• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Alelopati Alpinia Malaccensis (Burm. F.) Roxb. Terhadap Jenis Invasif Merremia Peltata (L.) Merrill.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Alelopati Alpinia Malaccensis (Burm. F.) Roxb. Terhadap Jenis Invasif Merremia Peltata (L.) Merrill."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI ALELOPATI

Alpinia malaccensis

(Burm. F.) Roxb.

TERHADAP SPESIES INVASIF

Merremia peltata

(L.) Merrill.

SITI AISAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Alelopati Alpinia malaccensis (Burm. F.) Roxb. terhadap Jenis Invasif Merremia peltata (L.) Merrill adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

RINGKASAN

SITI AISAH. Potensi Alelopati Alpinia malaccensis (Burm. F.) Roxb. terhadap Jenis Invasif Merremia peltata (L.) Merrill. Dibimbing oleh SULISTIJORINI dan TITIEK SETYAWATI.

Spesies tumbuhan invasif yang mendominasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) mengakibatkan penurunan drastis keanekaragaman hayati. Tumbuhan invasif merupakan spesies tumbuhan asli maupun asing yang mengkolonisasi habitat secara masif. Merremia peltata merupakan spesies tumbuhan lokal yang menginvasi beberapa kawasan TNBBS. Spesies tersebut dapat tumbuh dengan baik dan tidak terkendali membentuk tutupan rapat di kawasan terbuka dan cahaya matahari melimpah sehingga dapat mematikan vegetasi di sekitarnya. Pengendalian perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran dan membatasi kerapatan M. peltata di antaranya dengan cara alelopati. Alelopati merupakan proses penghambatan suatu tumbuhan yang melibatkan metabolit sekunder. Alelopati spesies tumbuhan lokal dari hasil analisis vegetasi dapat dijadikan alternatif solusi dalam mencegah penyebaran M. peltata.

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui dominansi spesies tumbuhan di kawasan terinvasi M. peltata dan menguji potensi alelopati ekstrak A. malaccensis terhadap pekecambahan biji dan pertumbuhan semai M. peltata. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan di kawasan terinvasi M. peltata Resort Tampang TNBBS. Komposisi dan dominansi spesies tumbuhan di lokasi pengamatan dapat diketahui dengan menggunakan parameter: 1) Indeks Nilai Penting (INP); 2) Indeks

Keanekaragaman Spesies (H’). Uji alelopati A. malaccensis terhadap

perkecambahan biji M. peltata dilakukan menggunakan metode RAL (Rancangan Acak Lengkap) 6 kali pengulangan (kontrol, 30 g/l, 60 g/l, 90 g/l, 120 g/l, dan 150 g/l) dan 3 kali pengulangan pada semai (kontrol, 50 g/l, 100 g/l, 150 g/l, dan 200 g/l). Peubah yang diamati meliputi daya berkecambah (DB), bobot kering (BK), daya hambat plumula, dan radikula kecambah M. peltata, panjang sulur, jumlah daun, panjang, dan lebar daun M. peltata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman spesies di Resort Tampang tergolong sangat rendah sampai sedang. Tumbuhan bawah merupakan kelompok yang memiliki jumlah spesies paling banyak dibandingkan tumbuhan tegakan. Spesies tumbuhan bawah yang mendominasi kawasan tersebut yaitu A. malaccensis (Zingiberaceae). Habitus A. malaccensis licin, berumpun, dan pelepah daun mengumpul membentuk batang semu menyebabkan A. malaccensis sulit dililit M. peltata. Hasil analisis kandungan senyawa kimia pada sampel segar rizom dan daun menunjukkan bahwa A. malaccensis mengandung alelokimia. Ekstrak rizom dan daun A. malaccensis 150 g/l memperlihatkan penghambatan tertinggi terhadap daya berkecambah, bobot kering, panjang plumula dan radikula kecambah. Ekstrak rizom dan daun A. malaccensis 200 g/l memperlihatkan penghambatan tertinggi terhadap pertambahan panjang sulur, jumlah daun, panjang, dan lebar daun M. peltata. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alternatif solusi untuk menekan invasi M. peltata dalam menjaga kelestarian ekosistem TNBBS Lampung.

(4)

SUMMARY

SITI AISAH. Allelopathy potential of Alpinia malaccensis (Burm. F.) Roxb. to invasive species Merremia peltata (L.) Merrill. Supervised by SULISTIJORINI and TITIEK SETYAWATI.

Invasive plant species which currently dominates Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) cause a drastic reduction of biodiversity. Merremia peltata is a native plant species that invades several areas of the BBSNP. They are able to grow well and form a dense cover in an open area. The growth becomes more rapid under direct sunlight and further interfere the surrounding vegetation. One of the control strategies for invasive plant species is the use of allelopathy. This control is necessary to prevent the spread and to limit the density of M. peltata. Allelopathy is the inhibition process of a plant that involves a secondary metabolite.

This study is aimed to determine the dominance plant species in invaded areas of M. peltata and explore the allelopathy potential of Alpinia malaccensis on seed germination and seedling growth of M. peltata. Vegetation analysis was conducted in the area invaded M. peltata of Resort Tampang TNBBS. The composition and dominance of plant species in the invaded area could be determined by using these following parameters: 1) The Importance of Value Index (IVI); 2) Species diversity index (H'). Germination response of M. peltata seeds used CRD (Completely Randomize Design) 6 repetitions (control, 30, 60, 90, 120, and 150 g/l) and 3 repetitions for seedlings of M. peltata (control, 50, 100, 150, and 200 g/l). The parameters observed were germination, dry weight, inhibition rate of plumula, radicle sprouts of M. peltata, tendrils length, amount of leaves, length, and width of M. peltata leaves.

The results showed that the species diversity index in Tampang Resort was considered as very low to moderate. Understorey, which was mainly dominated by A. malaccensis (Zingiberaceae), had the highest number of species than trees. Performance of A. malaccensis that is slick and clumps with leaf midrib clumping together to form pseudo stem lead to such shape, so that this species cannot easily occupied by M. peltata. The analysis of chemical compounds of fresh rhizome and leaves showed that A. malaccensis contains allelochemicals. Rhizomes and leaves extract (150 g/l) of A. malaccensis yielded the highest inhibition in germination, dry weight, plumule and radicle length of M. peltata seedlings. While rhizomes and leaves extract (200 g/l) of A. malaccensis shows the highest inhibition in tendril length, amount of leaves, length, and width of M. peltata leaves. It is expected that results of this study could provide information on alternative solutions to suppress the invasion of M. peltata in BBSNP in Lampung.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

POTENSI ALELOPATI

Alpinia malaccensis

(Burm. F.) Roxb.

TERHADAP JENIS INVASIF

Merremia peltata

(L.) Merrill.

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(7)
(8)

Judul Tesis : Potensi Alelopati Alpinia malaccensis (Burm. F.) Roxb. terhadap Spesies Invasif Merremia peltata (L.) Merrill.

Nama : Siti Aisah

NIM : G353130141

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sulistijorini, MSi Ketua

Dr Ir Titiek Setyawati, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan

Dr Ir Miftahuddin, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 hingga September 2015 ini ialah alelopati, dengan judul Potensi Alelopati Alpinia malaccensis (Burm. F.) Roxb. terhadap Jenis Invasif Merremia peltata (L.) Merrill. Penelitian ini didanai oleh FORIS Project Indonesia, Puslitbang Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Sulistijorini, MSi dan Dr Ir Titiek Setyawati, MSc selaku komisi pembimbing. Terima kasih kepada Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri-Calon Dosen tahun 2013 (BPPDN-Caldos 2013) dan Beasiswa Pemprov Jawa Barat. Terima kasih kepada seluruh staf dan tenaga fungsional Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Biologi Tumbuhan yang telah memberikan dukungan moril selama proses penyelesaian studi. Terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, saudara serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN 1 Latar belakang 1 Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 2

Tumbuhan Invasif 3

Merremia peltata (L.) Merril. 4

Alelopati 5

Alpinia malaccensis (Burm. F.) Roxb. 6

3 METODE 7 Waktu dan Lokasi Penelitian 7 Bahan dan Alat 8 Metode 8

Analisis Vegetasi 8

Identifikasi Spesies Tumbuhan 8

Analisis Data Vegetasi 9

Pertumbuhan Merremia peltata 9

Faktor Abiotik di Lapangan 9

Kandungan Senyawa Kimia A. malaccensis 10

Pembuatan Ekstrak A. malaccensis 10

Uji Alelopati A. malaccensis terhadap Biji M. peltata 10

Uji Alelopati A. malaccensis terhadap Semai M. peltata 10

Analisis data 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Hasil 11

Keanekaragaman Spesies 11

Pertumbuhan M. peltata 14

Faktor Abiotik di Lapangan 15

Kandungan Senyawa Kimia A. malaccensis 16

Respon Biji M. peltata terhadap Alelopati A. malaccensis 16

Respon Semai M. peltata terhadap Alelopati A. malaccensis 18

(11)

Keanekaragaman Spesies 19 Pertumbuhan M. peltata 21 Kandungan Senyawa Kimia A. malaccensis 22 Respon Biji dan Semai M. peltata terhadap Alelopati A. malaccensis 23

5 SIMPULAN 25

DAFTAR PUSTAKA 26

(12)

DAFTAR TABEL

Komposisi spesies tumbuhan bawah di Resort Tampang

Komposisi spesies tumbuhan tingkat semai di Resort Tampang Komposisi spesies tumbuhan tingkat pancang di Resort Tampang

Komposisi spesies tumbuhan tingkat tiang di Resort Tampang Komposisi spesies tumbuhan tingkat pohon di Resort Tampang Rata-rata hasil pengukuran faktor abiotik di lapangan Kelompok alelokimia A. malaccensis Rata-rata Daya Berkecambah (DB) dan Berat Kering (BK) kecambah M. peltata

Rata-rata panjang plumula dan radikula M. peltata Rata-rata pertambahan panjang sulur, jumlah daun, panjang dan lebar

daun M. peltata

Hasil analisis ragam (ANOVA) pertambahan panjang sulur M. peltata

per hari di lokasi penelitian Resort Tampang TNBBS Hasil analisis ragam (ANOVA) pertambahan jumlah daun M. peltata per

hari di lokasi penelitian Resort Tampang TNBBS

Hasil uji lanjut Tukey pertambahan panjang sulur dan jumlah daun M.

peltata per hari di lokasi penelitian Resort Tampang TNBBS Hasil analisis ragam (ANOVA) daya hambat ekstrak rizom A.

malaccensis terhadap daya berkecambah (DB) dan bobot kering (BK) kecambah M. peltata

Hasil analisis ragam (ANOVA) daya hambat ekstrak daun A. malaccensis terhadap daya berkecambah (DB) dan bobot kering (BK) kecambah M.

peltata Hasil analisis ragam (ANOVA) daya hambat ekstrak rizom A.

(13)

9 10 11

Analisis Uji T daya hambat ekstrak rizom dan daun A. malaccensis

terhadap jumlah daun semai M. peltata Analisis Uji T daya hambat ekstrak rizom dan daun A. malaccensis

terhadap panjang daun semai M. peltata Analisis Uji T daya hambat ekstrak rizom dan daun A. malaccensis

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan kawasan konservasi yang memiliki hutan yang memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan tinggi. Resort Tampang merupakan salah satu kawasan TNBBS yang mengalami penurunan drastis keanekaragaman hayatinya. Penurunan tersebut diakibatkan oleh adanya eksploitasi secara terus-menerus oleh masyarakat sekitar ataupun pendatang untuk mengkonversi hutan menjadi area perkebunan, pemukiman, dan ladang berpindah (Wardah 2005). Kawasan yang mengalami kerusakan ini pada akhirnya menjadi area terbuka sehingga memicu terjadinya penyebaran tumbuhan invasif.

Tumbuhan invasif merupakan spesies tumbuhan asli maupun asing yang mengkolonisasi habitat secara masif. Spesies ini akan mengancam integritas lingkungan dan memberikan dampak negatif pada komunitas flora dan fauna. Tumbuhan invasif akan menangkarkan diri dan menyebar terus meskipun habitat tidak terganggu lagi. Dengan demikian tumbuhan invasif menjadi ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati (Daigneault & Brown 2013). Merremia peltata merupakan spesies tumbuhan lokal yang menginvasi beberapa kawasan TNBBS diantaranya Resort Tampang (Master 2012).

Spesies M. peltata (Convolvulaceae) atau mantangan memiliki perawakan liana berkayu, daun berukuran besar, lebar, dan berbentuk bundar jantung sampai bundar (orbicular) tersambung dengan tangkai pada tengah daun. Spesies tersebut dapat tumbuh dengan baik dan tidak terkendali di kawasan terbuka dan cahaya matahari melimpah. Tutupan M. peltata yang tinggi dapat menghambat proses fotosintesis sehingga berpotensi mematikan vegetasi di sekitarnya (Master et al. 2013).

Pengendalian M. peltata perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran dan membatasi kerapatannya. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan cara eradikasi, peningkatan agen biologis musuh alami, dan bioherbisida nabati. Bioherbisida nabati merupakan ekstraksi alelokimia yang diproduksi secara alamiah oleh tumbuhan. Alelokimia adalah metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan sistem biologis tumbuhan disekitarnya (Homa & Mitra 2013).

Strategi alami pada tumbuhan sebagai bentuk perlindungan atau penghambatan terhadap tumbuhan lain melalui pelepasan senyawa kimia ke lingkungannya disebut alelopati (Inderjit & Keating 1999; Singh et al. 2003). Kelompok tumbuhan yang berpotensi memiliki aktivitas alelopati diantaranya Zingiberaceae, Poaceae, Pinaceae, dan Verbenaceae. Djufri (2012) menyebutkan bahwa tumbuhan invasif di antaranya Akasia dapat dikendalikan oleh aktivitas alelopati. Pengendalian dengan cara alelopati dapat dilakukan menggunakan spesies tumbuhan lokal dari hasil analisis vegetasi di lapangan.

(15)

2

diharapkan dapat mengatasi pengaruh invasi M. peltata terhadap kelestarian ekosistem TNBBS Lampung.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu spesies tumbuhan apa yang dominan di kawasan terinvasi M. peltata dan bagaimana potensi alelopati A. malaccensis terhadap pekecambahan biji dan pertumbuhan semai M. peltata.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui dominansi spesies tumbuhan di kawasan terinvasi M. peltata. 2. Menguji potensi alelopati ekstrak A. malaccensis terhadap pekecambahan biji

dan pertumbuhan semai M. peltata.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai aktifitas penghambatan pertumbuhan M. peltata oleh ekstrak A. malaccensis. Berdasarkan informasi tersebut diharapkan dapat menjadi alternatif solusi untuk menekan invasi M. peltata dalam menjaga kelestarian ekosistem TNBBS Lampung.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini yaitu:

1. A. malaccensis merupakan spesies tumbuhan yang dominan di kawasan terinvasi M. peltata.

2. Ekstrak A. malaccensis mampu menghambat perkecambahan biji dan pertumbuhan semai M. peltata.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) memiliki luas 356 800 ha yang membentang dari Propinsi Bengkulu hingga ujung Selatan Propinsi Lampung. Secara administratif TNBBS termasuk dalam Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung, dan Kabupaten Bengkulu Selatan. TNBBS merupakan kawasan lindung terbesar ketiga di Sumatera (Gaveau et al. 2007).

(16)

3

mengalir ke arah Barat dan bermuara di Samudera Indonesia dan Teluk Semangka. Di bagian ujung Selatan TNBBS terdapat danau yang dipisahkan oleh pasir pantai selebar puluhan meter yaitu Danau Menjukut (150 ha). Di bagian tengah terdapat empat danau berdekatan yaitu Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10 ha), dan Danau Belibis (3 ha). Sementara bagian Tenggara, Selatan dan Barat TNBBS dikelilingi oleh lautan yaitu perairan Teluk Semangka, Tanjung Cina dan Samudera Indonesia (BTNBBS 1999).

Tipe ekosistem yang dimiliki oleh TNBBS antara lain mencakup hutan bakau, hutan pantai, hingga hutan pegunungan. Hutan pantai memiliki luas 3 568 ha, hutan hujan dataran rendah seluas 160 560 ha, hutan hujan bukit seluas 121 312 ha, hutan hujan pegunungan bawah seluas 60 656 ha dan hutan hujan pegunungan tinggi seluas 10 704 ha (BTNBBS 1999).

Kawasan TNBBS merupakan salah satu hutan tropis yang memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan tinggi. Spesies tumbuhan tersebut di antaranya dari suku Zingiberaceae (jahe-jahean), rotan (Callamus sp.), meranti (Shorea sp.), dan keruing (Dipterocarpus sp.) (BTNBBS 1999). Keanekaragaman spesies tumbuhan mengalami penurunan akibat terjadinya kerusakan di kawasan tersebut. Kerusakan ini disebabkan oleh ekploitasi, kebakaran hutan, pembalakan liar, perambahan, dan lain-lain yang dilakukan oleh penduduk sekitar maupun pendatang (Wardah 2005). Kerusakan tersebut dapat memicu berkembangnya spesies tumbuhan invasif di kawasan TNBBS (Master 2012).

Tumbuhan Invasif

Tumbuhan invasif adalah spesies tumbuhan yang memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang dengan cepat, tingkat kematangan yang singkat, reproduksi generatif dan vegetatif, menghasilkan buah atau biji yang banyak dan diproduksi secara terus menerus, penyebaran biji yang efektif, biji tetap hidup dalam jangka waktu lama, membentuk populasi padat, bebas hama, toleransi terhadap berbagai kondisi lingkungan, dan melakukan kompetisi intraspesies dengan cara alelopati. Karakter invasif suatu spesies tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luasnya distribusi alamiah, karakter keinvasifan, dan lamanya periode sejak introduksi (Baker 1974).

Tumbuhan invasif dikenal sebagai spesies tumbuhan yang mengancam integritas lingkungan dan memberikan dampak negatif ekologis, ekonomi, dan kesehatan manusia (Daigneault & Brown 2013). Dampak ekologis merupakan bentuk akibat langsung atau tidak langsung dari tumbuhan invasif terhadap penurunan populasi spesies lain, pergantian komunitas tumbuhan, dan hewan secara signifikan. Dampak tersebut di antaranya penghambatan reproduksi, kompetisi untuk mendapatkan makanan, nutrient, habitat dan sumberdaya penting lainnya. Dampak pada bidang ekonomi di antaranya terjadi penurunan hasil pertanian dan perkebunan yang berpengaruh pada pendapatan penduduk suatu daerah. Dampak pada kesehatan manusia di antaranya serbuk sari, duri, daun, batang beberapa tumbuhan invasif dapat menyebabkan dermatitis, alergi, dan bintik hitam pada kulit (Gunaseelan 1987; Morin et al. 2009).

(17)

4

keanekaragaman hayati, dimana pengendalian dan pengelolaannya memerlukan biaya yang besar (Daigneault & Brown 2013).

Merremia peltata (L.) Merrill.

Merremia peltata merupakan tumbuhan pemanjat yang berasal dari kawasan Pasifik. Spesies ini telah menjadi perhatian karena bersifat invasif di beberapa wilayah Pasifik. M. peltata banyak mendominasi daerah-daerah terbuka dan ekosistem hutan yang terdegradasi (Kirkham 2004). Tumbuhan liana M. peltata telah mendominasi kawasan terbuka TNBBS dengan cara menjalar dan melilit pohon-pohon inang. Spesies M. peltata yang dominan ini secara ekologis dapat menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa di kawasan tersebut (Yansen et al. 2015).

Merremia peltata memiliki perawakan liana berkayu dari suku Convolvulaceae. M. peltata memiliki daun yang lebar dan besar, berbentuk bundar jantung sampai bundar (Gambar 1a) yang memberikan kemampuan sebagai pertahanan di daerah terganggu seperti tanah tandus (Kirkham 2005). Daun M. peltata berwarna merah marun ketika masih muda. Batang dapat termodifikasi menjadi sulur. Sulur terbentuk ketika tumbuhan menyentuh atau merambat batang atau tiang. Batang akan mengeluarkan getah berwarna putih jika dilukai. Batang M. peltata tampak berwarna merah marun sampai hijau lunak ketika masih muda, kemudian tumbuh menjadi batang berwarna hijau tua sampai cokelat dan bertekstur keras berkayu (padat berisi). Batang melilit dan memanjat pohon atau semak (Gambar 1b). Mahkota bunga berwarna kuning atau putih, berbentuk lonceng, jumlah mahkota 5 helai, satu tangkai menghasilkan 20 bunga atau lebih (Gambar 1c). Biji berkeping dua, terbungkus, berambut (Mardiati 2014), berbentuk seperti gada dan berwarna coklat redup apabila sudah tua (Gambar 1d) (Rahmadani 2013). Tumbuhan M. peltata membentuk akar ketika buku batang menyentuh tanah. Akar tidak akan dijumpai ketika sulur atau batang hanya menyentuh atau merambati batang tumbuhan lain atau tiang-tiang penyangga, sehingga akar M. peltata benar-benar berfungsi sebagai organ penyerap air dan hara dari tanah (Mardiati 2014).

Gambar 1 Tumbuhan M. peltata: a) Daun; b) Batang; c) Bunga; d) Biji Tumbuhan M. peltata bereproduksi secara generatif dan vegetatif. Reproduksi secara generatif yaitu dengan biji. Perbanyakan secara vegetatif terjadi dengan tunas batang. Reproduksi secara vegetatif melalui batang yang dapat berakar di bagian buku-bukunya yang menyentuh tanah. Batang yang dipotong mampu menghasilkan anakan baru berupa tunas yang menjalar. Seperti liana pada umumnya, M. peltata selalu dipandang negatif oleh para pengelola hutan konservasi karena dapat merambati pohon-pohon yang dapat menyebabkan

(18)

5

kematian pada pohon yang dirambati, serta karena pertumbuhannya yang cepat (Master 2012).

Invasi M. peltata terjadi akibat adanya gangguan kerusakan hutan seperti kebakaran hutan, pembalakan liar, perambahan, dan tingginya intensitas ladang berpindah. Hal inilah yang mengakibatkan M. peltata menyebar luas dan menjadi dominan sehingga terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Penyebaran M. peltata dibantu oleh angin, burung, kelelawar yaitu berupa biji yang kemudian menjadi tersebar luas terutama pada area tutupan hutan rendah.

Beberapa upaya telah dilakukan oleh pihak TNBBS seperti eradikasi manual dan eskavasi dengan alat berat untuk menghambat perkembangan M. peltata namun tidak memberikan hasil yang siginifikan. M. peltata ini dapat beregenerasi dengan trubusan (resprouting) dan sisa-sisa akar (root suckering) sehingga sisa-sisa organ vegetatif dapat menjadi individu baru (Yansen et al. 2015).

Alelopati

Alelopati merupakan hambatan pada perkecambahan, pertumbuhan atau metabolisme suatu tumbuhan yang disebabkan oleh pelepasan senyawa-senyawa metabolit sekunder tumbuhan lain. Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia antar tumbuhan, antar mikroorganisme, atau antara tumbuhan dan mikroorganisme (Einhellig 1995). Menurut Rice (1984) interaksi tersebut meliputi penghambatan dan pemacuan secara langsung atau tidak langsung suatu senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu organisme (tumbuhan, hewan atau mikroorganisme) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Senyawa kimia yang berperan dalam mekanisme itu disebut alelokimia. Pengaruh alelokimia bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme tertentu namun tidak terhadap organisme lain.

Alelokimia merupakan metabolit sekunder berupa asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino nonprotein, sulfida serta nukleosida (Rice 1984; Einhellig 1995). Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik (Einhellig 1995). Alelokimia dapat ditemukan pada semua jaringan tumbuh-tumbuhan termasuk daun, batang, akar, rizom, bunga, buah dan biji. Senyawa-senyawa tersebut dapat dilepaskan dari jaringan tumbuh-tumbuhan dalam berbagai cara termasuk melalui penguapan, eksudat akar, pencucian dan pembusukan bagian-bagian organ yang mati (Reigosa et al. 2000; Qasem & Foy 2001). Sumber alelokimia dapat ditemukan pada gulma, tanaman pangan dan hortikultura, tumbuhan berkayu, residu, dan mikroorganisme (Junaedi et al. 2006).

(19)

6

bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran (Einhellig 1995).

Potensi alelopati dari suatu organisme sumber dan pengaruhnya terhadap organisme target memiliki keragaman yang secara umum disebabkan oleh faktor genetika maupun lingkungan. Keragaman potensi alelopati karena faktor lingkungan dapat terjadi pada keadaan perbedaan populasi, siklus hidup dan waktu tanam, tanah dan iklim, serta adanya cekaman biotik maupun abiotik (Junaedi et al. 2006). Pengaruh faktor lingkungan perlu mendapatkan perhatian karena adanya interaksi dengan faktor genetika dalam ekspresi fenotipe alelopati. Produksi dan ekskresi senyawa alelopati (alelokimia) dipengaruhi oleh suhu, cahaya, kondisi tanah, mikroorganisme, status hara, dan aplikasi herbisida (Olofsdotter 2001).

Alelokimia menunjukkan peranannya yang penting dalam memengaruhi aktivitas pemanjangan dan pembelahan sel, fotosintesis, respirasi, permeabilitas membran, pembukaan stomata, penyerapan ion mineral serta metabolisme protein dan asam nukleat (Baziramakenga et al. 1997). Alelokimia dari tumbuhan atau mikroorganisme dapat digunakan sebagai herbisida dalam menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan. Herbisida dari alelokimia yang sudah dikomersialkan antara lain triketon (leptospermona yang diperoleh dari tumbuhan Leptospermum scoparium) dan sinmetilin (Vyvyan 2002).

Alpinia malaccensis (Burm. F.) Roxb.

Alpinia malaccensis merupakan tumbuhan anggota suku Zingiberaceae. Perawakan A. malaccensis yaitu herba, berdiri tegak, tinggi 1-4 meter, tumbuh dalam rumpun yang rapat. Batangnya merupakan batang semu, yang merupakan kumpulan pelepah daun yang menyatu, berwarna hijau muda. Daunnya merupakan daun tunggal berwarna hijau, duduk berseling. Berbentuk lanset, panjangnya 40-80 cm dan lebarnya 9-12 cm. Tepi daun rata, pangkal tumpul, dan ujungnya runcing, pertulangan menyirip. Permukaan daun bagian atas licin, tetapi permukaan bawahnya berambut. Tangkai daun pendek, berpelepah panjang, beralur, berwarna hijau muda. Bunga majemuk berwarna putih, tersusun dalam tandan yang muncul dari ujung batang. Kelopak 3 buah, berlekuk, berwarna putih. Mahkota berbentuk tabung putih. Ketika mekar tampak bagian ujungnya berwarna merah atau merah jingga. Brakteola besar, berwarna putih, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing, menutup kuncup bunga. Mahkota 3 buah, berwarna putih dengan ujung merah atau merah jingga, panjang sekitar 2.5 cm dan lebar lebih kurang 1.5 cm. Labelum (bibir) bunga bagian tepi berwarna kuning, sedangkan bagian tengah merah jingga dengan bintik- bintik kuning. Benang sari hanya satu, tegak. Kepala sari berdiameter 2-3 cm, berwarna putih. Kepala putik berwarna hijau, dengan tangkai putik sepanjang 2-3 cm. Buah buni, bulat, keras, dan berambut. Sewaktu masih muda berwarna hijau, setelah tua berubah menjadi jingga. Bijinya banyak, kecil, lonjong, berwarna hitam. Akar serabut berwarna coklat muda (Dwi 1999).

(20)

7

tidak terdapat dalam rizom. Rizom dan buahnya juga mengandung saponin, flavonoida, dan tanin (Dwi 1999).

Pemanfaatan A. malaccensis diantaranya sebagai obat tradisional, bumbu masakan, minuman, dan sabun. Tumbuhan dari genus Alpinia mengandung senyawa antimikrobial (Kochuthressia et al. 2010), antioksidan (Sahoo et al. 2012), dan minyak atsiri (Dwi 1999). Minyak atsiri merupakan senyawa yang berfungsi sebagai alelopati terhadap tumbuhan lain di sekitarnya.

3 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada Mei dan Agustus 2014 di kawasan terinvasi M. peltata Resort Tampang TNBBS (Gambar 2). Pengamatan pertumbuhan M. peltata di laksanakan pada April 2015 di kawasan terinvasi M. peltata Resort Tampang. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah Balitro Bogor. Analisis kandungan senyawa kimia A. malaccensis dilakukan di Laboratorium Pengujian Hasil Hutan Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. Kegiatan uji alelopati terhadap biji M. peltata dilaksanakan pada Januari-September 2015 di Laboratorium biologi FMIPA IPB. Kegiatan uji alelopati terhadap semai M. peltata dilaksanakan pada September 2014-September 2015 di Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor.

Gambar 2 Peta Resort Tampang TNBBS (Master et al. 2013)

U

S

Study site

Prediction of invasion of M. peltata KETERANGAN

Bukit Barisan Selatan Nasional Park

(21)

8

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari spesimen tumbuhan, alkohol 70%, biji dan semai M. peltata, rizom dan daun A. malaccensis, akuades, klorox, kertas saring, dan tanah. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari koran bekas, gunting, tallysheet, amplop, label, kantong plastik, alat penjepit atau sasak, kamera digital, oven, cawan petri, blender, gelas ukur, botol ekstrak, pinset, penggaris, dan four in one.

Metode Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi spesies tumbuhan dengan menggunakan metode kuadrat. Sebanyak 3 (tiga) jalur rintisan sepanjang 1000 m dibuat di lokasi pengamatan dengan jarak antar jalur minimal 200 m. Masing-masing jalur terdiri dari 10 plot dengan interval antar plot sepanjang 100 m secara berselang (Gambar 3). Plot vegetasi dibuat dengan ukuran 2 m x 2 m untuk tumbuhan bawah (tumbuhan yang memiliki habitus selain pohon) dan semai (permudaan dari kecambah hingga tinggi 1.5 m), 5 m x 5 m untuk pancang (permudaan yang memiliki tinggi > 1.5 m dan diameter < 10 cm), 10 m x 10 m untuk tiang (diameter batang 10-20 cm), dan 20 m x 20 m untuk pohon (diameter batang > 20 cm) (Krebs 1999).

Gambar 3 Desain plot analisis vegetasi: a) Plot ukuran 20 m x 20 m; b) Plot ukuran 10 m x 10 m, c) Plot ukuran 5 m x 5 m; d) Plot ukuran 2 m x 2 m

Identifikasi Spesies Tumbuhan

Pengumpulan herbarium melalui koleksi spesimen bagian-bagian tumbuhan (daun, bunga, buah, dan kulit kayu) dilakukan saat pengamatan vegetasi. Kegiatan pengumpulan herbarium dilakukan terhadap seluruh spesies tumbuhan yang tidak dapat diidentifikasi langsung di lapangan. Selanjutnya spesies tumbuhan yang tidak dapat diidentifikasi secara langsung di lapangan dikirimkan ke Herbarium Bogoriense Lipi Cibinong.

100 m

Jalur rintisan 1000 m a

b c

d

a b

(22)

9

Analisis Data Vegetasi

Komposisi tumbuhan di kawasan terinvasi M. peltata dapat diketahui dengan menggunakan parameter: 1) Indeks Nilai Penting (INP); dan 2) Indeks Keanekaragaman Spesies (H’).

Indeks Nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui spesies tumbuhan yang memiliki dominansi tertinggi. INP merupakan penjumlahan dari nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR) yang dihitung menggunakan formulasi berikut (Soerianegara & Indrawan 1988):

Kerapatan Mutlak (KM) = Jumlah individu (individu/ha) Luas plot contoh

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan mutlak spesies x 100% Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi Mutlak (FM) = Jumlah plot ditemukan spesies Jumlah seluruh plot

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi mutlak spesies x 100% Frekuensi seluruh spesies

Dominansi Mutlak (DM) = Luas bidang dasar spesies (m2/ha) Luas plot contoh

Dominansi Relatif (DR) = Dominasi mutlak spesies x 100% Dominansi seluruh spesies

INP tumbuhan bawah dan semai = KR + FR INP pancang, tiang, dan pohon = KR + FR + DR

Keanekaragaman spesies dihitung menggunakan indeks Shannon-wiener dengan formulasi berikut (Odum 1996):

Pengukuran pertumbuhan dan pengamatan karakteristik M. peltata secara visualisasi dilakukan di resort Tampang TNBBS. Pengamatan dilakukan pada 6 (enam) titik yang ditentukan secara acak (random sampling) selama 1 (satu) minggu. Masing-masing titik terdiri dari 5 (lima) M. peltata dengan cara penandaan pada sulur M. peltata sekitar 5-15cm. Pertumbuhan M. peltata yang diamati yaitu panjang sulur, jumlah daun, panjang dan lebar daun.

Faktor Abiotik di Lapangan

(23)

10

Kandungan Senyawa Kimia A. malaccensis

Analisis kandungan senyawa kimia dilakukan menggunakan metode instrumental dengan cara pirolisis kromatografi gas spektrometri massa (Py-GC-MS) pada sampel segar rizom dan daun A. malaccensis di Laboratorium Pengujian Hasil Hutan Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. Sampel segar yang digunakan yaitu sayatan tipis sebanyak 1 mg. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam ruang kuarsa pirolisis unit dan dipanaskan dalam lingkungan bebas oksigen pada suhu 610 ⁰C selama 10 detik. Komposisi kimia yang mengindikasikan jenis spesifik makromolekul masuk ke dalam kolom analisis GC-MS kemudian dilakukan penyimpanan data.

Pembuatan Ekstrak A. malaccensis

Pembuatan ekstrak A. malaccensis dilakukan dengan cara penimbangan sampel segar rizom dan daun A. malaccensis, kemudian dihaluskan menggunakan blender dan menambahkan pelarut akuades dengan perbandingan 1 gram A. malaccensis dan 5 ml akuades sebagai ekstrak biang. Ekstrak kasar diendapkan selama 24 jam dan disaring menggunakan kertas saring.

Uji Alelopati A. malaccensis Terhadap Biji M. peltata

Uji alelopati A. malaccensis terhadap biji M. peltata dilakukan menggunakan metode RAL (Rancangan Acak Lengkap) 6 kali pengulangan selama 10 hari. Biji yang digunakan memiliki ukuran dan berat relatif sama yang diperoleh dari lapangan. Biji dikecambahkan dalam cawan petri yang sudah dilapisi kertas saring, masing-masing cawan petri berisi 6 biji M. peltata. Perlakuan terhadap biji tersebut dilakukan dengan cara pemberian ekstrak rizom dan daun A. malaccensis (kontrol, 30 g/L, 60 g/L, 90 g/L, 120 g/L, dan 150 g/L) sebanyak 3 ml. Peubah yang diamati meliputi daya kecambah, panjang plumula dan radikula serta bobot kering kecambah. Potensi alelopati A. malaccensis dapat dilihat berdasarkan besar atau kecilnya nilai penghambatan (IR= Inhibition Rate) plumula dan radikula M. peltata.

Daya berkecambah dihitung menggunakan rumus dengan formulasi berikut (Sadjad et al. 1999):

Nilai IR plumula dan radikula dihitung menggunakan rumus dengan formulasi berikut (Guntoro 2012):

IR = Plumula atau radikula perlakuan x 100% Plumula atau radikula kontrol

Keterangan:

IR: daya hambat kecambah (%)

Uji Alelopati A. malaccensis Terhadap Semai M. peltata

(24)

11

dan daun A. malaccensis (kontrol, 50 g/L, 100 g/L, 150 g/L, dan 200 g/L) sebanyak 30 ml. Peubah yang diamati meliputi panjang sulur, jumlah daun, panjang dan lebar daun.

Analisis data

Data hasil pengamatan pertumbuhan M. peltata di lapangan dan respon biji M. peltata terhadap alelopati ekstrak A. malaccensis dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), apabila hasil perlakuan signifikan maka dilakukan uji lanjut Tukey taraf kepercayaan 95% (software Minitab 16). Data hasil pengamatan respon semai M. peltata terhadap alelopati ekstrak A. malaccensis dianalisis menggunakan uji-T.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Keanekaragaman Spesies

Sebanyak 48 spesies tumbuhan bawah ditemukan di lokasi pengamatan (Tabel 1). Spesies tumbuhan bawah yang memiliki dominansi tertinggi di kawasan terinvasi M. peltata yaitu Alpinia malaccensis (Zingiberaceae) (INP= 23.95%). Besarnya INP menunjukkan tinggi atau tidaknya pengaruh spesies tersebut dalam suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto 2006). Spesies tumbuhan yang dominan harus memiliki nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi. Kerapatan yang tinggi menunjukkan bahwa spesies ini memiliki jumlah individu per hektar lebih banyak dibandingkan spesies lainnya. Tingginya frekuensi menunjukkan bahwa spesies ini tersebar merata pada petak pengamatan (Soerianegara & Indrawan 1988).

(25)

12

Tabel 1 Komposisi spesies tumbuhan bawah di Resort Tampang

No Spesies Famili KR (%) FR (%) INP (%)

1 Abrus precatorius Fabaceae 0.57 2.97 3.53

2 Ageratum conyzoides Asteraceae 3.22 1.27 4.49

3 Alpinia malaccensis Zingiberaceae 14.63 9.32 23.95*

4 Amorphopallus sp. Araceae 0.02 0.42 0.44

5 Brassica sp. Brassicaceae 0.02 0.42 0.44

6 Callicarpa longifolia Verbenaceae 0.24 3.81 4.05

7 Calopogonium mucunoides Fabaceae 0.19 0.85 1.04

8 Caryota mitis Arecaceae 0.26 2.97 3.22

9 Centotheca latifolia Poaceae 0.02 0.42 0.44

10 Chloranthus officinalis Chloranthaceae 0.03 0.42 0.46

11 Clitoria sp. Fabaceae 0.02 0.42 0.44

12 Conyza sumatrensis Asteraceae 0.14 0.85 0.98

13 Costus speciosus Costaceae 0.09 1.69 1.78

14 Crassocephalus crepidioides Asteraceae 1.54 0.42 1.97

15 Cucurbita sp. Cucurbitaceae 0.03 0.42 0.46

22 Helmintostachys sp. Ophioglossaceae 0.19 2.54 2.73

23 Hibiscus surattensis Malvaceae 0.02 0.42 0.44

24 Homalomena occulta Araceae 0.31 2.54 2.85

25 Hyptis capitata Lamiaceae 1.66 2.12 3.78

26 Imperata cylindrica Poaceae 4.56 2.54 7.10

27 Lantana camara Verbenaceae 0.15 0.85 1.00

28 Leea indica Vitaceae 0.48 5.93 6.41

29 Melastoma malabrathicum Melastomataceae 0.33 2.12 2.44

30 Merremia peltata Convolvulaceae 45.48 1.27 46.75*

31 Mikania micrantha Asteraceae 7.78 5.51 13.29

32 Mikania sp. Asteraceae 0.02 0.42 0.44

33 Musa accuminata Musaceae 0.70 2.54 3.24

34 Paederia verticillata Rubiaceae 2.12 1.27 3.40

35 Pandanus tectorius Pandanaceae 0.07 0.85 0.92

41 Sauropus androgynous Phyllanthaceae 0.02 0.42 0.44

42 Scleria lithosperma Cyperaceae 0.02 0.42 0.44

43 Selaginella sp. Selaginellaceae 2.19 5.08 7.28

44 Smilax leucophylla Smilacaceae 2.12 3.39 5.51

45 Strobilanthes crispus Acanthaceae 0.39 0.85 1.24

46 Tinospora tuberculata Menispermaceae 0.07 0.42 0.49

47 Trichosanthes sp. Cucurbitaceae 0.02 0.42 0.44

48 Wedelia biflora Asteraceae 0.03 0.85 0.88

(26)

13

Tabel 2 Komposisi spesies tumbuhan tingkat semai di Resort Tampang

No Spesies Famili KR (%) FR (%) INP (%)

1 Archidendron pauciflorum Fabaceae 3.30 3.77 7.07

2 Bridelia tomentosa Phyllanthaceae 32.97 22.64 55.61*

3 Canarium sp. Burseraceae 1.10 1.89 2.99

4 Celtis rigescens Cannabaceae 4.40 3.77 8.17

5 Garcinia parvifolia Clusiaceae 2.20 3.77 5.97

6 Laportea stimulans Urticaceae 15.38 15.09 30.48

7 Litsea sp. Lauraceae 2.20 3.77 5.97

8 Mallotus echinatus Euphorbiaceae 1.10 1.89 2.99

9 Nephelium lappaceum Sapindaceae 7.69 7.55 15.24

10 Spondias pinnata Anacardiaceae 14.29 15.09 29.38

11 Symplocos cerasifolia Symplocaceae 14.29 18.87 33.15

12 Trema orientalis Cannabaceae 1.10 1.89 2.99

Keterangan: KR= Kerapatan Relatif; FR= Frekuensi Relatif; INP= Indeks Nilai Penting; (*)= spesies tumbuhan dengan INP tertinggi

Tabel 3 Komposisi spesies tumbuhan tingkat pancang di Resort Tampang

No Spesies Famili KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

1 Bauhinia purpurea Fabaceae 5 14.29 18.17 37.46

2 Glochidion sericeum Phyllanthaceae 5 14.29 43.01 62.30

3 Koilodepas brevipes Euphorbiaceae 90 71.43 38.82 200.25*

Keterangan: KR= Kerapatan Relatif; FR= Frekuensi Relatif; INP= Indeks Nilai Penting; (*)= spesies tumbuhan dengan INP tertinggi

Tabel 4 Komposisi spesies tumbuhan tingkat tiang di Resort Tampang

No Spesies Famili KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

Keterangan: KR= Kerapatan Relatif; FR= Frekuensi Relatif; INP= Indeks Nilai Penting; (*)= spesies tumbuhan dengan INP tertinggi

(27)

14

Tabel 5 Komposisi spesies tumbuhan tingkat pohon di Resort Tampang

No Spesies Famili KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

12 Pterospermum javanicum Malvaceae 3.42 4.76 9.06 17.25

13 Syzygium polyanthum Myrtaceae 5.14 2.86 2.41 10.41

14 Terminalia catappa Combretaceae 1.03 1.90 1.36 4.29

15 Tetrameles nudiflora Tetramelaceae 7.88 12.38 6.62 26.88

16 Toona sureni Meliaceae 0.34 0.95 1.14 2.44

Keterangan: KR= Kerapatan Relatif; FR= Frekuensi Relatif; INP= Indeks Nilai Penting; (*)= spesies tumbuhan dengan INP tertinggi

Gambar 4 Indeks keanekaragaman spesies di lokasi pengamatan

Pertumbuhan M. peltata

Hasil analisis ragam tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pertambahan panjang sulur dan jumlah daun per hari berbeda nyata berdasarkan waktu pengamatan selama satu minggu (Lampiran 1 & 2). Rata-rata pertambahan panjang sulur M. peltata sebesar 8.29-16.60 cm dan jumlah daun sebanyak 1-2 daun per hari (Gambar 5, Lampiran 3). Rata-rata pertambahan panjang dan lebar daun berturut-turut sebesar 5.83 cm dan 5.03 cm per minggu.

(28)

15

Gambar 5 Pertumbuhan M. peltata per hari: a) Panjang sulur M. peltata; b) Jumlah daun M. peltata

Gambar 6 Karakteristik pertumbuhan M. peltata: a) M. peltata yang membelit batang pohon; b) M. peltata mengokupasi pohon hingga ujung tajuk; c) Penutupan M. Peltata di lokasi pengamatan

Faktor Abiotik di Lapangan

Hasil pengukuran faktor lingkungan dan analisis kimia sampel tanah di lokasi pengamatan terlihat bahwa suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya tergolong tinggi. Ketinggian lokasi pengamatan yaitu 89 m di atas permukaan laut yang berarti berada di dataran rendah (Whitmore 1984). Nilai pH tanah tergolong masam (pH < 7), C/N rasio cukup baik (10-12%) (Indriani 2002), namun Ca, Mg, K, Na, dan KTK tergolong rendah (Tabel 6).

(29)

16

Tabel 6 Rata-rata hasil pengukuran faktor abiotik di lapangan

Faktor abiotik Rata-rata

Suhu udara (⁰C) 31.20 + 2.39

Kelembaban udara (%) 61.67 + 10.45

Intensitas cahaya matahari (lux) 892 + 280.66

pH tanah 4.93 + 0.67

Hasil analisis kandungan senyawa kimia menunjukkan bahwa rizom dan daun A. malaccensis memiliki total kandungan alelokimia masing-masing sebesar 47.86% dan 55.44% (Tabel 7). Kandungan senyawa kimia selain alelokimia pada A. malaccensis merupakan kelompok senyawa organik yang berfungsi sebagai komponen pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan tersebut.

Golongan alkohol yang terkandung dalam ekstrak A. malaccensis yaitu etenol, dimetoksibenzil alkohol, dan pentanol. Golongan amida yaitu formamide metanamide. Golongan keton yaitu propanon aseton, butanon dan pentanon. Golongan fenol yaitu metil fenol dan dimetoksi fenol. Golongan terpenoid yaitu monoterpen, diterpen, sesquiterpen, dan Cycloalkene. Golongan asam lemak yaitu asam palmitat dan asam oleat.

Tabel 7 Kelompok alelokimia A. malaccensis

No. Alelokimia Konsentrasi pada rizom (%) Konsentrasi pada daun (%)

1 Alkohol 3.12 26.95

Respon Biji M. peltata terhadap Alelopati A. malaccensis

(30)

17

Ekstrak Rizom Ektrak Daun Ekstrak Rizom Ektrak Daun 0 72.78 a 72.78 a 31.54 a 31.54 a

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Tukey taraf 5%

Hasil analisis ragam tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa rata-rata bobot kering kecambah M. peltata berbeda nyata dibandingkan kontrol pada perlakuan ekstrak rizom A. malaccensis 150 g/l namun tidak berbeda nyata pada perlakuan ekstrak rizom 30-120 g/l dan perlakuan ekstrak daun A. malaccensis dalam berbagai konsentrasi. Ekstrak rizom dan daun A. malaccensis 30 g/l mulai menunjukkan adanya penghambatan yang menyebabkan rata-rata bobot kering kecambah M. peltata lebih rendah dibandingkan kontrol. Rata-rata bobot kering terkecil yaitu pada perlakuan ekstrak rizom dan daun A. malaccensis 150 g/l (Tabel 8, Lampiran 4 & 5).

Hasil analisis ragam tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa rata-rata panjang plumula M. peltata tidak berbeda nyata pada perlakuan ekstrak rizom dan daun A. malaccensis dalam berbagai konsentrasi. Rata-rata panjang radikula M. peltata berbeda nyata dibandingkan kontrol pada perlakuan ekstrak rizom 150 g/l dan ekstrak daun A. malaccensis 90-150 g/l namun tidak berbeda nyata pada perlakuan ekstrak rizom 30-120 g/l dan ekstrak daun 30-60 g/l (Tabel 9, Lampiran 6 & 7).

Tabel 9 Rata-rata panjang plumula dan radikula M. peltata Konsentrasi

(gram/liter)

Ekstrak Rizom Ekstrak Daun

Plumula (cm) Radikula (cm) Plumula (cm) Radikula (cm) 0 4.83 a 4.00 a 4.83 a 4.00 a

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Tukey taraf 5%

(31)

18

sebesar 45.95%; 56.34%; 73.96; dan 75.63%. Setiap kenaikan konsentrasi ekstrak rizom dan daun A. malaccensis mengakibatkan adanya peningkatan IR plumula dan radikula (Gambar 7). Hal tersebut ditandai dengan semakin kecilnya panjang plumula dan radikula M. peltata pada konsentrasi tinggi (Gambar 8).

Gambar 7 Daya hambat ekstrak rizom dan daun A. malaccensis (PPER: Plumula Perlakuan Ekstrak Rizom; PPED: Plumula Perlakuan Ekstrak Daun; RPER: Radikula Perlakuan Ekstrak Rizom; RPED: Radikula Perlakuan Ekstrak Daun)

Gambar 8 Plumula dan radikula M. peltata: a) Perlakuan ekstrak rizom A. malaccensis; b) Perlakuan ekstrak daun A. malaccensis

Respon Semai M. peltata terhadap Alelopati A. malaccensis

Hasil uji alelopati ekstrak rizom dan daun A. malaccensis terhadap semai M. peltata dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil analisis uji-T dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak rizom A. malaccensis memperlihatkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rata-rata pertambahan panjang sulur dan jumlah daun (Lampiran 8 & 9), namun berbeda nyata terhadap rata-rata pertambahan panjang dan lebar daun M. peltata dibandingkan kontrol (Lampiran 10 & 11). Perlakuan ekstrak daun A. malaccensis memperlihatkan

(32)

19

pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rata-rata pertambahan jumlah daun, namun berbeda nyata terhadap rata-rata pertambahan panjang sulur, panjang dan lebar daun M. peltata dibandingkan kontrol. Perlakuan ekstrak A. malaccensis 50 g/l mulai menunjukkan adanya penghambatan panjang sulur, jumlah daun, panjang dan lebar daun M. peltata dan semakin meningkat pada konsentrasi yang lebih

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji-T taraf 5%

Pembahasan Keanekaragaman Spesies

Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa tumbuhan bawah memiliki jumlah spesies paling banyak dibandingkan tumbuhan tegakan. Hal tersebut dikarenakan tumbuhan bawah dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan terbuka dan intensitas cahaya matahari tinggi. Tumbuhan bawah mampu beradaptasi, memiliki daya regenerasi tinggi, pertumbuhannya cepat, dan dapat bertahan di lingkungan kritis (Master 2012). Spesies tumbuhan bawah yang banyak ditemukan merupakan kelompok herba dan rumput-rumputan dari famili Zingiberaceae, Asteraceae, Cyperaceae, Poaceae, Fabaceae, Verbenaceae, dan Arecaceae. Spesies tumbuhan yang memiliki dominansi tertinggi di kawasan terinvasi M. peltata hingga saat ini ialah A. malaccensis. Tumbuhan bawah berupa herba sering dijumpai pada kawasan terbuka yang memiliki intensitas cahaya matahari tinggi dan tumbuhan bawah berupa rumput-rumputan sering dijumpai pada habitat yang kering (Hafild & Aniger 1984).

(33)

20

Zingiberaceae yaitu pada kisaran suhu udara 19-30 oC dan kelembaban udara sekitar 60-90%.

Alpinia malaccensis merupakan spesies tumbuhan bawah dari famili Zingiberaceae yang memiliki kerapatan dan dominansi tertinggi di kawasan terinvasi M. peltata. Spesies ini berhabitus herba dengan tinggi mencapai 4 (empat) meter dan akarnya berupa rizom. A. malaccensis dapat bereproduksi secara vegetatif dan generatif menggunakan rizom dan biji. Tumbuhan ini dapat berbunga sepanjang musim dan mempunyai serbuk sari yang banyak sehingga mampu beregenerasi dengan baik sepanjang tahun. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan A. malaccensis cenderung tidak didekati dan dililit M. peltata. Hal tersebut diduga karena perawakan A. malaccensis yang licin, membentuk rumpun yang rapat, dan pelepah daun yang mengumpul membentuk batang semu sehingga M. peltata mengalami kesulitan untuk mengokupasi A. malaccensis.

Faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan dominansi suatu spesies yaitu kompetisi dan kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu, kelembaban, pH tanah, nutrisi dan oksigen (Whitmore et al. 1992). Setiap spesies tumbuhan mempunyai rentang toleransi terhadap faktor lingkungan. Spesies yang mendominasi berarti memiliki batasan toleransi yang besar terhadap lingkungan sehingga penyebarannya luas (Syafei 1990).

Tegakan tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon yang memiliki dominansi tertinggi yaitu dari famili Phyllanthaceae, Euphorbiaceae, Urticaceae, dan Dipterocarpaceae. Jumlah semai, pancang, dan tiang yang dijumpai di lapangan sedikit, hal ini disebabkan oleh rendahnya cahaya matahari akibat tutupan M. peltata yang mengokupasi tegakan. M. peltata memiliki daun lebar dan membentuk lapisan yang rapat sehingga sulitnya cahaya matahari menembus tutupan tersebut. Cahaya matahari merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup tumbuhan. Jumlah semai, pancang, dan tiang yang stabil akan menentukan regenerasi keanekaragaman spesies tegakan berikutnya (Mawazin & Subiakto 2013).

Spesies tegakan hutan masih dijumpai di lokasi pengamatan dikarenakan spesies tegakan memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap lingkungan untuk pertumbuhannya. Sebesar 40-70% merupakan kisaran toleransi naungan untuk pertumbuhan suatu spesies tegakan (Soerianegara & Lemmens 2002). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa M. peltata tidak mengokupasi tegakan pohon dari famili Dipterocarpaceae diduga karena pohon ini memiliki diameter yang besar yaitu 127.39 cm dan ketinggian tajuk mencapai 65 meter. Selain itu, batang dan ranting spesies tumbuhan ini mengandung resin (Xiang 2007). Resin merupakan kelompok senyawa terpenoid yang bersifat toksik terhadap tumbuhan di sekitarnya (Taiz & Zeiger 1991). Selain itu, biji Dipterocarpus sp. tidak memiliki masa dormansi dan dapat berkecambah di tanah setelah tidak lama jatuh dari pohonnya (Kartawinata 1983). Oleh karena itu, spesies tegakan pohon seperti Dipterocarpus sp. masih dapat ditemukan di kawasan terinvasi M. peltata. Spesies tegakan akan mengalami penurunan dari waktu ke waktu jika kepadatan populasi M. peltata tetap tinggi. Hal ini dikarenakan sifat M. peltata yang membelit dan mencekik hingga ujung tajuk menyebabkan tegakan mengalami kesulitan mendapatkan cahaya matahari untuk berlangsungnya fotosintesis (Master 2012).

(34)

21

spesies tumbuhan bawah diantaranya M. peltata menjadi terganggu akibat tingginya tutupan kanopi hutan. Pada kawasan tersebut, M. peltata tumbuh memanjat hingga ujung tajuk tegakan untuk mendapatkan cahaya matahari.

Kerapatan suatu spesies pada tingkat pertumbuhan dapat menunjukkan daya survival dalam suatu komunitas hutan. Spesies yang memiliki nilai kerapatan tinggi dapat dikatakan memiliki tingkat survival atau daya tahan hidup tinggi sehingga mempunyai peluang besar untuk tetap menjaga kelestariannya. Kerapatan spesies tumbuhan terbentuk melalui integrasi beberapa faktor yaitu kecepatan tumbuh, adaptasi, regenerasi, distribusi, nutrisi, dan aktifitas yang terjadi pada kawasan tersebut (Yansen et al. 2015).

Lokasi pengamatan terletak pada ketinggian 98 mdpl dan suhu udara sebesar 31.7 ⁰C yang berarti lokasi pengamatan berada di dataran rendah. Hutan dengan ketinggian 0-1200 mdpl merupakan dataran rendah (Whitmore 1984). Ketinggian suatu tempat berasosiasi dengan peningkatan keterbukaan, kecepatan angin, kelembaban udara dan penurunan suhu sehingga mengakibatkan suatu komunitas yang tumbuh semakin homogen (Syafei 1990). Keanekaragaman spesies dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ketinggian, curah hujan, dan garis lintang (Hidayat & Hardiansyah 2012). Hutan dataran rendah Sumatera memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, namun beberapa lokasi di TNBBS diantaranya Resort Tampang telah terjadi gangguan yang mengakibatkan kerusakan hutan. Oleh karena itu, keanekaragaman spesies di kawasan tersebut menurun.

Keanekaragaman spesies penyusun komunitas tumbuhan merupakan hasil interaksi beberapa faktor diantaranya perbedaan ruang hidup atau lingkungan. Variasi perbedaan yang semakin tinggi akan menyebabkan keanekaragaman spesies penyusun komunitas semakin meningkat. Faktor berikutnya yaitu kompetisi antar spesies dalam suatu komunitas. Spesies tumbuhan yang mampu bersaing maka akan menjadi penyusun suatu komunitas tersebut (Odum 1996).

Pertumbuhan M. peltata

Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa pertambahan panjang sulur M. peltata mencapai 8.29-16.60 cm per hari. M. peltata memiliki kemampuan tumbuh yang cepat disebabkan oleh tingginya rata-rata intensitas cahaya matahari di lokasi pengamatan yaitu sebesar 1019 lux. Intensitas cahaya matahari yang tinggi merupakan kondisi yang disenangi spesies pionir (Whitmore 1989). M. peltata merupakan salah satu spesies tumbuhan pionir karena memiliki kemampuan tumbuh di lahan kritis (Master 2012). Spesies tumbuhan pionir memiliki karakteristik diantaranya berumur pendek dan intoleran terhadap cahaya matahari (Edwar et al. 2011). M. peltata memiliki kemampuan tumbuh dengan cepat dan membentuk populasi padat di area terbuka (Yansen et al. 2015) sehingga penutupan M. peltata di beberapa kawasan TNBBS mencapai 75-100%.

(35)

22

dengan cepat. Kecepatan pertumbuhan ini menyebabkan M. peltata menyebar dan berkembang dengan massif di beberapa kawasan TNBBS.

Hasil analisis kimia sampel tanah yang diambil dari 3 titik di lokasi pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata kandungan pH tanah tergolong masam. Kondisi tanah masam dapat membantu pecahnya dormansi biji M. peltata sehingga biji yang sudah matang dan memencar ke tanah dapat berkecambah dan tumbuh dengan baik di kawasan terinvasi M. peltata. Keasaman tanah tersebut diduga akibat dari kebakaran hutan yang terjadi di TNBBS sehingga dapat mempengaruhi karakteristik kimia tanah seperti pH rendah. Giovannini et al. (1988) menyebutkan bahwa pemanasan pada tanah akan menyebabkan penurunan pH. Penyebab penurunan tersebut adalah adanya oksidasi pada elemen, pembukaan permukaan, dan dehidrasi koloid tanah. Rata-rata nilai C/N rasio menunjukkan bahwa bahan organik dalam tanah cukup baik untuk mendukung pertumbuhan M. peltata. Rata-rata nilai Ca, Mg, K, Na, dan KTK tergolong rendah akibat kemasaman tanah di kawasan terinvasi M. peltata sehingga mempengaruhi pertumbuhan spesies lain. Oleh karena itu, spesies tumbuhan lain yang ditemukan di kawasan terinvasi M. peltata cenderung sedikit. Sertsu & Pedro (1978) mengemukakan bahwa pengaruh kebakaran terhadap karakteristik tanah adalah penurunan kemasaman tanah dan daya tukar kation. Panas menyebabkan reaksi seluruh partikel tanah mengalami dehidrasi, pembakaran bahan organik, pelepasan partikel OH dan dekomposisi karbon. Tumbuhan memerlukan kandungan Ca, Mg, K, Na, dan KTK dalam tanah relatif tinggi yang diperlukan untuk pertumbuhan.

M. peltata tumbuh dengan cepat karena adanya kerusakan hutan akibat kebakaran maupun perambahan untuk mengalihfungsikan hutan menjadi pemukiman, kebun, dan ladang. Kebakaran terjadi di beberapa kawasan TNBBS pada tahun 1997-1998. Kebakaran dan pembalakan liar dilakukan oleh penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan untuk pembukaan lahan kebun kopi (Coffea arabica) (Suyanto 2007). Aktivitas tersebut mengakibatkan banyak area kosong dan terbuka di beberapa kawasan TNBBS termasuk diantaranya Resort Tampang sehingga mendorong terjadinya pertumbuhan M. peltata yang tidak terkendali.

Kandungan Senyawa Kimia A. malaccensis

(36)

23

Respon Biji dan Semai M. peltata terhadap Alelopati A. malaccensis

Nilai daya berkecambah menunjukkan tinggi atau rendahnya kemampuan berkecambah biji M. peltata akibat adanya perlakuan alelokimia ekstrak A. malaccensis. Terdapat beberapa faktor daya berkecambah M. peltata diantaranya ketebalan kulit biji yang mempengaruhi kemampuan imbibisi air yang berkaitan dengan pecah dormansi. Kulit biji M. peltata sangat tebal sehingga menyebabkan daya berkecambah biji normal sebesar 72.78%. Karakter biji keras, kaku, dan berambut juga menyebabkan perkecambahan biji M. peltata tidak mencapai 100%, namun persentase daya berkecambah tersebut tergolong baik untuk kelompok tumbuhan liar dan invasif. Biji memiliki daya berkecambah berbeda-beda tergantung pada karakter morfologi, fisiologi, dan genetik. Daya berkecambah biji tumbuhan invasif berkisar antara 60-80% (Suharnantono 2011). Awang & Taylor (1993) menyebutkan bahwa keberhasilan Akasia untuk berkecambah mencapai 75%. Akasia merupakan salah satu spesies invasif asing di beberapa kawasan Taman Nasional diantaranya TN Baluran dan TN Gunung Merapi.

Alelokimia merupakan eksudat kimia yang dikeluarkan oleh bagian tertentu suatu tumbuhan yang bersifat menghambat bagi tumbuhan lain disekitarnya. Alelokimia berupa metabolit sekunder yang berasal dari jalur asam sikimat dan asetat serta kombinasinya (Einhellig 1995). Inderjit (1996) menyatakan bahwa pelepasan alelokimia dapat melalui berbagai proses seperti eksudasi akar, batang, aktivitas mikroba dan dekomposisi residu serasah.

Alelopati merupakan peristiwa kompleks yang melibatkan interaksi beberapa alelokimia seperti fenol, terpenoid, alkaloid, steroid, dan lain-lain. Interaksi tersebut akan menghasilkan penghambatan optimal dibandingkan dengan penghambatan oleh alelokimia tunggal. Disisi lain, faktor abiotik seperti intensitas cahaya matahari, kelembaban, suhu, dan stress lingkungan mempengaruhi jumlah produksi alelokimia (Junaedi et al. 2006).

Alelokimia A. malaccensis mampu menurunkan daya berkecambah, bobot kering, panjang plumula, dan radikula M. peltata dibandingkan kontrol tanpa pemberian ekstrak. Alelokimia menyebabkan terjadinya hambatan aktivitas enzim yang berperan dalam degradasi cadangan makanan sehingga energi yang tersedia untuk perkecambahan sangat rendah. Fitter & Hay (1991) menyebutkan bahwa alelokimia menjadikan aktivitas enzim terhambat bahkan tidak berfungsi dikarenakan adanya degradasi enzim pada dinding sel.

(37)

24

pada A. malaccensis. Fenol dapat menyebabkan terganggunya biosintesis nukleotida dan mencegah biosintesis giberelin. Kondisi ini menyebabkan proses perkecambahan biji M. peltata terhambat yang mengakibatkan rata-rata persentase daya berkecambah menurun.

Alelokimia fenol dan terpenoid teridentifikasi cukup banyak pada A. malaccensis. Senyawa fenol dan terpenoid menyebabkan terjadinya gangguan pada sistem fitohormon. Hormon tumbuhan seperti auksin, sitokinin, dan giberelin berperan penting pada saat perkecambahan untuk membantu proses pembelahan dan pemanjangan sel. Pebriani et al. (2013) menyebutkan bahwa senyawa fenol dan terpenoid dapat mengganggu aktivitas hormon tumbuhan seperti sitokinin yang berperan dalam proses mitosis. Senyawa tersebut merusak benang-benang spindel pada saat pembelahan sel. Selain itu, penghambatan terjadi pada saat pengangkutan hasil perombakan cadangan makanan secara difusi dari endosperm menuju titik-titik tumbuh pada plumula dan radikula. Senyawa metabolit sekunder seperti fenol, terpenoid, alkaloid, steroid, poliasetilena, dan minyak esensial memiliki aktivitas alelopati (Junaedi et al. 2006). Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Tadele (2014) bahwa fenol dapat mengganggu perkecambahan biji dan pertumbuhan tanaman. Senyawa fenol dengan kelarutan dalam air tinggi memiliki aktivitas alelopati yang rendah, sebaliknya senyawa fenol dengan kelarutan dalam air rendah memiliki aktivitas alelopati yang tinggi (Rice 1984).

Alelokimia dapat mengubah aktivitas dan fungsi enzim tertentu yang dapat menghambat sintesis protein dan karbohidrat sehingga mengurangi bobot kering dan pertumbuhan suatu tanaman (Wang et al. 2010). Lambers et al. (2008) menyatakan bahwa penghambatan alelokimia terjadi pada proses pembentukan ATP yang dapat menekan hampir seluruh proses metabolisme dalam sel. ATP merupakan salah satu komponen yang berperan dalam pengikatan CO2, sehingga penghambatan ini menyebabkan jumlah karbohidrat yang berfungsi sebagai bahan bakar dan bahan penyusun struktur sel berkurang.

Ekstrak A. malaccensis juga dapat menghambat pertambahan panjang sulur, jumlah daun, panjang, dan lebar daun M. peltata. Penelitian Utama et al. (2008) mengenai alelopati ekstrak rizom alang-alang terhadap kacang hijau di lapangan menunjukkan bahwa tinggi, jumlah cabang, jumlah polong, bobot kering biji, dan bobot kering akar mengalami penurunan berdasarkan besarnya konsentrasi aplikasi ekstrak pada petak pengamatan di lapangan. Alelokimia A. malaccensis diduga menghambat aktivitas giberelin sehingga pembelahan sel pada bagian meristem interkalar terganggu menyebabkan terhambatnya pemanjangan sulur M. peltata. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa pemanjangan ruas batang dipengaruhi oleh aktivitas hormon giberelin. Alelokimia mempengaruhi aktivitas pemanjangan dan pembelahan sel, fotosintesis, respirasi, permeabilitas membran, pembukaan stomata, penyerapan ion mineral, metabolisme protein dan asam nukleat (Baziramakenga et al. 1997). Berikutnya, Harborne (1999) menyebutkan bahwa asam lemak (fatty acid) dikategorikan ke dalam senyawa yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

(38)

25

tumbuhan (Ketut & Aris 2011). Hambatan masuknya air dan hara terlarut disebabkan oleh terjadinya penurunan permeabilitas membran (Devlin & Witham 1983). Sastroutomo (1990) menjelaskan pula bahwa alelokimia dapat menyebabkan penurunan permeabilitas membran sel. Terjadinya penurunan permeabilitas sel menyebabkan terhambatnya pengangkutan dan difusi hasil perombakan cadangan makanan melewati membran sel. Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan sel menjadi terhambat.

Mekanisme pengaruh alelokimia terhadap penghambatan pertumbuhan dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses yang cukup kompleks. Einhellig (1995) menyatakan bahwa proses penghambatan tersebut diawali dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase pada membran plasma. Hambatan berikutnya terjadi pada proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran.

Hasil penelitian Yu et al. (2003) menunjukkan bahwa alelokimia dari Cucumis sativus yang diujikan pada tanaman yang sama meningkatkan aktivitas enzim peroksidase dan superoksida dismutase akar, mengurangi konduktansi stomata daun, mengurangi laju transpirasi, serta menurunkan laju asimilasi bersih. Mekanisme kerja alelokimia antara lain berkaitan dengan sintesis asam amino, sintesis pigmen, fungsi plasma membran, fotosintesis, sintesis lipid, dan sintesa asam nukleat (Vyvyan 2002). Beberapa mekanisme tersebut tidak ditemui dalam mekanisme kerja herbisida sintetis, oleh karena itu alelokimia sangat memiliki prospek untuk dimanfaatkan sebagai bioherbisida (Junaedi et al. 2006).

5

SIMPULAN

(39)

26

DAFTAR PUSTAKA

Awang K, Taylor D. 1993. Acacia mangium growing and utilization. MPTS Monograph Series No. 3. Bangkok (TH): Winrock International and FAO Pr.

Baker HG. 1974. The evolution of weeds. Ann Rev Eco Sys. 5:1-24.

Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BTNBBS). 1999. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lampung (ID): Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tidak dipublikasikan.

Baziramakenga R, Leroux GD, Simard RR, Nadeau P. 1997. Allelopathic effects of phenolic acids on nucleic acid and protein levels in soybean seedlings. Can J Bot. 75: 445-450.

Daigneault A, Brown P. 2013. Invasive species management in the Pacific using survey data and benefit-cost analysis. J AARES. 57: 4-28.

Edwar E, Hamidy R, Siregar SH. 2011. Komposisi dan struktur permudaan pohon pionir berdasarkan jenis tanah di kabupaten Siak. J Iling. 5 (2): 149-167. El-Gawad AMABD. 2014. Ecology and allelopathic control of Brassica

tournefortii in reclaimed areas of the Nile Delta, Egypt. Turk J Bot. 38: 347-357.

Devlin RM, Witham FH. 1983. Functions of essential mineral elements and

symptoms of mineral deficiency. Plant Physiol. 99: 139-153.

Djufri. 2012. Studi autekologi dan pengaruh invasi Akasia (Acasia nillotica) (L.) Willd. ex. Del. terhadap eksistensi savana dan strategi penanganannya di Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Einhellig FA. 1995. Allelopathy: Current Status and Future Goals. Washington DC (US): American Chemical Society Pr.

Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman (Terjemahan Andani S). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan Herawati S). Jakarta (ID): Universitas Indonesia Pr.

Gaveau DLA, Wandono H, Setiabudi F. 2007. Three decades of deforestation in Southwest Sumatera: Have protected areas halted forest loss and logging, and promoted re-growth. Biocon. 134:495-504.

Ginting B. 2012. Antifungal activity of essential oils some plants in aceh province against Candida albican. Natural. 12 (2): 18-22.

Giovannini G, Lucchesi S, Giachetti M. 1988. Effect of heating on some physical and chemical parameters related to soil aggregation and erodibility. Soil Sci. 146: 4.

Gunaseelan VN. 1987. Parthenium as an additive with cattle manure in biogas production. Biol Wast. 21: 195-202.

Guntoro D. 2012. Keragaman morfologi dan genetik serta derajat kompetisi beberapa aksesi gulma Echinochloa crus-galli (L.) Beauv. terhadap tanaman padi sawah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hafild NA, Aniger. 1984. Lingkungan Hidup di Hutan Hujan Tropika. Cetakan 1.

Jakarta (ID): Sinar Harapan Pr.

Gambar

Gambar 1 Tumbuhan M. peltata: a) Daun; b) Batang; c) Bunga; d) Biji
Gambar 2 Peta Resort Tampang TNBBS (Master et al. 2013)
Tabel 1 Komposisi spesies tumbuhan bawah di Resort Tampang
Tabel 3 Komposisi spesies tumbuhan tingkat pancang di Resort Tampang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa IFR tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume perdagangan saham dengan nilai signifikansi 0,424 dan tingkat

Penanganan [asu. celah bibir dan langit- langil pada anak-anak dapat dilakukan peranalann] a tergannrng pada llasifilasi kelainan yaitu | Celah pada 'Primary

Penelitian yang dilakukan oleh Kristin Mariyani yang berjudul &#34;Implementasi Kebijakan Pengampunan Pajak Berdasar UU No 11 Tahun 2016 Sesuai Asas

maka di dalamnya dapat diperoleh makna model masyarakat madani Indonesia- Dari sila-sila yang ad4 dapat dikontruksikan bahwa Masyarakat Madani Indonesia merupakan

The researcher finds that The American Dream has influenced people around the world because America has very effective ways to promote their ideology through soft power

Citra pertama yang diperoleh dari CT-scan Thorax adalah berupa Scanogram yang berguna untuk emperoleh berapa Slice yang akan. Gambar 2.10.Scanogaram Thorax dan

Bahan baku utama dalam usaha teh ini tentunya kulit pisang, kulit pisang sendiri termasuk dalam kateori limbah yang bisa didapatkan dengan harga yang murah bahkan gratis

Tema peringatan HSN tahun ini adalah “ Kerja Bersama dengan Data ” yang merupakan seruan bagi seluruh elemen bangsa untuk bekerja bersama,. membangun Indonesia,