SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjanah Syariah (S. Sy)
DI SUSUN OLEH :
ABIYATI ATNAN NITIONO NIM : 1110044100085
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
Hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada suri tauladan dan penunjuk jalan kebenaran ialah Rasulullah
SAW.
Salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Strata Satu
(S1) di Perguruan Tinggi termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam
rangka itulah penulis membuat skripsi ini dengan judul PROSESI PERNIKAHAN
SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, “(Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya dari
penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui dalam
menyelesaikan skripsi ini. Namun tanpa bantuan, dukungan dan motivasi yang tak
terkira ksususnya orang tua tercinta, Ayahanda Atnan Nitiono dan ibunda Rosmiwati
Umar Isu dan para keluarga khususnya paman-pamanku tersayang (Yusuf Umar
Isu, S. Ag, dan Suherman Umar Isu, SH) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya,
membiayai, serta doa, dukungan dan motivasinya tehadap penulis agar penulis sukses
ii
membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, utamanya kepada:
1. Dr. Phil. JM. Muslimin, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Selaku Ketua Program Studi Akhwal
Syaksiyah dan ibu Hj. Rosdiana, MA selaku sekertaris program studi Akhwal
Syaksiyah, yang telah banyak membantu penulis selama masih kuliah.
3. Dr. H. Umar Alhadad, MA. Selaku Dosen Pembimbing karena berkait
bimbingan, perhatian dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
4. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali
penulis dengan ilmu yang berharga yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih penulis ucapkan,
semoga dapat balasan setimpal dari-Nya.
5. Kepada Dra. Hj. Maskufah. MA, selaku dosen pembimbing Akademik yang
selalu mensuport, membimbing dan memotivasi penulis selama kuliah
6. Kepada UKM Resimen Mahasiswa Jayakarta (MENWA JAKARTA)
khususnya Senior-senior Menwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Komandan
Amin, Komandan Syawal, Wadan Helmi, bu Kuntum, bu Qudsy) yang telah
iii ilmu.
8. Kepada Om Sultan Umar Isu, tante Linda, Om Tohir Umar Isu, yang selalu
memberikan nasehat kasih sayangnya kepada penulis.
9. Kepada om Sudirman Kadir Isu, S. Ag., M. H dan bibi Wiwin yang selalu
memberikan nasehat, motivasi dan dukunganya kepada penulis.
10.Kepada kakek Drs. Ali Tatan Sone, beserta keluarga yang telah membina dan
mengenalkan penulis untuk menuntut ilmu kepulau Jawa.
11.Kepada chy Aminah Kadir Isu, S. Sos, chy Rosmiwati Isu, S. Pd. I, chy Anisa
Kadir Isu, S. Pd. I,chy Fatmawati Umar Isu (alm), chy Anggriani Umar Isu
(alm ) yang selalu membantu danmendo’akan penulis dalam hal menuntut ilmu.
12.Kepada kakak, adik-adik dan ponakan-ponakanku (Kakak Junaidin Atnan
Nitiono, Ben Marwah, Alfat, Iskandar, Anggi, Rodiah, Faizah, Indah,Arif Liu,
Andri Liu, Fahmi Liu, Adhe Liu, Fira, Zaki, Nci).
13.Kepada sahabat karibku Nur Anisah Usman, S. KM, yang selalu mensuport
dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. Mudah-mudahan Allah
SWT memberikan segala kemudahan kepadamu kawan.
14.Kepada sahabat-sahabatku seperjuangan angkatan 2010 Peradilan Agama,
khususnya (Ema, Erliyanti, Futi, Syoraya, Ratih, Mila, Fitmau, Sahro, Aulia,
iv
kotapun kita selalu bersama, sampai pada di akhir perkuliahan yang hanya bisa
tegur atau sapa di dunia maya saja. Namun yang jelas nama-nama kalian akan
selalu menjadi sebuah lembaran sejarah dalam hidup penulis dan akan
tertumpuk rapih dalam silsilah kehidupan. Yang kapan saja penulis bisa buka
lembaran tersebut untuk sedikit mengobati rasa rindu yang membelenggu hati.
15.Kepada bapak kepala desa Billa, kakanda Ishak Nitiono, S. Sos, beserta tokoh
masyarakat yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan wawancara dan
penelitian.
16.Kepada kakak-kakak terutama abang Par, abang Dhanil, kakak Ryanto, dan
temankuYanti Demaris Asbanu, Owen, Yusron, aa Andrew, kk Munir, Hek
Amir, Hek Zul, Nub Ali, yang selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis
dalam menuntut ilmu.
Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh komponen
yang telah berjasa memberikan kontribusinya dan tidak ada yang dapat diberikan
sebagai tanda balas jasa penulis, kecuali hanya dengan do’a semoga Allah SWT membalas segala amal dan buat baik mereka dengan sebaik-baik balasan. Amin
YaRobbal alamiin.
Jakarta, 15 April 2014
v
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 8
E. Review Studi Terdahulu ... 11
F. Sistem Penulisan ... 12
BAB II : LANDASAN TEORI PERKAWINAN A. Pra Nikah ... 15
1. Pengertian Khitbah ... 15
2. Prosedur Khitbah ... 16
3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri ... 19
4. Cara Pembatalan Khitbah ... 21
B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam ... 24
1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum ... 24
2. Prosedur atau Cara Perkawinan ... 19
vi
2. Hukum dan Hikmah Walimatul ‘Urs ... 37
3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs ... 37
BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU ATONI DESA BILLA A. Letak Geografis ... 40
B. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ... 44
C. Kondisi Pendidikan ... 48
D. Kondisi Keagamaan ... 52
BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI (NTT) A. Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni ... 59
B. Prosesi Pelaksanaan Nikah Menurut Suku Adat Atoni ... 57
1. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon Penganten Laki-Laki ... 58
2. Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi Oleh Calon Pengantin Perempuan ... 58
3. Prosesi Kabin Alat menurut Suku Adat Atoni... 59
vii
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA
1
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, Allah
memerintahkan agar umatnya melakukan perkawinan dengan syarat dan
ketentuan yang telah ditetapkan. Perkawinan adalah sunatullah artinya perintah
Allah dan rasul-Nya tidak hanya semata-mata keinginan manusia, atau hawa
nafsunya saja, karena sesorang yang telah berumah tangga berarti ia telah
mengerjakan sebagian dari syari‟at (aturan) Agama Islam.1
Pernikahan yaitu suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri
berdasarkan hukum yang terdapat di dalam Undang-undang(UU) hukum agama
dan adat istiadat yang berlaku.2
Sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal
(1) adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia,
binatang maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dariperkawinan. Ini
1
Sidi Nazar Baqry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Ke-I, h. 3
2
merupakan sunatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia,
berkembang biaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam
semesta.
Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Yasin: 36
Artinya:
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui.”(QS. Yasin: 36).3
Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam BAB II, Pasal (2
dan 4), (2), yaitu akad yang sangat kuat atau nitsaqanghalidhun untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah, (4) Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU NO. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.
Dengan demikian pernikahanpun merupakan suatu ikatan lahir bathin
antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan
syari‟at Islam.
Perkawinan juga merupakan hal yang sangat sakral untuk setiap jiwa
manusia, kerena itu kebanyakan orang yang akan melaksanakan suatu pernikahan
diiringi oleh upacara pernikahan secara adat budaya setempat, karena perkawinan
3
merupakan salah satu budaya yang mengikuti perkembangan manusia, dalam
kehiduapan bermasyarakat.
Pokok perkawinan baik secara tradisional maupun secara modern yaitu
perkawinan sakral sehingga hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya
sangat terasa kehadirannya dalam upacara perkawinan.
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau
pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan
masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta
kebiasaan setempat. Seperti halnya kebiasaan yang dianut dalam masyarakat
Atoni khususnya di desa Billa Kecamatan Amanuban Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Timur, upacara pesta perkawinan tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, yang minoritas dipeluk oleh masyarakat.
Bila di tinjau secara kulturalistik, masyarakat pribumi Atoni mempunyai
berbagai macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari
kebiasaan yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntutan pola hidup
turun temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat
penyelenggaraan perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Atoni ini.
Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya setempat.
Sehubungan dengan walimah, adat kebiasaan masing-masing daerah dapat
agama Islam. Dan apabila adat kebiasaan yang berhubungan walimah tersebut
bertentangan dengan syariat Islam, setuju atau tidak, harus ditinggalkan.4
Berbagai macam tata cara upacara pesta perkawinan (walimah ‘urs) yang
berlaku diberbagai daerah adalah tatanan nilai luhur yang telah dibentuk oleh para
orang tua dan diturunkan kepada generasi ke generasi seterusnya, karena itu
upacara pesta perkawinan dalam adat merupakan kegiatan tradisional
turun-temurunyang mencirikan keanekaragaman budaya bangsa dan juga dimaksudkan
agar dapat diketahui oleh masyarakat sekitar untuk menghindari fitnah, yang
bertujuan agar perkawinan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan
bagi keduannya di kemudian hari.
Tahapan pertama dalam perkawinan adalah pinangan atau khitbah, yang
mana hal ini merupakan pola yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat,
artinya dapat ditemui pada tiap hukum adat yang ada di Indonesia, dan pada
dasarnya melakukan peminangan itu terdapat kesamaan, namun
perbedaan-perbedaannya hanyalah terdapat pada alat atau sarana pendukung prosesi
pinangan itu.5
Di suku adat Atoni proses pelamaran itu dilakukan dengan cara kedua
orang tua dan laki-laki yang akan jadi calon suami si perempuan tersebut
mendatangi rumah si perempuan dengan membawa bermacam-macam perhiasan,
pakaian, sopi (minuman dari pohon lontar atau tuak), uang lima ribu rupiah(Rp.
4
http:/bekal pernikahan.blogdrive.com 5
5.000). Sebelum berlangsungnya proses peminangan uang lima ribu (Rp. 5. 000)
tersebut, dimasukan ke dalam kotak sirih atau yang sering dikenal dengan sebutan
oktuke, kemudian uang dan sopi tersebut dihidangkan di depan ayah si wanita
tersebut.
Tujuannya agar setelah mereka selesai mengutarakan maksud dan
kedatangan mereka, akan adanya jawaban dari pihak calon isrti berupa isyarat.
Penerimaan atas tamunya itu dengan mengambil uang yang telah diletakan di
hadapan ayahnya, sedangkan sopinya akan ayahnya si wanita minum
bersama-sama dengan tamunya tersebut. Selanjutnya baru terjadinya pengesahan
barang-barang yang dibawa oleh pihak calon suami, dan dari pihak perempuanpun
memberikan sebuah sarung adat Atoni (mau naek) kepada pihak laki-laki. Hal
tersebut dianggap sebagai satu tanda telah bersatunya dua keluarga besar.6
Setelah proses lamaran diterima, jarak satu bulan kemudian maka keluarga
dari pihak calon suami kembali mendatangi rumah keluarga wanita, dan biasanya
para orang tua yang akan menikahkan anaknya menanyakan tanggal akad
pernikahan kepada orang tua sigadis. Kemudian setelah itu satu bulan kemudian
barulah melaksanakan upacara pernikahan.
Dengan dilakukannya upacara pesta perkawinan (walimah ‘urs), kedua
mempelai mengumumkan permulaan kehidupan mereka dan untuk meminta doa
restu kepada keluarga dan sahabat. Rasulullah menganjurkan dalam mengadakan
upacara pesta perkawinan hendaklah dilakukan dengan sederhana, dan diniati
6
untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan menghindari dari perbuatan yang
bertentangan dengan syariat pada saat perayaan upacara pesta perkawinan. Dan
yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan upacara pesta perkawinan tidak
memaksakan diri untuk bermewah-mewahan, melainkan sesuai kemampuannya,
undangan hendaknya tidak dibedakan antara yang kaya dan yang miskin,
semuanya harus diperlakukan sama.7
Masyarakat suku Atoni mempunyai keunikan dan kebiasaan yang berbeda
yang mana setelah adanya akad nikah, keluarga pengantin laki-laki menyuruh
seorang utusan laki-laki untuk melanjutkan acara walimah yang langsung
dilaksanakan pada saat setelah akad nikah, dengan proses natoni Adat Atoni
(utusan tersebut berbicara terlebih dahulu kemudian beberapa pengikut yang
mewakili pengantin laki-laki mengutip pembicaraan tersebut), kemudian barulah
diadakan walimahtul urs.
Hal tersebut menarik untuk dibahas, di samping mininoritas penduduknya
yang menganut agama Islam, masyarakat desa Billa juga sangat menjunjung
tinggi warisan nenek moyang. Penulis akan membahas adat istiadat masyarakat
Atoni mengenai prosesi prnikahan.
Hal yang menarik adalah sejauh mana masyarakat Atoni memahami
nilai-nilai Islami dalam upacara pesta perkawinan, apakah masyarakat Atoni berpegang
teguh pada nilai Islami atau tidak, kemudian apakah pergeseran nilai-nilai Islami
terhadap upacara pesta perkawinan masyarakat Atoni?
7
Dengan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini menjadi penelitian dengan judul: PROSESI PERNIKAHAN
SUKU ADAT ATONI DALAM PERSPEKTIIF HUKUM ISLAM “(Studi Kasus
Pada Masyarakat Atoni, Kec. Amanuban Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi pada proses bagaimana
prosesi pernikahan (peminangan, akad, dan walimah) menurut pandangan hukum
adat Atoni dan tinjauan hukum Islam. Objek penelitian di desa Billa kecamatan
Amanuban Timur kabupaten Timor Tengah Selatan, mengingat lokasi tersebut
masih kental dengan tradisi adat istiadat, khususnya pada praktek pernikahan.
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini
adalah:
1. Bagaimana prosesi pernikahan secara umum pada suku adat Atoni?
2. Apakah prosesi pernikahan baik tahap peminangan, akad dan walimah pada
suku adat Atoni sudah sesuai dengan hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui prosesi pernikahan secara umum pada masyarakat
b. Untuk mengetahui ada atau tidaknya kesesuaiaan proses pernikahan pada
masyarakat Atoni menurut hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Agar masyarakat Atoni mengetahui prosesi pernikahan yang benar dan
sesuai dengan ajaran hukum Islam.
b. Agar menambah wawasan bagi para peneliti dan pemikir hukum keluarga
Islam dalam menggemas nilai-nilai ajaran Islam menjadi kajian yang
menarik. Selanjutnya memberikan motivasi bagi para pelaksana peneliti
(terutama jurusan peradilan Agama atau hukum keluarga Islam).
c. Bagi dunia pustaka hasil ini dapat dijadikan sebagai tambahan koleksi
dalam ruang lingkup karya ilmiah khusunya di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
a. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang sumber datanya
terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial)
dengan melihat secara langsung di daerah penelitian, yaitu daerah suku
b. Studi kasus, yaitu penelitian yang dituntut untuk melakukan penelitian
secara mendalam, yakni mampu melacak dan menemukan berbagai faktor
yang terkait dengan kasus pernikahan tersebut.8
2. Sumber data
a. Data primer, yaitu data lapangan yang didapat dari sumber pertama,
seperti hasil wawancara telephon terhadap tokoh adat (panutan suku)
masyarakat Atoni yang merupakan tokoh panutan gerakan moral bagi
masyarakat sekitar.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari artikel yang berkaitan
dengan tema penelitian yang berasal dari media cetak dan media
elektronik.
3. Pengumpulan data, yaitu dilakukan melalui pengamatan secara terlibat di
lokasi penelitian dengan cara:
a. Observasi, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan suatu
keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang dianggap berlaku
dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan
yang menjadi sasaran pengamatan dengan cara mengikuti dan
menyaksikan langsung prosesi pernikahan menurut suku adat Atoni.
b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang akan
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam hal
8
ini penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu, para pelaku
pernikahan, orang tua, masyarakat setempat dan tokoh adat suku Atoni.
Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu dari anak
keturunan raja suku adat Atoni Umar Keke Isu.
c. Studi dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri
dari bahan hukum primer dan hukum sekunder. Dan juga data-data yang
diperoleh dari literatur dan referensi yang berkenaan dengan judul skripsi
ini.
4. Pengolahan data, menjelaskan cara mengolah data mentah hasil penelitian
agar dapat terbaca dengan baik. Pengolahan data harus didasarkan pada
kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi.
5. Analisa data, yaitu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi
komparasi, yaitu dalam pendekatan teori ini, peneliti mengkonsentrasikan diri
untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan pendekatan kepada
tokoh adat, dan masyarakat suku Atoni, yang bertujuan untuk menemukan
persamaan atau perbedaan tentang objek peneletian yang berkaitan dengan
prosesi penikahan suku adat Atoni dan hukum Islam.
Adapun teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan I
E. Review Studi Terdahulu
Dari katalog yang penulis cari, karya mengenai proses pelaksanaan
khitbah menurut hukum Islam dan suku adat Atoni, belum dibahas karena penulis
belum menemukan judul seprti yang diangkat oleh penulis, dan penulis berasumsi
bahwa judul yang diangkat adalah baru. Penulis meringkas skripsi yang ada
kaitannya dengan peminangan. Diantaranya yaitu:
Sari Ngabalin (1060442014773). Tabarok (Taruh Harta) sebagai
Persyaratan Pernikahan Adat Papua dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi yang
penulis buat itu membahas tentang prosesi pernikahan adat Fak-fak yang dikenal
dengan istilah adat ”taruh harta”, yaitu pemberian dari seorang calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai perempuan sebagai alat pengabsahan terhadap
suatu perkawinan. Di dalam sikripsi itu penulis mencantumkan prosesi
pembayaran taruh harta, yaitu memakai simbol terdepan burung kuning sebagai
simbol kekayaan alam tanah Papua. Burung cendrawasih yang dipasang di tiang
utama harus diserahkan kepada pihak perempuan sebagai tanda pintu rumah
keluarga menerima. Saudara perempuan dari pengantin yang akan menerima
simbol burung kuning dan meneyarahkan kepada pihak laki-laki piring (Ben
Pepon) dan uang sebagai tanda awal pembayaran taruh harta. Berbeda dengan
yang dibahas oleh penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai mahar
pernikahan menurut suku adat Atoni dan perspektif hukum Islam.
Anugrah Sejati (101044222178). Prosesi Ritual Perkawinan Adat Jawa
proses peminangan adat Jawa itu dinamakan dengan istilah ngebunebun esuk,
anjejawah sonten. Lamaran dapat dilakukan sendiri oleh orang tua laki-laki secara
lisan namun dianggap kurang tepat yang kemudian laki-laki tersebut menulis dan
mengirim surat lamaran kepada pihak perempuan yang dibawa oleh seorang
petugas yang dijadikan duta dan biasanya berasal dari kalangan keluarga sendiri
(paman). Beberapa hari kemudian surat berdasarkan hasil perundingan dari
keluarga si gadis yang dihadiri oleh nenek atau kakek si gadis maka orang tua si
gadis tersebut pun menulis surat jawaban. Berbeda dengan yang dibahas oleh
penulis, yaitu penulis membahas lebih dalam mengenai prosesi pernikahan
menurut suku adat Atoni Nusa Tenggara Timur dan bagaimana menurut
perspektif hukum Islam.
F. Sistem Penulisan
Agar penulisan skripsi ini terarah dan mudah dibahas, maka penulis
mensistematika pembahasan skripsi ini ke dalam lima bab :
BAB I: Membahas Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode
Penelitian,dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Membahas Landasan Teori Perkawinan yang terdiri dari: Pra
Nikah (Pengertian Khitbah, Prosedur Khitbah, Asas-asas yang
Benar Memilih Istri, Cara Pembatalan Khitbah), Perkawinan
Prosedur atau Cara Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan),
Walimatul Urs (Pengertian Walimatul „Urs, Hukum dan Hikmah
Walimatul Urs dan Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs).
BAB III: Membahas Gambaran Umum Profil Masyarakat desa Billa dengan
Membahas tentang: Letak Geografis, Kondisi Sosial, Ekonomi dan
Budaya, Kondisi Pendidikan dan Kondisi Keagamaan.
BAB IV: Dalam Bab ini Membahas tentang Perspektif Hukum Islam
terhadap Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni (NTT) yang terdiri
dari: Prosesi Pelaksanaan Pra Nikah Menurut Suku Adat Atoni,
Prosesi Pelaksanan Perkawinan Menurut Suku Adat Atoni, dan
Walimatul Urs atau Pengumuman Perkawinan Menurut Pandangan
Suku Adat Atoni.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Pelaksanaan Pra Nikah atau Khitbah Sebagai Syariat Islam.
1. Pengertian Khitbah
Kata “Peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja).
Menurut etimologi meminang atau melamar artinya antara lain, yaitu meminta
wanita untuk dijadikan istri oleh seorang laki-laki baik (bagi diri sendiri atau
untuk orang lain).9
Menurut Terminologi, Khitbah (lamaran) adalah” Usulan untuk
membangun satu konstruksi yang landasannya yaitu keluarga,
menyempurnakan dua komponen, yaitu pria dan wanita.10 Sedangkan dalam
buku Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap Karangan H. M. A. M. dan
Sahrani, mengatakan bahwa khitbah menurut terminologi adalah kegiatan atau
upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan
untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di
tengah-tengah masyarakat.11
9
Kotja Ningrat, Pedoman Penelitian, (Jakarta: Raja wali Press, 1989), h.9 10
Mahmud Ash-Shabbagh. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pustaka Mantiq.
1993). h.61 11
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 24
Adapun syari‟at khitbah (peminangan) antara lain, yaitu menurut
pandangan jumhur tentang khitbah berdasarkan Al-Qur‟an dan demikian pula
pengikut madzhab al-Syafi‟i berdasarkan al-hadits, dapat diltelusuri melalui
kutipan sunnah fi‟liyah Nabi Saw yang berbunyi:
“Dari Urwah, Bahwasanya Nabi Saw meminang (khitbah) Aisyah ra kepada Abu Bakar ra (ayah Aisyah), maka Abu Bakarpun menjawab: “ya, baiklah aku adalah saudaramu”. Kemudian Nabi SAW menimpali seraya berkata: “benar, engkau adalah saudaraku seagama dan saudara yang seperti yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya (al-Qur’an) sehingga “dia” (Aisyah) juga halal bagiku (untuk dinikahi).
Artinya:“Hamba Allah yang shaleh (Syuaib) berkata kepada Musa AS: “ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun...”(QS. al-Qasas: 27).
Hadist dan ayat tersebut di atas, dari sudut subtansinya mengarah
kepada bentuk-bentuk khitbah (lamaran) dengan corak beragam. Pada hadist
tersebut menjelaskan bagaimana khitbah dilakukan oleh pihak calon suami
kepada pihak calon istri melalui walinya secara langsung tanpa perantara.
Sedangkan pada ayat al-Qur‟an menunjukan bahwa seorang wali secara syara‟
diharuskan memilih calon suami anak perempuan yang di bawah
perwaliannya dengan lelaki saleh. Untuk itu, lamaran tidak saja datang dari
perempuan-perempuan yang tidak boleh dikhitbah sebagaimana isyarat
al-Qur‟an tentang larangan menikahinya. Sebagaimana Allah berfirman:
Artinya: “Diharamkan bagimu menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-lakimu, anak-anak perempan dari saudara-saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan sesusuanmu,ibu-ibu istrimu (martua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri peremmpuan), yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu (menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha penyayang (QS. An-Nisa: 23).12
2. Prosedur Khitbah
Sebelum memulai langkah-langkah melamar, seseorang yang ingin
menikah harus tahu secara pasti bahwa tidak ada larangan-larangan syariah
12
Al-barudi Imad Zaki, Tafsir Al-Qur’an al-Anzhim Lin Nisa, (Jakarta Pusat: Pena Pundi
yang menghalangi menikah. Oleh karena itu dianjurkan adanya prosedur
khitbah (lamaran), yaitu:13
a. Cara Memandang.
Hukum syara‟ mensunahkan seseorang untuk memandang kepada
wanita yang hendak dilamarnya. Demikian pula, si wanita yang dilamar
disunahkan memandang kepada pria yang melamarnya, sebelum
menyatakan menerima lamaran itu. Sebagaimana Al-Mughirah bin
Syu‟ban pernah melamar seorang wanita. Masalah ini disampaikannya
kepada Rasul Saw, kemudian bersabda kepadanya:
ئ ف , ف
Artinya: “Pergi dan pandanglah wanita itu. Sebab, memandang disini akan menjadi bumbu bagi berdua.”
Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa pria boleh
memandang wajah dan dua telapak tangan si wanita yang dilamarnya
sebab, memandang wajah bisa mewakili kecantikan (seorang wanita),
sedangkan memandang kedua telapak tangan bisa mewakili subur
tidaknya tubuh (seorang wanita).
b. Mengenal Sifat
Setiap pernikahan yang terjadi tanpa melalui proses memandang
terlebih dahulu maka akibatnya adalah kekecewaan. Memandang sebelum
menikah tidak terbatas hanya mengenal cantik atau tidaknya, tetapi juga
13
mencakup proses mengenal sifat-sifat yang lain dengan minta informasi
kepada orang-orang yang bisa dipercaya dari kalangan kerabat, seperti ibu
dan saudaranya.
Informan yang dimintai untuk memberikan penilaian harus
menguasai persoalan agar tidak terjebak yang menyebabkan si mempelai
tidak mantap setelah menikah dan mendambakan wanita yang bukan
istrinya. Sebagaimana Rasulullah Saw mengutus sebagian wanita agar
mereka mengetahui aib-aib yang tidak nampak oleh mata. Selain, itu juga
Nabi Muhammad Saw mengutus Ummuh Salamah kepada seorang wanita.
Beliau bersabda: “Lihatlah daerah tumitnya. Cium pula ma’atifnya atau
awaridhnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Al-Thabrani dan
Al-Baihaqi. Ma‟atif di sini, berarti daerah di sekitar leher. Sedangkan
awaridh berarti gigi yang terletak di bagian mulut yakni, gigi yang terletak
antara gigi dengan rahang. Tetapi yang dimaksud kutipan hadits tersebut
adalah mencium bau mulut.14
c. Menguatkan Lamaran
Jika kedua belah pihak setuju untuk menjadi suami istri maka
lamaran di sini bisa diterima oleh kedua belah pihak. Dan masing-masing
pihak berusaha untuk memperkokoh hubungannya dengan orang lain
14
sedemikian rupa demi memperkuat hubungan baru. Seringkali setelah
proses melamar selesai, kemudian diikuti dengan pemberian mahar,
seluruhnya atau sebagian. Atau dilanjut dengan pemberian hadiah-hadiah
dan pemberian lain bertanda adanya hubungan keluarga yang baru. Tetapi,
hal tersebut bukan berarti memperbolehkan pasangan calon pengantin
tersebut untuk berduaan, selama belum menyatakan akad nikah.
3. Asas-asas yang Benar Memilih Istri
Prinsip-prinsip yang benar untuk memilih calon suami atau istri.
Al-Qur‟an menjadikan unsur ketaqwaan sebagai ukuran bagi prinsip yang kuat
yang tidak bisa digantikan dengan ukuran yang lain, karena agama Islam telah
menetapkan kriterea orang yang melamar antara lain, yaitu:
a. Jika ia saleh atau shalihah (bertaqwa kepada Allah)
Sebagaimana Allah SWT berfirman :
......
Artinya: “ sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...”(QS. Al-Hujuraat: 13).15
b. Wanita-wanita yang sendirian dan berkaitan dengan harta
Allah SWT berfirman :
15
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(An-Nur: 32)
c. Orang-orang berakhlak baik
Rasulullah Saw telah berwasiat kepada kita
Artinya: “Jika ada seorang yang melamar (anakmu) diantar kamu sekalian yang kamu anggap agama, dan akhlaknya kau anggap baik, maka kawinkanlah. Jika tidak, ia akan menimbulkan fitnah dan bencana di bumi.”(HR. At-Tarmidzi dan Shaheh).
d. Orang-orang yang sehat dan akan memberikan keturunan. Sebab, tujuan
utama perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Sebagaimana
hadits Rasulullah Saw yang mengatakan:
. أ ث , ف ج
Artinya:“Nikahilah olehmu wanita yang pencinta, dan yang memiliki kemungkinan besar untuk melahirkan keturunan yang banyak. Karena aku akan bangga dengan jumlah umatku yang banyak di hari kiamat.”
Selain, itu juga Rasulullah Saw bersbda bahwa memilih calon istri
yang baik dan shaliha itu, ada empat faktor, sebagaiman haditsnya:
, ج ,
, , أ أ
فظ ف
ش
Artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).16
16
4. Cara Pembatalan Khitbah
Pertunangan merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum,
pernikahan dilangsungkan, yang pada umumnya banyak laki-laki
menyerahkan mahar, baik keseluruhan maupun sebagiannya, memberi hadiah
dan hibah (hantaran, red), mempererat silaturahmi dan mengukuhkan pertalian
diantara keluarga keduanya.
Bisa jadi, pertunangan yang sudah terjadi menjadi batal (tidak
dilanjutkan hingga kejenjang pernikahan), baik yang membatalkan dari pihak
laki-laki ataupun dari pihak perempuan. Juga bisa jadi pembatalan itu atas
kesepakatan kedua belah pihak.
Pada dasarnya, pertunangan hanya sebatas janji untuk menikah, bukan
akad pernikahan. Pembatalan atas pertunangan merupakan hak bagi orang
yang melangsungkan pertunangan dan tidak ada konsekuensi hukum jika
terjadi pembatalan (untuk menikah). Meskipun syariat menganggap bahwa
pembatalan atas pernikahan yang sudah dimulai dengan pertunangan
merupakan perilaku yang tidak terpuji dan bagian dari sifat kemunafikan,
kecuali jika dalam pembatalan tersebut disertai alasan dan kepentingan yang
amat mendesak yang mengharuskan untuk membatalkannya. Rasulullah Saw
bersabda:
Artinya: “Adatanda-tanda orang munafik ada tiga: ketika berbicara, dia berdusta: ketika berjanji dia ingkar dan ketika diberi kepercayaan dia berkhianat.”
Mengenai hadiah, tidak ada ubahnya seperti hibah. Hadiah tidak boleh
dikembalikan jika itu murni pemberian, tanpa adanya ikatan atau syarat
karena orang yang menerima hadiah berhak atasnya dan menjadi pemilik apa
yang telah diberikan kepadanya sejak dia menerimanya. Dia berhak
mempergunakan dan memanfaatkan apa yang telah menjadi miliknya.
Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan merupakan perampasan
atas hak milik yang tanpa disertai dengan keridhoan pemiliknya.Hal itu
merupakan perbuatan batil dalam Islam.17
Tapi, jika hibah diberikan dalam rangka mengharapkan balasan dari
penerima, maka jika orang yang menerima itu belum melaksanakan apa yang
diminta, orang yang memberi berhak untuk mengambil kembali hibah yang
telah diberikan. Dalam keadaan seperti ini orang yang memberi berhak
meminta kembali apa yang telah diberikannya, karena dia memberikannya
atas dasar sesuatu yaitu pernikahan. Apabila pernikahan tidak terlaksana,
maka laki-laki berhak mengambil kembali hadiah yang telah diberikannya.
Sebagai landasan atas hal ini adalah berapa hadist sebagai berikut :
Imam Bukhori Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
17
Artinya: “Tidak halal bagi seorang yang memberikan sesuatu atau menyerahkan hadiah kemudian mengambilnya kembali kecuali Ayah yang mengambil apa yang diberikan pada anaknya “
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasul
Saw bersabda:
Artinya: “orang yang mengambil kembali pemberiannya, dia seperti orang yang menelan muntahannya kembali“.
Salim ra meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw.
Bersabda:
Artinya: “siapa yang diberi suatu pemberian, maka dia lebih berhak atasnya kecuali jika dia memberi ganti”.
Ulama mazhab Maliki berpendapat lain. Mereka membedakan antara
pembatalan pernikahan dari pihak laki-laki dan perempuan.Jika pembatalan
berasaldari pihak laki-laki, maka dia tidak berhak meminta kembali hadiah
yang telah diberikan kepada pihak perempuan. Tetapi, apabila pembatalan
diajukan oleh pihak perempuan, maka laki-laki berhak mengambil kembali
semua hadiah yang telah diberikan. Dalam hal ini, pihak perempuan
berkewajiban untuk mengembalikannya atau menggantikannya bila barang
yang telah diterima rusak atau telah habis, kecuali bila bentuk pemberian
hadiah tersebut merupakan suatu tradisi atau syarat yang harus dilaksanakan.
Menurut ulama mazhab Syafi‟i hadiah yang telah diberikan harus
maka ia dikembalikannya semula dan jika sudah rusak, maka pihak
perempuan harus mengganti barang itu sesuai dengan nilainya.18
B. Perkawinan Menurut Syari’at Islam
1. Pengertian Nikah dan Dasar Hukum
a. Pengertian Nikah
Secara etimologi kata ( ) sama dengan kata (ج ) yang
artinya nikah, kawin.19 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh
berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu ( ) dan zawaj (ج ).
Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan
banyak terdapat di dalama al-Qur‟an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha
banyak terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti kata
nikah berarti gabung ( ض) hubungan kelamin (ء ) dan juga berarti akad
( قء) adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat
dalam al-Qur‟an memang mengandung dua arti tersebut.20
Dalam bahasa indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
bersuami atau beristri, menikah atau melakukan hubungan kelamin
18
Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah, (Jakarta: Cakra Publishing, 2008). Cet ke-I. h. 235-238 19
Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir,Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 1461
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kenacana, 2007),h.
(bersetubuh).21 Sedangkan kata nikah dalam bahasa Indonesia artinya
adalah ikatan (akad)perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama.22
Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan. Menurut syara‟
artinya akad yang terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang
telah tertentu ) untuk berkumpul.23
Menurut istilah perkawinan atau nikah, yaitu menyerahkan dan
penerimaan tanggung jawab dalam arti luas yang dilakukan pada saat akad
serta tanda dimulainya hukum halal untuk bercampur sebagai suami istri
yang merupakan suatu ikatan lahir antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki
keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat
Islam.24 Hal ini terdapat dalam Firman Allah SWT :
...
... ..
Artinya….”Nikahilah mereka itu dengan izin keluarganya…”( QS. An-Nisa: 25)
Adapun pengertian perkawinan menurut beberapa mazhab adalah
sebagai berikut:
1) Definisi nikah menurut golongan Syafi‟iyah.
21
Dep Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,(Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008 ), cet. Ke-I, edisi ke-4, h. 639 22
Frista Artmanda W, Kamus Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media, 2007), h. 2848 23
Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar Juz 2, (Indonesia: Darul „Ihya al-Kutub Arabiyah, tt ),
h. 36 24
Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
wath‟i dengan lafaz nikah, tawij atau yang semakna dengan keduanya.
2) Definisi nikah menurut golongan Malikiyah
Nikah adalah akad untuk mendapatkan kesenangan wanita dengan
membayar mahar dan adanya saksi.
3) Defenisi nikah menurut golongan Hanafiyah
Nikah adalah akad yang berfaidah memiliki bersenang-senang dengan
sengaja.
4) Definisi nikah menurut golongan Hanabilah.
Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafaz nikah atau tazwij
guna memperbolehkan manfa‟at, bersenang-senang dengan wanita.25
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para
ulama mutaqaddimin, memandang nikah hanya dari satu saja yaitu
kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk
berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan,
akibat nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami istri yang
timbul.26
b. Dasar Hukum
Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi (sunatullah)
merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai
25
Abdurrahman Al-jaziry, Al-Fiqh ‘ Ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 4, (Beirut: Darul Ihya,
1969), h. 2-3.
26Djama‟an Nur,
ikatan yang sangat kokoh. Allah SWT dan rasul-Nya Muhammad Saw
telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda
Rasul-Nya, di antaranya, yaitu: 27
Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.(QS. An-Nisa: 3)
Selain ayat tersebut di atas Allah berfirman:
Artinya:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Sabda Rasulullah Saw:
ج ف ص ص ضغ ف ج ف ء ط ش ش
Artinya: “Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu serta keinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah.
27Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad bin Abdul Mu‟min .t.t
Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat mendudukan pandangan mata dan memelihara kemaluan.(Muttafaqun „Alaih)”.28
Hukum Perkawinan ada 5, yaitu:
1) Wajib, bagi orang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan adalah
wajib.
2) Sunat. Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk melangsungkan perkawinan, tetapi tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan
bagi orang tersebut adalah sunnat.
3) Haram. Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
4) Makruh. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak kawin.
5) Mubah. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
28
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak ada melantarkan
isteri.29
2. Prosedur atau Cara Perkawinan
Dalam Islam diatur tata cara tentang prosesi akad nikah yang terdiri
dari, syarat pernikahan dan rukun pernikahan yang menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah dan tidaknya perbuatan
tersebut dari segi hukum. Dalam hal ini Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa
kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, yakni bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan, dalam arti perkawinan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.30
Menurut ulama Syafi‟iyah syarat perkawinan itu adakalanya
menyangkut sighat, wali, calon suami istri, dan juga syuhud (saksi).
Sedangkan berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada 5 (lima), yaitu:
calon suami istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Sedangkan menurut
Malikiyah adalah termasuk mahar dan tidak menempatkan saksi sebagai
rukun.31
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku
antara piha yang melangsungkan perkawinan. Oleh karenanya yang menjadi
rukun dalam sebuah perkawinan hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh
29
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakaht, h. 18-20 30
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, h. 63 31
Amir Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
dua belah pihak yang bersangkutan, sedangkan di luar daripada itu seperti
kehadiran saksi dan mahar bukan termasuk rukun melainkan sebagai syarat
perkawinan.32
Terdapat perbedaan para ulama fiqh dalam menentukan mana yang
termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Perbedaan tersebut wajar
karena perbedaan pandangan mengenai perkawinan, sehingga boleh jadi
sebagian ulama menentukan sebagian rukun dan sebagiannya lagi menentukan
sebagai syarat.
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan itu ada 5 (lima), yaitu:
a. Calon Suami
b. Calon Istri
c. Wali Nikah
d. Saksi Nikah
e. Ijab Kabul
Selanjutnya adalah mahar yang merupakan syarat sah perkawinan,
yaitu pemberian sesuatu dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai
wanita baik yang berbentuk barang uang ataupun jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam di mana status hukumnya adalah wajib. Adapun
mengenai jumlahnya tidak ditentukan secara tegas yang hanya didasarkan
pada kesepakatan antara keduanya dan tidak bersifat memberatkan.
32
Dapat dipahami bahwa mas kawin disebut shaduqat yang berarti
shadaqah yang bermakna perasaan jujur dan hati yang suci. Artinya harta
diperoleh secara jujur (halal) yang kemudian diberikan kepada calon istri yang
didasari oleh keikhlasan. Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT: 33
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4)
3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a. Tujuan Perkawinan
Sebagaimana hukum-hukum yang telah ditetapkan dengan tujuan
tertentu sesuai dengan tujuan terbentuknya, demikian pula halnya dengan
syari‟at Islam. Mensyari‟atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu
pula, diantara tujuan-tujuan tersebut adalah:34
1) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
menyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari
keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah umat Nabi Muhammad Saw (umat
Islam).
Sebagaimana dalam Firman Allah menjelaskan:.
33
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Pt. Sinar Grafika, 2006), cet. I, h. 24
34
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah”. (QS. An-Nahl: 72)
2) Untuk menjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT
untuk mengerjakannya.
3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami istri, menimbulkan rasa
kasih sayang antar orang tua dengan anaknya dan antar seluruh
anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan
dirasakan pula oleh masyarakat, sehingga terbentuklah umat yang
diliputi cinta dan kasih sayang.
4) Untuk menghormati atau mengikuti sunnah Rasululllah Saw, beliau
mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan
bangun beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin
sebagaimana sabda beliau:
)
( ف
ء غ ف
Artniya: “maka barang siapa yang benci kepada sunnah-ku bukanlah ia termasuk (umatku)”. ( HR. Bukhari dan Muslim).
5) Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas
ayah, kakek, dan sebagainya. Semua itu hanya dapat diperoleh dengan
bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan
mendidik sehingga menjadilah ia seorang muslim yang
dicita-citakan.35
Agar tujuan seseorang dalam melakukan perkawinan terlaksana
dengan baik, maka dianjurkan memenuhi beberapa syarat perkawinan,
salah satu diantaranya adalah usia menikah, hal tersebut di tetapkan dalam
pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur
16 tahun. Sedang dalam penetapan BKKBN usia ideal menikah calon
suami kurangnya berumur 25 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 20-21.36
b. Hikmah Perkawinan
1) Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang
selamanya menuntut adanya jalan keluar. Dan kawin adalah jalan
alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan
memuaskan naluriah seks ini
“Dari abu Hurairah: pernah Nabi saw bersabda: " Sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi dengan rupa setan pula. Jika seseorang diantaramu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklan ia datangi isterinya, agar nafsunya dapat tersalurkan".(HR. Muslim, Abu Daud dan Tarmidzi).
35
Sayid Sabiq, Fiqh SunahTerjemah M. Galib, (Bandung: Al ma‟arif, 1994), cet-ke 5, h. 64
36
2) Kawin adalah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Sebagaiaman
sabda Rasulullah: "Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa
banyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahnya yang
banyak di hadapan para Nabi pada hari kiamat nanti".
3) Tumbuhnya naluri kebapaan dan ke-ibuan yang saling melengkapi,
tumbuh perasaan cinta, ramah, dan sayang dalam suasana hidup
dengan anak-anak.
4) Adanya rasa tanggung jawab yang dapat mendorong ke arah rajin
bekerja, bersungguh-sungguh dan mencurahkan perhatian
5) Adanya pembagian tugas istri mengurusi dan mengatur rumah tangga,
membimbing dan mendidik anak-anak, sementara si suami bekerja di
luar rumah.
6) Dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan
rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan
kemasyarakatan.37
37 Wasiun Mika,”
Hukum dan Perkawinan Menurut Islam”,
C. Walimatul ‘Urs
1. Pengertian Walimatul ‘Urs
Walimah berasal dari kata ( ) yang artinya pesta penggantin atau
bisa juga disebut sebagai makanan yang disediakan khusus dalam acara
perkawinan.38
Walimah arti harfiyahnya ialah berkumpul. Karena pada waktu itu
berkumpul suami istri, sedangkan walimah menurut istilah, yaitu khusus
tentang makan dalam acara pesta perkawinan.39
Walimatul urs (resepsi pernikahan) adalah hidangan makanan yang
disediakan pada hari-hari resepsi pasangan pengantin. Disebut walimah
lantaran orang-orang berkumpul pada acara ini. Walimah termasuk perkara
yang di syariatkan oleh agama Islam.
Sehingga dalam prakteknya, sering kita dapati orang begitu semangat
untuk mengadakan walimah sehingga terkadang sampai melewati batas
kewajaran dan mulai memasuki wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuai
dengan rambu-rambu syariah.
Perintah walimah dengan makan-makan tentu tidak berarti kita
dibenarkan untuk menghambur-hamburkan harta. Sebab orang yang
menghambur-hamburkan harta termasuk saudaranya syetan. Sebagaimana
dalam Firman Allah SWT:
38
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet. I, h. 56
Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra: 27)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya
akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya
hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari-hari setelah dukhul, karena
demikian yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw. Anas bin Malik ra
berkata:“Nabi Muhammda Saw menikah dengan Shafiyyah ra dan beliau
jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian”.
Dan apabila mengadakan walimah, maka hendaklah yang diundang
dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia
orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang
kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah
tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Karena Rasululllah Saw bersabda:
ط
,
,
,
ف ,
ص
ه
Artinya: “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang”. (HR. Al-Bukhari).40
40
2. Hukum dan Hikmah Walimatul Urs
Melangsungkan walimah „urs hukumnya sunnah, karena Nabi
Muhammad Saw menyuruh Abdurrahman bin Auf agar mengadakan
walimatul urs saat menikah, yaitu beliau bersabda kepadanya:41
أ
,
ش
Artinya: ”Adakanlah walimah walaupun dengan seekor domba”.
Hikmah dari diadakannya walimatul urs ada enam yaitu:
a. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT
b. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya
c. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
d. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri
e. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah
f. Sebagai pengumuman bagi masyarakat bahwasanya antara kedua
mempelai telah resmi menjadi suami-istri sehingga masyarakat tidak
curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.42
3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul Urs
Menghhadiri undangan orang yang mengundang dalam acara walimah
pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang diundang, karena memenuhi
undangan ini menunjukkan adanya perhatian kepada pihak yang mengundang,
41
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’’an dan Sunnah,
(Jakarta: Akbar Media, 2009), h. 234. 42
memberikan kegembiraan kepadanya dan membuat hatinya lega.
Sebagaimana dasar hukumnya adalah:
Ibnu Umar ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
ك آ
ف ,
Artinya: “Jika salah seorang diantara kalian diundang ke acara walimah, hendaknya dia memenuhi undangan itu.
Abu Hurairah ra
.
berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:ه ص ف ,
Artinya: “siapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah menantang Allah rasul-Nya”.
Abu Hurairah ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
أ , ك
,
Artinya : “Seandainya aku diundang pada hidangan berupa kaki bagian bawah (yanikit dagingnya), niscaya aku memenuhi (undangan itu). Dan seandainya aku diberi hadiah berupa kaki bagian depan, niscaya aku menerima. (HR. Bukhari).
Jika undangan itu bersifat umum dan tidak terbatas pada satu orang
atau sejumlah orang saja, maka undangan tidak wajib dipenuhi dan tidak pula
dianurkan untuk dipenuhi.
Ada yang berpendapat bahwa memenuhi undangan hukumnya fardhu
kifayah. Pendapat lainnya dikatakan, memenuhi undangan walimah
hukumnya sunnah. Pendapat pertama lebih tepat, karena penentangan tidak
dinyatakan kecuali terkait pengabaian kewajiban. Hal ini berkaitan dengan
walimah pernikahan.
Adapun memenuhi undangan selain walimah pernikahan, hukumnya
mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa hukum memenuhi undangan apapun
adalah wajib secara mutlak.43
43
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BILLA
A. Letak Geografis
Nusa Tenggara Timur disebut juga dengan Flobamora, yaitu propinsi yang
terdiri dari tiga kepulauan besar, yakni pulau Flores, pulau Sumba dan pulau
Timur. Secara astronomis, Nusa Tenggara Timur terletak antara 10°36‟14”
-10°39‟58” LS dan 123°32‟23”–123°37‟01”BT.44 Propinsi ini dibatasi oleh laut
Flores di sebelah Utara, Negara Timor-Timur atau Timor Leste, Provinsi Maluku
dan Laut Banda di sebelah Timur, kemudian di sebelah selatan berbatasan dengan
Samudra Hindia dan di sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara
Barat.45
Lokasi yang dijadikan objek penelitian oleh penulis adalah desa Billa,
Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Jarak antara lokasi penelitian ke kota kecamatan ± 8 Km, ke Ibu
Kota Kabupaten (110) Km dan ke Ibu Kota Provinsi (170) Km. Adapun desa-desa
yang berbatasan dengan lokasi penelitian adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten TTU
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Oe‟ekam
44
Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang, Profil Pemerintah Kota
Kupang,http://kupangkota.go.id/?page_id=5132, di akses pada tanggal 17 Januari 2014
45
Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Batas Wilayah
NTT,http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur, di akses pada tanggal 1 April 2014
3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Fatukopa
4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Abi. Luas areal desa Billa secara
keseluruhan adalah ± 174. 532 ha/m2.46
Dari keseluruhan luas areal desa Billa di atas, 45 % wilayahnya
merupakan deretan perkebunan dan 25 % lagi wilayahnya merupakan deretan
pekarangan dan pegunungan yang terjal dan sungai-sungai yang dalam, yang sulit
untuk ditempuh bila menggunakan kendaraan yang beroda dua maupun beroda
empat, sejauh ini masyarakat masih menggunakan berjalan di atas kedua belah
kaki untuk menempuh jarak tersebut.
Apabila kita melihat kondisi fisik wilayah desa Billa seperti di atas, maka
ini akan sangat berpengaruh terhadap proses pembangunan di daerah ini.
Pengaruh yang sangat menonjol dari kondisi fisik di atas adalah sulitnya membuat
jalan atau jembatan layang yang menghubungkan antara masyarakat yang
bertempat tinggal jauh dari lokasi desa Billa. Jalur transportasi yang
menghubungkan antara Rukun-rukun Tetangga (RT/RW) diwilayah desa Billa
kecamatan Amanuban Timur ini hanyalah melalui jalan kaki. Hal ini
mengakibatkan terisolirnya masyarakat desa dari informasi-informasi
pembangunan. Hal ini dapat disaksikan melalui pembangunan rumah-rumah
penduduk yang 50 % beratapka