• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Paparan Asap Rokok Terhadap Frekuensi Mengedip dan Keluhan yang Dirasakan pada Mata pada Pria Usia 20 – 40 Tahun di Kelurahan Kesawan Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dampak Paparan Asap Rokok Terhadap Frekuensi Mengedip dan Keluhan yang Dirasakan pada Mata pada Pria Usia 20 – 40 Tahun di Kelurahan Kesawan Medan"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PAPARAN ASAP ROKOK TERHADAP FREKUENSI MENGEDIP

DAN KELUHAN YANG DIRASAKAN PADA MATA

PADA PRIA USIA 20 – 40 TAHUN DI KELURAHAN KESAWAN MEDAN

Oleh :

JANSEN

060100057

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DAMPAK PAPARAN ASAP ROKOK TERHADAP FREKUENSI MENGEDIP

DAN KELUHAN YANG DIRASAKAN PADA MATA

PADA PRIA USIA 20 – 40 TAHUN DI KELURAHAN KESAWAN MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

JANSEN

060100057

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Dampak Paparan Asap Rokok Terhadap Frekuensi Mengedip dan Keluhan yang

Dirasakan pada Mata pada Pria Usia 20 – 40 Tahun di Kelurahan Kesawan Medan

Nama : Jansen

NIM : 060100057

Pembimbing Penguji

(dr. Nuraiza Meutia, M.Biomed) (dr. Zairul Arifin, Sp.A, DAFK) NIP : 19730911 200102 2 001 NIP : 130344806

(dr. Rina Amalia, MARS) NIP : 19760420 200312 2 002

Medan, 1 Desember 2009 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat

kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan

Karya tulis Ilmiah ini tepat pada waktunya. Judul yang dipilih adalah Dampak

Paparan Asap Rokok Terhadap Frekuensi Mengedip dan Keluhan yang Dirasakan

pada Mata pada Pria Usia 20 – 40 Tahun di Kelurahan Kesawan Medan. Penulis

ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Nuraiza Meutia, M.Biomed yang

telah membimbing dan memberi masukan-masukan kepada penulis dalam

menyempurkan Karya Tulis Ilmiah ini. Penulis juga tidak lupa berterima kasih

kepada orangtua penulis, dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, dr. Rina Amalia,

MARS, dan teman-teman yang telah membantu dalam melakukan penelitian di

lahan penelitian dan penulisan Karya Tulis ini.

Karya Tulis Ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

menyelesaikan pembelajaran semester VII di FK USU dengan beban kredit

sebesar 2 SKS.

Penulis menyadari bahwa penyusunan Karya Tulis ini masih memiliki kekurangan

dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran

yang membangun guna menyempurnakan Karya Tulis ini. Akhir kata, penulis

berharap agar Karya Tulis Ilmiah ini memberi manfaat kepada semua orang.

Medan, 18 November 2009

(5)

ABSTRAK

Sekarang ini merokok dianggap sebagai masalah kesehatan publik di dunia. Asap rokok dikenal mengandung lebih dari 4000 substansi berbahaya dalam bentuk patikel maupun gas, dan setiap hisapan asap rokok dapat mengandung sampai 3,5 milyar partikel. Penelitian mengenai efek kronis yang berbahaya pada asap rokok cenderung difokuskan pada perubahan pada fungsi paru. Namun, kerusakan pada membran mukosa yang disebabkan oleh toksin pada udara juga terjadi pada mata. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak paparan asap rokok secara kronis terhadap frekuensi mengedip serta jumlah dan frekuensi keluhan oftalmik.

Desain penelitian ini adalah penelitian analitik observasi dengan pendekatan potong lintang dan teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling. Total 106 sukarelawan yang bersedia melibatkan diri dimasukkan dalam penelitian ini. Seluruh sukarelawan dihendaki untuk memberitahukan riwayat keluhan oftalmik dan dilakukan pemerikaan frekuensi mengedip. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan merekam subjek peneliti saat membaca cerita yang disediakan peneliti. Analisis jumlah dan frekuensi gejala menggunakan uji Chi-Square sedangkan frekuensi mengedip dianalisis dengan uji Mann-Whitney U dan Kruskal Wallis.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok kasus memiliki keluhan oftalmik yang lebih banyak dan sering jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (P <0,05). Frekuensi mengedip pada kelompok kasus (7,48 ± 2,951 kali permenit) juga lebih tinggi secara signifikan (P <0,001) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,98 ± 1,54 kali permenit).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa asap rokok memiliki efek negatif pada permukaan okuler yang ditandai dengan peningkatan jumlah keluhan dan frekuensi oftalmik dan frekuensi mengedip. Hasil penelitian ini menyarankan kepada masyarakat untuk tidak merokok dan mengurangi paparan asap rokok terhadap dirinya

(6)

ABSTRACT

Cigarette smoking is at present considered as a serious public health problem around the world. Cigarette smoke is known to contain more than 4000 toxic substances which exist in the form of gas or particles, and a puff of smoke can contain anywhere to 3.5 billion particles. Studies concerning the chronic harmful effects of cigarette smoke have tended to focus on changes occuring in the primary function of the lung. The well-known damaging effects of airborne toxins on mucous membranes can also be observed in the eye. Hence, this study was done to investigate the effects of chronic smoking on blink rate, ophthalmic symptoms and ophthalmic symptoms indices.

This study was an analitical observational study with cross-sectional approach and consecutive sampling was chosen as the sampling technique. A total of 106 subjects volunteered to participate in this study. All volunteers were required to give a detailed history concerning about ophthalmic symptoms and subjected to blink rate examination. The examination was conducted by videotaping the subjects while reading a short passage. Ophthalmic symptoms and ophthalmic symptoms indices were analyzed by using Chi-Square test while Blink rate was analyzed by Mann-Whitney U and Kruskal Wallis test.

As a result, Significantly more subjects in the study group complained of ophthalmic symptoms compared to control group (P <0,05). Ophthalmic symptoms score had the same result manner. Blink rate showed a significantly high value of 7,48 ± 2,951 times perminute in study group as compared to 3,98 ± 1,54 times perminute in control group (P <0,001).

Result of this study indicate that cigarette smoke has a negative effect on the ocular surface marked by increasing ophthalmic symptoms and ophthalmic symptoms indices complaints and blink rate. This result encourages the community to stop smoking and reduce cigarette smoke exposure.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN….………...………..…… KATA PENGANTAR………... ABSTRAK………..…… ABSTRACT……….……….. DAFTAR ISI……….…. DAFTAR TABEL……….……. DAFTAR GAMBAR……….…...…. DAFTAR SINGKATAN………... DAFTAR LAMPIRAN……….. i ii iii iv v vii viii ix x

BAB 1 PENDAHULUAN……….….. 1

1.1. 1.2. 1.3. 1.4. Latar Belakang………... Rumusan Masalah………... Tujuan Penelitian………... 1.3.1. Tujuan Umum……….. 1.3.2. Tujuan Khusus………. Manfaat Penelitian………. 1 3 3 3 3 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5

2.1. Palpebra………. 5

2.1.1. 2.1.2. Anatomi……… A. Struktur………... B. Inervasi………..………. Fisiologi Mengedip……….. A. Refleks Mengedip………... B. Ritme Normal Kedipan Mata………..…... 5 5 6 6 6 7 2.2. Aparatus Lakrimalis………... 8

2.2.1. Sistem Sekresi Air Mata………... 8

2.2.2. Sistem Ekskresi Air Mata………. 9

2.3. Air Mata………... 10

2.4. Permukaan Okuler………. 12

2.4.1. Konjungtiva……….. 12

2.4.2. Kornea……….. 14

2.4.3. Film Prekorneal……… 16

2.5. Asap Rokok……… 18

2.5.1. Komposisi Asap Rokok……… 18

2.5.2. Pengaruh pada Mata Secara Eksternal………. 19

(8)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN

DEFINISI OPERASIONAL………. 22

3.1. 3.2. 3.3. Kerangka Konsep………... Definisi Operasional……….. Hipotesis……… 22 22 23

BAB 4 METODE PENELITIAN……….. 24

4.1. 4.2. 4.3.

Jenis Penelitian……….. Lokasi dan Waktu Penelitian………. Populasi dan Sampel Penelitian……….

24 24 24 4.3.1. 4.3.2. 4.3.3. 4.3.4. Populasi Penelitian………... Sampel Penelitian………. Kriteria Inklusi dan Eksklusi……… Besar Sampel………

24 24 25 26

4.4. Metode Pengumpulan Data……… 27

4.5. 4.6.

Instrumen Penelitian……….. Metode Analisis Data……….

28 28

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 29

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….……….. 29 5.2.

5.3. 5.4.

Karakteristik Individu……… Hasil Analisis Data……… Pembahasan………...

29 30 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………. 36

6.1. Kesimpulan……… 36

6.2. Saran……….. 36

6.2.1. 6.2.2.

Bagi Lahan Penelitian (Masyarakat)………… Bagi Peneliti Lain……….

36 37

DAFTAR PUSTAKA……….………... 38

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 5.1. Deskripsi Umur Sampel………. 29

Tabel 5.2. Persentase Sampel yang Menunjukkan Keluhan Oftalmik dalam Kelompok Kontrol dan Kasus………. 30

Tabel 5.3. Keluhan Oftlamik Subjektif pada Kelompok Kontrol

dan Kasus……….. 31

Tabel 5.4. Frekuensi Keluhan Oftalmik Subjektif pada Kelompok

Kontrol dan Kasus………..………... 32

Tabel 5.5. Deskripsi Frekuensi Mengedip pada Kelompok

Kontrol dan Kasus………..……... 32

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Potongan Sagital Palpebra Superior……….. 6

Gambar 2.2. Anatomi Sistem Lakrimalis………... 8

Gambar 2.3. Sistem Ekskresi Lakrimalis………... 10

Gambar 2.4. Komposisi Air Mata………... 11

Gambar 2.5. Anatomi Konjungtiva……….... 13

Gambar 2.6. Anatomi Kornea………. 15

Gambar 2.7. Gambaran Film Prekorneal dan Komposisinya………. 17

Gambar 2.8. Siklus Inflamasi Akibat Paparan Zat Iritan Secara Kronik……….... 20

(11)

DAFTAR SINGKATAN

ATSDR CGRP Cl -Depkes RI dL ETS HLA IFN Ig IL K+ L mg mosm Na+ No Na-K ATPase NK RNA SPSS TNF ULC USDA USU VR WIB µL µ m

Agency for Toxic Substance and Disease Registry

calcitonin gene related peptide

klorida

Departemen Kesehatan Republik Indonesia

desiliter

environmental tobacco smoke

human leukocyte antigen

interferon

imunoglobulin

interleukin

kalium / potasium

liter

miligram

miliosmol

natrium / sodium

nomor

natrium-kalium adenosin trifosfatase

natural killer

ribonucleic acid

Statistic Package for Social Science

tumor necrosis factor

Underwriters’ Laboratories of Canada

United States of Department of Agriculture

Universitas Sumatera Utara

Vibration Reduction

Waktu Indonesia Barat

mikroliter

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian

Lampiran 3. Lembar Penjelasan dan Persetujuan Subjek Penelitian

Lampiran 4. Lembar Hasil Penelitian

Lampiran 5. Cerita sebagai Bahan Bacaan untuk Analisis Frekuensi Mengedip

(13)

ABSTRAK

Sekarang ini merokok dianggap sebagai masalah kesehatan publik di dunia. Asap rokok dikenal mengandung lebih dari 4000 substansi berbahaya dalam bentuk patikel maupun gas, dan setiap hisapan asap rokok dapat mengandung sampai 3,5 milyar partikel. Penelitian mengenai efek kronis yang berbahaya pada asap rokok cenderung difokuskan pada perubahan pada fungsi paru. Namun, kerusakan pada membran mukosa yang disebabkan oleh toksin pada udara juga terjadi pada mata. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak paparan asap rokok secara kronis terhadap frekuensi mengedip serta jumlah dan frekuensi keluhan oftalmik.

Desain penelitian ini adalah penelitian analitik observasi dengan pendekatan potong lintang dan teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling. Total 106 sukarelawan yang bersedia melibatkan diri dimasukkan dalam penelitian ini. Seluruh sukarelawan dihendaki untuk memberitahukan riwayat keluhan oftalmik dan dilakukan pemerikaan frekuensi mengedip. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan merekam subjek peneliti saat membaca cerita yang disediakan peneliti. Analisis jumlah dan frekuensi gejala menggunakan uji Chi-Square sedangkan frekuensi mengedip dianalisis dengan uji Mann-Whitney U dan Kruskal Wallis.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok kasus memiliki keluhan oftalmik yang lebih banyak dan sering jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (P <0,05). Frekuensi mengedip pada kelompok kasus (7,48 ± 2,951 kali permenit) juga lebih tinggi secara signifikan (P <0,001) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,98 ± 1,54 kali permenit).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa asap rokok memiliki efek negatif pada permukaan okuler yang ditandai dengan peningkatan jumlah keluhan dan frekuensi oftalmik dan frekuensi mengedip. Hasil penelitian ini menyarankan kepada masyarakat untuk tidak merokok dan mengurangi paparan asap rokok terhadap dirinya

(14)

ABSTRACT

Cigarette smoking is at present considered as a serious public health problem around the world. Cigarette smoke is known to contain more than 4000 toxic substances which exist in the form of gas or particles, and a puff of smoke can contain anywhere to 3.5 billion particles. Studies concerning the chronic harmful effects of cigarette smoke have tended to focus on changes occuring in the primary function of the lung. The well-known damaging effects of airborne toxins on mucous membranes can also be observed in the eye. Hence, this study was done to investigate the effects of chronic smoking on blink rate, ophthalmic symptoms and ophthalmic symptoms indices.

This study was an analitical observational study with cross-sectional approach and consecutive sampling was chosen as the sampling technique. A total of 106 subjects volunteered to participate in this study. All volunteers were required to give a detailed history concerning about ophthalmic symptoms and subjected to blink rate examination. The examination was conducted by videotaping the subjects while reading a short passage. Ophthalmic symptoms and ophthalmic symptoms indices were analyzed by using Chi-Square test while Blink rate was analyzed by Mann-Whitney U and Kruskal Wallis test.

As a result, Significantly more subjects in the study group complained of ophthalmic symptoms compared to control group (P <0,05). Ophthalmic symptoms score had the same result manner. Blink rate showed a significantly high value of 7,48 ± 2,951 times perminute in study group as compared to 3,98 ± 1,54 times perminute in control group (P <0,001).

Result of this study indicate that cigarette smoke has a negative effect on the ocular surface marked by increasing ophthalmic symptoms and ophthalmic symptoms indices complaints and blink rate. This result encourages the community to stop smoking and reduce cigarette smoke exposure.

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut data United States of Departement of Agriculture (USDA) pada

tahun 2002, Indonesia menduduki urutan kelima sebagai negara dengan konsumsi

tembakau tertinggi dunia setelah Cina, Amerika, Rusia, dan Jepang. Keadaan ini

terjadi akibat peningkatan tajam konsumsi tembakau dalam 30 tahun yaitu dari 30

milyar batang rokok pertahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang rokok di tahun

2000. Dari hasil survei Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) pada tahun 2003,

hampir satu dari tiga orang dewasa merokok dan lebih banyak pria pedesaan yang

merokok (67%) dibandingkan dengan pria dari perkotaan (58,3%). Selain itu,

sebagian besar perokok (68,8%) mulai merokok sebelum umur 19 tahun (Depkes

RI, 2003). Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2006 yang

diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia terbukti jika 24,5 persen anak

laki-laki dan 2,3 persen anak perempuan berusia 13-15 tahun di Indonesia adalah

perokok, dimana 3,2 persen dari jumlah tersebut telah berada dalam kondisi

ketagihan atau kecanduan (Kompas, 2008). Keadaan ini menyebabkan Indonesia

dijadikan sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asia (Aliansi

Perokok Indonesia, 2008).

Di Singapura, Kanada, Brazil, Australia, Thailand, Uruguay, Venezuela,

India dan lainnya melampirkan peringatan bahaya merokok berupa gambar pesan

peringatan dengan ukuran mencapai setengah dari tampilan depan dan belakang.

Sedangkan di Indonesia, Peringatan tersebut hanya dilampirkan dalam bentuk

tulisan kecil pada setiap bagian belakang bungkus rokok yang berbunyi "Merokok

Dapat menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan

Kehamilan dan Janin”. Dari hasil survei, 42,5% perokok mengaku tidak percaya

dengan peringatan tersebut sedangkan 20% tidak jelas dan sisanya tidak peduli

(16)

Menurut Depkes RI (2008), diperkirakan lebih dari 43 juta anak yang

tinggal bersama dengan perokok terpapar dengan asap tembakau pasif atau asap

tembakau lingkungan (ETS – environmental tobacco smoke). Selain itu, hampir

semua perokok (91,8%) merokok di dalam rumah. Hal ini bertentangan dengan

pasal 59 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak bahwa

pemerintah, lembaga-lembaga negara, masyarakat dan orang tua, mempunyai

kewajiban untuk melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang,

terlindungi serta aktif berpartisipasi.

Sampai sekarang ini, rokok telah dikenal oleh masyarakat dari berbagai

belahan dunia dengan berbagai kejadiaan seperti penyakit paru obstruktif

menahun, kanker paru terutama jenis small cell carcinoma, peningkatan resiko

penyakit jantung, infeksi penumokokus (Sheffield, 2000), dan keadaan-keadaan

lainnya (Irribaren, 1999).

Kelainan oftalmologis yang dihubungkan dengan merokok berupa katarak,

glauko ma, degenerasi makular, iskemia pada retina, anterior ischaemic optic

neuropathy, Graves’ opthalmopathy dan ambliopia (Troyer, 2005).

Hubungan-hubungan yang diuraikan diatas lebih difokuskan pada dampak rokok terhadap

tubuh secara internal. Namun, asap rokok tersebut baik yang diekspirasikan

ataupun hasil pembakaran tembakau dapat menyebabkan gangguan pada mata

secara langsung. Keadaan ini terjadi karena kebanyakan dari zat aktif dalam rokok

terdapat dalam udara daripada yang dihisap.

Mukosa konjungtiva merupakan lapisan terluar pada mata yang selalu

terpapar dengan lingkungan luar. Namun, lapisan ini sangat peka terhadap zat-zat

kimia yang tersebar di udara, asap dan gas-gas iritatif yang berasal dari asap

tembakau. Hal ini dapat menyebabkan kemerahan pada konjungtiva, lakrimasi

berlebihan dan ketidaknyamanan akibat rangsangan pada ujung saraf bebas di

konjungtiva. Asap rokok juga dapat meningkatkan resiko sindroma mata kering

(17)

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian mengenai dampak merokok terhadap penyakit seperti katarak,

degenerasi makular dan lainnya telah banyak diteliti. Namun, penelitian mengenai

pengaruh asap rokok terhadap permukaan mata masih sedikit walaupun merokok

telah dikenal sebagai zat iritan. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui dampak asap rokok terhadap frekuensi mengedip yang dipengaruhi

oleh kontinuitas film air mata, dan keluhan yang dirasakan pada mata.

Rumusan masalah yang akan dievaluasi penulis adalah sebagai berikut.

Apakah terjadi perubahan frekuensi mengedip pada mata dan bagaimana

keluhan-keluhan yang dirasakan pada mata yang sering terpapar dengan asap rokok?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Yang menjadi tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

apakah ada perbedaan antara frekuensi mengedip dan keluhan yang dirasakan

pada mata yang sering terpapar dengan asap rokok dengan mata yang jarang

terpapar.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

perubahan frekuensi mengedip dan keluhan yang dirasakan serta frekuensinya

pada mata yang sering terpapar dengan asap rokok dibandingkan dengan mata

yang jarang terpapar.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan:

a. Meningkatkan pengetahuan baik mahasiswa kedokteran ataupun masyarakat

mengenai dampak paparan asap rokok pada mata.

b. Masyarakat lebih peduli terhadap bahaya paparan asap rokok pada mata

(18)

c. Kesadaran masyarakat terutama mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara untuk tidak merokok atau mengurangi jumlah konsumsi rokok

setiap harinya.

d. Pemerintah, pemerintah setempat ataupun instansi-instansi dapat membentuk

kawasan bebas rokok dan membangun smoking area untuk perokok.

e. Mahasiwa kedokteran lainnya dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai

dasar pertimbangan atau stimulus untuk memperluas ataupun meneliti dari

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Ada berbagai mekanisme untuk melindungi permukaan okuler dari hal-hal yang

berbahaya seperti refleks dan alis mata serta struktur mata sendiri yaitu bulu mata,

kelopak mata (palpebra), film prekorneal atau film air mata dan epitel pada

permukaan mata. Berikut adalah penjelasan dari palpebra dan film prekorneal

yang berhubungan dengan penelitian ini (Encyclopædia Britannica, 2007).

2.1. Palpebra 2.1.1. Anatomi A. Struktur

Struktur mata yang berfungsi sebagai proteksi lini pertama adalah

palpebra. Fungsinya adalah mencegah benda asing masuk, dan juga membantu

proses lubrikasi permukaan kornea. Pembukaan dan penutupan palpebra

diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan muskulus levator palpebra.

Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah mampu

mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada saat menutup mata. Pada

saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus orbikularis okuli dan

kontraksi dari muskulus levator palpebra di palpebra superior. Otot polos pada

palpebra superior atau muskulus palpebra superior (Müller muscle) juga berfungsi

dalam memperlebar pembukaan dari kelopak tersebut. Sedangkan, palpebra

inferior tidak memiliki muskulus levator sehingga muskulus yang ada hanya

berfungsi secara aktif ketika memandang kebawah (Encyclopædia Britannica,

2007)

Selanjutnya adalah lapisan superfisial dari palpebra yang terdiri dari kulit,

kelenjar Moll dan Zeis, muskulus orbikularis okuli dan levator palpebra. Lapisan

dalam terdiri dari lapisan tarsal, muskulus tarsalis, konjungtiva palpebralis dan

(20)

Gambar 2.1. Potongan Sagital Palpebra Superior

B. Inervasi

Serabut otot muskulus orbikularis okuli pada kedua palpebra dipersarafi

cabang zigomatikum dari nervus fasialis sedangkan muskulus levator palpebra

dan beberapa muskulus ekstraokuli dipersarafi oleh nervus okulomotoris. Otot

polos pada palpebra dan okuler diaktivasi oleh saraf simpatis. Oleh sebab itu,

sekresi adrenalin akibat rangsangan simpatis dapat menyebabkan kontraksi otot

polos tersebut (Encyclopædia Britannica, 2007).

2.1.2. Fisiologi Mengedip A. Refleks Mengedip

Banyak sekali ilmuan mengemukakan teori mengenai mekanisme refleks

kedip seperti adanya pacemaker atau pusat kedip yang diregulasi globus palidus

atau adanya hubungan dengan sirkuit dopamin di hipotalamus. Pada penelitian

(21)

di korteks dengan mengedip spontan dimana pemberian agonis dopamin D1

menunjukkan peningkatan aktivitas mengedip sedangkan penghambatannya

menyebabkan penurunan refleks kedip mata.

Refleks kedip mata dapat disebabkan oleh hampir semua stimulus perifer,

namun dua refleks fungsional yang signifikan adalah (Encyclopædia Britannica,

2007):

(1) Stimulasi terhadap nervus trigeminus di kornea, palpebra dan konjungtiva

yang disebut refleks kedip sensoris atau refleks kornea. Refleks ini

berlangsung cepat yaitu 0,1 detik.

(2) Stimulus yang berupa cahaya yang menyilaukan yang disebut refleks kedip

optikus. Refleks ini lebih lambat dibandingkan refleks kornea.

B. Ritme Normal Kedipan Mata

Pada keadaan terbangun, mata mengedip secara reguler dengan interval

dua sampai sepuluh detik dengan lama kedip selama 0,3-0,4 detik. Hal ini

merupakan suatu mekanisme untuk mempertahankan kontinuitas film prekorneal

dengan cara menyebabkan sekresi air mata ke kornea. Selain itu, mengedip dapat

membersihkan debris dari permukaan okuler. Sebagai tambahan, mengedip dapat

mendistribusikan musin yang dihasilkan sel goblet dan meningkatkan ketebalan

lapisan lipid (McMonnies, 2007). Iwanami (2007) mengemukakan bahwa

muskulus Riolan dan muskulus intertarsal dipercaya berhubungan dengan sekresi

kelenjar meibom.

Menurut Hollan (1972), frekuensi mengedip berhubungan dengan status

mental dan juga diregulasi oleh proses kognitif. Kara Wallace (2006) pada

Biennial International Conference on Infant Studies XVth di Jepang (Abelson,

2007) menyatakan bahwa berbicara, menghapal, dan perhitungan mental (mental

arithmatic) dihubungkan dengan peningkatan frekuensi mengedip. Sedangkan

melamun, mengarahkan perhatian dan mencari sumber stimulus diasosiasikan

dengan penurunan frekuensi mengedip mata. Namun, kedipan mata dapat

bervariasi pada setiap aktivitas seperti membaca, menggunakan komputer,

(22)

mengedip juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti keletihan, pengaruh

medikasi, stres dan keadaan afektif (Doughty, 2001).

2.2. Aparatus Lakrimalis

Aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan

sistem ekskresi air mata. Berikut adalah gambar anatomi dari sistem lakrimalis

(Wagner, 2006).

Gambar 2.2. Anatomi Sistem Lakrimalis

2.2.1. Sistem Sekresi Air Mata

Permukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi

basal air mata perhari diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung

menurun seiring dengan pertambahan usia. Volume terbesar air mata dihasilkan

oleh kelenjar air mata utama yang terletak di fossa lakrimalis pada kuadran

temporal di atas orbita. Kelenjar yang berbentuk seperti buah kenari ini terletak

didalam palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu lateral

aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra

yang lebih kecil. Setiap lobus memiliki saluran pembuangannya tersendiri yang

(23)

superior. Sekresi dari kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan

menyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora).

Persarafan pada kelenjar utama berasal nukleus lakrimalis pons melalui nervus

intermedius dan menempuh jalur kompleks dari cabang maksilaris nervus

trigeminus.

Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya sepersepuluh dari massa

utama, mempunya peranan penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan

kelenjar utama yang menghasilkan cairan serosa namun tidak memiliki sistem

saluran. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks

superior. Sel goblet uniseluler yang tersebar di konjungtiva menghasilkan

glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea Meibom dan Zeis

di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah

modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film prekorneal (Sullivan,

1996 dan Kanski, 2003).

2.2.2. Sistem Ekskresi Air Mata

Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus

nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan risleting – mulai

di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan

menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra. Setiap kali

mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula sehingga

memendekkan kanalikuli horizontal. Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan

sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan itulah sebabnya hanya sedikit yang

sampai ke sistem ekskresi. Bila memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan

masuk ke punkta sebagian karena hisapan kapiler.

Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pre-tarsal yang

mengelilingi ampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Secara bersamaan,

palpebra ditarik ke arah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia mengelilingi

sakus lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan

negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus,

(24)

berat dan elastisitas jaringa n – ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan

mirip-katup dari epitel pelapis sakus cenderung menghambat aliran balik air mata

dan udara. Yang paling berkembang di antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di

ujung distal duktus nasolakrimalis (Sullivan, 1996).

Berikut adalah ilustrasi dari sistem ekskresi air mata yang berhubungan

dengan fungsi gabungan dari muskulus orbikularis okuli dan sistem lakrimal

inferior (Wagner, 2006).

Gambar 2.3. Sistem Ekskresi Lakrimalis

2.3. Air Mata

Permukaan bola mata yang terpapar dengan lingkungan dijaga tetap

lembab oleh air mata. Air mata tersebut disekresikan oleh aparatus lakrimalis dan

disertai dengan mukus dan lipid oleh organ sekretori dari sel-sel pada palpebra

serta konjungtiva. Sekresi yang dihasilkan inilah yang disebut sebagai film air

mata atau film prekorneal. Analisis kimia dari air mata menunjukkan bahwa

konsentrasi garam didalamnya mirip dengan komposisi di dalam plasma darah.

Selain itu, air mata mengandung lisozim yang merupakan enzim yang memiliki

aktivitas sebagai bakterisidal untuk melarutkan lapisan luar bakteria

(Encyclopædia Britannica, 2007). Walaupun air mata mengandung enzim

bakteriostatik dan lisozim, menurut Sihota (2007), hal ini tidak dianggap sebagai

antimikrobial yang aktif karena dalam mengatasi mikroorganisme tersebut, air

mata lebih cenderung memiliki fungsi mekanik yaitu membilas mikroorganisme

(25)

K+, Na+, dan Cl- terdapat dalam konsentrasi lebih tinggi dalam air mata

dari dalam plasma. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dL) dan urea

(0,04 mg/dL) dan perubahannya dalam konsentrasi darah akan diikuti perubahan

konsentrasi glukosa dan urea air mata. pH rata-rata air mata adalah 7,35, meski

ada variasi normal yang besar (5,20-8,35). Dalam keadaan normal, cairan air mata

adalah isotonik. Osmolalitas film air mata bervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L

(Whitcher, 2000).

Berikut adalah ilustrasi dari elektrolit, protein dan sitokin dalam komposisi

air mata (Pflugfelder, S.C., 2004).

Gambar 2.4. Komposisi Air Mata

Air mata akan disekresikan secara refleks sebagai respon dari berbagai

stimuli. Stimulus tersebut dapat berupa stimuli iritatif pada kornea, konjungtiva,

mukosa hidung, stimulus pedas yang diberikan pada mulut atau lidah, dan cahaya

terang. Selain itu, air mata juga akan keluar sebagai akibat dari muntah, batuk dan

menguap. Sekresi juga dapat terjadi karena kesedihan emosional. Kerusakan pada

nervus trigeminus akan menyebabkan refleks sekresi air mata menghilang. Hal ini

(26)

penghambatan hantaran pada ujung nervus sensoris yang mengakibatkan

penghambatan refleks sekresi mata (bahkan ketika mata dipaparkan pada gas air

mata yang poten). Jalur aferen pada hal ini adalah nervus trigeminus, sedangkan

eferen oleh saraf autonom, dimana bahagian parasimpatis dari nervus fasialis yang

memberikan pengaruh motorik yang paling dominan. Oleh sebab itu, pemberian

obat yang parasimpatomimetik (seperti asetilkolin) dapat meningkatkan sekresi

sedangkan pemberian obat antikolinergik (atropin) akan menyebabkan penurunan

sekresi. Refleks sekresi air mata yang berlebihan dapat diinterpretasikan sebagai

respon darurat. Pada saat lahir, inervasi pada aparatus lakrimalis tidak selalu

sempurna, hal ini menyebabkan neonatus sering menangis tanpa sekresi air mata

(Encyclopædia Britannica, 2007).

2.4. Permukaan Okuler 2.4.1. Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan terluar dari mata yang terdiri dari

membran mukosa tipis yang melapisi kelopak mata, kemudian melengkung

melapisi permukaan bola mata dan berakhir pada daerah transparan pada mata

yaitu kornea. Secara anatomi, konjungtiva dibagi atas 2 bagian yaitu konjungtiva

palpebra dan konjungtiva bulbaris. Namun, secara letak areanya, konjungtiva

dibagi menjadi 6 area yaitu area marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan

limbal. Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak

(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea pada limbus.

Pada konjungtiva palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan menebal

secara bertahap dari forniks ke limbus dengan membentuk epithelium berlapis

tanpa keratinisasi pada daerah marginal kornea. Konjungtiva palpebralis terdiri

dari epitel berlapis tanpa keratinisasi yang lebih tipis. Dibawah epitel tersebut

terdapat lapisan adenoid yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdiri dari

leukosit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat pada tarsus, sedangkan bagian

bulbar bergerak secara bebas pada sklera kecuali yang dekat pada daerah kornea

(27)

Berikut adalah gambaran anatomi dari konjungtiva (Lang, 2006).

Gambar 2.5. Anatomi Konjungtiva

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan – bersama dengan banyak

vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya – membentuk

jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva

tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan

pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak.

Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus

trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri. (Riordan-Eva,

2000).

Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan

kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata

dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas

(28)

mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada

mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA (Sihota, 2007).

Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua

grup besar yaitu (Kanski, 2003):

1. Penghasil musin

a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada

daerah inferonasal.

b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis

superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.

c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.

2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause

dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi

propria.

Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun

karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai

darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain

itu, air mata bukan merupakan medium yang baik (Sihota, 2007).

2.4.2. Kornea

Kornea merupakan membran pelindung dan ‘jendela’ yang dilalui berkas

cahaya menuju retina. Kornea meliputi seperenam dari permukaan anterior bola

mata. Kelengkungannya lebih besar dibandingkan permukaan mata lainnya.

Perbatasan antara kornea dan sklera disebut sebagai limbus (ditandai dengan

adanya sulkus yang dangkal – sulkus sklera). Kornea terdiri dari 3 lapisan yaitu

epitel, substansi propria atau stroma dan endotel. Diantara epitel dan stroma

terdapat lapisan atau membran Bowman dan diantara stroma dan endotel terdapat

(29)

Berikut adalah gambaran anatominya (Lang, 2006).

Gambar 2.6. Anatomi Kornea

Kornea yang sehat adalah avaskular dan tidak memiliki saluran limfatik.

Nutrisi sel kornea didapat melalui difusi dari cairan akueus, kapiler pada limbus,

dan oksigen yang terlarut dalam film prekorneal. Metabolisme kornea cenderung

aerobik dan mampu berfungsi baik secara anaerobik selama enam sampai tujuh

jam. Sel yang bermetabolisme secara aktif adalah endotel, epitel dan sel keratosit

stroma. Oksigen yang menyuplai kornea kebanyakan berasal dari film prekorneal

dengan kontribusi sedikit dari kapiler di limbus dan gradien oksigen. Suplai

glukosa pada kornea 90% berasal dari cairan akueus dan 10% dari kapiler limbus.

Persarafan kornea berasal dari divisi oftalmik nervus trigeminus.

Percabangan nervus ini berasal dari ruang perikoroidal, menembus sklera dan

membentuk pleksus. Pleksus ini akan menyebar secara radier dan kemudian

masuk ke stroma kornea. Serat saraf ini akan kehilangan selaput mielin dan

bergabung membentuk pleksus subepitel kornea. Cabang terminal nervus ini akan

menembus lapisan Bowman, menyebar dan membentuk pleksus intraepitel. Saraf

ujung bebas inilah yang responsif terhadap nyeri dan suhu. Akibat dari banyaknya

(30)

Epitel dan endotel kornea memiliki fungsi untuk menjaga agar cairan pada

stroma kornea tetap dalam keadaan stabil. Sel- sel pada kedua lapisan ini kaya

akan lipid dan bersifat hidrofobik (sedangkan stroma bersifat hidrofilik) sehingga

solubilitas garam menjadi rendah. Sel epitel memiliki junction complexes yang

mencegah masuknya air mata kedalam kornea atau keluarnya cairan dalam kornea

ke film prekorneal. Sel endotel juga memiliki junction complexes namun influks

dari cairan akueus dapat terjadi dengan adanya mekanisme transpor aktif Na-K

ATPase (Sihota, 2007).

2.4.3. Film Prekorneal

Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 µ m yang menutupi epitel

kornea dan konjungtiva. Fungsi dari lapisan ini adalah (1) membuat kornea

menjadi permukaan licin optik dengan meniadakan ketidakteraturan permukaan

epitel kecil-kecil; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan

konjungtiva yang lembut; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan

guyuran mekanik dan kerja antimikroba; dan (4) memberikan substansi nutrien

yang diperlukan (Whitcher, 2000).

Film prekorneal ini terdiri dari tiga lapisan: (1) lapisan superfisial adalah

lapisan lipid monomolekuler yang berasal dari kelenjar meibom, kelenjar sebasea

dan kelenjar keringat pada daerah margin palpebra. Lapisan ini diduga

menghambat penguapan dan merupakan sawar kedap air bila palpebra ditutup. (2)

Lapisan akueus tengah yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor dan minor

dan mengandung substansi larut-air (garam dan protein). (3) lapisan musin yang

dihasilkan sel goblet konjungtiva dan kelenjar lakrimal. Didalamnya terdiri atas

glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel

epitel terdiri atas lipoprotein dan karenanya relatif hidrofobik. Permukaan

demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diadsorpsi

sebagian pada membran sel epitel kornea dan tertambat oleh mikrovili sel-sel

epitel permukaan. Ini menyediakan permukaan hidrofilik baru agar air mata

menyebar ke bagian yang dibasahinya dengan menurunkan tegangan permukaan

(31)

Berikut adalah ilustrasi dari film prekorneal dan komposisinya (Wagner,

[image:31.595.119.507.156.338.2]

2006).

Gambar 2.7. Gambaran Film Prekorneal dan Komposisinya

Volume air mata normal diperkirakan 7 ± 2 µL pada setiap mata. Albumin

merupakan 60% dari protein total dalam air mata. Globulin dan lisozim berjumlah

sama banyak pada bagian sisanya. Selain itu, terdapat imunoglobulin IgA, IgG,

dan IgE dengan jumlah yang paling banyak adalah IgA. IgA ini bukan

sepenuhnya berasal dari transudat serum, namun diproduksi juga oleh sel-sel

plasma yang ada di dalam kelenjar lakrimal. Lisozim air mata merupakan 21-

25% dari protein total dan ˗˗ bekerja secara sinergis dengan gamma -globulin

dan faktor anti-bakteri non-lisozim lain – merupakan mekanisme pertahanan

penting terhadap infeksi (Whitcher, 2000).

Menurut Cho (2003), ada beberapa studi yang meneliti stabilitas dari film

Prekorneal dan ada beberapa hipotesis yang menjelaskan mekanisme lapisan

prekorneal pecah. Salah satu hipotesis menjelaskan bahwa stabilitas film tersebut

disebabkan oleh penyebaran musin yang meningkatkan tegangan permukaan film.

Ketika lapisan lipid mulai berdifusi ke lapisan mukus, kemampuan mukus untuk

mempertahankan tegangan permukaan mulai menurun sehingga film prekorneal

akhirnya pecah dan membentuk bintik kering (hydrophobic spots). Hipotesis yang

lain menjelaskan bahwa lapisan mukus yang memisah terjadi akibat gaya Van Der

(32)

2.5. Asap Rokok

2.5.1. Komposisi Asap Rokok

Asap rokok merupakan kompleks campuran beberapa ribu komponen

kimia – beberapa dalam konsentrasi yang sedikit – yang merupakan hasil dari

pembakaran dari bahan dari produk tembakau. Hasilnya termasuk getah

temabakau (tar) dan gas-gas lainnya. Hal yang paling penting adalah nikotin (zat

adiktif). Campuran gas inilah yang secara konstan bereaksi dengan gas di

atmosfer dengan bantuan sinar ultraviolet. Hal ini menyebabkan komposisi

kimianya selalu berubah setiap saat.

Sampai sekarang ini, asap rokok diketahui mengandung lebih dari empat

ribu zat kimia. Namun, komposisi dan konsentrasi zat kimia tersebut dalam asap

rokok tergantung pada jenis tembakau, kertas ventilasi dan filter yang digunakan

serta cara menghisap rokok. Jumlah zat kimia dalam asap rokok sendiri bukan

merupakan hal yang paling penting karena yang menjadi masalah adalah toksisitas

dan konsentrasi dari zat kimia tersebut (Action on Smoking and Health, 2001).

Asap rokok terdiri dari 2 jenis yaitu:

a. Asap mainstream; Asap ini dibentuk ketika perokok menginhalasi udara

melalui rokok.

b. Asap Sidestream; Asap ini dibentuk ketika tembakau dalam keadaan terbakar

namun asap tidak diinhalasi oleh perokok. Zat toksin pada asap sidestream

memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan asap mainstream dan

85% dari asap rokok merupakan hasil dari asap sidestream.

Adapun hasil uraian dari komposisi asap rokok baik jenis mainstream

maupun sidestream dalam Labstat International ULC Offerings (2008) yaitu

nikotin, karbon monoksida, hidrogen sianida, amonia, nitrogen, logam- logam,

merkuri, serta golongan-golongan kimia seperti karbonil, phenolics,

benzo[a]pyrene, aromatik, gas volatil dan gas semi-volatil. Pada jurnal tersebut,

semua zat toksik dalam asap rokok terdeteksi dalam jaringan dan urin, sedangkan

beberapa lainnya terdeteksi dalam plasma, serum ataupun saliva. Setiap zat yang

diuraikan diatas telah diteliti dan kebanyakan dari zat tersebut merupakan

(33)

merupakan zat iritan (Physician for a Smoke-Free Canada, 1999). Dalam

Physician for a Smoke-Free Canada (2008), diuraikan dampak dari setiap

kandungan dalam asap rokok. Hampir semua uraian didalamnya dapat mengiritasi

mata. Hal ini juga didukung oleh State Building & Construction Trades Council

of California (2008).

2.5.2. Pengaruh pada Mata Secara Eksternal

Mekanisme asap rokok mempengaruhi permukaan mata dan kelenjar

lakrimalis masih berupa teori-teori. Namun, mengingat bahwa zat yang

terkandung dalam asap rokok bersifat iritatif, hal ini menyebabkan inflamasi lokal

yang dimediasi imun pada kelenjar lakrimalis dan permukaan okuler. Menurut

Moss, et al. yang dikutip oleh Yoon (2005), selain mengiritasi mata, asap rokok

juga berperan dalam mekanisme iskemik atau oksidatif yang melibatkan produksi

radikal bebas dan penurunan mekanisme antioksidan. Menurut Wilson (2003),

akibat iritasi kronik tersebut, lengkung neural diaktivasi secara berlebihan dan

menyebabkan perubahan sekresi air mata. Hal ini ditandai dengan sekresi sel T

yang teraktivasi dan sitokin dalam air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata

menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler. Hal ini akan mengganggu

penyampaian sinyal sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air mata

menurun (Stern, 2004). Selain itu, kelenjar lakrimalis baik secara langsung

maupun tidak langsung juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan

penurunan sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem

pertahanan mata yang normal. Inflamasi tersebut juga menyebabkan disfungsi dari

sistem air mata sehingga terjadi gangguan drainase. Secara fisiologis, di dalam air

mata mengandung komponen anti inflamasi. Akibat difungsi dari sekresi air mata,

hal ini menyebabkan iritasi tidak terkontrol dan menyebabkan peningkatan

aktivasi dari limfosit T. Sitokin dan mediator inflamasi lainnya juga menyebabkan

peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi, jumlah produksi substansi inflamasi

dan jumlah kerusakan jaringan (Wilson, 2003).

Adapun penelitian dilakukan Metcalfe, et al., Mack, et al. dan Smyth, et

(34)

rokok secara in vitro menyebabkan terjadi peningkatan produksi tumor necrosis

factor α (TNF-α), interferon γ, interleukin 1 dan glikosaminoglikan oleh fibroblas

orbital. Akibat penghasilan Interferon γ, terjadi ekpresi HLA-DR oleh fibroblas

tersebut. Selain itu, paparan asap rokok secara in vitro juga menyebabkan

pelepasan IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 dan TNF-α oleh sel mast. Selain yang

disebutkan diatas, Foster (2008) juga menyatakan bahwa adanya interaksi sitokin

terhadap reseptor opioid yang menyebabkan gangguan pada pelepasan

neurotransmiter. Selain itu, calcitonin gene related peptide (CGRP) dan substance

P juga terlibat dalam aktivasi limfosit.

Menurut De Paiva (2007), penurunan produksi akueus air mata akibat

paparan zat iritan secara kronik dapat menyebabkan metaplasia dan penurunan

jumlah sel goblet pada epitel konjungtiva. Hal ini terjadi akibat aktivasi sel T dan

NK cells sehingga terjadi pelepasan interferon γ (IFN-γ) dimana sitokin ini terlibat

pada hampir seluruh respon imun dan inflamasi. IFN-γ dikenal memiliki potensi

untuk meningkatkan regulasi protein yang berhubungan dengan diferensiasi epitel

konjungtiva (conjunctival epithelial differentiation-related proteins). IFN-γ

dilaporkan mampu meningkatkan trankripsi RNA yang mengkode prekursor

keratinisasi.

Berikut adalah ilustrasi mengenai proses paparan zat iritatif yang

berlangsung kronik dapat menyebabkan penurunan sekresi air mata (Wilson,

[image:34.595.168.456.548.705.2]

2003).

(35)

Perlu diketahui bahwa sel pada lapisan kornea mendapatkan oksigen dan

nutrien berupa elektrolit yang disekresikan di air mata oleh kelenjar lakrimalis.

Elektrolit tersebut penting dalam sekresi mukus oleh sel goblet. Akibat kehilangan

komponen akueus dari air mata, konsentrasi sodium akan meningkat yang

akhirnya akan menyebabkan penurunan jumlah sel goblet. Penurunan sel goblet

akan berdampak pada penurunan jumlah glikogen di kornea yang akan

menurunkan kemampuan regenerasi kornea. Osmolaritas yang meningkat tersebut

juga dapat menarik air diantara sel epitel konjungtiva yang nantinya menyebabkan

deskuamasi dari sel tersebut (Cohen, 2004).

2.5.3. Pengaruh pada Mata Secara Internal

Selain berdampak pada mata secara eksternal, asap rokok mainstream

yang diinhalasi perokok juga berdampak buruk pada mata. Menurut Optometrists

Association Australia (2005) dan Action on Smoking and Health (2005), beberapa

zat yang terkandung dalam rokok bersifat toksik terhadap jaringan mata. Beberapa

zat didalamnya dapat menyebabkan penurunan kemampuan darah membawa

oksigen dan menurunkan aliran darah ke mata (iskemia). Selain itu, kerusakan

dapat terjadi akibat stres oksidatif, reaksi kimia yang merusak protein dan lipid

dan menurunkan antioksidan dalam darah. Mata merupakan organ yang sangat

rentan terhadap stres oksidatif. Kaitan merokok dengan peningkatan resiko

terjadinya penyakit mata telah dibuktikan. Katarak nuklear, degenerasi makular

terkait usia (Fujihara, 2008) dan Graves’ Ophthalmopathy memiliki bukti yang

kuat. Adapun bukti yang bersifat sugestif berupa katarak subkapsular posterior

(Tobacco Control Resource Centre, 2006). Selain itu, Action on Smoking and

Health (2005) juga melampirkan gangguan lainnya seperti oklusi vena retina,

peningkatan tekanan intraokular dan neuropati optik (penurunan aliran darah ateri

ke mata).

(36)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini, kerangka konsep mengenai dampak paparan asap

rokok terhadap frekuensi mengedip dan keluhan yang dirasakan pada mata akan

diuraikan. Variabel dependen pada penelitian ini adalah frekuensi mengedip dan

keluhan yang dirasakan sedangkan variabel independennya adalah paparan asap

[image:36.595.166.456.329.415.2]

rokok.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

a. Paparan Asap Rokok

Paparan asap rokok yang dimaksudkan adalah masyarakat yang secara

aktif terpapar dengan asap rokok yaitu perokok aktif. Pada penelitian ini, paparan

asap rokok yang diinginkan adalah paparan kronis (paparan lebih dari 1 tahun).

b. Frekuensi Mengedip

Aktivitas mata secara reguler untuk mempertahankan kontinuitas film

prekorneal. Frekuensi mengedip yang normal tergantung pada aktivitas yang

dilakukan. Cara mengukur frekuensi mengedip tersebut adalah dengan

menghitung rata-rata jumlah kedipan mata dalam satu menit pada saat membaca.

Hasil ukur variabel berupa jumlah kedipan permenit. Skala ukur variabel ini

(37)

c. Keluhan Yang Dirasakan

Keluhan yang dirasakan adalah keluhan akibat paparan asap rokok secara

kronis. Keluhan yang ditanyakan berupa mata terasa cepat lelah, gatal, berpasir,

nyeri menusuk atau terbakar, kering, lakrimasi berlebihan dan kemerahan. Jumlah

keluhan yang dirasakan dan frekuensinya dinilai dalam penelitian ini. Cara

mengukur variabel ini adalah dengan metode wawancara. Hasil ukur variabel

dalam bentuk derajat angka sesuai dengan metode yang digunakan Yoon (2005)

dan Satici (2003) . Skala ukur variabel ini berupa skala kategorikal.

3.3. Hipotesis

Adanya perbedaan frekuensi mengedip dan jumlah keluhan serta

frekuensinya yang dirasakan pada mata yang sering terpapar dengan asap rokok

(38)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional

dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara faktor resiko

dengan efek dengan cara pendekatan, observasi, dan pengumpulan data sekaligus

suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui perubahan frekuensi mengedip dan keluhan-keluhan yang

dirasakan pada mata yang sering terpapar dengan asap rokok.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kesawan, Medan. Penelitian

dilakukan pada orang-orang yang memenuhi kriteria peneliti yang datang ke

lokasi penelitian untuk melakukan aktivitas perdagangan atau reparasi kendaraan

bermotor.

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2009

dan berakhir pada bulan Juli 2009

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pria berumur antara 20 tahun

dan 40 tahun baik yang merokok maupun tidak merokok di Kelurahan Kesawan,

Medan.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari pria berumur 20 tahun

sampai 40 tahun. Sampel kemudian digolongkan menjadi dua kelompok yaitu

(39)

Pada kelompok kasus, sampel dibagi menjadi 3 subkelompok berdasarkan

jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari menurut African American Smokers

(Okuyemi, 2005), yaitu:

a. Perokok ringan: jumlah rokok yang dikonsumsi perhari adalah 1 sampai 9

batang rokok.

b. Perokok sedang: jumlah rokok yang dikonsumsi perhari adalah 10 sampai 19

batang rokok.

c. Perokok berat: jumlah rokok yang dikonsumsi perhari adalah 20 batang rokok

atau lebih.

Teknik pengambilan sampel pada penelitan ini dilakukan dengan metode

consecutive sampling. Teknik ini dilakukan dengan mengambil sampel yang

melewati ataupun datang ke lokasi penelitian dan sesuai dengan kriteria peneliti

serta bersedia terlibat dalam penelitian tersebut. Pengumpulan sampel akan

dihentikan jika jumlah sampel yang diperlukan telah terpenuhi sesuai dengan

perhitungan jumlah sampel.

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Berikut adalah kriteria inklusi dan eksklusi pada sampel yang akan diteliti

(Satici, 2003 dan Yoon, 2005):

a. Kriteria inklusi pada kelompok kasus adalah perokok dengan lama merokok

lebih dari 1 tahun (menurut ATSDR (2009), paparan dikatakan kronik jika

lebih dari 1 tahun).

b. Kriteria inklusi pada kelompok kontrol adalah:

1. Sampel bukan perokok serta tidak ada perokok dalam anggota keluarga

ataupun teman dekatnya untuk mencegah kemungkinan efek paparan asap

tembakau pasif.

2. Tidak ada gangguan oftalmologis pada sampel selain gangguan refraksi

ringan

c. Kriteria eksklusi pada kelompok kasus dan kontrol adalah:

1. Adanya riwayat penyalahgunaan obat.

(40)

3. Sampel merupakan pengguna lensa kontak.

4. Sampel pernah menjalani operasi mata.

5. Pengguna obat lokal untuk mata

maupun sistemik seperti obat hipertensi, diuretik, tiroid, alergi dan

sebagainya.

6. Sampel pernah mengalami kelainan kornea ataupun konjungtiva.

7. Sampel yang memiliki riwayat atopi ataupun alergi.

8. Sampel menderita gangguan psikiatri dan gangguan pergerakan.

9. Sampel memiliki kebiasaan sering mengedip.

10.Sampel menderita penyakit mata baik primer maupun sekunder akibat

penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi sekresi dan distribusi dari air

mata.

4.3.4. Besar Sampel

Perhitungan nilai varian pada penelitian ini dengan menggunakan rumus

(Wahyuni, 2007):

Dengan jumlah sampel dan standar deviasi yang didasari dari penelitian

sebelumnya (Yoon, 2005) dengan n1 bernilai 58 dengan standar deviasi 2,26 dan

n2 bernilai 52 dengan standar deviasi 3,14. Maka varian yang dihasilkan (σ2)

adalah 7,35. Maka perhitungan jumlah sampel pada penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan rumus (Madiyono, 2008):

Dengan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95 % dengan nilai

α sebesar 5% ( = 1.96), β seb esar 2 0 % ( = 0,842), dan perbedaan klinis

yang diinginkan (X1–X2) adalah 1,5, maka hasil yang didapatkan adalah 51.29.

Jumlah sampel yang diperoleh dengan memakai rumus tersebut adalah dibulatkan

(41)

jumlah sampel akan dibagi menjadi 3 subgrup. Agar pembagian merata, jumlah

sampel pada kelompok kasus dijadikan 54 sampel sehingga setiap subgrup terdiri

dari 18 sampel. Maka total sampel yang diambil pada penelitian ini berjumlah 106

sampel.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu

pengumpulan informasi mengenai gejala-gejala yang dialami pasien dan frekuensi

mengedip.

a. Tahap wawancara gejala.

Keluhan-keluhan yang dialami pasien – mata terasa cepat lelah, gatal,

berpasir, nyeri menusuk atau terbakar, kering, lakrimasi berlebihan dan

kemerahan – akan diperoleh melalui teknik wawancara. Kemudian dari keluhan

tersebut, frekuensi dari keluhan ditanyakan dan digolongan ke tiga grup menurut

Franck and Skov (1989) yang dikutip dari Satici (2003):

1. Frekuensi keluhan yang dialami terjadi kurang dari sekali dalam sebulan.

2. Frekuensi keluhan yang dialami terjadi sekali dalam seminggu sampai

sekali dalam sebulan.

3. Frekuensi Frekuensi yang dialami terjadi beberapa kali seminggu.

b. Tahap penilaian frekuensi mengedip

Pada tahap kedua, frekuensi mengedip akan dinilai didalam ruangan

dengan mempersilahkan sampel membaca suatu cerita yang diletakkan dengan

tinggi sejajar dengan mata sampel dengan jarak kira-kira 60 cm. Bahan bacaan

berupa dongeng anak-anak yang mudah dimengerti. Sebelum pemeriksaan ini,

sampel kasus diminta untuk tidak merokok selama 45 menit.

Pada saat membaca, sampel diposisikan dalam duduk. Suasana saat

membaca dilakukan pada suhu ruangan. Pencahayaan dipertahankan agar yang

cukup melalui ventilasi yang memadai. Untuk sampel yang ingin memakai

kacamata dipersilahkan jika pemakaian tersebut merupakan kebiasaan. Aktivitas

(42)

hari sampai sore hari dan tidak dilakukan pada malam hari karena menurut

Babarto (2000) dalam Dreisbach (2005), frekuensi mengedip meningkat saat

malam hari.

Aktivitas mengedip sampel direkam dengan menggunakan kamera

perekam Nikon Coolpix P4VR selama 2 menit 20 detik. Perhitungan jumlah

mengedip dilakukan dengan menggunakan program Windows Media Player

Classic. Penilaian tidak dilakukan pada 20 detik pertama dengan tujuan adaptasi

dan mengurangi canggung didepan video perekam. Penilaian frekuensi mengedip

hanya dilakukan pada 2 menit terakhir dan jumlah kedipan dirata-ratakan dalam 1

menit.

4.5. Instrumen Peneltian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Jam tangan

b. Peralatan tulis dan kertas

c. Kamera Nikon Coolpix P4 VR

d. Komputer

4.6. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari setiap sampel dimasukkan ke dalam komputer

oleh peneliti. Data yang diperoleh berupa jumlah dan frekuensi keluhan yang

dirasakan dan frekuensi mengedip akan dianalisis dengan menggunakan program

Statistic Package for Social Science (SPSS) for Windows 17.0. Untuk jumlah dan

frekuensi keluhan yang dirasakan pada mata akan dianalisis dengan menggunakan

uji statistik Chi Square. Untuk frekuensi mengedip, perbandingan antara grup

perokok dan bukan perokok dianalisis dengan uji statistik Mann Whitney U dan

(43)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kesawan merupakan salah satu dari 6 kelurahan di Kecamatan Medan

Barat selain Glugur Kota, Karang Berombak, Pulo Brayan Kota, Sei Agul dan

Silalas. Kelurahan ini memiliki luas 10,05 Ha dan berbatasan dengan kelurahan

Silalas kecamatan Medan Barat (utara), kelurahan Aur kecamatan Medan Maimun

(selatan), kelurahan Gang Buntu kecamatan Medan Timur (timur) dan kelurahan

Petisah Tengah kecamatan Medan Petisah (barat). Tujuh ribu delapan ratus enam

puluh dua penduduk pada kelurahan ini terdiri dari 48% (3800 penduduk)

penduduk pria dan sisanya (4062 penduduk) adalah perempuan.

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kesawan tepatnya di daerah

perbelanjaan suku cadang dan reparasi sepeda motor. Tempat tersebut umumnya

ramai dikunjungi oleh pria sepanjang hari sehingga sesuai untuk dijadikan sebagai

lokasi penelitian. Aktivitas perbelanjaan dan reparasi sepeda motor biasanya

melibatkan konsumen harus menunggu agar suku cadang dipasang atau reparasi

selesai. Keadaan ini dimanfaatkan peneliti dengan mengajak partisipasi subjek

peneliti dalam penelitian ini.

5.2 Karakteristik Individu

Berikut adalah deskripsi umur sampel yang digolongkan menjadi perokok dan non-perokok.

Tabel 5.1. Deskripsi Umur Sampel

Kelompok Umur ( Mean ± SD)

(tahun)

Rentang (tahun)

Non-Perokok 25,75 ± 5,009 20 – 37

Perokok 29,56 ± 6,052 20 – 40

(44)

Total 26,69 ± 5,859 20 – 40 Penelitian ini dilakukan dari tanggal 28 mei 2009 sampai 7 juli 2009

dengan jumlah sampel sebanyak 106. Sampel yang mayoritas berumur 25 tahun

dengan rentang umur 20 sampai 40 tahun digolongkan menjadi kelompok kasus

yang terdiri dari 54 sampel (51% dengan umur rata-rata 29,56 ± 6,052 dan rentang

20-40 tahun) dan kelompok kontrol yang terdiri dari 52 sampel (49% dengan

umur rata-rata 25,75 ± 5,009 dan rentang 20-37 tahun). Kelompok kasus

kemudian dibagi menjadi subkelompok yang terdiri dari 18 perokok ringan (17%

dengan umur rata-rata 26,28 ± 5,188 dan rentang 20-37 tahun), 18 perokok sedang

(17% dengan umur rata-rata 28,94 ± 5,450 dan rentang 20-40 tahun), dan 18

perokok berat (17% dengan umur rata-rata 33,44 ± 5,458 dan rentang 25-40

tahun).

5.3 Hasil Analisis Data

Setelah dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan di Kelurahan

[image:44.595.115.507.474.574.2]

Kesawan Medan tahun 2009, didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 5.2. Persentase Sampel yang Merasakan Keluhan Oftalmik dalam Kelompok Kontrol dan Kasus

Kelompok

Jumlah Keluhan

Tanpa

Keluhan 1 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis 5 jenis 6 jenis

Kontrol (n = 52)

40 (77%) 8 (15%) 4 (8%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Kasus

(n = 54)

8 (15%) 10 (19%) 11 (20%) 12 (22%) 10 (18%) 2 (4%) 1 (2%) n = jumlah sampel

Dari analisis keluhan oftalmik – mata terasa cepat lelah, gatal, berpasir,

nyeri menusuk atau terbakar, kering, lakrimasi berlebihan dan kemerahan – pada

sampel, 40 sampel (77%) pada kelompok kontrol tidak merasakan adanya keluhan

sedangkan pada kelompok kasus hanya terdapat 8 sampel (15%) yang tidak

merasakan adanya keluhan. 46 sampel (85%) pada kelompok kasus mengeluhkan

adanya gangguan pada mata, sedangkan keluhan tersebut hanya terdapat pada 12

(45)

Keluhan oftalmik subjektif pada kelompok kontrol dan kasus dilampirkan

[image:45.595.112.517.181.359.2]

pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.3. Keluhan Oftalmik Subjektif pada Kelompok Kontrol dan Kasus

Parameter Kelompok Kontrol

n = 52

Kelompok Kasus n = 54

P-value

n (%) n (%)

Cepat lelah 6 11,54 30 55,56 < 0.001

Gatal 5 9,6 26 48,15 < 0.001

Berpasir 0 0 15 27,78 < 0.001

Nyeri menusuk atau

terbakar 1 1,92 3 5,56 0,618

Kering 2 3,85 21 38,89 < 0.001

Lakrimasi berlebihan 1 1,92 9 16,67 0.016

Kemerahan 2 3,85 20 37,04 < 0.001

Total Gejala 17 4,7 124 48,8 <0,001

n = jumlah sampel

Dari tabel diatas, 55,56% sampel pada kelompok kasus mengeluhkan

keluhan cepat lelah lebih sering dibandingkan 11,54% sampel pada kelompok

kontrol (P <0,001). Pada perbandingan keluhan lain juga ditemukan adanya

perbedaan seperti gatal (P <0,001), kering (P <0,001), lakrimasi berlebihan

(P = 0,016), dan kemerahan (P <0,001). Untuk keluhan berpasir, pada kelompok

kontrol tidak ditemukan adanya keluhan tersebut. Namun, keluhan tersebut

signifikan pada 27,78% sampel kelompok kasus (P <0.001). Keluhan nyeri

menusuk atau terbakar pada 5,56% kelompok kasus tidak bermakna jika

dibandingkan pada 1,92% sampel kelompok kontrol (P = 0,618).

Selain analisis keluhan oftalmik yang dilakukan pergejala, menurut Satici

(2003) keluhan tersebut dapat dijumlahkan. Dari semua keluhan, 4,7% (17/364)

dikeluhkan pada kelompok kontrol dan 48,8% (124/ 378) pada kelompok kasus.

Dari analisis tersebut, ditemukan perbedaan jumlah gejala yang signifikan

(46)

Selain analisis keluhan oftalmik, berikut adalah deskripsi frekuensi

[image:46.595.109.514.183.271.2]

keluhan objektif pada kelompok kontrol dan kasus.

Tabel 5.4.

Frekuensi Keluhan Oftalmik Subjektif pada Kelompok Kontrol dan Kasus Frekuensi Keluhan Oftalmik

0 1 2 3

n (%) n (%) n (%) n (%)

Kontrol (n = 52) 40 77 10 19 1 2 1 2

Kasus (n = 54) 8 15 18 33,3 19 35,2 9 16,5

Frekuensi Keluhan Oftlamik: (0) Tanpa keluhan; (1) Frekuensi keluhan yang dialami terjadi kurang dari sekali dalam sebulan; (2) Frekuensi keluhan yang dialami terjadi sekali dalam seminggu sampai sekali dalam sebulan; (3) Frekuensi Frekuensi yang dialami terjadi beberapa kali seminggu.

Pada pemeriksaan frekuensi keluhan oftalmik, 19% sampel pada

kelompok kontrol merasakan keluhan dialami kurang dari sekali dalam sebulan

namun lebih tinggi dijumpai pada kelompok kasus (33,3%). Dua persen sampel

kelompok kontrol mengalami keluhan dengan frekuensi sekali dalam seminggu

sampai sekali dalam sebulan dan sisanya dengan frekuensi beberapa kali

seminggu. Sedangkan pada kelompok kasus, presentasi sampel dengan frekuensi

keluhan yang dialami sekali dalam seminggu sampai sekali dalam sebulan dan

beberapa kali seminggu secara berturut-turut adalah 35,2% dan 16,5%. Dari

analisis tersebut, frekuensi keluhan oftalmik pada kelompok kasus lebih tinggi

secara signifikan daripada kelompok kontrol (P <0,001).

Tabel 5.5. Deskripsi Frekuensi Mengedip pada Kelompok Kontrol dan Kasus

Kelompok n Mean ± SD

(kali permenit)

Rentang (kali permenit)

Kelompok Kontrol 52 3,98 ± 1,54 1 – 9

Kelompok Kasus 54 7,48 ± 2,951 3 - 14

Perokok Ringan 18 5,39 ± 2,38 3 – 13

Perokok Sedang 18 7,39 ± 2,38 4 – 13

Perokok Berat 18 9,67 ± 2,473 6 – 14

Total 106 5,76 ± 2,939 1 – 14

n = jumlah sampel

Dari tabel diatas, sampel pada penelitian ini memiliki rentang frekuensi

[image:46.595.121.504.561.675.2]
(47)

kali permenit. Pada analisis frekuensi mengedip, uji normalitas dilakukan pertama

kali untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan berdistribusi normal. Hasil

uji normalitas Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi

normal (P-value <0,05) sehingga analisis frekuensi mengedip yang digunakan

berupa analisis non-parametrik. Hasil uji kelompok kasus (7,48 ± 2,951 kali

permenit dengan rentang 3-14 kali permenit) memiliki frekuensi mengedip yang

lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,98 ± 1,54 kali permenit

dengan rentang 1-9 kali permenit) dengan P <0,001.

[image:47.595.147.475.302.445.2]

Tabel 5.6. Analisis Frekuensi Mengedip

Analisis Perbandingan P-value

Kontrol dengan Kasus < 0.001

Perokok Ringan, Sedang, dan Berat < 0,001

Kontrol dengan Perokok Ringan 0.008

Kontrol dengan Perokok Sedang < 0,001

Kontrol dengan Perokok Berat < 0,001

Perokok Ringan dengan Perokok Sedang 0,004 Perokok Ringan dengan Perokok Berat <0,001 Perokok Sedang dengan Perokok Berat 0,007

Perbandingan setiap subgrup pada kelompok kasus juga ditemukan adanya

peningkatan yang signifikan dengan nilai P <0,001. Selain itu, hasil yang

signifikan juga ditemukan dari analisis kelompok kontrol dengan kelompok

perokok ringan (P <0,001), perokok sedang (P = 0,008), dan perokok berat

(P <0,001). Perbandingan frekuensi mengedip pada kelompok perokok ringan

dengan perokok sedang dan berat juga ditemukan adanya perbedaan yang

bermakna (P = 0,004 dan <0,001). Analisis terakhir dengan membandingkan

kelompok perokok sedang dan perokok berat juga menunjukkan perbedaan yang

signifikan (P = 0,007).

5.4 Pembahasan

Sehatnya permukaan okuler dipertahankan oleh adanya hubungan erat

antara epitel permukaan okuler dan film perkorneal yang dihasilkan oleh adneksa

(48)

peningkatan resiko penyakit sistemik dan kerusakan okuler. Asap rokok dapat

menyebabkan gangguan stabilitas film prekorneal dan kelembaban permukaan

okuler. Selain itu juga menyebabkan efek iritatif pada permukaan okuler, melalui

stimulasi pada konjungtiva dan kornea, dan terjadinya mekanisme iskemik atau

oksidatif. Hal ini melibatkan pembentukan kerja radikal bebas dan menurunkan

mekanisme antioksidan (Moss, 2000).

Konjungtiva yang terpapar dengan asap rokok mengalami perubahan yang

mirip dengan yang disebabkan oleh paparan kronis terhadap iritan. Avunduk, et

al. (1997) mengemukakan bahwa asap rokok dapat menyebabkan perubahan

struktur konjungtiva pada tikus dengan menyebabkan metaplasia skuamosa pada

lapisan epitel permukaan konjungtiva. Keadaan ini dapat dijelaskan karena adanya

keratinisasi yang disebabkan oleh iritasi okuler sehingga terjadi kerusakan

mikrovilli yang penting untuk stabilisasi film prekorneal. Selain itu, tear break-up

time juga menurun akibat defisiensi lapisan lipid dari film prekorneal (Satici, 2005

dan Yoon, 2005). Keadaan ini menyebabkan peningkatan frekuensi mengedip

pada kelompok kasus secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Peningkatan frekuensi mengedip juga terjadi seiring dengan peningkatan

jumlah konsumsi rokok perhari.

Keluhan okuler akibat paparan terhadap asap rokok dapat terjadi mulai

dari gejala iritasi mata yang ringan sampai ketidaknyamanan kronis yang berat

sehingga mengganggu penglihatan. Keadaan ini disebabkan adanya gangguan

stabilitas film prekorneal sehingga permukaan okuler terpapar langsung dengan

lingkungan eksternal. Gangguan stabilitas f

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Potongan Sagital Palpebra Superior
Gambar 2.2. Anatomi Sistem Lakrimalis
Gambar 2.3. Sistem Ekskresi Lakrimalis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada Penelitian ini juga telah dibuat, suatu aplikasi yang dapat membantu dan memudahkan pembeli dalam menentukan pembelian mobil keluarga, dengan inputan

.HSDOD FDEDQJ GDQ VHOXUXK SHJDZDL /HPELPMDU 1HXWURQ &lt;RJ\DNDUWD \DQJ WHODK PHPEHULNDQ GXNXQJDQ GDQ GDWD WHUNDLW GHQJDQ VLVWHP SHQJHQGDOLDQ LQWHUQDO DWDV SHQGDSDWDQ MDVD

Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan

Dan penelitian ini sebagai langkah awal dalam menentukan sebuah metode baru dalam memonitoring hutan di Indonesia, baik yang terkait kawasan hutan dalam sebuah wilayah

(Buku Pedoman Praktik Industri SMK 1 PIRI Yogyakarta) Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi praktik industri adalah kemampuan, keterampilan, dan sikap

Berdasarkan gambar diatas kerugian fungsi fisik berkisar antara 7.13% sampai dengan 34.19% dari fungsi fisik rumah secara utuh. Besarnya prosentase ini lebih

Skripsi ini dipilih berdasarkan keprihatinan dimana komunikasi suami-istri keluarga Katolik di Stasi Jeruklegi belum diusahakan dengan baik, serta wawasan suami-istri tentang

Mahasiswa lain tentu tertawa, sedangkan pak dosen hanya menggeleng-gelengkan kepala seraya menambahkan pertanyaan kepada Ahmad, &#34;Saudara Ahmad, dari mana Saudara tahu