• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni Dalam Perspektif Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni Dalam Perspektif Hukum Islam"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjanah Syariah (S. Sy)

DI SUSUN OLEH :

ABIYATI ATNAN NITIONO NIM : 1110044100085

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

Hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga

selalu tercurah kepada suri tauladan dan penunjuk jalan kebenaran ialah Rasulullah

SAW.

Salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Strata Satu

(S1) di Perguruan Tinggi termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam

rangka itulah penulis membuat skripsi ini dengan judul PROSESI PERNIKAHAN

SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, “(Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya dari

penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui dalam

menyelesaikan skripsi ini. Namun tanpa bantuan, dukungan dan motivasi yang tak

terkira ksususnya orang tua tercinta, Ayahanda Atnan Nitiono dan ibunda Rosmiwati

Umar Isu dan para keluarga khususnya paman-pamanku tersayang (Yusuf Umar

Isu, S. Ag, dan Suherman Umar Isu, SH) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya,

membiayai, serta doa, dukungan dan motivasinya tehadap penulis agar penulis sukses

(6)

ii

membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, utamanya kepada:

1. Dr. Phil. JM. Muslimin, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Selaku Ketua Program Studi Akhwal

Syaksiyah dan ibu Hj. Rosdiana, MA selaku sekertaris program studi Akhwal

Syaksiyah, yang telah banyak membantu penulis selama masih kuliah.

3. Dr. H. Umar Alhadad, MA. Selaku Dosen Pembimbing karena berkait

bimbingan, perhatian dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

4. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali

penulis dengan ilmu yang berharga yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih penulis ucapkan,

semoga dapat balasan setimpal dari-Nya.

5. Kepada Dra. Hj. Maskufah. MA, selaku dosen pembimbing Akademik yang

selalu mensuport, membimbing dan memotivasi penulis selama kuliah

6. Kepada UKM Resimen Mahasiswa Jayakarta (MENWA JAKARTA)

khususnya Senior-senior Menwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Komandan

Amin, Komandan Syawal, Wadan Helmi, bu Kuntum, bu Qudsy) yang telah

(7)

iii ilmu.

8. Kepada Om Sultan Umar Isu, tante Linda, Om Tohir Umar Isu, yang selalu

memberikan nasehat kasih sayangnya kepada penulis.

9. Kepada om Sudirman Kadir Isu, S. Ag., M. H dan bibi Wiwin yang selalu

memberikan nasehat, motivasi dan dukunganya kepada penulis.

10.Kepada kakek Drs. Ali Tatan Sone, beserta keluarga yang telah membina dan

mengenalkan penulis untuk menuntut ilmu kepulau Jawa.

11.Kepada chy Aminah Kadir Isu, S. Sos, chy Rosmiwati Isu, S. Pd. I, chy Anisa

Kadir Isu, S. Pd. I,chy Fatmawati Umar Isu (alm), chy Anggriani Umar Isu

(alm ) yang selalu membantu danmendo’akan penulis dalam hal menuntut ilmu.

12.Kepada kakak, adik-adik dan ponakan-ponakanku (Kakak Junaidin Atnan

Nitiono, Ben Marwah, Alfat, Iskandar, Anggi, Rodiah, Faizah, Indah,Arif Liu,

Andri Liu, Fahmi Liu, Adhe Liu, Fira, Zaki, Nci).

13.Kepada sahabat karibku Nur Anisah Usman, S. KM, yang selalu mensuport

dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. Mudah-mudahan Allah

SWT memberikan segala kemudahan kepadamu kawan.

14.Kepada sahabat-sahabatku seperjuangan angkatan 2010 Peradilan Agama,

khususnya (Ema, Erliyanti, Futi, Syoraya, Ratih, Mila, Fitmau, Sahro, Aulia,

(8)

iv

kotapun kita selalu bersama, sampai pada di akhir perkuliahan yang hanya bisa

tegur atau sapa di dunia maya saja. Namun yang jelas nama-nama kalian akan

selalu menjadi sebuah lembaran sejarah dalam hidup penulis dan akan

tertumpuk rapih dalam silsilah kehidupan. Yang kapan saja penulis bisa buka

lembaran tersebut untuk sedikit mengobati rasa rindu yang membelenggu hati.

15.Kepada bapak kepala desa Billa, kakanda Ishak Nitiono, S. Sos, beserta tokoh

masyarakat yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan wawancara dan

penelitian.

16.Kepada kakak-kakak terutama abang Par, abang Dhanil, kakak Ryanto, dan

temankuYanti Demaris Asbanu, Owen, Yusron, aa Andrew, kk Munir, Hek

Amir, Hek Zul, Nub Ali, yang selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis

dalam menuntut ilmu.

Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh komponen

yang telah berjasa memberikan kontribusinya dan tidak ada yang dapat diberikan

sebagai tanda balas jasa penulis, kecuali hanya dengan do’a semoga Allah SWT membalas segala amal dan buat baik mereka dengan sebaik-baik balasan. Amin

YaRobbal alamiin.

Jakarta, 15 April 2014

(9)

v

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu ... 11

F. Sistem Penulisan ... 12

BAB II : LANDASAN TEORI PERKAWINAN A. Pra Nikah ... 15

1. Pengertian Khitbah ... 15

2. Prosedur Khitbah ... 16

3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri ... 19

4. Cara Pembatalan Khitbah ... 21

B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam ... 24

1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum ... 24

2. Prosedur atau Cara Perkawinan ... 19

(10)

vi

2. Hukum dan Hikmah Walimatul ‘Urs ... 37

3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs ... 37

BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU ATONI DESA BILLA A. Letak Geografis ... 40

B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ... 44

C. Kondisi Pendidikan ... 48

D. Kondisi Keagamaan ... 52

BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI (NTT) A. Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni ... 59

B. Prosesi Pelaksanaan Nikah Menurut Suku Adat Atoni ... 57

1. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon Penganten Laki-Laki ... 58

2. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon Pengantin Perempuan ... 58

3. Prosesi Kabin Alat menurut Suku Adat Atoni... 59

(11)

vii

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, Allah

memerintahkan agar umatnya melakukan perkawinan dengan syarat dan

ketentuan yang telah ditetapkan. Perkawinan adalah sunatullah artinya perintah

Allah dan rasul-Nya tidak hanya semata-mata keinginan manusia, atau hawa

nafsunya saja, karena sesorang yang telah berumah tangga berarti ia telah

mengerjakan sebagian dari syari‟at (aturan) Agama Islam.1

Pernikahan yaitu suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri

berdasarkan hukum yang terdapat di dalam Undang-undang(UU) hukum agama

dan adat istiadat yang berlaku.2

Sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal

(1) adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia,

binatang maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dariperkawinan. Ini

1

Sidi Nazar Baqry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Ke-I, h. 3

2

(13)

merupakan sunatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia,

berkembang biaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam

semesta.

Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Yasin: 36

                   Artinya:

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui.”(QS. Yasin: 36).3

Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam BAB II, Pasal (2

dan 4), (2), yaitu akad yang sangat kuat atau nitsaqanghalidhun untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah, (4) Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU NO. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan.

Dengan demikian pernikahanpun merupakan suatu ikatan lahir bathin

antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu

rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan

syari‟at Islam.

Perkawinan juga merupakan hal yang sangat sakral untuk setiap jiwa

manusia, kerena itu kebanyakan orang yang akan melaksanakan suatu pernikahan

diiringi oleh upacara pernikahan secara adat budaya setempat, karena perkawinan

3

(14)

merupakan salah satu budaya yang mengikuti perkembangan manusia, dalam

kehiduapan bermasyarakat.

Pokok perkawinan baik secara tradisional maupun secara modern yaitu

perkawinan sakral sehingga hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya

sangat terasa kehadirannya dalam upacara perkawinan.

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau

pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan

masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta

kebiasaan setempat. Seperti halnya kebiasaan yang dianut dalam masyarakat

Atoni khususnya di desa Billa Kecamatan Amanuban Timur, Provinsi Nusa

Tenggara Timur, upacara pesta perkawinan tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran

agama Islam, yang minoritas dipeluk oleh masyarakat.

Bila di tinjau secara kulturalistik, masyarakat pribumi Atoni mempunyai

berbagai macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari

kebiasaan yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntutan pola hidup

turun temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat

penyelenggaraan perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Atoni ini.

Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya setempat.

Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat

(15)

agama Islam. Dan apabila adat kebiasaan yang berhubungan walimah tersebut

bertentangan dengan syariat Islam, setuju atau tidak, harus ditinggalkan.4

Berbagai macam tata cara upacara pesta perkawinan (walimah ‘urs) yang

berlaku diberbagai daerah adalah tatanan nilai luhur yang telah dibentuk oleh para

orang tua dan diturunkan kepada generasi ke generasi seterusnya, karena itu

upacara pesta perkawinan dalam adat merupakan kegiatan tradisional

turun-temurunyang mencirikan keanekaragaman budaya bangsa dan juga dimaksudkan

agar dapat diketahui oleh masyarakat sekitar untuk menghindari fitnah, yang

bertujuan agar perkawinan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan

bagi keduannya di kemudian hari.

Tahapan pertama dalam perkawinan adalah pinangan atau khitbah, yang

mana hal ini merupakan pola yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat,

artinya dapat ditemui pada tiap hukum adat yang ada di Indonesia, dan pada

dasarnya melakukan peminangan itu terdapat kesamaan, namun

perbedaan-perbedaannya hanyalah terdapat pada alat atau sarana pendukung prosesi

pinangan itu.5

Di suku adat Atoni proses pelamaran itu dilakukan dengan cara kedua

orang tua dan laki-laki yang akan jadi calon suami si perempuan tersebut

mendatangi rumah si perempuan dengan membawa bermacam-macam perhiasan,

pakaian, sopi (minuman dari pohon lontar atau tuak), uang lima ribu rupiah(Rp.

4

http:/bekal pernikahan.blogdrive.com 5

(16)

5.000). Sebelum berlangsungnya proses peminangan uang lima ribu (Rp. 5. 000)

tersebut, dimasukan ke dalam kotak sirih atau yang sering dikenal dengan sebutan

oktuke, kemudian uang dan sopi tersebut dihidangkan di depan ayah si wanita

tersebut.

Tujuannya agar setelah mereka selesai mengutarakan maksud dan

kedatangan mereka, akan adanya jawaban dari pihak calon isrti berupa isyarat.

Penerimaan atas tamunya itu dengan mengambil uang yang telah diletakan di

hadapan ayahnya, sedangkan sopinya akan ayahnya si wanita minum

bersama-sama dengan tamunya tersebut. Selanjutnya baru terjadinya pengesahan

barang-barang yang dibawa oleh pihak calon suami, dan dari pihak perempuanpun

memberikan sebuah sarung adat Atoni (mau naek) kepada pihak laki-laki. Hal

tersebut dianggap sebagai satu tanda telah bersatunya dua keluarga besar.6

Setelah proses lamaran diterima, jarak satu bulan kemudian maka keluarga

dari pihak calon suami kembali mendatangi rumah keluarga wanita, dan biasanya

para orang tua yang akan menikahkan anaknya menanyakan tanggal akad

pernikahan kepada orang tua sigadis. Kemudian setelah itu satu bulan kemudian

barulah melaksanakan upacara pernikahan.

Dengan dilakukannya upacara pesta perkawinan (walimah ‘urs), kedua

mempelai mengumumkan permulaan kehidupan mereka dan untuk meminta doa

restu kepada keluarga dan sahabat. Rasulullah menganjurkan dalam mengadakan

upacara pesta perkawinan hendaklah dilakukan dengan sederhana, dan diniati

6

(17)

untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan menghindari dari perbuatan yang

bertentangan dengan syariat pada saat perayaan upacara pesta perkawinan. Dan

yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan upacara pesta perkawinan tidak

memaksakan diri untuk bermewah-mewahan, melainkan sesuai kemampuannya,

undangan hendaknya tidak dibedakan antara yang kaya dan yang miskin,

semuanya harus diperlakukan sama.7

Masyarakat suku Atoni mempunyai keunikan dan kebiasaan yang berbeda

yang mana setelah adanya akad nikah, keluarga pengantin laki-laki menyuruh

seorang utusan laki-laki untuk melanjutkan acara walimah yang langsung

dilaksanakan pada saat setelah akad nikah, dengan proses natoni Adat Atoni

(utusan tersebut berbicara terlebih dahulu kemudian beberapa pengikut yang

mewakili pengantin laki-laki mengutip pembicaraan tersebut), kemudian barulah

diadakan walimahtul urs.

Hal tersebut menarik untuk dibahas, di samping mininoritas penduduknya

yang menganut agama Islam, masyarakat desa Billa juga sangat menjunjung

tinggi warisan nenek moyang. Penulis akan membahas adat istiadat masyarakat

Atoni mengenai prosesi prnikahan.

Hal yang menarik adalah sejauh mana masyarakat Atoni memahami

nilai-nilai Islami dalam upacara pesta perkawinan, apakah masyarakat Atoni berpegang

teguh pada nilai Islami atau tidak, kemudian apakah pergeseran nilai-nilai Islami

terhadap upacara pesta perkawinan masyarakat Atoni?

7

(18)

Dengan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat

permasalahan ini menjadi penelitian dengan judul: PROSESI PERNIKAHAN

SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIIF HUKUM ISLAM “(Studi Kasus

Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi pada proses bagaimana

prosesi pernikahan (peminangan, akad, dan walimah) menurut pandangan hukum

adat Atoni dan tinjauan hukum Islam. Objek penelitian di desa Billa kecamatan

Amanuban Timur kabupaten Timor Tengah Selatan, mengingat lokasi tersebut

masih kental dengan tradisi adat istiadat, khususnya pada praktek pernikahan.

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini

adalah:

1. Bagaimana prosesi pernikahan secara umum pada suku adat Atoni?

2. Apakah prosesi pernikahan baik tahap peminangan, akad dan walimah pada

suku adat Atoni sudah sesuai dengan hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui prosesi pernikahan secara umum pada masyarakat

(19)

b. Untuk mengetahui ada atau tidaknya kesesuaiaan proses pernikahan pada

masyarakat Atoni menurut hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

a. Agar masyarakat Atoni mengetahui prosesi pernikahan yang benar dan

sesuai dengan ajaran hukum Islam.

b. Agar menambah wawasan bagi para peneliti dan pemikir hukum keluarga

Islam dalam menggemas nilai-nilai ajaran Islam menjadi kajian yang

menarik. Selanjutnya memberikan motivasi bagi para pelaksana peneliti

(terutama jurusan peradilan Agama atau hukum keluarga Islam).

c. Bagi dunia pustaka hasil ini dapat dijadikan sebagai tambahan koleksi

dalam ruang lingkup karya ilmiah khusunya di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

a. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang sumber datanya

terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial)

dengan melihat secara langsung di daerah penelitian, yaitu daerah suku

(20)

b. Studi kasus, yaitu penelitian yang dituntut untuk melakukan penelitian

secara mendalam, yakni mampu melacak dan menemukan berbagai faktor

yang terkait dengan kasus pernikahan tersebut.8

2. Sumber data

a. Data primer, yaitu data lapangan yang didapat dari sumber pertama,

seperti hasil wawancara telephon terhadap tokoh adat (panutan suku)

masyarakat Atoni yang merupakan tokoh panutan gerakan moral bagi

masyarakat sekitar.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari artikel yang berkaitan

dengan tema penelitian yang berasal dari media cetak dan media

elektronik.

3. Pengumpulan data, yaitu dilakukan melalui pengamatan secara terlibat di

lokasi penelitian dengan cara:

a. Observasi, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan suatu

keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang dianggap berlaku

dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan

yang menjadi sasaran pengamatan dengan cara mengikuti dan

menyaksikan langsung prosesi pernikahan menurut suku adat Atoni.

b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang akan

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan

yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam hal

8

(21)

ini penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu, para pelaku

pernikahan, orang tua, masyarakat setempat dan tokoh adat suku Atoni.

Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu dari anak

keturunan raja suku adat Atoni Umar Keke Isu.

c. Studi dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri

dari bahan hukum primer dan hukum sekunder. Dan juga data-data yang

diperoleh dari literatur dan referensi yang berkenaan dengan judul skripsi

ini.

4. Pengolahan data, menjelaskan cara mengolah data mentah hasil penelitian

agar dapat terbaca dengan baik. Pengolahan data harus didasarkan pada

kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi.

5. Analisa data, yaitu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi

komparasi, yaitu dalam pendekatan teori ini, peneliti mengkonsentrasikan diri

untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan pendekatan kepada

tokoh adat, dan masyarakat suku Atoni, yang bertujuan untuk menemukan

persamaan atau perbedaan tentang objek peneletian yang berkaitan dengan

prosesi penikahan suku adat Atoni dan hukum Islam.

Adapun teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan I

(22)

E. Review Studi Terdahulu

Dari katalog yang penulis cari, karya mengenai proses pelaksanaan

khitbah menurut hukum Islam dan suku adat Atoni, belum dibahas karena penulis

belum menemukan judul seprti yang diangkat oleh penulis, dan penulis berasumsi

bahwa judul yang diangkat adalah baru. Penulis meringkas skripsi yang ada

kaitannya dengan peminangan. Diantaranya yaitu:

Sari Ngabalin (1060442014773). Tabarok (Taruh Harta) sebagai

Persyaratan Pernikahan Adat Papua dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi yang

penulis buat itu membahas tentang prosesi pernikahan adat Fak-fak yang dikenal

dengan istilah adat ”taruh harta”, yaitu pemberian dari seorang calon mempelai

laki-laki kepada calon mempelai perempuan sebagai alat pengabsahan terhadap

suatu perkawinan. Di dalam sikripsi itu penulis mencantumkan prosesi

pembayaran taruh harta, yaitu memakai simbol terdepan burung kuning sebagai

simbol kekayaan alam tanah Papua. Burung cendrawasih yang dipasang di tiang

utama harus diserahkan kepada pihak perempuan sebagai tanda pintu rumah

keluarga menerima. Saudara perempuan dari pengantin yang akan menerima

simbol burung kuning dan meneyarahkan kepada pihak laki-laki piring (Ben

Pepon) dan uang sebagai tanda awal pembayaran taruh harta. Berbeda dengan

yang dibahas oleh penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai mahar

pernikahan menurut suku adat Atoni dan perspektif hukum Islam.

Anugrah Sejati (101044222178). Prosesi Ritual Perkawinan Adat Jawa

(23)

proses peminangan adat Jawa itu dinamakan dengan istilah ngebunebun esuk,

anjejawah sonten. Lamaran dapat dilakukan sendiri oleh orang tua laki-laki secara

lisan namun dianggap kurang tepat yang kemudian laki-laki tersebut menulis dan

mengirim surat lamaran kepada pihak perempuan yang dibawa oleh seorang

petugas yang dijadikan duta dan biasanya berasal dari kalangan keluarga sendiri

(paman). Beberapa hari kemudian surat berdasarkan hasil perundingan dari

keluarga si gadis yang dihadiri oleh nenek atau kakek si gadis maka orang tua si

gadis tersebut pun menulis surat jawaban. Berbeda dengan yang dibahas oleh

penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai prosesi pernikahan

menurut suku adat Atoni Nusa Tenggara Timur dan bagaimana menurut

perspektif hukum Islam.

F. Sistem Penulisan

Agar penulisan skripsi ini terarah dan mudah dibahas, maka penulis

mensistematika pembahasan skripsi ini ke dalam lima bab :

BAB I: Membahas Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode

Penelitian,dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Membahas Landasan Teori Perkawinan yang terdiri dari: Pra

Nikah (Pengertian Khitbah, Prosedur Khitbah, Asas-asas yang

Benar Memilih Istri, Cara Pembatalan Khitbah), Perkawinan

(24)

Prosedur atau Cara Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan),

Walimatul Urs (Pengertian Walimatul „Urs, Hukum dan Hikmah

Walimatul Urs dan Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs).

BAB III: Membahas Gambaran Umum Profil Masyarakat desa Billa dengan

Membahas tentang: Letak Geografis, Kondisi Sosial, Ekonomi dan

Budaya, Kondisi Pendidikan dan Kondisi Keagamaan.

BAB IV: Dalam Bab ini Membahas tentang Perspektif Hukum Islam

terhadap Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT) yang terdiri

dari: Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni,

Prosesi Pelaksanan Perkawinan Menurut Suku Adat Atoni, dan

Walimatul Urs atau Pengumuman Perkawinan Menurut Pandangan

Suku Adat Atoni.

(25)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Pelaksanaan Pra Nikah atau Khitbah Sebagai Syariat Islam.

1. Pengertian Khitbah

Kata “Peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja).

Menurut etimologi meminang atau melamar artinya antara lain, yaitu meminta

wanita untuk dijadikan istri oleh seorang laki-laki baik (bagi diri sendiri atau

untuk orang lain).9

Menurut Terminologi, Khitbah (lamaran) adalah” Usulan untuk

membangun satu konstruksi yang landasannya yaitu keluarga,

menyempurnakan dua komponen, yaitu pria dan wanita.10 Sedangkan dalam

buku Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap Karangan H. M. A. M. dan

Sahrani, mengatakan bahwa khitbah menurut terminologi adalah kegiatan atau

upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan

seorang wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan

untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di

tengah-tengah masyarakat.11

9

Kotja Ningrat, Pedoman Penelitian, (Jakarta: Raja wali Press, 1989), h.9 10

Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq.

1993). h.61 11

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 24

(26)

Adapun syari‟at khitbah (peminangan) antara lain, yaitu menurut

pandangan jumhur tentang khitbah berdasarkan Al-Qur‟an dan demikian pula

pengikut madzhab al-Syafi‟i berdasarkan al-hadits, dapat diltelusuri melalui

kutipan sunnah fi‟liyah Nabi Saw yang berbunyi:

“Dari Urwah, Bahwasanya Nabi Saw meminang (khitbah) Aisyah ra kepada Abu Bakar ra (ayah Aisyah), maka Abu Bakarpun menjawab: “ya, baiklah aku adalah saudaramu”. Kemudian Nabi SAW menimpali seraya berkata: “benar, engkau adalah saudaraku seagama dan saudara yang seperti yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya (al-Qur’an) sehingga “dia” (Aisyah) juga halal bagiku (untuk dinikahi).

                                                

Artinya:“Hamba Allah yang shaleh (Syuaib) berkata kepada Musa AS: “ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun...”(QS. al-Qasas: 27).

Hadist dan ayat tersebut di atas, dari sudut subtansinya mengarah

kepada bentuk-bentuk khitbah (lamaran) dengan corak beragam. Pada hadist

tersebut menjelaskan bagaimana khitbah dilakukan oleh pihak calon suami

kepada pihak calon istri melalui walinya secara langsung tanpa perantara.

Sedangkan pada ayat al-Qur‟an menunjukan bahwa seorang wali secara syara‟

diharuskan memilih calon suami anak perempuan yang di bawah

perwaliannya dengan lelaki saleh. Untuk itu, lamaran tidak saja datang dari

(27)

perempuan-perempuan yang tidak boleh dikhitbah sebagaimana isyarat

al-Qur‟an tentang larangan menikahinya. Sebagaimana Allah berfirman:

                                                                                         

Artinya: “Diharamkan bagimu menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-lakimu, anak-anak perempan dari saudara-saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan sesusuanmu,ibu-ibu istrimu (martua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri peremmpuan), yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu (menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha penyayang (QS. An-Nisa: 23).12

2. Prosedur Khitbah

Sebelum memulai langkah-langkah melamar, seseorang yang ingin

menikah harus tahu secara pasti bahwa tidak ada larangan-larangan syariah

12

Al-barudi Imad Zaki, Tafsir Al-Qur’an al-Anzhim Lin Nisa, (Jakarta Pusat: Pena Pundi

(28)

yang menghalangi menikah. Oleh karena itu dianjurkan adanya prosedur

khitbah (lamaran), yaitu:13

a. Cara Memandang.

Hukum syara‟ mensunahkan seseorang untuk memandang kepada

wanita yang hendak dilamarnya. Demikian pula, si wanita yang dilamar

disunahkan memandang kepada pria yang melamarnya, sebelum

menyatakan menerima lamaran itu. Sebagaimana Al-Mughirah bin

Syu‟ban pernah melamar seorang wanita. Masalah ini disampaikannya

kepada Rasul Saw, kemudian bersabda kepadanya:

ئ ف , ف

Artinya: “Pergi dan pandanglah wanita itu. Sebab, memandang disini akan menjadi bumbu bagi berdua.”

Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa pria boleh

memandang wajah dan dua telapak tangan si wanita yang dilamarnya

sebab, memandang wajah bisa mewakili kecantikan (seorang wanita),

sedangkan memandang kedua telapak tangan bisa mewakili subur

tidaknya tubuh (seorang wanita).

b. Mengenal Sifat

Setiap pernikahan yang terjadi tanpa melalui proses memandang

terlebih dahulu maka akibatnya adalah kekecewaan. Memandang sebelum

menikah tidak terbatas hanya mengenal cantik atau tidaknya, tetapi juga

13

(29)

mencakup proses mengenal sifat-sifat yang lain dengan minta informasi

kepada orang-orang yang bisa dipercaya dari kalangan kerabat, seperti ibu

dan saudaranya.

Informan yang dimintai untuk memberikan penilaian harus

menguasai persoalan agar tidak terjebak yang menyebabkan si mempelai

tidak mantap setelah menikah dan mendambakan wanita yang bukan

istrinya. Sebagaimana Rasulullah Saw mengutus sebagian wanita agar

mereka mengetahui aib-aib yang tidak nampak oleh mata. Selain, itu juga

Nabi Muhammad Saw mengutus Ummuh Salamah kepada seorang wanita.

Beliau bersabda: “Lihatlah daerah tumitnya. Cium pula ma’atifnya atau

awaridhnya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Al-Thabrani dan

Al-Baihaqi. Ma‟atif di sini, berarti daerah di sekitar leher. Sedangkan

awaridh berarti gigi yang terletak di bagian mulut yakni, gigi yang terletak

antara gigi dengan rahang. Tetapi yang dimaksud kutipan hadits tersebut

adalah mencium bau mulut.14

c. Menguatkan Lamaran

Jika kedua belah pihak setuju untuk menjadi suami istri maka

lamaran di sini bisa diterima oleh kedua belah pihak. Dan masing-masing

pihak berusaha untuk memperkokoh hubungannya dengan orang lain

14

(30)

sedemikian rupa demi memperkuat hubungan baru. Seringkali setelah

proses melamar selesai, kemudian diikuti dengan pemberian mahar,

seluruhnya atau sebagian. Atau dilanjut dengan pemberian hadiah-hadiah

dan pemberian lain bertanda adanya hubungan keluarga yang baru. Tetapi,

hal tersebut bukan berarti memperbolehkan pasangan calon pengantin

tersebut untuk berduaan, selama belum menyatakan akad nikah.

3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri

Prinsip-prinsip yang benar untuk memilih calon suami atau istri.

Al-Qur‟an menjadikan unsur ketaqwaan sebagai ukuran bagi prinsip yang kuat

yang tidak bisa digantikan dengan ukuran yang lain, karena agama Islam telah

menetapkan kriterea orang yang melamar antara lain, yaitu:

a. Jika ia saleh atau shalihah (bertaqwa kepada Allah)

Sebagaimana Allah SWT berfirman :

......

Artinya: “ sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...”(QS. Al-Hujuraat: 13).15

b. Wanita-wanita yang sendirian dan berkaitan dengan harta

Allah SWT berfirman :

                               15

(31)

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(An-Nur: 32)

c. Orang-orang berakhlak baik

Rasulullah Saw telah berwasiat kepada kita

Artinya: “Jika ada seorang yang melamar (anakmu) diantar kamu sekalian yang kamu anggap agama, dan akhlaknya kau anggap baik, maka kawinkanlah. Jika tidak, ia akan menimbulkan fitnah dan bencana di bumi.”(HR. At-Tarmidzi dan Shaheh).

d. Orang-orang yang sehat dan akan memberikan keturunan. Sebab, tujuan

utama perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Sebagaimana

hadits Rasulullah Saw yang mengatakan:

. أ ث , ف ج

Artinya:“Nikahilah olehmu wanita yang pencinta, dan yang memiliki kemungkinan besar untuk melahirkan keturunan yang banyak. Karena aku akan bangga dengan jumlah umatku yang banyak di hari kiamat.”

Selain, itu juga Rasulullah Saw bersbda bahwa memilih calon istri

yang baik dan shaliha itu, ada empat faktor, sebagaiman haditsnya:

, ج ,

, , أ أ

فظ ف

ش

Artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).16

16

(32)

4. Cara Pembatalan Khitbah

Pertunangan merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum,

pernikahan dilangsungkan, yang pada umumnya banyak laki-laki

menyerahkan mahar, baik keseluruhan maupun sebagiannya, memberi hadiah

dan hibah (hantaran, red), mempererat silaturahmi dan mengukuhkan pertalian

diantara keluarga keduanya.

Bisa jadi, pertunangan yang sudah terjadi menjadi batal (tidak

dilanjutkan hingga kejenjang pernikahan), baik yang membatalkan dari pihak

laki-laki ataupun dari pihak perempuan. Juga bisa jadi pembatalan itu atas

kesepakatan kedua belah pihak.

Pada dasarnya, pertunangan hanya sebatas janji untuk menikah, bukan

akad pernikahan. Pembatalan atas pertunangan merupakan hak bagi orang

yang melangsungkan pertunangan dan tidak ada konsekuensi hukum jika

terjadi pembatalan (untuk menikah). Meskipun syariat menganggap bahwa

pembatalan atas pernikahan yang sudah dimulai dengan pertunangan

merupakan perilaku yang tidak terpuji dan bagian dari sifat kemunafikan,

kecuali jika dalam pembatalan tersebut disertai alasan dan kepentingan yang

amat mendesak yang mengharuskan untuk membatalkannya. Rasulullah Saw

bersabda:

(33)

Artinya: “Adatanda-tanda orang munafik ada tiga: ketika berbicara, dia berdusta: ketika berjanji dia ingkar dan ketika diberi kepercayaan dia berkhianat.

Mengenai hadiah, tidak ada ubahnya seperti hibah. Hadiah tidak boleh

dikembalikan jika itu murni pemberian, tanpa adanya ikatan atau syarat

karena orang yang menerima hadiah berhak atasnya dan menjadi pemilik apa

yang telah diberikan kepadanya sejak dia menerimanya. Dia berhak

mempergunakan dan memanfaatkan apa yang telah menjadi miliknya.

Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan merupakan perampasan

atas hak milik yang tanpa disertai dengan keridhoan pemiliknya.Hal itu

merupakan perbuatan batil dalam Islam.17

Tapi, jika hibah diberikan dalam rangka mengharapkan balasan dari

penerima, maka jika orang yang menerima itu belum melaksanakan apa yang

diminta, orang yang memberi berhak untuk mengambil kembali hibah yang

telah diberikan. Dalam keadaan seperti ini orang yang memberi berhak

meminta kembali apa yang telah diberikannya, karena dia memberikannya

atas dasar sesuatu yaitu pernikahan. Apabila pernikahan tidak terlaksana,

maka laki-laki berhak mengambil kembali hadiah yang telah diberikannya.

Sebagai landasan atas hal ini adalah berapa hadist sebagai berikut :

Imam Bukhori Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan

Ahmad meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah Saw

bersabda:

17

(34)

Artinya: “Tidak halal bagi seorang yang memberikan sesuatu atau menyerahkan hadiah kemudian mengambilnya kembali kecuali Ayah yang mengambil apa yang diberikan pada anaknya

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasul

Saw bersabda:

Artinya: “orang yang mengambil kembali pemberiannya, dia seperti orang yang menelan muntahannya kembali“.

Salim ra meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw.

Bersabda:

Artinya: “siapa yang diberi suatu pemberian, maka dia lebih berhak atasnya kecuali jika dia memberi ganti”.

Ulama mazhab Maliki berpendapat lain. Mereka membedakan antara

pembatalan pernikahan dari pihak laki-laki dan perempuan.Jika pembatalan

berasaldari pihak laki-laki, maka dia tidak berhak meminta kembali hadiah

yang telah diberikan kepada pihak perempuan. Tetapi, apabila pembatalan

diajukan oleh pihak perempuan, maka laki-laki berhak mengambil kembali

semua hadiah yang telah diberikan. Dalam hal ini, pihak perempuan

berkewajiban untuk mengembalikannya atau menggantikannya bila barang

yang telah diterima rusak atau telah habis, kecuali bila bentuk pemberian

hadiah tersebut merupakan suatu tradisi atau syarat yang harus dilaksanakan.

Menurut ulama mazhab Syafi‟i hadiah yang telah diberikan harus

(35)

maka ia dikembalikannya semula dan jika sudah rusak, maka pihak

perempuan harus mengganti barang itu sesuai dengan nilainya.18

B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam

1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum

a. Pengertian Nikah

Secara etimologi kata ( ) sama dengan kata (ج ) yang

artinya nikah, kawin.19 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh

berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu ( ) dan zawaj (ج ).

Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan

banyak terdapat di dalama al-Qur‟an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha

banyak terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti kata

nikah berarti gabung ( ض) hubungan kelamin (ء ) dan juga berarti akad

( قء) adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat

dalam al-Qur‟an memang mengandung dua arti tersebut.20

Dalam bahasa indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”

yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,

bersuami atau beristri, menikah atau melakukan hubungan kelamin

18

Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah, (Jakarta: Cakra Publishing, 2008). Cet ke-I. h. 235-238 19

Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir,Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 1461

20

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kenacana, 2007),h.

(36)

(bersetubuh).21 Sedangkan kata nikah dalam bahasa Indonesia artinya

adalah ikatan (akad)perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan

hukum dan ajaran agama.22

Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan. Menurut syara‟

artinya akad yang terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang

telah tertentu ) untuk berkumpul.23

Menurut istilah perkawinan atau nikah, yaitu menyerahkan dan

penerimaan tanggung jawab dalam arti luas yang dilakukan pada saat akad

serta tanda dimulainya hukum halal untuk bercampur sebagai suami istri

yang merupakan suatu ikatan lahir antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki

keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat

Islam.24 Hal ini terdapat dalam Firman Allah SWT :

...



 ... ..

Artinya….”Nikahilah mereka itu dengan izin keluarganya…”( QS. An-Nisa: 25)

Adapun pengertian perkawinan menurut beberapa mazhab adalah

sebagai berikut:

1) Definisi nikah menurut golongan Syafi‟iyah.

21

Dep Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,(Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008 ), cet. Ke-I, edisi ke-4, h. 639 22

Frista Artmanda W, Kamus Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, 2007), h. 2848 23

Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar Juz 2, (Indonesia: Darul „Ihya al-Kutub Arabiyah, tt ),

h. 36 24

(37)

Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan

wath‟i dengan lafaz nikah, tawij atau yang semakna dengan keduanya.

2) Definisi nikah menurut golongan Malikiyah

Nikah adalah akad untuk mendapatkan kesenangan wanita dengan

membayar mahar dan adanya saksi.

3) Defenisi nikah menurut golongan Hanafiyah

Nikah adalah akad yang berfaidah memiliki bersenang-senang dengan

sengaja.

4) Definisi nikah menurut golongan Hanabilah.

Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij

guna memperbolehkan manfa‟at, bersenang-senang dengan wanita.25

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para

ulama mutaqaddimin, memandang nikah hanya dari satu saja yaitu

kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk

berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan,

akibat nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami istri yang

timbul.26

b. Dasar Hukum

Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi (sunatullah)

merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai

25

Abdurrahman Al-jaziry, Al-Fiqh ‘ Ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 4, (Beirut: Darul Ihya,

1969), h. 2-3.

26Djama‟an Nur,

(38)

ikatan yang sangat kokoh. Allah SWT dan rasul-Nya Muhammad Saw

telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda

Rasul-Nya, di antaranya, yaitu: 27

Firman Allah SWT :

                                              

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.(QS. An-Nisa: 3)

Selain ayat tersebut di atas Allah berfirman:

                                

Artinya:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)

Sabda Rasulullah Saw:

ج ف ص ص ضغ ف ج ف ء ط ش ش

Artinya: “Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu serta keinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah.

27Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad bin Abdul Mu‟min .t.t

(39)

Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat mendudukan pandangan mata dan memelihara kemaluan.(Muttafaqun „Alaih)”.28

Hukum Perkawinan ada 5, yaitu:

1) Wajib, bagi orang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina

seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan adalah

wajib.

2) Sunat. Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan

untuk melangsungkan perkawinan, tetapi tidak kawin tidak

dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan

bagi orang tersebut adalah sunnat.

3) Haram. Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai

kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan

perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

4) Makruh. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan

perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri

sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina

sekiranya tidak kawin.

5) Mubah. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk

melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan

28

(40)

berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak ada melantarkan

isteri.29

2. Prosedur atau Cara Perkawinan

Dalam Islam diatur tata cara tentang prosesi akad nikah yang terdiri

dari, syarat pernikahan dan rukun pernikahan yang menentukan suatu

perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah dan tidaknya perbuatan

tersebut dari segi hukum. Dalam hal ini Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa

kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, yakni bahwa keduanya

merupakan sesuatu yang harus diadakan, dalam arti perkawinan tidak sah bila

keduanya tidak ada atau tidak lengkap.30

Menurut ulama Syafi‟iyah syarat perkawinan itu adakalanya

menyangkut sighat, wali, calon suami istri, dan juga syuhud (saksi).

Sedangkan berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada 5 (lima), yaitu:

calon suami istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Sedangkan menurut

Malikiyah adalah termasuk mahar dan tidak menempatkan saksi sebagai

rukun.31

Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku

antara piha yang melangsungkan perkawinan. Oleh karenanya yang menjadi

rukun dalam sebuah perkawinan hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh

29

Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakaht, h. 18-20 30

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, h. 63 31

Amir Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi

(41)

dua belah pihak yang bersangkutan, sedangkan di luar daripada itu seperti

kehadiran saksi dan mahar bukan termasuk rukun melainkan sebagai syarat

perkawinan.32

Terdapat perbedaan para ulama fiqh dalam menentukan mana yang

termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Perbedaan tersebut wajar

karena perbedaan pandangan mengenai perkawinan, sehingga boleh jadi

sebagian ulama menentukan sebagian rukun dan sebagiannya lagi menentukan

sebagai syarat.

Menurut jumhur ulama rukun perkawinan itu ada 5 (lima), yaitu:

a. Calon Suami

b. Calon Istri

c. Wali Nikah

d. Saksi Nikah

e. Ijab Kabul

Selanjutnya adalah mahar yang merupakan syarat sah perkawinan,

yaitu pemberian sesuatu dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai

wanita baik yang berbentuk barang uang ataupun jasa yang tidak bertentangan

dengan hukum Islam di mana status hukumnya adalah wajib. Adapun

mengenai jumlahnya tidak ditentukan secara tegas yang hanya didasarkan

pada kesepakatan antara keduanya dan tidak bersifat memberatkan.

32

(42)

Dapat dipahami bahwa mas kawin disebut shaduqat yang berarti

shadaqah yang bermakna perasaan jujur dan hati yang suci. Artinya harta

diperoleh secara jujur (halal) yang kemudian diberikan kepada calon istri yang

didasari oleh keikhlasan. Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT: 33

                      

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)

3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

a. Tujuan Perkawinan

Sebagaimana hukum-hukum yang telah ditetapkan dengan tujuan

tertentu sesuai dengan tujuan terbentuknya, demikian pula halnya dengan

syari‟at Islam. Mensyari‟atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu

pula, diantara tujuan-tujuan tersebut adalah:34

1) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan

menyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari

keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah umat Nabi Muhammad Saw (umat

Islam).

Sebagaimana dalam Firman Allah menjelaskan:.

33

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Pt. Sinar Grafika, 2006), cet. I, h. 24

34

(43)

                                

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah”. (QS. An-Nahl: 72)

2) Untuk menjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT

untuk mengerjakannya.

3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami istri, menimbulkan rasa

kasih sayang antar orang tua dengan anaknya dan antar seluruh

anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan

dirasakan pula oleh masyarakat, sehingga terbentuklah umat yang

diliputi cinta dan kasih sayang.

4) Untuk menghormati atau mengikuti sunnah Rasululllah Saw, beliau

mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan

bangun beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin

sebagaimana sabda beliau:

)

( ف

ء غ ف

Artniya: “maka barang siapa yang benci kepada sunnah-ku bukanlah ia termasuk (umatku)”. ( HR. Bukhari dan Muslim).

5) Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas

ayah, kakek, dan sebagainya. Semua itu hanya dapat diperoleh dengan

(44)

bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan

mendidik sehingga menjadilah ia seorang muslim yang

dicita-citakan.35

Agar tujuan seseorang dalam melakukan perkawinan terlaksana

dengan baik, maka dianjurkan memenuhi beberapa syarat perkawinan,

salah satu diantaranya adalah usia menikah, hal tersebut di tetapkan dalam

pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur

16 tahun. Sedang dalam penetapan BKKBN usia ideal menikah calon

suami kurangnya berumur 25 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 20-21.36

b. Hikmah Perkawinan

1) Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang

selamanya menuntut adanya jalan keluar. Dan kawin adalah jalan

alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan

memuaskan naluriah seks ini

“Dari abu Hurairah: pernah Nabi saw bersabda: " Sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi dengan rupa setan pula. Jika seseorang diantaramu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklan ia datangi isterinya, agar nafsunya dapat tersalurkan".(HR. Muslim, Abu Daud dan Tarmidzi).

35

Sayid Sabiq, Fiqh SunahTerjemah M. Galib, (Bandung: Al ma‟arif, 1994), cet-ke 5, h. 64

36

(45)

2) Kawin adalah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,

memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta

memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Sebagaiaman

sabda Rasulullah: "Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa

banyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahnya yang

banyak di hadapan para Nabi pada hari kiamat nanti".

3) Tumbuhnya naluri kebapaan dan ke-ibuan yang saling melengkapi,

tumbuh perasaan cinta, ramah, dan sayang dalam suasana hidup

dengan anak-anak.

4) Adanya rasa tanggung jawab yang dapat mendorong ke arah rajin

bekerja, bersungguh-sungguh dan mencurahkan perhatian

5) Adanya pembagian tugas istri mengurusi dan mengatur rumah tangga,

membimbing dan mendidik anak-anak, sementara si suami bekerja di

luar rumah.

6) Dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan

rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan

kemasyarakatan.37

37 Wasiun Mika,”

Hukum dan Perkawinan Menurut Islam”,

(46)

C. Walimatul ‘Urs

1. Pengertian Walimatul ‘Urs

Walimah berasal dari kata ( ) yang artinya pesta penggantin atau

bisa juga disebut sebagai makanan yang disediakan khusus dalam acara

perkawinan.38

Walimah arti harfiyahnya ialah berkumpul. Karena pada waktu itu

berkumpul suami istri, sedangkan walimah menurut istilah, yaitu khusus

tentang makan dalam acara pesta perkawinan.39

Walimatul urs (resepsi pernikahan) adalah hidangan makanan yang

disediakan pada hari-hari resepsi pasangan pengantin. Disebut walimah

lantaran orang-orang berkumpul pada acara ini. Walimah termasuk perkara

yang di syariatkan oleh agama Islam.

Sehingga dalam prakteknya, sering kita dapati orang begitu semangat

untuk mengadakan walimah sehingga terkadang sampai melewati batas

kewajaran dan mulai memasuki wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuai

dengan rambu-rambu syariah.

Perintah walimah dengan makan-makan tentu tidak berarti kita

dibenarkan untuk menghambur-hamburkan harta. Sebab orang yang

menghambur-hamburkan harta termasuk saudaranya syetan. Sebagaimana

dalam Firman Allah SWT:

38

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet. I, h. 56

(47)

              

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra: 27)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya

akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya

hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari-hari setelah dukhul, karena

demikian yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw. Anas bin Malik ra

berkata:“Nabi Muhammda Saw menikah dengan Shafiyyah ra dan beliau

jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian”.

Dan apabila mengadakan walimah, maka hendaklah yang diundang

dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia

orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang

kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah

tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Karena Rasululllah Saw bersabda:

ط

,

,

,

ف ,

ص

ه

Artinya: “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang”. (HR. Al-Bukhari).40

40

(48)

2. Hukum dan Hikmah Walimatul Urs

Melangsungkan walimah „urs hukumnya sunnah, karena Nabi

Muhammad Saw menyuruh Abdurrahman bin Auf agar mengadakan

walimatul urs saat menikah, yaitu beliau bersabda kepadanya:41

أ

,

ش

Artinya: ”Adakanlah walimah walaupun dengan seekor domba”.

Hikmah dari diadakannya walimatul urs ada enam yaitu:

a. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT

b. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya

c. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah

d. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri

e. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah

f. Sebagai pengumuman bagi masyarakat bahwasanya antara kedua

mempelai telah resmi menjadi suami-istri sehingga masyarakat tidak

curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.42

3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs

Menghhadiri undangan orang yang mengundang dalam acara walimah

pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang diundang, karena memenuhi

undangan ini menunjukkan adanya perhatian kepada pihak yang mengundang,

41

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’’an dan Sunnah,

(Jakarta: Akbar Media, 2009), h. 234. 42

(49)

memberikan kegembiraan kepadanya dan membuat hatinya lega.

Sebagaimana dasar hukumnya adalah:

Ibnu Umar ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:

ك آ

ف ,

Artinya: “Jika salah seorang diantara kalian diundang ke acara walimah, hendaknya dia memenuhi undangan itu.

Abu Hurairah ra

.

berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:

ه ص ف ,

Artinya: “siapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah menantang Allah rasul-Nya”.

Abu Hurairah ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:

أ , ك

,

Artinya : “Seandainya aku diundang pada hidangan berupa kaki bagian bawah (yanikit dagingnya), niscaya aku memenuhi (undangan itu). Dan seandainya aku diberi hadiah berupa kaki bagian depan, niscaya aku menerima. (HR. Bukhari).

Jika undangan itu bersifat umum dan tidak terbatas pada satu orang

atau sejumlah orang saja, maka undangan tidak wajib dipenuhi dan tidak pula

dianurkan untuk dipenuhi.

Ada yang berpendapat bahwa memenuhi undangan hukumnya fardhu

kifayah. Pendapat lainnya dikatakan, memenuhi undangan walimah

hukumnya sunnah. Pendapat pertama lebih tepat, karena penentangan tidak

dinyatakan kecuali terkait pengabaian kewajiban. Hal ini berkaitan dengan

walimah pernikahan.

Adapun memenuhi undangan selain walimah pernikahan, hukumnya

(50)

mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa hukum memenuhi undangan apapun

adalah wajib secara mutlak.43

43

(51)

BAB III

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BILLA

A. Letak Geografis

Nusa Tenggara Timur disebut juga dengan Flobamora, yaitu propinsi yang

terdiri dari tiga kepulauan besar, yakni pulau Flores, pulau Sumba dan pulau

Timur. Secara astronomis, Nusa Tenggara Timur terletak antara 10°36‟14”

-10°39‟58” LS dan 123°32‟23”–123°37‟01”BT.44 Propinsi ini dibatasi oleh laut

Flores di sebelah Utara, Negara Timor-Timur atau Timor Leste, Provinsi Maluku

dan Laut Banda di sebelah Timur, kemudian di sebelah selatan berbatasan dengan

Samudra Hindia dan di sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara

Barat.45

Lokasi yang dijadikan objek penelitian oleh penulis adalah desa Billa,

Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Propinsi Nusa

Tenggara Timur. Jarak antara lokasi penelitian ke kota kecamatan ± 8 Km, ke Ibu

Kota Kabupaten (110) Km dan ke Ibu Kota Provinsi (170) Km. Adapun desa-desa

yang berbatasan dengan lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten TTU

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Oe‟ekam

44

Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang, Profil Pemerintah Kota

Kupang,http://kupangkota.go.id/?page_id=5132, di akses pada tanggal 17 Januari 2014

45

Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Batas Wilayah

NTT,http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur, di akses pada tanggal 1 April 2014

(52)

3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Fatukopa

4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Abi. Luas areal desa Billa secara

keseluruhan adalah ± 174. 532 ha/m2.46

Dari keseluruhan luas areal desa Billa di atas, 45 % wilayahnya

merupakan deretan perkebunan dan 25 % lagi wilayahnya merupakan deretan

pekarangan dan pegunungan yang terjal dan sungai-sungai yang dalam, yang sulit

untuk ditempuh bila menggunakan kendaraan yang beroda dua maupun beroda

empat, sejauh ini masyarakat masih menggunakan berjalan di atas kedua belah

kaki untuk menempuh jarak tersebut.

Apabila kita melihat kondisi fisik wilayah desa Billa seperti di atas, maka

ini akan sangat berpengaruh terhadap proses pembangunan di daerah ini.

Pengaruh yang sangat menonjol dari kondisi fisik di atas adalah sulitnya membuat

jalan atau jembatan layang yang menghubungkan antara masyarakat yang

bertempat tinggal jauh dari lokasi desa Billa. Jalur transportasi yang

menghubungkan antara Rukun-rukun Tetangga (RT/RW) diwilayah desa Billa

kecamatan Amanuban Timur ini hanyalah melalui jalan kaki. Hal ini

mengakibatkan terisolirnya masyarakat desa dari informasi-informasi

pembangunan. Hal ini dapat disaksikan melalui pembangunan rumah-rumah

penduduk yang 50 % beratapka

Gambar

Tabel I
Tabel II
Tabel III Komposisi Penduduk Desa Billa
Tabel IV
+2

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga calon mempelai pria datang bersama keluarga, saudara, kerabat, tokoh agama dengan membawa persyaratan yang diwajibkan menurut adat Bima dalam melakukan peminangan

Jadi apabila uang panai tidak dilakukan dalam perkawinan dan hanya memberikan mahar kepada calon mempelai perempuan maka perkawinan tersebut sah menurut hukum

Utusan keluarga pengantin pria datang kerumah orang tua calon pengantin wanita untuk berunding mencari kesepakatan bersama mengenai hal yang berhubungan denagn besarnya uang

Utusan keluarga pengantin pria datang kerumah orang tua calon pengantin wanita untuk berunding mencari kesepakatan bersama mengenai hal yang berhubungan denagn besarnya

Dalam kasus pernikahan yang dilakukan oleh tokoh adat kepada pelaku khalwat di bawah umur dapat dibenarkan menurut hukum positif ketika orang tua pihak laki-laki dan

1) Risik Kono, merupakan ajang perkenalan keluarga calon pengantin. Orang tua pengantin pria, biasanya diwakili oleh ibunya akan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan

Tradisi ini memiliki nilai akhlak yaitu tauhid yaitu mengesankan Allah karena melakukan Dio Majang tujuannya adalah doa kepada Allah agar menurunkan rahmat-Nya kepada calon pengantin,

Adapun proses Rampanan kapa ’dalam pernikahan Adat Toraja sesudah menyepakati perjanjian yang telah ditetapkan oleh kedua pihak untuk mencega perceraian yaitu dimulai dari palingka kada