• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard Dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Bppt-Sp Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ". Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard Dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Bppt-Sp Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat)."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI SISTEM

JOURS MOYEN RETARD

DALAM

MENILAI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH

(Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat)

ANDI NUR IZZATI DOLAR

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard Dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat) adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ANDI NUR IZZATI. Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat). Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.

JMR (Jours Moyen Retard) merupakan jumlah hari terlambat untuk menjadi bunting.Sistem JMR dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyimpulkan kondisi penampilan reproduksi sapi perah secara kuantitatif dari beberapa parameter menjadi hanya satu parameter yang disebut angka JMR.Angka JMR Indonesia adalah 30. Asumsi bila angka JMR kurang dari 30 maka penampilan reproduksi akan dinilai baik. Sistem JMR merupakan transfer teknologi sistem pemeliharaan dan peralatan ternak dari Jepang. Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengetahui keberhasilan aplikasi sistem JMR di BPPT-SP Bunikasih. Metode yang digunakan adalah menggunakan metode deskriptif dengan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak manajemen BPPT-SP Bunikasih dalam empat tahun terakhir (2010-2013). Hasil menunjukkan angka JMR menurun pada tahun 2013 sebanyak 28,3. Penerapan sistem ini mampu memberikan informasi yang tepat sehingga perbaikan penampilan reproduksi terjadi. Adanya perbaikan penampilan reproduksi selama aplikasi sistem JMR di BPPT-SP Bunikasih menunjukkan penampilan reproduksi BPPT-SP Bunikasih semakin baik.

Kata kunci:efisiensi reproduksi, JMR, reproduksi, sapi perah

ABSTRACT

ANDI NUR IZZATI. JMR (Jours Moyen Retard) system application in evaluating the Dairy Cattle Reproductive Efficiency (A case study conducted at BPPT-SP Bunikasih, Cianjur - West Java). Guided by R. Kurnia ACHJADI.

JMR (Jours Moyen Retard) refers to the number of late days to become pregnant. JMR system can be defined as a system which concludes conditions reproductive performance of dairy cattle quantitative parameter to only one parameter called JMR figure. The figure of JMR for Indonesia is 30. When the JMR rate is less than 30, then the reproductive performance will be assessed as good. System JMR is a technology transfer system maintenance and livestock equipment from Japan. The purpose of this case study is to determine the success of the JMR system at BPPT-SP Bunikasih.The method used is descriptive method by collecting secondary data obtained from the management BPPT-SP Bunikasih in the last four years (2010-2013). The results showed decreased numbers JMR in 2013 as 28.3. Implementation of this system is able to provide accurate information so that improved reproductive performance occurred. Applicaton system JMR shows improvements reproductive performence in BPPT-SP Bunikasih this indicate reproductive performance BPPT-SP Bunikasih much more better from other years.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan

APLIKASI SISTEM

JOURS MOYEN RETARD

DALAM

MENILAI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH

(Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat)

ANDI NUR IZZATI DOLAR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 yaitu efisiensi reproduksi sapi perah, dengan judul Aplikasi Sistem Jours Moyen Retard Dalam Menilai Efisiensi Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat).

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan masukan serta bantuan dari pelbagai pihak. Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada drh R. Kurnia Achjadi, MS sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, ilmu, waktu dan kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skipsi ini. Disamping itu, penulis juga berterima kasih kepada drh Fadjar Satrija, MSc, PhD dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini dan ucapan terima kasih kepada drh. Arif Hidayat selaku Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang telah memberi banyak masukan dan saran. Ribuan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta mama, bapa, dan saudara kandung serta teman seperjuangan skripsi saya Norafizah dan Ahmad Fadhil atas segala dukungan, kasih sayang, dan semangat yang selalu diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat Pondok Artis tercinta, Mahasiswa PKPMI Bogor, teman-teman Avenzoar 45, Geochelone 46 dan Acromion 47 atas segala kebersamaan.

Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh kerena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan yang berkempentingan.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

METODE 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jarak Partus ke IB Pertama Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih 8 2 Calving Interval Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih 9 3 Service Per Conception (S/C) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih 10 4 Hari Kosong (Days Open) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih 11 5 Conception Rate (CR) oleh IB Pertama Sapi Dewasa BPPT-SP

Bunikasih 12

6 Angka Jours Moyen Retard (JMR)Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih 13 7 Pemeriksaan Darah Sapi Perah Dewasa di BPPT-SP Bunikasih 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pemeriksaan kimia Darah Sapi Dewasa September 2013 18 2 Penampilan Reproduksi Sapi Perah Dewasa dengan Sistem JMR Bulan

(11)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Para peternak sapi perah di Indonesia hingga saat ini masih kurang memperhatikan pentingnya efisiensi reproduksi. Mereka masih fokus kepada usaha meningkatkan produksi susu semata.Reproduksi atau pengembangbiakan adalah suatu proses akan dihasilkannya individu baru akibat dari bersatunya atau ditunasinya sel telur dari ternak betina oleh sel mani (sperma) ternak jantan, baik kawin secara langsung (alami) maupun secara inseminasi buatan.Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh pada usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis.

Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat. Memahami keterkaitan berbagai faktor dalam mempengaruhi fertilitas ternak, oleh karenanya menjadi hal penting dalam upaya mengoptimalkan performa reproduksi setiap sapi betina dan usaha peternakan.

Definisi sederhana seekor sapi betina dinyatakan fertil adalah apabila ternak tersebut mampu berkonsepsi dan mempertahankan kebuntingan sampai terjadi kelahiran. Namun, berbagai kondisi kurang menguntungkan dapat menurunkan fertilitas yang berakibat induk gagal mempertahankan kebuntingan. Kegagalan menghasilkan kebuntingan merefleksikan sejumlah abnormalitas seperti kegagalan ternak mengekspresikan estrus dan ovulasi serta abnormalitas siklus estrus itu sendiri. Kegagalan konsepsi dapat merefleksikan pula disfungsi hipothalamus, kelenjar pituitari, ovarium, uterus ataupun konsepsi tidak berkembang dengan baik. Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak, perlu diperhatikan proses kompleks terkait dengan sifat reproduksi yang melibatkan aspek genetik, fisiologi, nutrisi, manajemen dan lingkungan.

Peternak umumnya menghendaki keuntungan dari usaha ternak sapi mereka namun, terkadang keinginan itu tidak disertai dengan kesadaran dalam memelihara ternaknya dengan baik. Hal ini berdampak dengan munculnya berbagai kasus gangguan reproduksi yang menyebabkan penurunan kesuburan (infertilitas) dan penghentian kemampuan produksi susu (sterilitas). Gangguan dapat memberikan kontribusi secara maksimal terhadap perekonomian nasional dan tidak terpenuhi kebutuhan susu sebagai sumber protein hewani bagi masyarakat. Keadaan ini menyababkan Indonesia yang sampai detik ini masih tetap mengimpor produk pangan terutama susu,daging dan telur.

(12)

2

keterampilan peternak dan patugas kesehatan reproduksi (Achjadi 2013). Berkenaan dengan hal tersebut, maka dilakukan upaya penataan manajemen dalam bentuk perkerjaan administratif yaitu pendataan melalui monitoring.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendataan baik pada produksi maupun reproduksi sebagai program pemuliaan belum banyak dilakukan. Keadaan ini menyebabkan sulit untuk menyimpulkan kondisi penampilan reproduksi sapi perah sehingga terjadi ketidakefisienan didalam menangani kasus gangguan reproduksi oleh dokter hewan dan tim pelayanan medis.

Kondisi usaha ternak sapi perah di provinsi Jawa Barat secara umum masih rendah. Hal ini dicirikan dengan keterbatasan sumber daya manusia, skala usaha yang rendah (3-4 ekor/peternak), produktivitas yang rendah (rata-rata 10lt/ekor/hari) serta selang beranak yang panjang yaitu lebih dari 16 bulan (Hidayat et al. 2002). Rendahnya kondisi usaha ternak ini diakibatkan oleh pendataan yang dipakai menggunakan parameter lebih dari satu serta minimnya pengetahuan petugas dalam memahami tatacara menghitung penampilan reproduksi menyebabkan munculnya kesulitan dalam menilai penampilan reproduksi ternak. Untuk itu, diperlakukan suatu metode yang sederhana, praktis, mudah dilaksanakan dan mudah dimengerti oleh petugas lapangan. Dalam menyikapi kondisi tersebut, pada tahun 1997-2002 Dinas Peternakan provinsi Jawa Barat menjalin hubungan dengan JICA (Japan Internationak Cooperation Agency). Bentuk kerjasama ini adalah kegiatan tatalaksana kesehatan reproduksi sapi perah berupa proyek Peningkatan Teknologi Sapi Perah, Kegiatan dari proyek ini adalah transfer teknologi dari tenaga ahli JICA kepada peternak dan petugas teknis sapi perah. JICA merekomendasikan suatu sistem pencatatan reproduksi yang bernama JMR (Jours Moyen Retard). JMR adalah jumlah hari terlambat untuk menjadi bunting. Dengan demikian, JMR dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyimpulkan kondisi penampilan reproduksi secara kuantitatif dari berbagai parameter menjadi hanya satu parameter atau satu nilai yang disebut angka JMR.

Perumusan Masalah

Optimalisasi penggunaan sistem pendataan didalam kerangka kerja di lapangan, diharapkan dapat membantu mempermudahkan penyajian data serta menyimpan informasi sehingga dapat menginterpretasikan data yang diperoleh dan mengestimasi kondisi penampilan produksi sapi perah dengan akurat. Program JMR yang diaplikasikan di lapangan dapat menjadi tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan manajemen. Keberhasilan ini didukung oleh peran aktif petugas lapangan dalam mengidentifikasi kondisi ternak.

Tujuan Penelitian

(13)

3

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk dijadikan bahan masukan dan evaluasi bagi peternak dan BPPT-SP Bunikasih, Cianjur dalam peningkatan kemampuan reproduksi sapi perah di provinsi Jawa Barat umumnya di kebupaten Cianjur serta dapat memperkenalkan sistem pencatatan baru yaitu sistem JMR sebagai salah satu sistem baru untuk menilai penampilan reproduksi kelompok ternak.

TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen Pertumbuhan Sapi Perah Dewasa Tinjaun Umum Tentang Reproduksi

Soetarno (2000) menyatakan bahwa reproduksi atau pengembangbiakan adalah suatu proses akan dihasilkannya individu baru akibat dari bersatunya atau ditunasinya sel telur dari ternak betina oleh sel mani (sperma) ternak jantan, baik kawin secara langsung (alami) maupun secara inseminasi buatan. Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah. Pemasalahan yang dialami oleh industri persusuan saat ini antara lain produktivitas sapi perah yang rendah, populasi yang sulit meningkat, gangguan reproduksi yang bersifat fungsional maupun penyakit menular serta kasus gangguan metabolisme oleh karena ketidakseimbangan asupan pakan yang berpengaruh terhadap kesehatan sapi perah (Achjadi 2013).

Efisiensi Reproduksi

Efisiensi reproduksi sapi perah pada suatu peternakan dapat diketahui dari kinerja reproduksinya. Kinerja reproduksi sapi perah dapat dilihat dari berbagai parameter, diantaranya adalah umur sapi dara saat birahi, kawin, bunting dan beranak pertama, jarak waktu saat beranak sampai IB pertama, jarak waktu saat beranak sampai terjadi kebuntingan (days open), angka gangguan reproduksi, dan angka keberhasilan pelaksanaan IB (Fitrianti 2003).Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), angka perkawinan per kebuntingan (Service Per Conception), angka kelahiran (Calving Rate), lama bunting dan jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (Service Period) serta selang beranak (Calving Interval). Afriani (2007) menyatakan pula bahwa efisiensi reproduksi berguna untuk mengevaluasi kegiatan IB yang telah dilaksanakan dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mencegah atau megurangi ganguan reproduksi dimasa yang akan datang.

Tinjauan Umum Tentang Inseminasi Buatan (IB)

(14)

4

tetapi juga tak lain mencakup seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengangkutan semen, inseminsi, pencatatan dan juga penentuan hasil inseminasi pada hewan betina, bimbingan dan penyuluhan pda ternak.

Pelayanan IB yang efektif membutuhkan sperma hidup untuk disimpan di Bifurcatio Uterus yang sehat sebelum ovulasi. Faktor-faktor penting bagi menghasilkan kebuntingan adalah waktu inseminasi yang tepat dimana faktor penentu untuk kebuntingan, sperma harus hidup ketika handling dan thawing, teknik IB yang benar serta kesehatan uterus yang dipengaruhi oleh manajemen nutrisi di kelompok, manajemen induk di kandang dan sebagainya.(Achjadi 2013)

Umur Dikawinkan Kembali Setelah Beranak

Waktu terjadinya birahi mengikuti waktu yang diperlukan untuk involusi uterus adalah 30-50 hari. Sapi perah induk dapat dikahwinkan kembali 50 hari setelah beranak. Namun biasanya perkahwinan ini sering dilakukan sekitar 60 hari setelah beranak. Siregar SB (2001) menyatakan bahwa apabila dapat diupayakan kawin per bunting (Service per Conception S/C) tidak lebih dari 2 dan sapi perah induk mulai dikawinkan sekitar 60 hari setelah beranak, maka akan dapat diperoleh panjang masa laktasi dan selang beranak yang optimal.

Selang Beranak dan Masa Kosong (Days Open)

Tercapainya kondisi optimal laktasi dan selang beranak yang masing-masing selama 305 dan 365 hari akan memberikan kontribusi terhadap masa kosong. Masa kosong (days open) yang semakin panjang akan berdampak terhadap laktasi dan selang beranak yang semakin panjang pula. Ketidak optimalan masa kosong ini dikarenakan keterlambatan sapi perah induk untuk dikawinkan kembali. Masa kosong yang paling optimal adalah 85 hari setelah beranak, induk harus bunting kembali. Untuk memelihara 12-13 bulan calving interval, sapi harus menjadi bunting pada 85-115 hari setelah beranak. Days open yang baik adalah kisaran 40-60 hari (Stevenson 2001)

Masa Dikeringkan (Kering Kandang)

Produksi yang optimal sapi perah dalam setahun sebaiknya diperah selama 10 bulan atau 305 hari dengan masa kering kandang 2 bulan yaitu 60 hari. Untuk memperoleh hal tersebut, menurut (Siregar et al. 1997) harus ada ketentuan yaitu masa kosong sapi perah induk adalah sekitar 85 hari setelah beranak, atau 85 hari setelah beranak sapi perah sudah harus bunting. Selain itu, sapi perah induk sudah harus di IB 60 hari setelah melahirkan dan diupayakan agar di IB hanya 2 kali untuk menghasilkan kebuntingan (S/C).Sesudah 7 bulan atau sekitar 224 hari setelah terjadi kebuntingan, sapi perah induk harus dikeringkan dan lamanya kering kandang adalah selama 2 bulan. Ini bertujuan untuk mengistirehatkan sel-sel ambingnya dan mempersiapkan produksi kolostrum bagi anaknya (Hidajati N 1995).

Pemeriksaan Kebuntingan

(15)

5 menunjang kepada nilai masa kosong, S/C dan CR. Kebuntingan dapat dideteksi dengan pemeriksaan melalui palpasi rektal. Lama kebuntingan pada sapi perah adalah antara 278-282 hari. Ketepatan pemeriksaan kebuntingan (PKB) tergantung keahlian, kecermatan dan sensitivitas pemeriksa. Ada beberapa kreteria penentu hasil pemeriksaan kebuntingan yang didasarkan kepada keadaan uterus, ovarium, arteri uteri dan ada atau tidaknya gelembung foetus didalam uterus. Terjadinya kebuntingan dapat diketahui dengan tepat setelah kebuntingan berumur 60 hari, karena pada hari ke 25-49 kebuntingan telah terbentuk pertumbuhan amnion di uterus.

Sistem Pendataan Produksi dan Reproduksi Sapi Perah.

Sebelum tahun 70-an pengumpulan informasi tentang kesehatan hewan masih terbatas pada kematian ternak. Kematian ternak merupakan kejadian yang sangat merugikan. Kejadian ini timbul karena kelemahan dalam segi manajemen khususnya pendataan baik reproduksi maupun reproduksi. Program pendataan merupakan faktor esensial yang harus dipenuhi dalam program pemuliaan baik produksi maupun reproduksi.

Keberhasilan suatu peternakan dapat diketahui sistem pendataan yang mampu memberikan informasi yang diiginkan. Adanya pendataan tidak hanya bermanfaat dalam program pemuliaan tetapi juga bermanfaat dalam membantu menangani manejemen peternakan, seperti program pemberian pakan, program pengendalian penyakit dan program perkahwinan dan perkitaan kelahiran pedet.

Parameter keberhasilan dapat dilihat dengan tinggi grafik kesehatan ternak yang sangat mendukung daya produktivitas ternak. Hal ini tidak luput dari pengelolaan usaha sapi perah yang perlu dikontrol dan dipelihara fertilitasnya.

Program Monitoring Produksi dan Kesehatan ternak Sapi Perah Melalui JMR (Jours Moyen Retard)

Definisi JMR (Jours Moyen Retard)

Jours Moyen Retard berasal dari bahasa Perancis yaitu fours (hari), moyen (jumlah rata-rata) dan retard (terlambat). JMR diartikan sebagai jumlah hari terlambat untuk bunting (Rawson 1987). Sistem ini dikembangkan oleh dr. Roger Martineau di Kanada pada tahun 1987.

Tabel JMR Sapi Perah.

Untuk mencapai kesimpulan akhir perlu angka-angka yang akan dimasukkan ke dalam tabel yang berupa kolom dan baris. Angka JMR ini tidak akan teteap tetapi berubah-ubah sesuai dengan ternak pada saat dilakukan JMR. Angka JMR biasanya dibuat pada akhir bulan.(Tabel dan keterangan disertakan di lampiran).

Parameter Reproduksi

(16)

6

 Jarak antar kelahiran (Calving Interval)

CI merupakan suatu jumlah hari antara kelahiran yang satu dengan kelahiran berikutnya. Target CI yang ideal adalah 365 hari.

 Jarak beranak ke IB pertama (Calving to first service interval)

Angka yang diperoleh adalah interval antara kelahiran dan IB pertama setelah kelahiran terakhir. Target untuk interval ini adalah 65 hari.

 Masa kosong (Days open)

Days open adalah jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali dengan jarak normal kurang dari 120 hari. Nilai days open berkisar antara 60-80 hari atau rata-rata 85 hari.

 Angka kebuntingan (Conception rate)

Angka CR adalah ukuran terbaik dalam menilai hasil IB diman presentase sapi betina yang bunting pada IB pertama. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnisa PKB oleh dokter hewan dalam waktu 40 hari sampai 60 hari sesudah IB. Target untuk ukuran adalah >55%.

 Jumlah pelayanan IB untuk setiap kebuntingan (Service per Conception)

S/C atau jumlah IB untuk mencapai satu kebuntingn merupakan suatu parameter untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi sapi betina yang subur, sering dipakai untuk penilaian dan perhitungan jumlah pelayanan IB yang dibutuhkan oleh sapi betina sampai terjadi bunting. Nilai S/C normal berkisar antara 1,6-2,0. Makin rendah nilai S/C maka makin tinggi kesuburan sapi betina dan sebaliknya.

Target JMR di Jepang adalah 10 akan tetapi dengan mempertimbangkan segala kondisi di lapangan di Indonesia maka target JMR di Balai Pembibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Sapi Perah Bunikasih, Cianjur adalah 30.

METODE

(17)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Berbagai upaya yang diarahkan untuk mengembangkan usaha ternak sapi perah sesuai dengan potensi genetik serta potensi geografis. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dibawah pemerintah kerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency) membuat sebuah proyek Peningkatan Teknologi sapi perah sebagai upaya untuk mengembangkan usaha ternak sapi perah sesuai dengan potensi genetik serta potensi geografis wilayah Jawa Barat. Salah satu bentuk kerjasama ini adalah sistem penampilan reproduksi yang diberi nama JMR (Jours Mayon Retard). Untuk merealisasikan misi ini maka Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP) Bunikasih Cianjur dijadikan sebagai pusat pelatihan teknologi sapi perah tingkat nasional. Di tempat ini dilakukan uji coba untuk penerapan JMR dengan fungsinya sebagai tempat pengembangan dan peningkatan teknologi JMR. Sistem ini mulai diterapkan sejak tahun 1997.

Balai Pengembangan Ternak dan Hijau Makanan Ternak (BPT-HMT), Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat BunikasihCianjur sejak tahun 1994 berubah nama menjadi Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP). Balai ini berlokasi di desa Padalengsar kecamatan Warungkondang, Cianjur. Lokasi topografi daerah tersebut landai dan perbukitan memiliki temperatur 18-22°C, kelembapan 85 % serta curah hujan 266 mm/tahun sangat mendukung pada proses pemeliharaan sapi perah. (Profile BPPT-SP Bunikasih 2013)

Deteksi Birahi dan Pelaksaan Inseminasi Buatan

Deteksi birahi merupakan aktivitas tatalaksana kesehatan reproduksi. Waktu pengamatan siklus birahi 20-22 hari atau 19-23 hari dari birahi sebelumnya dengan menggunakan kalender reproduksi. Palpasi rektal dilakukan untuk mendeteksi kondisi berahi. Keadaan folikel dan corpus luteum menjadi tolak ukur untuk timbulnya birahi. Secara tradisional, deteksi birahi dilakukan melalui pengamatan visual berdasarkan tanda-tanda primer dan sekunder (Firk et al. 2002) Tanda primer berahi atau estrus adalah saat sapi betina bersedia dinaiki sapi lain (Rankin et al. 1992) Kegiatan deteksi birahi di BPPT-SP Bunikasih dilakukan 3-4 kali sehari, yaitu pada pagi hari jam 6 WIB, siang hari antara jam 11 dan 12 WIB, dan sore hari atau malam hari jam 19-21 WIB. Pemeriksaan intensif terhadap waktu tepat inseminasi pada berbagai tahap estrus memperjelas angka konsepsi (Conception Rate) akan maksimum jika IB dilakukan mulai fase midestrus sampai beberapa jam setelah berakhirnya ekspresi standing estrus (Dranssfiled et al. 1998).

(18)

8

Tabel 1Target penampilan reproduksi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih.

No Parameter Target

1 Jarak Partus IB Pertama (hari) 60-80

2 Days Open (hari) rata-rata 60-90

3 CR oleh IB pertama (%) 50-60

4 Service per Conception (S/C) 1.7-2.2

5 Calving Interval (bulan) 12-13

6 Angka JMR 30

(Sumber : BPPT-SP Bunikasih 2014)

Jarak Partus ke IB Pertama Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.

Penentuan waktu kawin pertama setelah partus dapat menentukan tingkat interval waktu kelahiran selang beranak (Jainudeen and Hafez 2000). Angka dari pencapaiannya tergantung dari lama involusi uteri dimana kesiapan induk untuk menyediakan kondisi uterus bagi kebuntingan berikutnya. Hal ini juga sangat tergantung dari kebijakan peternak untuk menentukan waktu yang tepat untuk mengadakan perkawinan setelah sapi beranak.Grafik jarak partus ke IB pertama sapi dewasa di BPPT-SP Bunikasih disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Grafik Jarak Partus ke IB Pertama Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP Bunikasih 2014)

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2010,2011,2012, 2013 masing-masing sebanyak 89.6, 193.6, 132.6 dan 146.5 dimana rata-rata dari 4 tahun tersebut diperolehi 140.6 hari. Rata-rata nilai tersebut masih jauh dari target (60-80hari). Data interval partus pada IB pertama BPPT-SP Bunikasih terlihat fluktuatif. Menurut Achjadi (2013) apabilajarak partus ke IB pertama panjang akan mengakibatkan nilai calving interval diperpanjang dan salah satu faktor penyebab jarak diperpanjang antara lain gangguan reproduksi,silent heat, involuntari terlambat, dan feeding management yang kurang baik.

(19)

9

Calving Interval (CI) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.

Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui (Hadi dan Ilham 2002). Grafik CI disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Grafik Calving Interval Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP Bunikasih 2014)

Berdasarkan grafik di atas menunjukkan jarak Calving Interval pada tahun 2010 sebanyak 14.6 bulan, 2011 23.2 bulan, 2012 14 bulan dan 2013 16 bulan. Rata-rata dari 4 tahun tersebut mencapai 17 bulan. Tingginya angka CI di BPPT-SP Bunikasih disebabkan oleh masih panjangnya lama kosong. Hal ini karena angka CI diperoleh dari penambahan lama kosong dengan lama bunting. Faktor lain yang mengakibatkan panjangnya CI adalah rata-rata S/C yang tinggi dan dinyatakan semakin tinggi nilai S/C maka semakin lama selang beranak antara satu dengan yang kedua (Nuryadi dan Wahjuningsih 2011).

Nilai CI di BPPT-SP Bunikasih belum optimal karena tidak mencapai target 12-13 bulan. Dalam upaya memperbaiki produktivitas dan reproduktivitas sapi perah yang mengalami keadaan tersebut perlu dilakukan induksi birahi dan ovulasi dengan IB pada waktu yang ditentukan.

Service Per Conception S/C Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.

(20)

10

Gambar 3 Rata-rata Service Per Conception (S/C) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.(BPPT-SP Bunikasih 2014)

Berdasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2010 jumlah rata-rata S/C sapi dewasa di peroleh 1 kali, 2011 sebanyak 2.6 kali, 2012 sebanyak 1.6 kali dan tahun 2013 sebanyak 1.9 kali dan rata-rata bagi 4 tahun tersebut adalah 1.8 kali. Hasil nilai rata-rata ke empat-empat tahun tersebut dianggap masih normal dimana berada dalam target yaitu 1.7-2.2 kali.Nilai S/C ini menunjukkan tingkat kesuburan dari sapi betina dimana semakin rendah nilai tersebut maka semakin tinggi kesuburan dari sapi betina yang di IB dan sebaliknya.

Ball and Peters (2004) menyatakan bahwa rata-rata angka pencapaian jumlah kawin perkebuntingan yang dianggap normal adalah (1.6-2.0 kali) atau dapat dikatakan idealnya seekor sapi betina harus mengalami kebuntingan setelah mengalami 1-2 kali proses perkawinan.

Tingkat kesuburan sapi betina ini dipengaruhi oleh faktor internal dari hewannya, termasuk kesehatan reproduksi hewan dan manejemen reproduksi hewan dan manajemen pemeliharaan (Fitrianti 2003). Selain kondisi kesuburan betina, faktor lain juga mempengaruhi nilai S/C yaitu keterampilan inseminator dalam melakukan kegiatan inseminasi (Oktaviani 2010). Pramono et al. 2008 menyatakan Service per conception dipengaruhi beberapa faktor yaitu ketepatan mendeteksi birahi, kondisi ternak sendiri serta keterampilan dan ketepatan inseminator dalam menginseminasi sapi perah.

Hari Kosong (Days Open)

Hari kosong (days open) merupakan jarak waktu dari beranak sampai terjadi kebuntingan berikutnya (Atabany et al. 2011). Hasil evaluasi keberhasilan IB berdasarkan hari kosong (days open) dapat dilihat pada Gambar 4.

(21)

11

Gambar 4 Grafik Rata-rata Hari Kosong di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP Bunikasih 2014)

Gambar 4 menunjukkan rata-rata hari kosong di BPPT-SP Bunikasih dari tahun 2010-2013. Nilai pada tahun 2010 sebanyak 162.5 hari, 2011 418.5 hari, 2012 143.6 hari dan tahun 2013 sebanyak 202.5 hari. Hasil rata-rata 4 tahun tersebut diperolehi 231.7 hari. Hasil tersebut dapat dinyatakan hari kosong di BPPT-SP Bunikasih berada di atas rata-rata optimal 60-90 hari. Hari kosong panjang di BPPT-SP Bunukasih disebabkan S/C rendah dan calving interval yang diperpanjang. Panjangnya hari kosong disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kurangnya pengetahuan peternak dalam deteksi birahi dan keterlambatan waktu IB. Pirlo et al. (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penundaan umur kawin pertama adalah birahi yang terlambat, kesalahan dalam deteksi birahi, kurangnya bobot badan, dan faktor lingkungan.

Perencanaan dari target pencapaian hari kosong dasarnya dilakukan untuk menghasilkan selang beranak yang optimal. Estimasi angka selang beranak dari lama hari kosong 119,3±42,29 hari adalah berada pada kisaran 13-14 bulan (didasarkan pada lama kebuntingan 285 hari), sedangkan untuk mendapatkan selang beranak 12-13 bulan, masa kosong harus berada pada kisaran 95-105 hari atau rata-rata 100 hari (Meadows et al. 2005). Singkatnya hari kosong dapat disebabkan oleh keputusan inseminasi yang terlalu dini mengawinkan sapi betina setelah sapi tersebut beranak. Sedangkan tingginya hari kosong, disebabkan karena kesulitan untuk mendapatkan kebuntingan setelah beberapa kali sapi tersebut dikawinkan.

Conception Rate oleh IB Pertama.

Syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil kebuntingan meliputi sapi mengalami siklus birahi, petugas dapat mendeteksi birahi sapi perah dan inseminator dapat mendeposisikan spermatozoa ke dalam uterus (Dradjat 2002). Bila sapi tidak mengalami birahi, tidak terdapat folikel yang tumbuh akhirnya tidak terjadi birahi dan tidak terjasi ovulasi. Kondisi sapi-sapi tersebut digolongkan sebagai sapi yang kurang subur. Conception rate (CR) oleh IB pertama dapat dilihat pada Gambar 5.

(22)

12

Gambar 5 Grafik Conception Rate (CR) oleh IB Pertama Sapi Dewasa BPPT-SP Bunikasih. (BPPT-SP Bunikasih 2014)

Hasil grafik di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 sebanyak 50 %, 2011 sebanyak 20%, 2012 sebanyak 60 %, dan tahun 2013 43 %. Rata-rata bagi ke empat tahun tersebut didapatkan nilai 43.25%. Nilai conception rate empat tahun tersebut masih belum mencapai optimal karena berada dibawah target penampilan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih yaitu 50-60%. Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan ternak di BPPT-SP Bunikasih berkemungkinan mengalami gangguan reproduksi, Achjadi (2013) menyatakan sebuah peternakan mengalami gangguan reproduksi jika CR tidak mencapai 70%. CR menunjukkan angka persentase sapi dewasa yang bunting pada perkahwinan pertama yang didiagnosa secara per rektal.CR yang baik mencapai 60-70%, akan tetapi untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajemen dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50% (Jalius 2011).

Nilai CR ditentukan oleh kesuburan pejantan, kesuburan betina, dan teknik inseminasi (Susilawati 2005). Kesuburan pejantan merupakan tanggung jawab Balai Inseminasi Buatan (BIB) yang memproduksi semen beku disamping manajemen penyimpanan di tingkat inseminator. Kesuburan betina merupakan tanggung jawab peternak dibantu oleh dokter hewan yang bertugas memonitor kesehatan sapi induk. Sementara itu, pelaksanaan IB merupakan tanggung jawab inseminator (Achjadi 2013).

Angka Jours Moyen Retard (JMR)

Sistem Jours Moyen Retard (JMR) merupakan suatu sistem untuk mendapatkan atau menyimpulkan satu nilai penampilan reproduksi sapi perah. Secara harfiah diartikan sebagai jumlah hari terlambat (Rawson 1978). Penampilan reproduksi merupakan gambaran kondisi reproduksi ternak sapi perah berdasarkan angka atau nilai dari berbagai parameter. Parameter untuk sapi perah dewasa yang biasa digunakan antara lain adalah status laktasi, Service per Conception (S/C), jarak partus ke IB pertama, Conception rate (C/R) oleh IB pertama, masa kosong (Days Open), selang beranak (calving interval) dan lain-lain. Dari berbagai parameter tersebut, kita harus menyimpulkan suatu nilai untuk penampilan reproduksi sapi perah dewasa. Berdasarkan nilai tersebut, evaluasi tata laksana peternakan dan sifat reproduksi sapi perah dapat dilakukan, lebih baik atau lebih buruk dari periode sebelumnya.

(23)

13 Angka JMR untuk Indonesia yang direkomendasikan oleh Expert JICA adalah 30, dengan asumsi bila angka JMR lebih dari 30 maka penampilan reproduksi kelompok ternak tersebut kurang baik sedangkan bila kurang dari 30 maka penampilan reproduksi akan dinilai baik. Grafik di bawah menunjukkan angka JMR yang dicapai BPPT-SP Bunikasih.

Gambar 6 Grafik angka JMR di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP Bunikasih 2014) JMR dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyimpulkan kondisi penampilan reproduksi secara kuantitatif dari berbagai parameter menjadi hanya satu parameter atau satu nilai yang disebut angka JMR. Angka JMR merupakan angka penalti rata-rata atau jumlah hari terlambat untuk menjadi bunting serta merupakan gambaran umum kondisi penampilan reproduksi sapi perah (Hidayat et al. 2002). Berdasarkan hasil analisa grafik di atas angka JMR mengalami penurunan dari tahun 2010 64.1, 2011 58.5, 2012 55.7 dan tahun 2013 sebesar 28.3. Hal ini disebabkan tingkat kebuntingan yang lebih baik dari tahun sebelumnya serta kasus gangguan reproduksi yang rendah. Dapat disimpulkan, penampilan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih telah menunjukkan kemajuan.

Kimia Darah Sapi Perah Dewasa

Keberhasilan usaha meningkatkan produktivitas ternak tergantung oleh populasi pada saat itu. Usaha untuk lebih baik juga merupakan hal yang hendaknya menjadi pertimbangan pada peternakan sapi perah. Peningkatan efisiensi reproduksi dapat diperolehi dari pengelolaan ternak serta manajemen yang lebih baik. Penyebab lambatnya perkembangan populasi dan rendahnya produksi susu antara lain disebabkan masih tingginya gangguan reproduksi pada sapi perah betina (Fitrianti 2003).

Sinkronisasi nilai nutrisi sapi perah dilakukan melalui pemeriksaan darah terhadap BUN, Ca, P, Mg pada sapi perah di BPPT-SP Bunikasih.Sampel serum darah sapi perah sebanyak 6 sampledari BPPT-SP Bunikasih diambil dan dilakukan pemeriksaan kimia darah di Laboratorium Diagnostik Klinik bagian Penyakit Dalam Departemen Klinik Reproduksi Patologi, Institut Pertanian Bogor. Hasil pemeriksaan darah adalah dapat dilihat pada Tabel 2.

(24)

14

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Darah Sapi Perah BPPT-SP Bunikasih.

No. Sapi BUN (mg/dL) Ca (mg/dL) P (mg/dL) Mg (mg/dL)

Sumber : Nilai Rujukan diperoleh dari Laboratorium Diagnostik Klinik FKH IPB

Pemeriksaan Darah Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih.

Gambar 7 Grafik Pemeriksaan Darah Sapi Perah Dewasa di BPPT-SP Bunikasih Kadar urea nitrogen (BUN) sample 547 dan 971 berada di kisaran rata-rata normal (6.0-27 mg/dL), sedangkan sampel 266, 408, 820 dan 822 berada dibawah rata-rata normal. Blood Urea Nitrogen (BUN) atau nitrogen urea darah merupakan indikator yang menggambarkan tingkat protein pakan. Kekurangan protein akan mengakibatkan perubahan lingkungan uterus yaitu menurunkan pH uterus dan bersifat toksik atau racun bagi gamet. Paritas induk tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap performan nitrogen urea darah kecuali induk sapi perah diberikan pakan dengan kadar protein yang berbeda-beda.

Berdasarkan sampel yang diperolehi secara umum menunjukkan kadar Kalsium (Ca) berada dibawah kisaran normal yaitu (9.7-12.4mg/dL). Kalsium mempunyai peranan penting dalam pengaturan proses fisiologis dan biokimia yang mencakup eksitabilitas neuromuskuler, koagulasi darah, proses sekresi, integritas membran serta transpor membran plasma, reaksi enzim, pelepasan hormon dan neurotransmiter serta kerja interseluler sejumlah hormon (Granner 2003). Sumber utama kalsium bagi keperluan tubuh adalah dari pakan.Mineral ini diserap di dalam usus dari permukaan mukosa oleh sel-sel yang terbentuk secara khusus dari sekumpulan mikrovili kemudian memasuki sitoplasma sel-sel usus

(25)

15 (Cunningham et al.2005). Sementara nilai Phosfor (P) secara umum masih dalam toleransi batas normal (9,7-12,4mg/dL) dan dinyatakan rasio Ca:P yaitu 2:1 masih ideal pada sapi perah di Indonesia.Kadar kalsium dan posfor menurun akibat dari pemakaian mineral terutama kalsium dan posfor secara besar-besaran untuk sintesa air susu dalam ambing berupa bentuk kolostrum secara tiba-tiba menjelang kelahiran. Ternak yang kekurangan protein menyebabkan timbulnya birahi yang lemah, birahi tenang, anestrus, kawin berulang, kelahiran anak yang lemah. Kondisi ini lebih parah apabila dalam ransum tersebut juga kekurangan Calsium (Ca) dan Phosfor(P) yang menyebabkan ternak menjadi infertile (Minson 1990).

Nilai Mg sapi perah di BPPT-SP Bunikasih sebanyak 1.9 mg/dL dan nilai tersebut masih berada di batas normal (1.8-2.3 mg/dL). Anamnesa dari petugas balai sepanjang tahun 2013 telah terjadi 7 kali gangguan penyakit Milk Fever dengan gejala kejang-kejang(tetanus). Menurut Ratnawati et al. (2007) menyatakan timbulnya gejala tetanus adalah akibat hipomagnesemia dari penyakit Milk Fever. Milk fever merupakan penyakit metabolisme yang paling banyak ditemukan pada sapi perah setelah melahirkan dan terutama terdapat pada sapi yang berproduksi susu tinggi ditandai dengan penurunan kalsium di dalam darah. Selain itu milk fever juga ditandai dengan hipofosfatemia, hipomagnesemia dan hiperglisemia.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sistem JMR dapat diimplimentasikan sebagai upaya menilai kemampuan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih serta penerapan sistem ini mampu memberikan informasi yang tepat sehingga perbaikan penampilan reproduksi terjadi. Keberhasilan sistem JMR dapat dicapai dengan adanya data mengenai identifikasi serta catatan-catatan reproduksi ternak. Adanya perbaikan penampilan reproduksi selama aplikasi sistem JMR di BPPT-SP Bunikasih menunjukkan penampilan reproduksi BPPT-SP Bunikasih semakin baik.

Saran

(26)

16

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekurity. Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia. Yogyakarta. Juni 2013 Afriani T. 2007. Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada

Ternak Sapi di Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam. Jurnal Peternakan Indonesia, vol 12(2) : 136-141.

Atabany A, Purwanto BP,dan TahormatT. 2011.Hubungan Masa Kosong Dengan Produktivitas Pada Sapi Perah Friesian Holstein Di Baturraden, Indonesia.MediaPeternakan FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor 34 (2): 77 - 82.

Ball PJ and Peter AR. 2004. Reproduction in Cattle.3rd ed. Blackwell Science, Inc. Bandini Y. 2004. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta.

Cunningham M., Latour MA, dan Duane A. 2005.Animal Science and Industry.7th ed. Pearson and Prentice Hall, New Jersey.

Dradjat AS. 2002. Penampilan Reproduksi Sapi Bali dengan Menggunakan Inseminasi Buatan di Kecamatan Gerung, Lombok Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan juni 2002:1 (1)

Dranssfiled MGB, Nebel RL, Pearson RE dan Warnick LD. 1998. Timing of insemination for dairy cows identified in estrus by a radiotelemetric detection system. J.Dairy Sci. 81:1874-1882.

Firk R, Stamer E, Junge W, dan Krieter J. 2002. Automation of oestrus detection in dairy cos: a riview. Liv. Prod. Sci. 75:219-232.

Fitrianti AT. 2003. Penampilan Reproduksi Sapi Perah di Peternakan Sapi Perah Rakyat Wilayah Kerja KUD Mojosongo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.Skripsi.Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.Bogor. Granner DK. 2003. Hormon yang Mengatur Metabolisme Kalsium.Dalam

Biokimia Harper.Murray RK., DK Granner, PA Mayes, dan VW Rodwell (eds.). EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Hadi PU dan Ilham N. 2002.Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian. 21 (4) : 148-157.

Hidajati N. 1995 Pemeliharaan Pedet Sapi Perah. Wartazoa 1995: 4(1-2) Bogor: Departemen Pertanian. Ed. Ke-1 Dairy Technology Improvement Project in Indonesia. Bandung.

Hidayat A, Effendi D, Sugiwaka T. 2002. Informasi Teknologi Penunjang pada Kesehatan Reproduksi.Ed ke-1.Dairy Teknology Improvment Project In Indonesia Bandung.1-40.

JainudeenMR dan ESE Hafez. (2000). Cattle and Buffalo.In : Hafez E. S. E. and B. Hafez. Reproduction in Farm Animal. 7th ed. .USA : Lippincott Williams and Wilkins. USA. 96

Jalius.2011. Hubungan Mortalitas Progresif dan Keutuhan Membran Sperma dalam Semen Beku Sapi Bali dengan Keberhasilan Inseminasi.Agrinak. 1(1): 43-47.

(27)

17 Meadows C, Rajala-SchultzPJ.dan Frazer, GS, 2005. A Spreadsheet-Based Model Demonstrating the Nonuniform Economic Effects of Varying Reproductive Performance in Ohio Dairy Herds. J. Dairy Sci. 88:1244-1254 Minson DJ. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press Inc. New York. Nuryadi dan Wahjuningsih S. 2011.Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan

Ongole dan Peranakan Limousin di Kabupaten Malang. J. Ternak Tropika. 12 (1): 76-81.

Oktaviani TT. 2010. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) Di Kecamatan Musuk Boyolali.Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

PirloG, MilfliorF,dan Speroni M. 2000. Effect of Age at First Calving on Production Traits and Difference Between Milk Yield and Returns and Rearing Cost in Italian Holsteins. Journal Dairy Science. 83 (3):603-608. Pramono, A., Kustono dan H. Hartadi. 2008. Calving Interval Sapi Perah di

Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau Dari Kinerja Reproduksi. Buletin Peternakan. 32(1) : 38-50.

Rankin TA, Smith WR, Shanks RD dan Lodge JR. 1992. Timing of insemination in dairy heifers. J. Dairy Sci. 75:2840-2845.

Ratnawati D, Wulan CPdan Lukman AS. 2007. Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian.

Risco CA, De la Sota RL, Morris G, Savio JD dan Thatcher WW. 1995. Post Partum Management of Dairy Cows, 43(7)

Rowson CL. 1987. JMR A key Monitoring for Reproductive Measurement. Communication and Monitor.Dairy Technology Improvement Project in Indonesia. Bandung.

Siregar S.B. 2001. Peningkatan Kemampuan Berproduksi Susu Sapi Perah Laktasi Melalui Perbaikan Pakan dan Frekuensi Pemberiannya.JITV, 6 (2):76-82 Siregar, A.R.P, P. Situmorang, J. Bestari, Y. Sani dan R.H. Matondang. 1997.

Pengaruh flushing pada sapi induk peranakan ongole di dua lokasi yang berbeda ketinggiannya pada program IB di Kabupaten Agam. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2: 244.

Soetarno, T. 2000. Ilmu Produksi Ternak Perah. Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Stevenson, J. S. 2001. Reproductive Management of Dairy Cows in High Milk-Producing Herds. J.Dairy Sciences. 84 : 128-143.

Subandriyo danSitorus P. 1979.Performan Sapi Bali. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia 1:8.

(28)

18

LAMPIRAN

Lampiran 1.Hasil Pemeriksaan kimia Darah Sapi Dewasa September 2013

NO.SAPI BUN (mg/dl) Ca (mg/dl) P (mg/dl) Mg (mg/dl)

547 19.1 6.65 5.51 1.8

971 12.0 7.73 5.51 2.1

266 4.1 5.81 3.58 1.8

408 5.7 7.69 6.44 2.0

820 5.9 8.01 5.34 1.6

(29)

Lampiran 2. Tabel Penampilan Reproduksi Sapi Perah Dewasa dengan Sistem JMR Bulan Februari 2010

No No.sapi Laktasi ke- VP Tanggal partus

terakhir

IB

Total IB O/P D P

Jarak Waktu (Hari)

Tanggal Kering Kandang

Tanggal Partus Berikutnya

Pertama Terakhir Partus

Ke IB 1 Day Open

1. 267 1 80 07/12/09 27/01/10 27/01/10 1 1 3 3 51

2. 127 1 80 18/12/09 22/1/10 12/02/10 2 1 -8 -8 35

3. 263 1 80 9/11/09 26/1/10 26/01/10 1 1 31 31 78

4. 536 1 80 20/11/09 10/1/10 01/02/10 2 1 20 20 51

5. 116 2 60 30/11/09 05/1/10 24/02/10 3 1 30 30 36

6. 415 1 80 9/10/09 23/12/09 11/01/10 2 1 62 62 75

7. 122 1 80 04/04/09 13/08/09 11/09/09 2 0 250 250 131

8. 124 2 60 16/04/09 08/08/09 02/02/10 3 1 258 258 114

9. 106 4 60 28/11/08 11/08/09 11/08/09 1 2 196 256 256 17/03/10 17/05/10

10. 257 1 80 04/06/09 19/08/09 19/08/09 1 2 -11 69 69 25/03/10 25/05/10

Jumlah 15 641 896

(30)

2

a. Status Laktasi = 15 : 10 = 1,5 e. Days open : Rata-rata =325 : 2 =162,5 hari g. JMR = 641:10 = 64,1

b. Service Per Conception (S/C) = (1+1):2 = 1 Minimum = 69

c. Jarak Partus ke IB 1 = 896 : 10 = 89,6 hari Maksimum = 256

d. Conception Rate (C/R) oleh IB 1 = (1+1)x100 = 100% f.Calving Interval (CI) = 162 + 276 = 14,6

2 30

Keterangan tabel :

a) Nomor (Kolom 1) b) Identitas sapi (Kolom 2) c) Angka laktasi (Kolom 3)

d) Voluntary waiting periode / VP (Kolom 4)

VP adalah jangka waktu yang ditetapkan (dalam hari atau bulan) untuk mencapai kebuntingan.

VP untuk sapi laktasi pertama adalah 80 hari. Artinya 80 hari sejak beranak pertama, sapi tersebut harus bunting. Dalam hal ini VP sama dengan target Days Open.

VP untuk sapi laktasi ke-2,3,4 dan seterusnya adalah 60 hari. e) Tanggal beranak terakhir (kolom 5)

f) IB

Tanggal IB pertama (kolom 6) dan terakhir (kolom 7) serta jumlah IB dari tiap ekor sapi (kolom 8) g) O/P

O/P merupakan suatu nilai atau angka untuk menyatakan status kebuntingan. Nilai O/P berkisar 0-2.

Nilai O/P = 0 untuk sapi status tidak bunting karena belum berahi pada kondisi setelah beranak dan ini boleh disebabkan gangguan reproduksi atau normal, sudah berahi tapi tidak di IB, sudah di IB dan sudah diperiksa kebuntingan dengan hasil negatif (tidak bunting).

Nilai O/P =1 untuk sapi dengan status sudah di IB tetapi belum diperiksa kebuntingan, sudah berahi tapi tidak di IB, sudah di IB dan sudah diperiksa kebuntingan dengan hasil negatif (tidak bunting). Nilai O/P =1 untuk sapi dengan status sudah di IB tetapi belum diperiksa kebuntinganny.

Nilai O/P = 2 adalah untuk sapi dengan status bunting. h) Days/ D (kolom 10)

2

(31)

3

D merupakan jumlah hari yang dihitung berdasarkan nilai O/P dan V/P. Pada dasarnya D merupakan jumlah hari terlambat untuk menjadi bunting. D dapat bernilai positif atau negatif. D bernilai negatif jika VP tercapai, ternak tersebut telah bunting.

Jika O/P = 0 (D = Tanggal hitung JMR-Tanggal beranak terakhir- VP) Jika O/P =1 atau 2 ( D = Tanggal IB terakhir-tanggal beranak –VP) i) Penalti atau P (kolom 11)

Penalti atau nilai hukuman adalah jumlah nyata hari terlambat atau D (positif). Jika D bernilai negatif maka P = 0 (belum terkena penalti).

Jika bunting maka sapi tersebut tidak di panalti dan pada kolom penalti dikosongkan. Untuk mengetahui nilai hukuman sapi pada saat bunting, dapat dilihat dari nilai D.

 Jika D negatif maka P = 0

 Jika D positif dan O/P = 1 maka P = D  Jika D positif dan O/P = 2 maka P = kosong.

Semakin tinggi angka penalti semakin tinggi hari terlambat untuk menjadi bunting atau semakin buruk penampilan reproduksi sapi tersebut dan sebaliknya semakin rendah angka penalti semakin baik pula angka penampilan reproduksi.

j) Jarak waktu dalam hari

Jarak waktu dalam hari dari tanggal beranak sampai ke tanggal IB pertama/ service days (kolom 12)

 Service days = Tanggal IB pertama – Tanggal beranak terakhir

Jarak waktu dalam hari dari tanggal berakhir sampai ke tanggal IB terakhir yang menghasilkan kebuntingan/ days open.(kolom 13)

 Days Open = Tanggal IB kebuntingan – Tanggal berank terakhir k) Estimasi tanggal beranak berikutnya (kolom 15)

 Lama kebuntigan pada sapi perah berkisar 270-280 hari. Untuk estimasi tanggal beranak, patokan yang dipakai adalah 279 hari.

l) Estimasi tanggal kering kandang (kolom 14)

 Kering kandang dilaksanakan 2 bulan sebelum beranak.

(32)
(33)
(34)

22

RIWAYAT HIDUP

Andi Nur Izzati Binti Dolar dilahirkan di Sabah, Malaysia pada tanggal 14 Maret 1991 dari PasanganDolar bin Yakim dan Amina binti Bolong. Penulis merupakan anak kedua dariempat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan awal di (TK) Kindergarden University Bristol, London dan dilanjutkan ke sekolah dasar, Sekolah Rendah Kebangsaan Bombalai Tawau, Sabah selama tiga tahun dan melanjutkan ke Sekolah Rendah Kebangsaan ST Patrick Tawau, Sabah sampai tahun 2001. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah St. Patrick Tawau selama tiga tahun dan berpindah ke Sekolah Menengah Kebangsaan Kunak Jaya sehingga selesai pada tahun 2007. Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1 Grafik Jarak Partus ke IB Pertama Sapi Dewasa di BPPT-SP
Gambar 2 Grafik  Calving Interval Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP
Gambar 3 Rata-rata  Service Per Conception (S/C) Sapi Dewasa di BPPT-SP Bunikasih.(BPPT-SP Bunikasih 2014)
Gambar 4 Grafik Rata-rata Hari Kosong di BPPT-SP Bunikasih (BPPT-SP
+4

Referensi

Dokumen terkait

Form ini memiliki beberapa tombol yang terdiri dari tombol simpan berfungsi untuk menyimpan data aset baru, tombol hapus untuk menghapus data aset, tombol edit

Terhadap obyek sengketa perdata yang dalam perjanjian pokoknya telah dilekati perjanjian asseson berupa pactum de compromittendo maka pihak pengadilan negeri setempat

Hasil analisis tersebut juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Hermosillo, Mexico, yang mendapatkan adanya hubungan spasial antara sakit TB BTA

Musyayyadah, Studi Analisis Metode Penentuan Awal Waktu Salat Dengan Jam Istiwa’ Dalam Kitab Syawariq Al-Anwar, Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Walisongo

[r]

Sebaik apapun penyampaian implementor kepada kelompok sasaran, jika tidak ditunjang dengan sumber daya yang memadai maka implementasi tidak akan berjalan

Stleta &rtgada itu lr iega bcrpcrarpn : iir lGfrSat I fuhmn Pcnt*dblrrn lgrs taier aagar I. ' rii ecnfubll tlsdrtrn bEt

Tetapi kesemuanya itu dalam melakukan kegiatan pemasaran tergantung dari konsumen yang dituju oleh perusahaan, sebab dari pada itu perlu adanya suatu cara untuk