• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi Dan Tanaman Kehutanan Di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Dan Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi Dan Tanaman Kehutanan Di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Dan Banten)"

Copied!
504
0
0

Teks penuh

(1)

Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Dyah Ediningtyas NIM : P. 051040061

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya berjudul: "Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten"), merupakan hasil penelitian tesis saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana, Magister Sains maupun Doktor, baik pada Institut Pertanian Bogor maupun perguruan tinggi lainnya dan belum pernah dipublikasikan. Segala data dan informasi di dalam tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Bogor, 30 Januari 2007 Yang menyatakan,

(2)

Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi dan Tanaman Kehutanan di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan RICHARD LUMINTANG dan DJOKO SUSANTO.

Pengelolaan hutan di Indonesia banyak menghadapi masalah, yaitu kurang meratanya potensi sumberdaya hutan, perkiraan adanya degradasi hutan akibat penebangan yang tidak tepat, illegal logging, tekanan penduduk yang terus meningkat, timbulnya lahan kritis dan lahan kosong, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan, serta adanya HPH non industri maupun industri non HPH. Kerusakan hutan saat sudah sangat mengkhawatirkan, baik pada hutan produks i, hutan konversi, bahkan telah merambah pula ke kawasan hutan lindung.

(3)

Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, baik fungsi ekologi, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial budaya. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kerusakan lahan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan dengan terus mengupayakan dan mengembangkan pola pengusahaan hutan dengan mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan, pemanfaatan hasil hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan.

Perum Perhutani sejak Tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa dengan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian dari pembangunan perhutanan. Salah satu keberhasilan pembangunan kehutanan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan melalui partisipasinya secara aktif dalam pembanguna n kehutanan.

PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan (Perum Perhutani), masyarakat desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi dalam pengelolaan Sumber Daya Hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. Program PSDHBM selanjutnya diaplikasikan dalam bentuk agroforestri.

(4)

eucalyptus. Sebelum diterapkannya PSDHBM, hutan lindung dirambah oleh penduduk untuk lahan pertanian, dengan jenis komoditi sayuran. Melalui program PSDHBM, jumlah perambahan lahan hutan dapat diturunkan. Berdasarkan Data Perum perhutani s/d Maret 2006, jumlah perambahan lahan hutan di BKPH Pengalengan adalah seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK. Setelah diterapkannya PHBM. Jumlah perambahan lahan hutan menurun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK (s/d Maret 2006).

Menurunnya jumlah perambahan lahan hutan seiring dengan kesadaran masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan akan pentingnya fungsi hutan bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Terlebih dengan diterapkannya PSDHBM, masyarakat diberikan alterna tif dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupannya tanpa harus merusak hutan. Dengan adanya kegiatan agroforestri tanaman kopi, diharapkan akan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat desa sekitar hutan, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya dan keluarganya serta masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauhmana kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ini sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan dari segi ekonomi keluarga ? Faktor- faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemandirian masyarakat dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ?

(5)

dalam melakukan usaha agroforestri, (3) mengkaji sampai sejauhmana kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri, dan (5) menemukan seberapa jauh peran LMDH dan koperasi dalam memotivasi petani untuk aktif melakukan usaha agroforestri.

Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan.

(6)

diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Tumpangsari ini mulai dilakukan secara berhasil pada Tahun 1883 di pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan Belanda (Kartasubrata, 1992), yaitu pesanggem diberikan hak untuk mengolah lahan di sela-sela tanaman pokok (tanaman kehutanan) dengan menanam tanaman tahunan (pangan) yang hasilnya menjadi hak/upah bagi pesanggem dan keluarganya. Berdasarkan pemikiran sebagaimana tersebut di atas, maka disusunlah suatu kerangka berpikir keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan usaha agroforestri disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :

Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal petani (umur, tingkat pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri dan pendapatan petani) dan faktor eksternal (ketersediaan informasi, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH/koperasi, dukungan kebijakan lokal/nasional, pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat PSDHBM).

(7)

acak petani-petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, selanjutnya digunakan teknik belah dua untuk menentukan jumlah responden dari masing- masing desa sehingga diperoleh jumlah responden sebanyak 67 petani yaitu 41 petani dari Desa Pulosari dan 26 petani dari Desa Warnasari).

Pengumpulan data dilakukan dengan metode obser vasi/pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), data-data sekunder/dokumen, tulisan-tulisan ilmiah dan studi pustaka. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah uji korelasi Rank -Spearman (rs), untuk mengetahui kuat dan arah hubungan antar peubah yang digunakan dalam penelitian.

Karakteristik Internal Responden

Sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia muda hingga cukup tua, atau bila digunakan kategorisasi lain termasuk dalam kategori usia produktif, dengan kisaran umur antara 21 tahun s/d 70 tahun. Hal ini berarti dari segi usia, responden masih memiliki kemampuan fisik yang baik sehingga mampu untuk menjalankan usaha agroforestri tanaman kopi.

(8)

Sebagian besar responden tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri kopi, yaitu < 2,1 tahun. Budaya masyarakat sebelumnya adalah bercocoktanam sayur-sayuran yang telah dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun, dengan sistem pertanian yang masih tradisional dan berorientasi konsumtif. Dengan adanya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod, responden terpaksa melakukan alih komoditi dari jenis sayur -sayuran ke jenis tanaman kopi.

Sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga cukup banyak yaitu antara 3 - 4 orang, umumnya merupakan keluarga inti (keluarga batih) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Luas la han garapan umumnya tergolong sempit (< 1,8 ha). Sebanyak 2 orang petani memiliki luas lahan garapan > 3,4 ha, yaitu petani yang memiliki usaha agribisnis hortikultura dan memiliki modal yang cukup kuat, sehingga menjadikan usaha agroforestri hanya sebaga i usaha sampingan.

Motivasi berusaha agroforestri tergolong sedang hingga tinggi. Umumnya motivasi responden berusaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah penghasilan keluarga, baik usaha agroforestri merupakan mata pencaharian utama maupun hanya sebagai usaha sampingan.

(9)

merupakan petani yang memiliki lahan sendiri yang cukup luas dan telah menjalankan usaha agribisnis sebagai mata pencaharian utamanya, sedangkan usaha agroforestri merupakan usaha sampingan walaupun lahan yang dibukanya tergolong luas. Sedangkan petani yang penghasilannya rendah umumnya tidak memiliki lahan sendiri dan bekerja sebagai buruh tani, serta lahan agroforestri yang dibukanya tergolong sempit (lihat Tabel 1).

Karakteristik Eksternal Responden

Ketersediaan informasi mengenai usaha agroforestri tergolong cukup hingga banyak tersedia, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Sebagian besar informasi agroforestri mudah diakses oleh responden.

Sarana produksi untuk berusaha agroforestri kopi sebagian cukup tersedia di dalam dusun, beberapa sarana produksi dapat diperoleh di desa atau di ibukota kecamatan.

Interaksi responden dengan lembaga keuangan tergolong rendah. Responden belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan lembaga -lembaga keuangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll., sebagai sumber modal bagi usaha agroforestrinya. Hampir seluruh responden me nggunakan modalnya sendiri dengan persetujuan keluarga untuk berusaha agroforestri.

(10)

adalah dari Dinas Pertanian dan Perkebunan yang memberikan materi mengenai teknik budidaya kopi secara sederhana dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada, sedangkan dalam bidang pengelolaan hutan dan perhutanan sosial disampaikan oleh LSM selaku Tenaga pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keberadaan penyuluh dan materi yang disuluhkan sangat penting mengingat usaha agroforestri kopi tergolong masih baru dan responden belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai seluk -beluk usaha agroforestri kopi.

Interaksi dengan LMDH cenderung tinggi. Keberadaan LMDH sangat penting bagi responden, karena melalui LMDH responden mendapatkan segala informasi mengenai usaha agroforestri kopi yang mereka perlukan. LMDH sangat berperan dalam membuat kesepakatan perjanjian PSDHBM maupun dalam menjalin mitra dengan para stakeholder ya ng berkepentingan dalam usaha agroforestri kopi. Hasil observasi menunjukkan kinerja LMDH masih belum optimal dan terdapat tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus LMDH dengan pengurus koperasi, yang tidak sesuai dengan AD/ART organisasi. Kondis i ini menyebabkan konflik yang menyebabkan krisis kepercayaan dari petani selaku anggotanya.

(11)

Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Dyah Ediningtyas NIM : P. 051040061

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya berjudul: "Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten"), merupakan hasil penelitian tesis saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana, Magister Sains maupun Doktor, baik pada Institut Pertanian Bogor maupun perguruan tinggi lainnya dan belum pernah dipublikasikan. Segala data dan informasi di dalam tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Bogor, 30 Januari 2007 Yang menyatakan,

(12)

Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi dan Tanaman Kehutanan di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan RICHARD LUMINTANG dan DJOKO SUSANTO.

Pengelolaan hutan di Indonesia banyak menghadapi masalah, yaitu kurang meratanya potensi sumberdaya hutan, perkiraan adanya degradasi hutan akibat penebangan yang tidak tepat, illegal logging, tekanan penduduk yang terus meningkat, timbulnya lahan kritis dan lahan kosong, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan, serta adanya HPH non industri maupun industri non HPH. Kerusakan hutan saat sudah sangat mengkhawatirkan, baik pada hutan produks i, hutan konversi, bahkan telah merambah pula ke kawasan hutan lindung.

(13)

Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, baik fungsi ekologi, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial budaya. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kerusakan lahan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan dengan terus mengupayakan dan mengembangkan pola pengusahaan hutan dengan mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan, pemanfaatan hasil hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan.

Perum Perhutani sejak Tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa dengan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian dari pembangunan perhutanan. Salah satu keberhasilan pembangunan kehutanan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan melalui partisipasinya secara aktif dalam pembanguna n kehutanan.

PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan (Perum Perhutani), masyarakat desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi dalam pengelolaan Sumber Daya Hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. Program PSDHBM selanjutnya diaplikasikan dalam bentuk agroforestri.

(14)

eucalyptus. Sebelum diterapkannya PSDHBM, hutan lindung dirambah oleh penduduk untuk lahan pertanian, dengan jenis komoditi sayuran. Melalui program PSDHBM, jumlah perambahan lahan hutan dapat diturunkan. Berdasarkan Data Perum perhutani s/d Maret 2006, jumlah perambahan lahan hutan di BKPH Pengalengan adalah seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK. Setelah diterapkannya PHBM. Jumlah perambahan lahan hutan menurun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK (s/d Maret 2006).

Menurunnya jumlah perambahan lahan hutan seiring dengan kesadaran masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan akan pentingnya fungsi hutan bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Terlebih dengan diterapkannya PSDHBM, masyarakat diberikan alterna tif dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupannya tanpa harus merusak hutan. Dengan adanya kegiatan agroforestri tanaman kopi, diharapkan akan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat desa sekitar hutan, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya dan keluarganya serta masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauhmana kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ini sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan dari segi ekonomi keluarga ? Faktor- faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemandirian masyarakat dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ?

(15)

dalam melakukan usaha agroforestri, (3) mengkaji sampai sejauhmana kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri, dan (5) menemukan seberapa jauh peran LMDH dan koperasi dalam memotivasi petani untuk aktif melakukan usaha agroforestri.

Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan.

(16)

diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Tumpangsari ini mulai dilakukan secara berhasil pada Tahun 1883 di pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan Belanda (Kartasubrata, 1992), yaitu pesanggem diberikan hak untuk mengolah lahan di sela-sela tanaman pokok (tanaman kehutanan) dengan menanam tanaman tahunan (pangan) yang hasilnya menjadi hak/upah bagi pesanggem dan keluarganya. Berdasarkan pemikiran sebagaimana tersebut di atas, maka disusunlah suatu kerangka berpikir keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan usaha agroforestri disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :

Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal petani (umur, tingkat pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri dan pendapatan petani) dan faktor eksternal (ketersediaan informasi, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH/koperasi, dukungan kebijakan lokal/nasional, pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat PSDHBM).

(17)

acak petani-petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, selanjutnya digunakan teknik belah dua untuk menentukan jumlah responden dari masing- masing desa sehingga diperoleh jumlah responden sebanyak 67 petani yaitu 41 petani dari Desa Pulosari dan 26 petani dari Desa Warnasari).

Pengumpulan data dilakukan dengan metode obser vasi/pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), data-data sekunder/dokumen, tulisan-tulisan ilmiah dan studi pustaka. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah uji korelasi Rank -Spearman (rs), untuk mengetahui kuat dan arah hubungan antar peubah yang digunakan dalam penelitian.

Karakteristik Internal Responden

Sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia muda hingga cukup tua, atau bila digunakan kategorisasi lain termasuk dalam kategori usia produktif, dengan kisaran umur antara 21 tahun s/d 70 tahun. Hal ini berarti dari segi usia, responden masih memiliki kemampuan fisik yang baik sehingga mampu untuk menjalankan usaha agroforestri tanaman kopi.

(18)

Sebagian besar responden tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri kopi, yaitu < 2,1 tahun. Budaya masyarakat sebelumnya adalah bercocoktanam sayur-sayuran yang telah dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun, dengan sistem pertanian yang masih tradisional dan berorientasi konsumtif. Dengan adanya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod, responden terpaksa melakukan alih komoditi dari jenis sayur -sayuran ke jenis tanaman kopi.

Sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga cukup banyak yaitu antara 3 - 4 orang, umumnya merupakan keluarga inti (keluarga batih) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Luas la han garapan umumnya tergolong sempit (< 1,8 ha). Sebanyak 2 orang petani memiliki luas lahan garapan > 3,4 ha, yaitu petani yang memiliki usaha agribisnis hortikultura dan memiliki modal yang cukup kuat, sehingga menjadikan usaha agroforestri hanya sebaga i usaha sampingan.

Motivasi berusaha agroforestri tergolong sedang hingga tinggi. Umumnya motivasi responden berusaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah penghasilan keluarga, baik usaha agroforestri merupakan mata pencaharian utama maupun hanya sebagai usaha sampingan.

(19)

merupakan petani yang memiliki lahan sendiri yang cukup luas dan telah menjalankan usaha agribisnis sebagai mata pencaharian utamanya, sedangkan usaha agroforestri merupakan usaha sampingan walaupun lahan yang dibukanya tergolong luas. Sedangkan petani yang penghasilannya rendah umumnya tidak memiliki lahan sendiri dan bekerja sebagai buruh tani, serta lahan agroforestri yang dibukanya tergolong sempit (lihat Tabel 1).

Karakteristik Eksternal Responden

Ketersediaan informasi mengenai usaha agroforestri tergolong cukup hingga banyak tersedia, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Sebagian besar informasi agroforestri mudah diakses oleh responden.

Sarana produksi untuk berusaha agroforestri kopi sebagian cukup tersedia di dalam dusun, beberapa sarana produksi dapat diperoleh di desa atau di ibukota kecamatan.

Interaksi responden dengan lembaga keuangan tergolong rendah. Responden belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan lembaga -lembaga keuangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll., sebagai sumber modal bagi usaha agroforestrinya. Hampir seluruh responden me nggunakan modalnya sendiri dengan persetujuan keluarga untuk berusaha agroforestri.

(20)

adalah dari Dinas Pertanian dan Perkebunan yang memberikan materi mengenai teknik budidaya kopi secara sederhana dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada, sedangkan dalam bidang pengelolaan hutan dan perhutanan sosial disampaikan oleh LSM selaku Tenaga pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keberadaan penyuluh dan materi yang disuluhkan sangat penting mengingat usaha agroforestri kopi tergolong masih baru dan responden belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai seluk -beluk usaha agroforestri kopi.

Interaksi dengan LMDH cenderung tinggi. Keberadaan LMDH sangat penting bagi responden, karena melalui LMDH responden mendapatkan segala informasi mengenai usaha agroforestri kopi yang mereka perlukan. LMDH sangat berperan dalam membuat kesepakatan perjanjian PSDHBM maupun dalam menjalin mitra dengan para stakeholder ya ng berkepentingan dalam usaha agroforestri kopi. Hasil observasi menunjukkan kinerja LMDH masih belum optimal dan terdapat tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus LMDH dengan pengurus koperasi, yang tidak sesuai dengan AD/ART organisasi. Kondis i ini menyebabkan konflik yang menyebabkan krisis kepercayaan dari petani selaku anggotanya.

(21)

mengharuskan petani beralih komoditi dari jenis sayuran ke tanaman kopi yang sangat bermanfaat pula untuk konservasi hutan. Dengan demikian usaha agroforestri kopi semakin mantap dan terjamin keberlanjutan usahanya.

Pengaruh tokoh masyarakat tergolong sangat kuat dalam mempengaruhi keputusan warga terkait usaha agroforestri. Tokoh masyarakat terdiri dari: tokoh formal, nonformal maupun keduanya. Program PSDHBM termasuk sangat bermanfaat bagi masyarakat Desa Pulosari dan Warnasari, yaitu: menambah pendapatan keluarga dan pengamanan hutan sehingga kelestariannya sebagai penunjang kehidupan manusia tetap terjaga.

Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri

Secara umum kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri kopi tergolong cukup baik. Hanya kemandirian dalam proses produksi saja yang tergolong kurang baik. Tingkat pendidikan formal yang rendah, kurangnya pengalaman dalam budidaya tanaman kopi, serta kurangnya pelatihan-pelatihan dalam teknik budidaya tanaman kopi menyebabkan petani kurang percaya diri dalam menjalankan usaha agroforestrinya. Petani masih mengandalkan LMDH untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya dalam berusaha agroforestri. Demikian juga dalam tahapan proses produksinya, petani masih membutuhkan bantuan orang lain untuk mengerjakan usahanya, baik berupa informasi ataupun dalam memecahkan masalah maupun bantuan berupa tenaga untuk mengerjakan usaha agroforestrinya

(22)

Umur petani berhubungang nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, semakin mandiri dalam proses produksi. Umumnya petani yang telah cukup tua/tua memiliki anak yang sudah cukup besar untuk dapat membantunya sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, pengalaman dalam bercocok tanam sayuran juga semakin banyak, untuk kemudian dicoba diterapkannya dalam budidaya kopi, meskipun petani kurang percaya diri dalam menerapkannya.

Kemandirian petani dalam proses perencanaan berhubungan nyata dengan pengalaman berusaha agroforestri dan sangat nyata dengan luas lahan garapan. Pengalaman berusaha agroforestri dianalogikan dengan pengalaman petani dalam bercocoktanam sayuran, sehingga dapat membantunya dalam menyusun perencanaan usaha agroforestri kopi termasuk dalam penentuan luas lahan garapan yang akan dikelolanya.

Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan faktor eksternal seperti ketersediaan informasi dan interaksi dengan lembaga penyuluhan dan diperkuat dengan adanya pengaruh tokoh masyarakat sehingga memudahkan petani dalam proses perencanaan.

(23)

bantuan orang lain (buruh) meskipun dia harus mengeluarkan banyak biaya. Sebaliknya, dia akan mandiri dalam manajemen pemasaran, karena lahan yang luas dan didukung modal yang besar, maka hasil panen juga besar, sehingga dia tidak lagi tergantung pada tengkulak dan dapat mengelola sendiri pemasaran hasil panennya.

Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri

Dari Tabel 5 terlihat bahwa kemandirian petani dalam proses produksi berhubungan sangat nyata dengan interaksi petani dengan lembaga penyuluhan dan berhubungan nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat. Intensifnya penyuluhan tentang agroforestri kopi serta kuatnya pengaruh tokoh masyarakat, akan memberikan pemahaman kepada petani mengenai usaha agroforestri kopi, sehingga membantu petani dalam mengambil keputusan untuk ikut/tidak dalam usaha agroforestri kopi dan memudahkan petani dalam proses perencanaannya.

(24)

mereka turut berpartisipasi aktif turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan lindung di mana dia melakukan usaha agroforestrinya.

Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi berhubungan nyata dengan ketersediaan sarana produksi dengan arah hubungan negatif. Dalam pemasaran hasil produksi, petani sudah cukup mandiri, terlebih dengan adanya koperasi dan LMDH. Namun, hal ini tidak didukung oleh ketersediaan sarana produksi yang dapat disediakan oleh koperasi/LMDH sehingga petani dapat membeli sarana produksi dengan cara mengangsur.

Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi juga berhubungan nyata dengan interaksi petani dengan lembaga keuangan, dan berhubungan sangat nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM. Petani akan semakin mandiri dalam pemasaran hasil produksi jika didukung oleh tingginya interaksi petani dengan lembaga keuangan. Apabila petani sudah mampu memanfaatkan sumber-sumber permodalan, maka petani tidak akan lagi menjual kopinya dalam bentuk gelondongan, namun akan mengolahnya terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai jualnya. Demikian juga dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, akan mampu menggerakkan dan me nyadarkan petani dalam pengamanan dan pengelolaan hutan lindung, sehingga akan meningkatkan harga jual kopinya dengan harga premium karena kopinya diproduksi secara ramah lingkungan.

(25)

nasional. Dalam menjalin kemitraan, juga dilakukan dan diputuskan oleh LMDH selaku organisasi formal petani. Oleh karena itu, interaksi petani dengan LMDH ini sangat kuat. Untuk dapat memasarkan produksinya, LMDH bekerjasama dengan mitra, yaitu Perum Perhutani selaku mitra utamanya maupun dengan pihak swasta. Mitra umumnya bersedia menjalin kerjasama apabila ada kepastian hukum, dalam arti usaha agroforestri ini bersifat legal dan me ndapat dukungan dari pemerintah setempat, sehingga suply kopi dapat terjamin keberlanjutannya.

Simpulan

1. Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi tergolong cukup tinggi. Namun kemandirian petani dalam proses produksi masih kurang, hal ini disebabkan petani belum terbiasa dan belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik budidaya kopi. Hal ini menyebabkan petani masih kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri kopi, sehingga masih mengandalkan LMDH/koperasi dan petani lain yang lebih senior dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya terkait dengan usaha agroforestri kopi.

(26)

yang nyata dengan kemandirian petani secara parsial, namun berpengaruh nyata terhadap kemandirian total petani dalam melakukan usaha agroforestri.

3. Permasalahan yang seringkali menjadi kendala dalam berusaha agroforestri kopi adalah rendahnya ketersediaan modal usaha dan kurangnya pengetahuan mengenai teknik budidaya kopi.

Saran

(27)

Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 20 Desember 1969, sebagai putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Moch. Chamim dan Ibu Mahbubah. Pada tanggal 31 Maret 1994, penulis menikah dengan Bambang Winarno putera kelahiran Pati tanggal 13 Juni 1969, sebagai putra keempat dari pasangan Bapak Sudomo Hadisiswoyo dan Ibu Suwarni. Saat ini kami telah dikaruniai lima orang putra-putri, yaitu Wildan Syauqi Akbar lahir tanggal 22 Januari 1995, Andina Tazkiya Nurlibna lahir tanggal 14 Maret 1996, Kalista Syifa Nurrahma lahir tanggal 1 Januai 2001 (almarhumah), Azka Rifki Istikhori lahir tanggal 22 Oktober 2002 dan Rizka Aulia Nurwindya lahir tanggal 14 Desember 2005.

Pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) penulis jalani di kota kelahiran Penulis di Demak. Pendidikan sarjana penulis tempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus Tahun 1993. Pada Tahun 2004 Penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Sekolah Pascasarjana IPB.

(28)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul: "Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)".

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Stud i Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kegiatan pengumpulan data untuk penulisan tesis ini dilaksanakan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pangalengan KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Penulis banyak mendapatkan dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil serta kemudahan-kemudahan dari berbagai pihak, baik dalam penyelesaian studi, penelitian maupun penyusunan tesis. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1) Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA dan Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini;

2) Dr. Ir. Basita Ginting S. MA. sela ku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis; 3) Ir. Nurrohman selaku Kepala BKPH Pangalengan dan Bapak Daud selaku

Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM);

4) Bapak Djedjen selaku ketua KUB Kubangsari dan Bapak Encang Dasman selaku ketua LMDH Warnasari;

5) Para petani agroforestri kopi, khususnya yang penulis jadikan responden dalam penelitian ini, baik dari Desa Pulosari maupun dari Desa warnasari;

(29)

8) Departemen Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan yang telah memberikan dukungan beasiswa dan bantua n biaya penelitian;

9) Ibuku dan Bapakku yang memberikan dukungan moril dan tak pernah putus dalam berdoa untuk kesuksesan penulis;

10) Suamiku tercinta Bambang Winarno dan anak-anakku yang penulis kasihi dan sayangi, yang telah berkorban dan memberikan motivasi yang tiada hentinya agar penulis dapat menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik dan tak pernah berhenti berdoa untuk kemajuan penulis;

11) Adik-adikku yang tak pernah lelah memberikan dukungan, bantuan dan doa bagi keberhasilan penulis;

12) Para dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) atas segala dukungan dan motivasi yang diberikan selama penulis menuntut ilmu; dan

13) Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), khususnya angkatan 2004 atas berbagai masukan, saran dan pendapat selama penulis menuntut ilmu di PPN Sekolah Pascasarjana IPB.

Agar lebih sempurnanya tesis, penulis mengharapkan masukan, saran dan pendapat dari para pembaca. Semoga tesis ini bermanfaat, baik bagi mahasiswa, pengajar maupun para pengambil kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan di Indonesia.

(30)

Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi dan Tanaman Kehutanan di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan RICHARD LUMINTANG dan DJOKO SUSANTO.

Pengelolaan hutan di Indonesia banyak menghadapi masalah, yaitu kurang meratanya potensi sumberdaya hutan, perkiraan adanya degradasi hutan akibat penebangan yang tidak tepat, illegal logging, tekanan penduduk yang terus meningkat, timbulnya lahan kritis dan lahan kosong, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan, serta adanya HPH non industri maupun industri non HPH. Kerusakan hutan saat sudah sangat mengkhawatirkan, baik pada hutan produks i, hutan konversi, bahkan telah merambah pula ke kawasan hutan lindung.

(31)

Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, baik fungsi ekologi, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial budaya. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kerusakan lahan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan dengan terus mengupayakan dan mengembangkan pola pengusahaan hutan dengan mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan, pemanfaatan hasil hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan.

Perum Perhutani sejak Tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa dengan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian dari pembangunan perhutanan. Salah satu keberhasilan pembangunan kehutanan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar hutan melalui partisipasinya secara aktif dalam pembanguna n kehutanan.

PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan (Perum Perhutani), masyarakat desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi dalam pengelolaan Sumber Daya Hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. Program PSDHBM selanjutnya diaplikasikan dalam bentuk agroforestri.

(32)

eucalyptus. Sebelum diterapkannya PSDHBM, hutan lindung dirambah oleh penduduk untuk lahan pertanian, dengan jenis komoditi sayuran. Melalui program PSDHBM, jumlah perambahan lahan hutan dapat diturunkan. Berdasarkan Data Perum perhutani s/d Maret 2006, jumlah perambahan lahan hutan di BKPH Pengalengan adalah seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK. Setelah diterapkannya PHBM. Jumlah perambahan lahan hutan menurun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK (s/d Maret 2006).

Menurunnya jumlah perambahan lahan hutan seiring dengan kesadaran masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan akan pentingnya fungsi hutan bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Terlebih dengan diterapkannya PSDHBM, masyarakat diberikan alterna tif dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupannya tanpa harus merusak hutan. Dengan adanya kegiatan agroforestri tanaman kopi, diharapkan akan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat desa sekitar hutan, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya dan keluarganya serta masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauhmana kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ini sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan dari segi ekonomi keluarga ? Faktor- faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemandirian masyarakat dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ?

(33)

dalam melakukan usaha agroforestri, (3) mengkaji sampai sejauhmana kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri, dan (5) menemukan seberapa jauh peran LMDH dan koperasi dalam memotivasi petani untuk aktif melakukan usaha agroforestri.

Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan.

(34)

diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Tumpangsari ini mulai dilakukan secara berhasil pada Tahun 1883 di pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan Belanda (Kartasubrata, 1992), yaitu pesanggem diberikan hak untuk mengolah lahan di sela-sela tanaman pokok (tanaman kehutanan) dengan menanam tanaman tahunan (pangan) yang hasilnya menjadi hak/upah bagi pesanggem dan keluarganya. Berdasarkan pemikiran sebagaimana tersebut di atas, maka disusunlah suatu kerangka berpikir keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan usaha agroforestri disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :

Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal petani (umur, tingkat pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri dan pendapatan petani) dan faktor eksternal (ketersediaan informasi, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH/koperasi, dukungan kebijakan lokal/nasional, pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat PSDHBM).

(35)

acak petani-petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, selanjutnya digunakan teknik belah dua untuk menentukan jumlah responden dari masing- masing desa sehingga diperoleh jumlah responden sebanyak 67 petani yaitu 41 petani dari Desa Pulosari dan 26 petani dari Desa Warnasari).

Pengumpulan data dilakukan dengan metode obser vasi/pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), data-data sekunder/dokumen, tulisan-tulisan ilmiah dan studi pustaka. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah uji korelasi Rank -Spearman (rs), untuk mengetahui kuat dan arah hubungan antar peubah yang digunakan dalam penelitian.

Karakteristik Internal Responden

Sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia muda hingga cukup tua, atau bila digunakan kategorisasi lain termasuk dalam kategori usia produktif, dengan kisaran umur antara 21 tahun s/d 70 tahun. Hal ini berarti dari segi usia, responden masih memiliki kemampuan fisik yang baik sehingga mampu untuk menjalankan usaha agroforestri tanaman kopi.

(36)

Sebagian besar responden tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri kopi, yaitu < 2,1 tahun. Budaya masyarakat sebelumnya adalah bercocoktanam sayur-sayuran yang telah dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun, dengan sistem pertanian yang masih tradisional dan berorientasi konsumtif. Dengan adanya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod, responden terpaksa melakukan alih komoditi dari jenis sayur -sayuran ke jenis tanaman kopi.

Sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga cukup banyak yaitu antara 3 - 4 orang, umumnya merupakan keluarga inti (keluarga batih) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Luas la han garapan umumnya tergolong sempit (< 1,8 ha). Sebanyak 2 orang petani memiliki luas lahan garapan > 3,4 ha, yaitu petani yang memiliki usaha agribisnis hortikultura dan memiliki modal yang cukup kuat, sehingga menjadikan usaha agroforestri hanya sebaga i usaha sampingan.

Motivasi berusaha agroforestri tergolong sedang hingga tinggi. Umumnya motivasi responden berusaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah penghasilan keluarga, baik usaha agroforestri merupakan mata pencaharian utama maupun hanya sebagai usaha sampingan.

(37)

merupakan petani yang memiliki lahan sendiri yang cukup luas dan telah menjalankan usaha agribisnis sebagai mata pencaharian utamanya, sedangkan usaha agroforestri merupakan usaha sampingan walaupun lahan yang dibukanya tergolong luas. Sedangkan petani yang penghasilannya rendah umumnya tidak memiliki lahan sendiri dan bekerja sebagai buruh tani, serta lahan agroforestri yang dibukanya tergolong sempit (lihat Tabel 1).

Karakteristik Eksternal Responden

Ketersediaan informasi mengenai usaha agroforestri tergolong cukup hingga banyak tersedia, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Sebagian besar informasi agroforestri mudah diakses oleh responden.

Sarana produksi untuk berusaha agroforestri kopi sebagian cukup tersedia di dalam dusun, beberapa sarana produksi dapat diperoleh di desa atau di ibukota kecamatan.

Interaksi responden dengan lembaga keuangan tergolong rendah. Responden belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan lembaga -lembaga keuangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll., sebagai sumber modal bagi usaha agroforestrinya. Hampir seluruh responden me nggunakan modalnya sendiri dengan persetujuan keluarga untuk berusaha agroforestri.

(38)

adalah dari Dinas Pertanian dan Perkebunan yang memberikan materi mengenai teknik budidaya kopi secara sederhana dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada, sedangkan dalam bidang pengelolaan hutan dan perhutanan sosial disampaikan oleh LSM selaku Tenaga pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keberadaan penyuluh dan materi yang disuluhkan sangat penting mengingat usaha agroforestri kopi tergolong masih baru dan responden belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai seluk -beluk usaha agroforestri kopi.

Interaksi dengan LMDH cenderung tinggi. Keberadaan LMDH sangat penting bagi responden, karena melalui LMDH responden mendapatkan segala informasi mengenai usaha agroforestri kopi yang mereka perlukan. LMDH sangat berperan dalam membuat kesepakatan perjanjian PSDHBM maupun dalam menjalin mitra dengan para stakeholder ya ng berkepentingan dalam usaha agroforestri kopi. Hasil observasi menunjukkan kinerja LMDH masih belum optimal dan terdapat tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus LMDH dengan pengurus koperasi, yang tidak sesuai dengan AD/ART organisasi. Kondis i ini menyebabkan konflik yang menyebabkan krisis kepercayaan dari petani selaku anggotanya.

(39)

mengharuskan petani beralih komoditi dari jenis sayuran ke tanaman kopi yang sangat bermanfaat pula untuk konservasi hutan. Dengan demikian usaha agroforestri kopi semakin mantap dan terjamin keberlanjutan usahanya.

Pengaruh tokoh masyarakat tergolong sangat kuat dalam mempengaruhi keputusan warga terkait usaha agroforestri. Tokoh masyarakat terdiri dari: tokoh formal, nonformal maupun keduanya. Program PSDHBM termasuk sangat bermanfaat bagi masyarakat Desa Pulosari dan Warnasari, yaitu: menambah pendapatan keluarga dan pengamanan hutan sehingga kelestariannya sebagai penunjang kehidupan manusia tetap terjaga.

Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri

Secara umum kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri kopi tergolong cukup baik. Hanya kemandirian dalam proses produksi saja yang tergolong kurang baik. Tingkat pendidikan formal yang rendah, kurangnya pengalaman dalam budidaya tanaman kopi, serta kurangnya pelatihan-pelatihan dalam teknik budidaya tanaman kopi menyebabkan petani kurang percaya diri dalam menjalankan usaha agroforestrinya. Petani masih mengandalkan LMDH untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya dalam berusaha agroforestri. Demikian juga dalam tahapan proses produksinya, petani masih membutuhkan bantuan orang lain untuk mengerjakan usahanya, baik berupa informasi ataupun dalam memecahkan masalah maupun bantuan berupa tenaga untuk mengerjakan usaha agroforestrinya

(40)

Umur petani berhubungang nyata dengan kemandirian petani dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, semakin mandiri dalam proses produksi. Umumnya petani yang telah cukup tua/tua memiliki anak yang sudah cukup besar untuk dapat membantunya sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain dalam proses produksi. Semakin bertambah umur petani, pengalaman dalam bercocok tanam sayuran juga semakin banyak, untuk kemudian dicoba diterapkannya dalam budidaya kopi, meskipun petani kurang percaya diri dalam menerapkannya.

Kemandirian petani dalam proses perencanaan berhubungan nyata dengan pengalaman berusaha agroforestri dan sangat nyata dengan luas lahan garapan. Pengalaman berusaha agroforestri dianalogikan dengan pengalaman petani dalam bercocoktanam sayuran, sehingga dapat membantunya dalam menyusun perencanaan usaha agroforestri kopi termasuk dalam penentuan luas lahan garapan yang akan dikelolanya.

Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan faktor eksternal seperti ketersediaan informasi dan interaksi dengan lembaga penyuluhan dan diperkuat dengan adanya pengaruh tokoh masyarakat sehingga memudahkan petani dalam proses perencanaan.

(41)

bantuan orang lain (buruh) meskipun dia harus mengeluarkan banyak biaya. Sebaliknya, dia akan mandiri dalam manajemen pemasaran, karena lahan yang luas dan didukung modal yang besar, maka hasil panen juga besar, sehingga dia tidak lagi tergantung pada tengkulak dan dapat mengelola sendiri pemasaran hasil panennya.

Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri

Dari Tabel 5 terlihat bahwa kemandirian petani dalam proses produksi berhubungan sangat nyata dengan interaksi petani dengan lembaga penyuluhan dan berhubungan nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat. Intensifnya penyuluhan tentang agroforestri kopi serta kuatnya pengaruh tokoh masyarakat, akan memberikan pemahaman kepada petani mengenai usaha agroforestri kopi, sehingga membantu petani dalam mengambil keputusan untuk ikut/tidak dalam usaha agroforestri kopi dan memudahkan petani dalam proses perencanaannya.

(42)

mereka turut berpartisipasi aktif turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan lindung di mana dia melakukan usaha agroforestrinya.

Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi berhubungan nyata dengan ketersediaan sarana produksi dengan arah hubungan negatif. Dalam pemasaran hasil produksi, petani sudah cukup mandiri, terlebih dengan adanya koperasi dan LMDH. Namun, hal ini tidak didukung oleh ketersediaan sarana produksi yang dapat disediakan oleh koperasi/LMDH sehingga petani dapat membeli sarana produksi dengan cara mengangsur.

Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi juga berhubungan nyata dengan interaksi petani dengan lembaga keuangan, dan berhubungan sangat nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM. Petani akan semakin mandiri dalam pemasaran hasil produksi jika didukung oleh tingginya interaksi petani dengan lembaga keuangan. Apabila petani sudah mampu memanfaatkan sumber-sumber permodalan, maka petani tidak akan lagi menjual kopinya dalam bentuk gelondongan, namun akan mengolahnya terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai jualnya. Demikian juga dengan pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, akan mampu menggerakkan dan me nyadarkan petani dalam pengamanan dan pengelolaan hutan lindung, sehingga akan meningkatkan harga jual kopinya dengan harga premium karena kopinya diproduksi secara ramah lingkungan.

(43)

nasional. Dalam menjalin kemitraan, juga dilakukan dan diputuskan oleh LMDH selaku organisasi formal petani. Oleh karena itu, interaksi petani dengan LMDH ini sangat kuat. Untuk dapat memasarkan produksinya, LMDH bekerjasama dengan mitra, yaitu Perum Perhutani selaku mitra utamanya maupun dengan pihak swasta. Mitra umumnya bersedia menjalin kerjasama apabila ada kepastian hukum, dalam arti usaha agroforestri ini bersifat legal dan me ndapat dukungan dari pemerintah setempat, sehingga suply kopi dapat terjamin keberlanjutannya.

Simpulan

1. Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi tergolong cukup tinggi. Namun kemandirian petani dalam proses produksi masih kurang, hal ini disebabkan petani belum terbiasa dan belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik budidaya kopi. Hal ini menyebabkan petani masih kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri kopi, sehingga masih mengandalkan LMDH/koperasi dan petani lain yang lebih senior dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya terkait dengan usaha agroforestri kopi.

(44)

yang nyata dengan kemandirian petani secara parsial, namun berpengaruh nyata terhadap kemandirian total petani dalam melakukan usaha agroforestri.

3. Permasalahan yang seringkali menjadi kendala dalam berusaha agroforestri kopi adalah rendahnya ketersediaan modal usaha dan kurangnya pengetahuan mengenai teknik budidaya kopi.

Saran

(45)

Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 20 Desember 1969, sebagai putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Moch. Chamim dan Ibu Mahbubah. Pada tanggal 31 Maret 1994, penulis menikah dengan Bambang Winarno putera kelahiran Pati tanggal 13 Juni 1969, sebagai putra keempat dari pasangan Bapak Sudomo Hadisiswoyo dan Ibu Suwarni. Saat ini kami telah dikaruniai lima orang putra-putri, yaitu Wildan Syauqi Akbar lahir tanggal 22 Januari 1995, Andina Tazkiya Nurlibna lahir tanggal 14 Maret 1996, Kalista Syifa Nurrahma lahir tanggal 1 Januai 2001 (almarhumah), Azka Rifki Istikhori lahir tanggal 22 Oktober 2002 dan Rizka Aulia Nurwindya lahir tanggal 14 Desember 2005.

Pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) penulis jalani di kota kelahiran Penulis di Demak. Pendidikan sarjana penulis tempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus Tahun 1993. Pada Tahun 2004 Penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Sekolah Pascasarjana IPB.

(46)

Halaman

DAFTAR TABEL ……… vii

DAFTAR GAMBAR ………... ix

DAFTAR LAMPIRAN ……… x

PENDAHULUAN..……… …………. 1

TINJAUAN PUSTAKA

Kemandirian ……… 14

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kemandirian Petani ………….. 17

Motivasi ……….. 18

Perhutanan Sosial (Social Forestry) dan Agroforestry ………... 20 Tumpangsari ………... 24 Kesejahteraan ………... 25 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ………. 28 METODE PENELITIAN

Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian ………. 38 Rancangan Penelitian ………... 40 Data dan Instrumentasi ………... 42 Data ………...…...…….. 42 Instrumentasi ………... 43 Validitas ………... 43 Reliabilitas ………... 45 Pengumpulan Data ………... 46 Analisis Data ………... 47 HASIL DAN PEMBAHASAN

(47)

Faktor Eksternal ….………... 94 Kemandirian Petani dalam melakukan Usaha Agroforestri tanaman Kopi 119 Hubungan antara faktor internal dengan kemandirian petani dalam

melakukan usaha agroforestry ……….………... 140 Hubungan antara faktor eksternal dengan kemandirian petani dalam

(48)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rincian pemanfaatan lahan Desa Pulosari Tahun 2005 ….……….. 51 2 Rincian pemanfaatan lahan Desa Warnasari Tahun 2005 ….……… 52 3 Jumlah penduduk Desa Pulosari menurut sebaran umur dan jenis kelamin

hingga Bulan Mei 2006 ….………... 53 4 Jumlah penduduk Desa Warnasari menurut sebaran umur dan jenis

kelamin hingga Bulan Mei 2006 ….………... 53 5 Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan tingkat pendidikan formal

Tahun 2005 ……… 54

6 Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan tingkat pendidikan formal Tahun 2005 ………... 55 7 Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan mata pencaharian pokok

kepala keluarga Tahun 2005 ………... 56 8 Struktur penduduk Desa Warnasari berdasarkan mata pencaharian pokok

kepala keluarga Tahun 2005 ……… 57 9 Status kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan setiap RTP di Desa

Pulosari Tahun 2005 ………... 58 10 Status kepemilikan lahan perkebunan setiap RTP di Desa Pulosari Tahun

2005 ………... 58 11 Status kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan setiap RTP di Desa

Warnasari Tahun 2005 ………. 59 12 Status kepemilikan lahan perkebunan setiap RTP di Desa Warnasari

Tahun 2005 ………. 60

13 Organisasi kemasyarakatan di Desa Pulosari Tahun 2005 ……….. 61 14 Organisasi kemasyarakatan di Desa Warnasari Tahun 2005 ………... 63 15 Distribusi responden berdasarkan faktor internal ….………... 81 16 Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal ………... 97 17 Lembaga penyuluhan yang pernah melakukan penyuluhan di Desa

Pulosari dan Desa Warn sari Tahun 2001 s/d 2006 ………... 106 18 Distribusi responden berdasarkan kemandirian petani dalam berusaha

(49)

19 Hubungan antara faktor internal responden dengan kemandirian petani

dalam melakukan usaha agroforestri ……… 142 20 Hubungan antara faktor internal responden dengan kemandirian petani

(50)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hubungan antara faktor internal, faktor eksternal, dan kemandirian petani

dalam berusaha agroforestry ………... 30 2 Peta lokasi penelitian ...……….. 48 3 Pemb uatan bedeng semai tanaman kehutanan ……….. 70 4 Persemaian tanaman kehutanan di lahan agroforestri ………... 71 5 Tanaman kopi di sela - sela tanaman kehutanan (Eucalyptus) ………. 73 6 Pembibitan tanaman kopi arabika di lahan milik salah seora ng petani

(51)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(52)

Latar Belakang

Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan.

Hutan merupakan penyangga kehidupan yang sangat penting. Keberadaan hutan seringkali dikaitkan dengan kualitas air, udara, tanah dan lingkungan beserta ekosistemnya. Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dinyatakan dalam Pasal 37 Bab IX tentang Peran serta rakyat : Bahwa peran serta rakyat dalam konservasi alam perlu diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Oleh karena itu, rakyat perlu dilibatkan dalam pengelolaan hutan.

(53)

2 diarahkan dalam bentuk manajemen sumberdaya yang lestari dan mengarahkan hutan sebagai penunjang pembangunan daerah.

Secara umum pengelolaan hutan di Indonesia menghadapi berbagai masalah, yaitu kurang meratanya potensi sumberdaya hutan di Indonesia, perkiraan adanya degradasi hutan karena penebangan yang tidak tepat, tekanan penduduk, timbulnya lahan kritis, atau kemungkinan kebakaran hutan, adanya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) non industri dan industri non HPH. Bagi hutan-hutan di Jawa, masalah tekanan penduduk merupakan masalah utama dalam pengelolaan hutan.

Usaha untuk mengatasi masalah akibat masalah yang diakibatkan oleh tekanan penduduk di sekitar hutan memerlukan penanganan serius terhadap berbagai aspek yang saling terkait. Di satu pihak, sebagian besar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hutan. Besarnya tekanan kebutuhan masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan tersebut telah mengakibatkan timbulnya lahan- lahan kritis. Sementara di lain pihak, tujuan utama dari pengelolan hutan adalah peningkatan fungsi hutan dan pengamanan produksi serta menjaga kelestariannya. Kedua kepentingan tersebut harus dapat dipaduserasikan dengan baik dan seimbang.

(54)

3 Sejalan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan dan peraturan perundangan yang berlaku, keberpihakan kepada rakyat banyak adalah kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Praktek-praktek pengelolaan hutan yang sebelumnya hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan hutan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.

Perum Perhutani sejak tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa dengan kegiatan Perhutanan Sosial (social forestry) yang bertujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian dari pembangunan perhutanan. Dalam konsep ini, interaksi hutan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya dibina, sehingga memberi manfaat yang sebesar-besarnya tanpa menghilangkan kelestariannya. Konsep perhutanan sosial kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 1061/Kpts/Dir/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang kemudian diperbaharui lagi berdasarkan Surat keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM).

(55)

4 ruang melalui pengaturan pola tanam yang sesuai dengan karakteristik wilayah. Pola tanam yang sesuai dengan karakteristik wilayah adalah pola tanam yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman jenis dan komoditi kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, dengan tetap mengoptimalkan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. Kegiatan berbasis bukan lahan dilakukan dengan mengembang-kan produk industri, jasa dan perdagangan untuk menumbuh-kembangmengembang-kan keswadayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa hutan.

Terdapat dua kegiatan dalam usaha agroforestri yang saling memperkuat dan saling mendukung yang merupakan perpaduan antara usaha kehutanan yang ditujukan bagi keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, dengan usaha pertanian yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan melalui peningkatan pendapatan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berusaha tani di dalam lahan hutan sesuai dengan peraturan dan kesepakatan kedua belah pihak.

(56)

5 mengatasi permasalahan keterbatasan lahan garapan untuk usahatani, khususnya di Pulau Jawa.

Agroforestri secara konseptual sangat ideal untuk dilaksanakan, namun dalam penerapannya di lapangan, ternyata banyak mengalami kendala dan belum memperlihatkan hasil yang optimal. Hal ini kemungkinan disebabkan belum adanya kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri. Masyarakat masih sangat tergantung pada program-program yang dilaksanakan dengan bantuan dana dari pemerintah. Sehingga ketika program itu berakhir yang berarti penghentian bantuan dana dari pemerintah, keadaan masyarakat akan kembali seperti sediakala sebelum program itu dilaksanakan, kurang sejahtera dan kurang berdaya. Pada akhirnya pemberdayaan masyarakat tidak dapat mencapai hasil yang memuaskan.

Oleh karena itu, program pemberdayaan masyarakat perlu diarahkan kepada kemandirian masya rakat agar masyarakat berdaya sehingga mampu menolong dirinya sendiri dalam mengidentifikasi masalah dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya tanpa harus menunggu uluran tangan pemerintah ataupun pihak lain. Pelaksanaan program dapat sedikit demi sedikit dikurangi dan masyarakat tidak lagi bergantung pada bantuan dana dari pemerintah, untuk selanjutnya pemerintah dapat menyerahkan kelanjutan program sepenuhnya kepada masyarakat karena masyarakat telah mampu melakukan usaha agroforestri secara mandiri untuk meningkatkan kesejahteraannya.

(57)

6 menyebabkan masyarakat tidak lagi bergantung pada program pemerintah karena masyarakat telah mampu memberdayakan dirinya sendiri maupun masyarakat sekitarnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Faktor-faktor yang menentukan kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dan tanaman kehutanan dengan menggunakan sistem tumpangsari serta usaha-usaha lain di luar pertanian di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat damn Banten, studi kasus usaha agroforestri tanaman kopi dan tanaman kehutanan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari kecamatan Pangalengan KPH Bandung Selatan, Propinsi Jawa Barat.

Masalah Penelitian

Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan di satu pihak umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah, dan di lain pihak mereka secara fisik sangat dekat dengan kekayaan sumberdaya alam yaitu hutan beserta ekosistemnya dan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap keberadaan hutan. Oleh sebab itu mereka seringkali diklaim sebagai perambah dan perusak hutan. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, mereka hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kenyataannya justru usaha kehutanan dalam skala besar yang lebih nyata menimbulkan kerusakan hutan.

(58)

7 dengan menjadikan masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra. Melalui program PSDHBM yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan agroforestri, pemerintah mengajak masyarakat desa untuk bersama-sama menjaga hutan dengan jalan memadukan usaha kehutanan dengan usaha tani di dalam dan di sekitar kawasan hutan tanpa mengubah status kawasan hutan dan status tanah perusahaan (Perum Perhutani).

Banyak kasus program agroforestri yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan, ternyata tidak sepenuhnya memberikan hasil yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah masih adanya ketergantungan masyarakat terhadap program-program pemerintah. Program pemerintah seperti penyediaan sarana dan prasarana, teknologi, informasi, maupun bantuan dana, hanyalah merupakan inovasi fisik yang sifatnya sementara (unsustainable), karena begitu program dihentikan, masyarakat kembali ke keadaan sebelumnya, pendapatan rendah dan kurang sejahtera. Diperlukan suatu upaya yang mengarah kepada suatu inovasi sosial untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang mandiri, yaitu masyarakat yang mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalahnya sendiri. Inovasi sosial ini sangatlah penting untuk keberlangsungan dan kesuksesan suatu program.

(59)

8 dengan kemandirian petani dalam berusaha agrforestri ?” , (4) Bagaimana hubungan antara faktor – faktor eksternal petani dengan kemandirian petani dalam berusaha agrforestri ?” .

Kemandirian petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi sebagai peubah terikat dalam penelitian adalah kemandirian petani pada setiap tahapan kegiatan agroforestri tanaman kopi yang terdiri dari : (1) kemandirian dalam proses perencanaan, (2) kemandirian dalam manajemen permodalan, (3) kemandirian dalam proses produksi, (4) kemandirian dalam proses pengolahan hasil, (5) kemandirian dalam pemasaran hasil produksi dan kemandirian dalam menjalin kemitraan. Petani yang sudah mandiri tentunya akan lebih berdaya dalam melakukan usaha agroforestri sehingga akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan ekonominya berupa peningkatan pendapatan yang tentunya akan lebih baik dibandingkan dengan petani yang belum / kurang mandiri. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kemandirian petani diidentifikasi sebagai peubah bebas yang meliputi : faktor internal (faktor- faktor yang berasal dari dalam diri individu petani itu sendiri) dan faktor external (faktor-fakto r yang berasal dari luar individu petani), yang akan diidentifikasi melalui penelitian di lapangan.

(60)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah : (1) mengkaji tingkat kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, (2) menemukan faktor-faktor yang berhubungan dengan kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tana man kopi, (3) mengkaji hubungan antara faktor internal dengan kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi, (4) mengkaji hubungan antara faktor eksternal dengan kemandirian petani agroforestri dalam berusaha agroforestri tanaman kopi.

Kegunaan Penelitian

(61)

Definisi Istilah

Beberapa istilah yang perlu didefinisikan secara khusus terutama yang terkait dengan masalah teknis kehutanan untuk kepentingan penelitian ini antara lain :

(1) Pengelolaan Sumbersaya Hutan (PSDH) adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam;

(2) Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) denga n jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional;

(3) Desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan;

(4) Masyarakat Desa Hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya;

(62)

Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM), yaitu Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Donor;

(6) Perusahaan adalah Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999;

(7) Pengkajian Desa Partisipatif adalah metode kajian terhadap kondisi desa dan masyarakat melalui proses pembelajaran bersama guna memberdayakan masyarakat desa yang bersangkutan, agar memahami kondisi desa dan kehidupannya, sehingga mereka dapat berperan langsung dalam pembuatan rencana dan tindakan secara partisipatif;

(8) Perencanaan partisipatif adalah kegiatan merencanakan kegiatan pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM) oleh perusahaan dan masyarakat desa hutan atau perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan, berdasarkan hasil pengkajian desa partisipatif dan kondisi sumberdaya hutan dan lingkungan;

(9) Berbagi adalah pembagian peran antara perusahaan dengan masyarakat desa hutan atau perusahaan dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan lahan (tanah dan atau ruang), dalam pemanfaatan waktu dan pengelolaan kegiatan;

(63)

yang menghasilkan produk budaya dan lanjutannya serta produk konservasi dan estetika;

(11) Kegiatan berbasis bukan lahan adalah rangkaian kegiatan yang tidak berkaitan dengan pengolahan tanah dan atau ruang yang menghasilkan produk industri, jasa dan perdagangan.

(12) Faktor produksi adalah semua unsur masukan produksi berupa lahan, tenaga kerja, teknologi dan atau modal, yang dapat mendukung terjadinya proses produksi sampai menghasilkan keluaran produksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan;

(13) Pola tanam adalah kegiatan reboisasi hutan yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman jenis, pengaturan jarak tanam, penyesuaian waktu dengan memperhatikan aspek silvikultur dengan tetap mengoptimalkan fungsi dan manfaat hutan;

(14) Usaha agroforestri adalah usaha tani yang dilakukan secara terpadu dengan usaha kehutanan (tanaman berkayu) pada satu unit lahan yang sama, baik dilakukan secara bersamaan maupun berurutan menurut waktu, dilakukan di dalam maupun di luar kawasan hutan;

(64)

(16) Faktor internal adalah faktor- faktor yang berasal dari dalam diri petani yang diduga berhubungan erat dengan tingkat kemandirian petani dalam melakukan usahanya, terdiri atas umur petani, tingkat pendidikan (formal dan non formal), pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan motivasi berusaha agroforestri;

(17) Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri petani, yang diduga berhubungan erat dengan tingkat kemandirian petani, terdiri atas ketersediaan informasi agroforestri, ketersediaan sarana produksi, dukungan lembaga keuangan, dukungan lembaga pemasaran, dukungan lembaga penyuluhan, dukungan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau lembaga pemerintahan pedesaan, dukungan kebijakan local/nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program PSDHBM;

(65)

Kemandirian

Kata kemandirian setara dengan kata autonomy dalam Bahasa Inggris, yang menurut asal usul bahasanya berarti hak atau kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri (Sumardjo, 1999).

Hubeis (Sriyanto, 2000) menyatakan bahwa kemandirian adalah perwujudan kemampuan untuk memanfaatkan potensi diri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik.

Menurut Lutan (Ismail, et al. 2000), kemandirian mengandung makna rasa percaya diri akan kemampuan dan kesanggupannya untuk mengubah nasib atau mencapai suatu tujuan yang ditunjang oleh kesanggupan untuk tahan menderita, prihatin, berusaha mulai dari keadaan darurat. Pendek kata, dari perjuangannya tercermin di dalamnya keberanian fisik bahkan keberanian beresiko hingga pada tingkat moderat.

Gambar

Gambar 1   Hubungan antara faktor internal, faktor eksternal dan kemandirian                      petani dalam berusaha agroforestri tanaman kopi
Gambar 2  Peta lokasi penelitian
Tabel 1  Rincian pemanfaatan lahan Desa Pulosari Tahun 2005
Tabel 5  Struktur penduduk Desa Pulosari berdasarkan tingkat pendidikan formal       Tahun 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitan adalah perlakuan elektroporasi dengan kejut listrik 100-200 volt dapat digunakan untuk memberi label pada sel testikular yang

Untuk mencari makna yang terkandung dalam foto-foto jurnalistik pada.. penelitian kali ini, penulis menggunakan pendekatan

Konsep gerak melingkar adalah materi fisika yang bersifat analitis matematis sehingga sangat penting bagi siswa memiliki kemampuan pemahaman secara kontruktivis sehingga

5 Sosialisasi kepada Warga Masyarakat bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang isi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia, Jaksa Agung

Penulisan Ilmiah ini akan membahas tentang Pembuatan Website Pemesanan Pada Toko Sepatu Olah Raga menggunakan bahasa pemprograman ASP dan SQL Server 2000, informasi yang disajikan

b. Dokumen PSB adalah catatan, arsip atau laporan mengenai pelaksanaan kegiatan PSB mulai dari perencanaan sampai evaluasi. Tandai kotak yang tersedia sesuai dengan

14.2 Memeragakan tari Nusantara daerah lain sesuai dengan iringan di depan penonton 3 JP 3 JP 15 Keterampilan Mengapresiasi karya kerajinan. 15.1 Mengidentifikasi jenis

[r]