• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH INTERVENSI SEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASEIN DIABETES MELITUS TIPE 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH INTERVENSI SEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASEIN DIABETES MELITUS TIPE 2"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH INTERVENSI SEFT TERHADAP PENURUNAN

KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES

MELITUS TIPE 2

TESIS

BRIAN PUTRA BARATA

20131050035

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

PROGRAM PASCASARJANA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS

PENGARUH INTERVENSISEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA

DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

Disusun Oleh :

Brian Putra Barata 20131050035

Pembimbing dan Penguji :

Shanti Wardaningsih., Ns.,M.Kep.,Sp.Jiwa.,Ph.D :

Novita Kurnia Sari., Ns., M.Kep :

Dr.Titih Huriah.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.K :

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Keperawatan

Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(3)

ABSTRAK

PENGARUH INTERVENSISEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA

DARAH PADA PASEIN DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh : Brian Putra Barata

Latar Belakang : Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik kronis, yang ditandai dengan gangguan dalam metabolisme sebagai akibat dari sekresi insulin menurun, atau karena penurunan sensitivitas insulin dari sel sel tubuh. Penyebab lain terjadinya diabetes melitus adalah stres, yang merupakan penyumbang utama untuk diabetes. SEFT merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat stres. Sehingga, diharapkan setelah dilakukan terapi SEFT pada pasien bisa membantu untuk menurunkan kadar glukosa darah.

Tujuan Penelitian : Menganalisis pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi experiment menggunakan dengan desain penelitian pretest posttest with control group design. Dilakukan pada sekelompok subyek yang berjumlah total 24 orang, yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan terhadap keadaan yang ingin diteliti, kemudian dilakukan intervensiSEFTselama 3 kali terapi dalam waktu 3 hari.

Hasil Penelitian : Nilai penurunan kadar glukosa darah terbesar pada kelompok kontrol yaitu sebesar 78 mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi penurunan terbesar yaitu sebesar 171 mg/dl. Karakteristik jenis kelamin didapatkan perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, yaitu 60% untuk kelompok kontrol dan 83,3% untuk kelompok intervensi. Pada tingkat pendidikan, didapatkan pendidikan rendah sebagai tingkatan terbanyak yang dienyam oleh responden yaitu 83,3% untuk kelompok kontrol dan 75,0% untuk kelompok intervensi. Pada lama menderita DM didapatkan rata-rata responden menderita lebih dari 4 tahun, yaitu 58,3% untuk kelompok kontrol dan 50% untuk kelompok intervensi.

Kesimpulan : Terdapat penurunan kadar glukosa darah yang signifikan pada penderita diabetes melitus tipe 2.

(4)

ABSTRACK

SEFT INTERVENTION EFFECT OF LOWERING BLOOD GLUCOSE LEVELS IN

PATIENTS OF DIABETES MELLITUS TYPE 2

By : Brian Putra Barata

Background:Diabetes mellitus is a chronic metabolic disease, which is characterized by disturbances in the metabolism as a result of decreased insulin secretion, or because of decreased insulin sensitivity of the cells of the body. Other causes of diabetes mellitus is stress, which is a major contributor to diabetes.SEFTis a complementary therapy that can be used to reduce stress levels. Thus, expected after SEFTtherapy in patients can help to lower blood glucose levels.

Methods: This study uses a quasi-experimental research design using a research design pretest - posttest control group design. Conducted on a group of subjects who totaled 24 people, who meet the inclusion criteria of the state examination to be observed, then intervention therapy SEFT for 3 times in 3 days.

Results: Values largest decrease in blood glucose levels in the control group at 78 mg/dl. While the intervention group the largest decrease in the amount of 171 mg/dl. Number of female sex more than men, ie 60% for the control group and 83.3% for the intervention group. At the educational level of the table got lower as the highest educational dienyam by respondents ie 83.3% for the control group and 75.0% for the intervention group. In the long-suffering DM obtained an average respondent suffered more than 4 years, ie 58.3% for the control group and 50% for the intervention group.

Conclusion: There was a decrease in blood glucose levels significantly in patients with type 2 diabetes mellitus.

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik kronis, yang ditandai dengan

gangguan dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan asam amino, baik sebagai akibat dari sekresi insulin menurun, atau karena penurunan sensitivitas insulin dari

sel sel tubuh (Papazafiropoulou et al, 2008). Diabetes melitus adalah penyakit yang

memperoleh bentuk epidemi, seperti prevalensinya sudah meningkat lima kali lipat

selama lima belas tahun terakhir dan merupakan salah satu ancaman utama

kesehatan manusia di abad ke-21 (Zimmet, et al, 2001).

Indonesia pada tahun 2011 telah menduduki rangking keempat jumlah

penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada

tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk

diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta penyandang diabetes dengan tingkat

prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural. Sementara itu,

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang

diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3

juta pada tahun 2030. Sedangkan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF)

pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus

dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (Pdpersi, 2011).

Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi

(6)

penderita pada 2014 mencapai 530 pasien sedangkan sampai dengan bulan

november 2015 jumlahnya meningkat menjadi 624 pasien (Dinkes Banyuwangi,

2015).

Diabetes melitus diklasifikasikan dalam empat jenis yaitu; (a) Tipe 1 yang

disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas akibat proses autoimun yang

menyebabkan kekurangan insulin. (b) Tipe 2 yang merupakan hasil dari kerusakan

sekresi insulin yang progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya

berhubungan dengan obesitas. (3) Gestasional yang didiagnosa selama kehamilan.

(4) Tipe lain dapat muncul akibat kerusakan fungsi pankreas yang bersifat genetik,

penyakit pankreas, atau penyakit yang dipengaruhi oleh obat (Smeltzer & Bare,

2009; Black & Hawks, 2009). Diabetes tipe 2 adalah yang terbanyak yaitu 90 –

95% dan 90% dari diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh faktor keturunan dan obesitas

(Williams & Hopper, 2007).

Diabetes tipe 2 yang merupakan hasil dari kerusakan sekresi insulin yang

progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya berhubungan dengan

obesitas, penuaan, dan keturunan (Smeltzer & Bare, 2009). Dari berbagai macam

tipe diabetes, diabetes tipe 2 adalah yang terbanyak yaitu 90 – 95% dan 90% dari

diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh faktor keturunan dan obesitas (Williams &

Hopper, 2007).

Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan

frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat

lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan

(7)

atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak

dan remaja (Smeltzer & Bare, 2009).

Individu dengan diabetes melitus dibebani dengan faktor-faktor

sosio-demografi dan perilaku pribadi, yang berkontribusi terhadap munculnya

manifestasi dari gejala cemas. Wanita dengan diabetes mellitus mendapatkan

pengaruh yang lebih tinggi dari munculnya cemas dibandingkan dengan laki-laki

sebagai akibat dari penyakit ini. Orang yang hidup sendiri lebih rentan dan

menghadapi risiko lebih besar dariorang-orang yang hidup dengan orang lain yang

signifikan (Roupa et al, 2009). Sebuah studicross-sectional di Inggris menemukan bahwa hampir sepertiga dari penderita diabetes menderita kecemasan dan pasien

seperempat menderita depresi (Collins, Corcorant, Perry, 2009). Hasil dari banyak

survei dan meta-analisis yang dilakukan pada diabetes mellitus dan depresi dan

cemas telah menunjukkan bahwa keberadaan diabetes mellitus menggandakan

probabilitas kejadian depresi dan gejala depresi yang muncul lebih signifikan pada

wanita, daripada laki–laki (Anderson et al, 2001., Ali et al, 2006 ).

Penyebab lain terjadinya diabetes melitus adalah stres, yang merupakan

penyumbang utama untuk diabetes, tetapi kebanyakan orang tidak mengerti apa

yang harus dilakukan ketika hal itu muncul. Ketika tubuh akan merasakan ancaman

yang berbahaya, tubuh secara otomatis akan merespon. Kelenjar adrenal kita akan

memompa keluar sejumlah hormon. Hormon itu adalah kortisol, yang memberitahu

hati dan sel-sel lain untuk menuangkan semua gula yang disimpan (glukosa) ke

dalam aliran darah. Hal ini dilakukan agar kaki dan lengan otot dapat menggunakan

glukosa sebagai bahan bakar untuk melarikan diri, melawan, atau mungkin

(8)

sel-sel Anda menjadi resisten insulin, sebagian dari glukosa ekstra tetap dalam darah

dan menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Hal inilah yang

menyebabkan kadar gula darah meningkat. Jika proses ini terus berlangsung maka

kita akan memiliki gula darah yang berlebih didalam darah (Spero, 2006).

Loyd & Johnson dalam buku The Healing Code : 6 Minutes to Heal theSource of Your Health, Success, or Relationship Issue mengeluarkan hasil riset

terbaru bahwa pembunuh nomor satu di dunia saat ini adalah stres emosional.

Lebih dari 95% penyakit fisik maupun nonfisik memiliki akar permasalahan yang

sama yaitu stres emosional. Ini membuktikan adanya hubungan yang erat antara

tekanan emosional dengan penyakit, inilah hubungan pikiran – tubuh (body mind). Keadaan ini bila tidak cepat diatasi maka akan menyebabkan mudahnya

seseorang terjangkiti penyakit yang berat (Loyd, 2011). Masalah-masalah fisik,

pikiran dan jiwa, yang kalau terganggu aliran energinya akan timbul keluhan dan

gejala yang menurunkan kualitas hidup manusia yang mengalaminya (Saputra,

2012).

Pada penelitian ditemukan bahwasanya EFT mampu untuk menurunkan

glukosa darah (Mahnaz, et al, 2014). Metode ini dikembangkan kembali di

Indonesia dengan menambahkan unsur spiritual menjadi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Metode terapi SEFT dikembangkan berdasarkan

pandangan bahwa beban emosional (pikiran negatif) yang dialami individu menjadi

penyebab utama dari penyakit fisik maupun penyakit nonfisik yang dideritanya.

Tekanan emosional yang tidak teratasi akan menghambat aliran energi di dalam

tubuh sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah terjangkiti penyakit. Untuk

(9)

menumbuhkan sikap positif bahwa apapun masalah pikiran, jiwa dan rasa sakitnya

ia ikhlas menerimanya serta mempasrahkan kesembuhannya pada Allah SWT

(Zainuddin, 2009; Saputra, 2012).

Cara pandang manusia sebagai makhluk yang holistik dan memiliki

kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan teori keperawatan

yang dikemukakan oleh Calista Roy. Dalam konsepnya, Roy menguraikan

bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara

mempertahankan perilaku secara adaptif. Manusia adalah sebagai sebuah sistem

adaptif yang menerima input rangsangan dari lingkungan luar dan lingkungan

dalam diri individu itu sendiri. Manusia memiliki fungsi fisiologi berhubungan

dengan struktur tubuh dan fungsinya. Kebutuhan dasar ini meliputi : kebutuhan

oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas dan istirahat, proteksi, penginderaan, cairan

dan elektrolit, persarafan (neurologi), fungsi endokrin (Alligood & Tomay, 2006).

Manusia juga dipandang memiliki konsep diri yang berhubungan dengan

psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual

manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis

antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut

Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.

Physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan

sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkanpersonal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut.

Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut menjadi beban emosional dan

merupakan hal yang berat dalam area ini. Oleh sebab itu manusia juga

(10)

dan menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling menghargai (Alligood &

Tomay, 2006).

SEFT merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan

untuk menurunkan tingkat stres. Keefektifan terapi ini terletak pada pengabungan

antara Spiritual Power dengan Energy Psychology. Spiritual Power memiliki lima

prinsip utama yaitu ikhlas, yakin, syukur, sabar dan khusyu. Energy Psychology

merupakan seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan system energy tubuh

untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku (Freinstein dalam

Zainudin, 2012). Jika dilihat dari aspek reaksi fisiologis terhadap SEFT, maka perangsang dengan cara mengetuk-ngetuk ringan (tapping) pada titik 12 titik

meridian tubuh tersebut dapat menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan

hormon endorphins (Johnson, 1999; Nopadow etc 2008 dalam Rokade, 2011), dimana hormon endorphins tersebut dapat memberikan efek menenangkan serta menimbulkan perasaan bahagia (Goldstein dan Lowry, 1975 dalam Rokade, 2011).

Hal yang diharapkan dari keluarnya hormon endorphin yaitu bisa menurunkan

hormon kortisol dan epineprin karena hormon ini berkerja berlawanan. Sehingga

bisa menekan produksi glukagon dan glukosa darah.

B. Rumusan Masalah

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis dengan prevalensi yang

meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia terutama di kalangan kelompok

dewasa. Padahal penderita DM juga memiliki risiko komplikasi penyakit

kardio-sebrovaskular seperti retinopati, kebutaan, stroke, hipertensi dan serangan jantung

yang jauh lebih tinggi daripada populasi normal. Oleh karena itu, peneliti ingin

(11)

menggunakan terapiSEFT. Hal ini peneliti lakukan karena terapi ini sudah terbukti

diberbagai negara dan universitas – universitas di indonesia akan manfaat darinya.

Dengan harapan dapat mengetahui akan pengaruh terapi ini pada penderita diabetes

mellitus di daerah kami.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh terapiSEFTterhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah terapi

SEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

b. Mengidentifikasi karakteristik usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama

menderita pada pasien diabetes melitus tipe 2.

c. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah terapi

SEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

d. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol dan

kelompok intervensi.

e. Menganalisis variabel SEFT, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama menderita yang berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah.

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk pelayanan kesehatan masyarakat.

Memberikan informasi kepada pihak pelayanan kesehatan akan manfaat terapi

(12)

masyarakat khususnya dalam hal menurunkan gula darah pada penderita

diabetes mellitus tipe 2.

2. Untuk institusi pendidikan.

Memberikan informasi dan acuan penelitian akan manfaat terapi SEFT dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya dalam hal menurunkan

gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2.

3. Untuk perkembangan ilmu keperawatan.

Dapat digunakan sebagai bahan referensi dan kajian tentang manfaat dan

potensi akan terapiSEFT.Memperkuat dukungan teori akan penggunaan terapi

SEFTuntuk penelitian selanjutnya. 4. Untuk penelitian keperawatan

Menjadi landasan dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang terapiSEFT

dan diabetes melitus tipe 2. Sehingga, bisa memperoleh data penelitian yang lebih mudah dan cepat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka, beberapa penelitian yang terkait dengan

penelitian ini yaitu :

1. Masyitah, Dewi (2013) Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Di

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.

Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimen dengan pendekatan the

one group pretest posttest. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara

(13)

terapi SEFT, kuesioner karakteristik responden dan alat ukur tekanan darah

(tensimeter air raksa, manset ukuran dewasa dan stetoskop). Analisa data

menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat degan uji statistik Uji t

dependent (paired-sample t test). Hasil analisis data menunjukkan ada pengaruh terapi SEFT terhadap tekanan darah pasien hipertensi. Faktor karakteristik umur, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga dan penyakit

penyerta tidak ada hubungan dengan penurunan tekanan darah setelah terapi

SEFT. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar terapi SEFT sebagai

intervensi keperawatan yang mandiri dan inovatif pada asuhan keperawatan

klien dengan hipertensi.

2.Yanti, Nova (2012) Perbandingan Efektifitas Terapi Zikir Dengan Relaksasi Benson

Terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Di Sumatera Barat.

Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperiment pre test and post test nonequivalent control group. Variabel independen adalah terapi zikir dan relaksasi Benson sedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah

pasien diabetes melitus. Karakteristik (faktor konfounding) yang dapat

membedakan antara kadar glukosa darah adalah usia, jenis kelamin,

komplikasi, dosis insulin, dan stress. Metode pengambilan sampel pada

penelitian ini adalah purposive sampling. Peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif bahwa responden tersebut dapat

memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian

Peneliti membandingkan efektifitas terapi zikir dengan relaksasi Benson

terhadap kadar glukosa darah pada tiga kelompok independen. Pengukuran

(14)

yang digunakan adalah GlucoDR. Biosensor AGM 2100, Terumo Finetouch

Blood Glucose meter MS*GR102M, dan Accu-Chek Active meter system. Volume sampel 2µl, minimal 1,5µl. Rentang pengukuran 20–900 mg/dl, waktu

test 10 detik. Sistem kalibrasi menggunakan kode chip. Penelitian dilakukan

selama lima hari dan kadar glukosa darah ketiga kelompok diukur sebanyak

dua kali sehari yaitu kadar glukosa darah sewaktu. Kerangka penelitian yang

dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel

independen dan variable dependen. variabel independen adalah terapi zikir dan

relaksasi Benson sedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah

pasien diabetes melitus. Karakteristik (faktor konfounding) yang dapat

membedakan antara kadar glukosa darah adalah usia, jenis kelamin,

komplikasi, dosis insulin, dan stress. Analisis data pada penelitian ini adalah

analisis univariat dan analisis bivariat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat

perbedaan yang signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan setelah

intervensi pada masing-masing kelompok (p=0,00), selisih rata-rata kadar

glukosa darah sebelum dan setelah intervensi antar kelompok (p=0,000), dan

rata-rata kadar glukosa darah setelah intervensi antar kelompok (p=0,00).

Terapi zikir lebih efektif dibandingkan relaksasi Benson dalam menurunkan

kadar glukosa darah.

3. Burhanudin (2013) Pengaruh Hypnotherapy Terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Di Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten

Pekalongan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh hypnotherapy terhadap

(15)

kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Desain penelitian pre

eksperimental menggunakan metode one group pretest-posttest. Jumlah sampel sebanyak 20 pasien. Uji statistik yang digunakan yaitu uji Wilcoxon

Signed Ranks Test dengan 5%. Variabel independen dalam penelitian ini adalah hypnoterapy dan variabel dependen adalah kadar glukosa darah. Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat pengaruh hypnotherapy terhadap kadar

glukosa darah pasien diabetes melitus.

4. Anwar, Zainul (2011). Model Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom

Technique) Untuk Mengatasi Gangguan Fobia Spesifik.

Penelitian ini merupakan penelitian kasus tunggal. Desain dalam penelitian ini

menggunakan desain ABA. penelitian ini peneliti menggunakan rancangan

penelitian studi-kasus tunggal atau small-N-design. Rancangan penelitian studi-kasus tunggal ini biasa diterapkan pada penelitian yang bersifat

behavioral analysis. Subyek penelitian ini adalah orang yang mengalami fobia

spesifik sesuai dengan kriteria DSM IV. Analisa data dalam penelitian ini

menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan teknik visual inspection

terhadap Subjective Units of Disturbance Scale (SUDS) selama tahap pra-terapi serta sesi pra-terapi. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa

kualitatif dengan menggunakan teknik visual inspection terhadap Subjective

Units of Disturbance Scale (SUDS) selama tahap pra-terapi serta sesi terapi.

SEFTdiberikan sebanyak 8 putaran selama 3 kali pertemuan terapi. Alat ukur

(16)

penderita gangguan fobia spesifik. Penurunan level kecemasan atau ketakutan

berdasarkan SUDS (Subjective Units Disturbance Scale) selama pemberian terapi sangat signifikan dan terdapat perubahan reaksi fisiologis dan respon

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks dan

memerlukan perawatan medis terus menerus dengan strategi pengurangan risiko

multifaktorial luar kontrol glikemik (ADA, 2015). Kriteria diagnostik WHO

diabetes harus dipelihara agar kadar glukosa plasma puasa ≥ 7.0mmol / l

(126mg / dl) atau 2 - jam glukosa plasma ≥ 11.1mmol / l (200 mg / dl) (WHO,

2006). Diabetes tipe 2 merupakan hasil dari kerusakan sekresi insulin yang

progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya berhubungan dengan

obesitas (Black & Hawks, 2009).

Diabetes terjadi jika terdapat kerusakan produksi insulin pada sel beta pankreas, atau karena ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin.

Glukosa yang tidak dapat masuk kedalam sel akan tetap berada dialiran darah

sehingga terjadilah hiperglikemia. Sementara itu sel membutuhkan energi yang

berasal dari glukosa sehingga sekresi glukagon abnormal terjadi untuk

memecahkan glukosa di hati dan otot yang makin memperparah hiperglikemia

(Williams & Hopper, 2007). Selama periode puasa (antara waktu makan dan

malam hari) penurunan glukosa diatasi dengan proses glikogenolisis dengan bantuan glikogen, namun setelah 8 sampai 12 jam tanpa makanan, hati akan

(18)

1. Penyebab terjadinya Diabetes Mellitus type 2 adalah : a. Stress

Stres diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi

ancaman (nyata atau membayangkan) terhadap mental, fisik, emosional,

dan kesejahteraan spiritual seseorang, yang menghasilkan serangkaian

respon fisiologis dan adaptasi (Seaward, 2006 didalam Moffit).

Ketika tubuh merasakan ancaman, terjadi serangkaian respon

kimia dan fisik. Tanggapan pertama adalah aktivasi sistem saraf otonom

(ANS) (Pelletier, 1993). Merupakan bagian dari sistem saraf yang tidak

normal di bawah kendali kita. Cabang simpatik dari sistem saraf otonom

mengatur respon stres sedangkan sistem saraf parasimpatis mengontrol

respon relaksasi. Ketika respon stres terjadi, tubuh mengeluarkan

katekolamin (hormon stres) yang membantu mempersiapkan diri seseorang baik melawan atau berpaling dari ancaman dan

menyelesaikannya. Hormon stres ini yang paling dikenal adalah

epinefrin, yang disekresi oleh kelenjar adrenal (medulla) yang terletak di atas ginjal, dan norepinefrin, juga disekresikan oleh kelenjar adrenal dan

ujung saraf di seluruh tubuh (Seaward, 2006).

Epinefrin dilepaskan oleh medula adrenal dalam menanggapi

hipoglikemia (sebagai serta rangsangan stres lainnya), dan sebagai

bagian dari persiapan untuk latihan. Norepinefrindilepaskan dari neuron simpatik. Kedua katekolamin ini memiliki peran penting dalam menjaga

kadar glukosa dalam latihan (terutama dalam mendukung peningkatan

besar dalam penggunaan glukosa oleh otot), dan dalam kondisi yang

(19)

menghambat produksi insulin, yang pada akhirnya berefek langsung

pada metabolisme glukosa di hati, sehingga kadar glukosa darah

meningkat. Epinefrin juga memiliki efek langsung dalam menstimulasi

hati glukoneogenesis, glikolisis otot, dan pemecahan glikogen di kedua jaringan (Brant, 1999).

Kelenjar pituitari anterior mengeluarkan hormon

adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan aldosteron dan cortisol. Kelenjar pituitari juga mengeluarkan

vasopressin, atau hormon antidiuretik. Aldosteron dan vasopressin

menjaga volume darah dengan mengurangi jumlah natrium dan air yang

dieksresikan melalui ginjal (Eliopoulos, 2004; Leddy, 2006).

Pengaruhnya yaitu terjadi peningkatan detak jantung, tekanan darah

meningkat, laju dan kedalaman pernapasan meningkat, pelepasan

glukosa hati, dan pelebaran pembuluh darah di organ penting, sedangkan

pembuluh organ yang tidak penting (seperti kulit dan saluran

pencernaan) menyempit. Seluruh tubuh difokuskan pada menjaga otak,

jantung, paru-paru, dan otot-otot besar siap untuk melawan atau

melarikan diri. Kortisol meningkatkan produksi glukosa dan membantu

memecah lemak dan protein untuk memberikan tubuh dengan energi

yang dibutuhkan untuk menangani proses metabolisme tubuh

(Eliopoulos, 2004; Leddy, 2006).

b. Gaya hidup

Banyak faktor gaya hidup yang diketahui berperan penting dalam

(20)

ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh yang lebih besar dari tiga

puluh), kurangnya kegiatan fisik, asupan gizi yang tidak baik, stres, dan

urbanisasi. Kelebihan lemak tubuh dikaitkan dengan 30% kasus diabetes

pada pasien keturunan China dan Jepang, 60-80% kasus pada pasien

keturunan Eropa dan Afrika, dan 100% kasus pada pasien Indian Pima

dan Kepulauan Pasifik. Pasien yang tidak gemuk biasanya memiliki

rasio pinggang-pinggulyang besar (Wikipedia, 2015).

Faktor diet juga mempengaruhi risiko munculnya penyakit

diabetes tipe 2. Konsumsi minuman yang mengandung pemanis gula

berlebihan juga berhubungan dengan peningkatan risiko. Tipe lemak

dalam diet juga berpengaruh penting, dengan lemak jenuh dan asam

lemak trans bisa meningkatkan risiko, sebaliknya tidak jenuh ganda dan

lemak tidak jenuh tunggal menurunkan risiko. Konsumsi beras putih

yang terlalu banyak juga tampaknya berperan dalam meningkatkan

risiko. Kurang olahraga diyakini menyebabkan 7% kasus (Wikipedia,

2015).

c. Olahraga

Olahraga adalah jenis latihan fisik (jasmani) melalui

gerakan-gerakan anggota tubuh atau gerakan-gerakan tubuh secara keseluruhan, dengan

maksud untuk meningkatkan dan mempertahankan kebugaran jasmani.

Olahraga berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah.

Olahraga juga dapat secara efektif mengontrol Diabetes Melitus, antara

lain dengan melakukan senam khusus Diabetes Melitus Tipe II, berjalan

(21)

merupakan cara efektif mengurangi berat badan, menurunkan kadar gula

darah, dan mengurangi stres (Wikipedia, 2015).

d. Usia

Intoleransi terhadap glukosa meningkat seiring dengan

bertambahnya usia. Menurut (Black &Hawks, 2005) hal ini disebabkan

oleh penurunan sensitivitas reseptor insulin, penurunan regulasi hormon

glukagon dan epineprin yang mempengaruhi kadar glukosa darah,

penurunan berat badan, dan penurunan aktivitas fisik.

e. Pendidikan

Studi prospektif sebelumnya telah meneliti hubungan antara tingkat

pendidikan dan kejadian diabetes dan menemukan bahwa pendidikan

rendah adalah prediktor signifikan dari diabetes tipe 2. Dalam sebuah

studi cross sectional dari Survei Kesehatan Penduduk Nasional

menemukan bahwa orang dengan kurang dari ijazah sekolah tinggi

hampir dua kali lebih mungkin untuk melaporkan memiliki diabetes

sebagai orang-orang dengan gelar sarjana atau lebih. Sectional lain lintas

dari National Health Interview Survey menemukan bahwa wanita dengan

pendidikan rendah memiliki prevalensi diabetes yang lebih tinggi

daripada yang berpendidikan lebih baik. Selanjutnya, asosiasi bervariasi

oleh ras / etnis dan jenis kelamin, dengan Whites, Hispanik dan wanita

menunjukkan hubungan yang lebih kuat antara pendidikan dan diabetes

dibandingkan orang kulit hitam dan laki-laki. Sebuah studi baru-baru ini

sectional lintas menemukan bahwa risiko diabetes tipe 2 lebih tinggi

(22)

dibandingkan dengan lebih terdidik. Studi ini menunjukkan bahwa

pencapaian pendidikan mempromosikan minat pada kesehatan sendiri

dan akuisisi pengetahuan yang sangat mempengaruhi kemampuan orang

untuk mengurangi risiko dengan berhasil mengadopsi gaya hidup sehat

(Joseph, 2014).

B. Spiritual Emotional Freedom Technique(SEFT)

SEFT merupakan hasil pengabungan dan penyempurnaan dari banyak

tehnik terapi yang sudah terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan kualitas

kesehatan pasien, sehingga menjadikannya menjadi lebih efektif dari

pendahulunya. Penggabungan tehnik juga berlandaskan dari metode – metode

sebelumnya yang pernah digunakan seperti penggunaan titik – titik energi meridian pada akupunktur dan akupresur, NLP (Neuro-Linguistic

Progamming), Systemic Desensitization, Psycoanalisa, Logotherapy, EMDR (Eye Movement Desensitization Reprocessing), Sedona Method (Releasing Technique), Ericksonian Hypnosis, Provocative Theraphy, Suggestion dan

Afirmation, Creative Visualization, Relaxation dan Meditaion, Gestald Therapy, Energy Psychology, Powerful Prayer, Loving-Kindness Therapy. Sedangkan

SEFTsendiri merupakan pengembangan dari TFT (Tought Fields Therapy)dan

EFT (Emotional Freedom Technique)(Zainuddin, 2012).

Tabel 1 Tehnik Terapi yang mendasariSEFT

No. Metode Terapi Peran dalamSEFT

1.

NLP (Neuro-Linguistic

Progamming)

Penerapan Reframing dan Anchoring

pada fase “Set up”.

(23)

“tapping”

3. Psycoanalisa

Penerapan Psikoanalisa pada fase

menemukan akar masalah (finding the

core issues)

4. Logotherapy

PenerapanThe meaning in suffering pada

fase memikirkan akan kepasrahan,

keikhlasan, dan rasa syukur.

5.

EMDR (Eye Movement

Desensitization Reprocessing)

Penerapan gerakan mata (nine gamut

procedure) pada fase akhir.

6.

Sedona Method (Releasing

Technique)

Penerapan letting go pada fase sikap

pasrah dan ikhlas.

7. Ericksonian Hypnosis

Penerapan hipnosis diri ringan (mild

hypnosis) saat menggunakan kata pilihan

yang memiliki efek hipnosis.

8. Provocative Theraphy

Penerapannya saat indvidu “dipaksa”

masuk dalam kondisi yang paling tidak

menyenangkan, paling menyakitkan.

9. Suggestion dan Afirmation

Penerapan di saat kita banyak

menggunakan pengulangan kata – kata

yang memberdayakan diri (suggestion &

affirmation).

10. Creative Visualization

Penerapannya disaat kita mendramatisir

pikiran atau perasaan negatif.

11. Relaxation dan Meditation

Penerapannya saat indvidu “dipaksa”

masuk dalam kondisi yang paling tidak

(24)

12. Gestald Therapy

Penerapan di saat kita banyak

menggunakan pengulangan kata – kata

yang memberdayakan diri sehingga

menciptakan harapan dan rasa optimis

dalam alam bawah sadar kita.

13. Energy Psychology

Penerapan pada saat proses tapping yang

dilakukan pada acupoints sepanjang jalur

meredian yang akan menetralisir

gangguan sistem energi tubuh.

14. Powerful Prayer

Penerapan pada fase memikirkan akan

kepasrahan, keikhlasan, kekhusukkan dan

rasa syukur.

15. Loving-Kindness Therapy

Penerapan pada fase kita memikirkan

akan pentingnya cinta kasih dan kebaikan

hati akan menyembuhkan orang yang kita

kasihi.

1. Cara MelakukanSEFT

SEFT memandang jika aliran energi tubuh terganggu karena dipicu

kenangan masa lalu atau trauma yang tersimpan dalam alam bawah sadar, maka

emosi seseorang akan menjadi kacau. Mulai dari yang ringan, sepertibad mood,

malas, tidak termotivasi melakukan sesuatu, hingga yang berat, depresi, phobia,

kecemasan berlebihan dan stres emosional berkepanjangan. Sebenarnya semua

ini penyebabnya sederhana, yakni terganggunya sistem energi tubuh. Karena itu

solusinya juga sederhana, menetralisir kembali gangguan energi itu dengan

(25)

Aliran energi yang tersumbat di beberapa titik kunci tubuh harus

dibebaskan, hingga mengalir lagi dengan lancar. Cara membebaskannya adalah

dengan mengetuk ringan menggunakan dua ujung jari (tapping)di bagian tubuh

tertentu. Berikut ini adalah uraian tentang bagaimana melakukan SEFT untuk membebaskan aliaran energi di tubuh, yang dengannya akan membebaskan

emosi dari berbagai kondisi negatif (Zainuddin, 2009; Saputra, 2012) :

1) The Set–Up

Bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh terarah dengan tepat.

Langkah ini dilakukan untuk menetralisir “Psychological Reversal” atau

“Perlawanan Psikologis” (biasanya berupa pikiran negatif spontan atau

keyakinan bawah sadar negatif).

Contohpsychological reversalini diantaranya : a) Saya tidak bisa sehat seperti dulu lagi

b) Saya tidak mungkin sembuh dari sakit diabetes ini

c) Saya kesal karena harus dirawat di rumah sakit ini

d) Saya menyerah, saya tidak mampu mematuhi diet diabetes

(Zainuddin, 2009).

The Set - Upsebenarnya terdiri dari 2 aktifitas, yaitu :

Pertama, mengucapkan The Set– Up Word dengan penuh rasa khusyu’, ikhlas

dan pasrah sebanyak 3 kali. Dalam bahasa religius, The Set– Up Words adalah doa kepasrahan kepada Allah SWT, bahwa apapun masalah dan rasa sakit yang

dialami saat ini, kita ikhlas menerima dan kita pasrahkan kesembuhannya pada

Allah SWT. The Set Up harus diucapkan dengan perasaan untuk menetralisir

(26)

Kedua, sambil mengucapkan The Set - Up Word dengan penuh perasaan, kita

menekan dada kita, tepatnya di bagian “sore spot” (titik nyeri, letaknya di

sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit), atau mengetuk dengan dua

ujung jari di bagian“karate chop”.(Zainuddin, 2009; Thayib, 2010) :

Contoh kalimatset–up(doa) untuk masalah fisik :

“Ya Allah..meskipun kepala saya pusing karena diabetes ini, saya ikhlas

menerima pusing saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu pusingsaya ini.”

Contoh kalimatset–up(doa) untuk masalah emosi :

“Ya Allah..meskipun saya cemas dengan penyakit diabetes ini, saya ikhlas

menerima kecemasan saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu ketenangan hati saya.

2) The Tune - In

Untuk masalah fisik, melakukan Tune - in dengan cara merasakan rasa sakit yang dialami, lalu mengarahkan pikiran ke tempat rasa sakit, dibarengi dengan

hati dan mulut mengatakan : “Ya Allah saya ikhlas, saya pasrah…” atau “Ya

Allah saya ikhlas menerima sakit saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu

kesembuhan saya”. Untuk masalah emosi, Tune in dilakukan dengan cara

memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan

emosi negatif yang ingin kita hilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah,

sedih, takut, dsb), hati dan mulut kita mengatakan, “Ya Allah..saya ikhlas..saya

pasrah..”. Bersamaan denganTune - inini kita melakukan langkah ketiga yaitu

tapping. Pada proses ini (Tune–Inyang dibarengi dengantapping),

kita menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik (Zainuddin, 2009).

(27)

Tapping adalah mengetuk ringan denga dua ujung jari pada titik – titik tertentu

di tubuh sambil terus Tune in. titik – titik ini adalah titik – titik kunci dari

“The Major Energy Meridians”, yang jika kita ketuk beberapa kali akan

berdampak pada netralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang kita rasakan.

Tapping menyebabkan aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali (Zainuddin, 2009).

Pengobatan pada akupressur dan akupuntur dilakukan dengan cara

melakukan penekanan pada titik tertentu yang diharapkan bisa melepaskan

penyumbatan di bidang energik yang ada di daerah energi meredian seseorang.

Kemudian menghasilkan energi di daerah meridian mengalir lebih bebas.

Hasilnyaendorfin positif dan neurotransmitter dilepaskan dalam otak yang bisa

menyebabkan keseimbangan, harmoni dan menurukan rasa sakit (Namka,

2013). Endorfin diproduksi dan dilepaskan dari kelenjar pituitari. mereka dilepaskan selama latihan terus menerus saat kita muncul rasa takut, cinta,

musik, makan cokelat, tawa, seks, orgasme dll. Olahraga tertawa, meditasi, dan

mendengarkan musik semua latihan ini untuk menjaga pikiran tenang, merasa

percaya diri, dan perasaan senang berhubungan dengan adanya pelepasan

endorfin(Rokade, 2011 dan Grant, 2015).

Peptida opioid β-endorphin, yang juga disekresi dari kelenjar adrenal

telah terbukti menginduksi sekresi insulin juga melalui mengaktifkan reseptor

opioid pankreas (El-Abhar dan Schaalan, 2014). Hasil dari penelitian pada

hewan yang memiliki gen yang hampir sama dengan manusia membuktikan

bahwa pemberian β-endorfin dalam dosis tertentu dapat menurunkan kadar

(28)

dan Baspinar, 2010). Peningkatan sekresi β-endorphin dari kelenjar adrenal

dapat mengaktifkan opioid perifer μ-reseptor (MOR) untuk meningkatkan ekspresi transporter glukosa otot dan / atau mengurangiglukoneogenesis hepatik

pada tingkat gen, sehingga menyebabkan penggunaan glukosa ditingkatkan

dalam jaringan perifer untuk perbaikan hiperglikemia parah (Liu dan Cheng,

2011). Sedangkan pada tekanan darah dan nadi, pemberian β-endorphin dalam

dosis tertentu juga bisa menurunkan tekanan dan jumlah pompannya dalam

waktu tertentu (Xiao, etc, 1994, dan Sitsen, etc, 1982).

Relaksasi akan mengurangi kadar adrenalin (epineprin) dan

noradrenalin (norepineprin) dan meningkatkan tingkat neuropeptida opoid yang memodulasi tonus otot polos bronkus. Penelitian pada hewan telah

melaporkan bahwa beta endorfin dapat mempengaruhi tonus otot polos bronkus.

Reseptor untuk neuropeptida ini hadir dalam beberapa neuron di pusat

pernapasan otak. (Biju, Geetha, dan Sobhakumari, 2012).

Teknik EFT bekerja dengan sistem energi manusia, yang bersinergi melaluiBodymind kita di saluran meridian. Ketika kita menekan pada titik-titik

tertentu untuk merangsang aliran bebas energi melalui meridian. Penekanan titik

neuro-reseptor di bawah kulit mengkonversi tekanan untuk impuls listrik yang

ditransmisikan ke otak dan merangsang dan melepaskan endorfin, bahan kimia

kesenangan yang mengirimkan sinyal kesejahteraan ke otak. Hal ini

dikombinasikan dengan kekuatan pikiran atau niat. Ketika kita berfokus pada

masalah tertentu, kita mengirimkan niat untuk penyembuhan itu. Pada saat yang

sama, kita membuat respon fisiologis dengan menekan pada titik-titik garis

(29)

elemen biokimia lainnya, digabungkan secara keseluruhan dalam satu tehnik

membuat respon penyembuhan yang kuat, berupa penurunan rasa nyeri, phobia,

cemas, depresi dll (Gordon, 2006).

Terapi SEFT dilakukan sejak pasien paska-operasi SC hari pertama (setelah melewati 24 jam paska-operasi), dilakukan satu kali dalam sehari

selama tiga hari. Setiap kali terapi hanya melakukan satu putaran SEFT dan

membutuhkan waktu 5 menit. Segera setelah terapi, intensitas nyeri dinilai

dengan menggunakan skala numerik 1-10. Hasil penelitian diperoleh bahwa

(30)

C. Kerangka Teori Penelitian

Referensi :Rokade,(2011).Grant,(2015), Liu & Cheng,(2011), El-abhar & Schaalan,(2014),Xiao,(1994),Sitsen,(1982).

(31)

D. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua

variabel yaitu variabel independen dan variable dependen. variabel independen

adalah terapiSEFTsedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah pasien diabetes melitus tipe 2. Karakteristik (faktor confounding) yang dapat membedakan

antara kadar glukosa darah adalah Usia, Jenis Kelamin, dan Pendidikan.

=Diteliti

=Tidak Diteliti

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang merupakan jawaban sementara peneliti

terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2008). Hal inilah yang akan dibuktikan

oleh peneliti melalui penelitian. Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka

dan kerangka konsep, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terapi SEFT

berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes

melitus tipe 2.

TerapiSEFT

Penurunan Kadar Glukosa Darah

VariabelConfounding: Usia

Jenis Kelamin Pendidikan Lama Menderita

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi experiment

menggunakan dengan desain penelitian pretest posttest with control group

design. Penelitian ini dilakukan pada sekelompok subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit atau keadaan yang ingin diteliti,

kemudian dilakukan intervensi selama 3 hari dan dilakukan 3 kali terapi pada pagi

hari. Setelah periode waktu yang dianggap cukup dilakukan pemeriksaan kembali

terhadap penyakit atau keadaan tersebut. Jadi setiap subyek penelitian menjadi

kontrol terhadap dirinya sendiri.

Tabel 2 RancanganPenelitian pretest – posttest with control group design

Subyek Pra Intervensi Post

K-A O I O1-A

K-B O - O1B

Keterangan :

K-A : Kelompok intervensi (kelompok yang mendapat terapiSEFT)

K-B : Kelompok kontrol (kelompok yang tidak mendapatkan terapiSEFT) O : Pretest sebelum dilakukan terapiSEFT

I : IntervensiSEFT(Diberikan sebanyak 3 sesi dalam 3 hari, sehari 1 sesi selama kurang lebih 10 menit untuk setiap sesinya)

(33)

B. Populasi, Teknik Sampling dan Besar Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita diabetes melitus tipe 2

di wilayah kerja Puskesmas Gladag Kota Banyuwangi sebanyak 264

orang.

2. Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel yang digunakkan dalam penelitian ini

menggunakan rumus estimasi besar sample untuk penelitian yang bertujuan

menguji hipotesis beda rerata 2 kelompok independen (Sastroasmoro &

Ismael, 2011):

n =2 ( α β)

( )

n = 2 ( α β)

( )

= 2 ( . , )

( , )

= 2[2,5] = 12,44

Keterangan :

n : Jumlah sampel

Zα : Deviat baku alpha, harga kurva normal tingkat kesalahan yang

ditentukan dalam penelitian pada CI 95% maka Zα =(1,96).

Zβ : Deviat baku beta, dengan power = 0,80 maka Zβ =(0,842). s : Simpangan baku kedua kelompok (dari pustaka).

x1–x2 : Perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgment).

(34)

perbedaan klinis yang diinginkan sebesar 7,88. Berdasarkan rumus diatas maka jumlah sample yang didapatkan, sebagai berikut :

n =2 ( α β)

( )

= 2 ( . , )

( , )

= 2[2,5] = 12,44, dibulatkan menjadi 12 responden.

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, besar sampel minimal adalah 12 responden untuk masing–masing kelompok. Untuk menghindari responden mengundurkan diri selama penelitian, maka peneliti mengantisipasi berkurangnya responden dengan menambahkannya menggunakan rumus, berikut :

n’ =

Keterangan:

n’ = ukuran sampelsetelah revisi

n = ukuran sampel asli

1-f = perkiraan proporsidropout, yang diperkirakan 10% (f=0,1) Maka:

n’ =

, = 13

Sehingga jumlah kelompok responden pada penelitian ini menjadi 13

responden untuk kelompok intervensi dan 13 responden untuk kelompok

kontrol. Total dari responden pada penelitian ini sebanyak 26 responden.

3. Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive

sampling,Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

(35)

2. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang bersedia menjadi responden.

3. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia dewasa.

4. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas

Gladag.

5. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdapat keterbatasan fisik dan

mental.

6. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang mengkonsumsi terapi standar atau

hanya terapi oral.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang memiliki luka gangren.

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independent.

Variabel independent dalam penelitian ini adalah terapiSEFT.

2. Variabel Dependent.

Variabel independent dalam penelitian ini adalah kadar glukosa darah

penderita diabetes melitus tipe 2.

3. VariabelConfounding/Kendali.

Variabel confounding dalam penelitian ini adalah usia, dan pendidikan. Sedangkan variabel confounding yang tidak dikendalikan adalah diet, jenis

kelamin, penyakit penyerta, terapi obat, dan lama menderita.

D. Definisi Operasional

Tabel 3 Definisi Operasional Penelitian

No Variabel Definisi Alat Ukur dan

Hasil Ukur Skala

1. Terapi SEFT

Suatu terapi komplementerbodymind

(36)

-Akan membebaskan Emosi dari berbagai Kondisi negatif dalam tubuh. Tiap satu sesi terapi berlangsung kurang lebih 10 menit yang akan dilakukan pada pagi hari oleh peneliti sendiri dan atau dibantu

oleh terapis lain

5. Pendidikan Tingkat pendidikan terakhir yang sudah ditempuh.

Lama menderita diabetes melitus tipe 2 dari awal terdeteksi.

Penelitian ini bertempat di wilayah kerja puskesmas Gladag, Kota Banyuwangi.

F. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari–Maret 2016.

G. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan ModulSEFT, Glukometer, dan Lembar Observasi.

H. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Peneliti mempersiapkan alat dan bahan berupa ModulSEFT, Inform Consent,

Glukometer, dan Lembar Observasi.

(37)

c. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari dilakukannya penelitian.

d. Peneliti memberikan lembarinformed konsentdilakukannya penelitian. e. Peneliti menjelaskan tahapan terapi.

f. Pengukuran glukosa darah pretest yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri dan atau dibantu asisten.

g. Pelaksanaan terapiSEFTdilakukan oleh peneliti dan atau dibantu terapis lain,

satu sesi terapi dilakukan dalam waktu kurang lebih 10 menit pada pagi hari,

dan diberikan tiga kali dalam waktu satu minggu yang akan dilakukan di

puskesmas Gladag.

h. Pengukuran hasil terapi berupa nilai kadar glukosa darah.

Alur Penelitian

I. Analisa Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan salah satu uji mendasar yang dilakukan

sebelum melakukan analisis data lebih lanjut atau lebih dalam, data yang

normal dijadikan landasan dalam beberapa uji statistik. Uji normalitas Hari ke-1

Hari ke-1

Hari ke-1

Hari ke-3

Pengisian Inform Consent

Pemeriksaan kadar Glukosa Darah Pre test

Kel.Kontrol Kel.Intervensi

TerapiSEFT dan Standar

TerapiSEFT dan Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

(38)

berfungsi untuk melihat bahwa data sampel yang kita ambil atau kita gunakan

mengikuti atau mendekati distribusi normal (distribusi data tersebut tidak

melenceng kekiri atau kekanan) dilihat dari hasil histogram.Tehnik yang

digunakan untuk uji normalitas pada penelitian ini dengan menggunakan

Shapirowilk test karena jumlah responden lebih kecil dari 50 orang (26 responden).

2. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan

karakteristik masing–masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007). Variabel

yang dianalisis univariat pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,

pendidikan, dan lama menderita. Penyajian data kategorik seperti usia, jenis

kelamin, pendidikan, dan lama menderita menggunakan presentase.

3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk membuktikan hipotesis yang telah

dirumuskan. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dua

variabel. Pada penelitian ini digunakan uji statistik Uji paired sample t test

untuk mengetahui apakah ada perubahan yang bermakna antara nilai glukosa

darah sebelum dan sesudah terapi SEFT pada masing-masing kelompok. Dan ujiindependent sample t testuntuk mengetahui perbedaan antara kadar glukosa

darah kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dalam penelitian ini

menggunakan tingkat kemaknaan 0.05 dan derajat kepercayaan CI 95%.

4. Analisis Multivariat

Analisis Multivariat merupakan salah satu jenis analisis statistik yang

(39)

banyak variabel independen dan juga banyak variabel dependen. Variabel

yang dianalisis pada penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, dan pendidikan

dihubungkan dengan penurunan kadar gula darah di uji menggunakanregresi

linier. Analisis multivariat dilakukan melalui model prediksi yaitu untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel dependen.

1. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen

dan dependen. Bila hasil uji variat mempunyai nilai p < 0,25 maka variabel tersebut dapat masuk dalam model multivariat jika secara

substansi variabel tersebut penting.

2. Memilih variabel yang dianggap penting dengan cara mempertahankan

variabel yang mempunyai p < 0,05 dan mengeluarkan variabel yang

mempunyaip > 0,05secara bertahap mulai dari variabel yang memiliki p

paling besar.

J. Etika Penelitian

Pelaksanaan melakukan penelitian, peneliti perlu membawa rekomendasi

dari institusi untuk pihak lain dengan cara mengajukan permohonan izin kepada

institusi/lembaga tempat penelitian yang dituju oleh peneliti. Kemudian peneliti

mengajukan surat kelayakan etik penelitian yang dilakukan di Komite Etik

Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Selanjutnya surat hasil uji etik dan disertai surat ijin penelitian diserahkan ke

Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Dinas Kesehatan, dan Kantor

Puskesmas. Setelah mendapat persetujuan, barulah peneliti dapat melakukan

(40)

1. Lembar persetujuan atauInformed Consent.

Lembar persetujuan atau informed consent ini diberikan peneliti kepada reponden yang akan diteliti yang sudah memenuhi kriteria. Lembar persetujuan

atau informed consent riset diberikan oleh peneliti kepada responden yang berisi tentang informasi studi penelitian dan penjelasan tentang maksud dan

tujuan penelitian serta dampaknya, sehingga reponden dapat memutuskan

apakah akan terlibat atau tidak dalam penelitian. Jika subyek bersedia maka dia

harus menandatangani lembar persetujuan dan apabila tidak bersedia maka

peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek.

2. Tanpa Nama atauAnonimity

Kerahasiaan mengacu pada tanggung jawab peneliti untuk melindungi semua

data yang dikumpulkan dalam lingkup proyek atau pemberitahuan kepada yang

lain. Kerahasiaan informasi dijamin peneliti, hanya kelompok data tertentu

saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Anonymity mengacu pada

tindakan merahasiakan nama peserta terkait dalam partisipasi mereka dalam

penelitian. Untuk kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

reponden tetapi pada lembar tersebut diberi kode atau inisial untuk nama

responden.

3. Kerahasiaan atauconfidentality

Semua informasi dari reponden tetap dirahasiakan, dan peneliti melindungi

semua data yang dikumpulkan dalam lingkup proyek dari pemberitahuan

kepada orang lain dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan

sebagai hasil penelitian.

(41)

Sebelum penelitian dilakukan, responden diberikan penjelasan tentang tujuan

dan prosedur penelitian (pada lembar penjelasan penelitian). Responden juga

mendapatkan penjelasan bahwa penelitian ini tidak akan membahayakan atau

tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan, misalnya : sesak napas,

nyeri, luka, penurunan kesadaran ataupun dipungut biaya tertentu. Selama

terapi berlangsung, peneliti melakukan observasi penuh di dekat responden.

Jika responden merasa tidak nyaman dengan terapi SEFT, maka dapat

mengundurkan diri kapan saja.

5.Beneficience(bermanfaat/melakukan yang baik untuk kemanusiaan).

Peneliti menjelaskan tentang keuntungan bila responden berpartisipasi dalam

penelitian ini, yaitu terapi SEFT dapat membantu menurunkan glukosa darah

pada subyek penelitian. Manfaat lain yang didapatkan oleh responden

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Gladag

Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, pada 28 februari sampai dengan 4 maret

2016. Puskesmas Gladag memberikan pelayanan dasar, rujukan dan pendidikan

kesehatan. Jumlah keseluruhan responden pada penelitian ini sebesar 24 orang

yang merupakan penduduk yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Gladag.

Penetapan responden sebagai sampel dalam penelitian ini didasarkan pada studi

pendahuluan yang sudah dilakukan peneliti pada waktu sebelumnya. Responden

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu

12 orang sebagai kelompok kontrol dan 12 orang sebagai kelompok intervensi.

Dalam proses pengambilan data ada responden yang mengundurkan diri atau

mengalamidrop out.

Pemberian intervensi SEFT pada penelitian ini dilakukan oleh praktisi yang sudah ahli dalam melakukan SEFT. Peneliti disini memberikan pengetahuan akan penyakit DM pada kedua kelompok kontrol dan perlakuan.

Selanjutnya, kelompok perlakuan mendapatkan intervensi SEFT. Sedangkan pada kelompok kontril tidak mendapatkan intervensi apapun, dan langsung

dilakukan cek glukosa darah, akan tetapi setelah kegiatan penelitian selesai

dilakukan kelompok kontrol juga dilakukan terapi SEFT. Pada kedua kelompok evaluasi terhadap hasil penelitian yaitu perubahan kadar glucosa darah pada

(43)

2. Analisis Univariat

Karakteristik responden yang akan dijelaskan dalam analisis univariat

penelitian ini meliputi usia responden, jenis kelamin, pendidikan, dan lama

menderita DM untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Distribusi

frekuensi karakteristik responden penelitian terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 4 Hasil analisis uji homogenitas pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas gladag, Banyuwangi tahun 2016

No. Karakteristik

Laki-laki 6 50% 2 16,7% 0,083*

Perempuan 6 50% 10 83,3%

3 Pendidikan Terakhir

Pendidikan Rendah 10 83,3% 9 75,0% 0,615**

Pendidikan Tinggi 2 16,7% 3 25,0%

4 Lama Menderita DM

< 4 tahun 5 41,7% 6 50% 0,682*

≥ 4 tahun 7 58,3% 6 50%

*p<0,05Based onujipearson chi-square

**p<0,05Based onujichi-square fisher’s exact test

Hasil Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur

dalam rentang 46-55 tahun sebesar 75% pada kelompok kontrol sedangkan pada

kelonpok intervensi juga sama dalam rentang 46-55 tahun sebesar 75%. Variabel

umur ini selanjutnya diuji dengan chi-squareuntuk mengetahui kesetaraan umur responden antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol dan diperoleh

nilai p=1,000 (p>0,05), yang berarti bahwa ada kesetaraan umur antara

kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

Hal lain yang didapat dari tabel yaitu jumlah jenis kelamin perempuan

(44)

untuk kelompok intervensi. Variabel ini selanjutnya diuji dengan chi-square

untuk mengetahui kesetaraan jenis kelamin reponden antara kelompok intervensi

dengan kelompok kontrol dan diperoleh nilai p=0,083 (p>0,05), yang berarti ada

kesetaraan jenis kelamin antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

Pada tingkat pendidikan dari tabel didapatkan pendidikan rendah

merupakan jenjang terbanyak yang dienyam oleh responden yaitu 83,3% untuk

kelompok kontrol dan 75,0% untuk kelompok intervensi. Variabel ini

selanjutnya diuji dengan chi-square untuk mengetahui kesetaraan jenjang

pendidikan responden antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dan

diperoleh nilai p=0,615 (p>0,05), yang berarti ada kesetaraan jenjang pendidikan

antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Pada lama menderita DM didapatkan rata-rata responden menderita lebih

dari 4 tahun, yaitu 58,3% untuk kelompok kontrol dan 50% untuk kelompok

intervensi. Variabel ini selanjutnya diuji dengan chi-square untuk mengetahui

kesetaraan lama menderita responden antara kelompok kontrol dan kelompok

intervensi dan diperoleh nilai p=0,682 (p>0,05), yang berarti ada kesetaraan

lama menderita antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Karakteristik responden selanjutnya yang akan kita jelaskan adalah

(45)

Tabel 5 Perubahan kadar glukosa darah pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas gladag, Banyuwangi tahun 2016

No

1. 317.0 mg/dl 320.0 mg/dl 235.0 mg/dl 210.0 mg/dl

2. 352.0 mg/dl 256.0 mg/dl 332.0 mg/dl 223.0 mg/dl

3. 278.0 mg/dl 266.0 mg/dl 330.0 mg/dl 185.0 mg/dl

4. 412.0 mg/dl 354.0 mg/dl 349.0 mg/dl 263.0 mg/dl

5. 260.0 mg/dl 204.0 mg/dl 400.0 mg/dl 287.0 mg/dl

6. 268.0 mg/dl 310.0 mg/dl 279.0 mg/dl 112.0 mg/dl

7. 410.0 mg/dl 385.0 mg/dl 435.0 mg/dl 317.0 mg/dl

8. 332.0 mg/dl 343.0 mg/dl 213.0 mg/dl 198.0 mg/dl

9. 331.0 mg/dl 253.0 mg/dl 457.0 mg/dl 322.0 mg/dl

10. 238.0 mg/dl 176.0 mg/dl 413.0 mg/dl 242.0 mg/dl

11. 412.0 mg/dl 359.0 mg/dl 338.0 mg/dl 179.0 mg/dl

12. 278.0 mg/dl 236.0 mg/dl 252.0 mg/dl 136.0 mg/dl

Dari tabel diatas dapat diperoleh nilai penurunan kadar glukosa darah terbesar pada kelompok kontrol yaitu sebesar 78 mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi penurunan terbesar yaitu sebesar 171 mg/dl.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh intervensi SEFT terhadap kelompok perlakuan yaitu

dengan melihat dan menganalisis perubahan kadar gula darah pada kelompok

kontrol (pre-post) dan menganalisis perubahan kadar gula darah pada kelompok

perlakuan (post-test), serta mengetahui perbedaan perubahan skor kadar glukosa

(46)

Tabel 6 Uji normalitas kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensi SEFT pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

Responden Kadar Gula Darah ρ*

Kelompok Kontrol KGD pre-test 0,171

KGD post-test 0,744

Kelompok Intervensi KGD pre-test 0,695

KGD post-test 0,898

*p>0,05Based on Shapiro-Wilk test

Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas variabel kadar glukosa

darah pre-test dan post-test pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

dengan ujiShapiro-Wilk test didapatkan nilai p>0,05 yang berarti sebaran data

normal sehingga analisa data dapat dilanjutkan dengan menggunakan ujistatistik paired t testdanindependent t test.

Tabel 7 Perubahan rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensiSEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

Responden

Kontrol 324,00±62,30 288,50±66,31 9,97 ; 61,03 3,061 0,011 Kelompok

Intervensi 336,08±79,96 222,83±66,58 81,18 ; 145,32 7,772 0,000 *p>0,05Based on paired t-test

Sumber: Data Primer 2015

Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah sebelum

dilakukan intervensiSEFT pada kelompok kontrol adalah sebesar 324,00 mg/dl, dengan standar deviasi 62,30 mg/dl, dengan tingkat kepercayaan 95%.

Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah setelah dilakukan intervensiSEFT

mengalami penurunan menjadi 288,50 mg/dl, dengan standar deviasi

66,31mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi rata-rata kadar glukosa darah

sebelum dilakukan intervensi SEFT sebesar 336,08 mg/dl, dengan standar deviasi 79,96 mg/dl. Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok

(47)

222,83 mg/dl, penurunan pada kelompok intervensi lebih besar dari pada

penurunan pada kelompok kontrol dengan standar deviasi 66,58 mg/dl, dengan

tingkat kepercayaan 95%. Hal lain dari tabel juga menjelaskan bahwa

berdasarkan hasil uji statistik Paired t-Test didapatkan nilai p untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing bernilai 0,011 dan 0,000. Nilai

p<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan secara signifikan

kadar glukosa darah sebelum dan setelah diberikan intervensi SEFT pada kedua kelompok penelitian. Hal ini dibuktikan dengan nilai rerata 95% CI pada dua

kelompok tidak melibatkan angka 0 maka hasilnya dikatakan bermakna. Pada

kelompok intervensi terjadi penurunan kadar glukosa darah lebih besar

dibandingkan dengan kelompok kontrol ditandai dengan nilai t hitung 7,772.

Tabel 8 Nilai selisih rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensiSEFT

Selisih 35,50±40,18 113,25±50,48 -77,75 -116,38 ; -39,13 0,000 *p<0,05Based on independent t-test

Tabel 8 menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata perubahan kadar

glukosa darah sebelum dan sesudah diberikan intervensi SEFT pada kelompok

kontrol dan kelompok intervensi sebesar 77,75 point. Arti 77,75 mengartikan

bahwa kelompok kontrol memiliki mean lebih rendah dari pada kelompok

intervensi. Dan diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di

populasi, maka perbedaan rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah

intervensi adalah antara -116,38 mg/dl sampai dengan -39,13 mg/dl.

(48)

perubahan kadar glukosa darah antara kelompok kontrol dengan kelompok

intervensi secara signifikan.

3. Analisis Multivariat Regresi Linier Berganda

Pemilihan multivariat variabel yang diduga berhubungan dengan

kejadian penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 yaitu: usia,

jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM serta pengaruh intervensi

SEFT. Untuk dilanjutkan keanalisis multivariat maka semua variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dan memiliki nilai p<0,25 dapat dijadikan sebagai

varibel terpilih.

Tabel 9 Hasil analisis bivariat faktor risiko yang berhubungan dengan kadar glukosa darah

Faktor risiko ρ*

Usia responden 0,770

Jenis kelamin 0,094

Pendidikan 0,397

Lama menderita DM 0,374

SEFT 0,000

*p<0,25Based on bivariat

Hasil analisis bivariat dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar

gula darah menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang memiliki nilai

p<0,25 yaitu jenis kelamin, dan SEFT. Hal itu dikarenakan variabel jenis kelamin memiliki nilai p=0,094 dan variabel SEFT memiliki p=0,000. Variabel tersebut selanjutnya akan dipaparkan pada analisis regresi linier berganda untuk

variabel yang mempengaruhi kadar glukosa darah, sehingga dapat dilanjutkan

Gambar

Tabel 3 Definisi Operasional Penelitian
Tabel 4 Hasil analisis uji homogenitas pada kelompok intervensi dan kelompok
Tabel 5 Perubahan kadar glukosa darah pada kelompok intervensi dan kelompok
Tabel 6 Uji normalitas kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar glukosa darah terhadap fungsi kognitif pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di GRHA

sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Kadar Glukosa Darah Terhadap Fungsi Kognitif pada Penderita Diabetes

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS TIDUR DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2.. DI

Tidak terdapat penurunan kadar glukosa darah pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 di kelompok Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA) RS PKU Muhammadiyah

Korelasi Antara Nilai Hemoglobin A1C Dengan Kadar Glukosa Darah Puasa Dan Kadar Glukosa Darah 2 Jam Postprandial Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.. Sylvia Rachmayati*,

Penelitian lanjutan yang dapat dilaku- kan diantaranya mengenai pengaruh terapi Reiki pada perubahan fisiologis pasien DM tipe 2 dalam penurunan kadar glukosa darah,

Penderita diabetes mellitus tipe 2 akan menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah pada tingkat normal, namun insulin

Tujuan penelitian untuk mengetahui perbandingan kadar glukosa darah penderita diabetes melitus tipe 2 yang rutin dan tidak rutin menjalankan empat pilar terapi pengelolaan