KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT
MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT
KERJA DI TPA TERJUN MEDAN
TESIS
Oleh
ASWIN SOEFI LUBIS
067004004/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE K O L
A
H
P A
S C
A S A R JA
N
KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT
MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT
KERJA DI TPA TERJUN MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ASWIN SOEFI LUBIS
067004004/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT KERJA DI TPA TERJUN KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Aswin Soefi Lubis Nomor Pokok : 067004004
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar, Sp. FK Ketua
)
(Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc) (Dr. Heru Santoso, MS Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Februari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar, Sp. FK
Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc
2. Dr. Heru Santoso, MS
KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT KERJA DI TPA TERJUN MEDAN
ABSTRAK
Peningkatan arus urbanisasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari, bahkan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena ini semakin menambah keragaman kota Medan dan mendatangkan masalah baru khususnya dalam hal persampahan. TPA Terjun merupakan salah satu tempat pembuangan akhir sampah di Kota Medan yang menjadi tempat bekerja para pemulung. Pemulung setiap harinya berkontak langsung dengan sampah yang mengandung bahan-bahan yang berisiko terhadap terjadinya penyakit kulit akibat kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterpaparan pemulung sampah sehingga menimbulkan penyakit kulit akibat kerja. Desain studi yang digunakan case study dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling yang berjumlah 61 orang dan yang mengikuti tes tempel 10 orang yang mengalami penyakit dermatitis kontak. Metode pengumpulan data adalah kuisioner dan tes tempel untuk penyakit kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja adalah mencuci tangan setelah bekerja
(p=0.000), memakai pelindung tangan saat bekerja (p=0.003), memakai sepatu
pelindung (p=0.002), dan memakai krim pelindung wajah saat bekerja (p=0.001). Sedangkan faktor usia, jenis kelamin, lama bekerja, membersihkan diri setelah bekerja, memakai pelindung pakaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja. Hasil dari tes tempel menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji coba, 7 orang positif mengandung zat cobalt chloride dan 4 orang
positif mengandung zat nickel sulphate. Kedua logam tersebut merupakan zat
berbahaya yang biasanya berasal dari limbah industri. Oleh karena itu untuk pemulung dianjurkan untuk selalu menggunakan Alat Pelindung Diri saat bekerja dan
memperhatikan personal hygiene. Kepada Dinas Kesehatan dan Dinas Kebersihan
bersama–sama meninjau kembali jenis-jenis sampah yang dibuang di TPA Terjun, karena ditemukannya zat–zat berbahaya yang berasal dari limbah industri.
THE EXPOSURE OF GARBAGE COLLECTORS CAN CAUSE OCCUPATIONAL DERMATOSE AT THE SITE
WASTE DISPOSAL TERJUN MEDAN
ABSTRACT
Urbanization is unavoidable phenomenon that increased every year. This phenomenon supports the diversity of Medan and creates a new problem especially related to waste production. In the end site of waste disposal Terjun is one of the places for some people who work as waste collector. The waste collector contacted with the waste everyday which contains contaminated goods that could give those chances for occupational dermatose. This is a quantitative case study, aims to explore the exposure of waste collector to the waste that could possibly give those chances for occupational dermatose. Sixty one samples obtained with purposive sampling of which 10 of them having contact dermatitis and given skin test. Data`s was collected using questioner and skin test for skin disease. The result of analysis shows that factors significantly associated with occupational dermatose are washing hands after work (p= 0.000), wearing gloves (hands cover) while working (p= 0.003), wearing shoes (p= 0.002), and using face cream (sun block) while working (p= 0.001). But age, sex, duration of work, having shower after work, wearing specific clothing while working did not show a significant association with occupational dermatose. Skin test showed that 7 of 10 tested were positive having cobalt chloride and 4 of those positive having nickel sulphate. Both materials are dangerous things that commonly produced in industry. The study recommended the waste collector to wear personal protection devices while working and taking a good care of personal hygiene. District Health Office and District Cleanses are proposed to discuss and providing solution to the variety of waste dumped in TPA Terjun as there are found dangerous material from industry waste.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena atas pertolonganNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul:
Keterpaparan Pemulung Sampah Dapat Menimbulkan Penyakit Kulit Akibat Kerja
di TPA Terjun Kota Medan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir
penyelesaian program pascasarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini penulis telah mendapat
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Jazanul Anwar, Sp.FK., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
telah banyak memberikan perhatian, nasehat, arahan dan waktu secara sabar
untuk berdiskusi dengan memberikan semangat secara terus-menerus sejak
perencanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan tesis ini,
2. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. dan Dr. Heru Santoso, MS., selaku Anggota
Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, waktu serta tenaga dalam
berdiskusi mulai dari perencanaan penelitian sampai terselesaikannya tesis ini
3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan dorongan untuk tetap bertahan dalam
menyelesaikan studi ini.
4. Bapak Drs. Chairuddin, MS selaku Sekretaris Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
5. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH. dan Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku
Penguji yang telah memberikan koreksi, masukan, saran peraikan dan semangat
dalam menyelesaikan studi.
6. Istriku Hj. Enizar dan anak–anakku dr. Siska Anggreni Lubis, SpKK, Nadia
Arimbi Lubis, dan dr. Tiffani Tantina Lubis yang dengan setia dan sabar
mendukung penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
7. Teman-teman yang telah banyak membantu dan berdiskusi selama menuntut
ilmu dan penyelesaian tesis ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Ibu dan Bapak dengan berlipat
ganda. Akhirnya kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna,
namun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah yang sederhana ini
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang
memerlukannya.
Medan, Februari 2011
Aswin Soefi Lubis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh, pada tanggal 7 September 1949. Penulis
merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara sebagai putera dari Bapak H. Bahrum Lubis
(Alm) dan Ibu Hj. Ratna Mala Nasution (Alm).
Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1956, memasuki SR 4 Kabanjahe.
2. Tahun 1962, memasuki SMP Negeri 1 Kabanjahe.
3. Tahun 1965, memasuki SMA Negeri 2 Bandung.
4. Tahun 1970, memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara.
5. Tahun 2006, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
DAFTAR ISI
2.2. Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 12
III METODE PENELITIAN ... 24
3.1. Jenis Penelitian ... 24
3.2. Tempat dan Waktu ... 24
3.3. Populasi dan Sampel ... 24
3.4. Instrumen Penelitian ... 25
3.5. Metode Pengumpulan Data ... 25
3.6. Variabel Penelitian ... 27
3.7. Definisi Operasional ... 28
3.8. Jalannya Penelitian ... 29
3.9. Analisis Data ... 30
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1. Gambaran Sampah di Kota Medan ... 31
4.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 32
4.3. Hasil Penelitian ... 36
4.3.1. Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja ... 38
4.3.2. Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri ... 39
4.3.3. Riwayat Alergi ... 42
4.3.4. Analisis Bivariat ... 43
4.3.5. Hasil Tes Tempel ... 45
4.4. Pembahasan ... 47
V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
5.1. Kesimpulan ... 55
5.2. Saran ... 56
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Daftar Bahan Alergen pada Tes Tempel ... 26
2 Data Mengenai Kondisi TPA Terjun Kecamatan Medan Marelan... 33
3 Distribusi Jenis Kelamin pada Responden ... 36
4 Distribusi Kelompok Umur pada Responden... 37
5 Distribusi Tahun Terkena Penyakit pada Responden ... 37
6 Distribusi Lama Bekerja pada Responden ... 38
7 Distribusi Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden ... 38
8 Data Jenis Kelamin dan Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden... 39
9 Distribusi Melakukan Upaya Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah Bekerja pada Responden ... 40
10 Distribusi Memakai Pelindung Tangan Saat Bekerja pada Responden ... 40
11 Distribusi Memakai Sepatu Pelindung Saat Bekerja pada Responden ... 41
12 Distribusi Memakai Pelindung Pakaian Saat Bekerja pada Responden ... 41
13 Distribusi Membersihkan Diri dan Mandi Setelah Bekerja pada Responden ... 42
14 Distribusi Memakai Krim Pelindung Saat Bekerja pada Responden ... 42
15 Distribusi Responden dan Keluarga Sering Pilek/Sesak/Eksema ... 42
16 Distribusi Responden Pernah Mengobati Penyakit Alergi ... 43
17 Hasil Analisis Identitas Diri dengan Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden ... 44
18 Hasil Analisis Bivariat Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri dengan Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden ... 45
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1 Peta Lokasi TPA Terjun ... 34 2 Lokasi TPA Terjun ... 35
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Daftar Kuesioner ………... 60
KETERPAPARAN PEMULUNG SAMPAH DAPAT MENIMBULKAN PENYAKIT KULIT AKIBAT KERJA DI TPA TERJUN MEDAN
ABSTRAK
Peningkatan arus urbanisasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari, bahkan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena ini semakin menambah keragaman kota Medan dan mendatangkan masalah baru khususnya dalam hal persampahan. TPA Terjun merupakan salah satu tempat pembuangan akhir sampah di Kota Medan yang menjadi tempat bekerja para pemulung. Pemulung setiap harinya berkontak langsung dengan sampah yang mengandung bahan-bahan yang berisiko terhadap terjadinya penyakit kulit akibat kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterpaparan pemulung sampah sehingga menimbulkan penyakit kulit akibat kerja. Desain studi yang digunakan case study dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling yang berjumlah 61 orang dan yang mengikuti tes tempel 10 orang yang mengalami penyakit dermatitis kontak. Metode pengumpulan data adalah kuisioner dan tes tempel untuk penyakit kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja adalah mencuci tangan setelah bekerja
(p=0.000), memakai pelindung tangan saat bekerja (p=0.003), memakai sepatu
pelindung (p=0.002), dan memakai krim pelindung wajah saat bekerja (p=0.001). Sedangkan faktor usia, jenis kelamin, lama bekerja, membersihkan diri setelah bekerja, memakai pelindung pakaian tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit kulit akibat kerja. Hasil dari tes tempel menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji coba, 7 orang positif mengandung zat cobalt chloride dan 4 orang
positif mengandung zat nickel sulphate. Kedua logam tersebut merupakan zat
berbahaya yang biasanya berasal dari limbah industri. Oleh karena itu untuk pemulung dianjurkan untuk selalu menggunakan Alat Pelindung Diri saat bekerja dan
memperhatikan personal hygiene. Kepada Dinas Kesehatan dan Dinas Kebersihan
bersama–sama meninjau kembali jenis-jenis sampah yang dibuang di TPA Terjun, karena ditemukannya zat–zat berbahaya yang berasal dari limbah industri.
THE EXPOSURE OF GARBAGE COLLECTORS CAN CAUSE OCCUPATIONAL DERMATOSE AT THE SITE
WASTE DISPOSAL TERJUN MEDAN
ABSTRACT
Urbanization is unavoidable phenomenon that increased every year. This phenomenon supports the diversity of Medan and creates a new problem especially related to waste production. In the end site of waste disposal Terjun is one of the places for some people who work as waste collector. The waste collector contacted with the waste everyday which contains contaminated goods that could give those chances for occupational dermatose. This is a quantitative case study, aims to explore the exposure of waste collector to the waste that could possibly give those chances for occupational dermatose. Sixty one samples obtained with purposive sampling of which 10 of them having contact dermatitis and given skin test. Data`s was collected using questioner and skin test for skin disease. The result of analysis shows that factors significantly associated with occupational dermatose are washing hands after work (p= 0.000), wearing gloves (hands cover) while working (p= 0.003), wearing shoes (p= 0.002), and using face cream (sun block) while working (p= 0.001). But age, sex, duration of work, having shower after work, wearing specific clothing while working did not show a significant association with occupational dermatose. Skin test showed that 7 of 10 tested were positive having cobalt chloride and 4 of those positive having nickel sulphate. Both materials are dangerous things that commonly produced in industry. The study recommended the waste collector to wear personal protection devices while working and taking a good care of personal hygiene. District Health Office and District Cleanses are proposed to discuss and providing solution to the variety of waste dumped in TPA Terjun as there are found dangerous material from industry waste.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan arus urbanisasi merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari,
bahkan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Fenomena ini semakin menambah
keragaman Kota Medan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, namun
di sisi lain juga mendatangkan masalah baru khususnya dalam hal persampahan.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Setiap
aktivitas manusia pada umumnya menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau
volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi terhadap barang/material yang
digunakan sehari-hari. Demikian juga, jenis sampah sangat tergantung dari jenis
material yang dikonsumsi. Oleh karena itu pengelolaan sampah tidak dapat
dipisahkan dari pengelolaan gaya hidup masyarakat (Ginting, 2004).
Ketika jumlah manusia masih sedikit dan sampah bersifat organik dalam
mengatasi sampah cukup dengan membuangnya jauh-jauh dan alam masih dapat
melakukan self purification. Namun ketika terjadi revolusi industri dan telah
ditemukannya bahan-bahan baru dari proses sintesis kimia yang sulit diuraikan oleh
alam, dan manusia berkembang sangat pesat serta berkembangnya pola
konsumerisme, sampah mulai bermasalah. Prinsip membuang jauh-jauh tidak dapat
dilaksanakan lagi karena tempat yang jauh sudah tidak ada lagi sudah penuh dengan
manusia, dan tidak ada satu tempat pun yang dihuni manusia mau menerima sampah.
sebagai pembuangan akhir yang disebut sebagai tempat pembuangan akhir (TPA)
(Ginting, 2004).
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh dilakukan
beberapa alternatif meminimalisasi sampah diantaranya beberapa jenis industri
mendisain ulang produk-produk yang dirancang berasal dari bahan yang dapat didaur
ulang. Dengan adanya sampah yang dapat diproses daur ulang ini, timbul mata
pencaharian baru bagi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah yang
beroperasi di lokasi penampungan sampah sebagai pemulung. Di Indonesia tercatat
angka pemulung sampah pada tahun 1998 sebanyak 9,96% dari total penduduk
di Indonesia dan setiap tahun terjadi penambahan. Angka tersebut tersebar paling
banyak di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya,
Yogyakarta, Purwokerto, Menado (BPS, 2004). Untuk Kota Medan belum ada angka
perolehan yang pasti, namun diperkirakan tidak jauh berbeda dengan persentase dari
pemulung di Indonesia.
Kota Medan sebagai kota metropolitan, memiliki luas 265,1 km2, yang terdiri
dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Jumlah timbunan sampah pada 2009 mencapai
887,75 ton/hari dengan komposisi 47,2% organik dan 52,8 non organik. Untuk
mengoptimalkan dan memperbaiki tingkat pelayanan sampah di Kota Medan maka
Kota Medan dibagi dalam 3 (tiga) wilayah pelayanan. Pada setiap daerah pelayanan
terdiri dari 7 kecamatan (Badan Lingkungan Hidup, 2009). Sampah dari wilayah
Kabupaten Deli Serdang, berjarak 16 km dari pusat kota yang luasnya 18,5 Ha, dapat
menampung sampah sebanyak 550.000 m3
TPA Terjun merupakan TPA yang baru. Luas TPA Terjun adalah 13,8 Ha,
dengan daya tampung 500.000 m
dan telah dioperasikan sejak tahun 1988,
sedangkan wilayah pelayanan III dibuang ke TPA Terjun, yang terletak di Kelurahan
Terjun, Kecamatan Medan Marelan, berjarak 9 km dari pusat Kota Medan
(Setyowati, 2007).
3
Jumlah pemulung di TPA Terjun bervariasi antara 200-300 orang. Pada saat
sekarang ini jumlah pemulung diperkirakan ada 200 orang. Pemulung setiap harinya
bergelut dengan sampah dari seluruh pelosok daerah. Sampah-sampah ini berasal dari
buangan kegiatan produksi dan konsumsi manusia baik dalam bentuk padat, cair
maupun gas merupakan sumber pencemaran lingkungan hidup dan merupakan
sumber penyakit jika tidak dikelola dengan baik karena bisa menjadi sarang penyakit,
menjijikkan dan menimbulkan bau tidak sedap (Hadiwiyoto, 1983).
dan telah beroperasi sejak tahun 1993 yang
menampung seluruh jenis sampah termasuk sampah dari kawasan industri (Badan
Lingkungan Hidup, 2009). Sistem pembuangan di TPA ini adalah open dumping,
di mana sampah ditaburkan pada suatu lahan, kemudian diratakan dan dipadatkan.
Ketinggian tumpukan sampah saat ini sudah mencapai kira-kira 7-8 meter tanpa
pemilahan sampah, dengan air lindi yang tidak terolah dan tidak ada penanganan
terhadap gas (Damanhuri, 1995).
Salah satu masalah kesehatan pada masyarakat pemulung di TPA yang
merupakan salah satu bentuk dari penyakit akibat kerja yang menggambarkan
berbagai keadaan yang terjadi pada kulit yang terpapar karena pekerjaan langsung
atau faktor lingkungan. Walaupun tidak menimbulkan kematian, Penyakit Kulit
Akibat Kerja dapat merugikan pekerja, menurunkan produktivitas, menurunkan
kualitas hidup serta meningkatkan biaya kerja (Rofiq, 2007).
Penyakit Kulit Akibat Kerja sebagai salah satu bentuk penyakit akibat kerja
yang paling sering terjadi pada sebagian besar negara. Insiden PKAK berkisar dari 5
sampai 19 kasus per 10.000 pekerja setiap tahun (Taylor, 2008). Biro statistik tenaga
kerja Amerika Serikat tahun 2003 mendapatkan angka 1,5% dari seluruh tenaga kerja
yang terdaftar menderita PKAK. Penyakit kulit tersering adalah dermatitis kontak,
sebesar 21,3% yang merupakan terbanyak kedua (Taylor, 2008). Di Swedia
dilaporkan PKAK sekitar 50% dari seluruh penyakit akibat kerja. Diperkirakan 20-25
laporan tentang PKAK mengakibatkan berhenti bekerja dan kehilangan sebagian hari
pekerjaannya. Kesulitan melaporkan disebabkan faktor lingkungan kerja, faktor
genetik dan faktor lain dari keadaan kulit seseorang seperti hygiene, ketrampilan
pekerja dan adanya penyakit kulit yang berhubungan dengan dermatosis itu sendiri
(Rofiq, 2007).
Pemulung setiap harinya bergelut dengan sampah dari seluruh pelosok daerah.
Risiko sebagai pemulung tentunya sangat besar sekali karena sampah tentunya
mengandung banyak sekali bakteri-bakteri patogen akibat pembusukan zat-zat
menyebabkan berbagai macam penyakit (Triyanto, 2009). Untuk ini perlu satu kajian
sejauhmana sampah tersebut memberikan akibat pada kulit mereka yang setiap
harinya kontak dengan sampah.
Dari kajian ini tentunya dapat diharapkan diperolehnya suatu cara preventif
dalam pekerjaan mereka untuk melindungi dari penyakit kulit yang berkepanjangan
sehingga merugikan kesehatan para pemulung.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana keterpaparan
pemulung sampah di TPA Terjun dapat menimbulkan penyakit kulit akibat kerja.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Untuk mengetahui paparan pemulung sampah sehingga menimbulkan
penyakit kulit akibat kerja.
Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin, usia, dan lama terpapar terhadap
penyakit kulit akibat kerja.
b. Untuk mengetahui hubungan personal hygiene (mencuci tangan dengan sabun
setelah bekerja, membersihkan diri dan mandi setelah bekerja) dan alat
pelindung diri (memakai pelindung tangan saat bekerja, memakai pelindung
pakaian saat bekerja, memakai sepatu pelindung saat bekerja, menggunakan
1.4. Hipotesis
a. Ada hubungan jenis kelamin, usia, dan lama terpapar terhadap penyakit kulit
akibat kerja.
b. Ada hubungan personal hygiene (mencuci tangan dengan sabun setelah
bekerja, membersihkan diri dan mandi setelah bekerja) dan alat pelindung diri
(memakai pelindung tangan saat bekerja, memakai pelindung pakaian saat
bekerja, memakai sepatu pelindung saat bekerja, menggunakan krim
pelindung saat bekerja) terhadap penyakit kulit akibat kerja.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Memberikan masukan pada masyarakat khususnya para pemulung yang
beroperasi di TPA Terjun terhadap risiko penyakit kulit akibat kerja.
b. Untuk mencari solusi pencegahan dan perlindungan terhadap pekerja yang
berhubungan dengan sampah.
c. Memberi masukan bagi pemerintah terkait khususnya Dinas Kesehatan Kota
Medan dalam rangka mencegah terjadinya penyakit kulit akibat kerja pada
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sampah
2.1.1. Pengertian Sampah
Sampah adalah bahan buangan padat atau semi padat yang dihasilkan dari
aktivitas manusia atau hewan yang dibuang karena tidak diinginkan atau tidak
digunakan lagi oleh pemakai tersebut. Sampah adalah suatu limbah yang bersifat
padat terdiri dari sampah organik, sampah anorganik dan sampah bahan berbahaya
beracun (B3) yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (Dep. PU, 1990).
Penanganan sampah yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran sebagai
berikut (Hadiwiyoto, 1983):
1. Sampah dapat menimbulkan pencemaran pada udara, akibat gas-gas yang
terjadi dari penguraian sampah terutama menimbulkan bau yang tidak sedap.
Selain itu sampah mengakibatkan mengganggu penglihatan yaitu suatu area
yang kotor yang mencemari rasa estetika.
2. Tumpukan sampah yang menggunung dapat menimbulkan kondisi lingkungan
fisik dan kimia yang tidak sesuai dengan dengan kondisi lingkungan normal.
Pada umumnya hal tersebut menimbulkan kenaikan suhu dan perubahan pH
menjadi asam atau basa. Kondisi ini mengakibatkan terganggunya kehidupan
3. Kadar oksigen di area pembuangan sampah menjadi berkurang akibat proses
penguraian sampah menjadi senyawa lain yang memerlukan oksigen yang
diambil dari udara sekitarnya. Berkurangnya oksigen di daerah pembuangan
sampah menyebabkan gangguan terhadap makhluk sekitarnya.
4. Dalam proses penguraian sampah dihasilkan gas-gas yang dapat
membahayakan kesehatan, berupa gas-gas yang beracun dan dapat
mematikan.
5. Sampah sangat berpotensi menjadi sumber penyakit yang berasal dari bakteri
patogen dari sampah sendiri serta dapat ditularkan oleh lalat, tikus, anjing dan
binatang lainnya yang senang tinggal di areal tumpukan sampah.
2.1.2. Klasifikasi Sampah
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya
suatu proses. Sampah didefinisikan menurut derajat keterpakaiannya, dalam
proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk
yang dihasilkan setelah dan selama proses alam berlangsung. Akan tetapi karena
dalam kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka sampah dapat
dibagi menurut jenis-jenisnya. Sampah dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa
kriteria menurut sumber, tipe, dan sifatnya (www.wikipedia.org, 2010).
1. Klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya.
Sumber-sumber sampah atau lokasi-lokasi penghasil sampah pada umumnya
pertokoan, industri, reaktor, pertambangan, rumah sakit, pasar, hutan,
pertanian dan lain-lain.
2. Klasifikasi sampah berdasarkan tipenya.
Menurut tipenya sampah dibagi atas sampah padat, sampah cair, dan sampah
debu. Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia,
urine dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga; sampah dapur,
sampah kebun, plastik, metal, gelas, dan lain-lain. Sampah cair adalah
berbentuk cairan yang telah digunakan dan tidak diperlukan lagi dan dibuang
ke tempat pembuangan sampah.
3. Klasifikasi sampah berdasarkan sifatnya.
Dilihat dari sifatnya, sampah di sini dibagi atas:
a. Sampah organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa-senyawa
organik yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen dan
lain-lain. Yang termasuk sampah organik adalah daun-daunan, kayu,
kertas, karton, sisa-sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan,
potongan-potongan kayu, ranting, daun-daunan, rumput-rumputan pada waktu
pembersihan kebun atau halaman yang mudah diuraikan mikroba.
b. Sampah anorganik, yaitu sampah yang terdiri dari kaleng, plastik, besi,
gelas atau logam lain yang tersusun oleh senyawa-senyawa anorganik.
Sampah ini tidak dapat diuraikan oleh mikroba.
Berdasarkan kemampuan diuraikan oleh alam (biodegradability) dapat dibagi
1. Biodegradable, yaitu sampah yang dapat diuraikan secara sempurna oleh
proses biologi baik aerob atau anaerob seperti sampah dapur, sisa-sisa hewan,
sampah pertanian dan perkebunan.
2. Non-biodegradable, yaitu sampah yang tidak bisa diuraikan oleh proses
biologi, seperti plastik, kertas, kain dan lainnya.
Dari klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya yaitu: sampah dari rumah
sakit dan balai pengobatan, dan berdasarkan tipenya yaitu sampah yang berbahaya
seperti sampah patogen dari rumah sakit, sampah beracun dari sisa-sisa pestisida,
insektisida serta berdasarkan sifatnya yaitu sampah organik yang dapat diuraikan oleh
mikroba, serta kandungan bakteri yang sering dijumpai pada sampah yaitu bakteri
heterotrof yaitu bakteri yang memanfaatkan sampah organik atau sisa-sisa makhluk
hidup sebagai sumber energinya diantaranya bakteri nitrit (Nitrosococcus), bakteri
nitrat (Nitrobacter) dan jenis Clostridium di samping organisasi pembusuk utama,
yang berperan dalam menguraikan asam amino dalam protein makhluk hidup, baik
dari sampah tumbuhan maupun hewan menjadi senyawa amoniak maka sampah
sangat cenderung menimbulkan penyakit terutama manusia yang berhubungan erat
dengan sampah tersebut diantaranya yang paling dekat adalah pemulung sampah di
TPA (Alcamo, 2001).
Pemulung adalah orang yang kegiatannya mengambil dan mengumpulkan
barang bekas yang masih memiliki nilai jual yang kemudian akan dijual kepada
hubungannya karena ketergantungan hidup para pemulung dengan sampah
sedemikian tingginya (Abidin, 2011).
Pekerjaan ini banyak dilakukan oleh masyarakat miskin di kota-kota besar
saat ini. Para pemulung ini dijumpai paling banyak di TPA-TPA kota besar di
samping para pemulung yang bergerak antara TPS yang satu ke TPS yang lain.
Pemulung yang berada di TPA sebagian besar sudah menjadikannya sebagai
pekerjaan tetap dan kesehariannya tetap kontak dengan sampah, malah ada yang
mendirikan gubuk-gubuk di sekitar TPA sebagai tempat tinggalnya. Pemulung
biasanya menumpuk hasil pungutannya di dekat tempat tinggalnya (Abidin, 2011).
Tidak sedikit hambatan yang dialami oleh para pemulung dalam melakukan
pekerjaannya. Mulai dari ancaman dalam kesehatan karena bekerja ditempat yang
kotor, hingga soal stigma negative seperti tidak teratur, kumuh, tidak bersih dan dekat
dengan tindakan kriminal (Rachmannur, 2009). Pada kenyataannya peran para
pemulung dalam menjaga lingkungan sangatlah besar. Bila sampah-sampah yang
tidak bisa diuraikan atau yang tidak bisa dihancurkan oleh bakteri (sampah
anorganik) tidak dipunguti oleh pemulung akan mengakibatkan rusaknya ekosistem
di tempat tersebut. Peran pemulung dalam hal stabilitas sosial merupakan salah satu
cara mengatasi pengangguran karena mereka bekerja mandiri, kreatif, pekerja keras
2.2. Penyakit Kulit Akibat Kerja
2.2.1. Struktur dan Fungsi dari Kulit
Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan, mempunyai tiga lapisan terdiri dari epidermis, dermis dan
lapisan subkutis (Suhariyanto, 2007). Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat
dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,5-1,75 m2
Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah
lapisan paling luar, disebut sebagai stratum korneum atau lapisan tanduk. Meskipun
ketebalan kulit hanya 15 milimikro, namun sangat berfungsi sebagai penyaring benda
asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh
faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi serta daya penyembuhan kulit,
maka akan terjadi penyakit (Wasitaatmadja, 2002).
, rata-rata
tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (16mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki dan
paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis (Harahap, 2000).
Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensitif terhadap berbagai
macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya,
faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan
membawa efek yang baik bagi kulit, demikian pula sebaliknya. Salah satu lingkungan
yang perlu diperhatikan adalah lingkungan kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik
Sejak dahulu di seluruh dunia telah dikenal adanya reaksi tubuh terhadap
bahan atau material yang ada di lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kulit
dikenal, pada individu atau pekerja tertentu baik yang berada di negara berkembang
maupun di negara maju, dapat mengalami kelainan kulit akibat pekerjaannya.
Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) dikenal secara populer karena berdampak
langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PKAK
dapat diartikan sebagai peradangan kulit yang diakibatkan oleh lingkungan kerja
(Siregar, 2002).
2.2.2. Epidemiologi Penyakit Kulit Akibat Kerja
Di Amerika Serikat pada tahun 2003 dilaporkan dari 4,4 juta pekerjaan
berisiko kecelakaan dan penyakit diperkirakan 6,2% (269.500 kasus) disebabkan oleh
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Taylor, 2008). Dari suatu penelitian
epidemiologik di luar negeri mengemukakan, PKAK dapat berdampak pada
hilangnya hari kerja sebesar 25% dari jumlah hari kerja. Secara umum, tampaknya
hingga kini kelengkapan data PKAK masih menjadi salah satu tantangan, karena
PKAK seringkali tidak teramati atau tidak teridentifikasi dengan baik akibat
banyaknya faktor yang harus dikaji dalam memastikan jenis penyakit (Rofiq, 2007).
Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar
didapat, termasuk dari negara maju, demikian pula di Indonesia. Umumnya pelaporan
tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya penyakit
tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya variasi besar antar negara adalah
akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9 persen dari seluruh kasus
dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI-RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta (Suryani, 2008).
2.2.3. Bentuk Penyakit Kulit Akibat Kerja
Terjadinya PKAK dipengaruhi oleh jenis PKAK dan faktor individual
pekerja, seperti kekeringan kulit, keringat, pigmentasi, integritas epidermis, penyakit
kulit yang sudah ada, faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan gesekan
(Suhariyanto, 2007).
Dermatitis kontak merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan dan
merupakan lebih dari 85% dari Penyakit Kulit Akibat Kerja, berupa dermatitis kontak
alergi dan dermatitis kontak iritan. Kasus lain seperti miliaria, folikulitis, dermatosis
fiberglas dan urtikaria kontak. Di samping itu terdapat kasus-kasus yang sangat
jarang dilaporkan seperti kerusakan pigmen dan keganasan kulit (Taylor, 2008).
Secara tidak disadari, sebenarnya di lingkungan kerja kita mungkin ada bahan,
barang atau unsur yang dapat bersifat melukai kulit, mengiritasi kulit, menyebabkan
alergi kulit, menyebabkan infeksi kulit, maupun menyebabkan perubahan pigmen
kulit jika menempel pada kulit. Bahkan, masih ada bahan atau unsur yang bersifat
memicu terjadinya keganasan pada kulit (Sood, 2008).
Dermatitis
Di dalam Ilmu Kesehatan Kulit, istilah eksematosa sama dengan dermatitis.
bersisik, berair dan lainnya (Rofiq, 2007). Akibat permukaan kulit terkena bahan atau
unsur-unsur yang ada di lingkungannya (faktor eksogen). Namun demikian, untuk
terjadinya suatu jenis dermatitis atau beratnya gejala dermatitis, kadang-kadang
dipengaruhi pula oleh faktor kerentanan kulit seseorang atau faktor endogen (Taylor,
2008).
Bahan-bahan kimia yang berpengaruh untuk terjadinya Dermatitis adalah
Arsen, Merkuri, Garam kromium, Resin venil dan akrilik, Dikromat, Heksaklorofen,
Parafenildiamin, Cobalt dan Nickel (Suhariyanto, 2007). Dermatitis kontak adalah
reaksi peradangan kulit yang terjadi akibat kulit kontak langsung dengan bahan yang
bertindak sebagai alergen maupun iritan. Bahan tersebut kontak dengan kulit sering
ditemukan dalam kehidupan senari-hari misalnya detergen, kosmetik, logam, karet
tekstil, obat, bahkan bahan-bahan yang dijumpai dalam lingkungan pekerjaannya
(Sukanto, 2008). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik
yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik.
Menurut Gell dan Coombs dermatitis kontak alergik adalah reaksi
hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV) yang diperantai sel, akibat antigen spesifik yang
menembus lapisan epidermis kulit. Antigen bersama dengan mediator protein akan
menuju ke dermis, di mana sel limfosit T menjadi tersensitisasi. Pada pemaparan
selanjutnya dari antigen akan timbul reaksi alergi.
Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PKAK, terbanyak bersifat
dermatitis. Dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak alergi
merupakan jenis PKAK yang paling sering terjadi
di antara para pekerja, dibandingkan dengan Dermatitis Kontak Alergika (Odom,
2000).
Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan reaksi inflamasi kulit yang
berhubungan dengan proses imunologik pada kulit yang terpapar dengan bahan
alergen. Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, reaksi inflamasi yang timbul
melalui proses imunologik setelah melalui beberapa kali paparan (Rofiq, 2007).
Seseorang umumnya tidak terjadi reaksi pada paparan awal dengan bahan alergen,
setelah paparan berulang seseorang menjadi tersensitisasi dengan bahan alergen.
Seorang pasien akan mendapat kepekaan (hipersensitivitas) terhadap suatu bahan
(fase sensitisasi) dalam waktu 10-14 hari. Pemaparan berikutnya (fase elisitasi) dalam
waktu 12-48 jam. (Fitzpatrick, 2008)) Sering seseorang mengatakan sudah
berbulan-bulan saya bekerja seperti ini tidak menyebabkan kelainan pada kulit saya (Taylor,
2008).
Bahan alergen yang berbeda mempunyai potensial sensitisasi yang berbeda
dan juga pada kerentanan setiap individu oleh bahan alergen. DKA merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe IV di mana mediator kimiawi yang keluar akan menyebabkan
dermatitis. Dermatitis yang terjadi bisa akut, sub-akut atau kronis tergantung
sensitivitas para pekerja. Alergi pada bahan yang spesifik umumnya akan selamanya
sehingga sangat penting untuk membedakan dermatitis kontak iritan dan dermatitis
kontak alergi. Seseorang dengan kecurigaan bahan alergen tertentu dianjurkan untuk
menghindari bahan tersebut selamanya (Rofiq, 2007).
Dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan kelainan sebagai akibat pajanan
dengan bahan toksik non-spesifik yang merusak epidermis dan atau dermis.
Umumnya setiap orang dapat terkena, bergantung pada kapasitas toleransi kulitnya.
Penyakit tersebut mempunyai pola monofasik, yaitu kerusakan diikuti dengan
penyembuhan (Taylor, 2008).
Berbeda dengan DKA, perubahan kulit pada DKI dapat terjadi dalam
beberapa menit atau beberapa jam setelah kontak dengan bahan iritan (Trihapsoro,
2002). DKI dapat terjadi melalui dua jalur: efek langsung iritan terhadap keratinosit
dan kerusakan sawar kulit. Efek langsung iritan pada keratinosit, pada DKI akut,
penetrasi iritan melewati sawar kulit akan merusak keratinosit dan merangsang
pengeluaran mediator inflamasi diikuti dengan aktivasi sel T. Selanjutnya terjadi
akumulasi sel T dengan aktivasi tidak lagi bergantung pada penyebab. Hal tersebut
dapat menerangkan kesamaan jenis infiltrat dan sitokin yang berperan antara DKI dan
DKA. Peradangan hanya merupakan salah satu aspek sindrom DKI. Apabila terjadi
pajanan dengan konsentrasi suboptimal maka reaksi yang terjadi langsung kronik
(Baratawidjaja, 2004).
Stratum korneum atau kulit ari merupakan sawar kuli yang sangat efektif
berkesinambungan dan proses penyembuhan berlangsung cepat. Apabila waktu
pajanan lebih pendek daripada waktu penyembuhan, sehingga sel-sel keratinosit tidak
sempat sembuh, maka akan terjadi gejala klinis DKI kumulatif (Taylor, 2008).
Kerusakan sawar lipid berhubungan dengan kehilangan daya kohesi antar korneosit
dan deskuamasi diikuti dengan peningkatan trans-epidermal water loss (TEWL). Hal
tersebut merupakan rangsangan untuk memacu sintesis lipid, proliferasi keratinosit
dan hiperkeratosis sewaktu transient sehingga dapat terbentuk sawar kulit dalam
keadaan baru (Taylor, 2008).
2.2.4. Bentuk Lain dari Kelainan Kulit yang Diinduksi Lingkungan
Dermatitis kontak fototoksik dan fotoalergik
Bahan fototoksik sebagai bahan yang diserap sinar ultraviolet dan
menyebabkan reaksi inflamasi pada kulit. Sebagai contoh bahan yang bersifat
fototoksik termasuk obat-obatan yaitu golongan fenotiazin dan tetrasiklin, bahan
industri kimia seperti tars dan golongan resin. Dermatitis fototoksik tidak melalui
proses imunologik, berhubungan dengan kadar/dosis Bahan fototoksik mempunyai
kecendrungan mengenai semua individu yang terpapar (Taylor, 2008). Dermatitis
kontak fotoalergi, seperti halnya dermatitis kontak alergi melalui proses imunologi.
Alergen hanya menjadi aktif bila ada sinar ultraviolet. Contoh dari fotoalergen ialah
obat-obatan, parfum, krim pelindung matahari dan antiseptik (Rofiq, 2007).
Urtikaria kontak
kontak, di mana cenderung meluas beberapa hari setelah kontak kulit. Urtikaria
kontak meluas dengan segera setelah kulit kontak dengan kontaktan. Manifestasi
klinisnya biasanya berupa terjadinya erupsi urtikaria segera (dalam waktu 30 menit
setelah kontak) dan pada waktu yang lama menjadi dermatitis (Kaplan, 2008).
Penyebab terjadinya urtikaria kontak meliputi bahan makanan seperti daging,
telur, seafood dan sayuran, bulu dan sekresi dari hewan seperti ulat dan artropoda
yang lainnya, tumbuhan dan bumbu-bumbu seperti rumput laut, thyme dan cabai
rawit, parfum dan bahan penyedap seperti balsam dari Peru dan minyak kayu manis,
beberapa jenis obat-obatan seperti antibiotik, logam, bahan pengawet seperti formalin
dan asam benzoat, dan karet lateks sarung tangan (Kaplan, 2008).
2.2.5. Bentuk Lain Penyakit Kulit Akibat Kerja
Bahan atau alergen dari lingkungan lain, termasuk agen fisik seperti radiasi
ion, faktor mekanik, sinar ultraviolet, panas dan dingin dapat merusak kulit. Beberapa
bahan kimia diserap secara perkutaneus dan dapat menyebabkan toksik sistemik
seperti dioksin yang menyebabkan klorakne. Minyak dan lemak dapat menyebabkan
oilakne. Campuran fenol seperti para tertiary butyl phenol formaldehyde resins dapat
menyebabkan depigmentasi kulit. Gejalanya jarang terjadi, hanya 10% dari semua
kasus DAK (Rofiq, 2007). Keganasan pada kulit akibat bahan karsinogen yang
berasal dari lingkungan seperti sinar ultraviolet, hidrokarbon aromatik polisiklik dan
arsenik seringkali tercetus setelah terpapar selama beberapa tahun (Rofiq, 2007).
Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) umumnya mempunyai prognosis buruk.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pekerja logam dan pekerja konstruksi
menemukan 70 persen tetap menderita dermatitis meskipun telah dilakukan upaya
penghindaraan terhadap alergen penyebab dan perubahan jenis pekerjaan (Odom,
2000).
Meski PKAK tidak memerlukan rawat inap, ringan, dan umumnya dianggap
sebagai risiko yang perlu diterima, pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial
psikologi harus diperhitungkan. Dampak PKAK terhadap ekonomi sangat besar. Ini
meliputi biaya langsung atas pengobatan, kompensasi kecacatan dan biaya tidak
langsung yang meliputi kehilangan hari kerja dan produktivitas, biaya pelatihan ulang
serta biaya yang menyangkut efek terhadap kualitas hidup (Rofiq, 2007).
Dengan penelitian ini dapat diharapkan apakah kedua hal tersebut dapat
terjadi pada para pemulung di TPA sehingga dapat disimpulkan apakah pekerjaan
yang mereka lakukan berisiko atau dapat dilakukan dengan tanpa kekhawatiran akan
menderita penyakit kulit di samping itu tentunya akan diperoleh suatu sistem
perlindungan terhadap rakyat kecil berupa pencegahan agar mereka dapat terlindungi
dari penyakit sesuai dengan rencana pemerintah Indonesia Sehat 2010 karena
pemulung juga adalah rakyat Indonesia (Suryani, 2008).
2.3. Landasan Teori
Sumber dan komposisi sampah kota yang terbanyak adalah dari pemukiman
pasar ikan jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik.
Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya sangat beragam, tetapi secara umum
minimal 75% terdiri dari dari sampah organik dan sisanya anorganik.
Hasil survei di Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya pada tahun 1987
menunjukkan komposisi sampah rata-rata sebagai berikut:
Volume sampah : 2 – 2,5 lt/kapita/hari
Berat sampah : 0,5 kg/kapita/hari
Kerapatan : 200 – 300 kg/m
Kadar air : 65 – 75 %
3
Sampah organik : 75 – 95 %
Komponen lain : * Kertas : 6 %
* Kayu : 3 %
* Plastik : 2 %
* Gelas : 1 %
* Lain-lain : 4 % (Sudradjat,2006)
Sampah–sampah ini berasal dari buangan kegiatan produksi dan konsumsi
manusia baik dalam bentuk padat, cair maupun gas merupakan sumber pencemaran
lingkungan hidup dan merupakan sumber penyakit jika tidak dikelola dengan baik
karena bisa menjadi sarang penyakit (www.wikipedia.org, 2010).
Dari sampah organik yang jumlahnya terbesar terjadi pembusukan oleh
organisme pembusuk utama yaitu bakteri. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan sampah
sumber energi dan bakteri ini juga akan mengakibatkan proses penyakit kulit yang
timbul pada pemulung yang setiap hari berkontak dengan sampah tersebut. Di
samping itu dari hasil penguraian sampah dapat juga menghasilkan gas methan yang
berbahaya juga untuk kulit, tidak tertutup kemungkinan sampah buangan dari rumah
sakit yang tidak memenuhi persyaratan pembuangan sampah medis dan non medis
terbuang juga ke TPA dan dapat menimbulkan beberapa penyakit termasuk penyakit
kulit. Yang paling berbahaya adalah sampah buangan industri yang termasuk
golongan B3 yang dapat langsung mengiritasi permukaan kulit (Alcamo, 2001).
Penghasil limbah B3 yang memiliki potensi menghasilkan limbah B3 antara
lain Industri farmasi, industri logam dasar, industri karoseri, industri baterai kering,
industri tekstil dan kulit seperti penggunaan zat warna yang mengandung Chrom,
pabrik kertas dan percetakan, industri kimia besar meliputi pabrik pembuatan resin,
bahan pengawet, cat, tinta, industri gas, pupuk dan sabun (Sastrawijaya, 1991).
Penyakit kulit merupakan penyakit yang sering ditemukan pada penyakit
akibat kerja, diperkirakan mencapai 10% dari penyakit akibat kerja. Hal ini bisa
disebabkan karena komponen atau proses yang berhubungan dengan lingkungan
kerja. Pada pemulung yang selalu berkontak dengan sampah yang mengandung
bahan-bahan kontaktan seperti rubber, kertas, beberapa bahan kayu, dan kaca sangat
berisiko untuk menderita Penyakit Kulit Akibat Kerja (Suryani, 2008). Berdasarkan
jenis organ tubuh yang dapat mengalami kelainan akibat pekerjaan seseorang, maka
Bahan-bahan organik bisa terurai oleh mikroba sehingga sampah dapat hancur
mengalami degradibilitasi namun mikroba patologis seperti bakteri, virus dan parasit
dapat tumbuh di dalam sampah tersebut bercampur dengan sampah yang
degrabilitasnya lebih lama dibanding dengan sampah organik sehingga ini yang dapat
menyebabkan penyakit kulit bila kontak dengan manusia sebagai inang yang baru
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah survei analitik dengan pendekatan case study (studi
kasus). Studi kasus, merupakan sebuah metode yang mengacu pada penelitian yang
mempunyai unsur how dan why pada pertanyaan utama penelitiannya dan meneliti
masalah-masalah kontemporer (masa kini) serta sedikitnya peluang peneliti dalam
mengontrol peristiwa (kasus) yang ditelitinya (Yin, 2008).
3.2. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di TPA Terjun, Desa Terjun, Kecamatan Medan
Marelan, Kota Medan. Penelitian dilakukan selama 2 bulan (Oktober–November
2010.)
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua pemulung di TPA Terjun, Desa Terjun,
Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan, Sumatera Utara.
Sampel Penelitian
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu subyek
yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pemulung yang menderita penyakit kulit akibat
Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 61 orang. Dari 61 jumlah responden
ditemukan 17 responden yang mengalami dermatitis kontak, selanjutnya dipilih 10
responden untuk melakukan tes tempel. Pemilihan responden yang diuji dengan tes
tempel dilihat dari tingkat keparahan penyakit yang diderita oleh responden, diagnosa
dilakukan oleh dokter spesialis kulit.
3.4. Instrumen Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat ukur kuesioner dan
pemeriksaan penyakit kulit akibat kerja pada pada pemulung.
3.5. Metode Pengumpulan Data
1. Data primer
Data primer didapat langsung dari:
a. Diagnosis dari dokter penyakit spesialis kulit.
b. Melakukan tes tempel pada responden.
Cara melakukan tes tempel adalah:
1. Bahan alergen yang digunakan adalah The European Standart Patch Test
Allergens, produksi Trolab Hermal Jerman.
2. Lembaran uji tempel diberi nomor dan Finn Chamber diisi bahan alergen.
3. Lembaran uji tempel dilekatkan di daerah punggung, secara vertikal
di antara scapula kiri dan kanan terkecuali kulit diatas vetebra.
4. Lama penempelan adalah 48 jam.
6. Pembacaan hasil uji tempel dilakukan 2 jam setelah pelepasan lembaran
uji tempel, dan pembacaan dilakukan kembali setelah 72 jam.
7. Alat bantu yang dipakai adalah:
a. Tempat duduk penderita.
b. Kapas pembersih dan alkohol 70%.
c. Plester micropore untuk fiksasi unit uji tempel.
d. Spidol.
e. Kaca pembesar
Berikut adalah daftar alergen yang diujicobakan pada tes tempel:
Tabel 1. Daftar Bahan Alergen pada Tes Tempel
No Bahan Alergen Konsentrasi Terdapat dalam
Hasil uji tempel positif ditunjukkan dengan adanya reaksi alergi berupa
eritema dengan indurasi, disertai papula, vesikel, bulla (tergantung intensitas reaksi).
Pembacaan hasil yang positif diberi skor sesuai dengan derajat reaksi yang terlihat.
Salah satu sistem skoring ini adalah dari The International Contact Dermatitis
? : Reaksi meragukan, hanya makula eritema
+ : Reaksi positif lemah (non vesikuler), eritema, infiltrasi, mungkin, papula
++ : Reaksi positif kuat (vesikuler), eritema, infiltrasi, papula, vesikula
+++ : Reaksi positif sangat kuat, ulseratif atau bulla
- : Reaksi negatif
IR : Reaksi iritan
NT : Not testes, tidak diuji
a. Wawancara langsung dengan subyek penelitian dengan panduan
kuesioner.
b. Observasi langsung yang dilakukan oleh peneliti pada waktu subyek
melakukan pekerjaan.
2. Data sekunder
Data sekunder di dapat dari dinas-dinas/instansi terkait.
3.6. Variabel Penelitian
Variabel bebas:
1. Lama pemaparan
2. Jenis kelamin
3. Umur
4. Alat pelindung diri
Variabel tergantung:
1. Penyakit kulit akibat kerja
3.7. Definisi Operasional
1. Lama pemaparan: lamanya bekerja dan banyaknya waktu yang dialami oleh
pemulung dalam bekerja sehingga dapat menyebabkan penyakit kulit akibat
kerja.
2. Jenis kelamin: pembagian ciri-ciri seorang berdasarkan aspek biologis yaitu
laki-laki atau perempuan.
3. Umur: lama waktu antara tanggal kelahiran dan saat penelitian dilakukan,
diukur dalam satuan tahun dan dihitung dari ulang tahun terakhir.
4. Alat pelindung diri: alat yang digunakan untuk melindungi diri dari kontak
langsung dengan sampah seperti pakaian, sarung tangan, sepatu, dan krim
wajah.
5. Personal hygiene: kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk melindungi
diri dari penyakit kulit akibat kerja seperti mencuci tangan dengan sabun dan
membersihkan diri dan mandi.
6. Penyakit kulit akibat kerja: segala kelainan pada kulit yang diakibatkan
pekerjaan dan lingkungan kerja seperti dermatitis kontak, dermatitis
fotokontak, dermatitis fotoalergi, urtikaria kontak dan infeksi kulit.
7. Makula eritema: kelainan kulit yang sama tinggi dengan permukaan kulit,
8. Papula: kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit, padat, berbatas
jelas, dan ukurannya tidak lebih dari 1 cm.
9. Vesikula: kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit, berisi cairan
dan ukurannya tidak lebih dari 1 cm.
10. Bula: sama dengan vesikula tetapi ukurannya lebih dari 1cm.
3.8. Jalannya Penelitian
1. Persiapan penelitian
a. Studi pendahuluan dengan melakukan observasi ke lokasi penelitian.
b. Melakukan studi kepustakaan.
c. Melakukan penyusunan rancangan penelitian, meliputi penetapan populasi
dan sampel penelitian, variabel, definisi operasional variabel, instrumen
penelitian dan analisis data.
2. Pelaksanaan penelitian
a. Menyampaikan surat izin penelitian pada pengelola TPA Terjun.
b. Menyebarkan kuisioner dan pemeriksaan penyakit kulit akibat kerja pada
subyek yang akan diteliti.
c. Melakukan tes tempel pada responden.
d. Mencek dan mengolah data sesuai dengan kebutuhan.
3. Penyelesaian penelitian
3.9. Analisis Data
Rancangan analisis data dilakukan dengan menggunakan program statistik
melalui beberapa analisa yaitu univariat dan bivariat. Pada penelitian ini akan
dilakukan analisa data sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik dari
variabel yang diteliti, ukuran yang digunakan adalah distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel, baik variabel pengaruh maupun variabel tergantung. Hasil dari
analisis univariat ini akan disajikan dalam bentuk tabular dan tekstular, selanjutnya
dilakukan interpretasi secara deskriptif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS.
2. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel (variabel
bebas dan variabel terikat). Analisis data dilakukan dengan menggunakan software
SPSS. Jika nilai p < 0,05 maka variabel memiliki hubungan yang bermakna dan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Sampah di Kota Medan
Pengelolaan kebersihan di Kota Medan dilakukan oleh Dinas Kebersihan
Kota Medan yang meliputi penyapuan jalan-jalan protokol dan kolektor,
pengumpulan sampah dari sumber ke TPS, pengangkutan sampah dari TPS ke TPA,
pemusnahan sampah dan pengelolaan TPA, penyedotan septitank dan retribusi
kebersihan. Metode yang diterapkan dalam pengelolaan kebersihan Kota Medan
(Dinas Kebersihan Kota Medan) antara lain meliputi pewadahan, pengumpulan,
pengangkutan, pemusnahan
Sumber-sumber sampah di Kota Medan dapat dikelompokkan berdasarkan
sampah domestik, yaitu sampah yang bersumber dari lokasi pemukiman penduduk,
sampah non domestik, yaitu sampah yang berasal dari pasar, pertokoan, plaza,
perkantoran, industry, dan fasilitas umum, misalnya rumah sakit, pendidikan, jalan,
hotel, tempat rekreasi, terminal, stasiun kereta api,
Mekanisme operasional persampahan di Kota Medan adalah meliputi
pemukiman, perkantoran, pertokoan, jalan umum, rumah makan dan perguruan
tinggi, fasilitas umum seperti terminal, taman, stasiun KA, tempat hiburan, halte dan
lain-lain kegiatan pengumpulan sampah dilakukan oleh gerobak sampah dan becak
sampah dan pengangkutannya menggunakan armroll truck. Daerah yang dapat dilalui
kendaraan pengangkut, pengumpulan dan pengangkutan dilakukan oleh typer truck
pengumpulan dan pengangkutan sampahnya dilakukan langsung oleh amroll truck
dan typer truck.
Mekanisme operasional persampahan seperti penyapuan jalan protokol dan
kolektor dilakukan oleh kelompok melati, yang dibentuk oleh Dinas Kebersihan Kota
Medan dengan menggunakan alat sweeper. Untuk penanganan sampah di TPA
dilakukan dengan menggunakan metode open dumping, yang dilengkapi dengan
peralatan buldozer, scopel, dan excavator.
4.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
TPA Terjun merupakan TPA yang terletak di Kelurahan Terjun, Kecamatan
Medan Marelan, berjarak 9 km dari pusat Kota Medan. Luas TPA Terjun adalah 10
ha, dengan daya tampung 500.000 M3 dan telah beroperasi sejak tahun 1993 dan
menampung seluruh jenis sampah termasuk sampah dari kawasan industri. Sistem
pembuangan di TPA ini adalah open dumping, di mana sampah ditaburkan pada suatu
lahan, kemudian diratakan dan dipadatkan. Ketinggian tumpukan sampah saat ini
sudah mencapai kira-kira 7-8 meter tanpa pemilahan sampah, dengan air lindi yang
tidak terolah dan tidak ada penanganan terhadap gas. Data mengenai kondisi TPA
Tabel 2. Data Mengenai Kondisi TPA Terjun Kecamatan Medan Marelan
No Uraian Keterangan
1. Lokasi
Kelurahan Terjun
Kecamatan Medan Marelan
Dati II Kota Medan
2. Kepemilikan Lahan Pemko Medan
3. Jarak lokasi TPA dari
Sungai 5 km (Sei Deli)
Pantai 6 km (Belawan)
Lapangan Terbang 23 km (Polonia)
Pusat Kota 14 km
4. Kondisi tanah
Areal Tanah lempung
Lapisan dasar Tanah liat
5. Topografi Relatif datar
6. Mulai dioperasikan 7 januari 1993
7. Fasilitas lain
Incenerator Tidak ada
Instalasi pengolahan limbah tinja (IPLT) Tidak ada
Komposting Tidak ada
8. Sampah yang masuk perhari 50% dari sampah
terangkut
Sumber: Badan Lingkungan Hidup, 2009
Sumber: Badan Lingkungan Hidup, 2009
Gambar 2. Lokasi TPA Terjun
Sumber: Badan Lingkungan Hidup, 2009
4.3. Hasil Penelitian
Sampel penelitian yang diperoleh berjumlah 61 orang. Responden sejumlah
61 orang diperoleh dengan membuat kriteria inklusi terhadap jumlah populasi yang
berjumlah sekitar 200 orang. Dari jumlah 61 orang tersebut, dipilih 10 orang untuk
melakukan tes tempel.
Dari 61 orang yang dijadikan sampel dapat dilihat untuk jenis kelamin yang
terbanyak adalah perempuan (70,5%) dan laki-laki (29,5%). Hal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Distribusi Jenis Kelamin pada Responden
No Jenis Kelamin Jumlah %
1 Laki-laki 18 29,5
2 Perempuan 43 70.5
Total 61 100.0
Untuk kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 30-40 tahun
(34,4%), lalu kelompok umur > 50 tahun (26,2%), kelompok umur 41-50 tahun
(19,7%) dan terkecil kelompok umur < 30 tahun (19,4%). Dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4. Distribusi Kelompok Umur pada Responden
No Kelompok Umur Jumlah %
1 < 30 tahun 12 19,4
2 30-40 tahun 21 34,4
3 41-50 tahun 12 19,7
4 > 50 tahun 16 26,2
Total 61 100,0
Untuk tahun terkena penyakit yang terbanyak adalah kurang dari 5 tahun
(77%) dan lebih dari 5 tahun (23%). Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 5
di bawah ini.
Tabel 5. Distribusi Tahun Terkena Penyakit pada Responden
No Tahun Terkena Penyakit Jumlah %
1 Kurang dari 5 tahun 47 77,0
2 Lebih dari 5 tahun 14 23,0
Total 61 100,0
Untuk lama bekerja sehari yang terbanyak adalah < 8 jam (60,7%) dan > 8
jam (39,3). Data lama bekerja pada responden dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah
Tabel 6. Distribusi Lama Bekerja pada Responden
No Lama Bekerja Sehari Jumlah %
1 < 8 jam 37 60,7
2 > 8 jam 24 39,3
Total 61 100,0
4.3.1. Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja
Berdasarkan jenis penyakit kulit akibat kerja yang didapat adalah terbanyak
dermatitis kontak alergi yaitu (26,2%), lain-lain (24,6%), tinea pedis (19,7%), tinea
kruris (14,8%), skabies (9,8%), tinea korporis (3,3%) dan dermatitis kontak iritan
(1,6%), daftar tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Distribusi Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden
No
Berdasarkan jenis kelamin dan jenis penyakit kulit akibat kerja dapat dilihat
bahwa jenis kelamin terbanyak untuk dermatitis kontak iritan adalah laki-laki sebesar
100%, dermatitis kontak alergi adalah perempuan sebesar 62,5%, tinea kruris adalah
perempuan sebesar 77,8%, tinea pedis adalah perempuan sebesar 83,3%, skabies
adalah perempuan 100,0%, tinea korporis adalah perempuan 100,0% dan lain-lain
adalah wanita sebesar 53,3%. Data tersebut dapat dilihat di Tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Data Jenis Kelamin dan Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja pada Responden
No Jenis Penyakit Kulit Akibat
Kerja
Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
4.3.2. Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri
Personal hygiene dan alat pelindung diri meliputi: melakukan upaya mencuci
tangan dengan sabun setelah bekerja, memakai pelindung tangan saat bekerja,
membersihkan diri dan mandi setelah bekerja, dan memakai krim pelindung saat
bekerja.
Berdasarkan studi di lapangan didapatkan bahwa responden yang melakukan
upaya mencuci tangan dengan sabun setelah bekerja sebesar 34,4% dan yang tidak
melakukan sebesar 65,6%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Distribusi Melakukan Upaya Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah Bekerja pada Responden
No Mencuci Tangan dengan Sabun Setelah
Bekerja
Jumlah %
1 Ya 21 34,4
2 Tidak 40 65,6
Total 61 100,0
Responden yang memakai pelindung tangan saat bekerja sebesar 45,9% dan
yang tidak memakai sebesar 54,1%. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 di
bawah ini.
Tabel 10. Distribusi Memakai Pelindung Tangan Saat Bekerja pada Responden
No Memakai Pelindung Tangan Saat Bekerja
Jumlah %
1 Ya 28 45,9
2 Tidak 33 54,1
Responden yang memakai sepatu pelindung saat bekerja sebesar 44,3% dan
yang tidak memakai sebesar 55,7%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 11
di bawah ini.
Tabel 11. Distribusi Memakai Sepatu Pelindung Saat Bekerja pada Responden
No Memakai Sepatu Pelindung Saat
Bekerja
Jumlah %
1 Ya 27 44,3
2 Tidak 34 55,7
Total 61 100,0
Responden yang memakai pelindung pakaian saat bekerja sebesar 59% dan
yang tidak memakai sebesar 41%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah
ini.
Tabel 12. Distribusi Memakai Pelindung Pakaian Saat Bekerja pada Responden
No Memakai Pelindung Pakaian Saat Bekerja
Jumlah %
1 Ya 36 59
2 Tidak 25 41
Total 61 100,0
Responden yang membersihkan diri dan mandi setelah bekerja sebesar 60,7%
dan yang tidak melakukan sebesar 39,35. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 13
Tabel 13. Distribusi Membersihkan Diri dan Mandi Setelah Bekerja pada Responden
No Membersihkan Diri dan Mandi Setelah Bekerja
Jumlah %
1 Ya 37 60,7
2 Tidak 24 39,3
Total 61 100,0
Responden yang memakai krim pelindung saat bekerja sebesar 31,1% dan
yang tidak memakai sebesar 68,9%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 14 di
bawah ini.
Tabel 14. Distribusi Memakai Krim Pelindung Saat Bekerja pada Responden
No Memakai Krim Pelindung Saat
Bekerja
Jumlah %
1 Ya 19 31,1
2 Tidak 42 68,9
Total 61 100,0
4.3.3. Riwayat Alergi
Data Riwayat Alergi yang diperoleh menunjukkan responden dan keluarganya
sering mengalami pilek, sesak dan eksema/biduran sebesar 29,5% dan yang tidak
Tabel 15. Distribusi Responden dan Keluarga Sering Pilek/Sesak/Eksema
Responden yang pernah mengobati penyakit alergi sebesar 82% dan yang
tidak pernah mengobati sebesar 18%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 16 di
bawah ini.
Tabel 16. Distribusi Responden Pernah Mengobati Penyakit Alergi
No Pernah Mengobati Penyakit Alergi
Jumlah %
1 Ya 50 82,0
2 Tidak 11 18,0
Total 61 100,0
4.3.4. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adanya tidak hubungan antara
variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh. Data disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan narasi dengan menggunakan analisis statistik bivariat serta
menghitung nilai p yang mendukung terjadinya penyakit kulit akibat kerja pada
pemulung di TPA Terjun. Jika nilai p < 0,05 maka variabel memiliki hubungan yang
bermakna dan hipotesis diterima.
Hasil analisis bivariat antara identitas diri dengan penyakit kulit akibat kerja