• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Lokasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Lokasi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Lokasi

Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan

ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang

potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai

macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006).

Teori lokasi adalah suatu penjelasan teoretis yang dikaitkan dengan tata ruang

dari kegiatan ekonomi. Hal ini selalu dikaitkan pula dengan alokasi geografis dari

sumber daya yang terbatas yang pada gilirannya akan berpengaruh dan berdampak

terhadap lokasi berbagai aktivitas baik ekonomi maupun sosial (Sirojuzilam, 2006:

22).

Thunen dalam Tarigan (2006) berpendapat tentang perbedaan lokasi dari

berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan

ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan paling mahal nilainya adalah

di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen

menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva

permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya

produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk

membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan,

(2)

suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von

Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun

apabila makin jauh dari pusat kota.

Aksesibilitas adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi apakah

suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak. Tingkat aksesibilitas merupakan

tingkat kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi ditinjau dari

lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas

dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana

penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk

melalui jalur tersebut. Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal

standar lokasi (standard for location requirement) atau standar jarak (Jayadinata,

[image:2.612.123.529.473.686.2]

1999: 160) seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1. Standar Jarak dalam Kota

No Prasarana Jarak dari Tempat

Tinggal (Berjalan Kaki)

1. Pusat Tempat Kerja 20 menit s.d 30 menit

2. Pusat Kota (Pasar dan sebagainya) 30 menit s.d 45 menit

3. Pasar Lokal ¾ km atau 10 menit

4. Sekolah Dasar (SD) ¾ km atau 10 menit

5. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 ½ km atau 20 menit

6. Sekolah Menengah Atas (SMA) 20 atau 30 menit

7. Tempat Bermain Anak Atau Taman ¾ km atau 20 menit

8. Tempat Olahraga (Rekreasi) 1 ½ km atau 20 menit

(3)

2.2. Standar Sarana Prasarana Pendidikan

Definisi sarana menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24

Tahun 2007 adalah perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan

pembelajaran yang dapat dipindah-pindah yang meliputi meubiler, meubiler

perpustakaan, buku teks pelajaran, buku referensi, alat peraga, alat-alat laboratorium

dan alat-alat praktik. Sedangkan prasarana adalah fasilitas dasar yang diperlukan

untuk menjalankan fungsi satuan pendidikan yang meliputi ketersediaan lahan,

bangunan gedung, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, ruang pimpinan, ruang

guru, ruang tata usaha, tempat ibadah, ruang konseling, ruang UKS, ruang organisasi

kesiswaan, jamban, gudang, ruang sirkulasi serta tempat bermain/berolahraga.

Adapun beberapa standar yang dapat dijadikan acuan yaitu:

1. Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI

Standar ini merupakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24

Tahun 2007. Standar mencakup sarana dan prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs,

dan SMA/MA. Ketentuan yang diatur dalam standar ini meliputi satuan: satuan

pendidikan, luasan lahan, bangunan gedung, prasarana dan sarana yang harus

dimiliki fasilitas pendidikan beserta ketentuannya. Penelitian ini hanya akan

meninjau mengenai satuan pendidikan saja yang di dalamnya diatur mengenai

banyaknya rombongan belajar, batas maksimum jumlah penduduk yang dilayani,

dan area pelayanan satu fasilitas pendidikan. Standar satuan pendidikan SMA dan

(4)

a. Satu SMA/MA memiliki minimum 3 rombel dan maksimum 27 rombel.

b. Satu SMA/MA dengan 3 rombel melayani maksimum 6000 jiwa

penduduk. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat

dilakukan penambahan rombel atau pembangunan SMA/MA baru.

2. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana

Struktur pemerintahan yang dipergunakan dalam standar perencanaan kebutuhan

sarana kota menurut Cipta Karya untuk perumahan sederhana didasarkan pada

jumlah penduduk: kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa). Pola

sebaran penduduknya adalah rukun tetangga (250 jiwa), rukun warga (2.500

jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), dan kecamatan (120.000 jiwa). Luas tiap unit yang

dimaksud pada tabel di bawah adalah luas lahan yang dapat digunakan secara

efektif untuk membangun prasarana sekolah berupa bangunan gedung dan tempat

bermain/olahraga.

Tabel 2.2. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya untuk Perumahan Sederhana

Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m

2

)

Taman Kanak-Kanak 1000 800

Sekolah Dasar 1600 1800

SMTP 6000 2400

SMTA 6000 2400

(5)

3. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri

Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan

sarana kota Depdagri ini didasarkan pada jumlah penduduk: kelurahan (30.000

jiwa), kecamatan (200.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya: rukun tetangga (250

jiwa), rukun warga (3000 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (200.000

jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa). Luas tiap unit yang dimaksud adalah luas lahan

yang dapat dibangun prasarana sekolah berupa bangunan gedung dan tempat

olahraga.

Tabel 2.3. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Departemen Dalam Negeri

Jenis Sarana Kota Jumlah Penduduk

Pendukung (Jiwa) Luas Tiap Unit (m 2

)

Taman Kanak-Kanak 750 500

Sekolah Dasar 3000 4000

SMTP 30000 9600

SMTA 30000 9600

Sumber:Direktorat Tata Guna Tanah Ditjen Agraria Depdagri Atlas DKI Jakarta Raya, Tanah dan Kegiatan Pembangunan PUBL No. 214 Tahun 1982 dalam LPPWK 1993 dalam Iskandar, 2009

4. Standar dan Ketentuan Mengenai Daerah Layanan Fasilitas Pendidikan Menengah

Standar sarana dan prasarana Departemen Pendidikan Nasional terbaru

memberikan batasan jarak sebagai kriteria layanan untuk daerah terpencil saja,

sedangkan kriteria batasan jarak dan waktu tempuh untuk kondisi umum tidak

(6)

pendidikan Departemen Pendidikan yang telah dikeluarkan sebelumnya masih

layak digunakan. Dalam standar fasilitas pendidikan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, bahwa kriteria lokasi fasilitas pendidikan untuk Sekolah Menengah

Atas, yaitu:

1. Mudah dicapai dari setiap bagian kecamatan.

2. Dapat dicapai oleh murid selama kurang dari 45 menit berjalan kaki.

3. Jauh dari pusat keramaian (pertokoan, perkantoran, perindustrian).

Selain pedoman di atas terdapat juga pedoman perencanaan gedung sekolah dari

Departemen Pekerjaan Umum, dengan mempertimbangkan aspek-aspek:

1. Fasilitas sekolah menengah umum direncanakan dengan kecenderungan

perkembangan kota, rencana induk kota, dan harus disetujui oleh pemerintah

daerah setempat.

2. Kepadatan dan potensi penduduk (% penduduk usia sekolah) harus

mendukung kegiatan pendidikan sehingga selain akan dapat menentukan

lokasi sekolah juga harus dapat menentukan jenis dan tipe sekolah.

3. Radius pencapaian ditentukan oleh jarak capai/tempuh, faktor usia,

kemampuan fisik siswa, dan sarana transportasi. Radius pencapaian dari

sekolah menengah umum ditentukan maksimum 5 km atau 1 jam perjalanan

(jalan kaki). Lokasi harus dihindarkan dari lalu lintas berkepadatan tinggi

untuk menghindari kecelakaan dan kemacetan.

4. Kondisi lingkungan sangat menentukan lokasi fisik sekolah. Lingkungan

(7)

flora dan fauna, dan lingkungan buatan seperti bangunan dan lingkungan

masyarakat (sosial budaya dan sosial ekonomi). Syarat lokasi bangunan

sekolah terhadap lingkungan adalah tercapainya: kenyamanan, ketenangan,

kesehatan, dan keamanan.

5. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum

Struktur pemerintahan yang digunakan dalam standar perencanaan kebutuhan

sarana kota menurut Cipta Karya Departemen PU didasarkan pada jumlah

penduduk: kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah (480.000

jiwa), kota (1.000.000 jiwa). Pola sebaran penduduknya adalah RT (250 jiwa),

RW (2500 jiwa), kelurahan (30.000 jiwa), kecamatan (120.000 jiwa), wilayah

(480.000 jiwa), dan kota (1.000.000 jiwa).

Tabel 2.4. Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Pendidikan Cipta Karya Departemen PU

Jenis Sarana Kota

Jumlah Penduduk

Pendukung(Jiwa) Jarak Luas Lahan

Sekolah Dasar 1600

Mudah dicapai dan radius pencapaian maksimum 1000 m, dihitung dari unit terjauh

2000 m2

SMTP 4800 Radius maksimum 1000 m 9000 m2

SMTA 4800 Radius maksimum 3 km dari

unit yang dilayaninya

 12.500 m2 (1 lt)

 8000 m2 (2 lt)

 5000 m2 (3 lt)

(8)

2.3. Lahan

Menurut Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 bahwa luas minimum lahan

yang dibutuhkan untuk jenjang sekolah menengah adalah 2.170 m2 dan lahan untuk

satuan pendidikan SMA/MA memenuhi ketentuan rasio minimum luas lahan terhadap

[image:8.612.111.508.277.462.2]

peserta didik seperti tercantum pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Rasio Minimum Luas Lahan terhadap Peserta Didik Rasio Minimum Luas Lahan terhadap

Peserta Didik (m2/Peserta Didik) No

Banyaknya Rombongan

Belajar Bangunan

Satu Lantai

Bangunan Dua Lantai

Bangunan Tiga Lantai

1 3 36,5 - -

2 4-6 22,8 12,2 -

3 7-9 18,4 9,7 6,7

4 10-12 16,3 8,7 6,0

5 13-15 14,9 7,9 5,4

6 16-18 14,0 7,5 5,1

7 19-21 13,5 7,2 4,9

8 22-24 13,2 7,0 4,8

9 25-27 12,8 6,9 4,7

Sumber:Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007.

Untuk satu orang siswa dibutuhkan luas lahan 0.75 m2, maka 7m x 8m (luas

lokal) = 56 m2. Selanjutnya 0.75 x 56 didapatkan 42 siswa per kelas. Selain itu faktor

kondisi fisik lahan sangat menentukan dalam pemilihan lokasi suatu sekolah. Yang

termasuk dalam pembahasan kondisi fisik lahan adalah 1) kondisi topografi;

2) kondisi hidrologi dan 3) kondisi tanah; 4) bebas dari bencana alam. Lebih jelasnya

(9)

1. Kondisi topografi

Menurut Widyasa (2001) mengemukakan bahwa semakin landai lahan

maka akan semakin banyak aktivitas. Artinya bahwa untuk penentuan sebuah

lokasi sekolah diutamakan didirikan pada lokasi yang landai. Hal ini sejalan

dengan pendapat yang menyatakan bahwa kondisi topografi meliputi permukaan

tanah yang relatif cukup datar, lahan sekolah relatif tidak berbukit, kemiringan

permukaan tanah maksimal 10%, ketinggian lahan relatif masih wajar, lahan tidak

dekat dengan lereng sungai dan dalam lokasi tidak terdapat tebing curam. Dalam

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 disebutkan bahwa

lahan sekolah kemiringan lahan rata-ratanya kurang dari 15%, tidak berada di dalam

garis sempadan sungai dan jalur kereta api. Lahan bukan merupakan daerah hutan

lindung, bukan merupakan daerah resapan air, bukan merupakan daerah cadangan

air, bukan merupakan daerah purbakala dan bukan merupakan tempat keramat.

2. Kondisi hidrologi

Kondisi hidrologi lebih menyoroti keberadaan dan kondisi air pada lahan

sekolah tersebut. Jika kondisi air kurang baik maka akan berakibat tidak baik pada

seluruh warga sekolah. Sebab air yang ada pada lahan tersebut dipergunakan

untuk: MCK dan keperluan lainnya. Selain itu lahan harus terhindar dari

pencemaran air. Hal ini sesuai dengan Permendiknas No. 24 Tahun 2007 dan PP

(10)

3. Kondisi tanah

Kondisi tanah perlu diperhatikan karena berkaitan erat dengan tingkat

kepekaan terhadap erosi. Ada beberapa kondisi tanah yang mempunyai kepekaan

tinggi terhadap erosi ini, yaitu: regosol, litosol, organosol, dan renzina. Kepekaan

terhadap erosi ini semakin rawan apabila tingkat kemiringan lahan makin curam

karena menyebabkan aliran air di permukaan makin deras dengan daya angkut

yang semakin banyak. Kondisi tanah yang ideal untuk lokasi sekolah adalah:

berupa tanah darat atau tanah bekas kebun/ladang; lahan yang berupa tanah

rawa/sawah atau bekas rawa/sawah harus siap bangun tanpa perlakuan khusus;

lahan tidak berupa tanah bekas kuburan atau bekas timbunan sawah atau bekas

limbah kimia.

Intinya bahwa lahan untuk sekolah harus mempunyai kondisi yang

memungkinkan hidupnya vegetasi untuk kebun percobaan, kenyamanan dan

keindahan. Tanah idealnya mencukupi seperti jenis tanah berupa bebatuan,

kerikil, pasir dan lempung keras.

4. Kondisi tanah bebas dari bencana alam

Dalam perencanaan pembangunan sebuah sekolah perlu diperhatikan faktor

alam sebagai salah satu faktor kenyamanan sekolah. Lahan yang digunakan untuk

lokasi sekolah hendaknya terhindar dari gangguan binatang buas, berada

di wilayah bebas banjir, tidak termasuk daerah atau lingkungan yang sering

(11)

2.4. Faktor Pemilihan Lokasi Sekolah

Penentuan lokasi sebuah sekolah diutamakan untuk memperhatikan

faktor-faktor berikut: faktor-faktor aksesibilitas; faktor-faktor pola distribusi; faktor-faktor kondisi lingkungan;

lahan sekolah dan peta pendidikan.

2.4.1. Faktor Aksesibilitas

Menurut Robinson (2003) Aksesibilitas adalah kemudahan mencapai suatu

wilayah dari wilayah lain yang berdekatan. Aksesibilitas (kemudahan jarak tempuh)

akan mempengaruhi kestrategisan suatu lokasi, karena menyangkut kemudahan untuk

menuju lokasi tersebut dari berbagai lokasi yang berada di sekitarnya atau wilayah

lainnya. Menurut Chiara dalam Yuliantarti (2003), aksesibilitas yang baik merupakan

salah satu faktor strategis dalam penentuan suatu lokasi sekolah karena akan

mempermudah siswa atau peserta didik dari dan ke lokasi sekolah. Selain itu

dikemukakan juga bahwa salah satu kriteria dalam pemilihan lokasi adalah tingkat

daya hubung yang baik yakni ketersediaan angkutan umum, jaringan jalan, frekuensi

keberangkatan dan jarak.

Faktor aksesibilitas ini dianalisis berdasarkan wilayah terdekat yang mampu

diakses sesuai peta jaringan jalan berdasarkan batasan jarak atau waktu minimum

yang diberikan antara tempat sekolah. Jarak tempuh maksimal tempat

tinggal-sekolah berdasarkan standar yang berlaku di Indonesia dengan tidak membedakan

transportasi yang dipilih dan kondisi jalan yang ditempuh. Indikator yang

menentukan aksesibilitas ini, yaitu: kedekatan lokasi dengan jaringan transportasi dan

(12)

Menurut Srour (2003) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa tingkat

aksesibilitas adalah meminimumkan waktu tempuh (travel time). Dalam kondisi yang

ideal bahwa suatu aksesibilitas yang baik di suatu lokasi diukur berdasarkan seberapa

baik jaringan transportasinya pada lokasi tersebut terhubung dengan pusat-pusat

kegiatan lainnya.

2.4.2. Faktor Pola Distribusi

Faktor pola distribusi dimaksudkan untuk menganalisis penyebaran sekolah

dengan melihat kesesuaian terhadap persediaan-permintaan sekolah (supply-demand)

sekolah. Proyeksi penduduk di masa yang akan datang dalam rangka mengetahui

jumlah kebutuhan fasilitas SLTA juga akan dilakukan. Supply (jumlah daya tampung

sekolah) dianalisis berdasarkan standar luas minimum sekolah, luas sekolah per

siswa, jumlah siswa per kelas, serta jumlah siswa per guru sedangkan demand

(kebutuhan) dianalisis berdasarkan jumlah penduduk usia sekolah menengah yakni

16-18 tahun. Analisis terhadap pola distribusi ini dilakukan untuk meminimalisir

kesenjangan antarwilayah untuk rasio jumlah penduduk usia sekolah dengan jumlah

sekolah, ketidakseimbangan antara kapasitas dan kebutuhan, serta keterbatasan lahan

untuk pengembangan dan pembangunan sekolah.

Payung hukum untuk pola distribusi ini juga diatur di dalam standar nasional

sarana dan prasarana pendidikan yang dimuat dalam Permendiknas Nomor 24 Tahun

2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD, SMP, SMA atau sederajat.

Pada satu sisi, secara kuantitas sekolah harus menjawab kebutuhan

(13)

memfasilitasi kegiatan belajar dengan standar yang terus meningkat. Pada sisi lain,

sekolah harus “bersaing” dengan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan

sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk dan kota, demografi mengalami

perubahan dan kebutuhan ruang terus meningkat. Hal ini memicu terjadinya

pelanggaran master plan dan perubahan tata guna lahan sehingga sedikit banyak

mempengaruhi lingkungan sekolah.

2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Murai dalam Muhammad (2009) mengartikan Sistem Informasi

Geografis (SIG) sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan,

menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data

bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan

dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam,

lingkungan, transfortasi, fasilitas kota dan pelayanan umum lainnya. Walaupun SIG

memiliki banyak definisi, pada prinsipnya penggunaan SIG tak lepas dari perangkat

keras dan perangkat lunak komputer serta manajemen data dan informasi yang

berhubungan dengan permukaan bumi dengan kemampuan visualisasi dan analisa

unik yang digunakan untuk pemetaan.

SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu

titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan

hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data

(14)

tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa

pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah

yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya (UNDP, 2007).

Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainnya

yang membuatnya menjadi berguna untuk berbagai kalangan untuk menjelaskan

kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi.

2.6. Perencanaan Pendidikan

Menurut Coombs dalam Sa’ud dan Makmun (2007) perencanaan pendidikan

adalah suatu penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses perkembangan

pendidikan dengan tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien serta sesuai

dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakatnya. Sehingga masih

menurutnya bahwa terdapat empat hal yang dibahas dalam perencanaan pendidikan

yaitu: tujuan, bagaimana kondisi sistim pendidikan yang ada sekarang, kemungkinan

pilihan alternatif kebijakan dan prioritas untuk mencapai tujuan dan strategi

pencapaian tujuan.

Perencanaan pendidikan disusun berdasarkan situasi dan kondisi suatu negara

yang bersangkutan dan mempersiapkan keputusan-keputusan atau alternatif

kebijaksanaan untuk keperluan pembangunan pendidikan di masa depan merupakan

fungsi dari perencanaan pendidikan (Enoch, 1992).

Menurut Sa’ud (2007), tujuan perencanaan pendidikan adalah menyusun

(15)

pemerintah (menyusun alternatif dan prioritas kegiatan) yang menjadi dasar

pelaksanaan pendidikan pada masa yang akan datang dalam upaya pencapaian

sasaran pembangunan pendidikan.

Pemilihan lokasi sekolah pada suatu wilayah merupakan salah satu bentuk

dari suatu perencanaan pendidikan. Pemilihan lokasi sekolah pada dasarnya memiliki

konsep yang sama dengan pemilihan lokasi bangunan lain seperti pemilihan lokasi

perumahan, pertokoan, industri, dan lain-lain, yang semuanya berhubungan erat

dengan teori lokasi sebagai dasar ilmu dari perencanaan lokasi itu sendiri.

2.7. Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Tophan (2005) mengenai

Pemodelan Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Sekolah menyatakan

bahwa:

1. Dengan adanya Sistem Informasi Geografis penentuan lokasi sekolah yang

mudah dicapai dapat dianalisis dengan cepat.

2. Dengan adanya Sistem Informasi Geografis yang mampu melakukan analisis

pemilihan suatu lokasi yang ideal, maka lokasi sekolah yang tepat dapat

diperoleh dengan cepat dan akurat.

3. Penentuan lokasi sekolah dengan menggunakan metode konvensional

memerlukan waktu yang cukup lama.

Harahap (1999) melakukan penelitian dengan judul Arahan Lokasi Fasilitas

(16)

menyatakan bahwa: Analisis yang digunakan dalam studi ini ialah perhitungan

kebutuhan dan sediaan fasilitas SLTP di setiap kelurahan. Kebutuhan fasilitas SLTP

kelurahan yang melebihi sediaannya dianggap menggunakan fasilitas di kelurahan

lain terdekat. Metode yang digunakan dalam perhitungan penggunaan fasilitas SLTP

adalah metode p-median dan analisis peta dengan menggunakan ARC/INFO. Analisis

dilakukan dalam dua periode waktu yaitu tahun 1998 dan 2004, karena lama

pendidikan di SD 6 tahun. Hasil yang diperoleh dari studi ini ialah sebagai berikut.

Terdapat tiga pola pengelompokan penggunaan fasilitas SLTP, yaitu kelompok

Kelurahan/Desa Margasenang, Pasir Wangi dan Pasir Endah. Kebutuhan fasilitas

SLTP baru pada periode pertama tahun 1998 ialah sembilan SLTP, yang dialokasikan

untuk kelompok Kelurahan Margasenang, dua SLTP di Kujangsari. Untuk kelompok

Kelurahan Pasir Wangi, dua SLTP di Pasanggrahan, satu SLTP di Cipadung, satu

SLTP di Palasari dan satu SLTP di Ujungberung. Untuk kelompok Kelurahan Pasir

Endah, satu SLTP di Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Kebutuhan terhadap

fasilitas SLTP tahun 2004 ialah sebanyak 11 SLTP. Kelompok Margasenang

memperoleh alokasi satu SLTP, ditempatkan di Cipamokolan. Kelompok Pasir

Wangi memperoleh enam SLTP, satu SLTP di Mekarmulya, empat SLTP

di Cipadung dan satu SLTP di Pasanggrahan. Kelompok Pasir Endah memperoleh

alokasi empat SLTP, satu SLTP di Cisaranten Kulon, dua SLTP di Antapani dan satu

SLTP di Mandalajati. Selain 1okasinya, diperoleh juga pola penggunaan fasilitas

SLTP yaitu pemakaian sendiri, dan pemakaian bersama fasilitas SLTP oleh beberapa

(17)

2044 sebanyak 20 SLTP. Untuk memenuhi kebutuhan ini dapat dilakukan dengan

beberapa alternatif, yaitu membangun 20 sekolah baru, penambahan ruangan kelas

pada sekolah yang sudah ada, pemakaian SLTP dua kali sehari (dua shift) dan

partisipasi swasta dalam menyediakan fasilitas pendidikan SLTP.

Berdasarkan perbandingan hasil studi dengan perkiraan kebutuhan dalam RDTRK

dan beberapa standar, dapat disimpulkan bahwa standar yang paling mendekati ialah

perkiraan kebutuhan dalam RDTRK, sehingga perkiraan kebutuhan dalam RDTRK

dapat diterapkan setelah disesuaikan dengan hasil studi ini. Penyesuaian dilakukan

terutama dalam melihat kebutuhan fasilitas SLTP setiap kelurahan, sehingga

pelayanan fasilitas SLTP menjadi lebih baik dan lebih mudah dijangkau penduduk.

Muharani (2003) melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Distribusi

Fasilitas Pendidikan Sekolah Dasar di Kecamatan Batununggal Kota Bandung dengan

Memanfaatan Sistem Informasi Geografis.

Berdasarkan statistik pendidikan Kota Bandung, jumlah fasilitas (SD) di Kota

Bandung telah dapat melayani seluruh kebutuhan di Kota Bandung dan juga melayani

sebagian kebutuhan di luar Kota Bandung. Namun masih terdapat

kecamatan-kecamatan yang memiliki penduduk usia 7-12 tahun yang tidak terlayani oleh fasilitas

SD setempat. Tidak terlayaninya kebutuhan penduduk akan fasilitas SD ini

disebabkan salah satunya oleh kurang meratanya distribusi sekolah. Dengan

demikian, perlu dilakukan tinjauan evaluatif terhadap distribusi fasilitas SD

di Kecamatan Batununggal. Untuk mengevaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD

(18)

di Kecamatan Batununggal. Data spasial yang dibutuhkan ini dapat ditampilkan

dengan mengandalkan Sistem Informasi Geografis (SIG). Oleh karena itu pada studi

ini digunakan perangkat SIG dalam mengevaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD.

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD

di Kecamatan Batununggal dengan memanfaatkan SIG. Selain kebutuhan yang ada,

dalam penyediaan fasilitas SD perlu dipertimbangkan standar dan ketentuan yang

mengaturnya. Dalam evaluasi distribusi fasilitas pendidikan SD ini dibentuk

indikator-indikator berdasarkan kebutuhan serta standar dan ketentuan yang ada,

yaitu: indikator pemenuhan kebutuhan penduduk, indikator daerah jangkauan

layanan, indikator kesesuaian lokasi dan indikator aksesibilitas. Berdasarkan hasil

studi, terdapat kelurahan-kelurahan di Kecamatan Batununggal yang tidak memiliki

fasilitas SD dan terdapat bagian wilayah Kecamatan Batununggal yang dilayani oleh

fasilitas di luar kecamatan, sediaan fasilitas pendidikan SD di Kecamatan

Batununggal hanya dapat memenuhi 87% dari kebutuhan yang ada, distribusi fasilitas

SD di Kecamatan Batununggal memiliki daerah jangkauan yang dapat mencakup

seluruh wilayah kecamatan dan aksesibel terhadap jalur angkutan umum tetapi

terdapat lokasi fasilitas SD yang tidak sesuai dengan standar dan ketentuan yang ada.

Dengan demikian, berdasarkan hasil studi keseluruhan dapat ditarik kesimpulan

bahwa distribusi fasilitas SD di Kecamatan Batununggal tidak merata dan tidak

memenuhi kebutuhan dan ketentuan yang ada. Untuk itu, diperlukan penambahan

fasilitas pendidikan SD dan suatu pengembangan pemanfaatan SIG dalam

(19)

pembangunan fasilitas SD di masa yang akan datang sebaiknya dilakukan secara

berkesinambungan dan perlu memperhatikan kebutuhan serta standar dan ketentuan

yang ada, antara lain daerah jangkauan layanan, kesesuaian guna lahan dan jaringan

jalan serta aksesibilitas.

Prihantini (2008) tentang Pendirian Lokasi Sekolah di Kota Salatiga dengan

Memanfaatkan Sistem Informasi Geografis. Kriteria penentuan lokasi suatu SLTP

adalah: 1) Peta Pendidikan. Peta pendidikan adalah jumlah kebutuhan sekolah dalam

suatu wilayah yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi sekolah yang tepat

berdasarkan kepadatan penduduk dan jumlah usia sekolah. Untuk menghitung

kepadatan penduduk adalah dengan menghitung jumlah penduduk mencapai kurang

lebih 25.000 orang lulusan SD/MI mencapai 20 orang maka diperlukan 1 unit

bangunan SMP/MTs. 2) Ketersediaan Dokumentasi Administrasi.Dalam menentukan

lokasi sekolah perlu diperhatikan status hukum lahan sekolah yang bukan merupakan

tanah sengketa/gugatan, sitaan atau dalam proses peradilan dan surat tanah yaitu bukti

surat kepemilikian yang sah. Dokumen administrasi ini dapat berupa sertifikat tanah,

girik atau akta. 3) Lahan Sekolah. Pendirian suatu lokasi sekolah harus

memperhatikan rencana peruntukan lahan yang berupa advis planning, yaitu surat

keterangan rencana tata kota atau kabupaten yang dibuat berdasarkan RDTR Kota

yang meliputi: ketentuan penataan bangunan (koefisien dasar bangunan, koefisien

luas bangunan, koefisien dasar hijau, garis sempadan bangunan, rencana jalan, dan

tipe bangunan), peta lokasi tanah, data tanah, peruntukan. Pendirian suatu lokasi

(20)

bahwa lokasi tanah tersebut tersebut sesuai dengan detail tata ruang dan dapat

dibangun gedung sekolah baru.

Kurniati (2007) tentang Peran Sistem Informasi Geografis dalam Bidang

Pendidikan disebutkan bahwa: peningkatan aksesibilitas pendidikan dapat dilakukan

dengan adanya pemetaan sekolah yang apabila disinergikan dengan SIG akan

diperoleh suatu sistem yang mampu mendata daerah atau wilayah mana saja yang

belum terakses pendidikan secara baik sehingga dapat diberikan solusinya.

2.8. Kajian Mengenai Draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010-2030 Kota Tanjungbalai

Tujuan penataan ruang wilayah Kota Tanjungbalai mencerminkan

keterpaduan pembangunan antarsektor, antarkecamatan, dan antarpemangku

kepentingan. Di masa yang akan datang tujuan penataan ruang Kota Tanjungbalai

tidak akan terlepas dari peran, fungsi, dan kedudukannya dalam lingkup wilayah yang

lebih luas. Untuk mendukung pengembangan peran dan fungsi Kota Tanjungbalai

sebagai salah satu pengembangan pelabuhan nasional di Provinsi Sumatera Utara,

maka tujuan penataan ruang Kota Tanjungbalai disesuaikan dengan visinya, yaitu:

“TERWUJUDNYA TANJUNGBALAI SEBAGAI KOTA PELABUHAN,

PUSAT PERDAGANGAN DAN INDUSTRI REGIONAL DENGAN

(21)

Pusat Pelayanan Kota

Pusat Pelayanan Kota (luas 282 Ha), meliputi: Kecamatan Tanjungbalai Utara

dan Tanjungbalai Selatan. Fungsi utama PPK: sebagai pusat kegiatan perdagangan

regional dan kawasan daerah aliran sungai (water front). Fungsi ini didukung oleh

kegiatan jasa komersial, perbankan, perkantoran, pelayanan umum dan sosial,

kawasan permukiman perkotaan, industri kecil dan pusat pendidikan.

Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK)

1. Sub Pusat Pelayanan Kota 1 (Kecamatan Datuk Bandar)

SPPK 1 (luas 2.249 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Sijambi.

Fungsi utama SPPK 1 sebagai pengembangan zona pemerintahan, RTH skala kota.

Fungsi ini didukung oleh kegiatan Permukiman, Pasar, Tempat Pembuangan Akhir

(TPA) dan pengembangan pelayanan kesehatan.

2. Sub Pusat Pelayanan Kota 2 (Kecamatan Datuk Bandar Timur)

SPPK 2 (luas 1.457 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Bunga

Tanjung.

Fungsi utama SPPK 2 sebagai pengembangan Pariwisata dan Budidaya Pertanian

dan Perikanan Darat. Fungsi kawasan ini didukung oleh kegiatan permukiman,

perdagangan dan jasa serta pelayanan fasilitas umum dan sosial skala SPPK.

3. Sub Pusat Pelayanan Kota 3 (Kecamatan Sei Tualang Raso)

SPPK 3 (luas 809 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Muara

(22)

Fungsi utama SPPK 3 sebagai pengembangan permukiman, perkantoran dan

pengembangan jaringan jalan lingkar utara serta kawasan industri terpadu dan

pengembangan kawasan pendidikan (politeknik) dan rumah susun.

4. Sub Pusat Pelayanan Kota 4 (Kecamatan Teluk Nibung)

SPPK 4 (luas 1.255 Ha), pusat pelayanannya direncanakan di Kelurahan Kapias

Pulau Buaya.

Fungsi utama SPPK 4 sebagai pengembangan pelabuhan dan kawasan zona

eksport, kawasan pelabuhan perikanan.

2.9. Kajian Mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Tanjungbalai Tahun 2005-2025

Kondisi sarana dan prasarana sosial dasar baik pendidikan, kesehatan,

perhubungan, perdagangan, peribadatan, telekomunikasi, listrik dan air minum

di Kota Tanjungbalai relatif masih sangat terbatas baik sisi kualitas maupun kuantitas.

Di bidang pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat cukup baik, namun

masih terbatas dan belum meratanya pendidik baik secara kuantitas maupun kualitas

serta tingkat kesejahteraan pendidik yang masih rendah. Demikian juga fasilitas

belajar belum memadai termasuk buku-buku pelajaran dan sarana penunjang lainnya.

Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Kota Tanjungbalai tahun 2006 penduduk usia

7-12 tahun (kelompok SD sederajat) Kota Tanjungbalai tahun 2006 sebesar 98,74

(23)

87,97 persen, dan penduduk usia 16-18 tahun (kelompok SLTA sederajat) sebesar

69,34 persen.

Angka Partisipasi Kasar (APK) SD sederajat sebesar 108,05 berarti ada

sekitar 8,05 persen ada penduduk usia di bawah 7 tahun atau di atas 8 tahun yang

masih di jenjang pendidikan SD sederajat dan atau ada anak berasal dari luar Kota

Tanjungbalai (kabupaten jiran) yang bersekolah di Kota Tanjungbalai. Sedangkan

Angka Partisipasi Kasar SLTP sederajat sebesar 95,25 persen dan Angka Partisipasi

Kasar SLTA sederajat sebesar 69,82 persen.

Angka Partisipasi Murni (APM) SD sederajat sebesar 93,84 persen dan SLTP

sederajat sebesar 73,57 persen sedangkan Angka Partisipasi Murni SLTA sederajat

hanya sebesar 59,44 persen. Masih terdapat angka buta huruf penduduk 10 tahun ke

atas di Kota Tanjungbalai tahun 2006 sebesar 0,97 persen.

Salah satu langkah yang dapat diambil untuk memberantas buta huruf

penduduk usia lanjut dengan menggalakkan pendidikan luar sekolah seperti program

paket A, B dan C. Rata-rata lama sekolah di Kota Tanjungbalai tahun 2006 telah

mencapai angka 8,8 tahun hampir mencapai sasaran yang diharapkan yakni program

wajib belajar 12 tahun.

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk Kota Tanjungbalai berumur

10 tahun ke atas terbesar adalah tamat SD/sederajat sebesar 31,68 persen sedang

untuk perguruan tinggi masih rendah yaitu sebesar 2,93 persen. Jumlah murid per

jenjang pendidikan pada tahun 2006 adalah 23.933 orang murid SD/MI, 9.183 orang

(24)

terhadap guru untuk SD/MI adalah 23 orang, SLTP 16 orang dan SLTA/MA/SMK 14

orang. Hal ini secara umum menggambarkan ratio murid terhadap guru di Kota

Tanjungbalai cukup memadai.

Fasilitas belajar belum memadai dan masih terbatasnya buku-buku pelajaran.

Jumlah sekolah untuk berbagai tingkatan adalah sebanyak 140 unit yang terdiri dari

SD/MI 92 unit, SLTP/MTs 28 unit dan SLTA/MA 20 unit.

Tingkat kecerdasan penduduk dapat dilihat dari ijazah tertinggi yang dimiliki

atau tingkat pendidikan yang ditamatkan. Berdasarkan Angka Sementara tahun 2006

di Kota Tanjungbalai memperlihatkan bahwa penduduk usia 10 tahun ke atas yang

tamat SD/sederajat sebesar 31,68 persen, dan yang tamat SMP/sederajat hanya 22,12

persen, sedangkan yang tamat SMU/sederajat dan di atasnya sebesar 27,55 persen.

Hal ini menggambarkan bahwa kemampuan penduduk dari sisi pendidikan masih

relatif rendah. Sementara tidak/belum tamat SD sebesar 18,65 persen. Penyebab

utama rendahnya tingkat pendidikan adalah faktor ekonomi yang disusul oleh faktor

geografis. Penduduk yang tidak dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang

lebih tinggi umumnya berasal dari keluarga kurang mampu.

2.10. Kajian Mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Tanjungbalai Tahun 2006-2011

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Tanjungbalai (RPJM)

merupakan pedoman dan acuan bagi Dinas, Badan, Kantor dan Bagian Setdakot

(25)

di lingkungan Pemerintah Kota Tanjungbalai. Di samping itu Rencana Pembangunan

Jangka Menengah merupakan acuan bagi Pemerintah Kota di dalam menyusun

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Pemenuhan Hak Atas Layanan Pendidikan

Untuk memenuhi hak masyarakat miskin dalam memperoleh layanan

pendidikan bebas biaya dan bermutu, tanpa diskriminasi gender dilakukan melalui

program-program diantaranya:

Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun

a. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas, terutama untuk

daerah perluasan, dalam bentuk block grant atau imbal swadaya bagi satuan

pendidikan dasar. Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan termasuk subsidi

atau beasiswa bagi peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa

diskriminasi gender;

b. Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan dasar baik melalui jalur

formal maupun non formal untuk memenuhi kebutuhan, kondisi, dan potensi

anak bagi peserta didik dengan kemampuan berbeda (diffuble), tanpa

diskriminasi gender;

c. Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan dasar melalui pendidikan

formal dan non formal yang memenuhi kebutuhan, kondisi dan potensi anak,

untuk memenuhi kebutuhan penduduk miskin, serta pemberian perhatian bagi

(26)

d. Peningkatan upaya penarikan kembali siswa putus sekolah dan lulusan SD/MI

yang tidak melanjutkan, serta mengoptimalkan upaya menurunkan angka putus

sekolah tanpa diskriminasi gender melalui penyediaan bantuan biaya pendidikan

seperti beasiswa atau voucher pendidikan dan perluasan perbaikan gizi anak

sekolah;

e. Pengembangan kurikulum pengembangan pendidikan kecakapan hidup sesuai

kebutuhan peserta didik, masyarakat dan industri termasuk dasar-dasar

kecakapan vokasi untuk peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang

pendidikan menengah;

f. Penyediaan materi pendidikan, termasuk buku pelajaran dan buku bacaan guna

meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang

dipelajari; dan

g. Pembebasan secara bertahap berbagai pungutan, iuran, sumbangan apapun yang

berbentuk uang dari keluarga miskin.

Pendidikan Menengah

a. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan disertai dengan penyediaan

pendidik dan tenaga kependidikan secara lebih merata, bermutu, tepat lokasi,

disertai dengan rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak.

Penyediaan biaya operasional pendidikan dan/atau subsidi/hibah dalam bentuk

blockgrant atau imbal swadaya bagi satuan pendidikan menengah.

(27)

peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa diskriminasi

gender;

b. Pengembangan kurikulum termasuk kurikulum pendidikan kecakapan hidup

peserta didik, masyarakat dan industri termasuk kecapakan vokasi untuk peserta

didik yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi;

c. Penataan bidang keahlian pendidikan menengah kejuruan yang disesuaikan

dengan kebutuhan lapangan kerja, didukung oleh upaya meningkatkan

kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri;

d. Penyediaan layanan pendidikan baik umum maupun kejuruan bagi siswa

SMA/MA/SMK yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi melalui

penyediaan tambahan fasilitas dan program antara (bridging program) pada

sekolah/madrasah yang ada dan/atau melalui kerjasama antarsatuan pendidikan

baik formal maupun non formal; dan

e. Penyediaan berbagai alternatif layanan pendidikan menengah baik formal

(28)

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di kota Tanjungbalai

Jangkauan Pelayanan Aksesibilitas Tata Guna Lahan

Kebutuhan SLTA Tahun 2030

Peta Lokasi Sekolah (Rencana dan Existing)

di Kota Tanjungbalai

[image:28.612.104.500.154.405.2]

2.11. Kerangka Berfikir

Gambar

Tabel 2.1. Standar Jarak dalam Kota
Tabel 2.5. Rasio Minimum Luas Lahan terhadap Peserta Didik
Gambar II.1. Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya suatu macam prasarana atau sarana yang lebih tinggi fungsinya atau yang diperlukan oleh jumlah penduduk yang besar jumlahnya (pasar, sekolah menengah,

: jumlah penduduk pada tahun t dari berbagai usia sedang sekolah pada jenjang pendidikan h. : jumlah penduduk pada tahun t berada pada kelompok usia a yaitu kelompok

Sesuai dengan konvensi International Labour Organization (ILO), batasan penduduk usia kerja yang digunakan di sini adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke

Instrumen itu merupakan suatu format dalam menentukan harapan dan presepsi pelanggan, serta dapat digunakan untuk menentukan kualitas jasa suatu perusahaan atas

Penduduk dapat dikatan sebagai suatu kelompok individu yang hidup dalam suatu wilayah yang diakui menjadi teritori suatu negara yang kemudian dikontrol oleh pemerintah

Untuk menentukan jumlah CE yang dibutuhkan suatu Node-B, dihitung dengan metode pendekatan kapasitas hardware yang menggunakan parameter HW Capacity UL serta status RAX Board

Variabel satu-satunya adalah jumlah usaha yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu set dari function point, sehingga Function Point Analysis bisa digunakan untuk

dapat dengan membagi jumlah siswa atau penduduk usia sekolah yang sedang. bersekolah dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan