SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
KURNIA RAMADHANA NIM : 100200398
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
KURNIA RAMADHANA NIM : 100200398
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP. 19660303 198509 1 001
Pembimbing I Pembimbing II
Muhammad Hayat, SH Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum NIP. 195008081 98002 1 002 NIP. 19590205 198601 2 001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Saya yang bertandatangan dibawah ini
Nama : Kurnia Ramadhana
NIM : 100200398
Departemen : Hukum Keperdataan BW
Judul Skripsi : Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008) Dengan ini menyatakan :
1. Bahwa ini Skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak
merupakan ciplakan dari Skripsi atau Karya Ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti di kemudian hari Skripsi tersebut adalah ciplakan, maka
segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau
tekanan dari pihak manapun.
Medan, Agustus 2015
Kurnia Ramadhana*
Muhammad Hayat, SH.** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum**
Perjanjian berlangganan listrik dilakukan dalam bentuk perjanjian standar yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Untuk memperoleh aliran listrik tersebut, masyarakat banyak yang cenderung untuk berlangganan listrik di PLN. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka timbul adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara pelanggan listrik dengan perusahaan listrik negara, maka kedua belah pihak mempunyai kehendak untuk melakukan suatu prestasi yang diperjanjikan tersebut.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan jalan menelaah dan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah.
Puji Dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas segala berkat, nikamt, karunia, dan rahma-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi.
Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk itulah maka
penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Hukum
Perdata Media Cetak dalam Menyelesaikan Sengketa Akibat Memuat Berita yang Salah (Riset Pada PT. Harian Waspada Medan)”.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, SH, M.H. D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Hukum Keperdataan sekaligus juga selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan motivasi kepada penulis dan ikhlas meluangkan waktu
untuk memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis.
6. Bapak Zulkifli Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan memberikan nasehat dalam penulisan
skripsi ini.
7. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membantu dalam proses perkuliahan.
8. Bapak/Ibu para dosen beserta seluruh staf adminitrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan pengetahuan
yang berguna dalam penulisan skripsi ini semasa kuliah.
9. Bapak Erwan Effendi dan Bapak Zultamsir selaku bagian Humas di PT. Harian Waspada beserta seluruh staff yang telah membantu penulis dalam
mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan.
10.Kepada orangtua tercinta Freddy Arianto dan Mutiara yang telah memberikan kasih sayang serta mendidik dan mendoakan penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini dengan baik.
Kemala, Dwi Desy Jayanti, dan Dilla Khairani Lubis.
13.Kepada anak geng Kaca Besar Apep, Doni, Bang Vinno, Ruzeiq, Alwi, Dandi, Akbar, Zaki, Alda, Tiffany, Indri, Dara, Hani, Mutia, Agatha, Annisa, dan Depi.
14.Kepada Kurnia Ramadhana sebagai seseorang yang paling banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih telah mendoakan,
membantu dalam situasi tersulit sekalipun, serta menjadi pendengar yang
baik.
15.Dan terakhir terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Seperti kata pepatah Tiada Gading yang Tidak Retak, demikian pula
skripsi ini pasti banyak kekurangan serta kesalahannya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka penulis menerima koreksi serta saran yang membangun dari
pembaca.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2015
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI. ... iv
BAB I : P E N D A H U L U A N ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 5
C. Tujuan Penulisan ... 5
D.Manfaat Penulisan ... 6
E. Metode Penelitian ... 6
F. Keaslian Penulisan ... 8
G.Sistematika Penulisan ... 9
BAB II : PERBUATAN MELAWAN HUKUM ... 11
A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ... 11
B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum... 17
C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum ... 25
D. Tuntutan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum ... 26
E. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum... 28
BAB III : PERJANJIAN BERLANGGANAN LISTRIK ... 31
A. Pengertian Perjanjian Berlangganan Listrik ... 31
B. Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Listrik ... 36
C. Tanggung Jawab Pelanggan Dan PLN Di Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik ... 44
A. Kasus Posisi ... 56
B. Analisis Kasus ... 62
1. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN ... 62
2. Akibat Hukumnya Jika Terjadi Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN ... 66
3. Penyelesaian Hukum Akibat Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN. ... 75
BAB V ... : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN
Kurnia Ramadhana*
Muhammad Hayat, SH.** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum**
Perjanjian berlangganan listrik dilakukan dalam bentuk perjanjian standar yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Untuk memperoleh aliran listrik tersebut, masyarakat banyak yang cenderung untuk berlangganan listrik di PLN. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka timbul adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara pelanggan listrik dengan perusahaan listrik negara, maka kedua belah pihak mempunyai kehendak untuk melakukan suatu prestasi yang diperjanjikan tersebut.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan jalan menelaah dan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Listrik memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dapat
dikatakan bahwa listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan
baik di rumah tangga maupun industri.1 Tenaga listrik sangat penting artinya bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk
mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khususnya, dan oleh karenanya
usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan, dan pengelolaannya perlu
ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata
dengan mutu pelayanan yang baik. Pembangunan dalam bidang kelistrikan ini dari
tahun ke tahun meningkat. Hal ini didasarkan dengan semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat dalam pemakaian tenaga listrik, di mana dari tahun ke
tahun jumlah masyarakat semakin bertambah banyak.
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) selanjutnya disebut PT. PLN
sebagai Badan Usaha Milik Negara yang diberi kuasa ketenagalistrikan oleh
Pemerintah, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang
Ketenagalistrikan, diserahi tugas utama untuk melaksanakan usaha penyediaan
tenaga listrik bagi sebesar-besarnya untuk kepentingan umum. Hal ini sejalan
dengan tujuan Nasional Indonesia seperti tertuang dalam Pembukaan
1
Undang Dasar 1945, khususnya untuk ikut memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.2
Dengan meningkatnya jumlah penduduk serta dibarengi dengan
pembangunan sarana dan prasana serta peningkatan di bidang usaha dan kegiatan
ekonomi, mau tidak mau kebutuhan akan tenaga listrik harus tersedia dan perlu
ditingkatkan, agar dapat menyediakan tenaga listrik yang cukup serta merata
dengan mutu pelayanan yang baik.3
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang
Ketenagalistrikan, PLN sebagai salah satu ujung tombak pelayanan di bidang jasa
ketenagalistrikan dari waktu ke waktu, seharusnya PLN melakukan peningkatan
pelayanan kepada konsumen. Kepedulian tersebut seharusnya tidak hanya terbatas
pada pelayanan di bidang bisnis utama PT. PLN (Persero), yaitu pengadaan listrik
dengan kualitas yang baik dengan segala indikator sesuai harapan pelanggan pada
umumnya, tetapi juga kepada peningkatan administrasi pelayanan pelanggan.
Peningkatan pelayanan di bidang administrasi kepada pelanggan antaranya
yaitu tentang Perjanjian Jual beli Tenaga Listrik antara PT PLN (Persero) dengan
pelanggannya, karena pada saat seorang calon pelanggan yang akan mengajukan
sambungan listrik rumahnya dan si calon pelanggan tersebut telah menyetujui
syarat-syarat yang ditentukan oleh PT PLN (Persero), kondisi seperti ini
seharusnya ditindak lanjuti dengan suatu perjanjian, yaitu perjanjian jual beli
tenaga listrik dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi pelanggan
dengan PT PLN (Persero), karena di dalam perjanjian tersebut akan diatur secara
jelas hak dan kewajiban antara pelanggan dengan PT PLN (Persero), di samping
2
Ibid
3
itu juga berpedoman kepada Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada hakekatnya bertujuan untuk
menciptakan sistem perlindungan kepada pelanggan (konsumen) serta
keterbukaan informasi sekaligus menumbuhkan kesadaran PLN sebagai pelaku
usaha (produsen), mengenai pentingnya perlindungan konsumen sebagai
perwujudan kepedulian PLN kepada pelanggan.
PT. PLN (Persero) merupakan perusahaan penyedia jasa kelistrikan
terbesar di Indonesia.4 Perusahaan ini telah banyak memberikan kontribusi yang
besar dalam memasok kebutuhan listrik untuk masyarakat. Selaku perusahaan
BUMN yang menangani masalah kepentingan listrik dan memberikan jumlah
pasokan listrik kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, tentunya PT.
PLN (Persero) memberikan pelayanan sebagai upaya pasti dalam memberikan
pelayanan publik yang maksimal untuk kepentingan dan kemajuan bangsa.
Tenaga listrik merupakan salah satu sumber daya yang sangat vital bagi
kehidupan manusia karena tenaga listrik merupakan salah satu energi yang sangat
penting untuk menopang kehidupan manusia. Untuk memperoleh tenaga listrik,
maka seseorang harus mengadakan hubungan dengan pihak Perusahaan Listrik
Negara (PLN) sebagai perusahaan negara yang diberi hak dan wewenang
berdasarkan untuk bertanggung jawab atas pembangkit, transmisi dan
pendistribusian tenaga listrik.
Mengingat peranan listrik sangat penting di dalam kehidupan masyarakat,
maka dijalinlah suatu hubungan melalui suatu perjanjian jual-beli antara PT. PLN
(Persero) sebagai penjual jasa berupa tenaga listrik dengan pelanggan listrik
4
sebagai pembeli jasa (tenaga listrik), di mana hubungan tersebut menghasilkan
suatu kesepakatan, dan kesepakatan tersebut di tuangkan dalam surat perjanjian
jual-beli tenaga listrik. Surat perjanjian jual beli tenaga listrik ini merupakan
perjanjian baku yang mengatur dan menerapkan tentang prosedur berlangganan,
aturan pemakaian, serta hak dan kewajiban para pihak.
Seperti diketahui, sebelum menjadi pelanggan arus listrik pada PLN, calon
pelanggan tersebut sebelumnya haruslah mengajukan suatu permohonan
penyambungan arus listrik pada pihak PLN. Dalam permohonan tersebut
dicantumkan besarnya daya atau kapasitas yang diinginkan, dan selanjutnya atas
dasar permohonan ini pula pihak PLN akan mengadakan penyambungan arus
listrik sebesar daya atau kapasitas yang dimohonkan. Kesepakatan inilah yang
membuat ikatan hukum bagi kedua belah pihak.
Hukum perjanjian mengenal banyak asas, di antaranya adalah asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas iktikad baik, dan asas
mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda).5 Asas iktikad baik mempunyai
peranan tertinggi di antara asas-asas yang ada.6 Iktikad baik diatur dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Dalam hubungan hukum yang terjadi diantara konsumen dengan
perusahaan PLN, bisa terjadi adanya wanprestasi yang mengakibatkan salah satu
pihak menderita kerugian. Misalnya pelanggan secara sepihak melakukan
tindakan-tindakan seperti menambah atau memperbesar daya dari daya yang
5
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3.
6
sebenarnya menurut kontrak yang telah disepakati. Jika hal ini dilakukan, maka
dikatakanlah pelanggan tersebut telah melakukan wanprestasi.
Tindakan para konsumen yang dinyatakan wanprestasi dalam pemakaian
arus listrik merupakan tindakan yang merugikan PT. PLN, sehingga menimbulkan
akibat hukum yaitu mewajibkan konsumen untuk mengganti kerugian yang
diderita oleh PT. PLN berupa tagihan susulan sesuai dengan jenis pelanggaran
yang dilakukan oleh konsumen. Ditambah dengan biaya-biaya lainnya sesuai
dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya dan PT. PLN berhak melakukan
pemutusan sambungan arus listrik para konsumen sebelum dilunasinya tagihan
susulan dari konsumen yang wanprestasi..
Dengan latar belakang di atas, maka penulis memilih judul skripsi tentang
“Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)”.
B. Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
4. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan
melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN
5. Bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat
merusak segel meteran milik PT. PLN
6. Bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum
akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan
melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN
2. Untuk mengetahui akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum
akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.
3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum terhadap akibat perbuatan melawan
hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.
D. Manfaat Penulisan
Penelitian ini nantinya diharapkan akan memberi manfaat :
1. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah
kepustakaan di bidang keperdataan, khususnya tentang perbuatan melawan
hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.
2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak
yang berkepentingan khususnya masyarakat tentang perbuatan melawan
hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu
berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan mengemukakan kasus
yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang
dikemukakan.
3. Sumber Data
Data yang kemudian diharapkan dapat diperoleh di tempat penelitian
maupun di luar penelitian adalah :
a. Data primer
Data primer, adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, dari sumber
asalnya yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Untuk memperoleh data
primer peneliti melakukan analisis kasus putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang sebelumnya telah
diolah orang lain. Untuk memperoleh data sekunder peneliti melakukan studi
kepustakaan. Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan-bahan
pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai bahan referensi
untuk menunjang keberhasilan penelitian. Pada penelitian hukum normatif,
bahan pustaka merupakan bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian
digolongkan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan Hukum dapat
diklasifikasikan ke dalam 3 golongan:7
1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan
hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan dan website.
7
2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan Secondary data yang antara
lain mencakup di dalamnya:
a) Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan perbuatan
melawan hukum.
b) Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.
c) Referensi-referensi yang relevan dengan perbuatan melawan hukum.
3) Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
hukum, ekslopedia, Kamus umum dan lain sebagainya.
Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh
melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.8
4. Analisis Data.
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu
analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa
menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambaran yang jelas
mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.
F. Keaslian Penelitian.
Skripsi ini berjudul “Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel
Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694
K/Pdt/2008)”.
Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan
bahan-bahan yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel
meteran milik PT. PLN, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan
8
maupun media cetak maupun elektronik dan di samping itu juga diadakan
penelitian. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan
pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk
membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis
oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu
menjadi tanggung jawab saya sendiri.
Berikut dikemukakan beberapa penelitian yang berkenaan dengan
penelitian peneliti, yaitu :
1. Venny RD, NIM: 920200240, dengan judul penelitian : Efektifitas Perjanjian
Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan
Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi Pada
Pengadilan Negeri Medan)”.
2. Andayani S., Ade Irmanti, NIM: 030200264, dengan judul penelitian :
Tinjauan Yuridis Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemakaian Arus
Listrik Pada PLN Cabang Medan,
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan,
yaitu :
BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar
Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode
BAB II : Perbuatan Melawan Hukum meliputi : Pengertian Perbuatan
Melawan Hukum, Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum, Subjek Perbuatan
Melawan Hukum, Tuntutan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum,
Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum..
BAB III Perjanjian Berlangganan Listrik meliputi : Pengertian Perjanjian
Berlangganan Listrik, Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Listrik,
Tanggung Jawab Pelanggan Dan PLN Di Dalam Perjanjian Pemakaian Arus
Listrik, Berakhirnya Perjanjian Berlangganan Listrik.
BAB IV Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran
Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/PDT/2008)
meliputi : Kasus Posisi, Analisis Kasus, Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT.
PLN, Akibat Hukumnya Jika Terjadi Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak
Segel Meteran Milik PT. PLN, Penyelesaian Hukum Akibat Perbuatan Melawan
Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN.
BAB V Kesimpulan dan Saran, sebagai layaknya dalam penulisan skripsi,
maka dalam penulisan ini penulis membuat suatu kesimpulan dan juga saran-saran
yang menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam
skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.
A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum
Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses
generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan
hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa
perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan
orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan
kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil
dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke
Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan dalam Pasal 1365 KUH
Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH
Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi
perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon.9
Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di negeri
Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu :
a. Periode sebelum tahun 1838
Adanya kodifikasi sejak tahun 1838 membawa perubahan besar terhadap
pengertian perbuatan melawan hukum yang diartikan pada waktu itu sebagai
on wetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang) yang berarti bahwa
suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
b. Periode antara tahun 1838-1919
9
Setelah tahun 1883 sampai sebelum tahun 1919, pengertian perbuatan
melawan hukum diperluas sehingga mencakup juga pelanggaran terhadap hak
subjektif orang lain. Dengan kata lain perbuatan melawan hukum adalah
berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku atau melanggar hak subjektif orang lain. Dalam hal ini Pasal 1365
KUH Perdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in
committendo) sedangkan Pasal 1366 KUH.Perdata dipahami sebagai
perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo).
Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) tidak melanggar hak
subjektif orang lain atau tidak melawan kewajiban hukumnya/tidak melanggar
undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan
hukum.
c. Periode setelah tahun 1919
Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan
melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata
Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah
dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang
cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.
Menurut sistem Common Law sampai dengan penghujung abad ke-19,
perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang
berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan
yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.10
Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan
proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum
10
mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem
hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian:
a. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)
b. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)
c. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).11
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan
melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu :
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian)
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. 12
Dengan demikian tiap perbuatan melanggar, baik sengaja maupun tidak
sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti unsur kesengajaan dan kelalaian di
sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud dengan hukum dalam Pasal
tersebut di atas adalah segala ketentuan dan peraturan-peraturan atau
kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan segala sesuatu yang
dianggap sebagai hukum. Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu adalah hukum
dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti undang-undang,
adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya.
Selanjutnya agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu harus
membawa kerugian bagi pihak lain. Karena adakalanya pelanggaran hukum itu
11
Ibid, hal.3 12
tidak harus membawa kerugian kepada orang lain, seperti halnya seorang pelajar
atau mahasiswa tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan
hukum ? padahal dalam hal itu ada peraturan yang dibuat oleh sekolah atau
universitas masing-masing.
Dengan demikian antara kalimat "tiap perbuatan melanggar hukum",
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam
mewujudkan pengertian dari perbuatan melawan hukum tersebut.
Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut di atas.
Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diartikan bahwa
"orang yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat
bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri".13 Setelah adanya
arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919, maka
pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :
Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau berlawanan baik dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang lain)".14
Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas
berdasarkan pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak
orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang
berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan
kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di
13
H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal.184.
14
dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang
tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.
Abdulkadir Muhammad berpendapat, bahwa perbuatan melawan hukum
dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365 KUHPerdata, dalam arti
pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara kedua Pasal tersebut.
Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah
merupakan penggabungan dari kedua Pasal tersebut.
Lebih jelasnya pendapat tersebut adalah :
Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "daad" (Pasal 1365) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "nataligheid" (kelalaian) atau "onvoorzigtgheid" (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata.15
Dengan demikian Pasal 1365 KUHPerdata untuk orang-orang yang
betul-betul berbuat, sedangkan dalam Pasal 1366 KUHPerdata itu untuk orang yang
tidak berbuat. Pelanggaran kedua Pasal ini mempunyai akibat hukum yang
sama, yaitu mengganti kerugian. Perumusan perbuatan positif Pasal 1365
KUHPerdata dan perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPerdata hanya mempunyai
arti sebelum ada putusan Mahkamah Agung Belanda 31 Januari 1919, karena
pada waktu itu pengertian melawan hukum (onrechtmatig) itu masih sempit.
Setelah putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut, pengertian melawan hukum
itu sudah menjadi lebih luas, yaitu mencakup juga perbuatan negatif. Ketentuan
Pasal 1366 KUHPerdata itu sudah termasuk pula dalam rumusan Pasal 1365
KUHPerdata.
15
Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum di atas, baik yang
secara etimologi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keputusan Mahkamah
Agung Belanda dengan arrest tanggal 31 Januari 1919 dan pendapat para
sarjana hukum, walaupun saling berbeda antara satu sama lainnya, namun
mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penegasan terhadap
tindakan-tindakan seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau yang
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal
tersebut telah ada aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik
secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain sebagainya.16
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam
hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat
melawan hukum yang formal dan materil.17
1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang
undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat
dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila
suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan
tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan
pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas
dalam undang-undang.
2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil.
Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan
delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
16
Ibid, hal.144. 17
perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui
alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan-alasan pembenar
dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum ialah :
1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).
4. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.18
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin,
yang mengatakan :
Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.19
Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu
adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.
2. Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan akibat
harus ada sebab musabab.
3. Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.20
18
Ibid, hal.24 19
R. Suryatin, Hukum Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal.82. 20
Dibandingkan kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat
perbedaannya, dimana menurut pendapat Abdulkadir Muhammad,
unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya lebih luas, jika
dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan
oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad
lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya Undang-Undang.
Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R. Suryatin, hanya terhadap
Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan kausal
(sebab musabab), menurut Abdulkadir Muhammad merupakan salah satu
unsur, sedangkan menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur perbuatan itu
menimbulkan kerugian.
Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan
melawan hukum yaitu :21
1. Perbuatan itu harus melawan hukum
Prinsipnya tentang unsur yang pertama ini telah dikemukakan di dalam
sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat perbuatan melawan hukum. Dalam
unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua pengertian, yaitu "perbuatan" dan
"melawan hukum". Namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara
penafsiran bahasa, melawan hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu
dengan kata lain "melawan hukum" merupakan kata sifat, sedangkan
"perbuatan" merupakan kata kerja. Sehingga dengan adanya suatu "perbuatan"
21
yang sifatnya "melawan hukum", maka terciptalah kalimat yang menyatakan
"perbuatan melawan hukum".
Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini
terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu "perbuatan", untuk jelasnya telah
diuraikan di dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti
luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi
hak orang lain, dan kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya
melanggar hukum/undang-undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum
adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan dalam arti luas, telah
meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat
terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini dikemukakan setelah
pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
Kerugian yang dimaksud di dalam unsur kedua ini, Undang-undang
tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan yang termasuk kerugian
itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari kerugian tersebut, yaitu
materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan
kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa yang termasuk kerugian itu, tidak ada
ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan
melawan hukum”.22
Dengan pernyataan di atas, bagaimana caranya untuk menentukan
kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Karena
undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya dan apa saja
22
yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya menentukan
sifatnya, yaitu materil dan inmateril.
Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini adalah :
1. Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya : Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya ongkos barang dan sebagainya. 2. Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya :
Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan orang lain, membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar pada orang itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam perdagangan.23
Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut telah
memenuhi ukuran dari kerugian yang diisebabkan oleh perbuatan melawan
hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena undang-undang itu sendiri tidak ada
mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan tersebut
dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya. Karena ada
pendapat yang mengatakan :
Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian yang
timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246-1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Akan tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.24
Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan
kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu mendapat ganti
kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum, tidak hanya kerugian yang
nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya diperoleh juga diterimanya.
Dengan demikian, kerugian yang dimaksud pada unsur kedua ini, dalam
prakteknya dapat diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena
23
Marheinis Abdulhay, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta, 2006, hal.83 24
wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi.
Namun tidak menutup kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut
terhadap perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan
lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini dapat
merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk
diteliti.
3. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan dalam uraian ini, ialah perbuatan yang disengaja atau lalai
melakukan suatu perbuatan atau yang perbuatan itu melawan hukum
(onrechtmatigedaad).
Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat dikira-kira itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak di lakukan.25
Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu
adalah perbuatan yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan. Kesalahan
dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau
diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang
dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan
atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat
di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti
ada larangan dan ada suruhan. jika seseorang melakukan suatu perbuatan,
perbuatan mana dilarang oleh undang-undang, maka orang tersebut dinyatakan
telah bersalah. Kemudian jika seseorang tidak melakukan perbuatan, sementara
25
perbuatan itu merupakan perintah yang harus dilakukan, maka orang tersebut
dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan dari maksud
pernyataan di atas.
Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa "kesalahan itu
dapat terjadi, karena : disengaja dan tidak disengaja".26 Tentunya yang dimaksud
dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal
perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau perbuatan itu tidak disengaja.
Tentang disengaja dan tidak disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan
dilakukan akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur
dari kesalahan, maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai
makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan
satu pedoman dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke
dalam suatu perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi.
Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinya dari tuduhan dan
gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum
yang ditunjukkan kepadanya.
Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari
pelakunya atau si pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk
dilakukan, dalam arti unsur kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran
harga barang dalam jual beli tanah yang dilakukan si pembeli, apakah si
pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum,
menurut pendapat di atas. Atau seorang kasir pada suatu bank, yang silap
26
melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat
Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut.
4. Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.
Pasal 1365 KUH. Perdata, hubungan kausal ini dapat terlihat dari kalimat
perbuatan yang karena kesalahaannya menimbulkan kerugian. Sehingga
kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan, atau kerugiaan itu merupakan
akibat dari perbuatan. Hal yang menjadi masalah di sini, apakah kerugian itu
merupakan akibat perbuatan, sejauhmanakah hal ini dapat dibuktikan
kebenarannya. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat hubungan
kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa setiap
kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan. Apakah pendapat tersebut
tidak bertentangan dengan hukum alam, yang menyatakan bahwa terjadinya
alam ini, mengalami beberapa proses yang disebabkan oleh beberapa faktor
yang saling berkaitan.
Kemudian menurut pendapat sarjana sosiologi, timbulnya hukum di
dalam masyarakat hukum hanya disebabkan adanya faktor persaingan hidup
dalam masyarakat itu sendiri, tetapi dipengaruhi oleh disebabkannya adanya
faktor kehidupan lainnya, seperti faktor biologis, faktor kejiwaan, faktor
keamanan dan faktor-faktor kebendaan lainnya. Tujuannya untuk mengatur dan
melindungi serta mengayomi hidup dan kehidupannya, baik secara individu
maupun secara kelompok dalam masyarakat.27
27
Berarti, dilihat dari uraian di atas, hubungan kausalitas tersebut terdiri
Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab.28
Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan
melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul disebabkan adanya
perbuatan yang sifatnya melawan hukum.
Marheinis Abdulhay menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan
hukum itu adalah :
Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu : 1. Perbuatan.
2. Melanggar. 3. Kesalahan. 4. Kerugian.29
Diperhatikan pernyataan di atas dan jika dibandingkan dengan
pembagian unsur-unsur yang telah dikemukakan terdahulu,
perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat. Hubungan kausalitas atau
sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau bagian dari salah satu unsur
perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut pendapat para sarjana
28
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2007, hal.87 29
terdahulu. Sementara menurut Marheinis Abdulhay, hubungan kausalitas atau
sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan
hukum.30
Tidak termasuknya hubungan kausalitas tersebut ke dalam unsur-unsur
perbuatan melawan hukum disebabkan tidak terdapatnya hubungan kausalitas
tersebut di dalam pengertian Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga sarjana tersebut
hanya melihat hal-hal yang jelas dan nyata saja dari bunyi Pasal tersebut, dalam
arti ia hanya melihat hal-hal yang tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas
menurut pendapat sarjana yang lain, itu merupakan hal yang tersirat. Sehingga
tidak perlu disebutkan sebagai salah satu unsur.
Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang
dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay ini jelas sederhana jika dibandingkan
dengan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun
demikian secara kenyataannya, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang
dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang
sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari
suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang
digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu
merupakan perbuatan melawan hukum.31
C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Marheinis Abdulhay bahwa "yang dinyatakan bersalah adalah
subjek hukum atau orang (person), karena subjek diakui mempunyai hak dan
30
Ibid, hal.83 31
kewajiban".32 Berarti berdasarkan pernyataan tersebut dinyatakan bersalah adalah
subjek hukum yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum
adalah juga subjek hukum, alasannya karena subjek hukum mempunyai hak dan
kewajibaan.
Subjek dalam kamus istilah hukum adalah "pokok, subjek dari hubungan
hukum, orang pribadi atau badan hukum yanag dalam kedudukan demikian
berwenang melakukan tindakan hukum".33 Berarti yang termasuk dikatakan atau
digolongkan sebagai subjek dalam pandangan hukum adalah orang pribadi dan
badan hukum. Kemudian yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang
pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukannya sebagai subjek mempunyai
wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan demikian yang termasuk
subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang
telah melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya melawan hukum.
D. Tuntutan Ganti Kerugian Karena Perbuatan Melawan Hukum
Ada hubungan yang erat antara ganti rugi yang terjadi karena adanya
wanprestasi dalam suatu perjanjian dengan apa yang dikenal dengan ganti rugi
sebagai akibat perbuatan melawan hukum (onrechtmetige daad). Sebab dengan
tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban "tidak tepat waktu" atau "tidak
layak", adalah jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak
orang lain, berarti pula merupakan perbuatan melawan hukum atau
onrechtmatigedaad.
“Memang hampir serupa onrechtmatigedaad dengan wanprestasi, itu
sebabnya dikatakan bahwa wanprestasi adalah juga merupakan "genus
32
Marheinis Abdulhay., Op.Cit, hal.89 33
specifik" dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365
KUHPerdata”.34
Dengan demikian, jika diperhatikan bahwa para ahli
menyebutkan juga bahwa ketentuan tentang ganti rugi yang terdapat di dalam
bagian wanprestasi tersebut juga berlaku akan halnya dengan ganti rugi sebagai
akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan pengertian lain,
ketentuan ganti rugi dalam wanprestasi dapat diberlakukan secara analogis dalam
hal adanya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan ganti
kerugian itu ialah "ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan
wanprestasi karena lalai".35 Sebagai perbandingan tentang ganti kerugian
disebabkan wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat adanya perbuatan yang
melawan hukum, berikut ini akan dikutipkan Pasal 1243 KUHPerdata dan Pasal
1365 KUHPerdata.
Pasal 1243 KUHPerdata, dengan tegas disebutkan bahwa penggantin
biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah
mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya. Sedangkan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata disebutkan bahwa
tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut.
34
M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.61 35
Jika diperhatikan dengan seksama kedua kutipan pasal tersebut, jelas
tidak ada disebutkan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan ganti rugi
itu sendiri, hanya saja, ganti rugi dalam hal wanprestasi berdasarkan Pasal 1245
KUHPerdata baru timbul bilamana debiturnya telah dinyatakan berada dalam
keadaan lalai setelah dilakukannya peringatan tetapi tetap juga dilalaikannya.
Sedangkan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga tidak disebutkan tentang apa
yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi itu.36
E. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksud dengan
wanprestasi adalah "tidak memenuhi kewajiban yang timbul karena perjanjian
maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".37 Berdasarkan pendapat
tersebut, maka unsur-unsur wanprestasi itu adalah :
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.38
Diperhatikan pengertian dan unsur-unsur wanprestasi tersebut bukanlah
tidak menutup kemungkinan tindakan wanprestasi ini dapat dikatakan sebagai
perbuatan melawan hukum, karena dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu ada
kemungkinan disebabkan dua hal yaitu :
1. Kesalahan salah satu pihak, baik sengaja maaupun karena lalai.
2. Keadaan memaksa (force majeur).39
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 2002, hal.47 39
Kemungkinan itu disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur)
mungkin hal ini dapat diterima sebagai wanprestasi, Tetapi jika kemungkinan
itu disebabkan kesalahan baik disengaja maupun tidak sengaja. Apakah
kemungkinan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi juga atau dapat
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilakukan
dengan itikad baik.
Pasal 1338 KUHPerdata ini dihubungkan dengan kemungkinan yang
disebabkan kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja yang merupakan salah
satu kemungkinan terjadinya wanprestasi. Berarti tindakan itu bukan tindakan
wanprestasi, tetapi perbuatan melawan hukum dengan alasan salah satu pihak
telah melangar persetujuaan yang berlaku sebagai undang-undang atau
bertentangan dengan kewajibannya.
Sebenarnya dari pengertian kedua lembaga ini dapat dilihat perbedaan
antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yaitu bahwa di dalam
wanprestasi terdapat istilah somasi yaitu penetapan lalai yang disebut dalam Pasal
1274 KUHPerdata. Dengan demikian wanprestasi itu terjadi apabila salah satu
pihak atau debitur misalnya setelah penetapan lalai ini ia masih tetap tidak
wanprestasi. Di samping itu, pada umumnya tindakan wanprestasi ini ada
dikarenakan suatu perikatan yang dibuat oleh kedua belah pihak, baik
perikatan yang berdasarkan perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang. Sedangkan perbuatan melawan hukum tidak ada penetapan
lalai atau peringatan terlebih dahulu. Kemudian pada umumnya perbuatan
melawan hukum terjadi bukan karena suatu perikatan tetapi terjadi dengan
sendirinya yang dilakukan oleh si pembuat terhadap aturan hukum atau
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Persetujuan itu berlaku sebagai undang-undang, namun bukan berarti
pihak yang dengan kesalahannya tidak melakukan perjanjian itu dikatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi ia dikatakan telah wanprestasi.
Karena bersalah tidak melakukan prestasi yang telah diperjanjikan dengan pihak
lain.40
40
A. Pengertian Perjanjian Berlangganan Listrik.
Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
Ketentuan Pasal di atas, pembentuk undang-undang tidak menggunakan
istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Hal yang menjadi masalah
adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti
yang sama.
Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.41
Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.
Berdasarkan kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama
pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313
KUHPerdata dapat dibaca dengan perjanjian.
Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan
perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena mengandung
beberapa kelemahannya yaitu.
1. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
41
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum
(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya
dipakai kata “persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebut tujuan.
Dalam perumusan Pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.42
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
hukum”.43 M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian adalah “hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak
lain untuk menunaikan prestasi”.44 R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan
perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan
antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.45
Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :
1. Terdapatnya para pihak yang berjanji.
42
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 78 43
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 97. 44
M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 6 45
2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian hendak.
3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum.
4. Terletak dalam bidang harta kekayaan.
5. Adanya hak dan kewajiban para pihak.
6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat.46
Enam unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan
konsep perjanjian yang menurut paham KUH Perdata dikatakan perjanjian hanya
merupakan perbuatan (handeling), selanjutnya oleh para sarjana disempurnakan
menjadi perbuatan hukum (rechtshandeling) dan perkembangan terakhir
dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum
perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan
hukum. Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada
subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan :
Perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian sebagai berikut : bahwa perbuatan hukum
(rechtshandeling) yang selama ini dimaksudkan dalam pengertian
perjanjian adalah satu perbuatan hukum bersisi dua (een
tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan
penerimaan (aanvaarding). Berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee
eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang
didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum (rechtsverhoudingen). 47
Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut,
Purwahid Patrik menyimpulkan bahwa “perjanjiian dapat dirumuskan sebagai
46
Ibid, hal.15 47
hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan
hukum sepihak”.48
Perjanjian itu adalah merupakan perbuatan hukum yang melahirkan
hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara
dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu
dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu.
Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur, sedangkan
pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.
Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan
debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang
kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang
debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa
orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan
seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.49
Berdasarkan perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak
Dikatakan pihak bukan orang karena mungkin sekali dalam suatu perikatan
terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihaknya tetap dua.
2. Ada persetujuan antara para pihak, mengenai :
a. Tujuan
b. Prestasi
48
Purwahid Patrik, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000, hal.15.
49
c. Bentuk tertentu lisan/tulisan
d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian.50
Perjanjian itu sendiri terdapat 3 (unsur), yaitu sebagai berikut :
1) Unsur essensialia
Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu
perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak
mungkin ada. Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya perjanjian,
mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya
perjanjian.
2) Unsur naturalia;
Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang
tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan
sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan
atau melekat pada perjanjian. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang
diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Jadi sifat unsur ini adalah
aanvullendrecht (hukum mengatur).
3) Unsur accidentalia
Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara
tegas dalam perjanjian. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian
artinya undang–undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus
secara tegas diperjanjikan para pihak.51
Berdasarkan pengertian perjanjian yang diuraikan di atas, maka yang
dimaksud dengan perjanjian berlangganan listrik adalah perjanjian yang dilakukan
antara PT. PLN dengan konsumen untuk berlangganan pemakaian arus listrik.
50
Ibid, hal.154. 51