• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kesepian Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Karena Bercerai Dan Meninggal Pasangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Kesepian Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Karena Bercerai Dan Meninggal Pasangan"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KESEPIAN PADA WANITA

YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL

KARENA BERCERAI DAN MENINGGAL PASANGAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh

HERNA JUNIAR SINAGA

031301039

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Hanya karena kasih karunia Tuhan Yesus Kristus yang begitu besar yang dapat saya rasakan hingga saat ini dan rasa syukur buat setiap kasih dan anugerahNya, membuat peneliti mampu menyelesaikan penelitian skripsi ini, yang berjudul “Perbedaan Kesepian Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Karena Bercerai dan Meninggal Pasangan”.

Saya tidak akan mampu menyelesaikan tugas ini, hanya dengan mengandalkan kemampuan saya. Untuk itu saya ingin berterimakasih kepada setiap pihak yang telah membantu saya selama mengerjakan penelitian ini. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A (K).

2. Ibu Hasnida, M.Si, selaku dosen pembimbing saya selama menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih banyak Bu, atas kesediaan dan setiap waktu yang telah ibu berikan kepada saya untuk bimbingan, arahan dan motivasi, juga atas setiap masukan yang sangat berarti buat saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

(3)

4. Ibu Raras Sutatminingsih, Psi, dan Ibu Irna Minauli, M.Si, sebagai dosen penguji seminar saya. Terima kasih untuk saran dan masukan yang telah ibu berikan bagi kelanjutan penelitian saya.

5. Ibu Etty Rahmawati, M.Si yang bersedia ditanya mengenai metodologi penelitian dan statistik. Makasih Bu, buat masukannya.

6. Serta segenap dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Psikologi USU yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. Saya bersyukur telah mengenal kalian.

7. Buat kedua orangtua yang saya kasihi, Bapak P.Sinaga dan Ibu H.E.Pardede terimakasih untuk dukungan dan setiap pengertian yang telah kalian berikan. Kasih sayang dan doa yang menyertai setiap kehidupan saya, menjadi pegangan khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Especially for my mom, moga Ena bisa tambah dewasa dan jadi lebih baik

dalam segala hal, ya Mom…Pray for me…

8. Adik-adikku Nanda dan Benni yang kusayangi. Kebersamaan dan canda tawa dalam keluarga selama ini, mudah-mudahan dapat terus terjaga. Dukungan dari kalian, juga tetap dapat mendorongku untuk menjadi panutan yang terbaik buat kalian berdua, wish me luck sist’ and bro’...!! 9. Seluruh keluarga yang telah membantu peneliti memberi keterangan untuk

penyebaran skala peneliti. Khususnya buat keluarga Tulang Bram Pardede, makasih ya tulang…, udah bantu kasih informasi yang bermanfaat sekali

(4)

10. Persahabatan yang terjalin di luar adalah suatu pengalaman yang sangat berbeda, terutama buat teman-teman terbaikku di Psikologi USU. Buat Wina (makasih ya eda’ buat curhat-curhatnya selama ini untuk waktu selingan mengerjakan tugas akhir ini, hehehe..), Astry juga (makasih buat diskusi secara private yang kita lakukan di kos-kosan, ok juga masukannya kalau udah ngomong tentang data sama mu, terbuka pikiran jadinya), Fitri (jangan jadi jauh dari kita), Sondang (yang udah mau menemani kemana-mana), Corry (usaha terus dalam perjuangan menyelesaikan skripsi ini ya, Kur, pasti bisa!!), Meilosa dan Rospit (semangat…,semua pasti bisa diselesaikan, okeh!!), terimakasih untuk setiap motivasi, semangat, pengertian dalam memahami diriku, diskusi, dan pengalaman-pengalaman yang tidak terlupakan yang kita jalani sama-sama selama di Psikologi. Ayo, moga kita bisa sama-sama-sama-sama wisudanya..Kalianlah yang terbaik….

(5)

melelahkan, sekarang kita petik hasil kerja keras kita yang nggak sia-sia itu. Perjuangan, keceriaan dan hal-hal yang menggelikan itu jadi semangat buat kita. Jangan lupa ya, teman-teman...Semangat!!!!

12. Kakak dan abang stambuk atas, terutama stambuk 2002, yang masih betah di Psikologi, yang memberikan masukan dan diskusi yang sangat berarti. Terutama K’Evi yang udah traktir dan menghabiskan waktu jalan bareng. Doakan juga ya, kakak! Adek-adek stambuk 2004 yang membantu untuk menyebarkan skala penelitian saya. Terutama Reny 04, makasih ya dek buat semuanya saling sharing bahan single parent-nya membantu sekali. 13. Sahabat-sahabat SMU peneliti, Carol, Lasma, Eva, Meylin makasih buat

waktu yang kita habiskan dari masa-masa itu hingga saat ini, buat canda tawa yang memberi keceriaan di saat-saat yang menjenuhkan. Thanks ya, gals…Buat Pipit, Dewi, Irene, Marvina, Yoga, yang jauh disana, tapi

dukungan kalian tetap memotivasiku.

14. K’Ade di Psycholib, terimakasih karena kesabarannya ketika harus meminjam buku dan mau mendengar keluh kesah setiap kali ke Psycholib. 15. Seluruh responden yang telah bersedia membantu, karena bantuan dan

kerjasama dari anda seluruhnya sangatlah berarti guna penyelesaian penelitian ini. Saya berterimakasih untuk itu.

16. My 4 Januari 1983, thank you for all your support, your caring, and your love, your faithfull for me. Hopefully, distance doesn’t make any problem

(6)

Segala sesuatu tidak pernah bisa luput dari kesalahan dan kekurangan, dan selayaknya kehidupan dirancang untuk terus dapat memberikan yang terbaik. Demikian pula halnya, dengan proposal ini masih banyak juga kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya. Untuk itu, peneliti dengan hati terbuka menerima saran guna perbaikan dan penyempurnaan penelitian ini. Peneliti juga berharap semoga proposal ini dapat memberikan manfaat yang berarti bagi setiap pembaca.

Medan, November 2007

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anak-anak. Keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi. Majelis Umum PBB mengemukakan bahwa keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Sunarti, 2004).

Ayah dan ibu adalah pasangan yang datang dengan latar belakang yang berbeda. Perbedaan ini, idealnya akan saling melengkapi sehingga pasangan akan dapat pula menjalankan rumah tangga dan perkawinannya dengan lancar. Demikian pula halnya dalam hal pengasuhan, kedua orangtua akan memberikan model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan (Andayani dan Koentjoro, 2004). Oleh karena itu, kerjasama dalam pengasuhan atau coparenting

(8)

Dalam keluarga, setiap anggota keluarga tersebut tentunya memiliki peran masing-masing, terutama peran penting ayah dan ibu sebagai orangtua. Menurut Soekanto (1990), seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap. Sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang dipimpinnya. Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat dalam pengasuhan. Ayah tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas pengasuhan. Ia tidak hanya memasuki masa parenthood dengan adanya anak melainkan juga mempunyai hak dan kewajiban untuk menikmati dan mengurus anak.

Selain peran ayah, peranan ibu pada masa anak-anak sangatlah besar. Peran ibu hampir tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam panggung kehidupan sehari-hari, sebab ibu merupakan mata rantai pertama yang menghubungkan anak dengan kehidupan dunia (Cause, 1994). Menurut Kartono (1992), tugas ibu adalah mendidik anaknya, sebab disamping pemeliharaan fisik, seorang ibu harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak, agar anak tersebut dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar mampu mengendalikan insting-instingnya untuk bisa menjadi manusia beradab.

(9)

tersebut. Keluarga tersebut berubah dari keluarga utuh menjadi keluarga dengan orangtua tunggal.

Wolf (2005) mengatakan bahwa menjadi orangtua tunggal akan memperoleh banyak pendapat yang beranekaragam dari masyarakat. Orangtua tunggal terjadi disebabkan oleh adanya kehilangan (seperti: kematian pasangan, perpisahan, perceraian, tinggal dengan orangtua tunggal), atau karena pilihan (single parent yang mengadopsi anak, donor insemination, surrogate motherhood,

dan memilih untuk membesarkan anak dari kehamilan yang tidak diinginkan). Perlmutter & Hall (1995), mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua tanpa

partner (pasangan) yang secara kontinu membesarkan anaknya oleh sendiri. Kemudian menurut Papalia (1998), keluarga dengan orangtua tunggal muncul sebagai akibat dari kematian salah satu pasangan dan pasangan yang ditinggalkan tidak menikah lagi dan sebagian besar keluarga dengan orangtua tunggal muncul karena perceraian dalam keluarga.

Ketiadaan partner tersebut menyebabkan kehidupan keluarga dengan orangtua tunggal pasti akan mengalami perubahan dan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang harus diatasi oleh seorang diri pula. Glasser & Navarre (1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga

(10)

mewakili anak dalam dunia orang dewasa), struktur kekuasaan (dalam setiap situasi, orangtua tunggal akan dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak) dan struktur afeksi (dalam hal menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional).

Ketika seorang wanita harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan peran yang mereka jalani pun sama dengan kepala keluarga lainnya, saat itulah wanita tersebut mendapat predikat baru sebagai orangtua tunggal. Dia harus menafkahi keluarganya, mengurus anak-anak, mengelola rumah, dan tetap menjadi bagian dari sistem dalam masyarakat. Bagi seorang wanita yang menjadi orangtua tunggal, kesendirian itu yang terberat namun kadang-kadang wanita tidak mau mengakui. Ketika seharusnya mereka saling berbagi beban dengan pasangan, namun sekarang harus menghadapinya sendiri. Belum lagi berinteraksi dengan masyarakat yang selalu menempatkan posisi wanita dengan keluarga lengkap akan lebih baik dibanding sebagai wanita yang menjadi orangtua tunggal (Suhartini, 2003).

(11)

Berdasarkan tugas-tugas perkembangan usia dewasa awal di atas, setiap individu seharusnya melakukan sebagian besar tugas tersebut dengan pasangannya, namun bila dilakukan sendirian maka tentunya akan memberikan dampak serta menghadapi kesulitan bagi orangtua yang menjalaninya.

Menurut Egelman, (2004) terdapat tiga dampak umum keluarga dengan orangtua tunggal bagi orangtua yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self. Multitasking yaitu konflik peran yang muncul pada orangtua tunggal karena banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan. Solo parenting yaitu kesulitan dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Issues of self yaitu self image pada orangtua tunggal akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orangtua.

(12)

Berikut ini merupakan hasil sensus dan penelitian di Amerika mengenai wanita yang menjadi orangtua tunggal. Hasil sensus di Amerika menyatakan bahwa, wanita single parent berbanding pria single parent adalah 4: 1. Ditambah lagi, hasil dari data sensus pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 32% dari seluruh keluarga yang memiliki anak berusia dibawah 18 tahun tinggal dalam keluarga dengan orangtua tunggal dimana 26% tinggal dibawah pengasuhan ibu dan 6% dibawah pengasuhan ayah (Newman & Newman, 2006). Kemudian beberapa penelitian di Amerika dikatakan bahwa terdapat 25% anak tinggal dengan orangtua tunggal (U.S. Bureau of Census, 2000 dalam Egelman 2004) dan ada beberapa faktor yang mempengaruhi biaya kehidupan bagi anak yang hidup dengan orangtua tunggal yaitu: usia orangtua, tingkat pendidikan dan pekerjaan, pendapatan keluarga (sosioekonomi), dukungan dari keluarga dan teman.

(13)

Wanita yang menjadi orangtua tunggal, akan mengalami kemiskinan dalam hal perekonomian 7 kali lebih besar dibandingkan dengan kehidupan keluarga yang memiliki orangtua yang utuh/lengkap. Kemiskinan tersebut terjadi karena rendahnya kemampuan seorang ibu dalam meningkatkan pendapatan dan kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan hanya beberapa jam saja (Newman & Newman, 2006). Selain itu, anak yang berada di bawah pengasuhan ibu akan merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, menjadi minder karena berbeda dengan anak-anak yang mempunyai orang tua yang lengkap, kehilangan salah satu figur yang seharusnya menjadi teladan, dan mungkin juga anak menyalahkan ibu karena menganggap ibunya yang menjadi penyebab dari ketiadaan ayah dalam keluarganya (Sucahyani, 2006).

Menurut Zisook, dkk (dalam Santrock, 1995), kehilangan yang paling sulit adalah kematian pasangan hidup. Kematian pasangan hidup biasanya tidak mampu dicegah, yang dampaknya barangkali melibatkan kehancuran ikatan yang telah lama terjalin, munculnya peran dan status baru, kekurangan keuangan dan barangkali meninggalkan mereka yang hidup tanpa sistem pendukung yang kuat.

(14)

Hasil penelitian Hetherington (dalam Dagun, 2002) menyatakan bahwa, peristiwa perceraian menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah-marah. Bagi ayah tunggal, ia mengalami kesulitan dalam taraf berpikir, merenungi dirinya bagaimana menghadapi situasi. Lebih lanjut, Hetherington (dalam Dagun, 2002) menambahkan bahwa dalam mengalami kemelut ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakan akibat dari perceraian tersebut. Mereka merasa tertekan lebih berat dan pengaruhnya lebih lama, juga kaum ibu tunggallebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anak, terutama ibu yang mengasuh anak laki-laki. Malah setelah dua tahun berlalu, ibu ini masih merasa kurang mampu, merasa cemas, masih trauma dibandingkan dengan ibu yang mengasuh anak putri.

(15)

hubungan antar orangtuanya, penanganan tahap emosional dan finansial yang baik dari ibu tunggal.

Hal ini sesuai dengan pengalaman yang dialami oleh kedua wanita yang menjadi orangtua tunggal karena meninggalnya pasangan (N.Ratih Purbasari, 36 tahun, dengan anak lelaki berusia 4 tahun) dan karena bercerai (Riri Affandi, 40 tahun, dengan anak lelaki berusia 7 tahun) seperti berikut ini:

”Begitu sadar harus menjadi orangtua tunggal, kekhawatiran yang paling utama adalah sudah tidak ada lagi partner hidup untuk berdiskusi dalam menjalani hidup ini, terutama mengenai kelanjutan hidup anak. Kini, setelah hampir setahun menjadi orangtua tunggal, tantangan yang paling besar adalah ketika semua harus dilakukan sendiri, apa pun dan kapan pun. Contoh, saya tertantang untuk bisa melakukan pekerjaan seorang lelaki seperti mengganti kran air, memeriksa keamanan rumah, membawa anak ke rumah sakit sendiri saat dini hari dan menyelesaikan semua keperluan di rumah sakit.” (N.Ratih Purbasari)

”Awalnya, setahun setelah perceraian memang terasa berat, karena segala sesuatu menyangkut anak lebih banyak saya tangani sendiri. Waktu itu komunikasi dengan mantan kurang bagus, namun seiring membaiknya komunikasi dengan mantan, Enza (anak lelaki subjek berusia 7 tahun) juga kena dampak positifnya. Apalagi kemudian saya menyadari, anak lelaki selalu membutuhkan figur ayah.” (Riri Affandi)

(16)

Bird & Melville (1994) lebih lanjut menjelaskan bahwa wanita adalah individu yang lebih sering mengalami masalah-masalah penyesuaian yang harus diselesaikan dan diantara masalah tersebut adalah kesepian. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman (dalam Brehm, 1992), dalam suatu perkawinan para istri mengalami kesepian lebih besar daripada para suami. Ditambahkan oleh Fischer dan Philip (dalam Brehm, 1992) bahwa, wanita akan rentan terhadap kesepian apabila ikatan intim atau pernikahan tersebut mengurangi akses mereka pada jaringan sosial yang lebih luas. Kemudian menurut Hetherington (1999), bagi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal, isolasi sosial juga menjadi masalah yang harus dihadapi, mereka juga membutuhkan dukungan sosial dan dukungan emosional dari keluarganya khususnya ibunya.

Perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada seperti ini disebutkan oleh Brehn dan Kassin (1993, dalam Dayakisni, 2003) sebagai kesepian. Ditambahkan lagi oleh Bruno (2000) bahwa kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.

(17)

Kemudian menurut Sears, dkk (1999) kesepian akibat berpisah dengan orang-orang yang dicintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan bahkan rasa geram yang membuat kita marah pada lingkungan dan diri sendiri. Kesepian pun dapat menimbulkan perasaan sengsara yang hebat dan menetap.

Laki-laki dan wanita memiliki perasaan yang sama mengenai kesepian. Hanya saja wanita lebih mengekspresikan dirinya sebagai orang yang kesepian dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena laki-laki dianggap kurang pantas untuk mengekspresikan emosinya sehingga mereka tidak mau mengakui bahwa mereka kesepian (Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993). Ditambahkan oleh Cochrum dan White (dalam Dayakisni, 2003), berdasarkan hasil survey terhadap pria dan wanita usia 27 sampai 46 tahun menemukan bahwa bagi pria kepuasan hidup mereka sangat dipengaruhi oleh harga diri yang mereka miliki. Kepuasan hidup wanita dipengaruhi oleh sesuatu yang sangat berbeda, kesepian emosional adalah sangat penting, diikuti adanya kelekatan.

(18)

banyak kontak yang dilakukan oleh wanita dengan anak-anaknya sehingga semakin sedikit pengalaman kesepian yang dirasakannya. Hal tersebut disebabkan anak dianggap mampu memberikan dukungan secara emosional bagi ibunya melalui kontak komunikasi. Ditambahkan oleh Henwood & Solano, ( 1994) bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesepian yang dirasakan anak dengan ibunya, namun tidak dengan ayahnya.

Ketika kesepian, individu akan merasa dissatified (tidak puas), deprivied

(kehilangan), dan distressed. Hal ini tidak berarti bahwa kesepian tersebut sama di setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda pada situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Brehm 2002). Berdasarkan survey mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979, dalam Brehm 2002) menguraikan empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu desperation, impation boredom, self-deprecation, dan depression. Keempat jenis perasaan inilah yang akan digunakan sebagai alat ukur perasaan kesepiandi dalam penelitian ini.

(19)

I.B. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai.

I.C. Manfaat Penelitian

I.C.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai bagaimana gambaran kesepian yang dirasakan dan dipersepsikan oleh wanita yang menjalani perannya sebagai orangtua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan.

I.C.2 Manfaat Praktis

a. Secara praktis penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat diketahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai, sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindak lanjut sebagai prevensi terhadap masalah-masalah yang akan muncul.

(20)

c. Bagi para pembaca, khususnya para ibu tunggal diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah kesepian yang dialaminya sehingga tidak mengalami kendala dalam pengasuhan dan perkembangan anak-anak yang tinggal bersamanya dalam keluarga dengan orangtua tunggal.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan kesepian dan peran sebagai orangtua tunggal.

Bab III : Metodologi Penelitian

(21)

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Kesepian

Pada bab sebelumnya, telah diberikan beberapa penjelasan mengenai kesepian. Dikatakan bahwa kesepian dapat dirasakan oleh setiap individu, kapan saja dan dalam keadaan tertentu. Namun tentu saja setiap individu memiliki perbedaan dalam mengungkapkan ataupun mengekspresikan kesepian yang dirasakannya, pada waktu maupun situasi yang berbeda-beda pula. Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kesepianyang mencakup beberapa hal seperti: pengertian kesepian, penyebab kesepian, tipe-tipe kesepian, perasaan kesepian,

karakteristik orang yang kesepian, dan reaksi terhadap kesepian.

II.A.1. Pengertian Kesepian

Berikut ini ada beberapa teori yang digunakan untuk mendefinisikan kesepian, diantaranyaadalah:

Menurut Perlman & Peplau (dalam Brehm, 2002):

Loneliness defined as a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by a discrepancy between the kind of social relations we want and the kind social relations we have”.

(23)

kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, dimana seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya, kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (self blame) (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter dan Quintana, 1985).

Deaux, Dane & Wrightsman (1993) menyimpulkan ada tiga elemen dari definisi kesepian yang dikemukakan oleh Peplau dan Perlman, yaitu:

1. Merupakan pengalaman subjektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana

2. Kesepian merupakan perasaan yang tidak menyenangkan

3. Secara umum merupakan hasil dari kurangnya/terhambatnya hubungan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subjektif dan perasaan yang tidak menyenangkan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan kehidupannya yang kemudian disertai dengan emosi negatif seperti kecemasan, ketidakbahagian, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri, malu dan depresi.

II.A.2. Penyebab Kesepian

(24)

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang

Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan (relationship) yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982, dalam Brehm 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian sebagai berikut:

i. Being unattached: tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasih.

ii. Alienation: merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.

iii. Being alone: pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. iv. Forced isolation: dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit,

tidak bisa kemana-mana.

v. Dislocation: jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan.

(25)

b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan

Menurut Brehm (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan, sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber, yaitu:

i. Perubahan mood. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang akan berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih.

ii. Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan (desire) orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan ketika orang tersebut berusia 25 tahun.

(26)

kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Jadi, menurut Brehm (2002) pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami kesepian.

c. Self-esteem dan causal attribution

Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko secara sosial (misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus akibatnya akan mengalami kesepian.

(27)

d. Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyelidiki orang itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai dan mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan (hostile).

Orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum. Orang yang kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm, 1992).

Ii.A.3. Tipe-tipe Kesepian

(28)

a. Transient Loneliness, menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh.

b. Situational Loneliness, merupakan perasaan kehilangan yang terjadi tiba-tiba, seperti pindah ke kota yang baru.

c. Chronic Loneliness, menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami

chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun mereka tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982).

Sebaliknya, mereka yang kemampuan sosialnya tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000).

Selanjutnya, Weiss (dalam Brehm & Kassin, 1993) mengatakan bahwa ada dua jenis kesepian:

a. Social isolation, dimana seseorang yang menginginkan hubungan sosial tetapi tidak memiliki jaringan teman-teman atau kerabat.

(29)

II.A.4. Perasaan Kesepian

Ketika kesepian individu merasa dissastified (tidak puas), deprived

(kehilangan), dan distressed. Namun, hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama di setiap waktu. Faktanya, orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Brehm, 2002).

Berdasarkan survey mengenai kesepian yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979, dalam Brehm 2002) menguraikan empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepan, yaitu desperation, impation boredom, self-deprecation, dan depression. Pembagiannya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Empat Jenis Perasaan Ketika Kesepian

Desperation Impatient Boredom Self-Deprecation Depression

Putus asa Tidak sabar Tidak atraktif Sedih

Tidak berdaya Bosan Terpuruk Depresi

Takut Berada ditempat lain Bodoh Hampa Tidak punya harapan Kesulitan Malu Terisolasi Merasa Ditinggalkan Marah Merasa tidak aman Menyesali diri Mudah mendapat

Sumber: Rubeninstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm 2002 hal 399)

(30)

b. Impatient Boredom, yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dengan indikator perilaku seperti tidak sabar, ingin berada di tempat lain, kesulitan menghadapi suatu keadaan, sering marah, serta tidak dapat berkonsentrasi.

c. Self-Deprecation, yaitu perasaan dimana seseorang mengutuk serta menyalahkan diri sendiri, tidak mampu menyelesaikan masalahnya, dengan indikator perilaku seperti tidak atraktif, terpuruk, merasa bodoh, malu, serta merasa tidak aman.

d. Depression, menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, kurang tidur, dengan indikator perilaku dari Brehm (2002) yaitu, sedih, tertekan, terisolasi, hampa, menyesali diri, mengasingkan diri, serta berharap memiliki seseorang yang spesial.

II.A.5. Karakteristik Orang yang Kesepian

(31)

mengalami kesepian kehilangan kepercayaan sosial dan menjadi pesimis terhadap orang lain, yang justru akan menghambatnya dalam mengurangi kesepian mereka (Myers, 1999).

Orang yang kesepian cenderung menjadi self-conscious dan memiliki self esteem yang rendah (Cheek, Melcior & Vaux, dalam Myers, 1999). Ketika berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak membicarakan diri sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya. Setelah pembicaraan selesai biasanya kenalan baru tersebut memberi kesan yang negatif terhadap orang yang kesepian tersebut (Jones, dalam Myers, 1999).

Tidak ada orang yang dapat kebal terhadap kesepian, tetapi beberapa orang memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kesepian (Taylor, Peplau & Sears, 2000).

II.A.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian pada masing-masing individu, yaitu:

a. Usia

(32)

menemukan hasil yang sama bahwa kesepian lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda, sebaliknya lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua.

Menurut Brehm (2002) hal ini disebabkan orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan kesepian. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial mereka menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial, mereka menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan.

b. Faktor Sosioekonomi

Menurut Weiss (1973, dalam Brehm 2002), rendahnya pendapatan menunjukkan kecenderungan mengalami kesepian. Beberapa studi lainnya juga mendukung pernyataan ini, yaitu survey yang dilakukan Page & Cole (1991, dalam Brehm 2002), terhadap keluarga di Amerika, mereka menyatakan bahwa keluarga dengan pendapatan rendah 4,6 kali lebih merasakan kesepian daripada keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi. Dalam studi ini dikatakan bahwa tingkat pendidikan juga berhubungan dengan kesepian.

(33)

akan berisiko lebih tinggi untuk mengalami low self-esteem, chronic stressors, negative thinking, dan depressive symptoms. Menurut Rubeinstein dan Shaver, depresi merupakan salah satu indikasi adanya perasaan kesepian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesepian.

c. Lama Perpisahan

Perlman & Peplau (1982), menjelaskan bahwa setelah keputusan perceraian diambil seseorang akan mengalami kesepian. Tidak ada waktu yang tepat untuk mengukur kapan waktu berakhirnya kesepian tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan, kesepian tersebut lebih dirasakan kurang dari enam tahun pertama setelah perpisahan.

d. Kehadiran Anak

(34)

anak dianggap mampu memberikan dukungan secara emosional bagi ibunya melalui kontak komunikasi. Lebih lanjut ditambahkan oleh Hetherington (dalam Dagun, 2002) bahwa pihak ibulah yang paling pahit dalam merasakan akibat dari perceraian tersebut. Kaum ibu yang menjadi orangtua tunggal lebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anak terutama ibu yang mengasuh anak laki-laki daripada mengasuh anak perempuan.

e. Tinggal Bersama Orang Lain

Pasangan yang tidak menikah namun tinggal dengan bersama biasanya mempunyai hubungan emosional dan seksual (Rice, 2001). Beberapa pasangan yang tinggal bersama disebabkan hal tersebut tidak menyulitkan kedua pihak, dan 70% diantaranya hanya melakukannya untuk aktivitas seksual saja (Morris, 1997). Namun beberapa pasangan menyatakan bahwa tinggal bersama adalah suatu tahap untuk dapat mempersiapkan masa pernikahan (Wu, 1999). Penelitian di Amerika dan Canada, menunjukkan bahwa pasangan yang tinggal bersama sebelum menikah lebih mengarah kepada timbulnya perceraian daripada pasangan yang tidak tinggal bersama sebelum menikah.

(35)

f. Karakteristik Latar Belakang yang Lain

Rubenstein &Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orangtua yang bercerai akan lebih kesepian bila dibandingkan dengan individu dengan orangtua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang akan orang dialaminya ketika dewasa. Tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu dengan orangtua yang berpisah karena salah satunya meninggal dunia. Individu yang kehilangan orangtua karena meninggal ketika kanak-kanak tidak lebih kesepian ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orangtua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm (2002) proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami kesepian ketika anak-anak tersebut dewasa.

II.A.7. Reaksi Terhadap Kesepian

(36)

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian seperti dalam tabel berikut ini:

Tabel 2

Respon Terhadap Kesepian

No. Sad Passivity Active Solitude

1. Menangis Belajar atau bekerja

2. Tidur Menulis

3. Duduk dan berpikir Mendengarkan musik 4. Tidak melakukan apapun Memainkan alat musik 5. Makan secara berlebihan Olahraga 6. Menggunakan obat penenang Melakukan hobi 7. Menonton televisi Pergi ke bioskop

8. Mabuk Membaca

Social Contact Distractions

1. Menelepon teman Meghabiskan uang 2. Mengunjungi seseorang Berbelanja

Sumber: Rubeinstein & Shaver (dalam Brehm, 2002 hal 414).

Secara garis besar Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm 2002) mengelompokkan reaksi orang terhadap kesepian ke dalam 4 kategori. Dua diantara keempat kategori tersebut bersifat positif karena merupakan strategi

coping yang konstruktif, yaitu kategori social contact dan active solitude.

Kemudian terdapat satu kategori yang terdiri dari respon yang bersifat negatif karena berpotensi untuk merusak diri, yaitu kategori sad passivity. Selanjutnya respon yang sulit untuk diklasifikasikan ke dalam respon yang positif atau negatif dikategorikan sebagai distractions.

(37)

II.B. Peran Sebagai Orangtua Tunggal

Idealnya dalam suatu keluarga, haruslah dilengkapi dengan kedua orangtua. Namun bila dalam suatu keluarga tersebut hanya ada orangtua tunggal,

maka akan memberi dampak bagi setiap anggota dalam keluarga, timbulnya berbagai kesulitan dan masalah. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai pengertian orangtua tunggal, perbedaan keluarga utuh dan keluarga dengan orangtua tunggal, dampak menjadi orangtua tunggal, masalah yang dihadapi orangtua tunggal, dan masalah yang dihadapi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal.

II.B.1 Pengertian Orangtua Tunggal

Menurut Perlmutter & Hall (1995), mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua yang tanpa partner (pasangan) secara kontiniu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Lasswell (1987), mengatakan bahwa orangtua tunggal muncul karena kematian pasangan dan putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara (Wolf, 2005). Kemudian ditambahkan oleh Duval & Miller (1995), orangtua tunggal adalah orangtua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya.

(38)

Umumnya anak yang tinggal dengan orangtua tunggal adalah akibat perceraian orangtua.

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal adalah ketiadaan figur ayah atau ibu dalam suatu keluarga yang disebabkan karena perceraian atau kematian salah satu orangtua dan orangtua yang ditinggalkan tidak menikah kembali, sehingga membesarkan anak tanpa dukungan dan tanggungjawab pasangannya.

II.B.2. Penyebab Keluarga Dengan Orangtua Tunggal

Papalia (1998) telah menjelaskan pengertian keluarga dengan orangtua tunggal, ada dua hal yang umum menjadi penyebab keluarga dengan orangtua tunggal, yaitu perceraian dan meninggalnya pasangan. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai dua penyebab tersebut.

II.B.2.a. Perceraian

Perceraian adalah kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1999).

(39)

Brehm (2002), mendefinisikan perceraian sebagai berakhirnya sebuah hubungan pernikahan yang sebenarnya belum saatnya untuk berakhir. Perceraian sering diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menyebabkan kehancuran. Akibat yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi kehidupan pasangan yang memutuskan untuk bercerai tetapi juga dialami oleh anak.

Argyle & Henderso (1995), mengatakan bahwa perceraian diartikan dengan terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan. Gangguan pernikahan yang dialami terjadi secara keseluruhan pada pernikahan yang formal, menyebabkan terputusnya ikatan emosi, seks dan ekonomi. Sebagai akibat yang ditimbulkan adalah perpisahan yang bersifat menetap.

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan, dan sebagai akibat dari perpisahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan pasangan maupun anak.

II.B.2.b. Meninggalnya Pasangan

(40)

1992). Kemudian Kraaij, dkk (2002) mengatakan bahwa, kematian pasangan berhubungan dengan semakin tingginya simptom-simptom depresi yang dirasakan pada individu dewasa tua.

Masa setelah kematian pasangan dapat dialami secara berbeda bergantung pada keadaan sosio-historis. Modernisasi masyarakat di Amerika Serikat berakibat pada kehidupan janda yang mandiri, lepas dari kontrol keluarga patriarkal dan mampu untuk mempertahankan diri secara ekonomi melalui uang pensiun dan jaminan sosial. Masa menjanda dapat pula dialami dalam berbagai cara yang berbeda (O’Bryant, dalam Santrock, 1995). Beberapa wanita ada yang pasif, menerima perubahan yang disebabkan kematian suaminya, yang lain memperoleh kemampuan-kemampuan pribadi dan barangkali tetap berkembang di masa menjandanya. Beberapa orang masih tinggal dalam tradisi di sekelilingnya, yang lain lebih suka mencari sumber baru dan peranan sosial yang baru. Terkadang inisiatif untuk mengatasi masa kesendiriannya datang dari diri sendiri, pada saat lain datang dari dukungan sosial.

Menurut Ollenburger & Moore (1996), wanita yang ditinggal mati oleh pasangannya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

a. Wanita hidup lebih lama daripada pria

b. Wanita umumnya menikahi pria yang lebih tua dari mereka sendiri c. Laki-laki tua lebih mungkin menikah kembali daripada wanita tua

(41)

e. Wanita yang telah menjanda cenderung tidak menikah lagi karena merasa bahwa mereka tidak akan pernah menemukan lagi orang yang sebaik suaminya dulu (Belsky, 1997).

II.B.3. Dampak Menjadi Orangtua Tunggal

Ada tiga dampak umum menjadi orangtua tunggal yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self (Egelman, 2004).

a. Multitasking yaitu konflik peran yang muncul pada orangtua tunggal karena banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan.

b. Solo parenting yaitu kesulitan orang tua single parent dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Hal yang sangat diharapkan dari orangtua saat ini adalah bahwa semua orangtua harus “perfect”, sehingga tentunya hal ini menjadi sesuatu yang sulit bagi orangtua baik yang single parent maupun bagi keluarga yang utuh. Mereka harus mampu memberikan dukungan finansial, emosi dan intelektual yang dibutuhkan anak untuk menciptakan emosional yang sehat dan kesuksesan finansial kelak ketika anak menjadi dewasa.

c. Issues of self yaitu self image yang dimiliki oleh orangtua single parent

(42)

dan kebutuhan pribadinya yang luas tidak dapat dipenuhi. Orangtua tunggal berharap dapat melanjutkan pendidikannya, pekerjaannya dan mempunyai kehidupan sosial yang baik. Namun, hal ini akan menjadi sulit karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang positif berhubungan dengan orangtua yang memiliki self image yang positif. Jika orang dewasa tidak memiliki kesempatan untuk bertumbuh dan mengembangkan pengalaman yang positif pada dirinya, maka kualitasnya sebagai orang tua akan berkurang.

II.B.4. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Dengan Orangtua Tunggal

Glasser dan Navarre (1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga single parent dalam beberapa hal, yaitu:

a. Struktur tugas

Berbagai tugas utama dalam keluarga merupakan tanggung jawab orangtua. Memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga adalah pekerjaan bagi kedua orangtua. Jira tugas tersebut harus dilakukan oleh satu orangtua, maka orang tersebut harus cukup matang, competen dan memiliki cukup waktu untuk melakukan tugasnya. Walau demikian tetap sulit bagi satu orangtua untuk dapat mengambil alih semua tugas dua orangtua dalam jangka waktu yang panjang.

(43)

dilakukan olae satu orangtua saja, maka ada berbagai keterbatasan yang dimilikinya, yaitu keterbatasan waktu dan tenaga serta keterbatasan sosial, dimana tugas-tugas yang bersifat pria atau wanita harus dilakukan oleh orangtua dari jenis kelamin yang berlawanan. Dengan kata lain orangtua tunggal menjalankan peran ganda, baik sebagai ibu maupun sebagai ayah.

b. Struktur Komunikasi

Bagi anak, orangtua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu:

1). Sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah diinternalisasi oleh orangtua.

2). Sebagai penghubung dan mewakili anak dalam dunia orang dewasa.

Berdasarkan asumsi bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia, maka seorang anak akan mengalami gangguan dalam saluran komunikasinya jika hanya ada satu orangtua. Tipe dan kualitas pengalaman orangtua cenderung diatur menurut jenis kelaminnya. Dalam keluarga dengan dua orangtua bukan hanya anak yang memperoleh pengalaman yang lebih bervariasi, tetapi orangtua melalui pasangannya dapat mengetahui tipe pengalaman dari lawan jenisnya.

c. Struktur Kekuasaan

(44)

dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak. Dengan kondisi yang demikian, anak akan melihat otoritas sebagai pribadi daripada kesepakatan bersama. Jika orangtua tunggal tersebut tidak punya pengalaman untuk mengambil keputusan secara demokratis, maka akan mempersulit hubungan dengan anaknya.

Pengambilan keputusan menjadi tanggung jawab orangtua dari dua jenis kelamin, baik ayah maupun ibu dalam keluarga utuh. Sedangkan dalam keluarga orangtua tunggalfigur otoritas atau pemegang kekuasaan dipegang oleh satu jenis kelamin saja, sehingga bagi anak tiap keputusan yang diambil diidentifikasikan dengan jenis kelamin tersebut.

d. Struktur Afeksi

Kebutuhan emosional bagi anggota keluarganya merupakan tanggungjawab orangtua untuk memenuhinya. Orangtua harus memiliki kasih sayang dan rasa aman yang diperlukan anak untuk mempertahankan stabilitas emosionalnya dalam keadaan yang menekan (stres) dan dapat menghilangkan perasaan-perasaan negatif yang ada dalam diri anak.

Struktur keluarga merupakan elemen penting dalam menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional. Pada keluarga dengan orangtua tunggal, terjadi perubahan dalam struktur keluarga yang justru dapat menimbulkan tekanan dan membatasi penyelesaian masalah.

(45)

dibandingkan dengan keluarga dengan dua orangtua, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai kesulitan.

II.B.4. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal

II.B.4.a. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal

karena Bercerai

Hurlock (1991) mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah-masalah umum pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai yaitu:

Masalah ekonomi dirasakan karena inflasi yang terus meningkat, apa yang diterima janda secara turun temurun jauh kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun seorang janda memulai untuk bekerja pada usia madya, biasanya dia tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasa dilakukan.

Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang wanita harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ayah dan ibu, serta harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan. Disamping itu wanita juga sering mendapat masalah yang berhubungan dengan anggota keluarga pihak suami, khususnya anggota keluarga yang tidak menyenangi menjadi isteri suaminya.

(46)

pertama; status ekonominya dan kedua; apakah dia mempunyai seseorang yang bisa diajak tinggal bersama.

Kehidupan sosial orang-orang yang berusia dewasa awal sama dengan orang berusia dewasa, yaitu berorientasi pada pasangan, seorang janda segera akan menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat baginya apabila dia diantara pasangan yang menikah.

Masalah-masalah praktis meliputi mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh suami, menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihidupi oleh seorang janda, terkecuali dia mempunyai anak yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah tersebut atau memang mempunyai kemampuan untuk mengatasinya.

Masalah seksual juga menjadi sering dialami oleh seorang janda. Karena keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia ini, janda yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual dalam tahun-tahun perkawinannya, sekarang mereka merasa frustasi dan tidak terpakai.

II.B.4.b. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal

karena Meninggalnya Pasangan

(47)

keluarga, seorang perempuan harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).

Dalam masalah sosial, kematian pasangan dapat menyebabkan seseorang kehilangan suatu hubungan jangka panjangnya. Wanita yang menjadi orangtua tunggal seringkali ditinggal sendiri oleh teman ataupun keluarga, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasi perasaan kehilangannya. Hal ini akan mengakibatkan mereka tidak hanya kehilangan pasangannya, tetapi juga teman dan keluarga yang merasa tidak nyaman bersama dengan seseorang yang menjanda. Oleh karena itu, wanita yang ditinggalkan cenderung mengurangi partisipasi sosial mereka karena mereka mengalami penurunan dukungan dari keluarga dan teman (Cavanaugh & Filds, 2006). Mereka mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman dalam situasi sosial dimana dulunya diterima. Harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman baru dan akan kehilangan kontak dengan teman ataupun keluarga dari suaminya (Barrow, 1996). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena berkaitan dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990).

(48)

juga kehilangan dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996).

Dalam permasalahan fisik, tidak mengejutkan jika kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, serta meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995).

II.C. Masa Dewasa Dini

(49)

II.C.1. Ciri-ciri Masa Dewasa Dini

a. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Pengaturan”

Pada generasi terdahulu terdapat pandangan bahwa jika laki-laki dan perempuan telah mencapai usia dewasa, hari-hari kebebasan mereka telah berakhir dan baginya telah tiba untuk menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Ini berarti bahwa pria muda mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditanganinya sebagai karir, sedangkan wanita muda diharapkan mulai menerima tanggung jawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

b. Masa Dewasa Dini sebagai “Usia Reproduktif”

Orangtua (parenthood) merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Orang yang menikah berperan sebagai orangtua pada saat berusia dua puluhan atau pada awal tiga puluhan, beberapa sudah menjadi kakek/nenek sebelum masa dewasa dini berakhir. Orang yang belum menikah hingga menyelesaikan pendidikan atau telah memulai kehidupan karirnya, tidak akan menjadi orangtua sebelum merasa bahwa ia mampu berkeluarga.

c. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Kreatif

(50)

d. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Bermasalah”

Pada tahun-tahun awal sampai usia tiga puluh tahun, kebanyakan pria dan wanita berupaya menyesuaikan diri dalam kehidupan perkawinan, peran sebagai orangtua, dan karir mereka. Dalam dasawarsa tiga puluh sampai empat puluh, lebih dipusatkan pada kehidupan keluarga. Alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah masa dewasa begitu sulit karena; pertama, sedikitnya persiapan menghadapi masalah di usia dewasa tersebut; kedua, mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan serempak biasanya menyebabkan keduanya kurang berhasil; ketiga, tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya. e. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketegangan Emosional

Apabila emosi yang bergelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa kehidupan orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan. Ketegangan emosi ini berlanjut sampai usia tiga puluhan, hal ini umumnya tampak dalam bentuk keresahan yang biasanya disebabkan penyesuaian dalam pekerjaan, keluarga dan peran sebagai orangtua.

f. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Keterasingan Sosial

(51)

g. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Komitmen

Ketika memasuki masa dewasa, individu menjadi orang dewasa yang mandiri, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru.

h. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketergantungan

Meskipun telah mencapai status dewasa, dan status ini memberikan kebebasan untuk mandiri, banyak orang muda yang masih agak tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda.

i. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Perubahan Nilai

Ada banyak alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada masa dewasa dini. Pertama, jika orang dewasa muda ingin diterima oleh anggota kelompok, mereka harus menerima nilai-nilai kelompok tersebut. Kedua, orang-orang muda itu menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial berpedoman pada nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku serta penampilan. Ketiga, orang-orang muda yang menjadi ayah-ibu tidak hanya cenderung mengubah nilai-nilai mereka lebih cepat daripada mereka yang tidak kawin atau tidak punya anak, tetapi mereka juga lebih konservatif dan tradisional.

j. Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru

(52)

II.C.2. Tugas-tugas Perkembangan Masa Dewasa Dini

Menurut Hurlock (1999), harapan masyarakat untuk orang dewasa muda cukup jelas digariskan dan telah diketahui oleh mereka bahkan sebelum mereka mencapai kedewasaan secara hukum. Pada usia ini, mereka benar-benar telah mengetahui harapan-harapan yang ditujukan masyarakat pada mereka.

Tugas-tugas perkembangan dewasa dini yang dikemukan oleh Hurlock (1999) dapat dilihat sebagai berikut:

a. Mulai bekerja b. Memilih pasangan

c. Belajar hidup dengan pasangan d. Memulai membina keluarga e. Mengasuh anak

f. Mengelola rumah tangga

g. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara h. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.D. Perbedaan Kesepian Pada Wanita yang Berperan Sebagai Orangtua

Tunggal Karena Perceraian dan Meninggalnya Pasangan

(53)

masalahnya. Kemudian Baldock (2003) mengatakan bahwa di Inggris keluarga yang menjadi orangtua tunggal paling banyak disebabkan perceraian dan meninggalnya pasangan yaitu 65%. Kedua penyebab yang paling umum ini mempunyai dimensi masalah yang berbeda pula. Ketika wanita bercerai, ia akan berpisah dengan teman dan kerabat yang dulunya dimiliki bersama pasangan. Mereka kehilangan rumah atau bahkan anak-anak. Ditambah lagi masyarakat akan memberi pandangan negatif pada wanita bercerai (Etaugh & Hoehn, 1995). perceraian adalah salah satu pengalaman yang paling membuat tertekan. Depresi dan kemarahan adalah respon yang paling sering ditunjukkan terutama bagi wanita (Kaganoff & Spano, 1995). Penyesuaian terhadap penyesesuaian cukup kompleks dan membutuhkan banyak waktu. Mereka akan menjauh dari suatu hubungan dan menyesali hilangnya ikatan pada pasangan sebelumnya (Kitson, 1992).

Kehilangan yang paling sulit adalah kehilangan pasangan hidup (Zisool, dalam Snatrock, 1995). Bagi wanita yang menjadi orangtua tunggal akibat meninggalnya pasangan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami meliputi perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting wanita sebagai seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal dunia, mereka mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang wanita meninggalnya suami berarti kehilangan orang yang mendukung sef-definition yang dimilikinya (Nock, 1987).

(54)

suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan suaminya dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya telah meninggal (Heinemann dalam Nock, 1987). Beberapa wanita mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya selama setahun ataupun segera mengikuti kematian suaminya. Mereka merasa bertentangan dengan suaminya, merasa marah karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock, 1987).

Menurut Nock (1987), pada tahun pertama dan kedua mereka akan mengalami masalah fisik seperti sakit kepala, minum minum keras, merokok, kesulitan untuk tidur, dan gugup menghadapi sesuatu, sementara masalah psikologis yang dialami adalah kesepian, depresi dan kelekatan pada mantan pasangan. Selanjutnya ditambahkan oleh Van Hoose & Worth (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) penyebab perpisahan dalam keluarga orangtua tunggal karena kematian pasangan menyebabkan perasaan frustasi, merasa gagal, rasa bersalah dan hubungan yang ambivalen antara orang tua dan anak. Frustasi yang muncul disebabkan karena rasa kehilangan dan rasa kesepian. Rasa bersalah muncul karena orang tua merasa sebagai penyebab seorang anak kehilangan ayah. Sikap ambivalen yang ditunjukkan oleh orangtua tunggal pada anaknya merupakan penghalang untuk mengembangkan hubungan yang baru.

(55)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah keluarga sebaiknya dilengkapi oleh kedua orang tua, namun bila harus terjadi keluarga dengan orangtua tunggal yang kebanyakan dijalani oleh wanita, tidak dapat terlepas dari berbagai masalah. Masalah tersebut seharusnya diatasi bersama dengan pasangan namun sebagai wanita yang menjadi orangtua tunggal kini harus melaluinya seorang diri. Salah satu masalah yang dihadapi adalah masalah kesepian. Masalah kesepian ini juga berkaitan dengan kehadiran anak yang dapat memberikan dukungan emosional bagi wanita yang menjadi orangtua tunggal.

Sehingga dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal yang meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai dengan menggunakan empat kategori perasaan kesepian dari Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002). Pada halaman berikutnya dapat dilihat kerangka berpikir peneliti mengenai perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal bercerai dan meninggalnya pasangan.

II.D. Hipotesa

(56)

Keluarga

Bercerai

1. Kehilangan kerabat 2. Stigma negatif

3. Kemarahan dan depresi 4. Penyesuaian kompleks

Meninggal pasangan

1. Masalah finansial 2. Masalah sosial 3. Masalah emosional 4. Masalah fisik

Jika tidak terpenuhi akan menyebabkan

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000). Penelitian ini bersifat komparatif, yakni membandingkan dua gejala untuk melihat persamaan dan perbedaannya (Nawawi & Martina, 1994).

Berikut akan dibahas mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisis data.

III.A. Identifikasi Variabel

Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel tergantung, dengan identifikasi sebagai berikut:

1. Variabel bebas: penyebab perpisahan dalam keluarga dengan orangtua tunggal yaitu bercerai dan meninggalnya pasangan.

2. Variabel tergantung: kesepian.

III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

(58)

a. Penyebab perpisahan dalam keluarga dengan orangtua tunggal

Keluarga dengan orangtua tunggal adalah ketiadaan figur ayah dalam suatu keluarga yang disebabkan oleh perceraian atau kematian salah satu orangtua dan orangtua yang ditinggalkan tidak menikah kembali, sehingga membesarkan anak tanpa dukungan dan tanggungjawab pasangannya.

Penyebab perpisahan dalam keluarga dengan orangtua tunggal, dibedakan karena perceraian dan meninggalnya pasangan. Perceraian adalah terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan, dan sebagai akibat dari perpisahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan pasangan maupun anak.

Meninggalnya pasangan hidup merupakan kehilangan yang paling sulit, masa yang penuh dengan tekanan dalam pengalaman hidup individu, pentingnya dukungan sosial dan kelekatan guna kesehatan fisik dan mental, serta berhubungan dengan semakin tingginya simptom-simptom depresi yang dirasakan pada individu dewasa

Data mengenai peran sebagai orangtua tunggal karena bercerai atau meninggal pasangan diperoleh dari subjek yang mengisi self report bersamaan dengan pemberian skala sebagai alat ukur dalam penelitian.

b. Kesepian

(59)

emosi negatif seperti kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri, malu dan depresi.

Kesepian akan diungkap dalam penelitian ini dengan menggunakan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan empat jenis perasaan ketika kesepian yang dikemukakan oleh Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002), yaitu: 1). Desperation, yaitu perasaan yang sangat menyedihkan, mampu melakukan

tindakan yang nekat, yang disertai dengan indikator perasaan seperti putus asa, tidak berdaya, takut, tidak punya harapan, merasa ditinggalkan serta mudah mendapat kecaman dari orang lain.

2). Impatient Boredom, yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, disertai dengan indikator tidak sabar, ingin berada di tempat lain, kesulitan menghadapi suatu keadaan, sering marah, serta tidak dapat berkonsentrasi.

3). Self-Deprecation, yaitu perasaan dimana seseorang mengutuk serta menyalahkan diri sendiri, tidak mampu menyelesaikan masalahnya, disertai dengan indikator yaitu tidak atraktif, terpuruk, merasa bodoh, malu, serta merasa tidak aman.

(60)

Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang dalam skala kesepian yang diberikan, artinya semakin tinggi perasaan kesepianyang dimilikinya.

III.C. Subjek Penelitian

III.C.1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah wanita usia dewasa dini yang menjadi orangtua tunggal.

Sampel adalah sebahagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi,2000). Adapun karakteristik sampel yang digunakan adalah:

1. Wanita yang berusia 20-40 tahun

Menurut Havingurst (Hurlock, 1999), pada masa dewasa dini ini mulai memainkan peran baru, seperti peran istri, orangtua, mengembangkan sikap, keinginan dan nilai baru sesuai dengan tugas baru ini.

2. Menjadi orangtua tunggal dan tinggal bersama satu orang anak atau lebih Dipilih untuk penelitian ini sesuai dengan statusnya yang menjadi orangtua tunggal karena bercerai maupun meninggalnya pasangan, dan tinggal bersama seorang anak atau lebih, hal ini bertujuan untuk melihat perannya sebagai orangtua. Berbeda dengan wanita yang bercerai atau meninggalnya pasangan tanpa adanya kehadiran anak.

(61)

III.C.2. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (1995) berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau semesta sebagai wakil (representasi) dari populasi atau semesta itu. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Hadi (2000) mengatakan bahwa

incidental sampling adalah tehnik pengambilan sampel non probability yang berarti tidak semua populasi diberi peluang yang sama untuk dijadikan sampel, dimana hanya individu-individu atau kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang dijadikan sampel peneliti.

Setiap individu yang ditemui di lapangan yang kira-kira memenuhi karakteristik subjek penelitian ini akan ditanya kesediaannya mengisi skala yang diberikan oleh peneliti.

III.C.3. Jumlah Sampel Penelitian

Suatu sampel yang baik harus memenuhi syarat bahwa ukuran atau besarnya memadai untuk dapat meyakinkan kestabilan ciri-cirinya. Berapa besar sampel yang memadai bergantung kepada sifat populasi dan tujuan penelitian. Semakin besar sampel, akan semakin kecil kemungkinan menarik kesimpulan tentang populasi. Menurut Azwar (2005), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak.

(62)

III.D. Alat Ukur yang Digunakan

Alat ukur yang digunakan merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Azwar, 1999).

Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah skala psikologi dan menyertakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Metode kuesioner mendasarkan pada laporan tentang diri sendiri (self report) atau setidak-tidaknya pada pengetahuan atau keyakinan pribadi (Hadi, 2000). Metode self report

digunakan untuk memperoleh data mengenai usia, pendapatan, kehadiran anak, lama perpisahan dengan pasangan, dan tinggal bersama orang lain.

Metode skala mengingat data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk butir-butir pernyataan (Azwar, 2000). Menurut Hadi (2000), skala dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada penyelidik adalah benar dan dapat dipercaya.

(63)

berdasarkan indikator-indikator perasaan kesepian yang dikemukakan oleh Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm 2002).

Pernyataan dalam skala ini terdiri dari pernyataan favorable dan

unfavorable. Skala ini disusun berdasarkan skala tipe Likert dengan memberikan empat alternatif jawaban yaitu : STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), S (Sesuai) dan SS (Sangat Sesuai). Untuk butir pernyataan favorable, jawaban “Sangat Sesuai” akan diberi skor 4, demikian seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat Tidak Sesuai”. Sedangkan untuk butir pernyataan

unfavorable, jawaban “Sangat Tidak Sesuai” akan diberi skor 4, demikian seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat Sesuai”.

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek maka semakin tinggi kesepian yang dirasakan oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dan semakin rendah skor yang diperoleh subjek penelitian maka semakin rendah kesepianyang dirasakan oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal.

(64)

Tabel 3

Blue print Skala Kesepian Sebelum Uji Coba

NO Perasaan Ketika Kesepian Aitem Jlh

Favorable Unfavorable

1. Desperation

a. Putus asa b. Tidak berdaya

c. Takut

d. Tidak punya harapan e. Merasa ditinggal

f. Mudah mendapat kecaman

12 12 24

2. Impatient Boredom

a. Tidak sabar b. Bosan

c. Berada ditempat lain d. Kesulitan

e. Marah

f. Tidak dapat berkonsentrasi

12 12 24

e. Merasa tidak aman

10 10 20

h. Berharap memiliki seseorang yang spesial

16 16 32

Jumlah 50 50 100

(65)

Blue Print Butir-butir Skala Kesepian Sebelum Uji Coba

NO Perasaan Ketika Kesepian Aitem Jlh

Favorable Unfavorable

III. D.1. Validitas Alat Ukur

Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu atau tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Dalam penelitian ini skala akan diuji validitasnya berdasarkan validitas isi dan validitas soal.

(66)

Skala dinyatakan memiliki validitas soal bila aitem-aitem tidak menyimpang dan mewakili konsep yang akan diukur (Azwar, 2002). Validitas soal dilakukan dengan cara mengkorelasikan nilai-nilai tiap butir nilai totalnya. Dalam penelitian ini uji validitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment (Hadi, 1999).

III.D.2. Uji Daya Beda Butir Pernyataan

Uji daya beda butir pernyataan dilakukan untuk melihat sejauh mana skala itu mampu membedakan antara individu dan kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang dimaksudkan untuk diukur (Azwar, 2000).

Daya beda pada suatu skala dapat dilihat dengan menggunakan analisa aplikasi komputer SPSS versi 12.0 for Windows, kemudian nilai corrected item total correlation yang diperoleh dibandingkan dengan koefisien korelasi Pearson Product Moment dengan interval kepercayaan 95%. Peneliti menggunakan kriteria pemilihan aitem berdasarkan koefisien korelasi sebesar 0,275.

III.D.3. Reliabilitas Alat Ukur

Gambar

Tabel 1 Empat Jenis Perasaan Ketika Kesepian
Tabel 2 Respon Terhadap Kesepian
Tabel 5 Skala Kesepian Setelah Uji Coba
Tabel 6 Perubahan Nomor Skala Kesepian Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

(3) Balita kasus gizi buruk murni yang tidak membutuhkan rawat inap dilakukan dengan cara rawat jalan di pos pemulihan gizi berbasis masyarakat,

Dengan demikian sektor keuangan syariah tidak akan terdikotomi dengan sektor riil seperti kecenderungan yang ada di konvensional, sehingga diyakini kontribusi lembaga bank

Tes untuk mengetahui peningkatan kemampuan menulis siswa selama pembelajaran yang diberikan di setiap akhir tindakan (siklus). Hasil kemampuan akhir siswa dapat pula sebagai

pembahasan evaluasi dari komponen konteks, pada program pembelajaran tematik di Sekolah Dasar Negeri 33 Solie Kabupaten Soppeng, maka dapat disimpulkan bahwa dari

Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini dilakukan dengan tujuan untuk (1) mensosialisasikan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP sehubungan dengan Perberlakuan Upaya Paksa

Pelatihan ini, dapat meningkatkan semangat peserta pelatihan untuk mengembangkan kemampuan dalam pembelajaran berbasis manajemen iklim budaya sekolah, terbukti

SDI As-Salam merupakan salah satu contoh sekolah yang sudah menerapkan kurikulum 2013 untuk kelas I dan IV. Mata pelajaran yang ditematikkan adalah semua mata pelajaran

Ketiga, tahap akhir yang meliputi hasil minyak Legundi diuji secara organoleptis, berat jenis, indeks bias, kemudian minyak yang telah diuji kemurniannya digunakan