• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Usia 15-17 Tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Usia 15-17 Tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI TRAUMA GIGI PERMANEN ANTERIOR PADA

ANAK USIA 15-17 TAHUN DI KECAMATAN MEDAN

BARAT DAN MEDAN SUNGGAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

SITI GEMALA NELFI LUBIS

NIM: 10060022

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak

Tahun 2014

Siti Gemala Nelfi Lubis

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Usia 15-17 Tahun

di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

xi+ 41 halaman.

Trauma gigi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup

serius pada anak disebabkan prevalensi yang tinggi di berbagai negara terutama

pada gigi permanen. Data yang menggambarkan trauma gigi di Indonesia

khususnya di kota Medan masih sedikit. Hal inilah yang mendasari peneliti ingin

melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui gambaran trauma gigi

permanen anterior pada anak SMA yang diwakili oleh SMK Panca Budi 1 dan 2

dari Kecamatan Medan Sunggal dan SMA Bunga Bangsa dan SMA Methodist 8

dari Kecamatan Medan Barat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif dengan jumlah

sampel sebanyak 264 orang. Untuk memperoleh data dilakukan pemeriksaan

rongga mulut serta wawancara dan hasil yang diperoleh dicatatat pada lembar

pemeriksaan. Data yang didapatkan diolah dengan komputer, dihitung dalam

bentuk persentase dan disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil yang diperoleh sebanyak 29,2% dari 264 anak terkena trauma gigi

permanen anterior. Anak laki-laki lebih banyak terkena trauma gigi permanen

(3)

sebesar 15,9% dan 13,3%. Berdasarkan klasifikasi fraktur enamel memiliki

persentase tertinggi sebesar 72,5%. Berdasarkan elemen gigi insisivus sentralis

maksila kanan mempunyai persentase tertinggi sebesar 30,83%. Berdasarkan

jumlah trauma gigi yang terkena paling banyak hanya mengenai 1 gigi yaitu

51,9%. Berdasarkan lokasi sekolah merupakan tempat yang paling sering

terjadinya trauma yaitu sebesar 42,9%. Berdasarkan etiologi terjatuh sebagai

penyebab utama trauma gigi sebesar 19,5%. Berdasarkan perawatan 90,9% anak

yang terkena trauma membiarkan giginya begitu saja dan yang melakukan

perawatan tambalan hanya 7,4%.

Kesimpulan penelitian ini adalah prevalensi trauma gigi permanen anterior

pada anak usia 15-17 tahun termasuk tinggi, sehingga diperlukan suatu perhatian

untuk hal tersebut.

(4)

PREVALENSI TRAUMA GIGI PERMANEN ANTERIOR PADA

ANAK USIA 15-17 TAHUN DI KECAMATAN MEDAN

BARAT DAN MEDAN SUNGGAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

SITI GEMALA NELFI LUBIS

NIM: 10060022

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)
(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, Maret 2014

Pembimbing Tanda tangan

(7)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah diseminarkan di hadapan tim penguji pada tanggal 29 Maret 2014

TIM PENGUJI

KETUA : Yati Roesnawi, drg

ANGGOTA : 1. Essie Octiara,drg., Sp. KGA 2. Ami Angela,drg., Sp. KGA., M.Sc

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan rahmat-Nya

kepada penulis sehingga skripsi dapat selesai disusun untuk memenuhi kewajiban

penulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih terdalam

kepada Ayahanda Sahnan Lubis, SH dan Ibunda Sri Hastuty, SH yang memberi kasih

sayang, didikan dan dukungan secara moral dan materil kepada penulis. Kepada

Abang tersayang Ahmad Taufik Lubis, SP dan adik tersayang Muhammad Irfan

Lubis serta seluruh keluarga besar tercinta atas do’a dan semangat yang diberikan

selama ini. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima

bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu pada

kesempatan ini pula, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih

kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Ami Angela Harahap, drg., Sp.KGA., M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dorongan

serta pengarahan yang berharga kepada penulis.

3. Yati Roesnawi, drg selaku ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak di

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak

memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis.

4. Essie Octiara, drg., Sp. KGA, Taqwa Dalimunthe,drg., Sp. KGA, Siti Salmiah,

drg., Sp. KGA, Luthfiani,drg, Zulfi Amalia, drg selaku staf pengajar Departemen

Ilmu Kedokteran Gigi Anak di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

(9)

5. Muslim Yusuf, drg., Sp. Ort., (K) selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis selama menjalani program

akademik.

6. Kepada seluruh dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang

telah banyak mendidik, membantu, memberikan ilmu selama perkuliahan penulis.

7. Kepada seluruh staf Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak yang selama ini

sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Kepada sahabat penulis Mila, Rizka, Elsa, Anda, Fina, Fandra, Ridho, Dedi, Zulmi,

Malfi dan semua anggota tim skripsi Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak

yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada penulis.

9. Kepada keluarga besar KMUS FKG USU yang telah mengajarkan pengalaman

hidup yang sangat berharga dimana penulis tidak dapat memperolehnya selama

pendidikan formal di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

10.Kepada teman-teman stambuk 2010 yang selama ini berjuang bersama penulis

dalam menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi Universitars Sumatera Utara

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat

kekurangan dan kelemahan, maka dengan kerendahan hati dan lapang dada penulis

menerima kritik dan saran dari berbagai pihak.

Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat dalam pengembangan wawasan

penulis dibidang Kedokteran Gigi Anak dan juga memberikan sumbangan pikiran

yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Khususnya

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak.

Medan, Maret 2014

Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Prevalensi dan Etiologi ... 6

2.2 Klasifikasi Trauma ... 9

2.2.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa ... 9

2.2.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal ... 10

2.2.3 Kerusakan pada Tulang Pendukung ... 11

2.2.4 Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut ... 12

2.3 Riwayat, Pemeriksaan Klinis, dan Diagnosa ... 12

2.4 Penanganan Darurat, Perawatan dan Pencegahan Trauma ... 13

2.5 Kerangka Teori ... 16

(11)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Jenis Penelitian ... 18

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.3 Populasi dan Sampel ... 18

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 20

3.5 Metode Pengumpulan Data/Pelaksanaan Penelitian ... 22

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 23

3.6.1 Pengolahan Data ... 23

3.6.2 Analisis Data ... 24

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 25

4.1 Prevalensi Trauma Gigi ... 25

BAB 5 PEMBAHASAN ... 32

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

6.1 Kesimpulan ... 37

6.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 ... Prevalensi trauma gigi permanen diberbagai studi yang berbeda ... 7

2 ... Frekuensi penyebab trauma gigi ... 9

3 Definisi operasional ... 20

4 Prevalensi trauma gigi permanen anterior ... 25

5 Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin

dan usia ... 26

6 Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin

dan usia ... 27

7 Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan klasifikasi

trauma gigi Andreasen yang diadopsi oleh WHO... 28

8 Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan elemen gigi . 29

9 Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jumlah trauma

gigi ... 29

10 Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan lokasi terjadinya

trauma ... 30

11 Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan etiologi ... 31

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. ... Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa ... 10

2. ... Kerusakan pada jaringan periodontal ... 11

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. ... Lembar pemeriksaan.

2. ... Lembar penjelasan kepada subjek penelitian.

3. ... Lembar persetujuan setelah penjelasan (Informed Consent).

4. ... Surat persetujuan Komisi Etik (Ethical Clearance).

5. ... Data hasil penelitian.

6. ... Hasil uji statistik

7. ... Surat izin penelitian.

8. ... Jadwal pelaksanaan penelitian.

9. ... Rencana anggaran penelitian.

(15)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak

Tahun 2014

Siti Gemala Nelfi Lubis

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Usia 15-17 Tahun

di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

xi+ 41 halaman.

Trauma gigi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup

serius pada anak disebabkan prevalensi yang tinggi di berbagai negara terutama

pada gigi permanen. Data yang menggambarkan trauma gigi di Indonesia

khususnya di kota Medan masih sedikit. Hal inilah yang mendasari peneliti ingin

melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui gambaran trauma gigi

permanen anterior pada anak SMA yang diwakili oleh SMK Panca Budi 1 dan 2

dari Kecamatan Medan Sunggal dan SMA Bunga Bangsa dan SMA Methodist 8

dari Kecamatan Medan Barat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif dengan jumlah

sampel sebanyak 264 orang. Untuk memperoleh data dilakukan pemeriksaan

rongga mulut serta wawancara dan hasil yang diperoleh dicatatat pada lembar

pemeriksaan. Data yang didapatkan diolah dengan komputer, dihitung dalam

bentuk persentase dan disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil yang diperoleh sebanyak 29,2% dari 264 anak terkena trauma gigi

permanen anterior. Anak laki-laki lebih banyak terkena trauma gigi permanen

(16)

sebesar 15,9% dan 13,3%. Berdasarkan klasifikasi fraktur enamel memiliki

persentase tertinggi sebesar 72,5%. Berdasarkan elemen gigi insisivus sentralis

maksila kanan mempunyai persentase tertinggi sebesar 30,83%. Berdasarkan

jumlah trauma gigi yang terkena paling banyak hanya mengenai 1 gigi yaitu

51,9%. Berdasarkan lokasi sekolah merupakan tempat yang paling sering

terjadinya trauma yaitu sebesar 42,9%. Berdasarkan etiologi terjatuh sebagai

penyebab utama trauma gigi sebesar 19,5%. Berdasarkan perawatan 90,9% anak

yang terkena trauma membiarkan giginya begitu saja dan yang melakukan

perawatan tambalan hanya 7,4%.

Kesimpulan penelitian ini adalah prevalensi trauma gigi permanen anterior

pada anak usia 15-17 tahun termasuk tinggi, sehingga diperlukan suatu perhatian

untuk hal tersebut.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma gigi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius

pada anak disebabkan prevalensi yang tinggi di berbagai negara terutama pada gigi

permanen.1 Trauma gigi adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau

periodontal karena sebab mekanis.2 Kondisi ini sering terjadi pada masa prasekolah,

masa sekolah dan dewasa muda. Perawatan yang telah dilakukan untuk kasus trauma

gigi telah mencapai 5% dari semua perawatan trauma yang ada. Tinjauan literatur

yang dilakukan selama 12 tahun melaporkan bahwa trauma gigi pada anak usia

sekolah persentasenya mencapai 25%, pada orang dewasa sebesar 33% telah

mengalami trauma pada gigi permanennya dan sebagian besar trauma terjadi sebelum

usia 19 tahun.3

Trauma gigi paling sering terjadi antara usia 2-4 tahun dan antara usia 8-10

tahun pada anak laki- laki maupun perempuan.4 Laki -laki terkena trauma gigi 2

sampai 3 kali lebih sering daripada perempuan. Keadaan ini disebabkan karena anak

laki-laki yang lebih aktif berpartisipasi dalam permainan dan olahraga dibandingkan

dengan anak perempuan.5 Trauma gigi sering terjadi di rumah, di sekolah, di jalan raya

maupun tempat umum lainnya. Sebagian besar trauma hanya melibatkan satu gigi

permanen dan gigi yang paling sering terkena trauma adalah gigi insisivus sentralis

maksila.4,6,7 Jenis trauma gigi yang paling sering mengenai gigi permanen adalah

fraktur enamel (uncomplicated crown fracture), fraktur enamel dentin (uncomplicated crown fracture) dan fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture).4,5,7,8

Trauma gigi dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Trauma gigi

secara langsung terjadi ketika suatu benturan langsung mengenai gigi dan trauma gigi

tidak langsung terjadi ketika lengkung gigi rahang bawah memberikan hantaman

(18)

atau berkelahi.7 Faktor-faktor predisposisi mendukung terjadi trauma gigi yaitu

protrusi anterior dengan maloklusi klas II divisi 1, overjet yang mencapai 3-6 mm dan

penutupan bibir yang tidak sempurna.9,10 Anak yang tidak dirawat trauma gigi

mempunyai dampak negatif 20 kali lebih besar pada kualitas hidup dibandingkan

dengan anak tanpa trauma gigi.6 Trauma gigi dapat membahayakan kesehatan gigi dan

dapat mengganggu estetik, psikologi, berbicara, sosialisasi dan masalah terapi. 4,11

Klasifikasi yang ada untuk trauma gigi seperti klasifikasi Andreasen, World

Health Organization (WHO), Andreasen yang diadopsi oleh WHO, Garcia- Godoy,

Ellis & Davey dan lain-lain. Peneliti menggunakan klasifikasi Andreasen yang telah

diadopsi oleh WHO untuk mengidentifikasi jenis trauma gigi dikarenakan klasifikasi

tersebut dapat menjelaskan dan menggambarkan secara detail kasus trauma gigi.

Klasifikasi Andreasen yang telah diadopsi oleh WHO meliputi kerusakan pada

jaringan keras gigi dan pulpa, kerusakan pada jaringan periodontal, kerusakan pada

jaringan tulang pendukung dan kerusakan pada gingiva dan mukosa mulut. 7,8,10

Besarnya prevalensi trauma gigi permenen diberbagai negara dan sedikitnya

data tentang prevalensi trauma gigi di Indonesia khususnya kota Medan, membuat

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang prevalensi trauma gigi permanen

anterior pada anak. Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Medan Barat dan

Kecamatan Medan Sunggal yang dipilih secara random dari 21 kecamatan di Kota

(19)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan Umum

1. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17

tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal ?

2. Bagaimana etiologi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17

tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal ?

3. Bagaimana perawatan yang dilakukan anak usia 15-17 tahun yang telah

mengalami trauma gigi permanen anterior di Kecamatan Medan Barat dan Medan

Sunggal ?

Rumusan Khusus

1. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17

tahun berdasarkan usia di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal ?

2. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17

tahun berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal ?

3. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17

tahun berdasarkan klasifikasi trauma gigi di Kecamatan Medan Barat dan Medan

Sunggal?

4. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17

tahun berdasarkan elemen gigi di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal ?

5. Berapakah prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17

tahun berdasarkan tempat terjadinya trauma di Kecamatan Medan Barat dan Medan

Sunggal ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia

15-17 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

2. Untuk mengetahui etiologi trauma gigi permanen anterior pada anak usia

(20)

3. Untuk mengetahui perawatan yang dilakukan anak usia 15-17 tahun yang

telah mengalami trauma gigi permanen anterior di Kecamatan Medan Barat dan

Medan Sunggal.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia

15-17 tahun berdasarkan usia di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

2. Untuk mengetahui prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia

15-17 tahun berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Medan Barat dan Medan

Sunggal.

3. Untuk mengetahui prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia

15-17 tahun berdasarkan klasifikasi trauma gigi di Kecamatan Medan Barat dan

Medan Sunggal.

4. Untuk mengetahui prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia

15-17 tahun berdasarkan elemen gigi di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

5. Untuk mengetahui prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia

15-17 tahun berdasarkan tempat terjadinya trauma di Kecamatan Medan Barat dan

Medan Sunggal.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan gigi untuk merencanakan

program penyuluhan kesehatan mengenai trauma gigi pada anak remaja terkait upaya-

upaya pencegahan dan penanggulangan pendahuluan pada trauma gigi yang harus

dilakukan oleh remaja.

2. Bagi peneliti untuk mengetahui besar prevalensi trauma gigi yang terjadi

pada usia anak.

3. Sebagai bahan acuan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian

(21)

4. Sebagai masukan kepada remaja mengenai trauma gigi sehingga mereka

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prevalensi dan Etiologi

Trauma gigi dapat diartikan sebagai kerusakan yang mengenai gigi dan

struktur jaringan periradikuler, dapat memberikan dampak pada pulpa, dengan atau

tanpa kerusakan mahkota atau akar, atau pada kasus yang parah dapat terjadi

perpindahan posisi gigi.8 Trauma gigi dapat menjadi hal yang menakutkan dan

mengkhawatirkan bagi anak maupun orang tua, karena trauma gigi dapat melibatkan

kerusakan atau kehilangan dari gigi yang terlibat dan akan dapat mempengaruhi fisik,

estetik dan psikologi anak.Jika trauma gigi terjadi pada saat anak mulai menyadari

tentang penampilan, maka keadaan tersebut akan mengurangi rasa percaya diri dan

anak mencoba untuk tidak tersenyum dikarenakan hal tersebut.11 Trauma yang

mengenai gigi anterior juga akan membuat anak susah untuk menggigit, kesulitan

dalam mengucapkan kalimat yang jelas dan akan merasa malu untuk memperlihatkan

giginya.12,13

Studi epidemiologi Caldas dan Burgos cited in Kumar tahun 2001 menunjukkan bahwa trauma gigi merupakan masalah yang signifikan terhadap anak

dimasa yang akan datang dikarenakan insidennya yang akan melewati insiden karies

dan penyakit periodontal. Menurut Andreasen, trauma yang terjadi pada rongga mulut

merupakan cedera urutan keempat dari cedera tubuh lainnya diantara kelompok usia

7-30 tahun.12 Prevalensi trauma gigi permanen juga tinggi di berbagai negara dan

dilaporkan juga bahwa di Amerika pada tahun 1997 pengalaman trauma sampai 22%

terjadi sebelum anak tersebut meninggalkan bangku sekolah.6

Survei mengenai trauma gigi telah dilakukan di berbagai wilayah di dunia pada

tahun 2005-2010. Artun et al tahun 2005 melakukan survei pada anak usia 13-14

tahun di Kuwait, mendapati bahwa sebanyak 14,9% dari 1583 anak mengalami trauma

pada gigi permanennya. Survei di Taiwan juga ditemukan prevalensi trauma gigi

(23)

Tabel 1. Prevalensi trauma gigi permanen di berbagai studi yang berbeda. 11

Trauma gigi dapat terjadi disepanjang hidup dan sering mengenai anak.

Trauma gigi pada anak sering dikarenakan terjatuh, berolahraga, kecelakaan lalu lintas

dan beberapa disebabkan oleh kekerasan. Diberbagai literatur menunjukkan bahwa

anak usia sekolah yaitu usia 7-15 tahun merupakan risiko tinggi terhadap trauma gigi

permanen.13,14 Besarnya overjet dengan protrusi gigi insisivus sentralis maksila dan

penutupan bibir yang tidak sempurna merupakan keadaan rongga mulut menjadi faktor

predisposisi terhadap terjadinya trauma gigi. Studi melaporkan bahwa trauma gigi

terjadi dua kali lebih sering pada anak dengan protrusi gigi insisivus dibandingkan

anak dengan oklusi normal.7

Trauma gigi juga dapat terjadi akibat faktor tidak sengaja maupun karena

faktor disengaja. Literatur Internasional tentang trauma gigi menunjukkan bahwa

terjatuh dan bertubrukan pada saat olahraga menjadi penyebab yang paling umum

dikalangan remaja. US Departement Of Health and Human Service cited in Glendor melaporkan kejadian trauma gigi kira-kira mencapai 33% dan 19% trauma kepala dan

wajah yang dilaporkan berhubungan dengan olahraga. Tuli et al cited in Glendor melaporkan bahwa 32,2% pasien yang datang ke klinik di universitas juga terkena

trauma gigi karena olahraga, selain itu kecelakaan lalu lintas dapat terjadi pada pejalan

kaki, pengendara sepeda, mobil dan kendaraan lainnya. Gassner et al cited in Glendor melaporkan bahwa anak yang terkena kecelakaan lalu lintas dua kali lipat lebih

(24)

saat bersepeda. Rumah dan lingkungan sekitar merupakan tempat yang paling sering

terjadinya trauma gigi pada anak usia pra-sekolah dan anak usia sekolah.7,14

Penggunaan gigi yang tidak semestinya juga menjadi salah satu faktor dalam

trauma gigi. Sebagian besar orang menggunakan gigi mereka sebagai alat untuk

membuka jepitan rambut, memperbaiki peralatan elektronik, memotong atau

memegang benda dan juga membuka botol dengan gigi. Ditemukan bahwa 18,7%

trauma gigi disebabkan karena penggunaan gigi yang tidak tepat. Penyebab trauma

gigi lainnya dapat disebabkan keterbatasan fisik atau dapat juga dikarenakan

menderita epilepsi dan cerebral palsi. Alsarheed et al cited in Glendor menunjukkan bahwa pada anak dengan gangguan pendengaran dan penglihatan mempunyai risiko

terkena trauma gigi yang lebih besar. Prevalensi trauma gigi pada anak yang

mempunyai gangguan penglihatan sudah cukup tinggi yaitu sebesar 36,4%. Hal ini

disebabkan pada anak yang mempunyai gangguan pendengaran, mereka masih bisa

bermain dan bergerak lebih bebas daripada anak dengan dengan gangguan

penglihatan.7,14

Kekerasan fisik merupakan hal paling tragis yang dapat menimpa anak dan

daerah wajah paling sering menjadi sasarannya. Da Fonseca et al cited in Glendor menemukan 75% dari seluruh anak yang datang ke rumah sakit karena kekerasan fisik

di Amerika Serikat menderita trauma pada kepala, wajah, mulut atau lehernya. Studi di

Inggris 62% dari seluruh trauma diwajah tersebut dikarenakan pukulan. Kekerasan

juga merupakan hal yang terlihat sebagai penyebab trauma gigi pada usia 7-18 tahun

dan prevalensinya mencapai 5% di negara Nord-Trondelag dan 9% di ibu kota Oslo,

Norway. Pada usia 16-18 tahun kekerasan dilaporkan menjadi penyebab langsung

trauma dan prevalensinya mencapai 23%.7,14

Survei dari berbagai studi memperlihatkan tingginya persentasi penyebab dari

beberapa kelompok usia pada anak. Di Jepang, anak usia 6-18 tahun terjatuh

merupakan penyebab terjadinya trauma sebesar 37,7% dan diikuti oleh olahraga yaitu

sekitar 29,2%. Suvei di Brazil, tahun 2007 penyebab trauma terbesar gigi anak usia 12

tahun adalah terjatuh sebesar 27,3%. Survei di Inggris dan Iraq juga diperoleh hasil

(25)

Tabel 2. Frekuensi penyebab trauma gigi (dalam persen)14

Wilayah Tahun Usia Jatuh Olahraga Kecelakaan

lalu lintas

2.2 Klasifikasi Trauma Gigi

Klasifikasi yang direkomendasikan dari klasifikasi Andreasen yang diadopsi

oleh World Health Organization (WHO) dalam Application of International Classification of Disease to Dentistry and Stomatology baik gigi sulung dan gigi permanen, dibagi berdasarkan kerusakan jaringan keras gigi dan pulpa, kerusakan

pada jaringan periodontal, kerusakan pada tulang pendukung serta kerusakan pada

gingiva atau jaringan lunak rongga mulut adalah sebagai berikut : 2,7

2.2.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa terdiri atas :

1) Retak mahkota (enamel infraction) yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna (retak) pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal maupun arah

vertikal.

2) Fraktur enamel yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) yaitu fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

3) Fraktur enamel-dentin (uncomplicated crown fracture) yaitu fraktur mahkota gigi yang mengenai lapisan enamel dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.

(26)

5) Fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown- root fracture) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin, sementum tanpa melibatkan

pulpa.

6) Fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown- root fracture) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin, sementum dan pulpa.

7) Fraktur akar (root fracture) yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum dan pulpa.7

Gambar 1. Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi danPulpa 15

2.2.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

Kerusakan pada jaringan periodontal terdiri atas :

1) Konkusi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi tanpa adanya

kegoyangan atau perubahan posisi gigi, yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap

tekanan dan perkusi.

2) Subluksasi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi dengan adanya

kegoyangan dan tanpa perubahan posisi gigi.

3) Luksasi ekstrusi yaitu pergerakan sebagian gigi keluar dari soketnya sehingga gigi

terlihat lebih panjang.

4) Luksasi yaitu perubahan letak gigi ke arah labial, palatal maupun lateral yang

(27)

5) Luksasi intrusi yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar yang menyebabkan

kerusakan alveolar dan gigi akan terlihat lebih pendek .

6) Avulsi yaitu pergerakan seluruh gigi keluar dari soketnya.7

Gambar 2. Kerusakan pada Jaringan Periodontal 15

2.2.3 Kerusakan pada Tulang Pendukung

Kerusakan pada tulang pendukung terdiri atas:

1) Kerusakan soket alveolar yaitu kerusakan dari soket alveolar, pada kondisi ini

dijumpai intrusi.

2) Fraktur dinding soket alveolar maksila dan mandibula yaitu fraktur tulang alveolar

yang melibatkan dinding soket labial atau lingual dibatasi oleh bagian fasial atau oral

dari dinding soket.

3) Fraktur prosessus alveolaris maksila dan mandibula yaitu fraktur yang mengenai

prosessus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolaris gigi.

4) Fraktur tulang alveolar yaitu fraktur tulang alveolar maksila atau mandibula yang

(28)

Gambar 3. Kerusakan pada Tulang Pendukung 15

2.2.4 Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut terdiri atas:

1) Laserasi yaitu suatu luka terbuka pada jaringan lunak rongga mulut yang biasanya

disebabkan oleh benda tajam.

2) Kontusio yaitu memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan

menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah

mukosa.

3) Abrasi yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau

goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah dan lecet.7

2.3 Riwayat, Pemeriksaan Klinis dan Diagnosis

Informasi yang berhubungan dengan trauma yang terjadi harus diperoleh

secara lengkap untuk merencanakan perawatan dan menentukan prognosis. Riwayat

pasien berupa riwayat dental dan riwayat medis harus ditanyakan oleh dokter gigi

kepada pasien. Penting bagi dokter gigi untuk menanyakan kapan, dimana dan

bagaimana trauma gigi tersebut terjadi. Riwayat dental berupa kapan trauma terjadi

menunjukkan rentang waktu antara trauma dan perawatan yang akan mempengaruhi

prognosis dari trauma avulsi, luksasi, fraktur mahkota (dengan atau tanpa keterlibatan

pulpa) dan fraktur dento-alveolar. Dimana trauma terjadi dapat memperkirakan

kebutuhan akan anti tetanus serum. Bagaimana trauma terjadi untuk mengidentifikasi

jenis trauma yang dialami serta trauma lain yang berkaitan. Penting ditanyakan apakah

(29)

dan gangguan pandangan mata. Riwayat medis yang berhubungan dan dapat

mempengaruhi perawatan yang dilakukan adalah penyakit jantung kongenital, demam

rematik, immuno supresi berat. Gangguan perdarahan harus menjadi perhatian utama

jika terjadi laserasi jaringan lunak dan avulsi atau luksasi. Riwayat tentang alergi obat

juga harus ditanyakan karena pada kasus trauma gigi tertentu pada anak juga harus

diberikan antibiotik dan obat lainnya. 16-19

Pemeriksaan klinis berupa pemeriksaan ekstraoral dan pemeriksaan intraoral

serta pemeriksaan penunjang radiografi. Pemeriksaan ekstraoral dilihat adakah

pembengkakan, memar atau laserasi jaringan lunak yang mungkin dapat menunjukkan

kerusakan tulang dan trauma gigi. Pemeriksaan intraoral melihat adanya mobiliti gigi

yang mungkin dapat mengetahui adanya fraktur akar, perubahan posisi gigi atau

fraktur dento-alveolar. Perkusi untuk menunjukkan adanya cedera pada jaringan

periapeks seperti fraktur akar. Melihat perubahan warna gigi dan tes vitalitas gigi

dapat dilakukan dengan tes panas gutta perca dan tes dingin chlor etil atau tes pulpa

elektrik (EPT). Untuk memastikan adanya fraktur akar, malposisi gigi dan fraktur

tulang alveolar diperlukan pemeriksaan penunjang radiografi. 16-19

Setelah riwayat trauma, riwayat medis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

penunjang radiografi maka seorang dokter gigi dapat menegakkan diagnosis dan

menentukan rangkaian perawatan yang akan dilakukan kepada pasien. Semua

informasi tersebut dicatat dalam sebuah formulir yang nantinya berfungsi sebagai

bantuan untuk dokter gigi dalam melakukan perawatan selanjutnya.

2.4 Penanganan Darurat, Perawatan, dan Pencegahan Trauma

Trauma gigi harus dipertimbangkan sebagai keadaan darurat yang idealnya

harus dengan segera diberikan perawatan untuk mengurangi rasa sakit yang

ditimbulkan akibat trauma. Trauma gigi sering disertai oleh luka yang terpapar di

jaringan mulut, abrasi pada jaringan wajah atau bisa juga ditemukan luka tusukan.

Debridement, penjahitan dan ataupun kontrol perdarahan pada luka jaringan lunak

yang terbuka harus segera dilakukan. Penyakit gangguan perdarahan harus menjadi

(30)

Trauma gigi yang hanya menyebabkan hilangnya sebagian kecil struktur gigi

harus dilakukan perawatan dengan cara menghaluskan struktur gigi yang kasar. Pasien

harus diperiksa kembali setelah 2 minggu dan 1 bulan setelah trauma.18 Trauma yang

mengakibatkan hilangnya struktur gigi yang luas dan terpaparnya dentin memerlukan

restorasi sementara, hiperemi pulpa yang dikarenakan tekanan, suhu atau iritasi bahan

kimia juga harus di tangani. Selain itu, jika kontak normal dari gigi hilang, restorasi

sementara dapat dibuat untuk memelihara integrasi lengkung gigi, karena restorasi

permanen yang adekuat dapat bergantung pada pemeliharaan alignment yang normal dan posisi gigi itu sendiri. Perawatan yang segera dilakukan sangat penting untuk

memelihara vitalitas gigi.21

Pada infraksi enamel tidak ada perawatan khusus, tujuan perawatannya adalah

untuk memelihara keutuhan struktur dan vitalitas pulpa. Fraktur enamel dapat dengan

mengkonturing atau melakukan restorasi dengan menggunakan resin komposit

tergantung dari luas dan lokasi frakturnya. Fraktur enamel dan dentin dengan

melakukan restorasi sementara dengan semen glass ionomer dan restorasi permanen

dengan resin komposit. Jika dentin terpapar sampai kedalaman 0,5 mm, aplikasikan

kalsium hidroksida dan tutup dengan semen ionomer kaca. Fraktur enamel dentin

pulpa dapat melakukan perawatan seperti kaping pulpa, pulpotomi dan perawatan

pulpa lainnya.3

Pada mahkota akar tidak kompleks, jika gigi tidak dapat direstorasi lagi,

perawatannya adalah melakukan ekstraksi. Fraktur mahkota akar kompleks dapat

melakukan perawatan saluran akar dan perawatan pulpa lainnya. Fraktur akar

tergantung dari stabilitas dari fragmen mahkota, jika mahkota bergeser maka dapat

direposisikan kembali dan melakukan pensplinan selama 4 minggu.3

Kasus konkusi tidak memerlukan perawatan khusus. Kasus subluksasi

memerlukan perawatan seperti splin fleksibel untuk menstabilkan gigi dan digunakan

selama 2 minggu. Perawatan kasus luksasi ekstrusi dengan cara pengembalian posisi

gigi ke soket dan menggunakan splin yang fleksibel selama 2 minggu. Perawatan

luksasi intrusi dengan mereposisi gigi dan menggunakan splin yang flexibel selama 4

(31)

normal dan menstabilisasikan gigi dengan splin fleksibel selama 4-8 minggu. kontrol

berkala dilakukan pada 2 minggu pertama, 4 minggu, kemudia 6-8 minggu, setelah 6

bulan dan setelah 1 tahun.3

Kejadian trauma pada gigi sangat sulit untuk diantisipasi dikarenakan seluruh

permainan dan olahraga menjadi faktor risiko terjadinya trauma gigi. Bagaimanapun

tindakan pencegahan merupakan hal yang terbaik. American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) menyarankan untuk menggunakan alat pelindung seperti

mouthguard, alat ini dapat membantu mendistribusikan kekuatan dampak hantaman sehingga trauma yang parah dapat diminimalkan. Alat pencegah lainnya berupa helm

dan sabuk pengaman juga berperan dalam pencegahan terhadap trauma gigi.

penggunaan helm saat bersepeda dapat mengurangi resiko trauma wajah sampai 65%,

tetapi anak tersebut tetap saja mempunyai risiko tinggi terhadap trauma gigi

dikarenakan helm tidak menutupi wajah bagian bawah dan rahang bawah. Penggunaan

helm saat bersepeda tidak hanya dapat mengurangi insiden dan keparahan trauma

kepala dan otak tetapi juga mengurangi trauma wajah dan beberapa kasus trauma

(32)

2.5 Kerangka Teori

Predisposisi

Anak

Riwayat, pemeriksaan kinis dan diagnosis Perawatan Lanjutan

Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

Kerusakan pada Tulang

Pendukung Kerusakan pada Jaringan Periodontal

Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

Penanganan Darurat dan Perawatan

Pencegahan trauma gigi

Trauma gigi (Klasifikasi trauma Andreasen yang diadopsi oleh

WHO)

(33)

2.6 Kerangka Konsep

Trauma gigi permanen anterior diliat berdasarkan:

• Prevalensi

o Usia

o Jenis kelamin

o Klasifikasi trauma

gigi berdasarkan Andreasen yang diadopsi oleh WHO

o Elemen gigi

o Lokasi terjadinya

trauma

• Etiologi

(34)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada SMK Panca Budi 1 dan 2 dari Kecamatan Medan

Sunggal dan SMA Bunga Bangsa dan SMA Methodist 8 dari Kecamatan Medan

Barat.

Proposal penelitian dilakukan Desember 2013. Waktu survei sekolah dilakukan

mulai minggu kedua Februari 2014. Waktu penelitian dilakukan dari minggu ketiga

sampai minggu keempat Februari 2014. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada

minggu pertama Maret 2014. Penyusunan dan pembuatan laporan dilakukan pada

minggu kedua Maret 2014.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak Sekolah Menengah baik

Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota

Medan.

Sampel dalam penelitian ini adalah anak SMA pada dua SMK di Kecamatan

Medan Sunggal dan dua SMA di Kecamatan Medan Barat yang telah ditetapkan oleh

peneliti. Metode pengambilan sampel dilakukan secara multistage sampling, yaitu terlebih dahulu memilih secara random satu kecamatan lingkar dalam dan satu

kecamatan lingkar luar dari 21 kecamatan sekotamadya Medan. Selanjutnya dilakukan

random untuk mendapatkan dua SMA/K di masing- masing kecamatan lingkar dalam

dan lingkar luar. Dari dua SMK dan SMA tersebut diambil anak usia 15 – 17 tahun

(35)

Kriteria Inklusi dan Ekslusi Sampel

a. Kriteria Inklusi

1. Siswa/i usia 15-17 tahun yang sehat jasmani di dua SMK di Kecamatan

Medan Sunggal dan 2 SMA di Kecamatan Medan Barat.

2. Siswa/i yang bersedia menjadi subyek penelitian.

b. Kriteria Eksklusi

1. Siswa/i yang tidak hadir saat penelitian berlangsung.

2. Siswa/i yang tidak mengembalikan informed concent.

Untuk mendapatkan besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan jumlah sampel untuk estimasi proporsi. Penggunaan rumus

dibawah ini dilakukan karena penelitian ini menggunakan skala pengukuran

kategorikal yaitu skala nominal. Skala nominal tidak mempunyai makna besaran,

tetapi hanya sekedar pemberian label.

n = Zα2.P.Q

P : proporsi kategori variabel yang diteliti = 19,2%

Q : 1- P = 1- 0,192 = 0,808

d : presisi (0,05)

Dari rumus tersebut, presisi penelitian berarti kesalahan penelitian yang masih

bisa diterima untuk memprediksi proporsi yang akan diperoleh yaitu 5% karena

peneliti ingin mendapatkan hasil penelitian yang lebih tepat. Jadi, besar sampel yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 240 orang. Maka jumlah smpel

(36)

didistribusikan merata berdasarkan usia dan jenis kelamin, sehingga pada masing –

masing kecamatan diperlukan 132 orang.

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian ini adalah:

a. Jenis kelamin

b. Usia

c. Klasifikasi trauma gigi Andreasen yang diadopsi oleh WHO.

d. Elemen gigi

e. Etiologi

f. Perawatan yang dilakukan

g. Lokasi terjadinya trauma

Tabel 3. Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Operasional Cara ukur Alat ukur

Jenis kelamin Laki- laki dan perempuan Observasi Kuesioner

Usia Ulang tahun terakhir Wawancara Kuesioner

Klasifikasi

1. Jaringan keras gigi dan ulpa:

a). Fraktur enamel yang tidak kompleks adalah fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

b). Fraktur enamel-dentin yaitu fraktur pada mahkota

gigi yang hanya mengenai enamel gigi dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.

(37)

2. Kerusakan pada jaringan periodontal:

uksasi ekstrusi adalah pergerakan sebagian gigi keluar dari soketnya sehingga gigi terlihat lebih

panjang.

uksasi instrusi adalah pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar yang menyebabkan kerusakan alveolar dan gigi

terlihat lebih pendek .

vulsi adalah yaitu pergerakan seluruh gigi keluar dari soketnya.

Trauma gigi permanen anterior

Kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi atau jaringan pendukung karena sebab mekanis pada gigi insisivus sentral, insisivus lateral dan kaninus rahang atas dan rahang bawah.

Pemeriksaan dengan sonde dan kaca mulut

Etiologi Penyebab dari trauma gigi yaitu karena terjatuh,olahraga,kecelakaan kendaraan, berkelahi, menggigit-gigit pipet, makanan keras dan benda keras.

Wawancara Kuesioner

Tindakan yang dilakukan

kan yang dilakukan ketika mengalami trauma gigi diantaranya:

dibiarkan saja, dibawa ke dokter umum, dibawa ke dokter gigi (dilakukan perawatan tambalan, dilakukan pencabutan, displinting), dilakukan

pengamatan terhadap gigi yang mengalami trauma atau observasi, dan lain-lain (sebutkan).

Wawancara Kuesioner

Lokasi terjadinya trauma

Tempat anak mengalami trauma gigi yaitu : di rumah, di sekolah, di tempat olahraga, di jalan, dan di tempat lain (kebiasaan buruk)

(38)

3.5 Metode Pengumpulan Data/Pelaksanaan Penelitian

Metode pengumpulan data yang akan digunakan peneliti adalah pemeriksaan

klinis gigi anterior permanen yang mengalami trauma dan melakukan wawancara

dengan bantuan lembar pemeriksaan.

Adapun tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Peneliti melakukan pemilihan kecamatan secara random, diambil satu

kecamatan lingkar dalam dan satu kecamatan lingkar luar dari 21 kecamatan di Kota

Medan, terpilihlah Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal.

2. Peneliti menentukan empat Sekolah Menengah yang akan dijadikan lokasi

penelitian dengan menggunakan teknik random, dimana setiap nama sekolah

dimasing- masing kecamatan ditulis dikertas dan dipilih salah satu diantaranya,

masing-masing kecamatan terdapat 2 sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian.

3. Peneliti mengurus ethical clearance di Komisi Etik Fakultas Kedokteran USU, setelah mendapatkan surat izin dari komisi etik.

4. Penelitian dilakukan oleh empat orang pemeriksa yang telah melakukan

kalibrasi sebanyak dua kali untuk mendapatkan validitas dan reabilitas dengan nilai

kappa 0,8 – 0.9. Pemeriksa merupakan mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran

Gigi Universitras Sumatera Utara.

5. Peneliti mendatangi setiap lokasi penelitian satu persatu untuk meminta izin

dilakukannya penelitian, kemudian peneliti menginformasikan waktu untuk

melakukan penelitian kepada pihak sekolah.

6. Pada waktu yang ditentukan, peneliti memberikan surat informed concent

kepada masing- masing murid dan juga orang tua dan menginformasikan mengenai

penelitian. Siswa yang setuju dijadikan subjek penelitian atas izin orang tuanya juga,

akan dilakukan pemeriksaan klinis dan melakukan wawancara pada siswa.

7. Pihak sekolah diminta untuk menyediakan sebuah ruangan yang memiliki

penerangan yang cukup dan di dalamnya terdapat minimal empat buah meja dan

delapan buah kursi. Terdapat juga minimal empat buah tong sampah. Penelitian

(39)

8. Peneliti mewawancarai anak perihal identitas, pengalaman trauma gigi, dan

lokasi terjadinya trauma gigi permanen anterior. Pemeriksaan trauma gigi dilakukan

dengan menggunakan kaca mulut dan sonde tajam setengah lingkaran dan dibantu

penerangan dengan cahaya senter dan gigi sebelumnya dikeringkan dengan kain kasa.

Peneliti juga menyediakan nierbekken dan cairan disinfektan untuk membersihkan alat.

9. Hasil pemeriksaan dicatat pada lembar pemeriksaan yang tersedia. Lembar

pemeriksaan yang telah selesai dapat dikumpul untuk selanjutnya diolah dan dianalisis

oleh peneliti.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1 Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan diolah secara komputerisasi

yang meliputi :

a) Editing : kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau

kuesioner. Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi data untuk melihat kebenaran

pengisian dan kelengkapan jawaban kuesioner.

b) Coding : untuk mengubah data yang telah terkumpul ke dalam bentuk yang

lebih ringkas dengan menggunakan kode. Proses pengkodean dilakukan berdasarkan

variabel- variabel di dalam penelitian ini.

c) Data entry : mengisi kolom- kolom lembar kode sesuai dengan jawaban

masing- masing pertanyaan.

d) Saving : proses penyimpanan data sebelum data diolah atau dianalisis.

e) Tabulasi : merupakan proses menyusun data dalam bentuk tabel, selanjutnya

diolah menggunakan bantuan komputer.

f) Cleaning : kegiatan pengetikan kembali data yang sudah dientry untuk

(40)

3.6.2 Analisis Data

Data diolah secara deskriptif yaitu data univarian, dilakukan terhadap tiap

variabel dari hasil penelitian dan dihitung dalam bentuk persentase. Data tersebut

(41)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Responden berasal dari SMK Panca Budi 1, SMK Panca Budi 2 di Kecamatan

Medan Sunggal dan SMA Bunga Bangsa, SMA Methodist 8 di Kecamatan Medan

Barat. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 264 siswa/i.

4.1 Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior

Hasil penelitian ini memperoleh prevalensi anak yang terkena trauma gigi

permanen anterior sebanyak 77 anak (29,2%) dan anak yang tidak terkena trauma gigi

permanen anterior yaitu 187 anak (70,8%).

Tabel 4. Prevalensi trauma gigi permanen anterior

Kelompok Frekuensi

(n)

Persentase (%) Trauma gigi

Tidak trauma gigi

77

187

29,2

70,8

Total 264 100

Penelitian ini menunjukkan trauma gigi permanen anterior paling sering terjadi

pada anak laki-laki yaitu 42 anak (15,9%) dibandingkan dengan anak perempuan 35

anak (13,3%). Trauma gigi permanen anterior paling sering terjadi pada anak usia 15

tahun yaitu 35 anak (13,3%), dibandingkan anak usia 16 tahun 24 anak (9,1%) dan

(42)

Table 5. Prevalensi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Penelitian ini menunjukkan bahwa trauma gigi permanen anterior lebih sering

terjadi pada anak laki-laki usia 15 tahun yaitu 23 anak (8,7%) dibandingkan dengan

anak laki-laki usia 16 tahun yaitu 8 anak (3,0%) dan anak laki-laki usia 17 tahun 11

anak (4,2%). Siswa perempuan usia 16 tahun memiliki persentase tertinggi yaitu 16

anak (6,0%) dibandingkan dengan siswa perempuan usia 15 dan 17 tahun masing-

(43)

Tabel 6. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Penelitian ini menunjukkan trauma gigi permanen anterior paling sering

menyebabkan fraktur enamel yaitu sebanyak 87 gigi (72,5%), diikuti dengan fraktur

enamel-dentin sebanyak 18 gigi (15,0%), luksasi ekstrusi 6 gigi (5,0 %), fraktur

mahkota kompleks sebanyak 4 gigi (3,3%), luksasi intrusi 4 gigi (3,3 %) dan avulsi

(44)

Tabel 7. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan klasifikasi trauma gigi

Andreasen yang diadopsi oleh WHO.

Penelitian ini menunjukkan bahwa elemen gigi yang paling sering terkena

trauma gigi permanen anterior adalah gigi insisivus sentralis maksila kanan yaitu

sebanyak 37 gigi (30,83%), diikuti oleh gigi insisivus sentralis maksila kiri yaitu

sebesar 33 gigi (27,5%), gigi Insisivus lateralis maksila kanan dan gigi Insisivus

lateralis mandibula kiri sebanyak 10 gigi (8,33%), gigi insisivus sentralis mandibula

kanan 9 gigi (7,5%), gigi insisivus sentralis mandibula kiri dan gigi insisivus lateralis

mandibula kanan 6 gigi (5,0%), gigi insisivus lateralis maksilaa kiri 4 gigi (3,33%),

gigi kaninus maksila kanan 3 gigi (2,5%), gigi kaninus mandibula kanan dan kiri

yang terkena hanya 1 gigi (0,84%) dan gigi kaninus maksila kiri tidak ada dijumpai

(45)

Tabel 8. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan elemen gigi.

Insisivus sentralis maksila kanan

Insisivus lateralis maksila kanan

Kaninus maksila kanan

Insisivus sentralis maksila kiri

Insisivus lateralis maksila kiri

Kaninus maksila kiri

Insisivus sentralis mandibula kiri

Insisivus lateralis mandibula kiri

Kaninus mandibula kiri

Insisivus sentralis mandibula kanan

Insisivus lateralis mandibula kanan

Kaninus mandibula kanan

Hasil penelitian ini, trauma gigi permanen anterior paling sering melibatkan

hanya 1 elemen gigi yaitu 40 anak (51,9%), diikuti oleh 2 elemen gigi yaitu 32 anak

(41,6%), 3 elemen gigi 4 anak (5,2%) dan 4 elemen gigi 1 anak (1,3%) (Tabel 9).

Table 9. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan jumlah trauma gigi.

(46)

Penelitian ini menunjukkan bahwa trauma gigi permanen anterior paling sering

terjadi di sekolah yaitu 33 anak (42,9%) diikuti oleh rumah yaitu 19 anak (24,7%), di

jalan sebanyak 14 anak (18,2%), tempat lainnya sebanyak 7 anak (9,1%) dan tempat

olahraga sebanyak 4 anak (5,2%) (Tabel 10).

Tabel 10. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan lokasi terjadinya

trauma.

Lain- lain (kebiasaan buruk)

19

Penelitian ini menunjukkan bahwa trauma gigi permanen anterior paling sering

dikarenakan jatuh yaitu 15 anak (19,5%), kecelakaan kendaraan sebanyak 12 anak

(15,6%), penyalahgunaan gigi seperti menggigit makanan keras sebanyak 13 anak

(16,9%), menggigit pipet 12 anak (15,6%), menggigit benda keras 12 anak (15,6%),

bermain 9 anak (11,7%), olahraga 4 anak (5,2%) dan berkelahi tidak ditemukan (Tabel

(47)

Tabel 11. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan etiologi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa 70 anak (90,9%) tidak melakukan

perawatan apapun pada giginya, dan sebanyak 7 anak (9,1%) melakukan perawatan

tambalan (Tabel 12).

Tabel 12. Distribusi trauma gigi permanen anterior berdasarkan perawatan. Etiologi

Dibawa ke dokter gigi untuk:

(48)

-BAB 5

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh prevalensi trauma gigi permanen

anterior pada anak di kecamatan Medan Sunggal yang diwakili oleh SMK Panca Budi

1 dan SMK Panca Budi 2 dan dari kecamatan Medan Barat yang diwakili oleh SMA

Bunga Bangsa dan SMA Methodist 8 adalah sebanyak 77 anak (29,2%) (Tabel 4).

Persentase ini termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Huang et al di

Taiwan dan Kumar et al mendapatkan persentase trauma gigi permanen anterior yaitu

sebesar 19,2% dan 14,4%. Perbedaan ini mungkin dapat terjadi karena perbedaan

gaya hidup yang dilatarbelakangi oleh budaya, perilaku, sosio-ekonomi dan variasi

lingkungan. 4,6,11

Peran status sosio-ekonomi terhadap tingkat kejadian trauma gigi masih

belum terlalu jelas, akan tetapi beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa populasi

dengan status sosio-ekonomi rendah berhubungan dengan tingkat kejadian trauma

gigi, hal ini dapat terjadi karena pengawasan yang tidak memadai dan kurangnya

pengetahuan yang berkaitan tentang pencegahan terhadap trauma gigi pada populasi

tersebut.5 Sesuai dengan pernyataan diatas, di Indonesia populasi dengan

sosio-ekonomi rendah lebih sering terkena trauma gigi dikarenakan kurangnya pengawasan

dan pengetahuan tentang pencegahan terhadap trauma gigi. Penelitian lain juga

menyebutkan bahwa trauma gigi banyak terjadi pada populasi sosio-ekonomi yang

meningkat, yang dapat membeli kendaraan dan juga mendapatkan fasilitas olahraga

akan tetapi belum cukup mendapatkan pengetahuan mengenai keselamatan untuk

berkendara maupun berolahraga, kemudian sesuai dengan pernyataan diatas pula

sebagian populasi di Indonesia yang sosio-ekonominya meningkat terlihat mampu isplinting

-iobservasi

(49)

untuk membeli kendaraan tetapi kurang mengerti akan upaya keselamatan dalam

berkendara. 6,8

Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase trauma gigi anterior tertinggi

terdapat pada siswa usia 15 tahun yaitu 35 anak (13,3%) (Tabel 5). Persentase ini

lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Kumar et al yang mendapatkan

persentase anak usia 15 tahun sebesar 15,9% dan persentase terendah oleh anak usia

17 tahun. Tingginya persentase pada anak remaja dapat juga disebabkan oleh

kurangnya edukasi tentang pencegahan terhadap trauma gigi.10 Edukasi tentang

pencegahan terhadap trauma tersebut dapat berupa tentang pemakaian mouthguard

pada saat berolahraga, pemakaian orthodonti pada anak dengan overjet yang besar,

memilih tempat olahraga yang aman dan selalu berhati-hati saat bermain, berkendara

maupun berolahraga. Rendahnya prevalensi trauma gigi pada anak usia 17 tahun

dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh perilaku yang lebih berhati-hati serta

pengetahuan yang lebih banyak tentang pencegahan trauma gigi pada usia tersebut.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Andreasen dan Ravn juga

melaporkan bahwa (22%) anak memiliki pengalaman trauma gigi sebelum mereka

meninggalkan bangku sekolah.6 Hasil persentase trauma gigi berdasarkan usia pada

penelitian ini bukan menggambarkan waktu terjadinya trauma gigi tetapi usia

responden ketika penelitian ini berlangsung hal ini disebabkan pada saat wawancara

dilakukan untuk menanyakan kapan trauma gigi terjadi, siswa/i tidak mengetahui

dengan pasti kapan trauma gigi tersebut terjadi.

Trauma gigi permanen anterior lebih banyak terjadi pada anak laki-laki yaitu

42 anak (15,9%) dibandingkan dengan anak perempuan 35 anak (13,3%) (Tabel 5),

akan tetapi hasil penelitian mendapatkan bahwa siswa laki-laki usia 15 tahun

memiliki persentase tertinggi yaitu 23 anak (8,7%) (Tabel 6). Hasil penelitian ini juga

tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al (2011) yang

mendapatkan persentase lebih besar pada anak laki-laki yaitu 16,2% dibandingkan

pada anak perempuan yaitu 12,7%.12 Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan

dengan penelitian Jokic et al (2009) yang mendapatkan persentase pada anak laki-laki

(50)

dikarenakan anak laki-laki bersifat lebih aktif dan sering mengikuti olahraga yang

agresif daripada anak perempuan.4,5 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Glendor

dan Andreassen bahwa laki-laki lebih banyak dua kali terkena trauma gigi

dibandingkan dengan anak perempuan.7

Fraktur enamel merupakan kasus yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak

87 gigi (72,5%), diikuti oleh fraktur enamel dentin yaitu sebanyak 18 gigi (15,0%),

luksasi ekstrusi 6 gigi (5,0%), fraktur mahkota kompleks 4 gigi (3,3%), luksasi intrusi

4 gigi (3,3%) dan avulsi 1 gigi (0,8%) (Tabel 7). Persentase pada penelitian ini lebih

tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Kumar et al yang memperoleh fraktur

enamel sebanyak 11,5% namun baik pada penelitian ini dan penelitian Kumar et al

sama-sama mendapatkan fraktur enamel sebagai persentase tertinggi. Persentase

penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajlouni et al

yang mendapatkan fraktur enamel yaitu sebesar 59,50%, diikuti oleh fraktur enamel

dentin sebesar 13,72%.23 Jokic et al juga memperoleh persentase yang tinggi pada

fraktur enamel yaitu 37,2% dan Carvalho et al juga mendapati persentase yang

tertinggi pada fraktur enamel yaitu sebesar 42,8%.4,11,12 Hal ini dikarenakan trauma

yang dialami sebagian besar anak tersebut masih ringan, dimana keparahan trauma

gigi tergantung dari bagaimana kecepatan, arah dan seberapa besar gaya yang terjadi.7

Hasil penelitian ini mendapatkan jumlah gigi yang terkena trauma sebanyak

120 gigi. Gigi insisivus sentralis maksila kanan merupakan elemen gigi yang paling

sering terkena trauma yaitu sebanyak 37 gigi (30,83%), diikuti oleh insisivus sentralis

maksila kiri yaitu sebanyak 33 gigi (27,5%). Gigi insisivus lateralis maksila kanan

dan gigi insisivus lateralis mandibula kiri sebanyak 10 gigi (8,33%) serta gigi

insisivus sentralis mandibula kanan sebanyak 9 gigi (7,5%) (Tabel 8). Hal yang sama

didapati pada penelitian yang dilakukan oleh Ajlouni et al bahwa gigi yang paling

sering terkena trauma gigi adalah insisivus sentralis maksila kanan dengan persentase

sebesar 44,03% diikuti oleh insisivus sentral maksila kiri sebesar 40,10% dan

persentase tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini.23

Gigi insisivus paling sering terkena trauma gigi dikarenakan gigi tersebut

(51)

mengenai gigi tersebut. Faktor lain yaitu overjet insisal yang mencapai 3-6 mm,

protrusi gigi anterior dan penutupan bibir yang kurang sempurna memiliki risiko

lebih besar terhadap trauma gigi dibandingkan dengan posisi inklinasi yang normal.23

Pernyataan tersebut juga didukung oleh Berman et al yang juga menyatakan bahwa

maloklusi dan kurangnya proteksi dari bibir pada anak akan berisiko lima kali lipat

terkena trauma gigi.5 Pernyataan diatas juga dijumpai oleh peneliti pada beberapa

anak yang mengalami trauma gigi permanen anterior karena adanya maloklusi,

namun hal tersebut menjadi kekurangan dalam penelitian ini karena tidak adanya

pencatatan mengenai kondisi maloklusi pada anak.

Hasil penelitian ini didapat bahwa trauma gigi paling sering melibatkan hanya

1 gigi saja yaitu sebanyak 40 orang (51,9%), diikuti dengan 2 elemen gigi yaitu 32

orang (41,6%), 3 elemen gigi 4 orang (5,2%) dan 4 elemen 1 orang (1,3%) (Tabel 9).

Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Ajlouni et al yang mendapati trauma yang

hanya melibatkan 1 gigi sebagai persentase tertinggi yaitu sebesar 52,29%, diikuti

oleh 2 elemen gigi sebesar 40,16% dan persentase tersebut lebih tinggi bila

dibandingkan dengan hasil penelitian ini.23

Sekolah merupakan lokasi trauma yang memiliki persentase tertinggi yaitu

sebesar 42,7%. Persentase tertinggi berikutya disusul oleh trauma yang terjadi di

rumah sebesar 24,7% (Tabel 10). Hal tersebut dapat terjadi karena sebagian besar

aktifitas siswa SMA lebih banyak dilakukan di rumah maupun di sekolah. Pernyataan

tersebut sesuai dengan Bastone et al juga melaporkan bahwa trauma gigi permanen

paling sering terjadi di rumah dan disekolah. Tempat lain yang menjadi lokasi

terjadinya trauma gigi pada penelitian ini yaitu di jalan dan tempat olah raga.10

Pernyataan ini sesuai dengan Glendor et al melaporkan bahwa trauma paling sering

terjadi di rumah, di sekolah setelah itu di jalan, di tempat olahraga dan tempat-tempat

umum lainnya.7

Hasil penelitian ini menemukan terjatuh sebagai penyebab utama terjadinya

trauma gigi permanen anterior yaitu sebanyak 15 anak (19,5%), diikuti dengan

kecelakan kendaraan yang memiliki persentase sebanyak 12 anak (15,6%) (Tabel 11).

(52)

sering mengakibatkan trauma gigi dan persentasenya berkisar antara 26%-82%, diikuti

oleh olahraga. Persentase tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian

ini.5 Sadozai et al pada hasil penelitiannya menemukan terjatuh sebagai penyebab

utama trauma gigi,24 akan tetapi pada penelitian ini penyalahgunaan gigi seperti

menggigit benda keras dan menggigit makanan keras juga mendapatkan prevalensi

yang cukup tinggi yaitu sebesar (15,6%). Persentase ini lebih rendah jika

dibandingkan penelitian Malikaew et al cited in Glendor yang menemukan bahwa (18,7%) trauma gigi terjadi disebabkan oleh penyalahgunaan gigi. Penelitian oleh

Nicolau et al, Tapias et al, Traebert et al cited in Glendor mendapatkan prevalensi yang lebih rendah yaitu berkisar antara (3,3%-8,5%).7,14 Hal tersebut dapat terjadi

dikarenakan faktor kebiasaan dan tingkah laku individu yang berbeda-beda dan pada

penelitian ini didapatkan banyak anak dengan trauma gigi yang menggunakan giginya

untuk menggigit dan memotong benda keras.

Berdasarkan tabel 12 diperoleh bahwa 70 anak (92,6%) yang mengalami

trauma gigi hanya membiarkan giginya saja, dan hanya 7 orang (7,4%) yang

melakukan penambalan gigi namun tidak pernah lagi melakukan kontrol berkala untuk

memeriksa keadaan tambalan sehingga pada waktu penelitian terlihat tambalan sudah

terlepas. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan perawatan trauma gigi yang biasanya

rumit dan mahal.3,6 Hasil penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan

penelitian lain yang hanya mencapai 5%.4 Trauma gigi yang tidak dirawat akan

berdampak negatif pada kualitas hidup anak, dimana anak akan sulit untuk makan,

berbicara dengan jelas, kurang bersosialisi dan juga berkurangnya estetik.25 Hasil

penelitian ini terdapat 92,6% trauma gigi yang tidak dirawat, hal ini mungkin

disebabkan karena kurangnya kesadaran akan kesehatan gigi, dan dikarenakan kasus

dalam penelitian ini didominasi oleh fraktur enamel dan fraktur enamel-dentin yang

menurut mereka tidak terlalu berpengaruh pada kualitas hidupnya atau mengganggu

(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa total anak yang terkena trauma

gigi permanen anterior sebesar 29,2%. Berdasarkan jenis kelamin anak laki- laki yang

terkena trauma gigi lebih besar yaitu 15,9% dibandingkan oleh anak perempuan yaitu

13,3%. Berdasarkan usia anak 15 tahun mempunyai persentase trauma gigi tertinggi

sebesar 13,3%. Berdasarkan klasifikasi fraktur enamel memiliki persentase tertinggi

sebesar 72,5%. Berdasarkan elemen gigi insisivus sentralis maksila kanan mempunyai

persentase tertinggi sebesar 30,83%. Berdasarkan jumlah trauma gigi yang terkena

paling banyak hanya mengenai 1 gigi yaitu 51,9%. Berdasarkan lokasi sekolah

merupakan lokasi yang paling sering terjadinya trauma yaitu sebesar 42,9%.

Berdasarkan etiologi terjatuh sebagai penyebab trauma gigi sebesar 19,5%.

Berdasarkan perawatan hampir semua anak yang terkena trauma membiarkan giginya

begitu saja dan persentasenya mencapai 90,9% dan yang melakukan perawatan

tambalan hanya 7,4%. Berdasarkan pernyataan diatas didapatkan bahwa prevalensi

trauma gigi permanen anterior pada anak usia 15-17 tahun termasuk tinggi, sehingga

diperlukan suatu perhatian untuk hal tersebut.

6.2 Saran

1. Diharapkan kepada dokter gigi dan tenaga kesehatan masyarakat agar lebih

memperhatikan upaya penyuluhan dan edukasi tentang pencegahan terjadinya trauma

(54)

2. Diperlukan pengarahan tentang masalah trauma terhadap orang tua, anak

dan pihak sekolah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma gigi.

3. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar data penelitian dibuat

homogen untuk jumlah data masing-masing kelompok baik untuk jenis kelamin

maupun kelompok umur.

4. Diperlukan untuk melakukan penambahan jumlah sampel agar mendapatkan

hasil yang lebih luas dan akurat serta membuat lembar pemeriksaan yang lebih detail

(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bonini GAVC, Marcenes W, Oliviera LB, et al. Trends in the prevalence of

traumatic dental injuries in Brazilian Preschool Children. Dental Traumatology

2009; 25: 594-8.

2. Riyanti E. Penatalaksanaan trauma gigi pada anak. http:// pustaka. UNPAD.

Ac.Id/wpcontent/uploads/2010/06/penatalaksanaan_trauma_gigi_pada_anak.pdf

2010;1-27.

3. DiAngelis AJ, Andreasen JO, Ebeleseder KA, et al. International association of

dental traumatology guidelines for the managment of traumatic dental injuries: 1.

Fractures and luxations of permanent teeth. Dental Traumatology 2012; 28: 2-12.

4. Jokic NI, Bakarcic D, Majstorovic M, et al. Dental trauma in children and young

adults visiting at University Dental Clinic. Dental Traumatology 2009; 25: 84-7.

5. Berman LH, Blanco L, Cohen S. Introduction. In: Berman LH, Blanco L, Cohen S.

A clinical guide to dental traumatology: 1 st ed., Philadelphia: Mosby Elsevier

Science. 2007: 1-10.

6. Glendor U. Epidemiology of traumatic dental injuries-a 12 year review of the

literature. Dental Traumatology 2008; 24: 603-11.

7. Glendor U, Marcenes W, Andreasen JO. Classification, epidemiology and etiology.

In: Glendor U, Marcenes W, Andreasen JO. Textbook and color atlas of traumatic

injuries to the teeth, 4 th ed. Oxford: Blackwell/Munksgaard, 2007: 217-54.

8. Loomba K, Loomba A, Bains R, et al. A proposal for classification of tooth

fractures based on treatment need. Journal of Oral Science 2010;52: 517-29.

9. Cameron AC, Widmer RP, Abbot P, et al. Trauma management. In: Cameron AC,

Widmer RP, Abbot P, et,al. Handbook of pediatric dentistry: 3 th ed., Philadelphia:

(56)

10.Bastone EB, Freer TJ, Namara JRM. Epidemiology of dental trauma: A review of

the literature. Australian Dent J 2000; 45(1): 2-9.

11.Carvalho B, Franca C, Heimer M, et al. Prevalence of dental trauma among

6-7-year-old children in the City of Recife, PE, Brazil. Brazil Journal Oral Science

2012;11(1):72-5.

12.Kumar A, Bansal V, Lingappa K, et al. Prevalence of traumatic dental injuries

among 12-15-year-old schoolchildren in Ambala District, Haryana, India. Oral

Heath Prev Dent 2011; 9: 301-5.

13.Varghese RK, Argawal A, Mitra A, et al. Anterior fracture among visually impaired

individualy, India. Journal of Advanced Oral Research 2011;2: (3).

14.Glendor U. Aetiology and risk factors related to traumatic dental injuries- a review

of the literature. Dental Traumatology 2009; 25; 19-31.

15.The dental trauma guide.<http://www.dentaltraumaguide.org/Permanent_

teeth.aspx>.(17 November 2013).

16.Bakland L K, Andreasen F M, Andreasen J O. Prinsip dan praktik ilmu endodonsia:

Manajemen gigi yang terkena trauma. Alih Bahasa. Sumawinata N. Jakarta: EGC,

2008;500-21.

17.Heasman P. Pediatric dentistry 2. In: Heasman P. Master Dentistry Restorative

Dentistry, Pediatric Dentistry and Orthodontics. 2 nd ed., Philadelphia: Elsevier

Health Sience., 2009:189-214.

18.McTigue D J. Managing traumatic injuries in young permanen dentition. In:

Pinkham J.R. Pediatric Dentistry infancy through adolesence: Philadelphia: WB

Saunders Co., 2005:171-182.

19.Tsukiboshi M. Classification and examination. In: Tsukiboshi M. Treatment

planning for traumatized teeth: Japan: Quintessence Publishing Co., 2000: 9-117.

20.Andreasen FM, Andreasen JO, Tsukiboshi M. Examination and diagnosis of dental

injuries. In: Andreasen FM, Andreasen JO, Tsukiboshi M. Textbook and color atlas

of traumatic injuries to the teeth, 4 th ed. Oxford: Blackwell/ Munksgaard, 2007:

(57)

21.McDonald R E, Avery D R, Dean J A, et al. Management of trauma to the teeth and

supporting tissue. In: Dean J A, Avery D R, McDonald R E. Dentistry for the

Children Adolescent:. 9 th ed., London: Mosby Elsevier., 2011:403-40.

22.American academy of pediatric dentistry. Guideline on management of acute dental

trauma. Reference Manual 2011; 34: 230-8.

23.Ajlouni O, Jaradat T F, Rihani F B. Traumatic dental injuries presenting at pediatric

dental clinic at prince Rashid Bin Al- Hassan hospital. JRMS 2010; 17:10-15.

24.Sadozai S R, Ahmad M, Mehmood A, et al. Etiology, pattern and associated

fractures of traumatic tooth fractures. PODJ 2012;32: 522-25.

25.Marcenes W, Beiruti Al, Tayfour D, et al. Epidemiology of traumatic injuries to the

permanen incisors of 9-12 year old schoolchildren in Damascus,Syria. EMHJ 2001;

(58)

Lampiran 1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK

PREVALENSI TRAUMA GIGI PERMANEN ANTERIOR PADA ANAK USIA 15 – 17 TAHUN DI KECAMATAN MEDAN BARAT DAN MEDAN SUNGGAL

No.Kartu :

Tanggal : Pemeriksa :

I. Identitas

Nama :

1. Jenis Kelamin : 1. Laki-Laki 2. Perempuan

1.

2. Usia : (1). 15

(2). 16 (3). 17 2.

II. Riwayat

3. Pemeriksaan

13 12 11 21 22 23

(59)

Perawatan

Kriteria No. koding

Elemen gigi:

Insisivus sentral maksila kanan Insisivus lateral maksila kanan Kaninus maksila kanan

Insisivus sentral maksila kiri Insisivus lateral maksila kiri Kaninus maksila kiri

Insisivus sentral mandibula kiri Insisivus lateral mandibula kiri Kaninus maksila kiri

Gambar

Tabel 1. Prevalensi trauma gigi permanen di berbagai studi yang berbeda. 11
Tabel 2. Frekuensi penyebab trauma gigi (dalam persen)14
Tabel 3. Defenisi Operasional
Tabel 4. Prevalensi trauma gigi permanen anterior
+7

Referensi

Dokumen terkait

Prevalensi trauma gigi permanen pada anak- anak di Indonesia meskipun belum ada catatan resmi diduga cukup tinggi.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahuibesar prevalensi

Setelah mendapat penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan kepada ibu/bapak dan anak sebagai subjek penelitian yang berjudul: “Prevalensi trauma gigi sulung anterior

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi trauma gigi sulung anterior berdasarkan etiologi, lokasi kejadian, klasifikasi trauma, serta tindakan orangtua pada anak

Untuk mengetahui berapa besar frekuensi trauma gigi permanen menurut. klasifikasi WHO pada siswa/i SMP (Sekolah Menengah Pertama) di

Untuk mengetahui etiologi trauma gigi sulung anterior pada anak usia 1-4. tahun berdasarkan usia kejadian trauma di Kecamatan Medan Maimun dan

3 Distribusi frekuensi trauma gigi sulung anterior pada anak usia 1-4 tahun berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Medan Maimun dan.

4.4 Jumlah Gigi yang Terkena Trauma Gigi Sulung Anterior pada Anak Usia 1-4 Tahun di TK, PAUD dan Posyandu Kecamatan Medan Petisah dan Medan Tuntungan

1) Konkusi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi, yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi.