• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

KURNIA RAMADHANA NIM : 100200398

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

KURNIA RAMADHANA NIM : 100200398

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP. 19660303 198509 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Muhammad Hayat, SH Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum NIP. 195008081 98002 1 002 NIP. 19590205 198601 2 001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

Saya yang bertandatangan dibawah ini

Nama : Kurnia Ramadhana

NIM : 100200398

Departemen : Hukum Keperdataan BW

Judul Skripsi : Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008) Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa ini Skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari Skripsi atau Karya Ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari Skripsi tersebut adalah ciplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, Agustus 2015

(4)

Kurnia Ramadhana*

Muhammad Hayat, SH.** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum**

Perjanjian berlangganan listrik dilakukan dalam bentuk perjanjian standar yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Untuk memperoleh aliran listrik tersebut, masyarakat banyak yang cenderung untuk berlangganan listrik di PLN. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka timbul adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara pelanggan listrik dengan perusahaan listrik negara, maka kedua belah pihak mempunyai kehendak untuk melakukan suatu prestasi yang diperjanjikan tersebut.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan jalan menelaah dan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah.

(5)
(6)

Puji Dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, atas segala berkat, nikamt, karunia, dan rahma-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi

Muhammad SAW yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan memperoleh

gelar Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk itulah maka

penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Hukum

Perdata Media Cetak dalam Menyelesaikan Sengketa Akibat Memuat Berita yang Salah (Riset Pada PT. Harian Waspada Medan)”.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak

mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, M.H. D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(7)

Hukum Keperdataan sekaligus juga selaku Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan motivasi kepada penulis dan ikhlas meluangkan waktu

untuk memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis.

6. Bapak Zulkifli Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan memberikan nasehat dalam penulisan

skripsi ini.

7. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membantu dalam proses perkuliahan.

8. Bapak/Ibu para dosen beserta seluruh staf adminitrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan pengetahuan

yang berguna dalam penulisan skripsi ini semasa kuliah.

9. Bapak Erwan Effendi dan Bapak Zultamsir selaku bagian Humas di PT. Harian Waspada beserta seluruh staff yang telah membantu penulis dalam

mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan.

10.Kepada orangtua tercinta Freddy Arianto dan Mutiara yang telah memberikan kasih sayang serta mendidik dan mendoakan penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini dengan baik.

(8)

Kemala, Dwi Desy Jayanti, dan Dilla Khairani Lubis.

13.Kepada anak geng Kaca Besar Apep, Doni, Bang Vinno, Ruzeiq, Alwi, Dandi, Akbar, Zaki, Alda, Tiffany, Indri, Dara, Hani, Mutia, Agatha, Annisa, dan Depi.

14.Kepada Kurnia Ramadhana sebagai seseorang yang paling banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih telah mendoakan,

membantu dalam situasi tersulit sekalipun, serta menjadi pendengar yang

baik.

15.Dan terakhir terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Seperti kata pepatah Tiada Gading yang Tidak Retak, demikian pula

skripsi ini pasti banyak kekurangan serta kesalahannya. Oleh karena itu dengan

tangan terbuka penulis menerima koreksi serta saran yang membangun dari

pembaca.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2015

(9)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI. ... iv

BAB I : P E N D A H U L U A N ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D.Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 6

F. Keaslian Penulisan ... 8

G.Sistematika Penulisan ... 9

BAB II : PERBUATAN MELAWAN HUKUM ... 11

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ... 11

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum... 17

C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum ... 25

D. Tuntutan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum ... 26

E. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum... 28

BAB III : PERJANJIAN BERLANGGANAN LISTRIK ... 31

A. Pengertian Perjanjian Berlangganan Listrik ... 31

B. Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Listrik ... 36

C. Tanggung Jawab Pelanggan Dan PLN Di Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik ... 44

(10)

A. Kasus Posisi ... 56

B. Analisis Kasus ... 62

1. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN ... 62

2. Akibat Hukumnya Jika Terjadi Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN ... 66

3. Penyelesaian Hukum Akibat Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN. ... 75

BAB V ... : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN

(11)

Kurnia Ramadhana*

Muhammad Hayat, SH.** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum**

Perjanjian berlangganan listrik dilakukan dalam bentuk perjanjian standar yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Untuk memperoleh aliran listrik tersebut, masyarakat banyak yang cenderung untuk berlangganan listrik di PLN. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka timbul adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara pelanggan listrik dengan perusahaan listrik negara, maka kedua belah pihak mempunyai kehendak untuk melakukan suatu prestasi yang diperjanjikan tersebut.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan jalan menelaah dan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah.

(12)
(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Listrik memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dapat

dikatakan bahwa listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan

baik di rumah tangga maupun industri.1 Tenaga listrik sangat penting artinya bagi

peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk

mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khususnya, dan oleh karenanya

usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan, dan pengelolaannya perlu

ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata

dengan mutu pelayanan yang baik. Pembangunan dalam bidang kelistrikan ini dari

tahun ke tahun meningkat. Hal ini didasarkan dengan semakin meningkatnya

kebutuhan masyarakat dalam pemakaian tenaga listrik, di mana dari tahun ke

tahun jumlah masyarakat semakin bertambah banyak.

PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) selanjutnya disebut PT. PLN

sebagai Badan Usaha Milik Negara yang diberi kuasa ketenagalistrikan oleh

Pemerintah, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang

Ketenagalistrikan, diserahi tugas utama untuk melaksanakan usaha penyediaan

tenaga listrik bagi sebesar-besarnya untuk kepentingan umum. Hal ini sejalan

dengan tujuan Nasional Indonesia seperti tertuang dalam Pembukaan

1

(14)

Undang Dasar 1945, khususnya untuk ikut memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa.2

Dengan meningkatnya jumlah penduduk serta dibarengi dengan

pembangunan sarana dan prasana serta peningkatan di bidang usaha dan kegiatan

ekonomi, mau tidak mau kebutuhan akan tenaga listrik harus tersedia dan perlu

ditingkatkan, agar dapat menyediakan tenaga listrik yang cukup serta merata

dengan mutu pelayanan yang baik.3

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang

Ketenagalistrikan, PLN sebagai salah satu ujung tombak pelayanan di bidang jasa

ketenagalistrikan dari waktu ke waktu, seharusnya PLN melakukan peningkatan

pelayanan kepada konsumen. Kepedulian tersebut seharusnya tidak hanya terbatas

pada pelayanan di bidang bisnis utama PT. PLN (Persero), yaitu pengadaan listrik

dengan kualitas yang baik dengan segala indikator sesuai harapan pelanggan pada

umumnya, tetapi juga kepada peningkatan administrasi pelayanan pelanggan.

Peningkatan pelayanan di bidang administrasi kepada pelanggan antaranya

yaitu tentang Perjanjian Jual beli Tenaga Listrik antara PT PLN (Persero) dengan

pelanggannya, karena pada saat seorang calon pelanggan yang akan mengajukan

sambungan listrik rumahnya dan si calon pelanggan tersebut telah menyetujui

syarat-syarat yang ditentukan oleh PT PLN (Persero), kondisi seperti ini

seharusnya ditindak lanjuti dengan suatu perjanjian, yaitu perjanjian jual beli

tenaga listrik dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi pelanggan

dengan PT PLN (Persero), karena di dalam perjanjian tersebut akan diatur secara

jelas hak dan kewajiban antara pelanggan dengan PT PLN (Persero), di samping

2

Ibid

3

(15)

itu juga berpedoman kepada Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada hakekatnya bertujuan untuk

menciptakan sistem perlindungan kepada pelanggan (konsumen) serta

keterbukaan informasi sekaligus menumbuhkan kesadaran PLN sebagai pelaku

usaha (produsen), mengenai pentingnya perlindungan konsumen sebagai

perwujudan kepedulian PLN kepada pelanggan.

PT. PLN (Persero) merupakan perusahaan penyedia jasa kelistrikan

terbesar di Indonesia.4 Perusahaan ini telah banyak memberikan kontribusi yang

besar dalam memasok kebutuhan listrik untuk masyarakat. Selaku perusahaan

BUMN yang menangani masalah kepentingan listrik dan memberikan jumlah

pasokan listrik kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, tentunya PT.

PLN (Persero) memberikan pelayanan sebagai upaya pasti dalam memberikan

pelayanan publik yang maksimal untuk kepentingan dan kemajuan bangsa.

Tenaga listrik merupakan salah satu sumber daya yang sangat vital bagi

kehidupan manusia karena tenaga listrik merupakan salah satu energi yang sangat

penting untuk menopang kehidupan manusia. Untuk memperoleh tenaga listrik,

maka seseorang harus mengadakan hubungan dengan pihak Perusahaan Listrik

Negara (PLN) sebagai perusahaan negara yang diberi hak dan wewenang

berdasarkan untuk bertanggung jawab atas pembangkit, transmisi dan

pendistribusian tenaga listrik.

Mengingat peranan listrik sangat penting di dalam kehidupan masyarakat,

maka dijalinlah suatu hubungan melalui suatu perjanjian jual-beli antara PT. PLN

(Persero) sebagai penjual jasa berupa tenaga listrik dengan pelanggan listrik

4

(16)

sebagai pembeli jasa (tenaga listrik), di mana hubungan tersebut menghasilkan

suatu kesepakatan, dan kesepakatan tersebut di tuangkan dalam surat perjanjian

jual-beli tenaga listrik. Surat perjanjian jual beli tenaga listrik ini merupakan

perjanjian baku yang mengatur dan menerapkan tentang prosedur berlangganan,

aturan pemakaian, serta hak dan kewajiban para pihak.

Seperti diketahui, sebelum menjadi pelanggan arus listrik pada PLN, calon

pelanggan tersebut sebelumnya haruslah mengajukan suatu permohonan

penyambungan arus listrik pada pihak PLN. Dalam permohonan tersebut

dicantumkan besarnya daya atau kapasitas yang diinginkan, dan selanjutnya atas

dasar permohonan ini pula pihak PLN akan mengadakan penyambungan arus

listrik sebesar daya atau kapasitas yang dimohonkan. Kesepakatan inilah yang

membuat ikatan hukum bagi kedua belah pihak.

Hukum perjanjian mengenal banyak asas, di antaranya adalah asas

konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas iktikad baik, dan asas

mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda).5 Asas iktikad baik mempunyai

peranan tertinggi di antara asas-asas yang ada.6 Iktikad baik diatur dalam Pasal

1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian harus

dilaksanakan dengan iktikad baik”.

Dalam hubungan hukum yang terjadi diantara konsumen dengan

perusahaan PLN, bisa terjadi adanya wanprestasi yang mengakibatkan salah satu

pihak menderita kerugian. Misalnya pelanggan secara sepihak melakukan

tindakan-tindakan seperti menambah atau memperbesar daya dari daya yang

5

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3.

6

(17)

sebenarnya menurut kontrak yang telah disepakati. Jika hal ini dilakukan, maka

dikatakanlah pelanggan tersebut telah melakukan wanprestasi.

Tindakan para konsumen yang dinyatakan wanprestasi dalam pemakaian

arus listrik merupakan tindakan yang merugikan PT. PLN, sehingga menimbulkan

akibat hukum yaitu mewajibkan konsumen untuk mengganti kerugian yang

diderita oleh PT. PLN berupa tagihan susulan sesuai dengan jenis pelanggaran

yang dilakukan oleh konsumen. Ditambah dengan biaya-biaya lainnya sesuai

dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya dan PT. PLN berhak melakukan

pemutusan sambungan arus listrik para konsumen sebelum dilunasinya tagihan

susulan dari konsumen yang wanprestasi..

Dengan latar belakang di atas, maka penulis memilih judul skripsi tentang

Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)”.

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

4. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan

melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN

5. Bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat

merusak segel meteran milik PT. PLN

6. Bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum

akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

C. Tujuan Penulisan

(18)

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan

melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN

2. Untuk mengetahui akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum

akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum terhadap akibat perbuatan melawan

hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini nantinya diharapkan akan memberi manfaat :

1. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah

kepustakaan di bidang keperdataan, khususnya tentang perbuatan melawan

hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak

yang berkepentingan khususnya masyarakat tentang perbuatan melawan

hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu

berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan mengemukakan kasus

yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah

(19)

perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang

dikemukakan.

3. Sumber Data

Data yang kemudian diharapkan dapat diperoleh di tempat penelitian

maupun di luar penelitian adalah :

a. Data primer

Data primer, adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, dari sumber

asalnya yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Untuk memperoleh data

primer peneliti melakukan analisis kasus putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang sebelumnya telah

diolah orang lain. Untuk memperoleh data sekunder peneliti melakukan studi

kepustakaan. Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan-bahan

pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai bahan referensi

untuk menunjang keberhasilan penelitian. Pada penelitian hukum normatif,

bahan pustaka merupakan bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian

digolongkan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan Hukum dapat

diklasifikasikan ke dalam 3 golongan:7

1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan

hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan dan website.

7

(20)

2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan Secondary data yang antara

lain mencakup di dalamnya:

a) Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan perbuatan

melawan hukum.

b) Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.

c) Referensi-referensi yang relevan dengan perbuatan melawan hukum.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus

hukum, ekslopedia, Kamus umum dan lain sebagainya.

Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh

melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.8

4. Analisis Data.

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu

analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa

menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambaran yang jelas

mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.

F. Keaslian Penelitian.

Skripsi ini berjudul “Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel

Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694

K/Pdt/2008)”.

Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan

bahan-bahan yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel

meteran milik PT. PLN, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan

8

(21)

maupun media cetak maupun elektronik dan di samping itu juga diadakan

penelitian. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan

pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk

membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis

oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu

menjadi tanggung jawab saya sendiri.

Berikut dikemukakan beberapa penelitian yang berkenaan dengan

penelitian peneliti, yaitu :

1. Venny RD, NIM: 920200240, dengan judul penelitian : Efektifitas Perjanjian

Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan

Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi Pada

Pengadilan Negeri Medan)”.

2. Andayani S., Ade Irmanti, NIM: 030200264, dengan judul penelitian :

Tinjauan Yuridis Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemakaian Arus

Listrik Pada PLN Cabang Medan,

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan,

yaitu :

BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar

Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode

(22)

BAB II : Perbuatan Melawan Hukum meliputi : Pengertian Perbuatan

Melawan Hukum, Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum, Subjek Perbuatan

Melawan Hukum, Tuntutan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum,

Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum..

BAB III Perjanjian Berlangganan Listrik meliputi : Pengertian Perjanjian

Berlangganan Listrik, Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Listrik,

Tanggung Jawab Pelanggan Dan PLN Di Dalam Perjanjian Pemakaian Arus

Listrik, Berakhirnya Perjanjian Berlangganan Listrik.

BAB IV Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran

Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/PDT/2008)

meliputi : Kasus Posisi, Analisis Kasus, Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT.

PLN, Akibat Hukumnya Jika Terjadi Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak

Segel Meteran Milik PT. PLN, Penyelesaian Hukum Akibat Perbuatan Melawan

Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN.

BAB V Kesimpulan dan Saran, sebagai layaknya dalam penulisan skripsi,

maka dalam penulisan ini penulis membuat suatu kesimpulan dan juga saran-saran

yang menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam

skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.

(23)

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum

Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan

hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa

perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan

orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan

kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil

dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke

Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan dalam Pasal 1365 KUH

Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH

Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi

perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon.9

Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di negeri

Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu :

a. Periode sebelum tahun 1838

Adanya kodifikasi sejak tahun 1838 membawa perubahan besar terhadap

pengertian perbuatan melawan hukum yang diartikan pada waktu itu sebagai

on wetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang) yang berarti bahwa

suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang.

b. Periode antara tahun 1838-1919

9

(24)

Setelah tahun 1883 sampai sebelum tahun 1919, pengertian perbuatan

melawan hukum diperluas sehingga mencakup juga pelanggaran terhadap hak

subjektif orang lain. Dengan kata lain perbuatan melawan hukum adalah

berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si

pelaku atau melanggar hak subjektif orang lain. Dalam hal ini Pasal 1365

KUH Perdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in

committendo) sedangkan Pasal 1366 KUH.Perdata dipahami sebagai

perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo).

Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) tidak melanggar hak

subjektif orang lain atau tidak melawan kewajiban hukumnya/tidak melanggar

undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan

hukum.

c. Periode setelah tahun 1919

Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan

melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata

Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah

dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang

cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.

Menurut sistem Common Law sampai dengan penghujung abad ke-19,

perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang

berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan

yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.10

Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan

proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum

10

(25)

mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem

hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian:

a. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)

b. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)

c. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).11

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan

melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh

seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu :

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun

kelalaian)

c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. 12

Dengan demikian tiap perbuatan melanggar, baik sengaja maupun tidak

sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti unsur kesengajaan dan kelalaian di

sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud dengan hukum dalam Pasal

tersebut di atas adalah segala ketentuan dan peraturan-peraturan atau

kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan segala sesuatu yang

dianggap sebagai hukum. Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu adalah hukum

dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti undang-undang,

adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya.

Selanjutnya agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah

melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu harus

membawa kerugian bagi pihak lain. Karena adakalanya pelanggaran hukum itu

11

Ibid, hal.3 12

(26)

tidak harus membawa kerugian kepada orang lain, seperti halnya seorang pelajar

atau mahasiswa tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan

hukum ? padahal dalam hal itu ada peraturan yang dibuat oleh sekolah atau

universitas masing-masing.

Dengan demikian antara kalimat "tiap perbuatan melanggar hukum",

tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam

mewujudkan pengertian dari perbuatan melawan hukum tersebut.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut di atas.

Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diartikan bahwa

"orang yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat

bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri".13 Setelah adanya

arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919, maka

pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :

Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau berlawanan baik dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang lain)".14

Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas

berdasarkan pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak

orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang

berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan

kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di

13

H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal.184.

14

(27)

dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang

tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.

Abdulkadir Muhammad berpendapat, bahwa perbuatan melawan hukum

dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365 KUHPerdata, dalam arti

pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara kedua Pasal tersebut.

Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah

merupakan penggabungan dari kedua Pasal tersebut.

Lebih jelasnya pendapat tersebut adalah :

Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "daad" (Pasal 1365) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "nataligheid" (kelalaian) atau "onvoorzigtgheid" (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata.15

Dengan demikian Pasal 1365 KUHPerdata untuk orang-orang yang

betul-betul berbuat, sedangkan dalam Pasal 1366 KUHPerdata itu untuk orang yang

tidak berbuat. Pelanggaran kedua Pasal ini mempunyai akibat hukum yang

sama, yaitu mengganti kerugian. Perumusan perbuatan positif Pasal 1365

KUHPerdata dan perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPerdata hanya mempunyai

arti sebelum ada putusan Mahkamah Agung Belanda 31 Januari 1919, karena

pada waktu itu pengertian melawan hukum (onrechtmatig) itu masih sempit.

Setelah putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut, pengertian melawan hukum

itu sudah menjadi lebih luas, yaitu mencakup juga perbuatan negatif. Ketentuan

Pasal 1366 KUHPerdata itu sudah termasuk pula dalam rumusan Pasal 1365

KUHPerdata.

15

(28)

Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum di atas, baik yang

secara etimologi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keputusan Mahkamah

Agung Belanda dengan arrest tanggal 31 Januari 1919 dan pendapat para

sarjana hukum, walaupun saling berbeda antara satu sama lainnya, namun

mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penegasan terhadap

tindakan-tindakan seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau yang

bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal

tersebut telah ada aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik

secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain sebagainya.16

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam

hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat

melawan hukum yang formal dan materil.17

1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang

undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat

dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila

suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan

tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan

pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas

dalam undang-undang.

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil.

Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan

delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

16

Ibid, hal.144. 17

(29)

perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui

alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan-alasan pembenar

dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah

melakukan perbuatan melawan hukum ialah :

1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).

2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).

4. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.18

Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin,

yang mengatakan :

Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.19

Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu

adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.

2. Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan akibat

harus ada sebab musabab.

3. Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.20

18

Ibid, hal.24 19

R. Suryatin, Hukum Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal.82. 20

(30)

Dibandingkan kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat

perbedaannya, dimana menurut pendapat Abdulkadir Muhammad,

unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya lebih luas, jika

dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan

oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad

lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya Undang-Undang.

Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R. Suryatin, hanya terhadap

Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan kausal

(sebab musabab), menurut Abdulkadir Muhammad merupakan salah satu

unsur, sedangkan menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur perbuatan itu

menimbulkan kerugian.

Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan

melawan hukum yaitu :21

1. Perbuatan itu harus melawan hukum

Prinsipnya tentang unsur yang pertama ini telah dikemukakan di dalam

sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat perbuatan melawan hukum. Dalam

unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua pengertian, yaitu "perbuatan" dan

"melawan hukum". Namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang

lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara

penafsiran bahasa, melawan hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu

dengan kata lain "melawan hukum" merupakan kata sifat, sedangkan

"perbuatan" merupakan kata kerja. Sehingga dengan adanya suatu "perbuatan"

21

(31)

yang sifatnya "melawan hukum", maka terciptalah kalimat yang menyatakan

"perbuatan melawan hukum".

Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini

terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu "perbuatan", untuk jelasnya telah

diuraikan di dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti

luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi

hak orang lain, dan kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya

melanggar hukum/undang-undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum

adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan dalam arti luas, telah

meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat

terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini dikemukakan setelah

pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.

2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

Kerugian yang dimaksud di dalam unsur kedua ini, Undang-undang

tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan yang termasuk kerugian

itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari kerugian tersebut, yaitu

materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan

kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa yang termasuk kerugian itu, tidak ada

ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan

melawan hukum”.22

Dengan pernyataan di atas, bagaimana caranya untuk menentukan

kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Karena

undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya dan apa saja

22

(32)

yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya menentukan

sifatnya, yaitu materil dan inmateril.

Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini adalah :

1. Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya : Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya ongkos barang dan sebagainya. 2. Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya :

Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan orang lain, membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar pada orang itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam perdagangan.23

Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut telah

memenuhi ukuran dari kerugian yang diisebabkan oleh perbuatan melawan

hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena undang-undang itu sendiri tidak ada

mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan tersebut

dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya. Karena ada

pendapat yang mengatakan :

Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian yang

timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246-1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Akan tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.24

Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan

kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu mendapat ganti

kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum, tidak hanya kerugian yang

nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya diperoleh juga diterimanya.

Dengan demikian, kerugian yang dimaksud pada unsur kedua ini, dalam

prakteknya dapat diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena

23

Marheinis Abdulhay, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta, 2006, hal.83 24

(33)

wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi.

Namun tidak menutup kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut

terhadap perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan

lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini dapat

merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk

diteliti.

3. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.

Kesalahan dalam uraian ini, ialah perbuatan yang disengaja atau lalai

melakukan suatu perbuatan atau yang perbuatan itu melawan hukum

(onrechtmatigedaad).

Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat dikira-kira itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak di lakukan.25

Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu

adalah perbuatan yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan. Kesalahan

dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau

diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang

dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan

atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat

di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti

ada larangan dan ada suruhan. jika seseorang melakukan suatu perbuatan,

perbuatan mana dilarang oleh undang-undang, maka orang tersebut dinyatakan

telah bersalah. Kemudian jika seseorang tidak melakukan perbuatan, sementara

25

(34)

perbuatan itu merupakan perintah yang harus dilakukan, maka orang tersebut

dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan dari maksud

pernyataan di atas.

Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa "kesalahan itu

dapat terjadi, karena : disengaja dan tidak disengaja".26 Tentunya yang dimaksud

dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal

perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau perbuatan itu tidak disengaja.

Tentang disengaja dan tidak disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan

dilakukan akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur

dari kesalahan, maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai

makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan

satu pedoman dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke

dalam suatu perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi.

Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan

perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinya dari tuduhan dan

gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum

yang ditunjukkan kepadanya.

Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari

pelakunya atau si pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk

dilakukan, dalam arti unsur kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran

harga barang dalam jual beli tanah yang dilakukan si pembeli, apakah si

pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum,

menurut pendapat di atas. Atau seorang kasir pada suatu bank, yang silap

26

(35)

melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir

tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat

Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut.

4. Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.

Pasal 1365 KUH. Perdata, hubungan kausal ini dapat terlihat dari kalimat

perbuatan yang karena kesalahaannya menimbulkan kerugian. Sehingga

kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan, atau kerugiaan itu merupakan

akibat dari perbuatan. Hal yang menjadi masalah di sini, apakah kerugian itu

merupakan akibat perbuatan, sejauhmanakah hal ini dapat dibuktikan

kebenarannya. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat hubungan

kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa setiap

kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan. Apakah pendapat tersebut

tidak bertentangan dengan hukum alam, yang menyatakan bahwa terjadinya

alam ini, mengalami beberapa proses yang disebabkan oleh beberapa faktor

yang saling berkaitan.

Kemudian menurut pendapat sarjana sosiologi, timbulnya hukum di

dalam masyarakat hukum hanya disebabkan adanya faktor persaingan hidup

dalam masyarakat itu sendiri, tetapi dipengaruhi oleh disebabkannya adanya

faktor kehidupan lainnya, seperti faktor biologis, faktor kejiwaan, faktor

keamanan dan faktor-faktor kebendaan lainnya. Tujuannya untuk mengatur dan

melindungi serta mengayomi hidup dan kehidupannya, baik secara individu

maupun secara kelompok dalam masyarakat.27

27

(36)

Berarti, dilihat dari uraian di atas, hubungan kausalitas tersebut terdiri

Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab.28

Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan

melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul disebabkan adanya

perbuatan yang sifatnya melawan hukum.

Marheinis Abdulhay menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan

hukum itu adalah :

Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu : 1. Perbuatan.

2. Melanggar. 3. Kesalahan. 4. Kerugian.29

Diperhatikan pernyataan di atas dan jika dibandingkan dengan

pembagian unsur-unsur yang telah dikemukakan terdahulu,

perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat. Hubungan kausalitas atau

sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau bagian dari salah satu unsur

perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut pendapat para sarjana

28

R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2007, hal.87 29

(37)

terdahulu. Sementara menurut Marheinis Abdulhay, hubungan kausalitas atau

sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan

hukum.30

Tidak termasuknya hubungan kausalitas tersebut ke dalam unsur-unsur

perbuatan melawan hukum disebabkan tidak terdapatnya hubungan kausalitas

tersebut di dalam pengertian Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga sarjana tersebut

hanya melihat hal-hal yang jelas dan nyata saja dari bunyi Pasal tersebut, dalam

arti ia hanya melihat hal-hal yang tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas

menurut pendapat sarjana yang lain, itu merupakan hal yang tersirat. Sehingga

tidak perlu disebutkan sebagai salah satu unsur.

Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang

dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay ini jelas sederhana jika dibandingkan

dengan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun

demikian secara kenyataannya, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang

dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang

sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari

suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang

digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu

merupakan perbuatan melawan hukum.31

C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Marheinis Abdulhay bahwa "yang dinyatakan bersalah adalah

subjek hukum atau orang (person), karena subjek diakui mempunyai hak dan

30

Ibid, hal.83 31

(38)

kewajiban".32 Berarti berdasarkan pernyataan tersebut dinyatakan bersalah adalah

subjek hukum yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum

adalah juga subjek hukum, alasannya karena subjek hukum mempunyai hak dan

kewajibaan.

Subjek dalam kamus istilah hukum adalah "pokok, subjek dari hubungan

hukum, orang pribadi atau badan hukum yanag dalam kedudukan demikian

berwenang melakukan tindakan hukum".33 Berarti yang termasuk dikatakan atau

digolongkan sebagai subjek dalam pandangan hukum adalah orang pribadi dan

badan hukum. Kemudian yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang

pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukannya sebagai subjek mempunyai

wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan demikian yang termasuk

subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang

telah melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya melawan hukum.

D. Tuntutan Ganti Kerugian Karena Perbuatan Melawan Hukum

Ada hubungan yang erat antara ganti rugi yang terjadi karena adanya

wanprestasi dalam suatu perjanjian dengan apa yang dikenal dengan ganti rugi

sebagai akibat perbuatan melawan hukum (onrechtmetige daad). Sebab dengan

tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban "tidak tepat waktu" atau "tidak

layak", adalah jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak

orang lain, berarti pula merupakan perbuatan melawan hukum atau

onrechtmatigedaad.

“Memang hampir serupa onrechtmatigedaad dengan wanprestasi, itu

sebabnya dikatakan bahwa wanprestasi adalah juga merupakan "genus

32

Marheinis Abdulhay., Op.Cit, hal.89 33

(39)

specifik" dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365

KUHPerdata”.34

Dengan demikian, jika diperhatikan bahwa para ahli

menyebutkan juga bahwa ketentuan tentang ganti rugi yang terdapat di dalam

bagian wanprestasi tersebut juga berlaku akan halnya dengan ganti rugi sebagai

akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan pengertian lain,

ketentuan ganti rugi dalam wanprestasi dapat diberlakukan secara analogis dalam

hal adanya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.

Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan ganti

kerugian itu ialah "ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan

wanprestasi karena lalai".35 Sebagai perbandingan tentang ganti kerugian

disebabkan wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat adanya perbuatan yang

melawan hukum, berikut ini akan dikutipkan Pasal 1243 KUHPerdata dan Pasal

1365 KUHPerdata.

Pasal 1243 KUHPerdata, dengan tegas disebutkan bahwa penggantin

biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah

mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi

perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau

dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah

dilampaukannya. Sedangkan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata disebutkan bahwa

tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti

kerugian tersebut.

34

M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.61 35

(40)

Jika diperhatikan dengan seksama kedua kutipan pasal tersebut, jelas

tidak ada disebutkan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan ganti rugi

itu sendiri, hanya saja, ganti rugi dalam hal wanprestasi berdasarkan Pasal 1245

KUHPerdata baru timbul bilamana debiturnya telah dinyatakan berada dalam

keadaan lalai setelah dilakukannya peringatan tetapi tetap juga dilalaikannya.

Sedangkan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga tidak disebutkan tentang apa

yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi itu.36

E. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksud dengan

wanprestasi adalah "tidak memenuhi kewajiban yang timbul karena perjanjian

maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".37 Berdasarkan pendapat

tersebut, maka unsur-unsur wanprestasi itu adalah :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.38

Diperhatikan pengertian dan unsur-unsur wanprestasi tersebut bukanlah

tidak menutup kemungkinan tindakan wanprestasi ini dapat dikatakan sebagai

perbuatan melawan hukum, karena dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu ada

kemungkinan disebabkan dua hal yaitu :

1. Kesalahan salah satu pihak, baik sengaja maaupun karena lalai.

2. Keadaan memaksa (force majeur).39

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 2002, hal.47 39

(41)

Kemungkinan itu disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur)

mungkin hal ini dapat diterima sebagai wanprestasi, Tetapi jika kemungkinan

itu disebabkan kesalahan baik disengaja maupun tidak sengaja. Apakah

kemungkinan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi juga atau dapat

dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain

dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilakukan

dengan itikad baik.

Pasal 1338 KUHPerdata ini dihubungkan dengan kemungkinan yang

disebabkan kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja yang merupakan salah

satu kemungkinan terjadinya wanprestasi. Berarti tindakan itu bukan tindakan

wanprestasi, tetapi perbuatan melawan hukum dengan alasan salah satu pihak

telah melangar persetujuaan yang berlaku sebagai undang-undang atau

bertentangan dengan kewajibannya.

Sebenarnya dari pengertian kedua lembaga ini dapat dilihat perbedaan

antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yaitu bahwa di dalam

wanprestasi terdapat istilah somasi yaitu penetapan lalai yang disebut dalam Pasal

1274 KUHPerdata. Dengan demikian wanprestasi itu terjadi apabila salah satu

pihak atau debitur misalnya setelah penetapan lalai ini ia masih tetap tidak

(42)

wanprestasi. Di samping itu, pada umumnya tindakan wanprestasi ini ada

dikarenakan suatu perikatan yang dibuat oleh kedua belah pihak, baik

perikatan yang berdasarkan perjanjian maupun perikatan yang timbul karena

undang-undang. Sedangkan perbuatan melawan hukum tidak ada penetapan

lalai atau peringatan terlebih dahulu. Kemudian pada umumnya perbuatan

melawan hukum terjadi bukan karena suatu perikatan tetapi terjadi dengan

sendirinya yang dilakukan oleh si pembuat terhadap aturan hukum atau

ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Persetujuan itu berlaku sebagai undang-undang, namun bukan berarti

pihak yang dengan kesalahannya tidak melakukan perjanjian itu dikatakan telah

melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi ia dikatakan telah wanprestasi.

Karena bersalah tidak melakukan prestasi yang telah diperjanjikan dengan pihak

lain.40

40

(43)

A. Pengertian Perjanjian Berlangganan Listrik.

Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”.

Ketentuan Pasal di atas, pembentuk undang-undang tidak menggunakan

istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Hal yang menjadi masalah

adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti

yang sama.

Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua

pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.41

Dapat dikatakan bahwa dua

perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.

Berdasarkan kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama

pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313

KUHPerdata dapat dibaca dengan perjanjian.

Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan

perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena mengandung

beberapa kelemahannya yaitu.

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

41

(44)

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum

(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya

dipakai kata “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan Pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.42

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan

antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan

hukum”.43 M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian adalah “hubungan hukum

kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak

pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak

lain untuk menunaikan prestasi”.44 R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan

perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan

antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.45

Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil

kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :

1. Terdapatnya para pihak yang berjanji.

42

Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 78 43

Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 97. 44

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 6 45

(45)

2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian hendak.

3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum.

4. Terletak dalam bidang harta kekayaan.

5. Adanya hak dan kewajiban para pihak.

6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat.46

Enam unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan

konsep perjanjian yang menurut paham KUH Perdata dikatakan perjanjian hanya

merupakan perbuatan (handeling), selanjutnya oleh para sarjana disempurnakan

menjadi perbuatan hukum (rechtshandeling) dan perkembangan terakhir

dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum

perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan

hukum. Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada

subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan :

Perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian sebagai berikut : bahwa perbuatan hukum

(rechtshandeling) yang selama ini dimaksudkan dalam pengertian

perjanjian adalah satu perbuatan hukum bersisi dua (een

tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan

penerimaan (aanvaarding). Berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee

eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang

didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum (rechtsverhoudingen). 47

Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut,

Purwahid Patrik menyimpulkan bahwa “perjanjiian dapat dirumuskan sebagai

46

Ibid, hal.15 47

(46)

hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan

hukum sepihak”.48

Perjanjian itu adalah merupakan perbuatan hukum yang melahirkan

hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara

dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu

dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu.

Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur, sedangkan

pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.

Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan

debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang

kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang

debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa

orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan

seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.49

Berdasarkan perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung

unsur-unsur sebagai berikut :

1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak

Dikatakan pihak bukan orang karena mungkin sekali dalam suatu perikatan

terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihaknya tetap dua.

2. Ada persetujuan antara para pihak, mengenai :

a. Tujuan

b. Prestasi

48

Purwahid Patrik, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000, hal.15.

49

(47)

c. Bentuk tertentu lisan/tulisan

d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian.50

Perjanjian itu sendiri terdapat 3 (unsur), yaitu sebagai berikut :

1) Unsur essensialia

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu

perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak

mungkin ada. Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya perjanjian,

mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya

perjanjian.

2) Unsur naturalia;

Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang

tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan

sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan

atau melekat pada perjanjian. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang

diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Jadi sifat unsur ini adalah

aanvullendrecht (hukum mengatur).

3) Unsur accidentalia

Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara

tegas dalam perjanjian. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian

artinya undang–undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus

secara tegas diperjanjikan para pihak.51

Berdasarkan pengertian perjanjian yang diuraikan di atas, maka yang

dimaksud dengan perjanjian berlangganan listrik adalah perjanjian yang dilakukan

antara PT. PLN dengan konsumen untuk berlangganan pemakaian arus listrik.

50

Ibid, hal.154. 51

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Amorphous silica, commonly referred to as rice husk ash (RHA), was extracted and purified from rice husk by acid leaching, pyrolysis, and carbon-removing processes.. In

Hal ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa semakin banyak frekuensi melaut yang dilakukan oleh nelayan, maka jumlah hasil tangkapan kapal yang diperoleh juga

Implementasi Sikades (Sistem Informasi Kependudukan Desa) Untuk Kemudahan Layanan Administrasi Desa Berbasis Web Mobile.Jurnal informatika.. 2014, Rancang Bangun Sistem

Sumberdaya ekonomi telah banyak mendapat sorotan dan telah diperhitungkan secara seksama sebagai bagian dari analisis daya tampung dan daya dukung lingkungan di dalam proses

Berdasarkan dari tabel 5.5 dan 5.6 hasil penelitian di Kamar Bersalin RSUD Jombang didapatkan bahwa relaksasi benson efektif untuk menurunkan tingkat stres pada ibu yang

39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam melakukan uji kinerja peralatan pengukuran parameter