• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN

DISTRIBUSI DAN KEMUNCULAN TITIK PANAS (

HOTSPOT

)

UNTUK DETEKSI DINI DI PROVINSI KALIMANTAN

TIMUR

MIRZHA HANIFAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Mirzha Hanifah

(4)

ABSTRAK

MIRZHA HANIFAH. Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA.

Kalimantan Timur merupakan salah satu dari delapan provinsi rawan kejadian kebakaran hutan dan lahan akibat alih lahan yang cukup tinggi serta dipicu oleh faktor alam yang mendukung. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan curah hujan dengan distribusi dan kemunculan titik panas (hotspot) serta menganalisis model persamaan regresi terbaik untuk deteksi dinidi Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan hasil analisa model temporal. Hasil penelitian menunjukkan kemunculan titik panas tertinggi terjadi pada musim kemarau yaitu sekitar bulan Agustus-Oktober, dimana secara spasial hampir setiap tahunnya terdistribusi di seluruh Provinsi Kalimantan Timur, namun dengan jumlah yang berbeda di setiap kabupaten dan kota. Model regresi terbaik yang dihasilkan memiliki persamaan y = 244.7 – 1.593x + 0.00271 x2 + x3, dimana y adalah jumlah titik panas dan x adalah curah hujan. Berdasarkan model regresi tersebut, kemunculan titik panas dapat diduga tiga bulan sebelumnya sebagai deteksi dini di Provinsi Kalimantan Timur. Analisis time series menghasilkan model ARIMA terbaik untuk menduga jumlah titik panas pada periode berikutnya adalah ARIMA (1, 0, 2) dengan persamaan Yt = 0.99520 + 0.9101Yt-1 + 0.6571 a t-1 + 0.3233 at-2, dimana Y adalah jumlah titik panas pada periode berikutnya.

(5)

ABSTRACT

MIRZHA HANIFAH. Analysis of the Relation between Rainfall with the Appearance and Distribution of Hotspot for Early Detection in East Borneo. Supervised by LAILAN SYAUFINA.

East Borneo is one of the eight provinces in Indonesia which is vulnerable to forest and land fires due to land use change and some nature causes. This research aims to analyze the relationship between rainfall and the appearance and distribution of hotspot and also to analyze the best regression equation model for early detection in East Borneo based on the result of temporary model analysis. The result of the research revealed that, the hotspots appear frequently in high numbers during the dry season which is in the months of August to October and partially distributed in all over East Borneo in different numbers for each city and municipal. The best regression model is 244.7 – 1.593x + 0.00271 x2 + x3, where y is the number of hotspot and x representing the rainfall variable. Based on this regression model, the appearance of hotspot can be predicted three months earlier as early detection in East Borneo. Time series analysis results in the best ARIMA model to predict the number of hotspot in the upcoming period which is (1, 0, 2) with the equation Yt = 0.99520 + 0.9101Yt-1 + 0.6571 at-1 + 0.3233 at-2, where Y is

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN

DISTRIBUSI DAN KEMUNCULAN TITIK PANAS (

HOTSPOT

)

UNTUK DETEKSI DINI DI PROVINSI KALIMANTAN

TIMUR

MIRZHA HANIFAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur

Nama : Mirzha Hanifah NIM : E44100022

Disetujui oleh

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 hingga Mei 2014 ini ialah kebakaran hutan, dengan judul Analisis Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) untuk Deteksi Dini di Provinsi Kalimantan Timur.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Lailan Syaufina, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak Badan Klimatologi, Meteorologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat, serta lembaga NASA yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Hazairil Usman, Ibunda Wemni Amnis, Uni Cylvia Osnasandi dan Uni Cylviana Roza, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman Silvikultur 47, terutama sahabat terkasih Mira Febianti, Arie Aqmarina, Intan Nurhajah, Kumala Fitriyanita, dan Desi Nurafida atas persahabatannya selama ini, serta kepada keluarga besar Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA) terutama angkatan R-XVI atas semangat persaudaraannya, terima kasih sudah menjadi rumah kedua bagi saya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Bahan 2

Analisis Data 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Timur 5

Pola Curah Hujan Provinsi Kalimantan Timur 7

Pola Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot) 9 Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas

(Hotspot) 13

Sistem Deteksi Dini (Early Detection System) 14

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 20

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah titik panas (hotspot) Provinsi Kalimantan Timur tahun

2003-2012 10

2 Jumlah titik panas (hotspot) bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun

2003-2012 11

DAFTAR GAMBAR

1 Skema analisis pengolahan data penelitian 4

2 Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur sebelum pemekaran 5 3 Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur setelah pemekaran 6 4 Pola curah hujan pada tiga zona iklim di Indonesia 7 5 Curah hujan bulanan rata-rata Provinsi Kalimantan Timur tahun

2003-2012 8

6 Peta distribusi spasial titik panas (hotspot) tertinggi Provinsi Kalimantan

Timur 11

7 Jumlah curah hujan bulanan dan jumlah titik panas (hotspot) bulanan di

Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012 15

8 Kurva hubungan antara jumlah deteksi titik panas tertinggi dengan curah hujan tiga bulan sebelum kemunculan titik panas di Provinsi Kalimantan

Timur tahun 2003-2012 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun

2003-2012 20

2 Peta distribusi spasial titik panas di Provinsi Kalimantan Timur 20 3 Hasil analisis uji korelasi dan regresi curah hujan dan jumlah titik panas

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan hujan tropis Indonesia merupakan hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo, dengan luas kawasan hutan berdasarkan data Kementerian Kehutanan pada tahun 2012 mencapai 130.61 juta Ha. Keanekaragaman hayati yang melimpah serta jasa lingkungan yang dapat mensejahterakan manusia merupakan sumberdaya alam hutan hujan tropika Indonesia yang harus dijaga keberadaan dan keberlangsungannya. Seiring dengan berkembangnya pertumbuhan dan kebutuhan manusia akan lahan, semakin banyak pula kawasan hutan yang dialih fungsikan menjadi kawasan penggunaan lain. Kegiatan konversi kawasan hutan ini menjadi salah satu faktor gangguan terutama untuk kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Syaufina (2008) menjelaskan bahwa penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah faktor manusia, baik disengaja maupun karena kelalaian, dimana kegiatan konversi seringkali menjadi penyebab kejadian kebakaran hutan. Kegiatan konversi kawasan hutan dilakukan oleh para masyarakat maupun para

stakeholder izin usaha pemanfaatan hutan. Permasalahan dalam perubahan penggunaan lahan tersebut adalah pembukaan wilayah hutan dengan cara pembakaran yang tidak terkendali dengan asumsi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan lebih praktis dan efisien (Syaufina 2008).

Kebakaran hutan terjadi tidak hanya karena perbuatan manusia, namun ada faktor lain yang mempengaruhinya sehingga hutan menjadi lebih rentan untuk terbakar seperti faktor cuaca. Salah satu upaya mengurangi kemungkinan kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan menganalisa faktor pendukung kejadian kebakaran hutan dan lahan seperti curah hujan dan titik panas. Pemantauan titik panas dapat dilakukan melalui pengindaraan jauh yang terdeteksi oleh satelit luar angkasa. Umumnya titik panas berada pada zona-zona pemanfaatan intensif lahan untuk pertanian dan perladangan khususnya di luar Jawa (Akbar 2008).

(16)

2

Tujuan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan curah hujan dengan distribusi dan kemunculan titik panas berdasarkan hasil analisa model temporal, serta menganalisis model persamaan regresi terbaik untuk menentukan deteksi dini kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Timur.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan curah hujan terhadap distribusi dan kemunculan titik panas berdasarkan hasil analisis model temporal sehingga tindakan deteksi dini maupun pemantauan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat lebih mudah dilakukan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Oktober 2013 hingga Mei 2014.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, seperangkat komputer dengan beberapa program seperti Ms Excel untuk pengolahan tabulasi dan grafik, Arc Map GIS 9.3 untuk pengolahan dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), dan Minitab 14 untuk analisis statistik. Bahan yang digunakan berupa data curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Timur pada periode tahun 2003 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat, dan data sebaran titik panas (hotspot) Provinsi Kalimantan Timur periode 2003 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari NASA MODIS hotspot dataset (http://earthdata.nasa.gov).

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis statistik dan deskriptif. Skema analisis pengolahan data penelitian pada Gambar 1 menjelaskan langkah pertama yang dilakukan adalah pengunduhan NASA MODIS

(17)

3

(18)

4

Gambar 1 Skema analisis pengolahan data penelitian Pengunduhan NASA P-Value antara data curah hujan

dengan jumlah deteksi hotspot

Pengujian model regresi antara curah hujan 1-6 bulan sebelum kejadian

hotspot tertinggi dengan jumlah hotspot

tertinggi pada bulan tertentu tiap tahunnya

Pengujian model ARIMA terbaik dari data hotspot untuk pendugaan jumlah

(19)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi terluas di Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya alam melimpah yang sebagian besar potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Sumberdaya alam dan hasil-hasilnya sebagian besar dieksport ke luar negeri, sehingga provinsi ini merupakan penghasil devisa utama bagi negara, khususnya dari sektor pertambangan, kehutanan dan hasil lainnya. Wilayah administratif Provinsi Kalimantan Timur seperti pada Gambar 2 memiliki luas wilayah daratan 198 441,17 km² serta luas pengelolaan laut 10 216,57 km², terletak antara 113º44’-119º00’ BT serta diantara

4º24’ LU dan 2º25’ LS (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2010).

(20)

6

Namun pada tahun 2012 terjadi pemekaran Provinsi Kalimantan Timur menjadi pembentukan provinsi ke-34 di Indonesia yaitu Provinsi Kalimantan Utara. Pada tanggal 16 November 2012 telah terbit Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara yang sebelumnya telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 Oktober 2012 (Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara 2014). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara Bagian II pasal 3 mengenai Cakupan Wilayah menyatakan bahwa Provinsi Kalimantan Utara berasal dari sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terdiri dari Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Tana Tidung, dan Kota Tarakan. Hasil pemekaran dengan Provinsi Kalimantan Utara menjadikan Provinsi Kalimantan Timur kini hanya memiliki tujuh kabupaten dan tiga kota, yaitu Kabupaten Paser, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Berau, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Mahakam Hulu, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kota Bontang seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.

(21)

7

sekitar 19 844 117 hektar. Tutupan hutan tersebut telah berkurang dibandingkan dengan tutupan hutan saat tahun 2000. Total luas lahan kritis Provinsi Kalimantan Timur sekitar 39.95% dari total luas wilayah. Pada tahun 2010 sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Kalimantan Timur memiliki lahan kritis antara sepertiga hingga setengah luas total wilayah daratannya, terutama pada daerah yang secara intensif mengembangkan perkebunan dan pertambangan atau adanya perambahan. Tercatat kondisi lahan tahun 2011 di Kalimantan Timur didominasi oleh lahan pertanian (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2012).

Pola Curah Hujan Provinsi Kalimantan Timur

Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi tiga iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Pola curah hujan pertama yaitu tipe monsoon yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau, tipe hujan bersifat unimodial (satu puncak musim hujan). Pola kedua yaitu pola ekuatorial yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun hujan. Pola ketiga yaitu pola hujan lokal yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsoon (Tjasyono 2004). Pembagian pola iklim di Indonesia menurut Aldrian dan Susanto (2003) seperti pada Gambar 4 dibagi menjadi tiga zona yaitu zona A (Selatan Indonesia dari Sumatera bagian selatan ke Pulau Timor, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya), zona B (Indonesia barat daya, Sumatera bagian utara, dan Kalimantan bagian timur laut, dan zona C (Maluku dan sebagian dari Sulawesi). Zona A merupakan wilayah dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember/Januari/Februari dan minimum pada bulan Juli/Agustus/September. Siklus tahunan zona B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober/November/Desember dan juga pada bulan Maret/April/Mei. Pada zona C daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan Mei/Juni/Juli.

Gambar 4 Pola curah hujan pada tiga zona iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003): (A) zona A, (B) zona B, (C) zona C

A B

(22)

8

Berdasarkan klasifikasi pola curah hujan menurut Schmidt-Ferguson maka Provinsi Kalimantan Timur termasuk ke dalam tipe A yaitu daerah yang sangat basah dengan jumlah rata-rata bulan keringnya sekitar 1 bulan/tahun, dan jumlah rata-rata bulan basah 11 bulan/tahun. Karakteristik iklim Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan data dengan rentang waktu 10 tahun (tahun 2003-2012) curah hujan tahunan rata-ratanya adalah 2 420 mm/tahun dengan kisaran rata-rata curah hujan bulanan 117-285 mm/bulan. Gambar 5 menunjukkan curah hujan bulanan rata-rata Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2003-2012. Provinsi Kalimantan Timur memiliki pola hujan tipe ekuatorial karena terjadi dua puncak musim hujan yaitu pada bulan April dan Januari. Pada bulan April rata-rata curah hujan mencapai 285.3 mm, dan pada bulan Januari rata-rata curah hujan mencapai 245 mm sehingga berdasarkan pembagian zona iklim menurut Aldrian dan Susanto (2003) Provinsi Kalimantan Timur lebih dapat mendekati tipe zona B dimana curah hujan maksimum juga terjadi pada bulan April walaupun puncak kedua bergeser menjadi bulan Januari. Pergeseran periode musim hujan maksimum kedua pada tahun 2003-2012 yang seharusnya terjadi pada bulan Oktober-Desember menjadi November-Januari dimungkinkan karena efek pemanasan global yang terjadi di saat ini, yang memberikan dampak perubahan periode musim kemarau dan musim penghujan. Curah hujan tahunan Provinsi Kalimantan Timur dapat dilihat pada Lampiran 1.

Provinsi Kalimantan Timur juga mengalami dua puncak musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari dan Agustus dengan rata-rata curah hujan hanya mencapai 154.7 mm dan 117.3 mm. Terjadinya periode musim kemarau pada bulan Februari dan September menjadikan Provinsi Kalimantan Timur beresiko terhadap kemunculan titik panas yang tinggi serta kejadian kebakaran hutan dan lahan. Fuller (1991) menjelaskan cuaca kebakaran adalah kondisi cuaca yang mempengaruhi awal munculnya api, perilaku api dan penjalarannya. Curah hujan merupakan salah satu faktor cuaca dan iklim yang berpengaruh terhadap kelembaban (kadar air di udara) serta menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit karena kandungan kadar air di dalam bahan bakar tinggi, dan sebaliknya jika curah hujan rendah maka bahan bakar akan semakin mudah mengering dan terbakar (Suratmo et al. 2003).

Gambar 5 Curah hujan bulanan rata-rata Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012 (Sumber: Pengolahan data dari BMKG)

0

(23)

9

Pola Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot)

Thoha (2008) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau melalui pengamatan titik panas/hotspot yang sering diindentikan atau disebut sebagai titik api. Dalam mengindikasikan kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh, istilah titik panas lebih tepat digunakan. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.12/menhut-II/2009 Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa titik panas atau hotspot adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan suhu di sekitarnya. Data titik panas dapat digunakan sebagai indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan, akan tetapi tidak sepenuhnya sehingga perlu adanya peninjauan kembali mengenai akurasinya. Hasil penelitian Vetrita et al. (2012) menunjukkan dari 453 titik diperoleh akurasi data sebesar 42.8% dan commission error 8.8%. Data titik panas yang diperoleh perlu dilakukan pengecekan lapang (ground check) kembali untuk memastikan validasi keberadaan titik panas yang diduga merupakan kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Pemantauan titik panas dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh dapat dilakukan dengan satelit. Salah satu sumber data titik panas yang memiliki akurasi paling baik adalah data dari sensor satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang diperoleh dari lembaga NASA (The National Aeronautics and Space Adminitration). MODIS merupakan instrumen utama yang dibawa oleh satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Orbit Terra melintasi garis ekuator pada pagi hari dari arah utara ke selatan, sementara Aqua melintasi ekuator pada sore hari dari selatan ke utara. MODIS Terra dan Aqua akan mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1 atau 2 hari dan mendapatkan data dalam 36 band spectral (NASA 2014). MODIS akan mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Chrisnawati (2008) menyatakan bahwa sensor MODIS memiliki ambang batas 320 K pada siang hari dan 315 K pada malam hari. Titik panas MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km² sehingga setiap titik panas atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km piksel. MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (NASA 2014).

(24)

10

Pada tahun 2006 dan 2009 juga menunjukkan kemunculan jumlah titik panas yang cukup tinggi yaitu sejumlah 301 titik dan 247 titik, dengan lokasi distribusi titik panas paling tinggi adalah di Kota Berau dan Kabupaten Kutai Barat. Kemunculan titik panas terendah terjadi pada tahun 2011 dimana hanya ditemukan 37 titik panas. Kemunculan titik panas bulanan di Provinsi Kalimantan Timur pada Tabel 2 menunjukkan periode terjadinya kemunculan titik panas tertinggi adalah pada bulan Agustus-Oktober dengan kisaran rata-rata jumlah titik panas mencapai 25-50 titik per bulan tiap tahunnya. Kemunculan titik panas tertinggi di tahun 2004 terjadi pada bulan Oktober dengan 194 titik. Tahun 2011 kemunculan titik terendah terjadi pada periode musim hujan yaitu Januari serta April dengan kisaran rata-rata kemunculan titik panas 0-1 titik.

Tabel 1 Jumlah titik panas (hotspot) Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012

Kabupaten Jumlah Titik Panas tahun- x

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(25)

11

Tabel 2 Jumlah titik panas (hotspot) bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012

Hampir setiap tahunnya titik panas terdistribusi di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Distribusi spasial titik panas tertinggi yaitu pada tahun 2004 serta pada tahun 2006 dan 2009 disajikan pada Gambar 6. Distribusi spasial titik panas pada tahun-tahun lainnya yaitu pada tahun 2003, 2005, 2007, 2008, 2010, 2011, serta 2012 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 6 Peta distribusi spasial titik panas (hotspot) tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur: (A) Tahun 2004, (B) Tahun 2006, (C) Tahun 2009

Tahun Bulan 

J F M A M J J A S O N D

2003 0 0 2 1 2 6 0 21 8 6 0 0 46 2004 1 0 0 0 0 2 0 61 57 194 9 0 324 2005 0 3 0 0 1 0 0 8 26 6 1 0 45 2006 0 0 0 1 0 0 17 75 121 77 9 1 301 2007 0 1 0 0 0 0 0 12 25 14 2 2 56 2008 0 2 0 0 2 3 0 0 21 17 0 0 45 2009 0 3 3 0 0 3 6 17 184 26 5 0 247 2010 1 19 11 1 2 6 0 16 17 6 0 0 79 2011 0 1 0 0 0 1 0 19 9 2 4 1 37 2012 0 1 0 1 0 0 2 20 29 16 2 0 71

x 1 3 2 1 1 3 3 25 50 37 4 1

(26)

12

Gambar 6 (Lanjutan)

Berdasarkan peta distribusi spasial titik panas pada Gambar 6 dan jumlah titik panas per tahun yang terdapat di setiap kabupaten dan kota Provinsi Kalimantan Timur pada Tabel 1 dapat terlihat bahwa titik panas banyak terdistribusi pada

B

(27)

13

Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Berau. Selain faktor curah hujan, berdasarkan distribusi secara spasial, titik panas yang tidak terdistribusi merata di seluruh daerah Provinsi Kalimantan Timur ini hingga tahun 2009 erat kaitannya dengan faktor lain yaitu faktor manusia dalam hal penyiapan lahan untuk perkebunan. Kementerian Kehutanan (2007) menyatakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah pembakaran lahan untuk menyiapkan perkebunan skala besar. Kemunculan titik panas di provinsi Kalimantan Timur diduga karena kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran untuk perkebunan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan karet. Perkebunan kelapa sawit dan karet terluas berada pada Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Berau dimana daerah-daerah ini merupakan daerah dengan kemunculan titik panas tertinggi. Berdasarkan distribusi spasial titik panas di Provinsi Kalimantan Timur, dalam kegiatan pemantauan titik panas lebih memperhatikan daerah-daerah yang memiliki kemunculan titik panas tertinggi seperti pada Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Berau karena daerah ini merupakan daerah rawan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang diduga penyebabnya adalah adanya kegiatan penyiapan lahan untuk perkebunan skala besar dengan cara pembakaran.

Hubungan Curah Hujan dengan Distribusi dan Kemunculan Titik Panas (Hotspot)

Cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan yaitu dalam menentukan jumlah kadar air bahan bakar hutan pada suatu daerah. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan (Soares dan Sampaio 2000). Gambar 7 menunjukkan analisis temporal jumlah curah hujan dengan jumlah titik panas bulanan di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012. Grafik menunjukkan saat jumlah titik panas tertinggi, grafik rata-rata jumlah curah hujan cenderung menunjukkan titik terendah, dan sebaliknya saat jumlah titik panas terendah maka grafik rata-rata jumlah curah hujan cenderung mencapai titik tertinggi. Hal ini ditunjukkan oleh kemunculan titik panas tertinggi tahun 2004 pada bulan Oktober dimana periode musim kemarau sedang terjadi, jumlah deteksi titik panas adalah 194 titik dan curah hujan yang terjadi adalah 2 mm. Kemunculan titik panas terendah adalah pada tahun 2011 dimana kemunculan titik panas dalam satu tahun hanya berkisar 37 titik dengan kejadian paling tinggi terjadi pada bulan Agustus serta rata-rata curah hujan bulanannya adalah 211.3 mm. Kemunculan titik panas pada suatu bulan bukan diduga melalui curah hujan pada saat bulan yang sama dengan kemunculan titik panas tersebut, akan tetapi oleh curah hujan sebelum kemunculan titik panas.

Hasil analisis P-Value antara parameter curah hujan dengan titik panas adalah sebesar 0.029 yang berarti bahwa curah hujan memiliki pengaruh terhadap kemunculan titik panas karena P-Value dianggap signifikan jika nilai P-Value

(28)

14

dengan jumlah data titik panas mempunyai hubungan terbalik. Hubungan terbalik memberikan arti kenaikan curah hujan cenderung diikuti dengan penurunan nilai titik panas berikutnya. Nilai korelasi -0.686 yang mendekati -1 berarti bahwa antara curah hujan dan titik panas berhubungan erat. Analisis model regresi dilakukan dengan membandingkan jumlah deteksi titik panas tertinggi setiap bulannya per tahun dengan jumlah curah hujan 1-6 bulan sebelum kemunculan titik panas tersebut. Berdasarkan nilai koefisien determinasi terbesar dan nilai P-Value <0.05, hasil analisis model regresi menunjukkan bahwa jumlah titik panas pada Provinsi Kalimantan Timur dapat diduga oleh jumlah curah hujan pada tiga bulan sebelum kemunculan titik panas tersebut.

Sistem Deteksi Dini (Early Detection System)

Dalam upaya mengurangi atau meminimalkan kemungkinan kejadian kebakaran hutan dan lahan di suatu daerah, maka tindakan pencegahan harus dilakukan sedini mungkin. Tindakan pencegahan merupakan upaya yang dilakukan pada fase sebelum kejadian kebakaran hutan berlangsung. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran hutan meliputi membuat peta kerawanan kebakaran, memantau gejala rawan kebakaran, penyiapan regu pemadam, membangun menara pengawas, membuat jalur sekat bakar, penyuluhan, dan membentuk organisasi pemadam kebakaran hutan dan lahan (Purbowaseso 2004). Sistem deteksi dini merupakan deteksi awal adanya gejala rawan kebakaran, seperti pemantauan titik panas, analisis faktor pendukung kebakaran seperti cuaca, maupun pemantauan adanya gejala rawan kebakaran hutan melalui prediksi yang dihasilkan antara faktor-faktor pendukung kejadian kebakaran hutan seperti data curah hujan dan jumlah titik panas.

(29)

15

Gambar 7 Jumlah curah hujan bulanan dan jumlah titik panas (hotspot) bulanan di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012

0 100 200 300 400 500 600

0 50 100 150 200 250

J M M J S N J M M J S N J M M J S N J M M J S N J M M J S N J M M J S N J M M J S N J M M J S N J M M J S N J M M J S N

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

CH

H

O

T

SP

O

T

Jumlah Curah Hujan dan Titik Panas Bulanan di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003 -2012

Hotspot CH

1

(30)

16

Dengan mengetahui bulan-bulan yang memiliki curah hujan rendah dan titik panas tinggi di suatu daerah maka dapat digunakan sebagai salah satu upaya deteksi dini terhadap kemungkinan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hasil pengujian regresi polynomial linear antara jumlah titik panas dengan curah hujan tiga bulan sebelum kemunculan titik panas seperti pada Gambar 8 dapat digunakan untuk menduga jumlah titik panas pada kegiatan deteksi dini. Model regresi terbaik adalah dengan persamaan: y = 174.8 – 0.6135x, dimana y adalah jumlah titik panas dan x adalah curah hujan. Nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 0.470, nilai

adjusted R Square sebesar 40.4%, dan standar deviasi (S) sebesar 55.4687. Nilai ANOVA (Analysis of Variance) hasil pengujian regresi terdapat pada Lampiran 3.

Gambar 8 Kurva hubungan antara jumlah deteksi titik panas tertinggi dengan curah hujan tiga bulan sebelum kemunculan titik panas di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012 (Sumber: Hasil pengolahan data dengan MINITAB 14)

Periode kemunculan titik panas tertinggi terjadi pada rentang bulan Agustus-Oktober, dimana rata-rata jumlah titik panas berkisar antara 25-50 titik per bulan pada tahun 2003-2012. Kemunculan titik panas pada bulan-bulan rawan ini dapat diprediksi oleh curah hujan pada tiga bulan sebelumnya yaitu sekitar bulan Mei-Juli dengan rata-rata jumlah curah hujan berkisar antara 169-197.2 mm. Analisis lainnya yang digunakan untuk menduga jumlah titik panas pada periode berikutnya dalam sistem deteksi dini adalah analisis runtun waktu (time series) dengan model ARIMA pada software MINITAB 14. Analisis runtun waktu adalah suatu metode kuantitatif untuk menentukan pola data masa lampau yang telah dikumpulkan secara teratur. Jika telah menemukan pola data tersebut, maka dapat menggunakannya untuk peramalan di masa mendatang (Istiqomah 2006). Hasil analisis menunjukkan bahwa model yang tepat adalah ARIMA (1,0,2) dengan model persamaannya adalah Yt = 0.99520 + 0.9101Yt-1 + 0.6571 at-1 + 0.3233 at-2,

(31)

17

Setijono (2001) menyatakan bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya akibat pembakaran yang tidak terkendali pada kegiatan konversi lahan, faktor lain yang menjadi pemicu kebakaran adalah salah satunya iklim yang ekstrim. Data curah hujan dapat digunakan sebagai salah satu faktor kerentanan suatu daerah untuk terjadi kebakaran hutan, untuk itu pemantauan data curah hujan yang dikorelasikan dengan data distribusi titik panas perlu dilakukan sebagai salah satu deteksi dini kejadian kebakaran hutan dan lahan dimana dalam hal ini sesuai dengan hasil analisis di atas. Pemerintah setempat atau pemilik izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur harus melakukan kegiatan deteksi dini setidaknya tiga bulan sebelum kemunculan titik panas yang merupakan indikasi terjadinya kejadian kebakaran hutan dan lahan untuk mencegah terjadinya kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam skala yang besar.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Curah hujan Provinsi Kalimantan Timur dengan rentang data 10 tahun (tahun 2003-2012) menunjukkan rata-rata tahunan sebesar 2 420 mm/tahun. Provinsi Kalimantan Timur mengalami dua puncak musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari dan Agustus serta dua puncak musim hujan yang terjadi pada bulan Januari dan April. Kisaran rata-rata jumlah titik panas pada periode musim kemarau bulan Agustus-Oktober mencapai 25-50 titik per bulan di tahun 2003-2012. Berdasarkan distribusi spasial titik panas di Provinsi Kalimantan Timur, daerah-daerah yang memiliki titik panas tertinggi adalah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Berau dimana pada daerah ini diduga terdapat kegiatan penyiapan lahan untuk perkebunan skala besar dengan cara pembakaran. Hasil analisis pengujian regresi didapatkan model regresi terbaik adalah dengan persamaan y = 244.7 – 1.593x + 0.00271 x2 + x3, dimana y adalah jumlah titik panas

dan x adalah curah hujan. Berdasarkan model regresi tersebut kemunculan titik panas pada Provinsi Kalimantan Timur dapat diduga oleh jumlah curah hujan pada tiga bulan sebelum kemunculan titik panas tersebut. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa curah hujan dan titik panas memiliki korelasi yang bersifat negatif dengan nilai korelasi sebesar -0.686. Analis runtun waktu (time series) untuk kepentingan deteksi dini dalam menduga jumlah titik panas pada periode berikutnya menunjukkan hasil bahwa model ARIMA terbaik adalah ARIMA (1, 0, 2) dengan persamaan Yt = 0.99520 + 0.9101Yt-1 + 0.6571 at-1 + 0.3233 at-2, dimana

Y adalah jumlah titik panas pada periode berikutnya. Saran

(32)

18

pendukung seperti penutupan lahan, kondisi bahan bakar, cuaca, serta kegiatan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar A. 2008. Pengendalian kebakaran hutan berbasis masyarakat sebagai suatu upaya mengatasi risiko dalam REDD. Jurnal Tekno Hutan Tanaman Vol 1(1);11-22. Kalimantan Selatan (ID): Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant precipitation regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int J Climatol 23: 1435-1452.

[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2011. Peta batas administrasi Kalimantan Timur [Internet]. [diunduh 2014 Agt 15]. Tersedia pada: http://tasdabppt.wordpress.com/category/peta.

Chrisnawati G. 2008. Analisa sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan sebagai penduga terjadinya kebakaran hutan menggunakan sensor satelit NOAA/AVHRR dan EOS Aqua-Terra /MODIS. [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Fuller M. 1991. Forest Fire. Canada: John Wiley and Son’s Inc.

Istiqomah. 2006. Aplikasi model ARIMA untuk forecasting produksi gula pada PT. Perkebunan Nusantara IX (PERSERO). [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2007. Lokakarya pengendalian kebakaran hutan dan lahan [Internet]. [diunduh 2014 Jul 31]. Tersedia pada:

http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/2629

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2008. Statistik Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Kalimantan Timur tahun 2007 [Internet]. [diunduh

2014 Jun 22]. Tersedia pada:

http://www.dephut.go.id/index.php/news/otresults.

[KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2014. Lokakarya pencegahan kebakaran hutan dan lahan menuju masyarakat peduli api [Internet]. [diunduh 2014 Jun 22]. Tersedia pada: http://www.menlh.go.id/lokakarya-pencegahan-kebakaran-hutan-dan-lahan-menuju-masyarakat-peduli-api-mpa/.

[Pemprov Kaltim] Pemerintah Provinsi Kalimnatan Timur. 2012. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Implementasi REDD+ Kalimantan Timur. Samarinda (ID): Pemprov Kaltim.

(33)

19

Soares R, Sampaio O. 2000. Wildfire occurrence in a forest district and other Brazilian protected areas. XXI IUFRO World Congress. Prosiding Pertemuan Ilmiah; Kuala Lumpur 7-12 August 2000. Malaysia: Malaysian XXI IUFRO World Congress Organizing Committee. hlm 498.

Suratmo F, Husaeni E, Jaya N. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor (ID): Fakultas kehutanan IPB.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia; Perilaku, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing.

Thoha AS. 2008. Penggunaaan data hotspot untuk monitoring kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. [karya tulis]. Medan (ID): Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Tjasyono B. 2004. Klimatologi: Cetakan ke-2. Bandung (ID): ITB Press.

Vetrita Y, Zubaidah A, Priyatna M, Sukowati PDA. 2014. Validasi hotspot di wilayah rawan kebakaran tahun 2012: kasus lahan gambut dan kebakaran kecil.

(34)

20

LAMPIRAN

Lampiran 1 Jumlah curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2003-2012

Bulan Tahun X

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

J 250 340 201 213 307 207 166 177 262 327 245 F 158 224 39 207 220 194 59 59 173 214 154.7 M 417 402 215 234 260 207 284 151 234 258 266.2 A 136 385 345 148 340 259 315 222 332 371 285.3 M 185 368 199 221 112 51 187 210 287 152 197.2

J 198 55 99 181 213 295 43 340 95 171 169

J 201 100 217 13 279 269 158 258 238 139 187.2 A 96 0 145 98 134 148 124 164 124 140 117.3 S 175 172 94 109 208 153 99 231 132 110 148.3 O 195 2 346 70 181 215 232 236 218 117 181.2 N 201 281 284 139 189 501 202 207 197 193 239.4 D 202 246 348 110 141 359 205 224 244 220 229.9 Total 2414 2575 2532 1743 2584 2858 2074 2479 2536 2412 Lampiran 2 Peta distribusi spasial titik panas di Provinsi Kalimantan Timur; (A) Tahun 2003, (B) Tahun 2005, (C) Tahun 2007, (D) Tahun 2008, (E) Tahun 2010, (F) Tahun 2011, (G) Tahun 2012

(35)

21

Lampiran 2 (Lanjutan)

B

(36)

22

Lampiran 2 (Lanjutan)

D

(37)

23

Lampiran 2 (Lanjutan)

(38)

24

Lampiran 3 Hasil analisis uji korelasi dan regresi curah hujan dan jumlah titik panas di Provinsi Kalimantan Timur

Correlations: Hotspot, Curah Hujan

Pearson correlation ofHotspot and Curah Hujan = -0.686 P-Value = 0.029

Regression Analysis: Hotspot versus Curah Hujan

The regression equation is

y = 174.8 - 0.6135 x

S = 55.4687 R-Sq = 47.0% R-Sq(adj) = 40.4%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 21 836.7 21 836.7 7.10 0.029 Error 8 24 614.2 3 076.8

(39)

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 September 1992 dari pasangan Bapak Hazairil Usman dan Ibu Wemni Amnis. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 97 Jakarta Selatan dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama masa kuliah, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Silvikultur (Tree Grower Community) divisi Human Resources Development pada tahun 2012/2013, anggota Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA) Fakultas Kehutanan IPB (2012-sekarang) dan pada tahun 2013 menjabat sebagai ketua divisi Gunung Hutan RIMPALA. Penulis turut serta aktif di kepanitiaan kegiatan mahasiswa antara lain anggota divisi acara cabang pertandingan olahraga Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) pada tahun 2011, anggota divisi acara Masa Perkenalan Departemen Silvikultur/BELANTARA pada tahun 2012, serta Komisi Disiplin Bina Corps Rimbawan (BCR) pada tahun 2013. Pada tahun ajaran 2012-2013 penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekologi Hutan.

Gambar

Gambar 1 Skema analisis pengolahan data penelitian
Gambar 2  Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur sebelum
Gambar 3  Peta Wilayah adminitratif Provinsi Kalimantan Timur setelah
Gambar 4  Pola curah hujan pada tiga zona iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003): (A) zona A, (B) zona B, (C) zona C
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode Reliability Centered Maintenance II ini digunakan untuk menentukan kegiatan dan interval perawatan berdasarkan pada RCM II Decision Worksheet sesuai dengan fungsi dan

Setelah berakhirnya program pendampingan keluarga KKN-PPM Universitas Udayana Periode XIII ini diharapkan keluarga Bapak Anak Agung Gde Raka kedepannya tetap

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Setelah hasil dekripsi tersimpan maka akan muncul sebuah pesan pada sistem.sai 1.2 Manual Program Hasil dari implementasi dari sistem yang dibuat adalah sebuah sistem yang

Ungkapan ini kemungkinan tidak semata-mata menyatakan agama yang dianut raja Jayasakti, bahkan lebih cenderung dilandasi oleh suatu pandangan tentang adanya keserupaan

Membantu bengkel Auto 2000 Cabang Radio Dalam untuk mengetahui bagaimana menganalisa Pengaruh Bauran Pemasaran dan Lingkungan Sosio-Budaya Pelanggan terhadap Pengambilan Keputusan

Activity Diagram ini befungsi untuk melakukan pendaftaran pada sistem agar dapat mengakses sistem secara bebas, baik itu halaman berita, gis maupun data Kantor

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kawasan mandiri Citraland Surabaya belum mencapai sistem sirkulasi berkelanjutan, yaitu sistem sirkulasi yang dapat mendorong penggunaan