• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek syura pada masa khalifah umar bin Khattab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Praktek syura pada masa khalifah umar bin Khattab"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP SYURA DALAM PEMERINTAHAN ISLAM

PRAKTEK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

Sucilawati NIM: 104033201146

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

▸ Baca selengkapnya: adapun dewan urusan pengawalan keselamatan khalifah pada masa bani umayyah dinamakan

(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Praktik Syura Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 11 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 11 Desember 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Hendro Prasetyo, MA Joharatul Jamilah, M.Si. NIP: 19640719 199003 1 001 NIP: 19680816 199703 2 002

Anggota,

Dr. Nawiruddin, MA. Idris Thaha, M.Si.

NIP: 19720105 2001121 003 NIP: 19660805 200112 1 001

Pembimbing,

(3)

Konsep Syura dalam Islam

Praktek Syura pada Masa Umar bin Khattab

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Sucilawati NIM: 104033201146

Pembimbing

M. Zaki Mubarak, M.Si NIP: 19660805 200112 1 001

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Oktober 2009

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelsaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Konsep Syura Dalam Pemerintahan Islam: Praktek Syura Pada Masa Umar bin Khattab”

Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga proses penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku

Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly. MA selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu diantara kesibukannya dan selalu memberikan pengarahan

serta masukan yang berarti dalam penulisan karya ini.

5. Seluruh Dosen dan staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam,

penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya.

6. Teruntuk Ayah dan Ibuku, H. M Said dan Hj. Asnimah. Doa dan harapanmu

telah memberikan arti tersendiri bagi penulis dalam memberikan yang terbaik

selama dalam kehidupan ini. Kakak Penulis, Ade Herman, dan Adik penulis

Hafsah, juga patut mendapat ucapan terima kasih karena doa dan

pengertiannya. Untuk mereka semua, penulis persembahkan karya ini.

7. Kawan-kawan Fraksi Pojok: Praga, Gusti ‘ajo’ Ramli, Yudi, Ikbal, Jabar,

(6)

angkatan 2004 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas

diskusi, sukungan, serta canda dan tawanya kepada penulis selama

berlangsungnya penulisan karya ini.

8. Untuk Abangku yang selalu memotivasi penulis serta pengertiannya

sepanjang penyusunan karya ini. Semoga aku bisa menjadi seperti apa yang

kamu inginkan.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... .i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Metode Penelitian... 7

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan... 9

BAB II PROFIL UMAR BIN KHATHAB... 10

A. Riwayat Hidup Umar Bin Khathab ... 10

B. Kepribadian Umar Bin Khathab ... 15

C. Perjuangan Umar Bin Khathab Bersama Rasulullah SAW... 16

D. Pengangkatan Umar bin Khathab Sebagai Khalifah ... 20

BAB III SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM... 25

A....Definisi Syura... 25

B....Landasan Syura Dalam Al-qur’an Dan Sunnah ... 27

(8)

D....

Prinsip-prinsip Syura Dalam Islam ... 34

E....Ijmak

Sebagai Substansi Syura... 39

F....Komitme

n Syura Terhadap Syari’at ... 41

G....Syura

dan Demokrasi ... 42

BAB IV PRAKTEK SYURA PADA MASA UMAR BIN KHATHAB... 45 A....Pemiliha

n Umar bin Khathab Sebagai Khalifah... 45

B....Impleme

ntasi Nilai-nilai Syura Pada Masa Pemerintahan Umar Bin Khathab

...47

1....Persamaa

n Dan Kebebasan... 48

2...Penegaka

n Keadilan / Hukum... 51

3....Prioritas

Musyawarah Dalam Hal-hal Yang Menyangkut Orang Banyak 55

4. Pembentukan Team Suksesi Pemilihan Ustman Bin Affan… 57

BAB V PENUTUP ... 62 A....Kesimpul

(9)

B....Saran

...64

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam

keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Oleh karena itu dalam

pembinaan dan pengembangan selalu diupayakan berdasarkan kepada Al-Qur’an,

sebagai wahyu yang terakhir kepada manusia, yang mengaplikasikannya untuk

sebagian besar dicontohkan dan dioprasionalkan oleh sunnah Rasulullah.1

Konsep syura dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata musyawarah.

Pengertian musyawarah bertitik tolak dari seseorang yang meminta pendapat kepada

orang lain tentang suatu masalah. Pendapat itu hanya sekedar pertimbangan dalam

menentukan kebijakan dan mengambil keputusan. Jadi tidak ada keharusan untuk

menerima saran yang diajukan. Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah

mengenal musyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi.

Bahkan musyawarah telah dijadikan alat dalam hal memilih kepala suku mereka.

Lembaga ini disebut “Dewan (Nadi)”2

Setelah Islam datang, Al-Qur’an menjustifikasikannya dengan istilah “Syura”

dan menjadikannya sebagai bagian dari ajaran Islam dalam konteks kehidupan sosial.

Kemudian risalah Muhammad SAW mengembangkan institusi ini menjadi konsep

baru, yang mana sebelumnya hanya sebuah institusi komunal kesukuan dan

1

Amiur Nuruddin, “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, (Zulqa’dah 1428): h. 22

2

(11)

berhubungan dengan darah (kekeluargaan) menjadi sifat sosial yang berhubungan

dengan sifat keimanan.3

Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya

untuk memegang prinsip syura (bermusyawarah) dalam menjalani roda kehidupan.

Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk

mengikuti prinsip tersebut, syura juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan

Islam setelah keadilan.4

Syura tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saja. Melainkan

juga dilaksanakan pada tatanan kehidupan sehari-hari. Misalnya musyawarah yang

diterapkan dalam urusan keluaga, pekerjaan, sosial, ekonomi dan juga dalam

bermasyarakat.

Secara umum syura dapat diartikan sebagai segala yang mencakup bentuk

pemberian advice (nasihat). Oleh karena itu, gagasan saling menasehati atau

konsultasi melahirkan terbentuknya syura atau lembaga konsultatif di awal sejarah

Islam, hak pemberian suara, pemilihan perwakilan-perwakilan, pendirian parlemen,

dan pemilihan pemimpin-pemimpin republik Islam di zaman modern ini.5 Dan juga

pada prinsipnya musyawarah itu adalah merupakan sisi sosial dari doktrin tauhid. Ia

juga merupakan sarana untuk menciptakan suatu harmonisasi dalam kehidupan

sehari-hari. Dan musyawarah juga merupakan suatu bukti nyata penghormatan

terhadap akal manusia; yang bisa kita lihat suatu bukti pemuliaan Allah kepada

manusia, karena itu musyawarah dapat memberikan suatu kemaslahatan; dan dengan

musyawarah pula dapat menghasilkan suatu solusi. Dan dengan musyawarah juga

3

Masykuri Abdillah, “Syura dan Demokrasi” dalam “Pengantar” buku Artani Hasbi,

Musyawarah dan Demokrasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.ix-x. 4

M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.272.

5

(12)

semua orang akan mempunyai kesempatan yang sama tanpa membedakan, semua

orang bebas mengemukakan pendapat. Apalagi dalam hal menentukan pemimpin

umat, musyawarah mempunyai peran penting dalam hal itu.

Akan tetapi sepeninggal Rasulullah tidak terdapat petunjuk secara eksplisit

tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat, yang ada hanya petunjuk yang

sifatnya umum dalam menyelesaikan masalah dan membuat suatu kebijakan dengan

cara musyawarah. Dengan demikian, musyawarah menjadi suatu hal yang perlu

dalam menentukan seorang pemimpin umat dan kepala negara. Sehingga

kepemimpinan empat al-Khulafaur Rasyidin ditentukan melalui musyawarah.

Sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab didasarkan pada

pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakar. Dasarnya adalah “Syura”

(musyawarah), yang mengacu pada firman Allah dalam Surat Asy Syuura ayat 38:

  !"# !$%&

'( ) *+ , - . /1 23

456 /) 7 , 8 9: ;/ <

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka".

Dan pada firman-NYA yang ditujukan kepada Nabi dalam surah Al-Imran ayat 159:

3=> ? @A 3BC , DE F G HI/ 45

HIJ-K L9 ? MNO=$MP Q$?$ :)

,RM;STU BE @ C 4 B ?

 T ;) WCX

'( , M Y= Z [\] ^=_ ?

HI) D` a K ? Y! G # c8=:

1$ -d e= fK 43)

(13)

Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Quran

yang memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip syura, beberapa

hadis telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan syura, karena dengan syura

maka jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk

kemaslahatan individu maupun kelompok serta negara akan dengan mudah

didapatkan.6

Kalau kita melihat ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep syura,

maka itulah yang melatar belakangi para intelektual muslim untuk tidak pernah

melepaskan tema tersebut ke dalam karya-karyanya. Khususnya yang berkenaan

dengan kepemimpinam dan pemerintahan.

Beberapa pemikir tersebut diantaranya Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Fazlur

Rahman. Ketiga pemikir tersebut secara serentak mengatakan bahwa dalam

pemerintahan Islam, konsep syura harus ditegakkan. Sebab, apabila ada suatu

permasalahan apalagi dalam sebuah pemerintahan harus ada musyawarah untuk

mencapai sebuah kemufakatan bersama.

Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak membatasi wewenang

khalifah seperti dalam sistem parlemen menurut pengertian kita sekarang. Kalangan

pemikir yang memberikan pendapat kepada khalifah tidak pula berhak memaksakan

pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu kekuasaan penuh tetap di

tangan khalifah. Dia bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri, dan

kepada umat yang telah mengangkatnya.7

6

Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta: Robbani Press,2000), h. 54.

7

(14)

Dalam pengambilan keputusan para khalifah itu terbiasa melakukannya

melalui musyawarah, terutama dengan para sahabat senior atau Ahl al-syura, yang

kemudian oleh para ulama disebut sebagai Ahl Hall Wa Al’-Aqd, kumpulan para ahli

yang kompeten dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi.8

Syura adalah hak seluruh kaum muslimin terhadap khalifah. Karena itu,

mereka memiliki hak terhadap khalifah agar dalam banyak persoalan khalifah

merujuk kepada mereka untuk meminta pendapatnya.9 Bahkan rakyat biasapun dapat

menyampaikan pendapat-pendapatnya dihadapan para khalifah dengan bebas,

termasuk mengkoreksi pendapat khalifah yang salah. Dan kalaupun seorang khalifah

sampai melampaui hak dan melanggar ketentuan Allah dan Rasulnya, maka rakyat

atau umat lah yang akan meluruskannya.

Seorang tokoh seperti Umar tidak hanya pemberani, melainkan dia juga suka

bermusyawarah. Dan dia juga dekat dengan Rasulullah SAW. Kedekatannya tidak

hanya dengan Rasulullah saja, melainkan dengan seluruh masyarakat. Dan Rasulullah

pun mempercayai Umar untuk menjadi penasehat utamanya.

Sebagai seorang yang suka bermusyawarah, Umar bin Khattab pada akhirnya

terpilih menjadi khalifah melalui usulan dari Abu Bakar dan sahabat-sahabat senior.

Seperti diketahui adanya kekhawatiran akan terjadinya perpecahan pasca Rasulullah

SAW wafat terulang kembali. Khalifah Abu Bakar As-siddiq bermusyawarah dengan

para sahabat. Musyawarah itu sendiri dilakukan melalui forum tertutup yang dihadiri

8

Abdillah, “Syura dan Demokrasi”, h. x. 6

(15)

oleh Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan dari kaum muhajirin, serta Asid

bin Khudair dari kaum anshar.10

Mengenai anggota dewan syura yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum Muhajirin

dan kaum Quraisy dan Anshar adalah orang yang mempunyai hak yang sama untuk

dipilih menjadi khalifah. Pada masa Umar bin Khattab anggota dewan syura terdiri

dari Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa’ad bin

Waqas dan Abdurrahman bin Auf. Ada satu lagi anggota yaitu Abdullah bin Umar

memiliki hak memilih tetapi tidak memiliki hak dipilih, sebagaimana yang menjadi

keputusan Umar bin Khattab (ayah Abdullah). Dari tujuh orang tersebut

Abdurrahman bin Auf selaku ketua dewan syura melakukan dan menunjuk Ustman

bin Affan sebagai khalifah ketiga dan kemudian melakukan bai’at.11

Praktik syura yang diterapkan Umar bin Khattab pada masa pemerintahan saat

itu menjadi sebuah panutan bagi umat di masa berikutnya. Majelis Syura yang

dibentuk Umar menjadi sebuah konsep yang tidak hanya diterapkan dalam sistem

pemerintahan saat itu, melainkan juga dipraktekkan dalam kegiatan sosial

kemasyarakatan dan sistem pemerintahan di negara Islam sampai saat ini.

Praktik syura pada masa pemerintahan kekhilafahan Umar bin Khattab itu

menjadi cikal bakal pengimplementasian secara institusional konsep syura dalam

sejarah politik umat Islam di zaman modern ini. Untuk itu, melacak praktek syura

pada masa pemerintahan Umar menjadi suatu kajian yang tak kalah menarik untuk

dibahas di tengah dinamika politik yang ada.

10

Rais, Teori Politik Islam, h.133. 11

(16)

Berdasarkan dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengangkat

skiripsi dengan judul “PRAKTIK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN

KHATTAB.”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Sebagaimana pemaparan di atas, karya ilmiah ini hanya akan membatasi pada

praktik syura pada masa khalifah Umar bin Khattab. Kalaupun sudah ada beberapa

penulis yang menuangkan konsep ini pada beberapa hasil karyanya, namun pada

kajian ini penulis hanya lebih menitikberatkan kepada praktek syura pada masa Umar

bin Khattab. Karena konsep tersebut merupakan salah satu landasan dasar dalam

sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab.

Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pengangkatan Umar sebagai khalifah?

2. Seperti apa implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan Umar

bin Khattab?

C. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini menggunakan

metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan menelaah

buku-buku, majalah-majalah, beberapa artikel dan surat kabar, serta internet yang penulis

anggap relevan dengan pokok permasalahan.

Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskripsi analitis, yaitu dengan

(17)

kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan Nampak jelas rincian

jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.

Adapun metode penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan

KaryaI Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang berjudul “PRAKTIK SYURA PADA MASA

KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB” adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana cara pengangkatan Umar sebagai khalifah

2. Mengetahui implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan Umar

bin Khattab

3. Mengetahui proses pembentukan tim suksesi pemilihan Ustman bin Affan

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah memahami dari isi skripsi ini, maka penulis membagi

isi skripsi ini menjadi enam bab, tiap bab yang didalamnya terdiri dari beberapa sub

(18)

Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian, serta

sistematika penulisan, sebagai penuntun pembaca secara sistematis dalam memahami

isinya secara keseluruhan.

Bab Kedua memberikan penjelasan tentang sejarah hidup Umar bin Khathab,

dari perjuangannya bersama Rasulullah, serta tindak tanduknya dalam pemerintahan.

Bab Ketiga berisi mengenai bahasan umum tentang syura sebagai sistem

pemerintahan dalam Islam.

Bab Keempat menjelaskan mengenai Praktik Syura, dan implementasi

nilai-nilai syura pada masa Umar bin Khathab, serta pembentukan tim suksesi pemilihan

Utsman bin Affan.

Bab kelima diisi dengan penutup yang mencoba menyimpulkan dan

memberikan analisa kritis dalam pembahasan mengenai praktik syura pada masa

(19)

BAB II

PROFIL UMAR BIN KHATTAB

A. Riwayat Hidup Umar bin Khattab

Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin

Abdul Uzza bin Riba’ah Abdullah bin Karth bin Razaah bin Adi bin Ka’ab.

Sedangkan nama lengkap ayahnya adalah Khattab bin Nufail Mahzumi

Al-Quraisy, dan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mugirah bin Abdullah bin

Umar bin Makzum. Bani Makzum adalah cabang lain dari suku Quraisy dan sekutu

dari bani Umayyah di zaman Jahiliyah. Keluarga Umar termasuk golongan Quraisy

dari Bani Adi, suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi dari

orang-orang Arab.12 Dilihat dari keturunan Umar bin Khattab. Ia merupakan orang yang

terlahir dari keluarga yang terpandang dari suku Quraisy. Sehingga hal ini menjadi

dasar dalam kepemimpinannya sebagai khalifah kedua.

Umar dilahirkan di kota Makkah kota kosmopolitan di semenanjung Arab,

dan ia lahir lebih muda dari Rasulullah. Selain mempunyai budi pekerti yang luhur,

fasih dan adil, Umar dikenal sebagai seorang yang pemberani dan pribadinya yang

dikenal keras sehingga ia digelari dengan “singa padang pasir”.13 Umar bin Khattab

selalu dipercaya menjadi komandan pasukan perang, setiap kali suku Quraisy

mengumumkan dan melakukan peperangan terhadap suku-suku Arab lainnya.

Sebagai kesatria perang, khattab (ayah Umar) mengajari kepada anaknya berbagai

macam tradisi kelelakian khas semenanjung Arab, mulai dari memanah,

12

Hamdani Anwar, “Masa Al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M.Din Syamsuddin, at all, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.II (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.38

13

(20)

menggembala ternak, berburu, menunggang kuda dan hal-hal yang bisa menunjang

masa depan mereka sesuai dengan tradisi bangsa Arab.

Pada masa kecilnya Umar ikut membantu ayahnya memelihara hewan ternak,

dan ikut berdagang hingga Syiria. Walaupun Umar merupakan keturunan Bani Adi

yang sangat terpandang dikalangan orang-orang Arab, akan tetapi ia bukan dari

lingkungan keluarga kaya raya. Lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang

sangat menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan.14 Sehingga Umar sudah terbiasa

sejak kecil bekerja keras seperti lazimnya orang-orang Arab dan ia didukung oleh

ilmu pengetahuan dalam lingkungan keluarga Umar bin Khattab.

Pada waktu Umar masih muda ia sangat pandai menulis dan membaca syair,

disamping itu ia juga banyak menghafal syair-syair Arab terkenal. Riwayat

termasyhur menyatakan bahwa Umar di lahirkan tiga belas tahun setelah kelahiran

Rasulullah, atau sekitar tahun 586 M, akan tetapi tidak banyak yang tahu kapan

pastinya Umar di lahirkan.

Ketika Umar beranjak dewasa, Umar mulai menekuni perniagaan. Selain

mendapat pengalaman berniaga, Umar juga mendapatkan pengalaman yang luar

biasa. Umar sering pergi berdagang keluar semenanjung Arab, sehingga wawasan dan

kecakapan Umar semakin terbuka luas, Umar juga mampu menguasai beberapa

bahasa. Umar juga sangat dihormati dan disegani dikalangan orang Arab. Umar

diangkat oleh suku Quraisy sebagai juru diplomasi, utusan khusus, duta besar mereka,

ketika Bani Quraisy berseteru dengan suku-suku Arab lainnya.

Peristiwa Umar bin Khattab masuk Islam terjadi pada suatu hari dibulan

dzulhijjah tahun ke enam kenabian, Umar bin Khattab tercatat sebagai orang yang ke

14

(21)

empat puluh memeluk Islam. Pada waktu itu umat Islam masih sangat sedikit

sehingga dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mereka belum berani

menampakkan keislamannya. Umar adalah orang pertama yang berani berdakwah dan

mengumumkan keislamannya secara terang-terangan.

Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah dan

istrinya Zainab binti Maz’nun. Selain itu, keIslaman Umar membuka jalan bagi

tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sehingga pada saat itu orang Arab banyak

yang masuk Islam dan dalam waktu yang sangat singkat pengikut Islam bertambah

dengan pesat.15

Sebelumnya, Umar dikenal sebagai salah seorang tokoh Arab Quraisy yang

paling gigih menentang seruan Nabi SAW. Ketika disampaikan kepadanya bahwa

adiknya, Fatimah, beserta suaminya telah memeluk islam, Umar mendadak menjadi

geram dan sangat murka. Tanpa menunggu lebih lama ia segera pergi kerumah

adiknya. Sesampainya disana, ia mendapati adik, ipar, dan beberapa orang muslim

sedang mempelajari Al-Qur’an. Begitu melihat Umar, mereka semua lalu terdiam

membisu dan tidak berani bergerak sedikitpun. Dengan emosi yang meluap-luap

Umar menampar adiknya. Suaminya pun tak terelakan dari pukulan Umar. Dipuncak

kemarahanya, mata Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat

Al-Qur’an. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan hatinya menjadi ciut. Dengan

tangan bergetar dipungutnya lembaran itu, lalu dibacanya ayat-ayat Al-Qur’an yang

tertera dalam lembaran itu adalah beberapa ayat dari permulaan surah Taha. Setelah

membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap

dihatinya. Timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasulullah SAW. Umar pun

15

(22)

bergegas meninggalkan rumah adiknya menuju rumah Al-Arqam dimana Nabi SAW

sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi.16

Al-Faruq (sang pembeda). Demikian julukan yang diberikan Rasulullah untuk

Umar, karena ia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang batil, yang baik

dan yang buruk. Namun, sebagian kalangan mengartikan Al-faruq sebagai penjaga

Rasulullah dan pencerai berai barisan kaum kafir, musuh yang senantiasa

membangkang dan melawan dakwah Rasulullah.17 Pada masa awal Umar memeluk

Islam Umar bertanya kepada Rasulullah kenapa kita sembunyi-sembunyi dalam

berdakwah, dan menyampaikan kepada Rasulullah sudah saatnya umat Islam

berdakwah secara terang-terangan. Kemudian Rasulullah keluar untuk berdakwah

dengan didampingi dua sosok yang ditakuti dan disegani suku Quraisy, yaitu Umar

dan Hamzah, sehingga ketika mereka memasuki ka’bah tidak seorangpun dari

orang-orang suku Quraisy yang berani mengganggu mereka, karena itulah Umar bin

Khattab dipanggil dengan sebutan Al-Faruq.

Umar juga di juluki Abu Hafsh (ayah Hafshah), perempuan mulia yang

kemudian menjadi istri Rasulullah. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah

merupakan bukti cinta kasih Rasul kepada seorang mukminah yang telah menjanda

karena di tinggal mati suaminya, Khunais ibn Hudzafah al-Sahami, yang berjihad di

jalan Allah dan gugur pada perang Badar.18 Ketika itu Umar sangat sedih. Karena di

usia yang masih muda putrinya sudah menjadi janda. Ketika itu Umar berniat

menikahkan puterinya (Hafshah) dengan seorang muslim yang saleh yang bertujuan

agar hatinya kembali tenang setelah ditinggalkan oleh suaminya yang telah gugur

pada perang Badar. Pada waktu itu, Umar pun pergi kerumah Abu Bakar dan

16

Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi islam, vol v (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1994), h. 125

17

Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 15 18

(23)

meminta kesediannya untuk menikahi putrinya (Hafshah). Abu Bakar pun diam, dan

tidak menjawab sedikitpun. Setelah itu, Umar pun menemui Utsman bin Affan

dengan permintaan yang sama. Akan tetapi Utsman pun menolak permintaan Umar

tersebut. Karena ketika itu Utsman masih dalam suasana berkabung karena istrinya

yang bernama Ruqayah bin Muhammad baru saja meninggal dunia. Umar pun

kecewa atas penolakan Utsman tersebut.

Pada akhirnya Umar pun menemui Rasulullah, dan mengadukan sikap kedua

sahabatnya itu kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah mendengar penuturan Umar,

akhirnya Rasulullah pun mengatakan bahwa “Hafshah akan menikah dengan seorang

laki-laki yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar”. Umar pun langsung

mengerti bahwa Nabi sendirilah yang akan menikahi putrinya itu. Disitulah terjadi

pernikahan antara Rasulullah dan putrinya yaitu (Hafshah).

Umar juga dicatat sebagai orang pertama yang digelari Amir al-Mu’minin

(pemimpin orang yang beriman).19 Hal ini berawal dari seorang utusan yang berasal

dari Irak, utusan tersebut datang menghadap Umar bin Khattab untuk memberitakan

keadaan wilayah pemerintahan di Irak. Ketika utusan itu tiba di Madinah ia bertemu

dengan Amr bin Ash dan bertanya tentang khalifah Umar. Utusan itu memanggil

Umar dengan sebutan Amir Al Mukminin, karena Umar adalah pemimpin (amir)

sementara kita adalah orang-orang beriman (mukmin). Sejak itulah gelar Amirul

mukminin melekat pada diri Umar dan para khalifah sesudahnya.

B. Kepribadian Umar Bin Khattab

Sifat-sifat terpenting yang membentuk “sifat keprajuritan” dalam sifatnya

yang tinggi adalah keberanian, ketegasan, kekasaran, ketenangan, teratur, taat,

19

(24)

menghargai kewajiban dan iman kepada kebenaran dan suka melaksanakan dalam

batas-batas tanggung jawab.20

Karisma Umar menggetarkan, tetapi kepribadiannya meneduhkan.

Keridhoannya adalah kemuliaan. Amarahnya menjelma hikmah.21 Umar sangat muak

dengan ketidak adilan, umar selalu menangis ketika melihat orang-orang kecil yang

tertindas.

Dalam menempuh dunianya dia selama hidup sebagai mujahid (pejuang)

ditengah-tengah medan. Sebab itu, dia mengutamakan kesederhanaan dan merasa

puas dengan kebutuhan seminimal mungkin yang tidak mungkin diabaikan.22

Umar menyuruh prajuritnya untuk belajar memanah, berenang, menunggang

kuda, bergulat, dan berolahraga supaya prajuritnya menjadi terlatih dan berkembang

baik badannya serta akhlaqnya. Tabi’at yang menjadi fitrahnya adalah dia menyukai

apa yang baik bagi prajurit mengenai makanan dan pakaiannya dan membenci apa

yang tidak dipandang baik pada prajurit.23

Untuk kepentingan pertahanan, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat

misalnya, Umar mendirikan lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara

terdaftar. Aspek yang tak lepas dari diri Umar bin Khattab adalah masalah ijtihad

berkaitan dengan berbagai persoalan hidup dan perkembangan zaman yang tak ada

nashnya baik dalam Al-Qur’an maupun Al-hadis. Beberapa ijtihad yang di lakukan

Umar diantaranya adalah soal penghimpunan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ketika

20

Abbas Mahmoud Al Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 86

21

Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 11

22

Al-akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 101

23

(25)

itu kekhalifahan di pegang sahabat Abu Bakar as-Shiddiq, sedangkan Umar adalah

salah satu pembantunya di pemerintahan.24

Allah juga mengaruniai Umar wibawa besar yang menggetarkan hati dan

menggoyahkan nyali orang yang berhadapan dengannya. Ia dapat meruntuhkan hati

orang-orang yang sombong. Namun, wibawa Umar yang agung tidak membuatnya

berbuat zalim terhadap orang lain, apalagi terhadap orang yang lemah. Dan sumber

wibawa Umar yaitu dari ketakwaan dan ketakutannya kepada Allah. Selain tegas dan

berwibawa, Umar juga mempunyai sifat sabar. Kemarahannya tidak pernah

terpancing oleh kezaliman.25

C. Perjuangan Umar bin Khattab Bersama Rasulullah SAW

Setelah masuk Islam, Umar mempertaruhkan seluruh sisa hidupnya untuk

membela dakwah Rasul. Ia menjadi sahabat dekat Rasulullah, orang terpercaya

sekaligus penasehat utamanya. Ketika umat Islam hendak hijrah dari Makkah ke

Yatsrib (Madinah) karena tekanan dan ancaman orang Quraisy yang semakin lama

semakin kuat, akhirnya Nabi pun menyerukan para sahabatnya agar berangkat

diam-diam dan berpencar karena khawatir dihadang musuh.26

Tapi justru Umar sebaliknya, ia mengumumkan rencananya untuk berangkat

hijrah kepada orang-orang Quraisy. Setelah sampai di kota tujuan, Rasulullah

menganggap saudara kepada orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Ketika itu,

Madinah menjadi periode baru sejarah Islam dan kehidupan umat Muhammad.

24

Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi, (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 41-42

25

Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 178-179

26

(26)

Dua tahun setelah Nabi dan umat Islam menetap di Madinah (2 H/624 M),

mereka dihadapkan pada sebuah perang, yaitu Badr al-Kubra, Badar yang besar.

Awalnya, Abu Sufyan (kepala klan Quraisy) bersama sekelompok dagangnya baru

saja kembali dari Damaskus dengan membawa barang niaga. Ketika itu ditengah

perjalanan, Abu Sufyan mendengar kabar bahwa pengikut Muhammad akan

menyerang dan merampok kafilah dagang Abu Sufyan. Ketika Abu Sufyan setiba di

Makkah ia langsung menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy.

Tidak lama setelah kabar itu menyebar, orang-orang Makkah pun langsung

mengangkat senjata. Dan Abu Sufyan pun menjadi panglima pasukan Makkah yang

jumlahnya hampir seribu orang. Dan segera bergerak menuju Madinah untuk

melawan Muhammad dan para pengikutnya.

Ketika itu Rasulullah sudah mendengar bahwa pasukan Quraisy sudah

bergerak dan akan menyerang umat Islam. Rasulullah pun bergegas menyiapkan

pasukan. Akan tetapi, sebagian dari mereka nampak ragu mengikuti perlawanan

tersebut. Karena mereka mengetahui bahwa jumlah pasukan Makkah jauh lebih

banyak daripada mereka. Tetapi kenyataanya, lewat perang Badar tersebut umat Islam

memperoleh kemenangan pertamanya sekaligus menjadi tonggak eksistensi dakwah

Islam dan bukti kekuatan umatnya setelah kurang lebih tiga belas tahun ditindas oleh

kaum kafir Quraisy.

Ternyata orang Quraisy tidak bisa menerima kekalahannya diperang Badar

tersebut. Akhirnya Abu Sufyanpun kembali mengumpulkan para pembesar Quraisy

dan beberapa klan Arab. Abu Sufyanpun memutuskan untuk perang. Ia pun

mengatakan bahwa pasukan Muhammad harus dihancurkan. Rasulullah pun langsung

mengatur strategi setelah mengetahui bahwa pasukan Quraisy akan menyerang

(27)

Setibanya mereka di gunung Uhud, Rasulullah pun segera membagi pasukan

menjadi dua: satu di tempatkan dikaki gunung Uhud, dan yang satu lagi di bukit

gunung Ainain. Tak lama setelah pasukan Muhammad selesai shalat shubuh pasukan

Quraisy mulai menyerang, pasukan muslimpun menyambut serangan tersebut dengan

gemuruh tahlil dan takbir. Ditengah perang tersebut tersiar kabar bahwa Muhammad

telah gugur. Dan perlahan-lahan perang itupun reda, karena Abu Sufyan merasa yakin

bahwa Muhammad telah wafat.

Pada paruh tahun ke-4 hijriyah kerusuhan merebak di Madinah. Bani Nadhir,

salah satu klan Yahudi-Arab Madinah, mengingkari ikrar damai sebagaimana

disepakati dalam traktat perjanjian yang ditandatangani bersama kaum muslain. Bani

Nadhir bahkan berencana membunuh Muhammad. Sebelumnya, Bani Qainuqa, salah

satu klan Yahudi lainnya, juga melanggar janji damai itu dan memberontak kepada

Rasulullah dan umat Islam. Umat Islampun mengusir mereka dari Madinah. Bani

Qainuqa lari ke Suriah. Sebagian besar membentuk komunitas Yahudi di wilayah

Khaibar.

Dalam perang parit Salman al-Farisi, seorang kesatria perang asal persia,

mengusulkan untuk menggali parit (khandak) itu bertujuan untuk membendung

serangan sekaligus menjadi benteng pertahanan. Dari balik parit, supaya pasukan

muslim dapat dengan mudah membakar parit, menjebak, dan memanah musuh.

Akhirnya Rasulullah menyetujui strategi yang diusulkan Salman al-Farisi.

Perjanjian Hudaibiyah pun terjadi pada tahun ke-6 Hijriyah ketika Rasulullah

bersama kaum muslimin pergi ke kota Makkah. Tetapi bukan untuk perang,

melainkan untuk umrah. Ditengah perjalanan, tepatnya di Hudaibiyah mereka

dihadang oleh beberapa utusan Quraisy. Mereka mengatakan bahwa penduduk

(28)

Akhirnya, Rasulullah mengajak orang-orang Quraisy berunding. Rasulullah mengutus

Utsman untuk menghadap para pembesar Makkah, karena banyak adiantara mereka

saudara dekat Utsman. Disitulah terjadinya traktat Hudaibiyah.

Pada suatu ketika Rasulullah dan para pasukannya memasuki kota Makkah

dengan penuh wibawa. Tanpa perlawanan dan pertumpahan darah. Perlahan-lahan

beliau memesuki pelataran Ka’bah, bertawaf, mencium hajar aswad, bersembahyang

di Ka’bah, dan menghancurkan ratusan patung dewa-dewa Arab disekitar tempat

ibadah itu. Tidak lebih dari dua tahun kemudian, sejumlah utusan klan tiba dari

seluruh penjuru semenanjung Arab untuk menyatakan bergabung dengan

Muhammad. Pada tahun itu juga (10 H/632 M) Rasulullah melaksanakan ibadah haji

yang terakhir.

Pada suatu ketika kabung duka telah menyelimuti seluruh semenanjung.

Bahwa, Muhammad sang utusan Allah telah meninggal dunia. Hingga akhir hayat

Rasulullah, Umar berada disamping Rasulullah. Ketika kabar meninggalnya

Rasulullah sampai kepada Umar, ia hanya mematung dan sangat terpukul atas

kepergian Rasulullah.

D. Pengangkatan Umar Sebagai Khalifah

Kepala Negara Islam dipilih dari individu umat Islam dan umatlah pemilik

hak dalam memilih khalifahnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, cara apa

yang mungkin dapat diikuti umat untuk memilih penguasanya? Pertanyaan ini

mengantarkan pada kenyataan bahwa Islam tidak tergantung pada cara tertentu untuk

memilih kepala Negara dan tidak mengharuskan umat mengikuti cara tertentu. Umat

(29)

mendasar adalah adil dan dengan musyawarah, tidak dipersoalkan setelah itu

mengenai teknik dan cara pemilihannya.27

Bisa kita lihat sewaktu wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat

unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki

otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan

bersumberkan wahyu Illahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena

menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah Nabi dan utusan tuhan yang

terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa

diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat.

Dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara

menentukan pemimpin umat atau kepala Negara sepeninggal beliau nanti, selain

petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam

masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah tanpa

adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan.

Itulah sebab utamanya mengapa pada masa empat Al-Khulafa al-Rasyidin itu di

tentukan melalui musyawarah, walaupun pola musyawarah tersebut dilalui dengan

beraneka ragam cara.28

Untuk selanjutnya yang akan kita bahas yaitu bagaimana cara pengangkatan

Umar bin Khattab sebagai khalifah? Ketika itu Abu Bakar merasa bahwa ajalnya

telah dekat dan mau tidak mau Abu Bakar harus memilih pengganti dirinya sebagai

khalifah. Setelah musyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat atau orang-orang

yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ‘aqdi) akhirnya Abu

Bakar memilih Umar bin Khattab sebagai penggganti dirinya menjadi khalifah.

27

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam. Penerjemah, Musthalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h.152.

28

(30)

Ketika itu sebagian sahabat menemui Abu Bakar dan menentang pencalonan Umar

karena mereka khawatir atas sifat keras dan tegasnya. Akhirnya setelah para sahabat

itu bermusyawarah dengan Abu Bakar mereka pun menyepakati pencalonan Umar

untuk menjadi penerus khalifah.

Dalam masalah ini At-Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon

rumahnya dan berbicara dengan orang banyak yang berkerumun di bawah : “Apakah

kalian menerima orang yang akan saya calonkan sebagai pengganti saya ?” tanya

Abu Bakar. “Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam

menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti

saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan saya”. Mereka semua menjawab,

Kami telah mendengar khalifah dan kami semua akan mentaati tuan”.

Kemudian Abu Bakar memanggil Utsman dan membacakan naskah yang

berisi penunjukkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Utsman bin Affan

sangat setuju dengan penunjukkan Umar sebagai khalifah, karena ia seorang yang

tegas dan bijaksana. Abu Bakar meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus

624 M. Dalam usia 63 tahun. Shalat jenazah dipimpin oleh Umar bin Khattab, dan

dimakamkan di rumah aisyah di samping makam Nabi Muhammad SAW. Masa

kekhalifahannya lebih kurang 2 tahun 3 bulan 11 hari.

Dengan meninggalnya Abu Bakar, maka pemerintahan dipegang oleh Umar

bin Khattab. Karena ia telah ditunjuk oleh Abu Bakar dan disetujui oleh seluruh

masyarakat Islam secara aklamasi, dengan tidak meninggalkan azas demokrasi Islam,

yaitu musyawarah untuk menentukan siapa pengganti Abu Bakar sebagai khalifah

rasyidah.

Akhirnya Umar diangkat sebagai pengganti Abu Bakar, dimana kebijaksanaan

(31)

sebagai khalifah. Umar bin Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah rasulillah

(pengganti dari pengganti Rasul Muhammad) untuk memimpin masyarakat Islam

sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan pendahulunya. Ia juga mendapat gelar

Amir al Mukminin (komandan orang-orang mukmin) karena berkaitan dengan

perannya dimana saat itu dihadapkan pada penaklukan-penaklukan yang dilakukan

sebagai komando pasukan Islam.29

Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar dengan sejumlah prestasi yang

gemilang, yang diantaranya usaha-usaha yang telah dicapai Abu Bakar ternyata

dilanjutkan oleh Umar. Ketika itu di zamannya, gelombang pembebasan pertama

terjadi. Dan ketika itu kota Damaskus jatuh pada tahun 635 M, dan setahun kemudian

setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran yarmuk, dan daerah Suriah pun jatuh

ke tangan tentara Islam. Dan masih banyak lagi prestasi Umar untuk

memperjuangkan Islam. Tidak hanya itu saja prestasi Umar. Tetapi Umar juga berjasa

dalam menyusun dewan-dewan dalam pemerintahan, membuat mata uang emas,

mendirikan baitul mal, mengangkat hakim-hakim, membentuk pasukan tentara untuk

menjaga tapal batas, menciptakan tahun hijrah, mengatur perjalanan pos, dan masih

banyak lagi prestasi Umar setelah diangkat menjadi khalifah.

Kehidupan Umar terkesan sangat sederhana. Setelah menjadi khalifah pun

kesederhanaan itu selalu tetap terjaga. Dan ia juga seorang khalifah yang selalu

memakai pakaian lusuh, memakai sepatu yang dijahit sendiri, dan ia pun rela

memikul sendiri makanan untuk diberikan kepada seorang janda. Umar pun hidup

tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Rumah, pakaian, makanan, dsb itu

sama seperti apa yang orang-orang kebanyakan.

29

(32)

Dalam memimpin khalifah pun terkenal merakyat. Kalaupun Umar sudah

menjadi seorang pemimpin, dalam menjalankan tugas Umar tidak pernah menyuruh

bawahannya untuk melihat keadaan rakyatnya. Akan tetapi, ia sering melakukan

inspeksi langsung ke daerah-daerah perkampungan untuk melihat dari dekat rakyat

yang dipimpinnya. Umar juga sangat tegas, adil, dan tidak pernah melihat pandang

bulu untuk menegakkan hukum.

Setelah Umar menjabat sebagai khalifah ternyata Umar telah membuat

kebijakan sesuai dengan ijtihadnya dalam pengambilan suatu keputusan. Apabila

sahabat dapat mencapai suatu kesepakatan dalam sidang majelis terhadap suatu

permasalahan, maka khalifah Umar di sini menetapkan keputusan itu berdasarkan

suara bulat sebagai ijma’. Akan tetapi persoalan timbul bila perbedaan pendapat

terjadi di dalam sidang majelis permusyawaratan. Karena dianggap setiap keputusan

(33)

BAB III

SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

A. Definisi Syura

Secara umum dapat dikatakan bahwa, kata Syura memiliki banyak pengertian

dan alangkah baiknya kita mengetahui dari mana asal kata Syura itu dibentuk. Kata

Syura berasal dari akar kata sya-wa-ra, syawir berarti: berkonsultasi, menasehati,

memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Ada pula yang mengartikan Syura dengan arti

menjelaskan, menyatakan, mengajukan, dan mengambil sesuatu. Kata Syura yang

berasal dari bahasa Arab ini, kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi

kata musyawarah yang memiliki arti mengumpulkan dan menyimpulkan pendapat

berdasarkan pandangan antar kelompok.30

Musyawarah yang terambil dari akar kata syawara menurut Quraish Shihab

bermakna ‘mengeluarkan madu dari sarang lebah’. Sejalan dengan makna dasarnya

yaitu madu untuk obat. Madu yang dihasilkan oleh lebah. Jadi, musyawarah

seharusnya bagaikan lebah yaitu makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya

mengagumkan, di manapun hinggap tidak pernah merusak, tak mengganggu kecuali

diganggu.31

Dengan demikian, secara tidak langsung, Syura berarti memilih ide-ide

terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang sekiranya memiliki argumentasi,

pengalaman, kecanggihan pendapat, serta syarat lain yang sekiranya bisa memberikan

pendapat yang tepat dan keputusan yang benar.

30

Khamami Zada dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam (Ciputat: LSIP, 2004), h. 25-26.

31

(34)

Fazlur Rahman juga mengatakan bahwa kata Syura berasal dari kata kerja

syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan

mengambil sesuatu. Syawara adalah tasyawara bermakna berunding, saling bertukar

pendapat; syawir yang artinya meminta pendapat atau musyawarah.32

Menurut Imam Syahid Hasan Al-Banna, Syura adalah suatu proses dalam

mencari sebuah keputusan dan kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak

dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu

diserahkan pada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam

rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.33

Syura atau musyawarah adalah menjelaskan perkara yang ada, menyatakan

atau mengajukan pendapat dan akhirnya akan diambil satu keputusan. Dengan kata

lain juga bisa dikatakan bahwa Syura atau musyawarah itu adalah bertukar pendapat,

yang akhirnya menghasilkan suatu ide yang menghasilkan satu keputusan bersama

lewat musyawarah.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa, musyawarah adalah salah satu kaidah syarak

dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat

sebagai kepala Negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama

(ulama) haruslah ia dipecat.34 Dan Ibn al-Arabi pun mengatakan, bahwa musyawarah

adalah pertemuan guna membahas permasalahan; masing-masing mereka saling

bermusyawarah dan mengemukakan pendapat.35

32

M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 124.

33

Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al-Banna.Penerjemah, Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 262.

34

Abdul Aziz Dahlan, dkk, (ed) Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 18.

35

(35)

Syura, atau pengambilan pendapat dalam Islam, adalah salah satu konsepsi

politik di antara konsepsi-konsepsi yang akarnya menancap kuat ditengah manyarakat

Islam, dan menjadi keistimewaan sistem pemerintahan Islam dari sistem-sistem

pemerintahan selain Islam. Syura telah menjaga eksistensinya dalam kehidupan

politik Islam, untuk mengokohkan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya,

dalam bentuk kekontinuan merujuknya penguasa kepada rakyat untuk melahirkan

keputusan-keputusan politik yang menjadi kepentingan masyarakat luas, yang

berangkat dari kesadaran, kematangan dan pemahaman, dan untuk menjadikan

kekuasaan agung atas manusia dekat dengan pemikiran kaidah-kaidah umum bagi

umat Islam.36

Secara garis besar pengertian Syura menurut penulis berdasarkan penjelasan

sebelumnya adalah sebuah proses pengambilan keputusan atau perumusan dalam

menyelesaikan masalah atau membentuk sebuah peraturan atau hukum yang

berlandaskan pengumpulan ide-ide atau gagasan dari berbagai pihak yang saling

berkaitan yang didasari tuntunan atau kaidah yang terdapat pada Al-Qur’an dan

As-Sunnah, demi tercapainya sebuah kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama.

B. Landasan Syura Dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Sejak masa awal dakwah Islam, ketika kaum Muslim di Makkah menjadi

pribadi-pribadi yang tertindas dan selalu dalam kejaran musuh, al-Qur’an telah

menumbuhkan dari mereka suatu masyarakat yang memiliki rasa kesetiakawanan

yang sempurna. Pribadi-pribadi mereka disatukan dengan ikatan persaudaraan dan

solidaritas, yaitu iman kepada Allah dan menyembahNya dengan mendirikan shalat

dan gotong royong dengan tukar menukar pendapat dan menetapi Syura.

36

(36)

Dengan demikian, Syura dijadikan salah satu dari elemen-elemen

kesetiakawanan sosial. Disamping itu, Allah telah memuliakan Syura dengan

menjadikannya sebagai nama dari salah satu surat dalam Al-Qur’an.37

Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi petunjuk dan bimbingan etik

serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun Al-Qur’an tidak pernah

mengemukakan solusi setiap permasalahan dengan jelas dan hanya berbentuk isyarat,

namun isyarat mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahanlah yang memiliki

dasar fundamental dalam Al-Qur’an. Isyarat tersebut dapat dilihat dari terdapatnya

aturan yang mewajibkan untuk bermusyawarah didalam Al-Qur’an. Karena

musyawarah merupakan salah satu nilai etika politik yang konstitusional dalam

kehidupan bernegara Islam dan termasuk kedalam pembahasan Negara, maka

pembahasan tentang prinsip Syura pun terdapat dalam Al-Qur’an.38

Ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang berisi anjuran untuk melakukan

musyawarah dalam mencapai sebuah keputusan. Walaupun ketiga ayat tersebut terdiri

dari latar belakang yang berbeda.

Ayat pertama yaitu pada surah Asy-Syura ayat 38 yang berbunyi:

!"# !$%&

'(

)

*+ ,

-.

/1

23

456 /)

7 ,

8 9:

;/ <

ghj

Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan

mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat

37

Taufiq Muhammad as-Syawi, Syura Bukan Demokrasi. Penerjemah Djamaluddin Z.s, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 65-66

38

(37)

antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami

berikan kepada mereka.39

Ayat pertama ini menjelaskan sifat-sifat orang mukmin yaitu mereka

menerima (mematuhi) perintah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,

dan dalam menyelesaikan urusan mereka diselesaikan dengan cara musyawarah.

Ayat kedua yaitu pada surah Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi:

3=> ?

@A

3BC ,

DE F

G

HI/

45

HIJ-K

L9 ?

MNO=$MP

Q$?$ :)

,RM;STU

BE

@

C

4

B

?

T

;)

WCX

'( ,

M

Y=

Z [\]

^=_ ?

HI) D`

a K

?

Y!

G

#

c8=:

1$

-d

e=

fK

43)

gk=Rj

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut

terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah

mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,

mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka

dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka

bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang bertawakkal kepada-Nya.40

Ayat kedua ini menjelaskan bahwa menjadikan urusan di antara kaum muslim

diselesaikan dengan cara musyawarah. Dan ayat ketiga yaitu dalam surah Al-Baqarah

ayat 233 yang berbunyi:

39

Surah As-Syura, Ayat 38 40

(38)

_

4 l

=

l

)

DE'mk

<

2E'(

n6

j e

C

j o!$

MK

BE

3

p

,

8

cqQr <

A

Hks

#

Y!

p -

AS?t

u

2E45' )7,

2E

'

w

K

m

'AS?t

=

#

xU

4

y$ *'

zs); S

{U=:

5

'

#

xU

s,

xR'

|"

=

l

(

=

xU

}p

-u

C

~!

=

#

Y!

•,

)

a€

@

l ^

*

8=_ ?

p

,

6U

H& ?

E

•‚

ƒ

T

F

,

„ 

xM ?

"J …

3

†!$

*

8=:

‡p ,

8

ˆ

'mk† ‰

w!a

-K

n6

xM ?

/ …

-*)O!$ .

^=:

\B3y$

c

q-r)O 

-m

N1'AS?t

=

*

9:c

ˆ 43!$B

c8

";

*

8 '$ ƒ' 

}† m&

gŠhhj

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,

Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah

memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang

tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah

seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah

karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya

ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin

anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila

kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu

kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu

kerjakan.41

41

(39)

Ayat ketiga ini menjelaskan bahwa masa penyusuan dua tahun, apabila suami

istri ingin menyapih anak mereka atas kerelaan dan musyawarah, dengan maksud

kemaslahatan anak, mereka sepakat menghentikan susuan atau menyapihnya sebelum

sampai masa dua tahun, hal ini boleh saja dilakukan.

Bagi umat Islam As-Sunnah atau hadis merupakan landasan yang kedua

setelah Al-Qur’an. Maksud sunnah di sini yaitu sesuatu yang bersumber dari

Rasulullah SAW baik itu berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Sesungguhnya orang berpegang pada sirah Rasul SAW, akan menjumpai bahwa

beliau melaksanakan musyawarah disebagian besar urusan kaum muslim, dalam

banyak kondisi beliau meminta kepada kaum muslim untuk memberikan pendapat

mereka.

Dari Abi Hurairah ra, ia berkata:

“ Saya tidak melihat seorangpun yang lebih banyak musyawarahnya daripada

Rasul SAW terhadap para sahabatnya”42

Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan ditunjuki

kepada perkara yang paling benar”.43

Rasulpun pernah mengatakan kembali:

!ﻥ

#

$ %

!& '

&()

“Apabila salah seorang kamu meminta nasehat kepada saudaranya, maka

hendaklah ia memberikan petunjuk kepadanya”44

42

Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, h. 207 43

(40)

Hadits di atas menerangkan dan menyerukan betapa pentingnya

bermusyawarah atau menolong seseorang dalam menyelesaikan berbagai macam

persoalan, baik tentang persoalan dunia maupun persoalan akhirat. Karena dengan

cara bermusyawarah dapat memudahkan seseorang untuk keluar dari permasalahan

yang terdapat pada dirinya.

C. Karakteristik Syura Dalam Islam

Syura merupakan konsep politik yang tidak mengharuskan pengambilan

keputusan terikat dengannya. Pendapat majelis Syura pun sekedar bersifat konsultatif,

karenanya menjadi relatif dan tidak mengikat sesuai keinginan penguasa. Kewajiban

seorang penguasa hanya dalam hal melaksanakan musyawarah, bukan mengambil

pendapat mereka. Tanggung jawab terhadap keputusan yang diambilpun dipikul

penguasa untuk melaksanakan hasil keputusan. Selain itu, Syura tidak mengenal

perolehan pendapat mayoritas, seperti dikenal dalam konsep demokrasi, dan tidak

memberi batas mengenai kuantitas. Syura juga tidak mengenal rumusan yang baku.

Adakalanya pemimpin (penguasa) mengambil sebagian pendapat majelis Syura,

keseluruhan atau satu pendapat dari sekian banyak pendapat yang diketengahkan

majelis Syura.45

Tetapi karakteristik ketetapan yang berlaku setelah jelas bagi mayoritas bahwa

dialah yang paling dekat kepada kebenaran dan keadilan setelah diadakan dialog dan

tukar pendapat bebas adalah bahwa ketetapan itu hanya merupakan ketetapan yang

nisbi, tidak qaht’i. Artinya, pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dan

44

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Ibnu Majah juz II, Ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.1233

45

(41)

didiskusikan tidak dihilangkan secara total, bahkan ada kemungkinan diangkat

kembali pada kesempatan lain, tempat lain, masyarakat lain, ataupun karena ada

kondisi-kondisi yang berlainan. Ini merupakan perkara yang dibolehkan dalam

Islam.46

Ciri-ciri atau karakter Syura sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa

Syura dalam Islam merupakan sebuah bentuk pengambilan keputusan yang bersifat

tidak mengikat, tidak di dasari pada sebuah keputusan yang diambil berdasarkan

suara mayoritas dan tidak terbatas pada kuantitas saja serta Syura tidak mengenal

rumusan baku, sehingga keputusan yang diambil bisa diterima oleh semua pihak yang

bermusyawarah. Akan tetapi keputusan yang diambil dalam Syura adalah sebuah

ketetapan yang paling mendekati kebenaran, walaupun tidak menutup kemungkinan

ide atau gagasan yang tidak menjadi ketetapan pada Syura di lain waktu bisa

digunakan, tergantung pada situasi dan kondisi, karena dalam hukum Islam hal itu

dibolehkan.

D. Prinsip-prinsip Syura Dalam Pemerintahan

Musyawarah akan membuahkan hasil yang diharapkan secara optimal, valid

dan dapat dipertanggung jawabkan apabila setiap peserta menjunjung tinggi,

menghormati, dan menjaga prinsip-prinsip dasar dalam bermusyawarah.

Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan

keadilan.47

Prinsip yang pertama yang akan kita jelaskan yaitu prinsip persamaan dalam

musyawarah. Dalam kitab suci Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip bahwa

Islam tidak membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang ataupun

46

Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 107-108. 47

(42)

hukum, dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Apakah itu pemimpin, para

penguasa, ataupun rakyat jelata sekalipun, tetap mempunyai kedudukan yang sama

dimuka hukum.

Al-Qur’an tidak mentolerir perbedaan antara mukmin yang satu dan yang

lainnya. Laki-laki atau perempuan. Selaras dengan pandangan tersebut, Al-Qur’an

menetapkan prinsip Syura untuk memandu proses pengambilan keputusan

masyarakat.48

Ada satu contoh dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Setiap kabilah

membanggakan ashabiyyat (kepanatikan kepada keluarga, suku, dan golongan) dan

nasab (asal keturunan) sehingga mereka terjerumus kedalam pertentangan, kekacauan

politik, dan sosial. Masyarakat mereka yang berdasarkan ashabiyyat itu tidak

mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah

lainnya tidak saling melindungi. Satu kabilah adalah musuh kabilah yang lain yang

harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari

kabilah lain. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada kepedulian

sosial terhadap kabilah lain.49

Contoh tersebut diatas sungguh tidak manusiawi. Manusia dihadapan hukum

ataupun keadilan adalah sama. Maupun itu bisa dilihat dari hak-hak pribadi ataupun

sipil. Islam juga tidak mengakui secara mutlak apapun bentuk pengistimewaan di

antara manusia yang bisa dilihat dalam hak, ras, kesukuan, ataupun warna kulit.

Implementasi prinsip persamaan dalam Islam ini, menurut Artani Hasbi pada

dasarnya bertujuan agar setiap orang atau kelompok dan golongan menemukan harkat

dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan prestasinya dengan wajar

48

Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 122

49

(43)

dan layak. Prinsip persamaan ini juga akan menimbulkan sifat saling tolong

menolong dan sifat kepedulian sosial dalam ruang lingkup yang luas.50

Prinsip yang kedua yaitu prinsip keadilan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan

mendasar yang dibawa oleh Islam dan dijadikannya sebagai pilar kehidupan pribadi,

keluarga, dan masyarakat adalah “keadilan”. Yang dimaksud dengan keadilan adalah

memberikan kepada semua yang berhak akan haknya, baik pemilik hak itu sebagai

individu atau kelompok, atau berbentuk sesuatu, dan bernilai, tanpa melebihi atau

mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula

menyelewengkan atau menzhalimi hak orang lain.51

Prinsip keadilan ini mendapatkan posisi dalam piagam Madinah dan menjadi

salah satu sistem perundang-undangan Negara Madinah. Semua warga Negara, baik

muslim maupun non muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak

perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik. Artinya, sebagai

sesama manusia mendapat hak yang sama untuk mendapat keadilan.52

Jadi, keadilan itu adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota

masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperoleh tanpa diminta, dan itupun

harus adil dan tidak memihak kesalah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban,

jujur, mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, serta tepat menurut

peraturan yang sudah ditetapkan.

Persoalan keadilan merupakan salah satu persoalan pokok yang disadari umat

manusi, semenjak mereka mulai berfikir. Dari persoalan yang sederhana dalam

50

Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 37 51

Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 128

52

(44)

masyarakat, sampai menginjak pada pola kehidupan politik bernegara dalam suatu

pemerintahan.53

Prinsip ini tidak disebut secara tegas oleh piagam Madinah. Tetapi bila di

pahami salah satu pasalnya, yakni pasal 17 telah dikutip, yang menyatakan bahwa

bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian harus ada dasar persamaan dan

adil di antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian

itu harus disepakati dan diterima bersama.54

Tanpa musyawarah atau Syura persamaan atau adil itu mustahil dapat

dipenuhi, karena didalam Musyawarah semua peserta memiliki persamaan hak untuk

mendapatkan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan

masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan.55

Prinsip yang ketiga yaitu prinsip kebebasan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan

yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah “kebebasan” yang dengannya dapat

menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, intimidasi, kediktatoran dan

penjajahan. Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir,

kebebasan berpolitik, kebebasan sipil dan segala bentuk kebebasan yang hakiki.56

Kata bebas di sini sering sekali disalah gunakan. Sebab, bebas sesungguhnya

bukan berarti lepas dari segala keterikatan. Justru sebaliknya, bebas di sini selalu

mengandalkan keterikatan oleh norma-norma. Begitu juga kebebasan dalam Islam

bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terikat oleh

ikatan-ikatan syar’i.

53

Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 38. 54

Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 208. 55

Ibid., h. 208-209. 56

(45)

Dan kebebasan dalam sosial politik biasanya disebut dengan “kemerdekaan”.

Kebebasan atau kemerdekaan yang menjadi substansi Syura adalah kebebasan dan

kemerdekaan dalam masyarakat atau dalam kelompok.57

Jika diperhatikan, ketetapan Piagam Madinah yang tidak eksplisit tentang

pentingnya musyawarah dan postulasi historis tentang praktek Nabi melaksanakan

musyawarah. Beliau tidak memberi petunjuk mengenai pola dan bentuknya yang

tertentu, dan jumlah peserta musyawarah tidak tetap, terkadang beliau hanya

bermusyawarah atau meminta pendapat dengan sahabat-sahabatnya, dan terkadang

hanya meminta pendapat dari salah seorang di antara mereka. Bahkan dalam

pengambilan keputusanpun terkadang beliau mengikuti pendapat sahabat, baik

pandapat kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.

Artinya, mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk dan sistem

musyawarah serta mekanismenya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat

serta kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan

prosedur pengambilan keputusannya, mereka tetap berpegang teguh pada

prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, keadilan, dan persamaan dalam berbicara

dalam mengemukakan pendapat.58

Prinsip-prinsip Syura dalam

Referensi

Dokumen terkait

PENERAPAN NILAI-NILAI KETELADANAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM KELAS VII (STUDI KASUS DI MTs NEGERI 2 SURAKARTA). Skrispi,

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kisah Umar bin Khattab terdapat nilai-nilai pendidikan Islam sebagai berikut: Pertama, nilai pendidikan aqidah yaitu

Skripsi ini atas dasar analisis riset pustakaan yang menelaah Jaminan Sosial dalam Islam (studi tentang jaminan sosial pada masa Umar bin Khattab).. Penulis

Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui corak berhukum progresif pada pola kepemimpinan Umar bin Khattab dan pola kepemimpianan Umar bin Khattab yang

Hasil penelitian ini adalah, dalam kegiatan dakwah melalui pengelolaan zakat Umar bin Khattab menjalankannya lewat lembaga baitul maal, baitul maal merupakan sarana dakwah

Sebelum pembaiatan, Utsman bin Affan dipilih dan diangkat dari enam calon yang ditunjuk oleh khalifah Umar bin Khattab saat menjelang ajalnya, karena pada saat itu

Pada adegan ini, sesuatu yang menampakkan karisma kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ditampakkan dengan sangat baik pada saat terjadi sebuah peristiwa ketika

Kegiatan dakwah dilakukan oleh Umar bin Khattab melalui Futuhat, pendidikan, dan pemerintahan, dakwah bil maal Umar bin Khattab merupakan suatu hal yang menunjang keberhasilan kegiatan