• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONDISI GEOGRAFIS DAN MASYARAKAT DI CIREBON

B. Keadaan Masyarakat Cirebon

1. Masyarakat Pesisir

Menurut Masyhuri wilayah pantai dari Karisedenan Cirebon lebih tepatnya di sekitar Indramayu dan Cirebon pesisir, memiliki mata pencaharian untuk menunjang kehidupan mereka adalah berprofesi sebagai nelayan. Faktor penyebab hal tersebut adalah bahwa perairan pantai di daerah Cirebon kaya akan ikan. Seperti halnya pula di beberapa tempat di sekitar pesisir utara Pulau Jawa semisal Batavia, Kepulauan Seribu, Pemalang, Pekalongan, Juana (Pati), Jepara, Rembang, Sedayu, Gersik, laut antara Pulau Bawean, dan pentai utara Madura, serta perairan di Kepulauan Madura, terutama di Sapudi dan Kangean.75 Semuanya merupakan tempat-tempat di pesisir Jawa yang ikannya melimpah.

Di daerah Cirebon penangkapan ikan dan pengolahan hasil dari tangkapan masih menggunakan cara tradisional,pekerjaaan menangkap dan mengolah ikan inilah yang menjadi matapencaharian utama nelayan di sekitar pesisir Pantai Cirebon. Setidaknya ada 2 (dua) tipe nelayan di perairan Pelabuhan Cirebon, yakni nelayan dekat pantai dan nelayan lepas pantai, para nelayan yang

75

Masyhuri, Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850-1940 (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1996), h. 32.

41

bermatapencaharian dekat pantai sedikit berbeda dengan para nelayan yang bekerja menangkap ikan di lepas pantai karena nelayan lepas pantai tergolong nelayan komersial. Para nelayan lepas pantai, di daerah Cirebon menangkap ikan menggunakan mayang dan jaring payang tersebut. Namun, penggunaan mayang dan jaring payang di kawasan Jawa Barat kurang begitu populer hanya di wilayah Indramayu dan Cirebon yang cukup populer menggunakan mayang dan jaring payang. Berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang cukup menonjol dalam pemakaian mayang dan jaring payang dalam menangkap ikan. Hal tersebut bisa dimengerti, karena penangkapan ikan dengan cara demikian kebanyakan dilakukan oleh nelayan penuh yang bertempat tinggal di daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara itu nelayan penuh yang tinggal di Jawa Barat jauh lebih sedikit.76

Gambar 3: Foto perahu-prahu nelayan pribumi di Pelabuhan Cirebon (Sumber: KITLV) Pada awal tahun 1920an, kegiatan penangkapan ikan di wilayah Hindia Belanda, diantaranya wilayah pesisir Cirebon mulai nampak persaingan antara nelayan pribumi dan nelayan asing. Keadaan tidak seimbang baik dalam bidang

76

42

teknologi (nelayan pribumi masih menggunakan perahu tradisional) dan modal (terbatas yang di dapatkan oleh nelayan pribumi), tidak bisa melawan kekuatan dari nelayan-nelayan asing yang memiliki modal besar dan teknologi yang canggih seperti sudah digunakannya perahu-perahu bermesin (tidak perlu lagi menggunakan bantuan angin sepertihalnya perahu tradisional) oleh nelayan asing yang berasal dari Jepang dan Belanda.

Peningkatan jumlah konsumsi di Pulau Jawa menyebabkan makin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan yang terjadi di pesisir utara Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut. Para nelayan pribumi di daerah dekat pantai pesisir Pulau Jawa bagian barat kebanyakan menggunakan sero

(Gulding Barrier)77 untuk menangkap ikan, sementara di bagian Jawa Tengah dan

Timur nelayan pribumi menggunakan jaring jabur serta jaring payang untuk penangkapan ikan lepas pantainya. Namun penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan pribumi makin bergeser ke bagian dekat pantai dan tidak lagi menuju ke penangkapan lepas pantai. Masyhuri menjeaskan padahal daerah penangkapan lepas pantai baru di garap sekitar sekitar 20% saja dan pada tahun 1920an terjadi pula penurunan hasil tangkapan yang di dapat oleh para nelayan pribumi.78 Penulis dapat memahami mengapa semakin kecilnya hasil tangkapan nelayan pribumi, bisa dikarenakan pertama, persaingan penangkapan di dekat pantai makin kompetitif dengan banyaknya nelayan pribumi yang mengalihkan daerah tangkapannya ke dekat pantai sebab bila memaksakan menggarap daerah tangkapan di lepas pantai dengan teknologi tradisional dan modal terbatas sudah pasti kalah saing dengan nelayan asing jarak dan wktu tempuh pun kemungkinan

77

Achmar Mallawa & Sudirman. Teknik Penangkapan Ikan. (Jakarta : Rineka Cipta,2004), h.46.

78

43

menjadi pertimbangan para nelayan pribumi. Kedua, populasi ikan di dekat pantai yang terus menerus diambil kemungkinan bisa menjadi penyebab dari terjadinya penurunan hasil tangkapan.

Gambar 4: Gambar sero untuk menangkap ikan (Sumber: academica.edu)

Gambar 5: Gambar jaring payang (Sumber: academica.edu)

Pada awal tahin 1930-an didirikan perusahaan penangkapan ikan semi resmi oleh pemerintahan Hindia Belanda yang bepusat di Batavia dan

44

membangun juga beberapa cabang di Cirebon, Tegal, dan Semarang. Berdasarkan penjelasan Bottemane yang dikutip oleh Masyhuri, pendapatan produksi ikan yang dihasilkan oleh pemerintah ini cukup besar dan bisa menghasilkan 130 ton/tahun.79 Penulis dapat memahami daerah-daerah tersebut memiliki potensi besar dalam menjaring laba besar dari sektor penangkapan dengan ditunjang modal yang besar dari pendirian perusahaan pemerintah Hindia Belanda dan kemudahan yang diberikan kerena daerah-daerah Semarang, Tegal, dan Cirebon khususnya, memiliki pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Hindia Belanda sehingga kapal-kapal penangkap ikan Belanda memiliki hak eksklusif berlabuh di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Namun kemunculan dari perusahaan penangkapan ikan tersebut menjadi saingan berat nelayan pribumi untuk mengoptimalkan hasil laut daerahnya seperti Cirebon.

Gambar 6: Kapal nelayan masyarakat di pelabuhan Cirebon (Sumber: gahetna.nl)

79

45

Selain adanya persaingan dari nelayan asing Belanda, ada pula persaingan dari nelayan asing Jepang. Nelayan-nelayan Jepang biasanya menggunakan jaring

muroami untuk menangkap ikan.80 Sekitar tahun 1926 mulai ada nelayan-nelayan

Jepang yang mencari ikan di wilayah Hindia Belanda dan setahun kemudian yakni 1927 mulai membangun perusahaan penangkapan yang mengakomodir para nelayan Jepang di Hindia Belanda, keadaan ini terus berlanjut hingga tahun 1930an.81 Persaingan dengan nelayan Jepang merupakan persaingan yang kian terasa berat bagi para nelayan pribumi sebab bukan saja persaingan dalam hal mendapatkan ikan, namun nelayan Jepang ini memasarkan ikan tangkapannya di daerah nelayan pribumi memasarkan ikan hasil tangkapannya juga.

Gambar 7: Jaring muroami (sumber: academica.edu)

Salah satu contoh persaingan nelayan pribumi dengan nelayan asing yang dapat penulis gambarkan ketika melihat aktivitas yang terjadi di pasar ikan

80

Masyhuri, Menyisir Pantai Utara. h. 254. Jaring Muroami berasal dari kata Ami yang berati jaring dan Muro yang artinya ikan/nama sejenis ikan. Lihat juga Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan. (Yogyakarta: LKiS, 2009), h.309.

81

46

Gebang. Sebelum datangnya nelayan asing, aktivitas nelayan biasanya dimulai pada watu tengah hari. Baik nelayan lepas pantai maupun dekat pantai kembali merapat ke pelabuhan menjelang jam 12 siang dengan menggunakan pemanfaatan angin laut dan menjajakan hasil tangkapannya pada siang hari. Namun, setelah adanya nelayan asing aktivitas dari pasar ikan mengalami beberapa perubahan menjadi lebih pagi karena nelayan-nelayan asing (Belanda dan Jepang) telah menggunakan teknologi kapal bermesin sehingga bisa lebih cepat sampai di pelabuhan untuk menjajakan hasil tangkapannya.

Adanya persaingan seperti yang digambarkan di atas mau-tidak mau membuat nelayan pribumi berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Cara yang paling tepat diambil oleh nelayan pribumi menghadapi nelayan asing dalam persaingan menjajakan hasil tangkapannya adalah dengan mengalihkan daerah tangkapan mereka ke daerah yang lebih dekat dengan pantai sehingga jarak tempuh yang dibutuhkan para nelayan untuk sampai di pelabuhan bisa lebih cepat atau sama dengan nelayan-nelayan asing. Meskipun bisa mencapai pelabuhan dengan waktu hampir bersamaan namun ada saja hal negatif yang dirasakan oleh nelayan pribumi. Hal negatif yang dimaksud oleh penulis adalah persamaan waktu datang dengan nelayan asing namun hasil tangkapan dari nelayan bumi putera tidak sesuai harapan bahkan bisa dikatakan lebih rendah dibanding para nelayan asing. Karena daerah penangkapan ikan di dekat pantai makin banyak yang menggarap dan membuat ikan-ikan yang nelayan bumi putera dapatkan (tangkap) makin sedikit.

Berubahnya aktivitas maritim pasar ikan di Pelabuhan Cirebon yang telah penulis jelaskan di atas ternyata berdampak pula pada harga ikan yang terus

47

merosot karena target konsumen pasar sama82 dengan nelayan pribumi dan nelayan asing sama (apalagi nelayan asing membandrol harga ikan lebih murah dibandingkan dengan nelayan pribumi) ditambah lagi dengan adanya pengaruh krisis ekonomi sehingga membuat pendapatan perkapita pribumi pada masa depresi kian suit, meskipun pada akhir-akhir tahun sebelum kepergian Hindia Belanda pendapatan perkapita sempat mengalami kenaikan. Berikut gambaran grafik pendapatan perkapita penduduk pribumi masa depresi ekonomi;

Tabel 1

Indeks pendapatan perkapita penduduk Pribumi Jawa dan Madura (1929 = 100 Gulden)

Tahun Pendapatan Perkapita

1929 100 1930 98 1931 96 1932 95 1933 94 1934 93 1935 94 1936 95 1937 103 1938 103 1939 107 82

Pemintaan pasar ikan di Pulau Jawa cukup tinggi, ini juga yang menyebabkan nelayan-nelayan asing memilih untuk memasarkan hasil tangkapannya di daerah sekitar Pelabuhan dan bersaing dengan nelayan pribumi.

48 Grafik 1

Sumber: Masyhuri, Menyisir Pantai Utara (Yogyakarta: 1996) tabel 17. Diambil dari J.J. Polak, The National income of the Netherlands Indies 1921-1939 (New York: 1942) tabel 16.4; Ekonomisch Weekblad voor Nederlads-Indie, 20 December 1941.

Dapat pula digambarkan bagaimana pendapatan nelayan-nelayan pribumi dengan melihat harga ikan pada masa-masa itu. Seperti yang penulis gambarkan melalui tabel dan grafik;

Tabel 2

Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen)

Tahun

Ikan Asin (Luar negeri) Ikan Asin (Luar Jawa) Ikan Segar (Lokal Jawa) 1926 25,5 16,7 23 1930 26,3 18,3 20 1931 27 13,6 13 1932 18,3 13,8 11 1933 16,6 11,6 7 1934 16,4 9,7 6 1935 16,1 9,2 6 1940 17 8,9 6,5

49 \Grafik 2

Sumber: Masyhuri, Menyisir Pantai Utara (Yogyakarta: 1996) tabel 19. Diambil dari Mededelingen..., no. 27 (1925), h. 204; Mededelingen..., no. 36 (1926), h. 58; A. M. Pino, Zeevisscherij in Indie...‟, 1937, h.77. Lihat pula data yang dikemukakan oleh Soenario, Onderzoek....‟, 1939, h.23; W.M.F Mansvelt, Changing Economy Indonesia: Vol.5 National income, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), h.40.

Keadaan di atas yang penulis paparkan sudah bisa menjelaskan bagaimana sulit dan menderitanya para nelayan yang tinggal di pesisir Cirebon dekat dengan Pelabuhan Cirebon. Terlebih lagi kebijakan pemerintah Hindia Belanda membolehkan nelayan-nelayan asing ikut menggarap daerah tangkapan nelayan pribumi dan kenyataan pahit makin dirasakan ketika pemasaran hasil tangkapannya pun tidak diekspor keluar namun bersaing dengan hasil tangkapan nelayan pribumi di tempat pemasaran yang sama di sekitaran Pelabuhan Cirebon.

2. Aktivitas Masyarakat Pedalaman (Aktivitas daerah Hinterland)

Dokumen terkait