• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir Di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir Di Kota Bogor"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN RAWAN BAHAYA

PETIR DI KOTA BOGOR

CHANDIKA WINDHASHARYF

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

CHANDIKA WINDHASHARYF. A44080045. Perencanaan Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir Di Kota Bogor. Dibimbing oleh QODARIAN PRAMUKANTO.

Bogor merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi seringkali memicu terjadinya petir di wilayah Bogor ditambah karakteristik topografi yang sering memicu terjadinya awan konvektif. Intensitas petir ini ternyata sudah mendapat perhatian sejak lama oleh beberapa pihak. Dampak negatif dan positifpun mulai dikaji. Dampak negatif dari tingginya intensitas petir ini adalah kerusakan instalasi listrik, jaringan telekomunikasi, terbakarnya suatu bangunan sampai jatuhnya korban jiwa akibat sambaran petir. Jenis petir yang memberikan dampak langsung terhadap aktivitas manusia dan lingkungannya dinamakan petir CG atau Cloud-to-Ground .

Kota Bogor dengan kepadatan penduduk dan pola pemukiman yang cukup padat menjadikan beberapa daerah lebih rawan mengalami kerugian akibat sambaran petir. Fenomena petir ini seringkali menyambar beberapa tempat dengan struktur yang lebih tinggi (bangunan tinggi, menara tegangan tinggi, tower BTS). Apabila struktur bangunan yang mampu menjadi pemicu sambaran petir seperti tower BTS (base transceiver station) terus dibangun dan berada dekat dengan pemukiman padat penduduk seperti di Kota Bogor, akan sangat membahayakan apabila tidak dilakukan perencanaan yang baik terhadap tata ruang yang ada. Pada tahap analisis, aspek fisik yang membentuk peta sebaran kawasan petir CG dipadukan dengan peta resiko bahaya petir yang terbentuk dari aspek landuse dan landcover. Pada tahap sintesis peta yang dianalisis akan dipadukan sehingga didapatkan peta resiko lanskap bahaya petir CG sesuai karakter dan kriteria yang telah dipadukan. Hasil perencanaan lanskap berupa Rencana Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir, yang terdiri atas rencana subkawasan bahaya sangat tinggi, rencana subkawasan bahaya tinggi, dan rencana subkawasan bahaya sedang.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN RAWAN BAHAYA

PETIR DI KOTA BOGOR

CHANDIKA WINDHASHARYF

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah perencanaan, dengan judul Perencanaan Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir di Kota Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si. selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Henry dari Badan Meteorologi dan Geofisika Dramaga, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, ayah, ibu, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

Kerangka Pikir Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Petir 3

BTS 4

Daerah Mitigasi 5

Penataan Ruang 6

Perencanaan Lanskap 7

METODE 8

Tempat dan Waktu Penelitian 8

Alat dan Bahan Penelitian 8

Metode Penelitian 9

Batasan Penelitian 9

Inventarisasi 11

Analisis 12

Sintesis 17

Perencanaan 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Inventarisasi 19

Letak Geografis Kota Bogor 19

Topografi 19

Geologi dan Tanah 20

Hidrologi / Badan Air 21

Iklim dan Kenyamanan 21

Sebaran Struktur Pemicu Petir 22

Petir CG dan Curah Hujan 23

Arah Angin /Wind rose 23

Tipe Awan 24

Penggunaan Lahan 25

Kependudukan Kota Bogor 25

Penyusunan Peta Tematik 26

(10)

Peta Elevasi 26

Peta Geologi 28

Peta Badan Air 28

Peta Sebaran Struktur Pemicu Petir 28

Peta Landuse dan Landcover 32

Analisis 32

Analisis Landuse dan Landcover 32

Analisis Resistivitas Batuan 37

Analisis Elevasi 41

Analisis Badan Air 41

Analisis Sebaran Struktur Pemicu Petir (BTS) 45

Analisis Petir CG dan Curah Hujan 50

Analisis Arah Angin / Windrose 51

Analisis Tipe Awan 51

Sintesis 52

Perencanaan 55

Konsep Dasar 55

Konsep Pengembangan 57

Rencana Lanskap 65

SIMPULAN DAN SARAN 76

DAFTAR PUSTAKA 77

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data dan Informasi 9

Tabel 2 Klasifikasi Jenis Awan dengan Citra Satelit 12 Tabel 3 Prosentase Kejadian Petir CG dan Curah Hujan 12 Tabel 4 Karakter dan Kriteria Landuse dan Landcover 13

Tabel 5 Nilai Resistivitas Batuan dan Tanah 14

Tabel 6 Karakter dan Kriteria Resistivitas Batuan dan Tanah 14

Tabel 7 Karakter dan Kriteria Elevasi 15

Tabel 8 Jarak Aman Tower BTS dengan Bangunan 15

Tabel 9 Kriteria Jarak Struktur Pemicu Petir 15

Tabel 10 Karakter dan Kriteria Struktur Pemicu Petir 16

Tabel 11 Karakter dan Kriteria Badan Air 16

Tabel 12 Karakter dan Kriteria Petir CG dan Curah Hujan 17

Tabel 13 Karakter dan Kriteria Tipe Awan 17

Tabel 14 Kemiringan Lereng Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota

Bogor 19

Tabel 15 Ketinggian Wilayah Kecamatan Kota Bogor dari Permukaan

Laut 20

Tabel 16 Jenis Tanah Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor 20 Tabel 17 Jenis Geologi Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor 20 Tabel 18 Nama dan Luas Danau/Situ/Embung di Kota Bogor 21 Tabel 19 Jumlah Curah Hujan di Kota Bogor Tahun 2010-2012 22 Tabel 20 Jumlah Hari Hujan di Kota Bogor 2010-2012 22 Tabel 21 Temperatur, Kelembaban Relatif, dan Tekanan Udara Kota

Bogor Tahun 2011-2012 22

Tabel 22 Nama Operator dan Tipe Menara BTS di Kota Bogor 23 Tabel 23 Jenis Penggunaan Lahan di Kota Bogor tahun 2010 25 Tabel 24 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Tingkat Kepadatan Kota

Bogor Tahun 2012 26

Tabel 25 Tipe Menara BTS dan jarak aman terhadap bangunan sekitar di

Kota Bogor 48

Tabel 26 Hasil Sintesis Keseluruhan Karakter 54

Tabel 27 Konsep Ruang Lanskap 57

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pikir 2

Gambar 2 Lokasi Penelitian Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Sumber :

Bappeda Kota Bogor 2014) 8

Gambar 3 Metode Penelitian 10

Gambar 4 Wind rose Angin Rata-rata dan Angin Terbesar Bulan

Desember 2013 (Sumber : BMKG Darmaga 2014) 24

Gambar 5 Peta Sirkulasi Sebagai Dasar 27

Gambar 6 Peta Elevasi 29

(12)

Gambar 8 Peta Badan Air 31

Gambar 9 Peta Sebaran Struktur Pemicu Petir 33

Gambar 10 Peta Landuse dan Landcover 34

Gambar 11 Ruang Terbangun Kota Bogor 35

Gambar 12 Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor 36

Gambar 13 Ruang Terbuka BiruKota Bogor 37

Gambar 14 Peta Analisis Landuse dan Landcover 38

Gambar 15 Peta Analisis Resistivitas Batuan 42

Gambar 16 Peta Analisis Elevasi 43

Gambar 17 Kondisi Fisik Badan Air Kota Bogor 44

Gambar 18 Peta Analisis Badan Air 46

Gambar 19 Bentuk Fisik Dua Tipe Menara BTS 47

Gambar 20 Peta Analisis Struktur Pemicu Petir 49

Gambar 21 Peta Resiko Lanskap Bahaya Petir 56

Gambar 22 Ilustrasi Ruang Bahaya Sangat Tinggi I 61 Gambar 23 Ilustrasi Ruang Bahaya Sangat Tinggi II 62

Gambar 24 Ilustrasi Ruang Bahaya Tinggi 63

Gambar 25 Ilustrasi Ruang Bahaya Sedang 64

Gambar 26 Peta Rencana Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir 66

Gambar 27 Kondisi Eksisting Sub Kawasan I 67

Gambar 28 Model Rencana Lanskap Sub Kawasan I 68

Gambar 29 Kondisi Eksisting Sub Kawasan II 71

Gambar 30 Model Rencana Lanskap Sub Kawasan II 72

Gambar 31 Kondisi Eksisting Sub Kawasan III 73

Gambar 32 Model Rencana Lanskap Sub Kawasan III 74

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Curah Hujan Bulanan Kota Bogor 78

2 Data Frekuensi Petir dan Jumlah Hari Petir 79

3 Data Arah Angin berdasarkan data Windrose 80

4 Perbandingan Kejadian Petir dan Curah Hujan 81

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bogor sebagai salah satu wilayah di Indonesia dengan curah hujan yang cukup tinggi memiliki fenomena alam yang lainnya yaitu petir. Wilayah Bogor tercatat sebagai wilayah dengan intensitas petir tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Dramaga, sepanjang tahun 2008 hingga 2011 telah terjadi 52528 kali sambaran. Dalam kurun waktu empat tahun itu, jumlah petir terbanyak terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 22708 kali sambaran. Rata-rata sambaran petir setiap tahunnya adalah 13132 sambaran dan rata-rata sambaran setiap bulannya adalah 1094 sambaran. Beberapa penelitian menyebutkan petir merupakan salah satu fenomena alam yang sangat erat kaitannya dengan curah hujan, menurut Tjasyono (2006) petir didefinisikan sebagai pelepasan muatan listrik dengan arus yang cukup tinggi dan bersifat sangat singkat yang biasanya terjadi pada jenis awan Cumulunimbus.

Petir yang diartikan sebagai pelepasan muatan listrik memiliki beberapa bentuk pelepasan muatan, yaitu pelepasan muatan awan ke permukaan tanah (Cloud to Ground), pelepasan muatan antar atau di dalam awan (Inter/Intra Cloud) dan pelepasan muatan antar awan dengan awan (Cloud to Cloud) (Pabla, 1981 diacu dalam Septiadi, et al, 2011). Petir CG (Cloud to Ground) merupakan bentuk bahaya alam (natural hazard) yang sering mempengaruhi dan berdampak langsung terhadap kegiatan manusia. Dampak petir CG tersebut berupa kerusakan perlengkapan elektronik, gangguan stabilitas jaringan telekomunikasi, terbakarnya bangunan, rusaknya instalasi listrik sampai jatuhnya korban jiwa.

Berdasarkan RTRW tahun 2009 sampai 2029, Kota Bogor memiliki kepadatan penduduk yang beragam mulai dari 12-40 jiwa/ha sampai 161-200 jiwa/ha. Adanya kejadian petir di wilayah Bogor menyebabkan tingkat kerentanan beberapa lokasi terhadap gangguan petir semakin meningkat. Gangguan ini pada akhirnya menjadi suatu bahaya di daerah padat penduduk yang dapat menimbulkan banyak kerugian material maupun jiwa. Potensi bahaya sambaran petir dipicu oleh hadirnya bangunan dengan struktur yang relatif tinggi seperti menara tegangan tinggi sampai tower BTS (Base Tranceiver Station). Sambaran petir ini dominan terjadi pada bagian permukaan bumi yang tinggi. Struktur seperti tower BTS sangat dimungkinkan menjadi medium penghantar energi listrik yang dihasilkan petir menuju permukaan bumi.

(14)

2

Bogor. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk menentukan kawasan yang mempunyai potensi bahaya petir dan merencanakan upaya mitigasi.

Tujuan

Studi ini bertujuan menyusun rencana lanskap kawasan rawan bahaya petir di Kota Bogor. Secara rinci studi ini bertujuan untuk :

1. analisis sebaran kawasan petir,

2. analisis sebaran kawasan resiko bahaya petir, 3. analisis sebaran lanskap bahaya petir,

4. menyusun rencana lanskap kawasan rawan bahaya petir.

Manfaat

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. dasar pertimbangan dalam pembangunan dan pengembangan tata ruang Kota Bogor kedepannya,

2. dasar pertimbangan untuk merencanakan daerah perlindungan terhadap sambaran petir di kawasan pemukiman penduduk.

Kerangka Pikir Penelitian

Kota Bogor merupakan salah satu wilayah dengan intensitas petir yang cukup tinggi. Upaya menentukan kawasan sebaran petir akan dilakukan melalui analisis terhadap aspek fisik yang meliputi faktor terestrial (geologi, elevasi, badan air, dan stuktur pemicu petir) dan faktor atmosfer (curah hujan, tipe awan, dan arah angin). Berdasarkan integrasi ke dua faktor ini maka dapat diketahui sebaran kawasan petir CG. Bahaya petir CG dapat diketahui berdasarkan overlay antara peta sebaran petir CG dengan peta resiko bahaya. Dengan diketahui Peta Resiko Lanskap Bahaya Petir CG maka dapat disusun Rencana Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir. Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pikir penelitian.

Gambar 1 Kerangka Pikir

Kota Bogor

Rencana Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir

Landuse dan Landcover

Peraturan Tata Ruang dan Mitigasi

Terestrial Atmosfer

Peta Kawasan Sebaran Petir CG Aspek Fisik

Peta Resiko Bahaya Petir

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Petir

Petir merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer bumi yang tidak dapat dicegah. Petir didefinisikan sebagai pelepasan muatan listrik dengan arus yang cukup tinggi dan bersifat sangat singkat yang biasanya terjadi pada saat awan Cumulunimbus (Cb). Dalam petir terdapat beberapa bentuk pelepasan muatan, yakni pelepasan muatan awan ke permukaan tanah (Cloud to Ground), pelepasan muatan antar atau dalam awan (Inter/Intra Cloud), dan pelepasan muatan antara awan dengan awan (Cloud to Cloud) (Pabla, 1981; Price, 2008 diacu dalam Septiadi dan Hadi, 2011).

Pelepasan muatan dari awan ke permukaan tanah merupakan jenis petir yang berdampak langsung terhadap aktivitas manusia. Mayoritas petir di atmosfer berasosiasi dengan badai guruh konvektif (Rust dan MacGorman, 1998 diacu dalam Septiadi dan Hadi, 2011). Menurut Abduh (2002) petir terjadi berawal dari proses fisika dimana terjadi pengumpulan muatan listrik di awan. Dalam keadaan normal, pada atmosfer bumi terdapat ion positif dan ion negatif yang tersebar acak. Ion-ion ini terjadi karena tumbukan atom, pancaran sinar kosmis, dan energi thermos. Pada keadaan cuaca cerah terdapat medan listrik yang berarah tegak lurus ke bawah menuju bumi.

Dengan adanya medan listrik tersebut, maka butiran air yang ada di udara akan terpolarisasi karena induksi. Bagian atas bermuatan negatif dan bagian bawah bermuatan posistif. Di dalam awan adakalanya terjadi pergerakan arus udara ke atas membawa butir-butir air yang berat jenisnya lebih tinggi. Karena mengalami pendinginan, butiran air ini akan membeku sehingga berat jenisnya membesar yang mengakibatkan timbulnya gerakan ke bawah dengan kecepatan sangat tinggi. Dalam pergerakannya, timbul gaya tarik terhadap ion negatif dan ion positif ditolak. Akibatnya butiran air besar yang mengandung ion negatif berkumpul di bagian bawah awan, sementara pada bagian atas awan akan berkumpul ion bermuatan positif.

Bersamaan terjadinya pengumpulan muatan, pada awan timbul medan listrik yang intensitasnya semakin besar dan akibatnya gerakan ke bawah butir-butir air menjadi terhambat atau terhenti. Akibatnya terbentuk medan listrik antara awan dengan permukaan bumi. Apabila medan listrik ini melebihi kekuatan tembus udara terjadilah pelepasan muatan. Distribusi muatan di awan pada umumnya di bagian atas ditempati muatan positif, sementara pada bagiah bawah awan ditempati oleh muatan negatif. Sambaran akan diawali oleh kanal muatan negatif menuju ke daerah yang terinduksi positif, umumnya sambaran yang terjadi adalah sambaran muatan negatif dari awan ke tanah (Suzuki, 1981 diacu dalam Abduh, 2002).

(16)

4

tembus udara, maka terjadilah aliran muatan dari awan ke tanah. Peristiwa aliran energi ini disebut kilat atau petir.

Hubungan antara curah hujan dan petir telah banyak ditunjukkan oleh para peneliti (Septiadi dan Hadi, 2011). Metode estimasi curah hujan konvektif juga telah dibangun berdasarkan observasi lightning (Buechlar dan Goodman, 1990 diacu dalam Septiadi dan Hadi, 2011). Bahkan telah dibangun fungsi empirik antara parameter petir dan curah hujan (Takayabu, 2006 diacu dalam Septiadi dan Hadi, 2011).

BTS

Menurut Sugiyono dan Nazori (2012) dari segi pembangunan properti, Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat pembangunan bangunan gedung yang cukup tinggi, baik perumahan maupun gedung perkantoran. Seiring dengan meningkatnya pembangunan tersebut menyebabkan bertambahnya tingkat resiko bahaya yang disebabkan oleh sambaran petir baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini akibat dari meningkatnya penggunaan peralatan elektronika baik alat-alat untuk rumah tangga maupun alat-alat untuk perkantoran yang semuanya rata-rata menggunakan energi listrik. Sambaran petir mampu merusak sistem elektronika dan peralatannya seperti jaringan instalasi listrik, instalasi komputer, air conditioner, alat komunikasi, dan lain sebagainya.

Terminologi BTS termasuk baru dan mulai populer di era booming seluler saat ini. BTS berfungsi menjembatani perangkat komunikasi pengguna dengan jaringan menuju jaringan lain. Satu cakupan pancaran BTS dapat disebut Cell. Komunikasi seluler adalah komunikasi modern yang mendukung mobilitas yang tinggi. Dari beberapa BTS kemudian dikontrol oleh satu Base Station Controller (BSC) yang terhubungkan dengan koneksi microwave ataupun serat optik (Abduh, 2002 diacu dalam Pandiangan, et al 2010).

Kondisi sistem pengetanahan tidak baik, misalnya di daerah bebatuan, hal ini dapat menyebabkan nilai resistansi tinggi. Maka tegangan akibat sambaran petir yang melewati sistem pengetanahan akan semakin tinggi. Efek medan listrik yang timbul akibat adanya sambaran petir pada tower BTS akan semakin besar sehingga dapat merusak piranti elektronik, jaringan kabel telekomunikasi, jaringan data, dan keselamatan manusia yang ada di sekitarnya (Hutauruk, 1994 diacu dalam Pandiangan, et al 2010).

(17)

5 Menurut Harger (2008) diacu dalam Pandiangan, et al (2010) rentang aman dapat diperoleh dengan menghitung radius sambaran petir terhadap tower BTS dengan bangunan disekitarnya, yang dirumuskan sebagai berikut :

d = √ h1 (300-h1) - √ h2 (300-h2) dimana :

d = Jarak Tower terhadap bangunan (feet) h1 = Tinggi tower BTS (feet)

h2 = Tinggi bangunan sekitar tower BTS (feet)

Hal ini dikarenakan secara umum petir akan dominan menyambar bagian-bagian di permukaan bumi yang memiliki struktur tinggi (gedung-gedung tinggi, tower BTS, menara transmisi tegangan tinggi) dan dominan memilih struktur yang terbuat dari material konduktif (metal). Problem Menara BTS di Perkotaan bahwa tower BTS telah menjadi problem perkotaan dengan isu yang dikemukakan adanya efek negatif gelombang elektromagnetik, problem utama menara BTS bukanlah radiasi yang melainkan justru problem utama kehadiran tower BTS di sekitar pemukiman penduduk adalah sambaran petir yang mengenainya. Jika terdapat sejumlah awan bermuatan dengan medan statis yang cukup untuk terjadi petir, maka obyek yang pertama kali dikenai sambaran petir yaitu tower BTS, karena memiliki struktur yang menjulang tinggi dan terbuat dari bahan logam. Praktis jumlah sambaran petir di sekitar tower BTS akan meningkat, bukannya berkurang, sehingga apabila dipasang logam lancip di ujung tower, bukan penangkal petir namanya, namun lebih tepat sebagai pemicu atau pemanggil petir (Syakur, 2009 diacu dalam Pandiangan, et al 2010).

Menurut Pandiangan, et al (2010) penduduk yang tinggal di pemukiman dekat bangunan BTS sering mengalami kerugian. Sambaran petir sering merusak alat-alat elektronik seperti televisi, radio, dan komputer pada saat digunakan karena listrik yang tiba-tiba mati sehingga terjadinya korsleting. Hal ini terjadi di beberapa pemukiman yang rumahnya tepat bersebelahan dengan bangunan BTS. Hal serupa juga dialami penduduk yang rumahnya terletak di depan bangunan BTS, selain sering mengalami kerusakan pada alat-alat elektronik, ketika hujan turun dan banyaknya petir yang terjadi, penduduk lebih memilih tinggal di dalam rumah dikarenakan petir seringkali menyambar kabel pada tiang listrik dan pohon-pohon sekitar rumah mereka.

Daerah Mitigasi

Di dalam Lampiran Peraturan Menteri No 33 Tahun 2006 tentang Mitigasi Bencana terdapat empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu :

1. tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana;

2. sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana;

3. mengetahui apa yang perlu diketahui dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan

(18)

6

Mitigasi merupakan titik tolak utama dari manajemen penanggulangan bencana. Dengan mitigasi dilakukan usaha-usaha untuk menurunkan dan/atau meringankan dampak/korban yang disebabkan oleh suatu bencana pada jiwa manusia, harta benda, dan lingkungan. Mitigasi juga merupakan tindakan pencegahan bencana. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Karena dalam kegiatan identifikasi kawasan rawan bencana dilakukan :

1. identifikasi sumber bencana dan memetakannya, terutama di wilayah dan/atau kawasan yang sudah menunjukkan ciri-ciri perkotaan dan/atau terbangun,

2. mengklasifikasikan kawasan-kawasan yang berpeluang terkena bencana berdasarkan jenis dan tingkat besar/kecilnya ancaman bencana dan dampak bencana yang ditimbulkan (tipologi bahaya), 3. menginformasikan tingkat kerentanan wilayah terhadap

masing-masing tipologi bahaya.

Aktivitas ini yang harus dilakukan terlebih dahulu dalam rangka menunjang kegiatan perencanaan pembangunan daerah dan tata ruang yang

berwawasan “mitigasi bencana”.

Penataan Ruang

Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menekankan bahwa secara garis besar penyelenggaraan penataan ruang diharapkan (1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Dengan demikian tentunya penataan ruang dalam mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan, prospek suatu daerah dan berbagai tantangan yang dihadapi termasuk pula memperhatikan daerah rawan bencana sebagai basis dalam mengembangkan dan mengelola suatu daerah.

Penataan ruang dapat menjalankan peran penting dalam penetapan rencana pemanfaatan ruang yang aman dari dampak bencana alam. Karena setidaknya dalam penataan ruang sudah dimunculkan kriteria lokasi rawan bencana alam dan sebaran lokasi kawasan kritis dan kawasan yang beresiko bencana. Penataan ruang dapat meminimalisasi dampak bencana karena premis penataan ruang adalah keseimbangan lingkungan hidup. Atau dapat dikatakan, pemanfaatan suatu kawasan untuk berbagai kegiatan disesuaikan dengan kemampuan daya dukung lingkungannya.

(19)

7 Kawasan rawan bencana adalah suatu wilayah yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi yang untuk jangka waktu tertentu tidak dapat atau tidak mampu mencegah, meredam, mencapai kesiapan, sehingga mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang secara keseluruhan haruslah merupakan upaya intervensi terhadap kerentanan wilayah dan meningkatkan kondisi ketahanan ruang wilayah terhadap kemungkinan adanya bahaya yang terjadi.

Perencanaan Lanskap

(20)

8

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 10645’0” - 10650’0” BT dan

632’30” - 640’0” LS. Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian minimum 190 m dan maksimum 330 m dari permukaan laut. Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11850 ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Untuk waktu persiapan, pengumpulan, dan pengolahan data dilakukan dari bulan Juli sampai November 2014 dan dilanjutkan dengan penyusunan skripsi sampai bulan Desember 2014.

Peta Jawa Barat

Gambar 2 Lokasi Penelitian Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat

(Sumber : Bappeda Kota Bogor 2014)

Alat dan Bahan Penelitian

(21)

9 Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu data primer yang didapatkan dari lapang dan data sekunder baik data spasial maupun data tekstual. Data yang berhasil dikumpulkan akan digabungkan untuk mendapatkan data yang lebih spesifik yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Data dan Informasi

Aspek Jenis Interpretasi Sumber

Spasial Tekstual

Elevasi √ Sebagai petaelevasi Bakosutarnal

Geologi dan

tanah √ √

Untuk analisis formasi geologi

yang dapat memicu petir CG Bappeda

Badan Air √ √ Untuk analisis badan air dan

daerah sambaran petir Bappeda Kota Bogor

Struktur

Arah angin √ Untuk menganalisis pola angin

lokal BMKG

dan resiko bahaya petir CG Bappeda Kota Bogor

Demografi

Penelitian dilakukan dalam empat tahapan yaitu inventarisasi, analisis, sintesis, dan rencana. Setiap data yang dikumpulkan berupa data spasial dan data tekstual. Tahapan tersebut disajikan dalam Gambar 3. Tahap inventarisasi merupakan proses pengumpulan data awal yang akan digunakan sebagai bahan analisis pada tahap selanjutnya. Untuk tahap analisis, aspek fisik yang membentuk peta sebaran kawasan petir CG dipadukan dengan peta resiko bahaya petir yang terbentuk dari aspek landuse dan landcover. Pada tahap sintesis peta yang dianalisis akan dipadukan sehingga didapatkan peta resiko lanskap bahaya petir CG sesuai karakter dan kriteria yang telah dipadukan. Selanjutnya pada tahap perencanaan, peninjaun peraturan dan konsep yang ingin dikembangkan akan disinergikan untuk meningkatkan kualitas perencanaan lanskap daerah rawan bahaya petir di Kota Bogor.

Batasan Penelitian

(22)
(23)

11

Inventarisasi

Data spasial dan data tekstual yang dikumpulkan (Tabel 1) meliputi aspek fisik yang membentuk kawasan sebaran petir CG dan resiko bahaya petir, demografi masyarakat, dan aspek legal terkait tata ruang dan mitigasi bencana sebagai acuan pertimbangan perencanaan. Data tersebut disusun menjadi data spasial tematik. Klasifikasi data disusun berdasarkan karakteristik berikut (a) landuse dan landcover; (b) resistivitas batuan; (c) elevasi; (d) rentang aman struktur pemicu petir; (e) badan air; (f) tipe awan; (g) arah angin; (h) curah hujan; dan (i) petir CG.

Penyusunan Peta Tematik

Data disusun berupa peta tematik berdasarkan karakteristik fisik lanskap bahaya petir CG dan resiko bahaya petir. Data tersebut memiliki deskripsi pemanfaatan dan fungsi antara lain :

a. Peta Dasar

Peta dasar yang digunakan adalah peta infrastruktur jalan. Peta ini menjadi peta referensi atau acuan dalam penyusunan peta tematik.

b. Peta Elevasi

Peta elevasi digunakan sebagai sumber informasi untuk mengidentifikasi titik elevasi yang memiliki ketinggian paling rentan terhadap faktor terjadinya sambaran petir. Peta elevasi dituangkan ke dalam elevasi dengan beberapa kelas.

c. Peta Formasi Geologi

Peta formasi geologi diperlukan untuk mengetahui klasifikasitipe batuan yang berpotensi menjadi penghantar atau medium sambaran petir yang berasal dari RTRW Bappeda.

d. Peta Badan Air

Peta badan air disusun untuk menggambarkan data spasial terkait ruang terbuka biru yang terdapat di Kota Bogor berupa sungai, kolam,danau, situ dan lainnya.

e. Peta Sebaran Struktur Pemicu Petir

Peta sebaran struktur pemicu petir disusun dengan mengidentifikasi sebaran struktur buatan manusia (menara BTS). Data didapatkan dari instansi terkait dan survei langsung di lapangan.

f. Peta Landuse dan Landcover

Peta ini disusun berdasarkan sebaran landuse dan diklasifikasikan ke dalam bentuk landcover meliputi karakter : (a) ruang terbangun; (b) ruang terbuka hijau; dan (c) ruang terbuka biru, sehingga dapat ditentukan karakter spasial terkait resiko bahaya petir di Kota Bogor. Peninjauan karakter demografi penduduk juga dipertimbangkan untuk menentukan kriteria bahaya pada tahap analisis.

Penyusunan Data Tekstual

(24)

12

a. Tipe Awan

Data yang diperlukan dalam studi ini adalah tipe-tipe awan yang tersedia di stasiun BMKG (Tabel 2). Data ini akan memberikan informasi tentang karakter awan yang mengandung muatan listrik dan berpotensi menimbulkan petir.

Tabel 2 Klasifikasi Jenis Awan dengan Citra Satelit

Cloud type Classification

High level Cloud Ci

Statiform clouds

High level clouds Middle level cloud Cm Middle level cloud Stratus/fog St

Data curah hujan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi intensitas curah hujan sehingga dapat mendukung teori yang sudah ada (Septiadi dan Hadi, 2011). Hal ini dikaitkan fakta jumlah curah hujan dengan intensitas petir CG (Tabel 3).

Tabel 3 Prosentase Kejadian Petir CG dan Curah Hujan

No Parameter Jenis membentuk awan konvektif dapat diketahui. Peta ini disusun berdasarkan analisis windrose dengan mengumpulkan data terkstual. Data tekstual yang diperlukan adalah wind direction, wind speed, dan hourly precipitation dalam rentang waktu jam, hari, bulan, dan tahun. Data ini diolah menggunakan software WRPLOT.

Analisis

Analisis dilakukan berdasarkan kriteria analisis untuk menentukan kawasan rawan bahaya petir, yaitu :

1. analisis Landuse dan Landcover, 2. analisis Resistivitas Batuan, 3. analisis Elevasi,

(25)

13 5. analisis Badan Air,

6. analisis Petir CG dan Curah Hujan, 7. analisis Arah Angin, dan

8. analisis Tipe Awan.

Berdasarkan Sugiyono dan Nazori (2012) masing-masing karakter yang dianalisis diberikan nilai bobot yang sama karena belum ada standar baku tentang penilaian karakter untuk kerawanan sambaran petir. Pembagian kriteria dimodifikasi menjadi tiga kriteria bahaya dengan pembagian rentang skor 1 untuk kriteria bahaya rendah, skor 2 kriteria bahaya sedang, dan skor 3 untuk kriteria bahaya tinggi. Untuk studi Sugiyono dan Nazori (2012) kriteria bahaya terbagi menjadi 5 klasifikasi yaitu sangat aman, aman, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

Analisis Landuse dan Landcover

Analisis dilakukan berdasarkan kriteria kejadian petir yang berdampak langsung terhadap kegiatan manusia dan properti. Hal ini dikaitkan dengan sebaran landuse dan landcover. Sebaran landuse seperti perumahan, area pendidikan, perdagangan, terminal, komplek militer, lapangan olahraga, taman kota, sawah, sempadan sungai,sungai, dan yang lainnya. Berbagai jenis sebaran landuse ini akan dikategorikan ke dalam tiga bentuk landcover yaitu ruang terbangun, ruang terbuka hijau, dan ruang terbuka biru. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk maka tingkat kerawanan bahaya petir semakin tinggi. Hal ini berdasarkan teori yang menyebutkan tingkat resiko bahaya petir semakin tinggi di ruang dengan instalasi listrik dan di dalamnya terdapat kegiatan manusia. Data disusun berdasarkan interpretasi citra ikonos secara visual. Pada Tabel 4 dapat dilihat karakter dan kriteria yang digunakan tahap analisis.

Tabel 4 Karakter dan Kriteria Landuse dan Landcover

Karakter Kriteria Bahaya

Karakter yang dianalisis adalah nilai resistivitas batuan. Setiap jenis batuan memiliki nilai tertentu dalam menghantarkan arus listrik. Kriteria yang dipakai adalah semakin tinggi nilai resistivitas batuan maka semakin lemah kemampuan batuan tersebut dalam menghantarkan arus listrik. Sifat ini identik dengan bahan konduktor yang memiliki nilai resistivitas kurang dari 10-8 Ωm. Di dalam konduktor berisi banyak elektron bebas dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi. Pada isolator elektron tidak dapat bergerak bebas, sedangakan pada semikonduktor jumlah elektron bebasnya lebih sedikit. Secara umum berdasarkan nilai resistivitasnya, batuan dan mineral dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :

(26)

14

c. Isolator (nilai resisitivitas tinggi) : ρ> 107Ωm

Pada Tabel 5 dapat dilihat jenis batuan dan tingkat resistivitasnya. Apabila nilai resistivitas formasi batuan Kota Bogor dapat diketahui, maka karakter formasi batuan dapat dispasialkan untuk analisis kriteria terestrial pembentuk petir CG (Tabel 6).

Tabel 5 Nilai Resistivitas Batuan dan Tanah

Jenis Batuan/Tanah/Air Tingkat Resistivitas (Ωm)

Tabel 6 Karakter dan Kriteria Resistivitas Batuan dan Tanah

Karakter Kriteria Bahaya

(27)

15 Tabel 7 Karakter dan Kriteria Elevasi

Karakter Kriteria Bahaya

Analisis Rentang Aman Struktur Pemicu Petir

Hadirnya bangunan struktur tinggi seperti BTS perlu dianalisis terkait rentang aman (safety range) bangunan ini. Hasil perhitungan rentang aman berdasarkan Harger (2008) dapt dilihat pada Tabel 8. Potensi bangunan berstruktur buatan manusia lebih dominan dijadikan medium sambaran petir, terlebih lagi struktur ini cenderung terbuat dari logam yang sangat baik menghantarkan arus listrik. Kriteria jarak aman tower BTS terhadap bangunan disekitarnya terdapat pada Tabel 9.

Karakter yang dikaji adalah jarak struktur pemicu petir dengan pemukiman. Kriteria yang dipakai pad Tabel 10 adalah semakin dekat jarak struktur pemicu petir dengan pemukiman maka tingkat bahaya semakin tinggi. Karakter petir cenderung menyambar permukaan bumi yang relatif tinggi dibandingkan area di sekitarnya.

Tabel 8 Jarak Aman Tower BTS terhadap Bangunan

Keterangan :

d = Jarak Aman Tower BTS (meter) h1 = Tinggi Tower BTS (meter)

h2 = Tinggi bangunan sekitar BTS (meter)

Tabel 9 Kriteria Jarak Struktur Pemicu Petir

Kriteria Jarak Struktur Pemicu Petir Rentang Aman

(28)

16

Tabel 10 Karakter dan Kriteria Struktur Pemicu Petir

Karakter Kriteria Bahaya

Karakter yang dikaji adalah (a) sungai; (b) danau/situ; dan (c) kolam. Sifat badan air sebagai penghantar arus listrik yang baik semakin meningkatkan potensi bahaya petir. Kriteria yang digunakan adalah semakin besar ukuran/penampang badan air maka resiko bahaya semakin besar. Hal ini ditinjau terkait faktor terestrial pembentuk petir CG. Permukaan bumi baik daratan atapun perairan merupakan medium pelepasan listrik petir CG. Sifat air sebagai penghantar arus listrik bergantung pada jumlah ion-ion terlarut per volumenya dan mobilitas ion tersebut. Kandungan larutan elektrolit berperan besar dalam menentukan tinggi rendahnya kemampuan air dalam menghantarkan arus listrik. Dalam Tabel 5 nilai resistivitas air laut diperkirakan sekitar 0,2 Ωm. Nilai resistivitas air laut lebih rendah daripada air tanah (0,3-300 Ωm ). Semakin rendah nilai resistivitas maka semakin baik mineral atau larutan tersebut dalam menghantarkan listrik. Berdasarkan nilai Daya Hantar Listrik (DHL), jenis air menurut Davis dan Wiest (1996) juga dapat dibedakan dalam µmho/cm dalam 25º C sebagai berikut :

a. Air murni nilai DHL sebesar 0,0055µmho/cm 25º C b. Air suling nilai DHL sebesar 0,5-5 µmho/cm 25º C c. Air hujan nilai DHL sebesar 5-30 µmho/cm 25º C d. Air tanah nilai DHL sebesar 30-200 µmho/cm 25º C e. Air laut nilai DHL sebesar 45000-55000 µmho/cm 25º C

Pada Tabel 11 dapat dilihat karakter dan kriteria badan air yang akan digunakan pada tahap analisis. Penentuan kriteria bahaya ini memakai karakter badan air sebagai medium sambaran petir dan kemampuan air dalam menghantarkan listrik.

Tabel 11 Karakter dan Kriteria Badan Air

Karakter Kriteria Bahaya

Analisis Petir CG dan Curah Hujan

Data untuk analisis berasal dari data lightning detector dan curah hujan yang tersedia di BMKG. Petir CG terbagi dua jenis yaitu positif dan negatif. Karakter yang dikaji adalah intensitas curah hujan dan petir CG. Kriteria yang

(29)

17 dipakai adalah semakin tinggi curah hujan maka semakin tinggi intensitas petir CG sehingga resiko bahaya tinggi.

Tabel 12 Karakter dan Kriteria Petir CG dan Curah Hujan

Karakter

Curah hujan tinggi maka petir tinggi

Curah hujan sedang maka petir sedang

Curah hujan rendah maka petir rendah Sumber : Analisis (2014)

Analisis Arah Angin

Analisis windrose dipakai untuk mengetahui arah dan pergerakan angin lokal di Kota Bogor. Data tekstual yang telah dikumpulkan akan diolah menggunakan software WRPLOT. Hasil pengolahan data berupa penggabungan data tekstual dari BMKG dan citra satelit Kota Bogor. Data spasial yang dihasilkan analisis windrose berupa pola dan pergerakan arah angin lokal Kota Bogor. Analisis ini diperlukan untuk mempertajam analisis karakter atmosfer pembentuk petir CG.

Analisis Tipe Awan

Karakter yang dikaji adalah jenis awan dari BMKG seperti (a) high level cloud; (b) middle level cloud; (c) stratocumulus;(d) stratus/fog; (e) cumulus; (f) cumulus congestus ; (g) cumulonimbus. Kriteria yang dipakai adalah jenis awan bermuatan listrik yang berpotensi memicu petir. Adapun persyaratan terbentuknya awan dengan muatan listrik pemicu petir pada suatu daerah adalah (1) terdapat inti higroskopis; (2) gerakan angin ke atas; dan (3) kondisi udara yang lembab (konsentrasi air yang banyak).

Tabel 13 Karakter dan Kriteria Tipe Awan

(30)

18

Perencanaan

Konsep Dasar

Konsep dasar perencanaan lanskap di Kota Bogor adalah memperhitungkan dampak sambaran petir yang dipicu menara BTS agar didapatkan area yang memiliki rentang aman terutama di daerah pemukiman padat penduduk sehingga penataan ruang yang memperhatikan keselamatan masyarakat dapat direncanakan dengan baik. Peraturan Menteri No 33 Tahun 2006 terkait Mitigasi Bencana dan UU No 26 Tahun 2007 terkait Penataan Ruang menjadi acuan dalam menyusun konsep perencanaan lanskap kawasa bahaya petir di Kota Bogor.

Konsep Pengembangan

Konsep lanskap kawasan rawan bahaya petir dikembangkan dengan memadukan konsep ruang dan sirkulasi untuk memberikan perencanaan tata ruang kota yang memperhatikan unsur mitigasi terhadap gangguan petir. Daerah yang rawan gangguan petir harus dapat diidentifikasi dengan cermat dan mampu direncanakan dengan baik untuk meminimalisir kerugian yang mungkin terjadi saat gangguan ini datang.

Rencana Lanskap

(31)

19 wilayah Kota Bogor sebagai berikut :

Bagian Utara : Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Sukaraja. Bagian Timur : Kecamatan Sukaraja dan Ciawi.

Bagian Selatan : Kecamatan Cijeruk dan Caringin. Bagian Barat : Kecamatan Dramaga dan Ciomas.

Topografi

Kota Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 % (datar) seluas 1763,94 ha, 2-15 % (landai) seluas 8091,27 ha, 15-25 % (agak curam) seluas 1109,89 ha, 25-40 % (curam) seluas 765,21 ha, dan > 40 % (sangat curam) seluas 119,74 ha. Pada Tabel 14 dapat dilihat kemiringan lereng berdasarkan wilayah kecamatan di Kota Bogor.

Ketinggian Kota Bogor berdasarkan RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031 bervariasi antara 100 m sampai 500 m dari permukaan laut. Ke arah selatan ketinggian wilayah kota Bogor semakin mendekati 500 m dari permukaan laut. Pada Tabel 15 dapat dilihat pembagian ketinggian berdasarkan wilayah kecamatan di Kota Bogor pada tahun 2012.

Tabel 14 Kemiringan Lereng Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor

Kecamatan

(32)

20

Tabel 15 Ketinggian Wilayah Kecamatan Kota Bogor dari Permukaan Laut

Kecamatan Ketinggian dari Permukaan Laut (m) Jumlah (ha)

0-200 201-250 251-300 >300

Jumlah (ha) 4028,11 2925,84 1694,65 3201,40 11850,00

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Geologi dan Tanah

Kota Bogor memiliki beberapa jenis tanah seperti tanah Alluvial seluas 1157,93 ha, tanah Latosol seluas 8960,27 ha, tanah Podsolik seluas 26,35 ha, tanah Regosol seluas 817,46 ha, dan tanah Andosol seluas 887,99 ha. Sebaran jenis tanah berdasarkan wilayah kecamatan dapat dilihat pada Tabel 16. Kota Bogor secara umum ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Salak (berupa alluvium/kal dan kipas alluvium/kpal) dan Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpbb). Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki jenis Aliran Andesit, Kipas Aluvial, Endapan, Tufa, dan Lanau Breksi Tufan dan Capili. Sebaran jenis geologi berdasarkan wilayah kecamatan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 16 Jenis Tanah Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor

Kecamatan Jenis Tanah (ha) Jumlah (ha)

Aluvial Latosol Podsolik Regosol Andosol

Bogor Utara 141,3 1630,7 - - - 1772

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Tabel 17 Jenis Geologi Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor

Kecamatan

(33)

21

Hidrologi / Badan Air

Wilayah Kota Bogor dilintasi oleh dua sungai utama, yaitu sungai Ciliwung dan sungai Cisadane, ditambah beberapa anak sungai lainnya. Sumber utama Kota Bogor untuk pemenuhan kebutuhan air berasal dari sungai, air tanah, dan mata air. Secara umum sumber utama tersebut digunakan oleh sebagian masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dan dimanfaatkan oleh PDAM untuk kebutuhan air bersih warga Kota Bogor. Namun perubahan lahan dan laju pembangunan yang merubah profil alami sungai mengakibatkan tingkat infiltrasi air hujan semakin rendah dan kerusakan sungai semakin meningkat.

Dampak dari perubahan lingkungan seperti tumpukan sampah di sepanjang sempadan sungai dan tingginya tingkat run off juga menambah kerusakan badan air seperti sungai. Kondisi sungai di Kota Bogor yang dahulunya memiliki kualitas yang baik semakin lama mengalami penurunan, sehingga dalam RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031 daerah sempadan sungai dijadikan kawasan lindung terutama yang mendekati area pemukiman padat penduduk.

Beberapa danau, situ, dan kolam di Kota Bogor ada yang berfungsi untuk irigasi, retensi, dan rekreasi. Situ Gede, Situ Panjang, dan Situ Curug difungsikan sebagai irigasi dan retensi. Danau Bogor Raya, Kolam Retensi Cimanggu dan Kolam Retensi Taman Sari Persada selain difungsikan sebagai retensi juga dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Danau atau situ terluas di Kota Bogor adalah Situ Panjang seluas 4,5 ha dan Situ Gede seluas 4 ha (Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bogor Tahun 2012). Nama dan luas Danau/Situ/Embung dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Nama dan Luas Danau/Situ/Embung di Kota Bogor

Nama Danau/Situ/Embung Luas (ha) Luas Tangkapan

Air (ha) Fungsi

Situ Gede 4 1550 Irigasi, Retensi

Situ Panjang 4,5 1600 Irigasi

Situ Letik 1 1450 Kolam

Situ Curug 2 500 Irigasi, Retensi

Situ Angalena 1 1600 Rekreasi, Irigasi

Situ/Danau Bogor Raya 1,04 400 Retensi, Rekreasi

Kolam Retensi Cimanggu 1 400 Retensi, Rekreasi

Kolam Retensi Taman Safari Persada 0,50 0 Retensi, rekreasi

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Iklim dan Kenyamanan

Suhu rata-rata wilayah Kota Bogor setiap bulan adalah 32,1°C, suhu tertinggi sekitar 33,7°C, dan suhu terendah 22,4°C. Kelembaban udara rata-rata kurang lebih 92%. Kecepatan angin rata-rata per tahun adalah 2 km/jam ke arah Timur Laut. Curah hujan rata-rata setiap bulan sekitar 304 mm sampai 535,3 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan November dan Februari. Iklim Kota Bogor secara umum beriklim sejuk dengan kondisi mikroklimat yang masih baik, terutama daerah di sekitar Kebun Raya Bogor, di bawah kaki Gunung Salak dan Gunung Pangrango.

(34)

22

pada Tabel 20. Perbandingan temperatur, kelembaban relatif, dan tekanan udara Kota Bogor tahun 2011-2012 dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 19 Jumlah Curah Hujan di Kota Bogor Tahun 2010-2012

Rata-rata Tahun Pos hujan Empang Stasiun

Klimatologi

Empang Katulampa Atang Sanjaya

2012 329,3 305,7 535,3 304,5

2011 236,3 245,6 387,7 237,6

2010 437,8 427,0 437,9 337,6

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Tabel 20 Jumlah Hari Hujan di Kota Bogor 2010-2012

Rata-rata Tahun Pos hujan Empang Stasiun

Klimatologi

Empang Katulampa Atang Sanjaya

2012 14,8 13,9 17,6 20,1

2011 11,3 13,6 15,4 19,3

2010 18 17,9 21,8 25,5

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Tabel 21 Temperatur, Kelembaban Relatif, dan Tekanan Udara Kota Bogor Tahun 2011-2012

Rata-rata Tahun

Temperatur (°C) Kelembaban Relatif (%) Tekanan Udara (NBS)

Mak Min Max Min Max Min

2012 32,1 22,4 92,0 68,7 991,8 987,5

2011 30,9 22,9 91,6 78,3 991,1 987,1

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Sebaran Struktur Pemicu Petir

Berdasarkan data Kominfo Kota Bogor tahun 2014 jumlah menara BTS (Base Tranceiver Station) yang tersebar di Kota Bogor sebanyak 244 menara. Terdapat dua jenis menara BTS di Kota Bogor yaitu tipe green field dan roof top. Tipe green field merupakan jenis menara BTS yang dibangun langsung di atas permukaan tanah. Total menara tipe green field sebanyak 165 unit. Sedangkan tipe roof top merupakan jenis menara BTS yang dibangun di atas atap bangunan seperti atap hotel, gedung perkantoran, mall, dan lainnya. Total menara BTS tipe roof top sebanyak 79 unit. Ketinggian menara BTS di Kota Bogor bervariasi mulai dari ketinggian minimal 3 meter dan maksimal 30 meter untuk tipe roof top.

(35)

23 Tabel 22 Nama Operator dan Tipe Menara BTS di Kota Bogor

Nama Operator Tipe Menara Jumlah (unit)

Green Field Roof Top

Sumber : Pengolahan Data Kominfo Kota Bogor (2014)

Petir CG dan Curah Hujan

Data petir CG dan curah hujan dalam penelitian ini didapatkan berdasarkan data sekunder. Hasil pengolahan berdasarkan data BMKG Kelas I Darmaga terkait curah hujan pada tahun 2011-2013 dapat dilihat pada Lampiran 1. Lokasi yang dipakai untuk pengamatan curah hujan terbagi menjadi empat titik elevasi yaitu (1) stasiun Klimatologi Darmaga ; (2) Empang ; (3) Katulampa ; dan (4) Lanud Atang Sanjaya. Data curah hujan pada Lampiran 1 merupakan data curah hujan bulanan dalam milimeter (mm). Curah hujan bulanan diperlukan untuk melihat hubungan antara intensitas petir dengan curah hujan setiap bulannya. Data dari empat stasiun akan dipadukan untuk mendapatkan data curah hujan setiap bulannya.

Data petir CG belum dapat diidentifikasi dengan baik. Data petir yang dihasilkan Lightning Detector Stasiun Klimatologi Darmaga berupa total sambaran petir setiap bulannya dan hari terjadinya petir. Untuk jenis petirnya tidak dapat dibedakan secara spesifik antara petir CG, petir CC, petir IC ataupun jenis petir lainnya. Data yang tersedia hanya kejadian terjadinya sambaran petir yang berhasil direkam Lightning Detector. Berdasarkan data yang tersedia di BMKG Darmaga tahun 2011-2013, alat Lightning Detector sering mengalami kerusakan setiap tahunnya pada bulan Maret. Untuk data petir tahun 2012 alat tidak dapat berfungsi, sehingga data petir tidak dapat teridentifikasi. Pada Lampiran 2 dapat dilihat frekuensi terjadinya petir selama satu tahun dan jumlah hari petir setiap bulannya.

Arah Angin /Wind rose

(36)

24

dapat dilihat contoh hasil WRPLOT berupa windrose di bulan Desember 2013. Terdapat 12 bentuk data windrose seperti Gambar 4 mulai dari bulan Januari 2013 sampai Desember 2013. Pada Lampiran 3 dapat dilihat frekuensi angin pada tahun 2013 berdasarkan windrose dari BMKG Darmaga.

Gambar 4 Wind rose Angin Rata-rata dan Angin Terbesar Bulan Desember 2013 (Sumber : BMKG Darmaga 2014)

Tipe Awan

(37)

25 karakteristik umum yaitu jenis awan konvektif yang mengandung muatan listrik dan menjadi sumber pelepasan berbagai jenis petir. Oleh karena itu dapat dianalogikan bahwa jumlah kejadian petir yang terdeteksi (Lampiran 2) mengindikasikan jumlah kehadiran dan terbentuknya awan Cb (Cumulonimbus).

Penggunaan Lahan

Berdasarkan data Bappeda tahun 2010 penggunaan lahan Kota Bogor didominasi oleh fasilitas permukiman seluas 3135,79 ha dan perumahan seluas 1020,08 ha. Penggunaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau seluas 6088,58 ha dengan beberapa bentuk fungsi ruang seperti kawasan hijau, sempadan sungai, jalur hijau jalan, jalur hijau sutet, kebun raya, taman kota, TPU, taman lingkungan, lahan pertanian kota, hutan kota, taman perkotaan, taman rekreasi, dan lapangan olahraga. Luas penggunaan lahan untuk Ruang Terbuka Biru seperti sungai seluas 124,59 ha, situ seluas 14,4 ha, dan kolam seluas 18,84 ha.

Penggunaan lahan untuk komplek militer seluas 73,96 ha sedangkan untuk gardu seluas 1,84 ha. Di sektor perdagangan total penggunaan lahan seluas 81,02 ha ditambah lahan untuk industri seluas 92,59 ha dan lahan untuk terminal seluas 5,41 ha. Penggunaan lahan untuk istana seluas 1,17 ha dan sisanya untuk lahan yang tidak teridentifikasi seluas 144,35 ha. Jenis penggunaan lahan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Jenis Penggunaan Lahan di Kota Bogor tahun 2010

Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha)

Fasilitas Permukiman (Kesehatan, perkantoran, pendidikan, dan ibadah) 3135,79

Perumahan 1020,08

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Kependudukan Kota Bogor

Penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 terdapat sebanyak 1004831 orang yang terdiri atas 510884 orang laki-laki dan sebanyak 493947 perempuan. Dibandingkan dengan tahun 2011 jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 bertambah sebanyak 37433 orang atau meningkat sebanyak 3,87%. Dengan luas mencapai 8480 orang per km2. Pada Tabel 24 dapat dilihat perbandingan jumlah penduduk, luas wilayah, dan tingkat kepadatan penduduk Kota Bogor pada tahun 2012.

(38)

26

jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Bogor Timur sejumlah 99983 jiwa. Untuk tingkat kepadatan penduduk, Kecamatan Bogor Tengah merupakan yang terpadat yaitu 12825/km2. Hal ini dikarenakan pusat pemerintahan dan mayoritas kegiatan perekonomian berada di kecamatan ini, sehingga kepadatan penduduknya paling tinggi dibanding kecamatan yang lainnya.

Tabel 24 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Tingkat Kepadatan Kota Bogor Tahun 2012 Laki-laki Perempuan Laki-laki +

Perempuan

Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

Penyusunan Peta Tematik

Peta Dasar

Penyusunan peta dasar mengacu pada data infrastruktur jalan Kota Bogor. Data infrastruktur jalan yang didapatkan dari Bappeda Kota Bogor menyebutkan terdapat beberapa fungsi jalan di Kota Bogor. Fungsi jalan di Kota Bogor terbagi menjadi jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal. Jalan arteri terbagi menjadi jalan arteri primer dan arteri sekunder. Jalan arteri primer seperti jalan Tol Jagorawi yang melintasi Kota Bogor. Jalan arteri sekunder seperti Jalan Pajajaran, Jalan Raya Bogor-Jakarta, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Surya Kencana, dan sejenisnya.

Jalan kolektor terbagi menjadi jalan kolektor primer, jalan kolektor sekunder 1, jalan kolektor sekunder 2, dan jalan kolektor sekunder 3. Jalan kolektor primer seperti Jalan Raya Dramaga, Jalan Kapten Muslihat, Jalan Gunung Batu, Jalan Raya Ciawi-Sukabumi, dan sejenisnya. Jalan kolektor sekunder 1 seperti Jalan Empang, Jalan Dewi Sartika, Jalan Mayor Oking, dan sejenisnya.

Jalan kolektor sekunder 2 seperti Jalan Salak, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Katulampa, Jalan Sukasari, Jalan Tentara Pelajar, dan sejenisnya. Jalan kolektor sekunder 3 seperti Jalan Malabar, Jalan Lawang Saketeng, Jalan Kantor Batu, Jalan Bangka, dan sejenisnya. Peta dasar yang telah diolah dapat dilihat pada Gambar 5. Peta tersebut menjadi acuan dalam penyusunan peta tematik yang lainnya. Peta dasar ini disusun berdasarkan sumber peta dari Bappeda Kota Bogor.

Peta Elevasi

(39)

27

(40)

28

Bappeda (Tabel 15) variasi ketinggian ini mulai dari 0-200 mdpl tersebar dibagian Kecamatan Bogor Utara, Bogor Barat, dan Tanah Sareal. Ketinggian 201-250 mdpl tersebar di Kecamatan Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Selatan, Bogor Barat, dan Tanah Sareal.

Ketinggian 251-300 mdpl tersebar di Kecamatan Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor tengah, Bogor Selatan, dan Bogor Barat. Untuk ketinggian diatas 300 mdpl tersebar di Kecamatan Bogor Timur, Bogor Tengah, dan Bogor Selatan. Hasil klasifikasi tersebut dapat dilihat secara spasial pada Gambar 6.

Peta Geologi

Kota Bogor memiliki beberapa jenis formasi batuan seperti batuan gunung api Salak, batuan gunung api Pangrango, breksi dan lava gunung Kencana dan Limo, formasi Bojongmanik, formasi Jatiluhur, dan kipas aluvium. Formasi ini terbagi ke beberapa bagian wilayah di Kota Bogor. Formasi batuan gunung api Salak tersebar ke sebagian wilayah Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Tengah, dan Bogor Barat. Formasi batuan gunung api Pangrango tersebar di Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Tengah, dan Bogor Timur.

Formasi batuan breksi dan lava gunung Kencana dan Limo hanya tersebar di Kecamatan Bogor Timur. Formasi Bojongmanik teridentifikasi di Kecamatan Bogor Barat. Untuk formasi Jatiluhur hanya tersebar di Kecamatan Bogor Utara. Ketiga formasi ini terlihat minoritas dikarenakan perpotongan batas administrasi Kota Bogor dengan formasi geologi regional. Sedangkan formasi kipas aluvium tersebar luas di Kecamatan Bogor Barat, Bogor Utara, dan Tanah Sareal. Pada Gambar 7 dapat dilihat persebaran geologi secara spasial di Kota Bogor.

Peta Badan Air

Kota Bogor dilalui dua sungai utama yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. Anak sungai dari dua sungai utama ini membentuk pola aliran paralel-sub paralel sehingga mempercepat waktu mencapai debit puncak (time to peak). Selain dua sungai utama tersebut Kota Bogor juga dilalui sungai lainnya seperti Sungai Cipakancilan, Sungai Cidepit, Sungai Ciparigi, dan Sungai Cibalok. Permukaan air sungai tersebut umumnya berada di bawah permukaan, sehingga relatif aman dari bahaya banjir. Kondisi rawan banjir dapat ditemui di beberapa lokasi di Kota Bogor. Hal ini terpicu kondisi drainase yang semakin memburuk dan laju run off. Selain sungai, bentuk badan air yang terdapat di Kota Bogor adalah danau, situ, dan kolam. Bentuk badan air ini akan diidentifikasi dengan kriteria dan karakter yang dapat memicu terjadinya sambaran petir. Hal ini berkaitan dengan pola aktifitas manusia dan sifat kelistrikan badan air tersebut. Peta spasial persebaran sungai, danau, kolam, dan bentuk badan air lainnya dapat dilihat pada Gambar 8.

Peta Sebaran Struktur Pemicu Petir

(41)

29

(42)

30

(43)

31

(44)

32

Sehingga peta sebaran struktur pemicu petir yang diolah hanya berisi sebaran spasial menara BTS. Total 244 menara BTS dispasialkan ke dalam peta dasar untuk mendapatkan peta sebaran struktur pemicu petir. Peta sebaran struktur pemicu petir dapat dilihat pada Gambar 9.

Terdapat dua titik lokasi menara BTS yang tidak sesuai dengan deskripsi lokasinya ketika dispasialkan. Menara BTS yang pertama adalah menara milik TBG 3G Ciluar Bogor yang berlokasi di Jalan Raya Bogor No. 24 tipe green field dengan tinggi 32 meter. Menara BTS yang kedua adalah milik Indosat yang

berlokasi di Jalan Darul Qur’an Kampung Loji Rt 03/02 tipe green field dengan tinggi 42 meter. Hasil spasial meleset di luar batas administrasi Kota Bogor. Lokasi menara BTS ini seharusnya berada di daerah Sindang Barang Loji dan titik lainnya di Jalan Raya Bogor. Hal ini mungkin terjadi saat memasukan titik koordinat atau pada saat pelabelan tidak dicek ulang hasilnya di map engine.

Peta Landuse dan Landcover

Penggunaan lahan Kota Bogor sangat beragam dengan luas area yang terbagi menjadi beberapa jenis penggunaan. Luas permukiman dan perumahan merupakan salah satu yang mendominasi penggunaan lahan di Kota Bogor. Total penggunaan lahan untuk permukiman dan perumahan mencapai 4155,87 ha. Hal ini menjadikan kepadatan penduduk Kota Bogor sangat bervariasi tergantung dari pola persebaran perumahan dan permukimannya. Hal tersebut akan dianalisis kedepannya untuk menentukan sebaran spasial area terbangun.

Penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau mencapai total 6088,58 ha. Total ruang terbuka hijau yang sangat tinggi menjadikan Kota Bogor sebagai salah satu kota dengan fungsi RTH yang baik. Ruang terbuka hijau ini tidak tersebar di satu titik melainkan tersebar secara acak di beberapa fungsi ruang seperti taman kota, kebun raya, sempadan sungai, TPU, jalur hijau jalan, dan fungsi lainnya. Untuk ruang terbuka biru penggunaan lahannya lebih didefiniskan ke jenis badan air seperti sungai, situ, dan kolam. Sumber data landuse dan landcover berasal dari data Bappeda tahun 2008. Keseluruhan penggunan ruang tersebut dispasialkan ke dalam peta landuse dan landcover (Gambar 10).

Analisis

Studi ini memakai tiga kriteria bahaya dalam tahap analisisnya yaitu tingkat bahaya rendah dengan skor 1, tingkat bahaya sedang dengan skor 2, dan tingkat bahaya tinggi dengan skor 3. Setiap aspek yang dianalisis memiliki kriteria tertentu untuk menentukan tingkat bahaya terhadap gangguan bahaya petir. Untuk analisis secara spasial digunakan peta tematik dengan pembagian kriteria bahaya melalui tiga jenis warna dasar yaitu kriteria bahaya rendah dengan warna hijau, sedang dengan warna biru, dan tinggi dengan warna merah.

Analisis Landuse dan Landcover

(45)

33

(46)

34

(47)

35 berdasarkan data Bappeda seluas 4411,86 ha. Ruang terbangun di Kota Bogor masuk ke dalam kriteria bahaya tinggi dengan skor 3.Hal ini dikarenakan di dalam ruang terbangun tingkat aktifitas kegiatan manusia tergolong tinggi. Tingkat aktifitas manusia yang tinggi terkait dengan kepadatan penduduk yang tinggi di area sekitar permukiman, perumahan, dan ruang terbangun lainnya. Sehingga tingkat resiko bahaya petir di ruang terbangun semakin tinggi dikarenakan adanya kegiatan manusia di dalam fungsi ruang tersebut.

Di dalam ruang terbangun ini kegiatan manusia berlangsung secara aktif dan pasif. Seringkali kegiatan manusia di dalam ruang terbangun dilakukan secara rutin dalam jangka waktu yang lama. Karakter dari bahaya petir yang dapat menyambar properti manusia cenderung dominan mencari medium seperti logam, besi, dan benda lainnya yang baik menghantarkan listrik. Beberapa contoh bentuk ruang terbangun yang ada di Kota Bogor dan aktifitas manusianya dapat dilihat pada Gambar 11.

.

Gambar 11 Ruang Terbangun Kota Bogor

(Sumber : dokumen pribadi)

(48)

36

Di dalam ruang terbuka hijau ini seringkali terdapat pohon dengan ketinggian yang cukup kontras dengan lingkungan sekitarnya sehingga apabila manusia sedang beraktifitas di dalamnya maka terdapat resiko bahaya yang bisa terjadi. Kegiatan yang berlangsung di ruang terbuka hijau cenderung ke arah kegiatan sementara baik aktif ataupun pasif. Kegiatan ini seperti bersantai di taman, membaca, olahraga, jalan-jalan, dan kegiatan lainnya yang sifatnya berlangsung sementara dalam jangka waktu tertentu. Selain fungsi ruang tersebut terdapat jenis lahan kosong yang ditemui di Kota Bogor. Lahan ini cenderung berada diantara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau. Sehingga ada kegiatan manusia di dalam lahan kosong ini. Untuk jenis lahan kosong seluas 144,35 ha masuk ke dalam kriteria bahaya sedang dengan skor 2. Beberapa contoh bentuk ruang terbuka hijau dan kegiatan manusia di dalamnnya dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor

(Sumber : dokumen pribadi)

Ruang terbuka biru dalam studi ini hanya sebatas bentuk badan air seperti sungai, danau/situ, dan kolam. Ketiga karakter ini erat kaitannya dengan kegiatan manusia yang ada di dalam fungsi ruang tersebut. Kegiatan manusia tersebut berlangsung sementara dalam jangka waktu singkat. Hal ini dikarenakan tipe lanskap dari Kota Bogor hanya memanfaatkan fungsi badan air untuk keperluan tertentu saja seperti mandi, mencuci perlengkapan rumah tangga, buang air besar/kecil, mencari ikan, bermain, dan kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut hanya ditemui di beberapa kondisi tertentu dikarenakan masyarakat Kota Bogor semakin sadar akan pentingnya menjaga keberlanjutan badan air untuk masa depan mereka.

(49)

37 dalam jangka waktu lama di daratan dan di area sekitar ruang terbangun daripada di dalam ruang terbuka biru. Sehingga kriteria bahaya ruang terbuka biru Kota Bogor masuk dalam kriteria bahaya rendah dengan skor 1. Pada Gambar 13 dapat dilihat bentuk ruang terbuka biru yang ada di Kota Bogor dan kegiatan manusia di dalamnya. Peta analisis landuse dan landcover secara spasial dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 13 Ruang Terbuka BiruKota Bogor

(Sumber : dokumen pribadi)

Analisis Resistivitas Batuan

Formasi geologi tersusun dengan proses alami dalam periode waktu yang sangat lama. Proses alami ini menjadi dasar bagaimana karakteristik batuan yang menyusun formasi geologi dapat terbentuk (Effendi, 1998). Menurut Martodjojo (1984) Wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga mandala sedimentasi, yaitu :

a. Mandala Paparan Kontinen Utara terletak pada lokasi yang sama dengan Zona Dataran Pantai Jakarta. Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batu gamping, batu lempung, dan batu pasir kuarsa, serta lingkungan pengendapannya umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai 5000 meter.

(50)

38

(51)

39 c. Mandala Cekungan Bogor meliputi zona Bogor, zona Bandung, dan zona Pegunungan Selatan. Mandala ini merupakan mandala sedimentasi yang dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti andesit, basal, tuf, dan batu gamping. Ketebalan sedimen ini diperkirakan lebih dari 7000 meter.

Mandala Cekungan Bogor mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier sampai Kuarter. Mandala ini terdari dari tiga siklus pengendapan. Pertama diendapkan sedimen laut dalam, kemudian sedimen daratan yang berangsur berubah menjadi sedimen laut dangkal, dan yang terakhir diendapkan sedimen dengan mekanisme aliran gravitasi. Siklus pertama dan kedua sedimen berasal dari utara, sedangkan siklus ketiga berasal dari selatan.

Karakteristik batuan dalam menghantarkan listrik erat kaitannya dengan nilai resistivitas batuan tersebut. Semakin tinggi nilai resistivitas batuan tersebut maka semakin lemah konduktivitasnya. Konduktor secara umum didefinisikan dengan suatu bahan yang memiliki nilai resistivitas kurang dari 10-8 Ωm, sedangkan isolator memiliki nilai resistivitas di atas 107 Ωm. Apabila nilai resistivitas diantara keduanya maka bahan tersebut masuk ke dalam semikonduktor. Nilai resistivitas banyak dipakai untuk studi geolistrik di suatu daerah. Formasi geologi yang tersebar di Kota Bogor merupakan jenis formasi yang tidak bisa dibatasi dengan batasan administrasi. Sehingga batasan spasial yang diolah pada peta tematik dan peta analisis merupakan perpotongan antara batasan formasi geologi regional dengan batasan adminitrasi Kota Bogor. Formasi geologi Kota Bogor merupakan bagian formasi geologi yang terbentang di atas wilayah Kabupaten Bogor, Banten, dan wilayah regional yang lebih luas. Kota Bogor secara umum ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Salak (berupa alluvium/kal dan kipas alluvium/kpal) dan Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tufaan/kpbb). Terdapat enam formasi geologi di Kota Bogor, yaitu formasi Bojongmanik, formasi Jatiluhur, kipas Aluvium, Breksi dan Lava Gunung Kencana dan Limo, batuan Gunung Api Salak, dan batuan Gunung Api Pangrango.

Formasi Bojongmanik merupakan endapan khas blok Banten, khususnya cekungan Rangkasbitung. Ke arah timur Leuwiliang formasi berubah menjadi endapan marin dari formasi Cibulakan. Formasi Bojongmanik sangat mirip dengan formasi Cibulakan yang berumur Miosen Tengah. Formasi Bojongmanik umumnya menempati topografi yang rendah. Formasi Bojongmanik terdiri dari batu pasir dan batu lempung dengan sisipan batu gamping. Tebal formasi ini diperkirakan mencapai 1000 meter. Berdasarkan data nilai resistivitas batuan (Tabel 5) maka formasi Bojongmanik memiliki tingkat resistivitas 50-500Ωm (batu pasir), 1-100 Ωm (batu lempung), dan 100-500 Ωm (batu kapur).

Gambar

Gambar 4 Wind rose Angin Rata-rata dan Angin Terbesar Bulan Desember 2013
Gambar 5 Peta Sirkulasi Sebagai Dasar
Gambar 6 Peta Elevasi
Gambar 7 Peta Geologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa minyak atsiri daun kemangi (Ocimum basilicum L.) memiliki efek sebagai agen penghambat pembentukan

Menimbang, bahwa guna memenuhi ketentuan Pasal 82 ayat (4) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam 2 siklus dengan menerapkan Metode Smart Games dalam pembelajaran Matematika pada siswa Kelas IX B

Kualitas tidur yang tidak baik akan memudahkan lansia mengalami kekambuhan penyakit hipertensi, hal tersebut dikarenakan kualitas tidur yang buruk akan berdampak

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Heuristik

Metode penelitian ini menggunakan metode Fungsi Hash dengan studi kasus yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih mendalam dan lengkap dari subyek yang akan diteliti,

Berdasarkan pemaparan di atas, tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui perbedaan hasil belajar membaca bahasa Inggris antara kelompok siswa yang

Mengenai hal ini, Alkitab mencatat bahwa “langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada