PROSESI PEMINANGAN MENURUT ADAT BIMA
DALAM PRESPEKTIF ISLAM
(Studi Kasus di Kec. Donggo Kab. Bima Nusa Tenggara Barat)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
Toty Citra Warsita NIM: 106044201478
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama yang tidak menyulitkan umatnya. Setiap perbuatan yang dilakukan memiliki aturan-aturan yang sudah tertera dalam pedoman umat Islam yaitu Al-Qur’an untuk dijalankan sesuai dengan ketentuannya. Penciptaan adalah bukti adanya pencipta. Kelangsungan hidup ciptaan merupakan bukti keabadian pencipta. untuk itu, Al-Qur’an menganjurkan agar lebih menunjukkan pandangan terhadap ciptaan Allah, kelangsungan hidup dan perkembangbiakannya, supaya tambah yakin akan wujud keadaan, keabadian, dan keesaannya.1
Al-Qur’an mengingatkan bahwa kita agar tidak melanggar aturan itu serta memberikan dalil-dalil tentang wujud Allah, dengan diciptakannya pasangan-pasangan di langit dan di bumi, dengan berlangsungnya ciptaan yang kita saksikan. Di samping itu, setiap hari juga terlihat kekuasaan Allah seperti itu pada diri manusia sendiri serta pada makhluk-makhluk lain.2
Allah SWT menciptakan mahluk hidup berpasang-pasangan, Allah memerintahkan agar umatnya melakukan perkawinan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan. Perkawinan atau pernikahan adalah sunatullah artinya perintah Allah dan Rasulnya. Tidak hanya semata-mata keinginan manusia
1
Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 1991), Cet. Ke-1, h. 3.
2
Ibid., h. 4.
2
atau hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.3
Pernikahan yaitu suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami istri berdasarkan hukum yang terdapat didalam Undang-Undang (UU), hukum agama dan adat istiadat yang berlaku.4 Nikah itu merupakan perjanjian dan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan yang bermaksud untuk berumah tangga dan untuk menghasilkan keturunan, dan harus dilangsungkan rukun dan syaratnya dalam perkawinan menurut Islam dan Negara menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.5
Pernikahan pun merupakan hal yang fitrah bagi manusia yang sudah tertanam dan terpatri dalam hati dan perasaan laki-laki dan wanita. Keduanya saling membutuhkan guna saling mengisi dan membagi perasaan suka maupun duka hidup ini terasa kurang sempurna tanpa kehadiran orang lain di sisisnya, menjalin kasih sayang bersamanya, membangun rumah tangga yang bahagia dan lestari.6
Peristiwa pernikahan tersebut disebut oleh masyarakat sebagai peristiwa yang sangat penting dan religius, karena peristiwa nikah disamping erat kaitannya dengan pelaksanaan syariat agama, juga dari pernikahan inilah akan terbentuk
3
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. Ke-1, h. 3.
4
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2007), h. 59.
5
Nashrudin Thaha, Pedoman Perkawinan Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1960), Cet Ke-3, h. 9.
6
3
suatu rumah tangga atau keluarga sehat, sejahtera dan bertaqwa, yang menjadi landasan terbentuknya masyarakat dan bangsa Indonesia yang religius sosialistis.7 Memilih calon istri atau calon suami merupakan langkah awal untuk memulai kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu memilih calon istri atau calon suami bukanlah hal yang mudah, membutuhkan waktu yang tidak singkat, karena harus melihat syarat-syarat calon istri atau calon suami sesuai anjuran agama. Orang yang hendak menikah hendaklah memilih pendamping hidup dengan cermat.8
Bangsa Indonesia memiliki berbagai suku dan bahasa serta kebudayaan yang berbeda, sehingga dalam hal ini berbeda pula pola pikir masyarakat karena telah dipengaruhi oleh adat istiadat yang tertanam sejak nenek moyang. Dalam pemilihan calon istri atau calon suami harus dilihat dan disesuaikan dengan perbedaan adat yang sangat jelas antara suku agar tidak terjadi penyesalan dikemudian hari. Adat berasal dari bahasa arab yang berarti kebiasaan sedangkan adat istiadat adalah pedoman hidup diseluruh daerah yang diperuntukan selama ini, “waris yang dijawek, pusoko nan ditolong”, artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat kokoh dan berdirinya.9
Menurut hukum adat, pernikahan merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, dan dapat juga merupakan urusan pribadi, bergantung
7
Departemen Agama RI, Pedoman Akad Nikah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, (Jakarta: 2008), h.1.
8 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musna Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), Cet Ke-3, h. 31.
9
4
kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Di dalam persekutuan hukum yang merupakan kesatuan-kesatuan susunan masyarakat, yaitu persekutuan desa dan wilayah, pernikahan warganya merupakan unsur penting didalam peralihan kepada inti sosial dari masyarakat untuk menikmati hak dan memikul kewajiban serta bertanggung jawab penuh atas kesejateraan masyarakat. Pernikahan (yang dipilih dengan tepat) dapat pula mempertahankan gengsi/martabat kelas-kelas didalam dan diluar persekutuan, jadi dalam hal ini pernikahan adalah urusan kelas atau memilih calon istri atau suami berdasarkan tingkatan derajat yang dimilikinya.10
Dalam hal ini diungkapkan mengenai cara-cara yang berlaku dalam masyarakat untuk dapat melangsungkan perkawinan. Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara yang paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam melakukan pelamaran/peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaanya hanyalah (kira-kira) terdapat pada alat atau sarana pendukung proses pinangan tersebut.11
Peminangan menurut adat Bima memiliki perbedaan yang signifikan dengan adat yang terdapat di daerah lain, ketentuan adat dalam kehidupan masyarakat Bima tidak dapat ditinggalkan khususnya dalam hal peminangan.
10
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 2007), Cet Ke-5, h.107. 11
5
Dalam masyarakat Bima ajaran agamanya sangat kental sehingga dalam hal ini ajaran Islam dan adat istiadat saling terpadu satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam hal peminangan, masyarakat Bima selalu melakukan peminangan menurut adat mereka yang sudah menjadi tradisi dari zaman nenek moyang disamping pengaruh ajaran Islam. Di samping itu dengan kentalnya ajaran agama Islam yang banyak mereka anut sampai saat ini akan tetapi pemahaman marafu (animisme) yang dulu pernah ada, kini masih sedikit mempengarudi pola kehidupan masyarakat Bima khususnya di desa Palama Kecamatan Donggo sampai saat ini.
Dalam Kecamatan Donggo Kabupaten Bima terdapat banyak desa. Desa yang akan menjadi objek penelitian saya adalah desa Palama. Desa Palama terdapat dua kampung yaitu kampung Palama 1 dan Palama 2 (Nggarakopa). Di kampung ini penulis akan melakukan penelitian yang dijadikan bahan skripsi.
Bagi masyarakat Bima adat ini harus dijalankan dan tidak boleh ditinggalkan karena merupakan syarat wajib bagi calon mempelai pria terhadap pinangannya. Proses peminangan adat Bima memiliki cara yang berbeda dengan adat suku lainnya. Peminangan ini diberi nama “sodiangi”, setelah melakukan proses peminangan ini sampai selesai kemudian keluarga pihak calon mempelai wanita memberikan “kain nggoli” (tembe atau kain sarung tenunan asli Bima) kepada calon mempelai laki-laki sebagai syarat diterimanya pinangan.
6
perlu untuk meneliti bagaimana peminangan menurut adat Bima di kecamatan Donggo dalam prespektif Islam.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tetarik dan ingin mengetahui lebih dalam dengan melakukan penelitian dan diwujudkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PROSESI PEMINANGAN MENURUT ADAT BIMA DALAM PRESPEKTIF ISLAM” (Studi kasus di Kec. Donggo Kab. Bima-Nusa Tenggara Barat).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan dan agar terkait langsung pada titik utama, maka penulis membatasi masalah penelitian ini. Mengingat banyaknya adat peminangan yang terdapat di setiap daerah di Bima, maka penelitian peminangan ini hanya dibatasi pada peminangan adat Bima yang berlaku di Kecamatan Donggo.
2. Perumusan Masalah
Penulis yang merumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana prosesi peminangan adat Bima di Kecamatan Donggo Nusa Tenggara Barat (NTB)?
b. Mengapa masyarakat di Kecamatan Donggo masih memakai adat Bima dalam peminangan?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapan tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu terjawabnya semua permasalahan yang dirumuskan antara lain:
a. Mengetahui alasan secara jelas mengapa masyarakat bima masih menggunakan adat Bima dalam peminangan sampai saat ini.
b. Untuk mengetahui secara jelas tentang proses peminangan adat bima di Kecamatan Donggo-NTB.
c. Dapat memahami prosesi peminangan adat Bima menurut prespektif Islam. 2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan pengetahuan yang lebih tentang tradisi adat Bima yang masih dilaksanakan sampai saat ini.
b. Menambah wawasan nusantara dengan mengetahui adat di Bima. c. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1.
d. Meningkatkan pengetahuan dan kualitas penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
8
wawancara terarah untuk mendapatkan gambaran secermat mungkin mengenai sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau respon kelompok tertentu dalam masyarakat.12 Hal ini lebih mudah karena berhadapan langsung dengan objeknya dan pendekatan ini juga dipergunakan untuk mengutamakan segi kualitas data yang diperoleh.
2. Sumber Data
a. Data Primer: Data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara (interview) pedoman secara mendalam dengan menggunakan pokok-pokok permasalahan. Pokok-pokok tersebut guna menghindari terjadinya penyimpangan dari pokok masa penelitian dan kefakuman selama wawancara.
b. Data Sekunder: Data yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang didapat selain dari data primer. Data ini dikumpulkan melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya buku-buku fiqh, sejarah Bima, dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan dengan tema ini.
3. Kerangka Konseptual
Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut “khithbah”. Menurut etimologi, meminang/melamar artinya (antara lain)” meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain).13”
12
Kotja Ningrat, Pedoman Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 9. 13
9
Menurut terminologi, peminangan adalah “kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita”. Atau, “seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat”.
Lamaran adalah pendahulu berkumpulnya manusia yang berlainan jenis, untuk menyatukan satu ciptaan yang utuh, yang sebelumnya terpisah-pisah. Dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat An-Naba’ ayat 8 yang artinya “Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan”. Dan ada pula dalam surat An-Nisa ayat 1.
Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan dengan meneliti terlebih dahulu dan mengetahui atas kesadaran masing-masing pihak.14 Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak dalam pinangan orang lain.
b. Pada waktu dipinang hendaknya tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
d. Apabila perempuan itu dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirri (tidak terang-terangan).
Adapun bagi orang yang hendak menikah, sebelum melamar, ada baiknya bila ia memperhatikan ada atau tidaknya larangan atas dirirnya untuk melakukan perkawinan dengan wanita yang diinginkannya. Misalnya, apakah ada
14
10
sebab yang mengharamkannya dalam jangka waktu panjang atau pendek untuk wanita tersebut. Adapun tahapan-tahapan yang harus diperhatikan yaitu:15
1. Mencari informasi tentang kecantikannya. 2. Mengenali sifat-sifat yang lain.
3. Mempererat hubungan silaturahmi. 4. Kerangka Teori
Dalam peminangan adat Bima banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi, calon mempelai pria datang dengan keluarganya membawa berbagai macam persyaratan. Dalam prosesi peminangan adat Bima ini persyaratan ini telah menjadi tradisi masyarakat Bima dari dahulu hingga sekarang.
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi saat meminang calon mempelai wanita yaitu calon mempelai pria datang dengan keluarganya membawa kapur sirih, daun sirih, buah pinang dan uang berapa saja yang digunakan hanya sebagai simbol untuk mengetahui berapa biaya yang akan dibawa nanti kerumah calon mempelai wanita dan ditaruh di atas piring. Setelah melakukan hal tersebut dan pinangannya diterima oleh keluarga mempelai wanita maka calon mempelai laki-laki tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melakukan akad nikah.
Selama waktu menunggu tersebut calon mempelai pria harus menyiapkan semua perlengkapan serta peralatan untuk berumah-tangga dengan calon mempelai wanitanya. dalam hal ini masih banyak persyaratan yang ditetapkan untuk calon mempelai laki-laki dalam prosesi peminangan tersebut. Hal ini
15
11
dilakukan untuk menjalin silahturahmi atau persaudaraan yang erat antar warganya serta untuk menghormati nenek moyangnya terdahulu yang telah menjadikan tradisi tersebut.
5. Jenis Data
Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang akan diamati.
6. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu: a. Wawancara (interview), yaitu situasi peran antara pribadi bertatap muka
(face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden.16
b. Studi Dokumentasi yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan hukum sekunder.17 Dan juga data-data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berkenaan dengan judul skripsi ini.
c. Pengamatan (Observasi), adalah kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan sesuatu keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang dianggap berlaku dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran pengamatan dengan cara
16
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet Ke-1, h. 82.
17
12
mengikuti dan menyaksikan langsung prosesi peminangan menurut adat Bima.
7. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat subjek yang menjadi tujuan utama dalam penelitian, yaitu yang menjadi informan atau narasumber adalah tokoh agama, serta warga yang dituakan yang memiliki pengetahuan luas dan mengetahui segala aspek budaya yang terdapat didaerahnya dan selalu berkomunikasi serta menjadi panutan masyarakat.
8. Tehnik Analisa Data
Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga agar menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Karena penelitian ini bersifat kualitatif yaitu analisis dari suatu pernyataan dan dikembangkan sejalan dengan penelitian ini. Analisa data tidak menunggu penelitian selesai dilakukan, akan tetapi analisa dilakukan dimulai dari penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah terkumpulnya data yang diperoleh.
9. Tehnik Penulisan
13
E. Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul proposal. Dalam review skripsi terdahulu, penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan peminangan. Diantaranya yaitu:
Prosesi Ritual Perkawinan Adat Jawa dilihat dari Sudut Pandang Islam, oleh: Anugrah Sejati (101044222178).
Skripsi ini menjelaskan tentang proses perkawinan adat Jawa. Di dalam skripsi ini dijelaskan juga tentang proses peminangan, dalam proses peminangan adat jawa ini dinamakan dengan istilah ngebunebun esuk, anjejawah sonten. Lamaran dapat dilakukan sendiri oleh orang tua laki-laki secara lisan hal ini dianggap kurang tepat maka pihak lelaki menulis surat lamaran, setelah surat selesai dibuat kemudian dicarikan petugas yang menjadi duta, biasanya dipilih dari kalangan keluarga sendiri (paman) untuk mengantarkan surat lamaran tersebut. Beberapa hari kemudian setelah melakukan perundingan dengan keluarga yang dihadiri nenek atau kakek si gadis, maka orang tua si gadis menulis surat jawaban.
Tinjauan Hukum Perkawinan Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasik Malaya Menurut Keperdataan Islam, oleh: Marzuki (101044222197).
14
mengadakan perjanjian orang tua jejaka datang kepada orang tua gadis idaman anaknya, datangnya bisa sendiri atau cukup diwakili dengan orang yang dipercayanya. Jangka waktu nendeun omong sampai kepada saat melamar tidak pasti. Pada dasarnya upacara ini dilaksanakan setelah kedua belah pihak mempunyai kebulatan niat dan tersedianya bahan atau biayanya untuk melangsungkan perkawianan. Melihat dari review yang saya lakukan, jalas sekali perbedaannya dengan skripsi yang saya tulis. Di dalam skripsi yang saya teliti yaitu menengenai proses peminangan saja. Yang menarik dari skripsi saya yaitu diangkat dari adat Bima, jadi skripsi yang saya bahas tentang adat Bima dalam peminangan saja. Dan sudah terlihat jelas perbedaannya dengan skripsi-skripsi yang lain yang ada kaitannya dengan peminangan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun penulisan ini dengan sistematika sebagai berikut:
Bab Kesatu : Merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan masalah, metodologi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
15
Bab Ketiga : Membahas kriteria dalam penentuan jodoh, tata cara dalam peminangan, syarat-syarat dalam peminangan dan hikmah dalam peminangan.
Bab Keempat : Membahas tentang prosesi peminangan menurut adat Bima di Kecamatan Donggo, alasan masyarakat Bima masih menggunakan tradisi peminangan menurut adat Bima, dan prosesi peminangan menurut adat Bima dalam prespektif Islam.
BAB II
GAMBARAN UMUM KECAMATAN DONGGO
A. Sejarah Singkat Kec. Donggo Kab. Bima NTB
Kesatuan wilayah dan orang Bima diikat oleh tiga ungkapan Orang Bima, yakni pertama dana mbojo, kedua dou mbojo, dan ketiga nggahi mbojo. Ketika ungkapan itu masing-masing bermaksud sebagai berikut yaitu: pertama dana bermakna daerah atau tumpah darah, sedang mbojo adalah nama asli Bima, jadi dana mbojo bermakna Daerah Bima. Kedua dou mbojo berarti orang Bima yang ada dalam dana mbojo. Ketiga nggahi mbojo adalah nggahi bermakna tutur bahasa, jadi nggahi mbojo artinya bahasa Bima.1
Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, Ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima 1 yang menjalankan pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Didusun Padende Kecamatan Donggo sudah lama dihuni manusia hal ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti sejarah yang ditemukan di Kecamatan Donggo Kabupaten Bima. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu, Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami daerah kabupaten Bima, mereka menyebut dirinya “dou mbojo” (orang Bima), “dou donggo” (orang Donggo) yang mendiami kawasan pesisir pantai. Orang donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama.
1
Abdullah Abdul Gani, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam DiKesultanan Bima. (Mataram, Yayasan Lengge, 2004), Cet Ke- 2, h. 72
17
Masyarakat di Desa Palama Kecamatan Donggo sebagian besar menempati wilayah pegunungan. “duo donggo” (sebutan bagi orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat di desa Palama Donggo mendiami sebagian besar wilayah kecamatan Donggo sekaranng yang dikenal dengan nama “dou donggo”.pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan.2
Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan yaitu karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Keristen, Hindu dan Budha. Hal itu dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan terhadap Marafu (animisme).
Kepercayaan terhadap marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya misionaris Keristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut.
Agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Bima sampai saat ini adalah agama Islam dan ajaran Islam yang merubah pola kehidupan mereka. Masyarakat di sana sangat kental sekali dengan ajaran Islam ini terbukti dengan ditanamkan ajaran agama sejak kecil seperti diajarkan mengaji dan harus bisa mengaji dari sejak kecil. Akan tetapi disamping kentalnya ajaran agama Islam
2
18
yang dianut oleh mayoritas penduduk di sana, ternyata kepercayaan marafu (animisme) yang dulu pernah ada sampai saat ini masih sedikit mempengaruhi pola hidup masyarakat di sana.
Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini telah sekian banyak para sarjana asli Donggo yang umumnya menimba ilmu di luar daerah. Demikian pula dengan teknologi yang akhirnya memberikan hal yang baru sehingga pola hidup mereka berubah menjadi lebih maju seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti ulama, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.
19
B. Letak Geografis
Kecamatan Donggo di Kabupaten Bima propinsi Nusa Tenggara Barat, terletak diujung timur pulau Sumbawa tepatnya pada posisis 0-477,50 M di atas permukaan laut dan berada pada 117’40’-119’10 Bujur Timur dan 70’30 Lintang Selatan. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:3
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Soromandi 2. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mada Pangga 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bolo
4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dompu
Luas wilayah Kabupaten Bima adalah 4.596,90 Km2. Secara umum topografi Kabupaten Bima berbukit-bukit setiap wilayahnya mempunyai topografi yang cukup bervariasi dari datar hingga bergunung-gunung. Di Kecamatan Donggo Kabupaten Bima beriklim tropis dengan musim hujan yang relatif pendek yakni dari bulan desember sampai maret.
Di Kabupaten Bima sarana transportasi dan komunikasi sangat memadai. Sehingga kita dapat mudah mengunjungi Kecamatan Donggo, Bima-Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan melalui jalur darat, laut dan udara.
C. Kondisi Masyarakat dan Budayanya
Di sebuah dusun yang terletak di Desa Palama Kecamatan Donngo keadaan masyarakatnya masih primitif atau terbelakang, mereka masih mempercayai hal-hal mistik dan masih mempertahankan sistem adat mereka
20
ketika ada acara besar seperti acara pernikahan, mereka masih menggunakan ritual adat yang berlaku disana sebagai syarat saat dilakukannya prosesi acara besar tersebut. 4
Mereka tidak boleh meninggalkan adat yang selama ini telah tertanam sejak zaman nenek moyangnya. Karena apabila ia tidak menggunakan adat tersebut dan menghilangkannya, maka mereka dianggap tidak menghormati dan menghargai nenek moyangnya terdahulu yang telah mempertahankan adat atau tradisi itu dengan mempersatukan mereka dalam ikatan persaudaraan satu dengan yang lainnya. Alasan yang lain yaitu dengan melestariakan dan mempertahankan adatnya, mereka meyakini bahwa akan selalu mendapatkan rahmat dari Allah SWT.5
Karena dengan adat tersebut mereka membentuk suatu perkumpulan kemudian bersatu untuk mempererat jalinan silahturahmi dan saling tolong menolong antara satu dan yang lainnya. Masyaratkat disana sangat mempercayai hal-hal mistik sehingga pola pikir mereka tidak ada yang berkembang walaupun zaman semakin modern, mereka banyak mempercayai paranormal sehingga apabila mereka terkena penyakit mereka membawanya ke para normal untuk menyembuhkannya dan jarang sekali mereka membawanya kerumah sakit untuk menyembuhkan penyakitnya.
Disamping karena faktor ekonomi yang menyebabkan mereka tidak berobat kedokter, akan tetapi ada hal lain yang lebih besar yaitu akibat kepercayaan marafu yang dulu pernah ada didesa tersebut masih menyatu dan
4 Ibid
21
mempengaruhi sehingga mereka sangat mempercayai paranormal dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Mereka kurang mempercayai ilmu-ilmu kedokteran. Karena masyarakat disana apabila terkena penyakit mereka langsung berfikir bahwa mereka telah terkena ilmu hitam yang dikirim oleh orang yang tidak menyukainya.
Walaupun masyarakat disana masih mempercayai hal-hal mistik dan paranormal akan tetapi mereka menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Sehingga kepercayaan marafu (animisme) yang dulu pernah ada dapat digeser sedikit demi sedikit dengan ajaran agama yang begitu kental yang terdapat disana.
Masyarakat disana masih terbelakang akan tetapi mereka menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan kekompakan yang mereka jalin anatara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat terlihat jelas ketika mereka mengadakan upacara besar seperti pernikahan. Semua masyarakat disana bersatu saling membantu baik dari segi materil ataupun moril sampai acara pernikahan tersebut selesai. Kebudayaan yang terdapat di desa Palama Kecamatan Donggo sangat menjunjung tinggi nilai keagamaannya khususnya agama Islam. Karena di Kecamatan Donggo mayoritas beragama Islam.6
Disini dapat terlihat ketika tiba datangnya bulan suci ramadhan semua warga masyarakat baik orang tua, remaja perempuan atau laki-laki serta orang dewasa berbondong-bondong ke sungai untuk membersihkan diri mereka dari segala gangguan mahluk halus dan perbuatan buruk yang disengaja atau tidak, dengan maksud menghayutkan semua gangguan mahluk halus dan perbuatan
6
22
buruk yang tidak disengaja atau disengaja agar hanyut dengan derasnya air sungai yang mengalir.
Hal yang lain tentang kebudayaan dapat dilihat dari segi ritual adat yang terdapat disana, masyarakat disana sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaannya seperti harus bisa membaca Al-Qur’an yang baik dan benar ketika mereka akan menikah.
D. Kondisi Ekonomi
Dalam kehidupan masyarakat di Bima khususnya di Desa Palama Kecamatan Donggo, masyarakatnya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Mereka mengandalkan dan memanfaatkan persawahan dan ladangnya untuk bercocok tanam dan untuk memenuhi kehidupannya setiap hari. Masyarakat disana memanfaatkan ladang dan sawahnya untuk menanam seperti: padi, kacang-kangan, cabe, tomat, dan sebagainya.
Hal yang paling menonjol dalam bercocok tanam di ladang yaitu sering ditanami kacang kedelai karena kacang kedelai ini sangat menguntungkan hasilnya apabila sudah dijual karena nilai jualnya sangat tinggi. Lahan pertanian yang berupa dataran rendah dan dataran tinggi dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam menananam padi..7
Areal persawahan disana cukup luas tetapi masyarkat disana masih membeli tanah persawahan di luar daerahnya karena mereka mempercayai bahwa areal persawahan disana tepatnya di Tolo Oi Sumbawa sangat luas dan dapat
23
menghasilkan panen yang lebih banyak dan dapat menguntungkan sebagai sumber penghasilan utama mereka. Apabila awal tahun mereka berbondong-bondong untuk bercocok tanam didaerah Tolo oi yaitu di Sumbawa.
Masyarakat disana memanfaatkan hewan peliharaannya seperti kuda, sapi dan kerbau untuk menunjang perekonomian mereka. Mereka memeras susu kuda untuk dijual dan sesekali menjual kerbau atau sapinya untuk memenuhi kebutuhan mereka kalau ada acara besar seperti pernikahan. Masyarakat disana pun masih mengenal sistem barter dalam pembelian apabila mereka membeli lauk pauk kemudian mereka membayarnya dengan beras.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMINANGAN A. Kriteria dalam Penentuan Jodoh
Sebelum memasuki ke jenjang rumah tangga, seseorang harus menemukan
jodohnya terlebih dahulu karena jodoh memegang peranan penting dalam
menciptakan sebuah bangunan rumah tangga yang didirikan agar kokoh, damai,
tentram, dan sejahtera dalam bingkai mawaddah wa rahmah. Jodoh memang
bukan merupakan syarat akan sahnya sebuah pernikahan, tetapi jodoh itu perlu
dicari. Banyak masyarakat yang kurang memahami dan mendalami pesan-pesan
agama, sering berucap bahwa jodoh itu ada ditangan tuhan.
Seorang laki-laki yang sudah masanya memasuki kehidupan rumah tangga
dianjurkan mencari jodohnya yang sekufu, selevel, setingkat dan sepaham, karena
jodoh merupakan salah satu yang menentukan terciptanya keharmonisan rumah
tangga dan komunikasi antara keluarga dari pihak suami dan pihak istri dan agar
tidak ada pembatas atau jurang pemisah antara keluarga kedua belah pihak.1
Dalam penentuan jodoh antara pria dan wanita, menurut syafi’i, harus
mempertimbangkan empat perkara:
1. Suku Bangsa
Menurut Syafi’i setiap nasab diperhitungkan kepada Bangsa dari ayahnya,
karena apabila ayahnya berkebangsaan berbeda dengan ibunya maka
apabila menikah dengan kebangsaan dari ibu maka dianggap tidak
sejodoh.
1
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Pebincangan dan Perbedaan, (Jakarta: Darussalam, 2004) Cet Ke-1, h. 148
25
2. Agama
Identitas agama dalam memilih jodoh, menurut syafi’i, bukan semata-mata
harus pemeluk agama Islam melainkan kadar ketakwaan dalam
mengamalkan ajaran yang disyariatkan agama Islam. maksudnya yaitu
wanita baik dan taat tidak sejodoh dengan pria yang fasik.
3. Merdeka (bukan budak)
Masalah identitas merdeka yang menjadi pertimbangan mencari jodoh
sama juga, yaitu bahwa perempuan yang merdeka (bukan budak) sejodoh
dengan laki-laki merdeka.
4. Status sosial
Perempuan yang status sosialnya terhormat seperti anaknya komisaris
tidak sejodoh dengan laki-laki yang menjadi tukang parkir, tukang sapu
jalan, dan sebagainya.
Sedangkan masalah yang berkaitan dengan kekayaan, Imam Syafi’i tidak
memasukkan kedalam kategori setingkat dengan perjodohan, maka perempua
kaya sejodoh dengan laki-laki miskin. Imam Syafi;i juga menetapkan bahwa
jodoh itu diperhitungkan kepada pihak perempuan, bukan kepada pihak laki-laki.
Jadi laki-laki bebas dalam menentukan jodohnya dan setiap perempuan dari segi
kriteria apa saja sejodoh dengan laki-laki mana pun.2
Pendapat Imam Hanbali dalam menentukan kriteria memilih jodoh sama
seperti Imam Syafi’i akan tetapi ada satu yang berbeda pendapat tentang masalah
2
26
kekayaan, Imam Hanbali mengatakan kalau laki-laki miskin tidak sejodoh dengan
perempuan kaya.
Menurut Imam Hanafi memiliki sedikit perbedaan dengan Imam Hanbali
dan Imam Syafi’i mengenai kriteria Islam dan merdeka. Menurut Imam Hanafi
laki-laki muslim tetapi ayahnya non muslim tidak sejodoh dengan perempuan
muslimah yang juga ayahnya muslim. Perempuan merdeka dari lahir tidak
sejodoh dengan laki-laki yang pernah jadi budak.3
Kriteria agama yang diajukan Imam Maliki sama seperti Imam Syafi’i dan
Imam Hanbali. dalam kriteria memilih jodoh Imam Maliki menambahkan harus
sama-sama sehat jasmani. perempuan yang sehat jasmani tidak cacat baik fisik
maupun psikis tidak sejodoh dengan laki-laki yang cacat, seperti gila, buta dan
sebagainya. Adapun kriteria kaya, bangsawan, status sosial dan merdeka tidak
termasuk kriteria dalam memilih jodoh. Kriteria yang diberikan oleh Imam Maliki
sangat fleksibel dan tidak ada kesan diskriminasi.
Pendapat Imam Maliki ini sesuai dengan perkembangan zaman di mana di
era globalisasi ini komunikasi antar umat sangat dekat dan mudah dijangkau
dengan kecanggihan tekhnologi yang semakin hari semakin modern. Juga
sekat-sekat sudah tidak ada yang membedakan antara ras untuk mengadakan suatu kerja
sama yang menguntungkan antara kedua belah pihak.
Demikian juga, dalam hal pernikahan tidak terbatas pada status ekonomi,
tetesan darah biru, miskin, kaya, bahkan bisa antarnegara. Pendapat ini sangat
didukung oleh firman Allah Swt:
27
⌧
) تاﺮﺠﺤﻟا \
49 : 13 (
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal; mengenal sesungguhnya orang yang paling mulia diantaranya kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Q.S.Al-Hujaraat [49]:13)
Ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang paling mulia disisi Allah Swt,
bukan karena bangsa dan sukunya melainkan pada kadar nilai-nilai ketakwaannya.
Dan di antara bangsa-bangsa yang ada didunia fana ini tidak ada kelebihan dan
keistimewaan antara bangsa yang satu dengan yang lain dan antara suku satu
dengan suku yang lain. demikian juga orang yang meminang perempuan yang
akan dipinang jangan dilihat dari kekayaan, kebangsaan dan kecantikannya,
melainkan yang terpenting kadar akhlaknya.
B. Tata Cara dalam Peminangan
Sebelum memulai langkah-langkah meminang, seseorang yang akan
menikah harus tahu secara pasti bahwa tidak ada larangan-larangan syariah yang
menghalanginya menikah, baik untuk masa tertentu maupun untuk selamanya.
Misalnya, orang lain sudah lebih dulu meminang wanita yang telah dipinang oleh
orang lain, sebab ini akan menyakitkan pihak peminang yang pertama.4
4
28
Kadang kala kasus ini bisa menimbulkan perpecahan di kalangan keluarga
yang terkait, bahkan bisa juga menimbulkan keributan yang mengganggu
keamanan.
Jika pinangan orang yang pertama tidak diterima atau ia telah mengijinkan
peminang kedua untuk meminang menggantikan dirinya., maka pinangan disini
diperbolehkan. Sekaligus boleh melakukan prosedur-prosedur selanjutnya jika
syarat keagamaan dan kebaikan kedua belah pihak telah terpenuhi, di samping
tidak ada halangan syariah. Kedua faktor ini, merupakan syarat mutlak untuk
memulai khitbah (lamaran). Oleh sebab itu jika salah satu diantaranya tidak
terpenuhi, maka tidak ada khitbah ataupun pernikahan.5
Adapun tata cara peminangan yaitu sebagai berikut:
1. Cara Memandang
Sebelum melakukan akad pernikahan, melihat wanita yang akan dinikahi,
dianjurkan bahwa disunnahkan agama. Melihat calon istri untuk mengetahui
penampilan dan kecantikannya, dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan
rumah tanggga yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan setelah
menikah. 6
Syara mensunnahkan seseorang untuk memandang kepada wanita yang
hendak dipinangnya. Demikian pula, si wanita yang dipinang juga disunnahkan
memandang kepada pria yang meminangnya, sebelum menyatakan menerima
pinangan itu. Sebab, sesuai dengan tabiatnya, manusia menyukai dan merindukan
5
Ibid, h. 68
6
29
sesuatu yang indah. Dalam hati, ia selalu merasa tentram, bahagia, dan penuh
emosi ketika ia melihat dan mendapatkan sesuatu yang indah.
Oleh sebab itu, keindahan merupakan unsur penting ketika memilih
pasangan. Jumhur ulama berpendapat, bahwa pria boleh memandang wajah dan
dua telapak tangan si wanita yang dipinangnya dan yang lainnya tidak boleh.
Sebab memandang wajah bisa mewakili kecantikan (seorang wanita), sedangkan
memandang kedua telapak tangan bisa mewakili subur tidaknya tubuh (seorang
wanita).
Pengenalan atau lazim diketahui sebagai ta’aruf, menambahkan wawasan
kepada pria dan wanita akan keberadaan serta kepribadian masing-masing. Usaha
untuk saling mengenal dapat tercapai dengan baik efektif, melalui pertemuan
biologis antara keduanya. Sebuah pernikahan tentu tidak mesti dengan melihat
dan dilihat.
Demikian pula, mencukupkan diri memandang foto atau lukisan sama sekali
tidak menjamin bisa menimbulkan persetujuan untuk menikah atau
menggambarkan kenyataan secara cermat. Yang terbaik adalah ajaran yang
dibawa oleh Islam. Sebab prinsip ini memberikan hak kepada kedua belah pihak
untuk saling memandang di samping menghindari berdua-duan demi menjaga
keharmonisan dan nama baik masing-masing pihak.7
Banyak orang yang meremehkan masalah ini. Ia pun membolehkan putri
atau kerabat-kerabat wanitanya berkumpul berduaan dengan si peminang tanpa
didampingi oleh muhrim, dibiarkan pergi kemana saja dengan tanpa pengawasan
7
30
dan bimbingan. Padahal inilah yang diharamkan menurut syara’ ini bisa
mengakibatkan kaum wanita tercemar. Bahkan sering berakhir dengan kegagalan
bukan pernikahan.8
Sebuah pernikahan tentu tidak harus melalui proses pinangan. Dan lamaran
tidak mesti dengan melihat dan dilihat. Sebab pernikahan dapat saja terjadi tanpa
melalui rute lamaran dan lihat melihat, sungguhpun demikian, nabi SAW tetap
mengingatkan bahwa melihat lamaran akan lebih menambah gairah ketenangan
batin bagi keduanya.9
2. Mengenali Sifat-sifat yang Lain
Orang yang paling baik dan hati-hati adalah orang yang tidak memasuki
suatu tempat sebelum ia mengetahui baik dan buruknya suasana tempat yang
hendak ia masuki. Pengenalan sebelum menikah tidak terbatas pada cantik atau
tidaknya calon pasangan yang dikehendaki, adapun sifat-sifat yang bertalian
dengan akhlak, dapat diketahui dari sifat lahirnya atau melalui informasi dari
orang-orang dekat dengannya misalnya sanak kerabatnya yang dapat dipercaya,
seperti ibu dan saudara-saudara perempuanya.10
Tetapi janganlah ia meminta komentar tentang ahklak dan perilaku calon
pasangannya kecuali dari orang-orang yang benar-benar tahu dan jujur,
8
Ibid, h. 72
9
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Mazhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), Cet Ke-1, h. 141
10
31
mengetahui lahir batin, dan tidak kepada orang yang suka kepadanya sehingga ia
tidak mau mengungkapkan keadaan yang sebenarnya atau bahkan menguranginya.
Yang penting harus hati-hati jika meminta pendapat orang lain, sehingga
tidak tertipu dan terkecoh, yang nantinya dapat mengakibatkan ketidakpuasaan
atau mencintai wanita selain istrinya. Inilah diantaranya penyebab orang
melakukan poligami.
3. Menguatkan Pinangan
Jika kedua belah pihak setuju untuk menjadi suami istri, maka lamaran di
sini bisa diterima oleh kedua belah pihak. Dan masing-masing pihak berusaha
untuk memperkokoh hubungan dengan orang lain sedemikian rupa demi
memperkuat hubungan baru.11 Seringkali pinangan diikuti oleh penyerahan mahar
baik seluruhnya maupun sebagian, atau manyerahkan hadiah-hadiah yang sedikit
banyak terserah pada masyarakat.
Namun semua itu belum berarti sudah mengizinkan kedua calon untuk
berduaan selama belum dilangsungkan akad nikah. Sebab pinangan hanyalah
langkah pendahuluan bagi akad nikah.
Kedua belah pihak berhak menarik kembali pinangannya tanpa ada
hukuman material sebagai konsekuensi orang menarik kembali pinangan tanpa
ada alasan yang memaksa diklasifikasikan sebagai tindakan yang tecela. Sebab
pinangan adalah janji untuk menikah, barang siapa yang mengabaikan janjinya
tanpa ada alasan yang memaksa, berarti mengingkari janji.
11
32
Kalau pinangan ditarik kembali, karena sebab-sebab tertentu, mahar yang
telah diberikan oleh peminang kepada pinangannya berhak diminta kembali jika
akad nikahnya tidak jadi karena mahar diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam
pernikahan. Selama pernikahan itu belum terlaksana maka pihak perempuan
belum mempunyai hak sedikit pun terhadapnya dan wajib ia kembalikan
kepadanya karena barang itu dialah yang punya.
Sedangkan hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian yang telah
diberikannya maka hukumnya sama dengan hibah. Secara hukum, hibah itu tidak
boleh diminta kembali karena merupakan suatu pemberian sukarela dan tidak
bersifat sebagai pengganti dari sesuatu.12 Karena mahar tidak termasuk pemberian
murni atau sumbangan murni seperti cincin, kalung dan arloji. Sebab calon suami
memberikan itu kepada si calon istri agar dipakai, dijadikan hiasan calon
istrinya.13
Tidak sepatutnya sang peminang yang ditolak menafsirkan penolakan dari
wanita itu sebagai penghinaan yang tak bisa dimaafkan dan kesalahan yang tak
bisa diampuni serta aib yang tidak bisa dihapuskan dengan air samudera.
Sehingga, ia menempuh jalan pintas dan bodoh, sampai kadang-kadang bunuh diri
atau membunuh (wanita tersebut).
Hal ini tidak akan terjadi kecuali dalam masyarakat barbar dan primitif,
karena ia mengira itu sebagai balas dendam atas kehormatan dan harga dirinya.
Dengan demikian, berarti ia telah menghalalkan untuk dirinya apa yang ia
12
Sayyid Sabiq, Pengantar Imam Hasan al-Banna, Fiqh Sunnah Jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Cet Ke-1, h. 512
13
33
haramkan atas orang lain, berupa kebebasan pendapat dan memilih.14 Itulah tata
cara yang harus diperhatikan ketika akan meminang wanita yang akan dijadikan
seorang istri dan teman hidup sampai akhir hayat.
Peminangan dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita
yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanita itu. Sesudah itu baru
dipertimbangkan apakah pinangan itu diterima atau tidak. Adakalanya pinangan
itu hanya sebagai formalitas saja, sebab sebelumnya antara pria dengan wanita itu
sudah saling mengenal atau menjajaki. Demikian juga, pinangan itu ada kalanya
sebagai langkah awal dan sebelumnya tidak pernah kenal secara dekat, atau hanya
kenal melalui teman dan sanak kerabat.15
Maksud dari meminang adalah seorang laki-laki meminta kepda seorang
perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku
ditengah-tengah masyarakat.16
Peminangan merupakan langkah pendahuluan menuju kearah perjodohan
antara seorang pria dan seorang wanita. Islam mengisyaratakannya agar
masing-masing calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami pribadi mereka.17
Didalam fiqh Islam peminangan ini disebut dengan khitbah. Kata ini dapat
dilihat pada hadis-hadis Rasul yang berbicara tentang peminangan tersebut. Perlu
14
Abdul Hakam ash-Sha’idi, Menuju Keluarga Sakinah, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2005), Cet Ke-4, h
15
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet Ke- 1, h. 24.
16
Sayyid Sabiq, Pengantar Imam Hasan al-Banna, Fiqh Sunnah Jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Cet Ke-1, h. 50
17
34
dijelaskan disamping peminangan, masyarakat dikenal dengan istilah yang disebut
dengan tunangan. Biasanya tunangan ini adalah masa antara pinangan (lamaran)
dengan perkawinan. Uniknya kendatipun pinangan dikenal dalam Islam, namun
tunangan tidak dikenal karena mungkin juga makna tunangan termasuklah
didalamnya.
Wirjono Prodjo juga menyebutkan di dalam bukunya istilah tunangan dan
bukan peminangan. Menurutnya keadaan tunangan ini ada, apabila telah ada
persetujuan antara kedua belah pihak untuk mengadakan perkawinan. Dan
persetujuan ini tentunya didahului dengan suatu lamaran, yaitu suatu permintaan
atau tawaran yang dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita. Berbeda
dengan pandangan tersebut, Ter Haar Hazn ahli hukum adat Belanda ada
Menyatakan. “het recht van den Islam kent de vervoling niet als rechtsintituut”
(Hukum Islam tidak mengenal adanya pertunangan sebagai lembaga Hukum).
Kiranya alasan yang diberikan Ter Haar adalah karena memang Islam tidak
memberikan aturan yang rinci terhadap persoalan ini.18
Sebagian orang mungkin tidak setuju dengan pandangan ini, namun
penting untuk dicatat, masyarakat adat telah dikenal adanya pernikahan pinangan
(aanzoek-huwelijk) yaitu suatu pernikahan yang didahului dengan adanya
pertunangan dan adanya lamaran (pinangan) sebelum bertunangan tersebut.
Menurut hukum adat bahwa suatu persetujuan untuk bertunangan baru mengikat
apabila kedua pihak yang bersangkutan mempertukarkan tanda (zithtbaar teken)
18
35
sebagai bukti adanya persetujuan untuk itu. Dengan adanya pertukaran tanda itu
terjadilah peristiwa pertunangan, yang merupakan suatu peristiwa hukum.
Sebagai contoh didalam masyarakat Pariaman ada istilah bajapuik.
Bajapuik secara sederhana dapat dipahami melalui pepatah orang Minang yang
berbunyi (datang karena dipanggil tiba karena dijemput). Dalam sistem
matrilokalnya, hukum adat minangkabau memposisiskan suami sebagai tamu
dirumah istrinya yang disebut dengan sumando. Dalam prosesi pernikahan, selalu
laki-laki yang diantar kerumah istrinya, sebagai tanda ketulusan hati menerima
maka dijemput oleh keluarganya istri secara adat. Dalam hukum adat,
pertunangan ini merupakan lawan dari apa yang sering disebut dengan kawin lari
(wegloop-huwelijk atau schaak huwelijk), yaitu suatu perkawinan yang
diselenggarakan secara bersama-sama dan bersepakat melarikan diri atau
mengambil pergi seorang gadis oleh seorang pria, dua-duanya bermaksud untuk
hidup sebagai suami istri.19
Peminangan juga dapat dilakukan secara terang-terangan (sarih) atau
dengan sindiran (kinayah). Mayoritas Ulama mengatakan bahwa peminangan
tidak wajib. Namun praktek kebiasaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa
peminangan merupakan pendahuluan yang hampir pasti dilakukan. Ini sejalan
dengan pendapat Dawud al-Zahiry yang menyatakan meminang hukumnya wajib.
Betapa pun meminang adalah tindakan menuju kebaikan.20
19
Ibid, h. 89.
20
36
C. Syarat dalam Peminangan
Membicarakan syarat peminangan tidak dapat dipisahkan dari
pembicaraan tentang halangannya. Pasal 12 KHI menjelaskan, pada prisipnya,
peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat dipahami sebagai syarat
peminanangan.
Selain itu syarat lainnya, wanita yang dipinang tidak terdapat halangan
seperti Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4).
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah,
haram dan dilarang untuk dinikahi.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dalam pinangan
pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada
penolakan dari pihak wanita.
(4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminangan telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. 21
Jadi dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa syarat peminangan terletak
pada wanita. Ada dua macam syarat dalam meminang, yaitu syarat mustahsinah
dan syarat lazimah.
1. Syarat mustahsinah yaitu syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki
yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu seorang wanita yang
akan dipinangnya itu, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup berumah
21
37
tangga. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang baik saja,
Tanpa syarat ini dipenuhi tetap sah.22 Yang termasuk syarat mustahsinah ialah:
a. Wanita yang dipinang itu hendaklah sejodoh dengan pria yang
meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat,
sama-sama baik bentuknya, sama-sama dalam tingkat kekayaannya, sama-sama-sama-sama
berilmu dan sebagainya.
b. Wanita yang dipinang itu hendaklah wanita yang mempunyai sifat
kasih sayang dan wanita yang peranak.
c. Wanita yang akan dipinang itu hendaklah wanita yang bukan
hubungan darah dengan pria yang meminangnya. Agama melarang
seorang pria mengawini seorang wanita yang sangat dekat hubungan
darahnya.23
d. Hendaklah mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya
dari wanita-wanita yang dipinag. Sebaliknya yang dipinang sendiri
harus mengetahui pula keadaan yang meminangnya.24
2. Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan
dilakukan. Sahnya peminangan tergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.
Yang masuk didalam syarat-syarat lazimah yaitu:
22
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), Cet Ke- 2, h. 28.
23
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), Cet Ke- 2, h. 29
24
38
a. Belum dipinang oleh orang lain secara sah. Jika terdapat
halangan-halangan hukum, seperti perempuannya karena sesuatu hal haram
dinikahkan selamanya atau sementara waktu, atau telah dipinang
terlebih dulu oleh orang lain, maka ia tidak boleh dipinang.25
b. Wanita yang menjalani masa iddah karena kematian suaminya. Seorang
perempuan yang sedang beriddah karena kematian suaminya tidak
boleh dilakukan secara terang-terangan. Wanita yang tidak dalam masa
iddah. Haram hukumnya meminang wanita yang dalam masa iddah
talak raj’i. Wanita yang dalam masa iddah talak raj’i yang lebih berhak
mengawininya kembali ialah bekas suaminya. Bekas suaminya boleh
merujuknya kapan saja ia kehendaki dalam masa iddah itu.26
Firman Allah SWT:
⌧
⌧
☺ )
ةاﺮ ﺒﻟا \ : (
Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.
25
Sayyid Sabiq, Pengantar Imam Hasan al-Banna, Fiqh Sunnah Jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Cet Ke-1, h. 505
26
39
Itu lebih baik dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 232)
Salah satu pendapat dalam mazhab syafi’i mengkiaskan wanita yang
dalam massa iddah talak bain kepada wanita yang dalam iddah karena suaminya
meninggal dunia. Karena itu mereka berpendapat bahwa wanita yang dalam masa
iddah talak bain boleh dipinang dengan sindiran.27
Pengkiasan diatas dapat diterima karena wanita yang dalam masa iddah
talak bain, sekalipun dalam masa iddah itu masih diberi nafkah oleh bekas
suaminya dan masih dibolehkan tinggal dirumah bekas suami, tetapi hak bekas
suaminya nikah dengannya sama dengan hak pria lain. Bahkan terhadap wanita
yang dicerai tiga kali oleh bekas suaminya, orang lainlah yang lebih berhak
mengawininya, sedang bekas suaminya itu baru boleh menikah dengannya
kembali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan
habis masa iddahnya. Lain halnya wanita yang dalam masa iddah talak raj’i bekas
suaminya adalah yang berhak merujuknya.
c. Wanita yang dipinang itu hendaklah wanita yang boleh dinikahi atau
dengan perkataan lain ialah bahwa wanita itu bukanlah mahram dari
laki-laki yang akan meminangnya.
Tentang hukum pernikahan yang dilaksanakan kemudian setelah
peminangan terlarang itu berbeda pendapat para ulama. Menurut Ahmad bin
Hanbal dan Imam al-Syafi’i dan Abu Hanifah nikah tersebut adalah sah dan tidak
dapat dibatalkan. Menurut ulama Zhahiriy perkawinan tesebut tidak sah dengan
arti harus dibatalkan. Sedangkan pendapat ketiga di kalangan Malikiyah
27
40
berpendapat bila telah berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan itu, maka
pernikahan tersebut tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan
kelamin dalam pernikahan itu maka pernikahan tersebut mesti dibatalkan.28
D. Hikmah dalam Peminangan
Pinangan berarti mengajukan usulan untuk menyatukan sepasang calon
mempelai, yang melalui itu diharapkan lahir satu mahluk yang saling
melengkapi,29
☯ ) ءﺎﺒﻨﻟا \ :
( Artinya: “ Dan Kami ciptakan kalian secara berpasang-pasangan. “
(Q.S. An-Naba’ [76]: 8)
Juga mampu berkembangbiak firman Allah:
⌧ ☯
) ﻨﻟا ءﺎﺴ \ : (
Artinya: “ Dari suami istri itu, Kami mengembangbiakkan sejumlah besar kaum pria dan wanita.” (Q.S. An-Nisa [4]: 1)
Maksudnya pinangan adalah usulan untuk membangun satu konstruksi yang
landasannya yaitu keluarga, menyempurnakan dua komponen yaitu pria dan
wanita. Setiap pendirian bangunan harus teliti, dihitung secara cermat,
direncanakan dan dimungkinkan memberikan jaminan keselamatan kepada
bangunan yang bersangkutan. Misalnya, bata yang keras tidak diletakkan diatas
28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Cet Ke-2, h. 54
29
41
bata yang lembek, yang berakibat akan menghancurkan bangunan dan tidak
memberikan manfaat.30
Ketika seorang pria melihat wanita cantik yang memenuhi selera seksualnya,
lalu timbul keinginan untuk menikahinya, apakah mengesampingkan
pertimbangnan-pertimbangan tertentu? Tidak demikian, sebab tujuan pernikahan
bagi manusia bukanlah semata-mata kaum pria ingin memenuhi panggilan
nalurinya, kemudian selesai begitu saja. Tujuan pernikahan adalah membangun
kelurga yang dapat melangsungkan hubungan hubungan dengan para kerabatnya
selama hidup di bumi. Firman Allah Swt:
☺ ⌧
) نﺎ ﺮﻔﻟا \ : (
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan menantu menjadi anaknya, sehingga bangunan yang didirikannya menjadi tegak.”
(Q.S Al-Furqan [25]: 54)
Demikian pula persoalannya bagi wali yang sah dari si calon mempelai
wanita. Sebelum menerima calon suami dari orang yang diwakilkannya, ia tidak
boleh tertarik oleh penampilan, kekayaan atau kekuatan keluarganya. Tetapi ia
harus meneliti secara cermat apakah orang ini pantas menjadi suami dan ayah
bagian anak-anak si wanita yang diwakilkanya? Apakah keluarga si pria pantas
menjadi keluarga si wanita, karena sifat dan watak si anak menurun dari kedua
30
42
belah pihak tidak hanya dari satunya saja. Jadi proses kecermatan memilih calon
ayah dan calon ibu sama-sama penting.31
Dari sini jelas hikmah dari adanya pinangan yaitu memberikan kesempatan
kepada kedua belah pihak untuk mempelajari secara cermat akhlak, adat istiadat
dan potensi-potensi yang dimilikinya oleh pihak lain hingga mereka mantap
bahwa pernikahan yang didahului oleh pinangan ini, telah menyuguhkan
faktor-faktor yang menyebabkan keberuntungan dan kemantapan. Sekaligus rumah
tangga baru yang segera diresmikan ini atas izin Allah SWT, bakal menjadi
padang rumput yang cocok dan menyenangkan.
BAB IV
PROSESI PEMINANGAN MENURUT ADAT BIMA DALAM PRESPEKTIF ISLAM
A. Prosesi Peminangan Menurut Adat Bima di Kecamatan Donggo
Peminangan adalah salah satu tindakan pendahuluan sebelum menginjak
pada jenjang pernikahan, yang tentunya berdasar atas suatu pesetujuan/perjanjian
antara kedua belah pihak, yaitu antara seorang pria dengan wanita.
Di Bima tepatnya di desa Palama Kecamatan Donggo, setiap pernikahan
yang dilaksanakan akan didahului dengan acara peminangan. Sebelum melakukan
acara yang paling sakral yaitu pernikahan biasanya pemuda-pemudi yang sudah
siap untuk berumah tangga akan mencari pasangan hidupnya sesuai dengan
kriteria yang akan mereka pilih. Akan tetapi dalam hal mencari dan memilih
pasangan hidup kebanyakan orangtua dari masing-masing pihak ikut berperan
serta dalam menentukan jodoh anaknya. Adapun kriteria yang biasa diterapkan
dalam penentuan jodoh yang terdapat didesa Palama Kecamatan Donggo yaitu:1
1. Seagama maksudnya apabila ingin menikah masyarakat di sana harus
mengutamakan agamanya terlebih dahulu dan harus satu aqidah dan satu
kepercayaan yaitu agama Islam. Karena masyarakat di sana mayoritas
beragama Islam dan kehidupannya sangat kental dengan nilai-nilai
Islami.
1
Kadir, Wawancara Pribadi, Bogor, 17 Juni 2010
44
2. Sekufu yaitu harus sama derajatnya, baik tingkat pendidikannya dan
tingkat keturunannya. Masyarakat di Bima khususnya di desa Palama
apabila mencari pasangan hidup harus yang tingkat pendidikannya setara
dan keturunnannya. maksudnya antara kedua belah pihak sepadan.
3. Sesuku yaitu lebih mengutamakan yang satu suku, apabila mencari calon
pendamping hidup. Kebanyakan masyarakat di sana lebih mengutamakan
sesuku karena agar proses beradaptasinya lebih mudah karena masyarakat
di sana menganggap dan meyakini apabila menikah dengan sesukunya
maka tali persaudaraannya akan lebih erat.
4. Tidak boleh satu saudara, saudara sesusuan dan orang tua seperti saudara
kandung, paman, bibi, adik, kakak, kakek, nenek, ibu, bapak. kecuali
apabila saudara tersebut sudah jauh dari garis keturunan bapak atau pun
ibu.
Setelah melakukan penentuan jodoh dan jodoh tersebut sesuai dengan
kriteria diatas maka tahapan selajutnya yaitu melakukan prosesi peminangan.
Dalam prosesi peminangan ini harus sesuai menurut adat Bima yang biasa
dilakukan oleh masyarakat didesa Palama tersebut. Adapun tahapan-tahapan yang
biasa dilakukan dalam prosesi peminangan menurut adat Bima yaitu:2
1. Keluarga dari calon mempelai pria datang ke rumah calon mempelai
wanita untuk menanyakan apakah calon mempelai wanita yang
dimaksud sudah ada yang meminang atau belum, atau dengan mencari
2
45
informasi dari tetangga terdekatnya. Apabila belum ada yang meminang
maka lamaran akan dilaksanakan.
2. Keluarga dan calon mempelai pria datang ke rumah calon mempelai
wanita untuk meminang wanita yang diinginkannya bersama saudara,
kerabat, tokoh agama dan masyarakat yang ikut mengiringi dan
meramaikan jalannya prosesi peminangan tersebut.
3. Pihak dari calon mempelai pria saat melamar harus membawa ketiga
syarat yang diwajibkan yaitu kapur sirih, daun sirih dan buah pinang,
kemudian ketiga syarat wajib itu ditaruh diatas piring dan uang
sekedarnya hanya sebagai tanda nominal uang yang akan dibawa saat
seserahan, seperti 10.000 berarti 1000.000.
4. Setelah beberapa hari diutuslah kerabat atau saudara dari pihak keluarga
calon mempelai pria untuk datang menanyakan mahar apa yang
diingikan oleh pihak calon mempelai wanita.
5. Selama proses menunggu acara pernikahan dilaksanakan biasanya calon
mempelai pria membantu segala aktivitas sehari-hari yang dilakukan
oleh keluarga calon mempelai wanitanya, seperti pergi keladang dan
lain-lain.
Tahapan-tahapan diatas merupakan adat yang biasa dilakukan oleh calon
mempelai yang akan menikah baik dalam penentuan jodoh atau pun dalam prosesi
peminangannya. Adapun penjelasan secara rinci dalam penentuan jodoh dan
prosesi peminangan menurut adat Bima tepatnya didesa Palama Kecamatan
46
diperhatikan pertama kali yaitu agama. Dimana calon mempelai baik dari pria
atau wanitanya harus seagama.
Masyarakat di sana sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
menanamkannya kepada keluarganya sejak kecil hal ini dapat dilihat dari
pengajaran ngaji yang diberikan oleh orang tua mereka sejak kecil dan ketika
sudah baligh (besar) sudah hatam Al-Qur’an. Didesa Palama juga banyak guru
ngaji sehingga banyak rumah yang dijadikan TPA untuk mengajari anak-anak
mengaji. Semua ini dilakukan dengan tujuan agar mereka memahami dan
mengetahui dasar hukum dan syariat Islam. Sehingga apabila sudah besar menjadi
manusia yang taat beribadah dan mereka memahami hak dan kewajiban mereka
dalam kehidupan berumah tangga.
Selain agama hal lain yang lebih diutamakan dan diperhatikan yaitu sekufu
atau sepadan. Apabila salah satu dari mereka (wanita dan pria) tidak sekufu baik
dari segi kekayaan, tingkat pendidikan dan jabatan, kiranya cukup sulit untuk
disatukan walaupun keduanya sudah saling menyayangi akan tetapi hambatan dari
keluarga kedua belah pihak yang membentenginya sehingga sulit untuk
melakukan pendekatan karena pihak keluarga (orang tua) apabila melihat anaknya
dekat dengan salah satu pihak (wanita atau pria) yang latar belakang keluarganya
tidak sama baik dari segi pendidikan ataupun kekayaan dan jabatannya maka
orang tua dari salah satu pihak baik dari keluarga wanita atau pun keluarga pria
kurang menyetujui hubungan anaknya (pria atau pun wanita) dan ada yang sama
sekali tidak setuju karena latar belakang keluarganya yang berbeda tersebut.3
3
47
Kemudian dalam hal sesuku atau sebangsa masyarakat didesa Palama
Kecamatan Donggo sangat menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan
antara suku. Sehingga dalam mencari dan memlih jodoh kebanyakan masyarakat
disana mengutamakan yang satu suku dengannya karena mereka menganggap
apabila mereka berkeluarga dengan yang satu suku maka rasa persaudaraan dan
persatuan antara suku mereka semakin erat dan tidak terputus karena perbedaan
suku. Apabila menikah dengan yang berbedaan suku dengan mereka, masyarakat
disana menganggap tali persaudaraannya akan jauh dan tidak erat lagi karena
tidak sesuku dengannya. Masyarakat di sana berfikir bahwa apabila ada salah satu
keluarga yang menikah dengan yang berbeda suku dan keluarga dari suku mereka
(Bima) sudah meninggal maka tali persaudaraan akan menjadi jauh. Alasan yang
lain dalam kriteria mencari pasangan hidup yang sekufu yaitu agar mudah
beradaptasi dengan keluarga antara kedua belah pihak.4
Adapun kriteria yang terakhir dalam penentuan jodoh yaitu masyarakat di
sana dalam mencari dan memilih jodoh masyarakat di sana tidak boleh mencari
jodoh yang masih ada hubungan mahram dengannya seperti saudara
kandung,saudara sesusuan, dan saudara dekat karena haram hukumnya. Akan
tetapi apabila mereka saudara jauh seperti saudara dari nenek atau dari buyut
boleh untuk dinikahi karena mereka menganggap akan lebih erat tali
persaudaraannya. Demikianlah kriteria dalam mencari dan memilih jodoh yang
biasa dilakukan oleh masyarakat didesa Palama Kecamatan Donggo Kabupaten
48
Bima tersebut. Setelah selesai dan cocok dalam prosesi pencarian sesuai kriteria
tersebut maka tahapan selanjutnya yaitu prosesi peminangan.
Dalam prosesi peminangan menurut adat Bima biasanya hal yang pertama
dilakukan yaitu mencari informasi terlebih dahulu baik dari keluarganya langsung
ataupun dari tetangga terdekatnya untuk menanyakan apakah wanita tersebut
sudah ada yang meminang atau belum dalam kata lain sudah dipinang atau dalam
ikatan pria lain. Apabila belum ada yang meminang, maka tahapan selanjutnya
yaitu pihak keluarga dan calon mempelai pria datang ke rumah keluarga wanita
dengan tujuan untuk meminang wanita yang ingin dijadikan istri oleh pria
tersebut.5
Dalam meminang keluarga dari pihak pria dan calon mempelai pria datang
bersama saudara, kerabat, dan tokoh masyarakat yang ikut meramaikan jalannya
prosesi peminangan tersebut. Dalam prosesi peminangan menurut adat Bima tidak
ada penyambutan khusus dari keluarga calon mempelai wanita terhadap keluarga
calon mempelai pria yang datang untuk meminang, hanya penyambutan biasa
yang dilakukan oleh keluarga calon mempelai wanita sebagai bentuk
penghormatan kepada tamu dan menghargainya.
Dalam meminang pihak keluarga pria tidak boleh melupakan syarat wajib
dalam peminangan menurut adat Bima. Syarat wajib tersebut berupa kapur sirih,
daun sirih, dan buah pinang. Ketiga bentuk alat ini tidak boleh dilupakan dan
harus dibawa kerumah keluarga calon mempelai wanitanya. Karena ketiga bentuk
alat ini sebagai syarat wajib dalam prosesi peminangan menurut adat Bima. Pihak
5
49
keluarga calon mempelai pria dalam meminang tidak boleh melupakan syarat
wajib yang menjadi adat Bima sejak zaman nenek moyang yaitu dengan
membawa alat-alat seperti daun sirih, buah pinang dan kapur sirih. Kemudian
ketiga alat ini dibungkus dengan sapu tangan kemudian ditaruh diatas piring dan
uang berapa saja sebagai simbol nominal uang yang akan dibawa saat seserahan.
Hal inilah yang dinamakan sodiangi. Maksud dari ketiga alat ini yaitu sebagai
bentuk atau tanda bahwa telah terjadinya peminangan. Adapun makna dari ketiga
bentuk syarat wajib ini yaitu:6
a. Kapur sirih yaitu bermakna suci dan bersih/putih bahwa suatu perkawinan
itu suci yaitu ikatan yang sah antara pria dan wanita dan dianjurkan oleh
Rasululah SAW untuk menikah.
b. Daun sirih yaitu bermakna kesuburan bahwa dalam memilih seorang
wanita harus subur peranakannya agar kelak memperoleh keturunan.
c. Buah pinang bermakna untuk mengusir roh jahat yang akan menganggu
kehidupan berumah tangga dan agar rumah tangga tersebut dapat langgeng
sampai akhir hayat.
Itulah maksud dari ketiga bentuk syarat peminangan menurut adat Bima,
masyarakat di sana menggunakan kapur sirih, daun sirih dan buah pinang karena
mereka meyakini ketiga alat ini dapat menyembuhkan orang yang kesurupan dan
mengusir mahluk halus sehingga alat ini pun digunakan sebagai syarat
peminangan agar kedua calon mempelai yang akan mengarungi bahtera rumah
6
50
tangga terhindar dari gangguan mahluk halus dan agar lancar acara pernikahan
mereka tanpa ada halangan sedikitpun.
Setelah semua persyaratan yang dibawa oleh keluarga calon mempelai pria
sudah lengkap, kemudian pihak dari keluarga calon mempelai wanita memberikan
kain nggoli (kain asli tenunan Bima) sebagai syarat diterimanya pinangan.
Apabila pinangan sudah diterima oleh keluarga dari pihak calon mempelai wanita,
maka calon mempelai pria harus membantu segala aktifitas yang dilakukan oleh
keluarga calon mempelai wanita selama proses menunggu acara pernikahan
dilaksanakan.
Setelah pinangan itu diterima oleh calon mempelai wanita dan keluarganya,
lalu selang satu minggu ada salah seorang keluarga dari calon mempelai pria atau
sering disebut penati dalam bahasa Bima bertugas untuk mewakili keluarga dari
calon mempelai pria untuk mendatangi keluarga calon mempelai wanita untuk
membicarakan mahar yang akan dibawa nanti.
Disana biasanya setelah meminang, acara pernikahan tidak langsung
dilaksanakan. Karena harus mempersiapkan mahar sesuai permintaan dari
keluarga pihak perempuan. Tetapi hal itu sesuai keinginan atau kesanggupan dari
calon mempelai pria, apabila mereka sudah menyanggupi dan membawa mahar
sesuai permintaan, maka acara pernikahan pun dapat dilaksanakan tanpa harus
menunggu berlama-lama, akan tetapi apabila calon mempelai pria belum
mempersiapkannya maka harus menunggu sampai mereka dapat memberikan
51
kegiatan yang biasa dilakukan oleh keluar