PENGARUH INTERVENSI SEFT TERHADAP PENURUNAN
KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES
MELITUS TIPE 2
TESIS
BRIAN PUTRA BARATA
20131050035
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
PROGRAM PASCASARJANA
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS
PENGARUH INTERVENSISEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA
DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2
Disusun Oleh :
Brian Putra Barata 20131050035
Pembimbing dan Penguji :
Shanti Wardaningsih., Ns.,M.Kep.,Sp.Jiwa.,Ph.D :
Novita Kurnia Sari., Ns., M.Kep :
Dr.Titih Huriah.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.K :
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Keperawatan
Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
ABSTRAK
PENGARUH INTERVENSISEFT TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA
DARAH PADA PASEIN DIABETES MELITUS TIPE 2
Oleh : Brian Putra Barata
Latar Belakang : Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik kronis, yang ditandai dengan gangguan dalam metabolisme sebagai akibat dari sekresi insulin menurun, atau karena penurunan sensitivitas insulin dari sel sel tubuh. Penyebab lain terjadinya diabetes melitus adalah stres, yang merupakan penyumbang utama untuk diabetes. SEFT merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat stres. Sehingga, diharapkan setelah dilakukan terapi SEFT pada pasien bisa membantu untuk menurunkan kadar glukosa darah.
Tujuan Penelitian : Menganalisis pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi experiment menggunakan dengan desain penelitian pretest – posttest with control group design. Dilakukan pada sekelompok subyek yang berjumlah total 24 orang, yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan terhadap keadaan yang ingin diteliti, kemudian dilakukan intervensiSEFTselama 3 kali terapi dalam waktu 3 hari.
Hasil Penelitian : Nilai penurunan kadar glukosa darah terbesar pada kelompok kontrol yaitu sebesar 78 mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi penurunan terbesar yaitu sebesar 171 mg/dl. Karakteristik jenis kelamin didapatkan perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, yaitu 60% untuk kelompok kontrol dan 83,3% untuk kelompok intervensi. Pada tingkat pendidikan, didapatkan pendidikan rendah sebagai tingkatan terbanyak yang dienyam oleh responden yaitu 83,3% untuk kelompok kontrol dan 75,0% untuk kelompok intervensi. Pada lama menderita DM didapatkan rata-rata responden menderita lebih dari 4 tahun, yaitu 58,3% untuk kelompok kontrol dan 50% untuk kelompok intervensi.
Kesimpulan : Terdapat penurunan kadar glukosa darah yang signifikan pada penderita diabetes melitus tipe 2.
ABSTRACK
SEFT INTERVENTION EFFECT OF LOWERING BLOOD GLUCOSE LEVELS IN
PATIENTS OF DIABETES MELLITUS TYPE 2
By : Brian Putra Barata
Background:Diabetes mellitus is a chronic metabolic disease, which is characterized by disturbances in the metabolism as a result of decreased insulin secretion, or because of decreased insulin sensitivity of the cells of the body. Other causes of diabetes mellitus is stress, which is a major contributor to diabetes.SEFTis a complementary therapy that can be used to reduce stress levels. Thus, expected after SEFTtherapy in patients can help to lower blood glucose levels.
Methods: This study uses a quasi-experimental research design using a research design pretest - posttest control group design. Conducted on a group of subjects who totaled 24 people, who meet the inclusion criteria of the state examination to be observed, then intervention therapy SEFT for 3 times in 3 days.
Results: Values largest decrease in blood glucose levels in the control group at 78 mg/dl. While the intervention group the largest decrease in the amount of 171 mg/dl. Number of female sex more than men, ie 60% for the control group and 83.3% for the intervention group. At the educational level of the table got lower as the highest educational dienyam by respondents ie 83.3% for the control group and 75.0% for the intervention group. In the long-suffering DM obtained an average respondent suffered more than 4 years, ie 58.3% for the control group and 50% for the intervention group.
Conclusion: There was a decrease in blood glucose levels significantly in patients with type 2 diabetes mellitus.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik kronis, yang ditandai dengan
gangguan dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan asam amino, baik sebagai akibat dari sekresi insulin menurun, atau karena penurunan sensitivitas insulin dari
sel sel tubuh (Papazafiropoulou et al, 2008). Diabetes melitus adalah penyakit yang
memperoleh bentuk epidemi, seperti prevalensinya sudah meningkat lima kali lipat
selama lima belas tahun terakhir dan merupakan salah satu ancaman utama
kesehatan manusia di abad ke-21 (Zimmet, et al, 2001).
Indonesia pada tahun 2011 telah menduduki rangking keempat jumlah
penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada
tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk
diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta penyandang diabetes dengan tingkat
prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural. Sementara itu,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang
diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3
juta pada tahun 2030. Sedangkan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF)
pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus
dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (Pdpersi, 2011).
Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi
penderita pada 2014 mencapai 530 pasien sedangkan sampai dengan bulan
november 2015 jumlahnya meningkat menjadi 624 pasien (Dinkes Banyuwangi,
2015).
Diabetes melitus diklasifikasikan dalam empat jenis yaitu; (a) Tipe 1 yang
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas akibat proses autoimun yang
menyebabkan kekurangan insulin. (b) Tipe 2 yang merupakan hasil dari kerusakan
sekresi insulin yang progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya
berhubungan dengan obesitas. (3) Gestasional yang didiagnosa selama kehamilan.
(4) Tipe lain dapat muncul akibat kerusakan fungsi pankreas yang bersifat genetik,
penyakit pankreas, atau penyakit yang dipengaruhi oleh obat (Smeltzer & Bare,
2009; Black & Hawks, 2009). Diabetes tipe 2 adalah yang terbanyak yaitu 90 –
95% dan 90% dari diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh faktor keturunan dan obesitas
(Williams & Hopper, 2007).
Diabetes tipe 2 yang merupakan hasil dari kerusakan sekresi insulin yang
progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya berhubungan dengan
obesitas, penuaan, dan keturunan (Smeltzer & Bare, 2009). Dari berbagai macam
tipe diabetes, diabetes tipe 2 adalah yang terbanyak yaitu 90 – 95% dan 90% dari
diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh faktor keturunan dan obesitas (Williams &
Hopper, 2007).
Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan
frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat
lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan
atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak
dan remaja (Smeltzer & Bare, 2009).
Individu dengan diabetes melitus dibebani dengan faktor-faktor
sosio-demografi dan perilaku pribadi, yang berkontribusi terhadap munculnya
manifestasi dari gejala cemas. Wanita dengan diabetes mellitus mendapatkan
pengaruh yang lebih tinggi dari munculnya cemas dibandingkan dengan laki-laki
sebagai akibat dari penyakit ini. Orang yang hidup sendiri lebih rentan dan
menghadapi risiko lebih besar dariorang-orang yang hidup dengan orang lain yang
signifikan (Roupa et al, 2009). Sebuah studicross-sectional di Inggris menemukan bahwa hampir sepertiga dari penderita diabetes menderita kecemasan dan pasien
seperempat menderita depresi (Collins, Corcorant, Perry, 2009). Hasil dari banyak
survei dan meta-analisis yang dilakukan pada diabetes mellitus dan depresi dan
cemas telah menunjukkan bahwa keberadaan diabetes mellitus menggandakan
probabilitas kejadian depresi dan gejala depresi yang muncul lebih signifikan pada
wanita, daripada laki–laki (Anderson et al, 2001., Ali et al, 2006 ).
Penyebab lain terjadinya diabetes melitus adalah stres, yang merupakan
penyumbang utama untuk diabetes, tetapi kebanyakan orang tidak mengerti apa
yang harus dilakukan ketika hal itu muncul. Ketika tubuh akan merasakan ancaman
yang berbahaya, tubuh secara otomatis akan merespon. Kelenjar adrenal kita akan
memompa keluar sejumlah hormon. Hormon itu adalah kortisol, yang memberitahu
hati dan sel-sel lain untuk menuangkan semua gula yang disimpan (glukosa) ke
dalam aliran darah. Hal ini dilakukan agar kaki dan lengan otot dapat menggunakan
glukosa sebagai bahan bakar untuk melarikan diri, melawan, atau mungkin
sel-sel Anda menjadi resisten insulin, sebagian dari glukosa ekstra tetap dalam darah
dan menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Hal inilah yang
menyebabkan kadar gula darah meningkat. Jika proses ini terus berlangsung maka
kita akan memiliki gula darah yang berlebih didalam darah (Spero, 2006).
Loyd & Johnson dalam buku The Healing Code : 6 Minutes to Heal theSource of Your Health, Success, or Relationship Issue mengeluarkan hasil riset
terbaru bahwa pembunuh nomor satu di dunia saat ini adalah stres emosional.
Lebih dari 95% penyakit fisik maupun nonfisik memiliki akar permasalahan yang
sama yaitu stres emosional. Ini membuktikan adanya hubungan yang erat antara
tekanan emosional dengan penyakit, inilah hubungan pikiran – tubuh (body – mind). Keadaan ini bila tidak cepat diatasi maka akan menyebabkan mudahnya
seseorang terjangkiti penyakit yang berat (Loyd, 2011). Masalah-masalah fisik,
pikiran dan jiwa, yang kalau terganggu aliran energinya akan timbul keluhan dan
gejala yang menurunkan kualitas hidup manusia yang mengalaminya (Saputra,
2012).
Pada penelitian ditemukan bahwasanya EFT mampu untuk menurunkan
glukosa darah (Mahnaz, et al, 2014). Metode ini dikembangkan kembali di
Indonesia dengan menambahkan unsur spiritual menjadi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Metode terapi SEFT dikembangkan berdasarkan
pandangan bahwa beban emosional (pikiran negatif) yang dialami individu menjadi
penyebab utama dari penyakit fisik maupun penyakit nonfisik yang dideritanya.
Tekanan emosional yang tidak teratasi akan menghambat aliran energi di dalam
tubuh sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah terjangkiti penyakit. Untuk
menumbuhkan sikap positif bahwa apapun masalah pikiran, jiwa dan rasa sakitnya
ia ikhlas menerimanya serta mempasrahkan kesembuhannya pada Allah SWT
(Zainuddin, 2009; Saputra, 2012).
Cara pandang manusia sebagai makhluk yang holistik dan memiliki
kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan teori keperawatan
yang dikemukakan oleh Calista Roy. Dalam konsepnya, Roy menguraikan
bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara
mempertahankan perilaku secara adaptif. Manusia adalah sebagai sebuah sistem
adaptif yang menerima input rangsangan dari lingkungan luar dan lingkungan
dalam diri individu itu sendiri. Manusia memiliki fungsi fisiologi berhubungan
dengan struktur tubuh dan fungsinya. Kebutuhan dasar ini meliputi : kebutuhan
oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas dan istirahat, proteksi, penginderaan, cairan
dan elektrolit, persarafan (neurologi), fungsi endokrin (Alligood & Tomay, 2006).
Manusia juga dipandang memiliki konsep diri yang berhubungan dengan
psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual
manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis
antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut
Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.
Physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan
sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkanpersonal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut.
Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut menjadi beban emosional dan
merupakan hal yang berat dalam area ini. Oleh sebab itu manusia juga
dan menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling menghargai (Alligood &
Tomay, 2006).
SEFT merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan
untuk menurunkan tingkat stres. Keefektifan terapi ini terletak pada pengabungan
antara Spiritual Power dengan Energy Psychology. Spiritual Power memiliki lima
prinsip utama yaitu ikhlas, yakin, syukur, sabar dan khusyu. Energy Psychology
merupakan seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan system energy tubuh
untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku (Freinstein dalam
Zainudin, 2012). Jika dilihat dari aspek reaksi fisiologis terhadap SEFT, maka perangsang dengan cara mengetuk-ngetuk ringan (tapping) pada titik 12 titik
meridian tubuh tersebut dapat menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan
hormon endorphins (Johnson, 1999; Nopadow etc 2008 dalam Rokade, 2011), dimana hormon endorphins tersebut dapat memberikan efek menenangkan serta menimbulkan perasaan bahagia (Goldstein dan Lowry, 1975 dalam Rokade, 2011).
Hal yang diharapkan dari keluarnya hormon endorphin yaitu bisa menurunkan
hormon kortisol dan epineprin karena hormon ini berkerja berlawanan. Sehingga
bisa menekan produksi glukagon dan glukosa darah.
B. Rumusan Masalah
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis dengan prevalensi yang
meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia terutama di kalangan kelompok
dewasa. Padahal penderita DM juga memiliki risiko komplikasi penyakit
kardio-sebrovaskular seperti retinopati, kebutaan, stroke, hipertensi dan serangan jantung
yang jauh lebih tinggi daripada populasi normal. Oleh karena itu, peneliti ingin
menggunakan terapiSEFT. Hal ini peneliti lakukan karena terapi ini sudah terbukti
diberbagai negara dan universitas – universitas di indonesia akan manfaat darinya.
Dengan harapan dapat mengetahui akan pengaruh terapi ini pada penderita diabetes
mellitus di daerah kami.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh terapiSEFTterhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah terapi
SEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
b. Mengidentifikasi karakteristik usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama
menderita pada pasien diabetes melitus tipe 2.
c. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah terapi
SEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
d. Menganalisis perbedaan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi.
e. Menganalisis variabel SEFT, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama menderita yang berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
Memberikan informasi kepada pihak pelayanan kesehatan akan manfaat terapi
masyarakat khususnya dalam hal menurunkan gula darah pada penderita
diabetes mellitus tipe 2.
2. Untuk institusi pendidikan.
Memberikan informasi dan acuan penelitian akan manfaat terapi SEFT dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya dalam hal menurunkan
gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2.
3. Untuk perkembangan ilmu keperawatan.
Dapat digunakan sebagai bahan referensi dan kajian tentang manfaat dan
potensi akan terapiSEFT.Memperkuat dukungan teori akan penggunaan terapi
SEFTuntuk penelitian selanjutnya. 4. Untuk penelitian keperawatan
Menjadi landasan dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang terapiSEFT
dan diabetes melitus tipe 2. Sehingga, bisa memperoleh data penelitian yang lebih mudah dan cepat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pustaka, beberapa penelitian yang terkait dengan
penelitian ini yaitu :
1. Masyitah, Dewi (2013) Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimen dengan pendekatan the
one group pretest – posttest. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
terapi SEFT, kuesioner karakteristik responden dan alat ukur tekanan darah
(tensimeter air raksa, manset ukuran dewasa dan stetoskop). Analisa data
menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat degan uji statistik Uji t
dependent (paired-sample t test). Hasil analisis data menunjukkan ada pengaruh terapi SEFT terhadap tekanan darah pasien hipertensi. Faktor karakteristik umur, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga dan penyakit
penyerta tidak ada hubungan dengan penurunan tekanan darah setelah terapi
SEFT. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar terapi SEFT sebagai
intervensi keperawatan yang mandiri dan inovatif pada asuhan keperawatan
klien dengan hipertensi.
2.Yanti, Nova (2012) Perbandingan Efektifitas Terapi Zikir Dengan Relaksasi Benson
Terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Di Sumatera Barat.
Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperiment pre test and post test nonequivalent control group. Variabel independen adalah terapi zikir dan relaksasi Benson sedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah
pasien diabetes melitus. Karakteristik (faktor konfounding) yang dapat
membedakan antara kadar glukosa darah adalah usia, jenis kelamin,
komplikasi, dosis insulin, dan stress. Metode pengambilan sampel pada
penelitian ini adalah purposive sampling. Peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif bahwa responden tersebut dapat
memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian
Peneliti membandingkan efektifitas terapi zikir dengan relaksasi Benson
terhadap kadar glukosa darah pada tiga kelompok independen. Pengukuran
yang digunakan adalah GlucoDR. Biosensor AGM 2100, Terumo Finetouch
Blood Glucose meter MS*GR102M, dan Accu-Chek Active meter system. Volume sampel 2µl, minimal 1,5µl. Rentang pengukuran 20–900 mg/dl, waktu
test 10 detik. Sistem kalibrasi menggunakan kode chip. Penelitian dilakukan
selama lima hari dan kadar glukosa darah ketiga kelompok diukur sebanyak
dua kali sehari yaitu kadar glukosa darah sewaktu. Kerangka penelitian yang
dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel
independen dan variable dependen. variabel independen adalah terapi zikir dan
relaksasi Benson sedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah
pasien diabetes melitus. Karakteristik (faktor konfounding) yang dapat
membedakan antara kadar glukosa darah adalah usia, jenis kelamin,
komplikasi, dosis insulin, dan stress. Analisis data pada penelitian ini adalah
analisis univariat dan analisis bivariat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan setelah
intervensi pada masing-masing kelompok (p=0,00), selisih rata-rata kadar
glukosa darah sebelum dan setelah intervensi antar kelompok (p=0,000), dan
rata-rata kadar glukosa darah setelah intervensi antar kelompok (p=0,00).
Terapi zikir lebih efektif dibandingkan relaksasi Benson dalam menurunkan
kadar glukosa darah.
3. Burhanudin (2013) Pengaruh Hypnotherapy Terhadap Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus Di Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten
Pekalongan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh hypnotherapy terhadap
kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Desain penelitian pre
eksperimental menggunakan metode one group pretest-posttest. Jumlah sampel sebanyak 20 pasien. Uji statistik yang digunakan yaitu uji Wilcoxon
Signed Ranks Test dengan 5%. Variabel independen dalam penelitian ini adalah hypnoterapy dan variabel dependen adalah kadar glukosa darah. Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat pengaruh hypnotherapy terhadap kadar
glukosa darah pasien diabetes melitus.
4. Anwar, Zainul (2011). Model Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom
Technique) Untuk Mengatasi Gangguan Fobia Spesifik.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus tunggal. Desain dalam penelitian ini
menggunakan desain ABA. penelitian ini peneliti menggunakan rancangan
penelitian studi-kasus tunggal atau small-N-design. Rancangan penelitian studi-kasus tunggal ini biasa diterapkan pada penelitian yang bersifat
behavioral analysis. Subyek penelitian ini adalah orang yang mengalami fobia
spesifik sesuai dengan kriteria DSM IV. Analisa data dalam penelitian ini
menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan teknik visual inspection
terhadap Subjective Units of Disturbance Scale (SUDS) selama tahap pra-terapi serta sesi pra-terapi. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa
kualitatif dengan menggunakan teknik visual inspection terhadap Subjective
Units of Disturbance Scale (SUDS) selama tahap pra-terapi serta sesi terapi.
SEFTdiberikan sebanyak 8 putaran selama 3 kali pertemuan terapi. Alat ukur
penderita gangguan fobia spesifik. Penurunan level kecemasan atau ketakutan
berdasarkan SUDS (Subjective Units Disturbance Scale) selama pemberian terapi sangat signifikan dan terdapat perubahan reaksi fisiologis dan respon
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks dan
memerlukan perawatan medis terus menerus dengan strategi pengurangan risiko
multifaktorial luar kontrol glikemik (ADA, 2015). Kriteria diagnostik WHO
diabetes harus dipelihara agar kadar glukosa plasma puasa ≥ 7.0mmol / l
(126mg / dl) atau 2 - jam glukosa plasma ≥ 11.1mmol / l (200 mg / dl) (WHO,
2006). Diabetes tipe 2 merupakan hasil dari kerusakan sekresi insulin yang
progresif bersamaan dengan resistensi insulin, biasanya berhubungan dengan
obesitas (Black & Hawks, 2009).
Diabetes terjadi jika terdapat kerusakan produksi insulin pada sel beta pankreas, atau karena ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin.
Glukosa yang tidak dapat masuk kedalam sel akan tetap berada dialiran darah
sehingga terjadilah hiperglikemia. Sementara itu sel membutuhkan energi yang
berasal dari glukosa sehingga sekresi glukagon abnormal terjadi untuk
memecahkan glukosa di hati dan otot yang makin memperparah hiperglikemia
(Williams & Hopper, 2007). Selama periode puasa (antara waktu makan dan
malam hari) penurunan glukosa diatasi dengan proses glikogenolisis dengan bantuan glikogen, namun setelah 8 sampai 12 jam tanpa makanan, hati akan
1. Penyebab terjadinya Diabetes Mellitus type 2 adalah : a. Stress
Stres diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi
ancaman (nyata atau membayangkan) terhadap mental, fisik, emosional,
dan kesejahteraan spiritual seseorang, yang menghasilkan serangkaian
respon fisiologis dan adaptasi (Seaward, 2006 didalam Moffit).
Ketika tubuh merasakan ancaman, terjadi serangkaian respon
kimia dan fisik. Tanggapan pertama adalah aktivasi sistem saraf otonom
(ANS) (Pelletier, 1993). Merupakan bagian dari sistem saraf yang tidak
normal di bawah kendali kita. Cabang simpatik dari sistem saraf otonom
mengatur respon stres sedangkan sistem saraf parasimpatis mengontrol
respon relaksasi. Ketika respon stres terjadi, tubuh mengeluarkan
katekolamin (hormon stres) yang membantu mempersiapkan diri seseorang baik melawan atau berpaling dari ancaman dan
menyelesaikannya. Hormon stres ini yang paling dikenal adalah
epinefrin, yang disekresi oleh kelenjar adrenal (medulla) yang terletak di atas ginjal, dan norepinefrin, juga disekresikan oleh kelenjar adrenal dan
ujung saraf di seluruh tubuh (Seaward, 2006).
Epinefrin dilepaskan oleh medula adrenal dalam menanggapi
hipoglikemia (sebagai serta rangsangan stres lainnya), dan sebagai
bagian dari persiapan untuk latihan. Norepinefrindilepaskan dari neuron simpatik. Kedua katekolamin ini memiliki peran penting dalam menjaga
kadar glukosa dalam latihan (terutama dalam mendukung peningkatan
besar dalam penggunaan glukosa oleh otot), dan dalam kondisi yang
menghambat produksi insulin, yang pada akhirnya berefek langsung
pada metabolisme glukosa di hati, sehingga kadar glukosa darah
meningkat. Epinefrin juga memiliki efek langsung dalam menstimulasi
hati glukoneogenesis, glikolisis otot, dan pemecahan glikogen di kedua jaringan (Brant, 1999).
Kelenjar pituitari anterior mengeluarkan hormon
adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan aldosteron dan cortisol. Kelenjar pituitari juga mengeluarkan
vasopressin, atau hormon antidiuretik. Aldosteron dan vasopressin
menjaga volume darah dengan mengurangi jumlah natrium dan air yang
dieksresikan melalui ginjal (Eliopoulos, 2004; Leddy, 2006).
Pengaruhnya yaitu terjadi peningkatan detak jantung, tekanan darah
meningkat, laju dan kedalaman pernapasan meningkat, pelepasan
glukosa hati, dan pelebaran pembuluh darah di organ penting, sedangkan
pembuluh organ yang tidak penting (seperti kulit dan saluran
pencernaan) menyempit. Seluruh tubuh difokuskan pada menjaga otak,
jantung, paru-paru, dan otot-otot besar siap untuk melawan atau
melarikan diri. Kortisol meningkatkan produksi glukosa dan membantu
memecah lemak dan protein untuk memberikan tubuh dengan energi
yang dibutuhkan untuk menangani proses metabolisme tubuh
(Eliopoulos, 2004; Leddy, 2006).
b. Gaya hidup
Banyak faktor gaya hidup yang diketahui berperan penting dalam
ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh yang lebih besar dari tiga
puluh), kurangnya kegiatan fisik, asupan gizi yang tidak baik, stres, dan
urbanisasi. Kelebihan lemak tubuh dikaitkan dengan 30% kasus diabetes
pada pasien keturunan China dan Jepang, 60-80% kasus pada pasien
keturunan Eropa dan Afrika, dan 100% kasus pada pasien Indian Pima
dan Kepulauan Pasifik. Pasien yang tidak gemuk biasanya memiliki
rasio pinggang-pinggulyang besar (Wikipedia, 2015).
Faktor diet juga mempengaruhi risiko munculnya penyakit
diabetes tipe 2. Konsumsi minuman yang mengandung pemanis gula
berlebihan juga berhubungan dengan peningkatan risiko. Tipe lemak
dalam diet juga berpengaruh penting, dengan lemak jenuh dan asam
lemak trans bisa meningkatkan risiko, sebaliknya tidak jenuh ganda dan
lemak tidak jenuh tunggal menurunkan risiko. Konsumsi beras putih
yang terlalu banyak juga tampaknya berperan dalam meningkatkan
risiko. Kurang olahraga diyakini menyebabkan 7% kasus (Wikipedia,
2015).
c. Olahraga
Olahraga adalah jenis latihan fisik (jasmani) melalui
gerakan-gerakan anggota tubuh atau gerakan-gerakan tubuh secara keseluruhan, dengan
maksud untuk meningkatkan dan mempertahankan kebugaran jasmani.
Olahraga berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah.
Olahraga juga dapat secara efektif mengontrol Diabetes Melitus, antara
lain dengan melakukan senam khusus Diabetes Melitus Tipe II, berjalan
merupakan cara efektif mengurangi berat badan, menurunkan kadar gula
darah, dan mengurangi stres (Wikipedia, 2015).
d. Usia
Intoleransi terhadap glukosa meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Menurut (Black &Hawks, 2005) hal ini disebabkan
oleh penurunan sensitivitas reseptor insulin, penurunan regulasi hormon
glukagon dan epineprin yang mempengaruhi kadar glukosa darah,
penurunan berat badan, dan penurunan aktivitas fisik.
e. Pendidikan
Studi prospektif sebelumnya telah meneliti hubungan antara tingkat
pendidikan dan kejadian diabetes dan menemukan bahwa pendidikan
rendah adalah prediktor signifikan dari diabetes tipe 2. Dalam sebuah
studi cross sectional dari Survei Kesehatan Penduduk Nasional
menemukan bahwa orang dengan kurang dari ijazah sekolah tinggi
hampir dua kali lebih mungkin untuk melaporkan memiliki diabetes
sebagai orang-orang dengan gelar sarjana atau lebih. Sectional lain lintas
dari National Health Interview Survey menemukan bahwa wanita dengan
pendidikan rendah memiliki prevalensi diabetes yang lebih tinggi
daripada yang berpendidikan lebih baik. Selanjutnya, asosiasi bervariasi
oleh ras / etnis dan jenis kelamin, dengan Whites, Hispanik dan wanita
menunjukkan hubungan yang lebih kuat antara pendidikan dan diabetes
dibandingkan orang kulit hitam dan laki-laki. Sebuah studi baru-baru ini
sectional lintas menemukan bahwa risiko diabetes tipe 2 lebih tinggi
dibandingkan dengan lebih terdidik. Studi ini menunjukkan bahwa
pencapaian pendidikan mempromosikan minat pada kesehatan sendiri
dan akuisisi pengetahuan yang sangat mempengaruhi kemampuan orang
untuk mengurangi risiko dengan berhasil mengadopsi gaya hidup sehat
(Joseph, 2014).
B. Spiritual Emotional Freedom Technique(SEFT)
SEFT merupakan hasil pengabungan dan penyempurnaan dari banyak
tehnik terapi yang sudah terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan kualitas
kesehatan pasien, sehingga menjadikannya menjadi lebih efektif dari
pendahulunya. Penggabungan tehnik juga berlandaskan dari metode – metode
sebelumnya yang pernah digunakan seperti penggunaan titik – titik energi meridian pada akupunktur dan akupresur, NLP (Neuro-Linguistic
Progamming), Systemic Desensitization, Psycoanalisa, Logotherapy, EMDR (Eye Movement Desensitization Reprocessing), Sedona Method (Releasing Technique), Ericksonian Hypnosis, Provocative Theraphy, Suggestion dan
Afirmation, Creative Visualization, Relaxation dan Meditaion, Gestald Therapy, Energy Psychology, Powerful Prayer, Loving-Kindness Therapy. Sedangkan
SEFTsendiri merupakan pengembangan dari TFT (Tought Fields Therapy)dan
EFT (Emotional Freedom Technique)(Zainuddin, 2012).
Tabel 1 Tehnik Terapi yang mendasariSEFT
No. Metode Terapi Peran dalamSEFT
1.
NLP (Neuro-Linguistic
Progamming)
Penerapan Reframing dan Anchoring
pada fase “Set up”.
“tapping”
3. Psycoanalisa
Penerapan Psikoanalisa pada fase
menemukan akar masalah (finding the
core issues)
4. Logotherapy
PenerapanThe meaning in suffering pada
fase memikirkan akan kepasrahan,
keikhlasan, dan rasa syukur.
5.
EMDR (Eye Movement
Desensitization Reprocessing)
Penerapan gerakan mata (nine gamut
procedure) pada fase akhir.
6.
Sedona Method (Releasing
Technique)
Penerapan letting go pada fase sikap
pasrah dan ikhlas.
7. Ericksonian Hypnosis
Penerapan hipnosis diri ringan (mild
hypnosis) saat menggunakan kata pilihan
yang memiliki efek hipnosis.
8. Provocative Theraphy
Penerapannya saat indvidu “dipaksa”
masuk dalam kondisi yang paling tidak
menyenangkan, paling menyakitkan.
9. Suggestion dan Afirmation
Penerapan di saat kita banyak
menggunakan pengulangan kata – kata
yang memberdayakan diri (suggestion &
affirmation).
10. Creative Visualization
Penerapannya disaat kita mendramatisir
pikiran atau perasaan negatif.
11. Relaxation dan Meditation
Penerapannya saat indvidu “dipaksa”
masuk dalam kondisi yang paling tidak
12. Gestald Therapy
Penerapan di saat kita banyak
menggunakan pengulangan kata – kata
yang memberdayakan diri sehingga
menciptakan harapan dan rasa optimis
dalam alam bawah sadar kita.
13. Energy Psychology
Penerapan pada saat proses tapping yang
dilakukan pada acupoints sepanjang jalur
meredian yang akan menetralisir
gangguan sistem energi tubuh.
14. Powerful Prayer
Penerapan pada fase memikirkan akan
kepasrahan, keikhlasan, kekhusukkan dan
rasa syukur.
15. Loving-Kindness Therapy
Penerapan pada fase kita memikirkan
akan pentingnya cinta kasih dan kebaikan
hati akan menyembuhkan orang yang kita
kasihi.
1. Cara MelakukanSEFT
SEFT memandang jika aliran energi tubuh terganggu karena dipicu
kenangan masa lalu atau trauma yang tersimpan dalam alam bawah sadar, maka
emosi seseorang akan menjadi kacau. Mulai dari yang ringan, sepertibad mood,
malas, tidak termotivasi melakukan sesuatu, hingga yang berat, depresi, phobia,
kecemasan berlebihan dan stres emosional berkepanjangan. Sebenarnya semua
ini penyebabnya sederhana, yakni terganggunya sistem energi tubuh. Karena itu
solusinya juga sederhana, menetralisir kembali gangguan energi itu dengan
Aliran energi yang tersumbat di beberapa titik kunci tubuh harus
dibebaskan, hingga mengalir lagi dengan lancar. Cara membebaskannya adalah
dengan mengetuk ringan menggunakan dua ujung jari (tapping)di bagian tubuh
tertentu. Berikut ini adalah uraian tentang bagaimana melakukan SEFT untuk membebaskan aliaran energi di tubuh, yang dengannya akan membebaskan
emosi dari berbagai kondisi negatif (Zainuddin, 2009; Saputra, 2012) :
1) The Set–Up
Bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh terarah dengan tepat.
Langkah ini dilakukan untuk menetralisir “Psychological Reversal” atau
“Perlawanan Psikologis” (biasanya berupa pikiran negatif spontan atau
keyakinan bawah sadar negatif).
Contohpsychological reversalini diantaranya : a) Saya tidak bisa sehat seperti dulu lagi
b) Saya tidak mungkin sembuh dari sakit diabetes ini
c) Saya kesal karena harus dirawat di rumah sakit ini
d) Saya menyerah, saya tidak mampu mematuhi diet diabetes
(Zainuddin, 2009).
The Set - Upsebenarnya terdiri dari 2 aktifitas, yaitu :
Pertama, mengucapkan The Set– Up Word dengan penuh rasa khusyu’, ikhlas
dan pasrah sebanyak 3 kali. Dalam bahasa religius, The Set– Up Words adalah doa kepasrahan kepada Allah SWT, bahwa apapun masalah dan rasa sakit yang
dialami saat ini, kita ikhlas menerima dan kita pasrahkan kesembuhannya pada
Allah SWT. The Set – Up harus diucapkan dengan perasaan untuk menetralisir
Kedua, sambil mengucapkan The Set - Up Word dengan penuh perasaan, kita
menekan dada kita, tepatnya di bagian “sore spot” (titik nyeri, letaknya di
sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit), atau mengetuk dengan dua
ujung jari di bagian“karate chop”.(Zainuddin, 2009; Thayib, 2010) :
Contoh kalimatset–up(doa) untuk masalah fisik :
“Ya Allah..meskipun kepala saya pusing karena diabetes ini, saya ikhlas
menerima pusing saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu pusingsaya ini.”
Contoh kalimatset–up(doa) untuk masalah emosi :
“Ya Allah..meskipun saya cemas dengan penyakit diabetes ini, saya ikhlas
menerima kecemasan saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu ketenangan hati saya.
2) The Tune - In
Untuk masalah fisik, melakukan Tune - in dengan cara merasakan rasa sakit yang dialami, lalu mengarahkan pikiran ke tempat rasa sakit, dibarengi dengan
hati dan mulut mengatakan : “Ya Allah saya ikhlas, saya pasrah…” atau “Ya
Allah saya ikhlas menerima sakit saya ini, saya pasrahkan kepada-Mu
kesembuhan saya”. Untuk masalah emosi, Tune – in dilakukan dengan cara
memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan
emosi negatif yang ingin kita hilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah,
sedih, takut, dsb), hati dan mulut kita mengatakan, “Ya Allah..saya ikhlas..saya
pasrah..”. Bersamaan denganTune - inini kita melakukan langkah ketiga yaitu
tapping. Pada proses ini (Tune–Inyang dibarengi dengantapping),
kita menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik (Zainuddin, 2009).
Tapping adalah mengetuk ringan denga dua ujung jari pada titik – titik tertentu
di tubuh sambil terus Tune – in. titik – titik ini adalah titik – titik kunci dari
“The Major Energy Meridians”, yang jika kita ketuk beberapa kali akan
berdampak pada netralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang kita rasakan.
Tapping menyebabkan aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali (Zainuddin, 2009).
Pengobatan pada akupressur dan akupuntur dilakukan dengan cara
melakukan penekanan pada titik tertentu yang diharapkan bisa melepaskan
penyumbatan di bidang energik yang ada di daerah energi meredian seseorang.
Kemudian menghasilkan energi di daerah meridian mengalir lebih bebas.
Hasilnyaendorfin positif dan neurotransmitter dilepaskan dalam otak yang bisa
menyebabkan keseimbangan, harmoni dan menurukan rasa sakit (Namka,
2013). Endorfin diproduksi dan dilepaskan dari kelenjar pituitari. mereka dilepaskan selama latihan terus menerus saat kita muncul rasa takut, cinta,
musik, makan cokelat, tawa, seks, orgasme dll. Olahraga tertawa, meditasi, dan
mendengarkan musik semua latihan ini untuk menjaga pikiran tenang, merasa
percaya diri, dan perasaan senang berhubungan dengan adanya pelepasan
endorfin(Rokade, 2011 dan Grant, 2015).
Peptida opioid β-endorphin, yang juga disekresi dari kelenjar adrenal
telah terbukti menginduksi sekresi insulin juga melalui mengaktifkan reseptor
opioid pankreas (El-Abhar dan Schaalan, 2014). Hasil dari penelitian pada
hewan yang memiliki gen yang hampir sama dengan manusia membuktikan
bahwa pemberian β-endorfin dalam dosis tertentu dapat menurunkan kadar
dan Baspinar, 2010). Peningkatan sekresi β-endorphin dari kelenjar adrenal
dapat mengaktifkan opioid perifer μ-reseptor (MOR) untuk meningkatkan ekspresi transporter glukosa otot dan / atau mengurangiglukoneogenesis hepatik
pada tingkat gen, sehingga menyebabkan penggunaan glukosa ditingkatkan
dalam jaringan perifer untuk perbaikan hiperglikemia parah (Liu dan Cheng,
2011). Sedangkan pada tekanan darah dan nadi, pemberian β-endorphin dalam
dosis tertentu juga bisa menurunkan tekanan dan jumlah pompannya dalam
waktu tertentu (Xiao, etc, 1994, dan Sitsen, etc, 1982).
Relaksasi akan mengurangi kadar adrenalin (epineprin) dan
noradrenalin (norepineprin) dan meningkatkan tingkat neuropeptida opoid yang memodulasi tonus otot polos bronkus. Penelitian pada hewan telah
melaporkan bahwa beta endorfin dapat mempengaruhi tonus otot polos bronkus.
Reseptor untuk neuropeptida ini hadir dalam beberapa neuron di pusat
pernapasan otak. (Biju, Geetha, dan Sobhakumari, 2012).
Teknik EFT bekerja dengan sistem energi manusia, yang bersinergi melaluiBodymind kita di saluran meridian. Ketika kita menekan pada titik-titik
tertentu untuk merangsang aliran bebas energi melalui meridian. Penekanan titik
neuro-reseptor di bawah kulit mengkonversi tekanan untuk impuls listrik yang
ditransmisikan ke otak dan merangsang dan melepaskan endorfin, bahan kimia
kesenangan yang mengirimkan sinyal kesejahteraan ke otak. Hal ini
dikombinasikan dengan kekuatan pikiran atau niat. Ketika kita berfokus pada
masalah tertentu, kita mengirimkan niat untuk penyembuhan itu. Pada saat yang
sama, kita membuat respon fisiologis dengan menekan pada titik-titik garis
elemen biokimia lainnya, digabungkan secara keseluruhan dalam satu tehnik
membuat respon penyembuhan yang kuat, berupa penurunan rasa nyeri, phobia,
cemas, depresi dll (Gordon, 2006).
Terapi SEFT dilakukan sejak pasien paska-operasi SC hari pertama (setelah melewati 24 jam paska-operasi), dilakukan satu kali dalam sehari
selama tiga hari. Setiap kali terapi hanya melakukan satu putaran SEFT dan
membutuhkan waktu 5 menit. Segera setelah terapi, intensitas nyeri dinilai
dengan menggunakan skala numerik 1-10. Hasil penelitian diperoleh bahwa
C. Kerangka Teori Penelitian
Referensi :Rokade,(2011).Grant,(2015), Liu & Cheng,(2011), El-abhar & Schaalan,(2014),Xiao,(1994),Sitsen,(1982).
D. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua
variabel yaitu variabel independen dan variable dependen. variabel independen
adalah terapiSEFTsedangkan variabel dependen adalah kadar glukosa darah pasien diabetes melitus tipe 2. Karakteristik (faktor confounding) yang dapat membedakan
antara kadar glukosa darah adalah Usia, Jenis Kelamin, dan Pendidikan.
=Diteliti
=Tidak Diteliti
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang merupakan jawaban sementara peneliti
terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2008). Hal inilah yang akan dibuktikan
oleh peneliti melalui penelitian. Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka
dan kerangka konsep, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terapi SEFT
berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes
melitus tipe 2.
TerapiSEFT
Penurunan Kadar Glukosa Darah
VariabelConfounding: Usia
Jenis Kelamin Pendidikan Lama Menderita
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi experiment
menggunakan dengan desain penelitian pretest – posttest with control group
design. Penelitian ini dilakukan pada sekelompok subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit atau keadaan yang ingin diteliti,
kemudian dilakukan intervensi selama 3 hari dan dilakukan 3 kali terapi pada pagi
hari. Setelah periode waktu yang dianggap cukup dilakukan pemeriksaan kembali
terhadap penyakit atau keadaan tersebut. Jadi setiap subyek penelitian menjadi
kontrol terhadap dirinya sendiri.
Tabel 2 RancanganPenelitian pretest – posttest with control group design
Subyek Pra Intervensi Post
K-A O I O1-A
K-B O - O1B
Keterangan :
K-A : Kelompok intervensi (kelompok yang mendapat terapiSEFT)
K-B : Kelompok kontrol (kelompok yang tidak mendapatkan terapiSEFT) O : Pretest sebelum dilakukan terapiSEFT
I : IntervensiSEFT(Diberikan sebanyak 3 sesi dalam 3 hari, sehari 1 sesi selama kurang lebih 10 menit untuk setiap sesinya)
B. Populasi, Teknik Sampling dan Besar Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita diabetes melitus tipe 2
di wilayah kerja Puskesmas Gladag Kota Banyuwangi sebanyak 264
orang.
2. Besar Sampel
Penentuan jumlah sampel yang digunakkan dalam penelitian ini
menggunakan rumus estimasi besar sample untuk penelitian yang bertujuan
menguji hipotesis beda rerata 2 kelompok independen (Sastroasmoro &
Ismael, 2011):
n =2 ( α β)
( )
n = 2 ( α β)
( )
= 2 ( . , )
( , )
= 2[2,5] = 12,44
Keterangan :
n : Jumlah sampel
Zα : Deviat baku alpha, harga kurva normal tingkat kesalahan yang
ditentukan dalam penelitian pada CI 95% maka Zα =(1,96).
Zβ : Deviat baku beta, dengan power = 0,80 maka Zβ =(0,842). s : Simpangan baku kedua kelompok (dari pustaka).
x1–x2 : Perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgment).
perbedaan klinis yang diinginkan sebesar 7,88. Berdasarkan rumus diatas maka jumlah sample yang didapatkan, sebagai berikut :
n =2 ( α β)
( )
= 2 ( . , )
( , )
= 2[2,5] = 12,44, dibulatkan menjadi 12 responden.
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, besar sampel minimal adalah 12 responden untuk masing–masing kelompok. Untuk menghindari responden mengundurkan diri selama penelitian, maka peneliti mengantisipasi berkurangnya responden dengan menambahkannya menggunakan rumus, berikut :
n’ =
Keterangan:
n’ = ukuran sampelsetelah revisi
n = ukuran sampel asli
1-f = perkiraan proporsidropout, yang diperkirakan 10% (f=0,1) Maka:
n’ =
, = 13
Sehingga jumlah kelompok responden pada penelitian ini menjadi 13
responden untuk kelompok intervensi dan 13 responden untuk kelompok
kontrol. Total dari responden pada penelitian ini sebanyak 26 responden.
3. Teknik Sampling
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive
sampling,Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
2. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang bersedia menjadi responden.
3. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia dewasa.
4. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Gladag.
5. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdapat keterbatasan fisik dan
mental.
6. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang mengkonsumsi terapi standar atau
hanya terapi oral.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Penderita diabetes melitus tipe 2 yang memiliki luka gangren.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel Independent.
Variabel independent dalam penelitian ini adalah terapiSEFT.
2. Variabel Dependent.
Variabel independent dalam penelitian ini adalah kadar glukosa darah
penderita diabetes melitus tipe 2.
3. VariabelConfounding/Kendali.
Variabel confounding dalam penelitian ini adalah usia, dan pendidikan. Sedangkan variabel confounding yang tidak dikendalikan adalah diet, jenis
kelamin, penyakit penyerta, terapi obat, dan lama menderita.
D. Definisi Operasional
Tabel 3 Definisi Operasional Penelitian
No Variabel Definisi Alat Ukur dan
Hasil Ukur Skala
1. Terapi SEFT
Suatu terapi komplementerbodymind
-Akan membebaskan Emosi dari berbagai Kondisi negatif dalam tubuh. Tiap satu sesi terapi berlangsung kurang lebih 10 menit yang akan dilakukan pada pagi hari oleh peneliti sendiri dan atau dibantu
oleh terapis lain
5. Pendidikan Tingkat pendidikan terakhir yang sudah ditempuh.
Lama menderita diabetes melitus tipe 2 dari awal terdeteksi.
Penelitian ini bertempat di wilayah kerja puskesmas Gladag, Kota Banyuwangi.
F. Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari–Maret 2016.
G. Instrumen Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan ModulSEFT, Glukometer, dan Lembar Observasi.
H. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Peneliti mempersiapkan alat dan bahan berupa ModulSEFT, Inform Consent,
Glukometer, dan Lembar Observasi.
c. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari dilakukannya penelitian.
d. Peneliti memberikan lembarinformed konsentdilakukannya penelitian. e. Peneliti menjelaskan tahapan terapi.
f. Pengukuran glukosa darah pretest yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri dan atau dibantu asisten.
g. Pelaksanaan terapiSEFTdilakukan oleh peneliti dan atau dibantu terapis lain,
satu sesi terapi dilakukan dalam waktu kurang lebih 10 menit pada pagi hari,
dan diberikan tiga kali dalam waktu satu minggu yang akan dilakukan di
puskesmas Gladag.
h. Pengukuran hasil terapi berupa nilai kadar glukosa darah.
Alur Penelitian
I. Analisa Data
1. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan salah satu uji mendasar yang dilakukan
sebelum melakukan analisis data lebih lanjut atau lebih dalam, data yang
normal dijadikan landasan dalam beberapa uji statistik. Uji normalitas Hari ke-1
Hari ke-1
Hari ke-1
Hari ke-3
Pengisian Inform Consent
Pemeriksaan kadar Glukosa Darah Pre test
Kel.Kontrol Kel.Intervensi
TerapiSEFT dan Standar
TerapiSEFT dan Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
berfungsi untuk melihat bahwa data sampel yang kita ambil atau kita gunakan
mengikuti atau mendekati distribusi normal (distribusi data tersebut tidak
melenceng kekiri atau kekanan) dilihat dari hasil histogram.Tehnik yang
digunakan untuk uji normalitas pada penelitian ini dengan menggunakan
Shapirowilk test karena jumlah responden lebih kecil dari 50 orang (26 responden).
2. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan
karakteristik masing–masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007). Variabel
yang dianalisis univariat pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,
pendidikan, dan lama menderita. Penyajian data kategorik seperti usia, jenis
kelamin, pendidikan, dan lama menderita menggunakan presentase.
3. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk membuktikan hipotesis yang telah
dirumuskan. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dua
variabel. Pada penelitian ini digunakan uji statistik Uji paired sample t test
untuk mengetahui apakah ada perubahan yang bermakna antara nilai glukosa
darah sebelum dan sesudah terapi SEFT pada masing-masing kelompok. Dan ujiindependent sample t testuntuk mengetahui perbedaan antara kadar glukosa
darah kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dalam penelitian ini
menggunakan tingkat kemaknaan 0.05 dan derajat kepercayaan CI 95%.
4. Analisis Multivariat
Analisis Multivariat merupakan salah satu jenis analisis statistik yang
banyak variabel independen dan juga banyak variabel dependen. Variabel
yang dianalisis pada penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, dan pendidikan
dihubungkan dengan penurunan kadar gula darah di uji menggunakanregresi
linier. Analisis multivariat dilakukan melalui model prediksi yaitu untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel dependen.
1. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen
dan dependen. Bila hasil uji variat mempunyai nilai p < 0,25 maka variabel tersebut dapat masuk dalam model multivariat jika secara
substansi variabel tersebut penting.
2. Memilih variabel yang dianggap penting dengan cara mempertahankan
variabel yang mempunyai p < 0,05 dan mengeluarkan variabel yang
mempunyaip > 0,05secara bertahap mulai dari variabel yang memiliki p
paling besar.
J. Etika Penelitian
Pelaksanaan melakukan penelitian, peneliti perlu membawa rekomendasi
dari institusi untuk pihak lain dengan cara mengajukan permohonan izin kepada
institusi/lembaga tempat penelitian yang dituju oleh peneliti. Kemudian peneliti
mengajukan surat kelayakan etik penelitian yang dilakukan di Komite Etik
Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selanjutnya surat hasil uji etik dan disertai surat ijin penelitian diserahkan ke
Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Dinas Kesehatan, dan Kantor
Puskesmas. Setelah mendapat persetujuan, barulah peneliti dapat melakukan
1. Lembar persetujuan atauInformed Consent.
Lembar persetujuan atau informed consent ini diberikan peneliti kepada reponden yang akan diteliti yang sudah memenuhi kriteria. Lembar persetujuan
atau informed consent riset diberikan oleh peneliti kepada responden yang berisi tentang informasi studi penelitian dan penjelasan tentang maksud dan
tujuan penelitian serta dampaknya, sehingga reponden dapat memutuskan
apakah akan terlibat atau tidak dalam penelitian. Jika subyek bersedia maka dia
harus menandatangani lembar persetujuan dan apabila tidak bersedia maka
peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek.
2. Tanpa Nama atauAnonimity
Kerahasiaan mengacu pada tanggung jawab peneliti untuk melindungi semua
data yang dikumpulkan dalam lingkup proyek atau pemberitahuan kepada yang
lain. Kerahasiaan informasi dijamin peneliti, hanya kelompok data tertentu
saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Anonymity mengacu pada
tindakan merahasiakan nama peserta terkait dalam partisipasi mereka dalam
penelitian. Untuk kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama
reponden tetapi pada lembar tersebut diberi kode atau inisial untuk nama
responden.
3. Kerahasiaan atauconfidentality
Semua informasi dari reponden tetap dirahasiakan, dan peneliti melindungi
semua data yang dikumpulkan dalam lingkup proyek dari pemberitahuan
kepada orang lain dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan
sebagai hasil penelitian.
Sebelum penelitian dilakukan, responden diberikan penjelasan tentang tujuan
dan prosedur penelitian (pada lembar penjelasan penelitian). Responden juga
mendapatkan penjelasan bahwa penelitian ini tidak akan membahayakan atau
tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan, misalnya : sesak napas,
nyeri, luka, penurunan kesadaran ataupun dipungut biaya tertentu. Selama
terapi berlangsung, peneliti melakukan observasi penuh di dekat responden.
Jika responden merasa tidak nyaman dengan terapi SEFT, maka dapat
mengundurkan diri kapan saja.
5.Beneficience(bermanfaat/melakukan yang baik untuk kemanusiaan).
Peneliti menjelaskan tentang keuntungan bila responden berpartisipasi dalam
penelitian ini, yaitu terapi SEFT dapat membantu menurunkan glukosa darah
pada subyek penelitian. Manfaat lain yang didapatkan oleh responden
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Gladag
Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, pada 28 februari sampai dengan 4 maret
2016. Puskesmas Gladag memberikan pelayanan dasar, rujukan dan pendidikan
kesehatan. Jumlah keseluruhan responden pada penelitian ini sebesar 24 orang
yang merupakan penduduk yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Gladag.
Penetapan responden sebagai sampel dalam penelitian ini didasarkan pada studi
pendahuluan yang sudah dilakukan peneliti pada waktu sebelumnya. Responden
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu
12 orang sebagai kelompok kontrol dan 12 orang sebagai kelompok intervensi.
Dalam proses pengambilan data ada responden yang mengundurkan diri atau
mengalamidrop out.
Pemberian intervensi SEFT pada penelitian ini dilakukan oleh praktisi yang sudah ahli dalam melakukan SEFT. Peneliti disini memberikan pengetahuan akan penyakit DM pada kedua kelompok kontrol dan perlakuan.
Selanjutnya, kelompok perlakuan mendapatkan intervensi SEFT. Sedangkan pada kelompok kontril tidak mendapatkan intervensi apapun, dan langsung
dilakukan cek glukosa darah, akan tetapi setelah kegiatan penelitian selesai
dilakukan kelompok kontrol juga dilakukan terapi SEFT. Pada kedua kelompok evaluasi terhadap hasil penelitian yaitu perubahan kadar glucosa darah pada
2. Analisis Univariat
Karakteristik responden yang akan dijelaskan dalam analisis univariat
penelitian ini meliputi usia responden, jenis kelamin, pendidikan, dan lama
menderita DM untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Distribusi
frekuensi karakteristik responden penelitian terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 4 Hasil analisis uji homogenitas pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas gladag, Banyuwangi tahun 2016
No. Karakteristik
Laki-laki 6 50% 2 16,7% 0,083*
Perempuan 6 50% 10 83,3%
3 Pendidikan Terakhir
Pendidikan Rendah 10 83,3% 9 75,0% 0,615**
Pendidikan Tinggi 2 16,7% 3 25,0%
4 Lama Menderita DM
< 4 tahun 5 41,7% 6 50% 0,682*
≥ 4 tahun 7 58,3% 6 50%
*p<0,05Based onujipearson chi-square
**p<0,05Based onujichi-square fisher’s exact test
Hasil Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur
dalam rentang 46-55 tahun sebesar 75% pada kelompok kontrol sedangkan pada
kelonpok intervensi juga sama dalam rentang 46-55 tahun sebesar 75%. Variabel
umur ini selanjutnya diuji dengan chi-squareuntuk mengetahui kesetaraan umur responden antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol dan diperoleh
nilai p=1,000 (p>0,05), yang berarti bahwa ada kesetaraan umur antara
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Hal lain yang didapat dari tabel yaitu jumlah jenis kelamin perempuan
untuk kelompok intervensi. Variabel ini selanjutnya diuji dengan chi-square
untuk mengetahui kesetaraan jenis kelamin reponden antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol dan diperoleh nilai p=0,083 (p>0,05), yang berarti ada
kesetaraan jenis kelamin antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Pada tingkat pendidikan dari tabel didapatkan pendidikan rendah
merupakan jenjang terbanyak yang dienyam oleh responden yaitu 83,3% untuk
kelompok kontrol dan 75,0% untuk kelompok intervensi. Variabel ini
selanjutnya diuji dengan chi-square untuk mengetahui kesetaraan jenjang
pendidikan responden antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dan
diperoleh nilai p=0,615 (p>0,05), yang berarti ada kesetaraan jenjang pendidikan
antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Pada lama menderita DM didapatkan rata-rata responden menderita lebih
dari 4 tahun, yaitu 58,3% untuk kelompok kontrol dan 50% untuk kelompok
intervensi. Variabel ini selanjutnya diuji dengan chi-square untuk mengetahui
kesetaraan lama menderita responden antara kelompok kontrol dan kelompok
intervensi dan diperoleh nilai p=0,682 (p>0,05), yang berarti ada kesetaraan
lama menderita antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Karakteristik responden selanjutnya yang akan kita jelaskan adalah
Tabel 5 Perubahan kadar glukosa darah pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas gladag, Banyuwangi tahun 2016
No
1. 317.0 mg/dl 320.0 mg/dl 235.0 mg/dl 210.0 mg/dl
2. 352.0 mg/dl 256.0 mg/dl 332.0 mg/dl 223.0 mg/dl
3. 278.0 mg/dl 266.0 mg/dl 330.0 mg/dl 185.0 mg/dl
4. 412.0 mg/dl 354.0 mg/dl 349.0 mg/dl 263.0 mg/dl
5. 260.0 mg/dl 204.0 mg/dl 400.0 mg/dl 287.0 mg/dl
6. 268.0 mg/dl 310.0 mg/dl 279.0 mg/dl 112.0 mg/dl
7. 410.0 mg/dl 385.0 mg/dl 435.0 mg/dl 317.0 mg/dl
8. 332.0 mg/dl 343.0 mg/dl 213.0 mg/dl 198.0 mg/dl
9. 331.0 mg/dl 253.0 mg/dl 457.0 mg/dl 322.0 mg/dl
10. 238.0 mg/dl 176.0 mg/dl 413.0 mg/dl 242.0 mg/dl
11. 412.0 mg/dl 359.0 mg/dl 338.0 mg/dl 179.0 mg/dl
12. 278.0 mg/dl 236.0 mg/dl 252.0 mg/dl 136.0 mg/dl
Dari tabel diatas dapat diperoleh nilai penurunan kadar glukosa darah terbesar pada kelompok kontrol yaitu sebesar 78 mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi penurunan terbesar yaitu sebesar 171 mg/dl.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh intervensi SEFT terhadap kelompok perlakuan yaitu
dengan melihat dan menganalisis perubahan kadar gula darah pada kelompok
kontrol (pre-post) dan menganalisis perubahan kadar gula darah pada kelompok
perlakuan (post-test), serta mengetahui perbedaan perubahan skor kadar glukosa
Tabel 6 Uji normalitas kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensi SEFT pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi
Responden Kadar Gula Darah ρ*
Kelompok Kontrol KGD pre-test 0,171
KGD post-test 0,744
Kelompok Intervensi KGD pre-test 0,695
KGD post-test 0,898
*p>0,05Based on Shapiro-Wilk test
Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas variabel kadar glukosa
darah pre-test dan post-test pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi
dengan ujiShapiro-Wilk test didapatkan nilai p>0,05 yang berarti sebaran data
normal sehingga analisa data dapat dilanjutkan dengan menggunakan ujistatistik paired t testdanindependent t test.
Tabel 7 Perubahan rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensiSEFTpada kelompok kontrol dan kelompok intervensi
Responden
Kontrol 324,00±62,30 288,50±66,31 9,97 ; 61,03 3,061 0,011 Kelompok
Intervensi 336,08±79,96 222,83±66,58 81,18 ; 145,32 7,772 0,000 *p>0,05Based on paired t-test
Sumber: Data Primer 2015
Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah sebelum
dilakukan intervensiSEFT pada kelompok kontrol adalah sebesar 324,00 mg/dl, dengan standar deviasi 62,30 mg/dl, dengan tingkat kepercayaan 95%.
Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah setelah dilakukan intervensiSEFT
mengalami penurunan menjadi 288,50 mg/dl, dengan standar deviasi
66,31mg/dl. Sedangkan pada kelompok intervensi rata-rata kadar glukosa darah
sebelum dilakukan intervensi SEFT sebesar 336,08 mg/dl, dengan standar deviasi 79,96 mg/dl. Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok
222,83 mg/dl, penurunan pada kelompok intervensi lebih besar dari pada
penurunan pada kelompok kontrol dengan standar deviasi 66,58 mg/dl, dengan
tingkat kepercayaan 95%. Hal lain dari tabel juga menjelaskan bahwa
berdasarkan hasil uji statistik Paired t-Test didapatkan nilai p untuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing bernilai 0,011 dan 0,000. Nilai
p<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan secara signifikan
kadar glukosa darah sebelum dan setelah diberikan intervensi SEFT pada kedua kelompok penelitian. Hal ini dibuktikan dengan nilai rerata 95% CI pada dua
kelompok tidak melibatkan angka 0 maka hasilnya dikatakan bermakna. Pada
kelompok intervensi terjadi penurunan kadar glukosa darah lebih besar
dibandingkan dengan kelompok kontrol ditandai dengan nilai t hitung 7,772.
Tabel 8 Nilai selisih rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum dan setelah intervensiSEFT
Selisih 35,50±40,18 113,25±50,48 -77,75 -116,38 ; -39,13 0,000 *p<0,05Based on independent t-test
Tabel 8 menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata perubahan kadar
glukosa darah sebelum dan sesudah diberikan intervensi SEFT pada kelompok
kontrol dan kelompok intervensi sebesar 77,75 point. Arti 77,75 mengartikan
bahwa kelompok kontrol memiliki mean lebih rendah dari pada kelompok
intervensi. Dan diyakini sebesar 95% bahwa jika pengukuran dilakukan di
populasi, maka perbedaan rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah
intervensi adalah antara -116,38 mg/dl sampai dengan -39,13 mg/dl.
perubahan kadar glukosa darah antara kelompok kontrol dengan kelompok
intervensi secara signifikan.
3. Analisis Multivariat Regresi Linier Berganda
Pemilihan multivariat variabel yang diduga berhubungan dengan
kejadian penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 yaitu: usia,
jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM serta pengaruh intervensi
SEFT. Untuk dilanjutkan keanalisis multivariat maka semua variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dan memiliki nilai p<0,25 dapat dijadikan sebagai
varibel terpilih.
Tabel 9 Hasil analisis bivariat faktor risiko yang berhubungan dengan kadar glukosa darah
Faktor risiko ρ*
Usia responden 0,770
Jenis kelamin 0,094
Pendidikan 0,397
Lama menderita DM 0,374
SEFT 0,000
*p<0,25Based on bivariat
Hasil analisis bivariat dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar
gula darah menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang memiliki nilai
p<0,25 yaitu jenis kelamin, dan SEFT. Hal itu dikarenakan variabel jenis kelamin memiliki nilai p=0,094 dan variabel SEFT memiliki p=0,000. Variabel tersebut selanjutnya akan dipaparkan pada analisis regresi linier berganda untuk
variabel yang mempengaruhi kadar glukosa darah, sehingga dapat dilanjutkan