh perkebunan gula, dan buruh kereta api Semarang Cheribonshe Stoomtrammaastchappij (SCS). Pemogokan-pemogokan tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda dan berdampak pula pada stabilitas keamanan serta perekonomian di Cirebon. Pemogokan yang cukup menarik perhatian dari pemerintah Hindia Belanda adalah pemogokan tahun 1920 karena sampai menyebabkan terhentinya aktifitas maritim di Pelabuhan Cirebon, gerakan ini dilakukan oleh para buruh yang dipelopori oleh Djaid, seorang yang menduduki jabatan kepala Sarekat Islam Cabang Cirebon selain itu dia juga menjabat sebagai ketua Buruh Pelabuhan dan ketua Buruh Kereta Api di Cirebon.126 Tuntutan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik seperti perbaikan gaji, pengurangan jam kerja, dan peningkatan kesejahteraan kaum buruh, merupakan tuntutan yang disuarakan kaum buruh selain untuk mendapatkan hak mereka, gerakan ini pun bertujuan memperlihatkan kekuatan kaum pribumi yang di akomodir oleh organisasi SI. Terjadinya pemogokan di tahun 1920 telah membuat letupan-letupan gerakan pemogokan kembali terjadi di tahun-tahun berikutnya hingga tahun 1922, keadaan tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda bertindak dengan mengerahkan polisi-polisi, angkatan darat, dan angkatan laut bersenjata untuk menangkap orang-orang yang terlibat dengan pemogokan tersebut dan mengawasi para buruh-buruh, baik buruh di Pelabuhan maupun di Kereta Api.127 Dampak dari pemogokan yang diprakarsai orang-orang SI dengan sendirinya memiliki bargaining power terhadap pemerintah Hindia Belanda karena mendapatkan dukungan dari masyarakat pribumi.

126

Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perubahan, h. 40. 127

97

Momentum dari SI ini juga bisa dikatakan sebagai nasionalisme Islam yang tidak saja mengangkat isu-isu masalah sosial yang ada di gemeente Cirebon sebagai tujuan perjuangan, namun juga mengusung misi kebangkitan Islam melawan ketertidasan. Adanya SI juga membuat para kaum terpelajar pribumi sadar dan tergerak untuk turut serta dalam perjuangan, diawali dengan pembentukan serekat-sarekat seperti sarekat buruh yang dipelopori orang-orang SI dan selanjutnya meluas tidak hanya tentang buruh namun lebih jauh lagi untuk membentuk tatanan masyarakat secara keseluruhan yang bebas mredeka dari penjajahan kolonial dengan berazazkan keislaman.

Pembentukan tatanan masyarakat ini coba diusahakan SI dengan terlibat aktif pula dibidang pendidikan, bukti nyata dari hal tersebut adalah dengan rencana akan dibuatnya sekolah dasar yang berlandaskan Islam. Sekolah itu diberi nama Sekolah SI Igama yang diresmikan 1922.128 Peran SI di Cirebon yang disokong dengan adanya pemimpin elit massa yang berkharisma membuat SI sebagai wadah pergerakan untuk menyuarakan ketidakadilan terhadap pemerintah Hindia Belanda memiliki pengaruh yang cukup besar di Cirebon baik dalam sektoe ekonomi, politik dan sosial. Selain SI ada juga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melakukan aksi-aksi perlawanan dengan mengakomodir kaum buruh juga dengan membuat sarekat-sarekat buruh, namun pengaruh PKI di Pelabuhan Cirebon masih kurang begitu terdengar dibandingkan dengan kegiatan pemogokan buruh kereta api di sekitar Pelabuhan Semarang dipengaruhi oleh PKI yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono 1922 (pemimpin PKI ini dahulunya merupakan tokoh dari SI cabang Semarang),129 selain itu, pemogokan besar buruh

128

Emalia, Gerakan Politik Keagamaan, h. 95. 129

98

pelabuhan juga pernag terjadi tahun 1925 di Semarang yang sama-sama dipengaruhi oleh PKI. Akan tetapi pemogokan besar atas pengaruh PKI tidak begitu terlihat di Pelabuhan Cirbon ataupun sekitaran wilayah Cirebon di tahun yang sama.

Gerakan yang menentang Hindia Belanda terjadi di Pelabuhan Cirebon dan wilayah sekitarnya dilakukan oleh masyarakat (kebanyakan kaum buruh), baik dimulai dari lingkup kesultanan maupun dari golongan buruh yang diakomodir oleh elite massa seperti SI dan PKI, dengan mengerahkan massa buruh tersebut untuk melakukan perlawanan dengancara pemogokan terhadap kegiatan-kegiatan vital di Hindia Belanda telah membuat letupan-letupan untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah semakin nyata. Fenomena tersebut juga menambah warna tersendiri dalam perjalanan sejarah serta dinamika ekonomi dan politik di wilayah Cirebon.

Dokumen terkait