• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah Sukabumi-Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah Sukabumi-Jakarta)"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRATEGI IMPLEMENTASI PRODUKSI BERSIH

PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA

(STUDI KASUS WILAYAH SUKABUMI - JAKARTA)

KRISNA CAHYO PRASTYO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul analisis strategi implementasi produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Krisna Cahyo Prastyo

(4)
(5)

KRISNA CAHYO PRASTYO. Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (studi kasus di Wilayah Sukabumi-Jakarta). Dibimbing oleh ANAS MIFTAH FAUZI.

Produksi komoditas hortikultura di wilayah Sukabumi pada tahun 2011 untuk kol, sawi putih, cabai keriting, cabai merah besar, cabai rawit dan tomat masing-masing sebesar 1.990 ton, 23.098 ton, 6.400 ton, 7.679 ton, 3.542 ton dan 13.451 ton, dengan tujuan pengiriman sebagian besar ke wilayah DKI Jakarta. Proses produksi dalam industri hortikultura di sepanjang rantai logistiknya berpotensi menghasilkan limbah dan penumpukan sampah organik. Komposisi dan karakteristik sampah di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011 terdiri dari 55,37% sampah organik dan 44,63% sampah non organik. Rantai logistik industri hortikultura melibatkan petani, pedagang pasar, packing house dan supermarket. Tujuan penelitian adalah menganalisis potensi terbentuknya limbah pada rantai logistik industri hortikultura dan menentukan strategi penerapan produksi bersih terbaik untuk meminimalkan terbentuknya limbah industri hortikultura dari Sukabumi ke Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

quick scan pada aliran rantai logistik dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh packing house

memberikan nilai tambah untuk tomat, cabai keriting, cabai merah besar dan cabai rawit masing-masing sebesar 56,3%, 56,1%, 53,7% dan 47,2%. Alternatif strategi produksi bersih yang diusulkan antara lain penerapan Good Agricultural Practices

(GAP), penyediaan sarana dan prasarana untuk implementasi produksi bersih, penerapan produksi berbasis permintaan, pemanfaatan limbah (sampah sayuran) untuk produk yang memiliki nilai tambah dan penerapan sistem packing house.

Packing house dapat meminimalkan sampah sayuran tomat, cabai merah besar, cabai keriting dan cabai rawit di tingkat konsumen (supermarket). Hasil

Analytical Hierarchy Process menunjukkan bahwa faktor terpenting untuk minimisasi terbentuknya sampah produk hortikultura (sayuran) melalui penerapan produksi bersih dalam rantai logistik industri hortikultura adalah faktor lingkungan dengan petani sebagai aktor terpenting di dalamnya dan pilihan alternatif penerapan produksi bersih terpilih adalah dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk implementasi produksi bersih.

(6)

KRISNA CAHYO PRASTYO. Strategic Analysis of Cleaner Production Implementation in Logistic Chain of Holticulture Industry (Case study in Sukabumi-Jakarta Region). Supervised By ANAS MIFTAH FAUZI.

The production of horticultural commodities in Sukabumi district in 2011 for cabbage, chinese cabbage, curly chillies, big red chilli, chili and tomatoes, were 1.990 tons, 23.098 tons, 6.400 tons, 7.679 tons, 3.542 tons and 13.451 tons respectively, with Jakarta as the most common shipping destination area. Along its logistic chain, the horticulture industry potentially produces wastes. The composition of the wastes in Jakarta in 2011 was consisted of 55,37% of organic wastes and 44,63% of non-organic wastes. Horticulture industry logistic chain involves farmers, green grocery, packing house and supermarkets. The purpose of this research were to analysis the potential wastes on the horticulture industry logistics chain and to determine the application of cleaner production strategies to minimize the wastes. The methods used in the research were quick scan methodology on the logistics chains flow and Analytical Hierarchy Process (AHP). The result showed that the activity held by packing house provide added value for tomatoes, curly chillies, big red chilli and chili, each, up to 56,3%, 56,1%, 53,7% and 47,2%. Alternative strategies proposed on cleaner production were implementation of Good Agricultural Practices (GAP), provision of facilities and infrastructure for the implementation of cleaner production, implementation of demand-based production, and utilization of waste (vegetable waste) for value-added products, and implementation of packing house. Packing house could minimize the amount of wasted vegetable for tomatoes, red peppers big, curly chili and chili in consumen. Analytical Hierarchy Process result showed that the most important factor for minimizing the emergence of horticultural waste through the application of cleaner production on horticulture industry in its logistics chain is environment factor, with farmers as the most important actors on it the chosen strategy for cleaner production implementation is the provision of facilities and infrastructure.

(7)

ANALISIS STRATEGI IMPLEMENTASI PRODUKSI BERSIH

PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA

(STUDI KASUS WILAYAH SUKABUMI - JAKARTA)

KRISNA CAHYO PRASTYO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)

Nama : Krisna Cahyo Prastyo NIM : F34100008

Disetujui oleh

Prof. Dr. lr. Anas Miftah Fauzi, M,Eng Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil tema Lingkungan, dengan judul skripsi Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah Sukabumi - Jakarta) yang telah dilakukan dari bulan Maret hingga Mei 2014.

Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng selaku dosen pembimbing atas perhatian dan bimbingannya selama ini.

2. Ayahanda Subiyanto dan Ibunda Wiwik Widayati serta Arya Dipa Nugroho Wibiyanto dan Heldinnie Gusty Atiqah atas doa, dukungan dan perhatiannya selama ini.

3. Pihak petani, pedagang pasar, packing house dan supermarket di Sukabumi dan Jakarta atas izin dan bantuan pengambilan data selama ini.

4. Direktorat Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian, Dinas Pertanian dan Dinas Kebersihan Kota Sukabumi, Dr. Anas D. Susila dan Andes Ismaya S.TP, MSi atas bantuan dalam pengambilan keputusan strategi produksi bersih.

5. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)
(13)

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR i

DAFTAR LAMPIRAN i

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

METODOLOGI 10

Kerangka Pemikiran 10

Teknik Pengumpulan Data 11

Teknik Analisis Data 11

Tahapan Penelitian 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura 13

Limbah yang Terbentuk dalam Rantai Logistik 18

Penanganan Limbah 19

Analisis Keuntungan dan Nilai Tambah dalam Rantai Logistik 20

Penentuan Pilihan Produksi Bersih 21

Analisis Kelayakan Alternatif Produksi Bersih Terpilih 26

SIMPULAN DAN SARAN 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 32

(14)

1 Tahapan metode penelitian 12

2 Aktor rantai logistik industri hortikultura 14

3 Syarat mutu buah tomat (SNI 01-3162-1992) 15

4 Persentase sampah pada model 1 rantai logistik industri hortikultura 18 5 Persentase sampah pada model 2 rantai logistik industri hortikultura 19

6 Penanganan limbah 19

7 Pilihan penerapan produksi bersih yang dapat diterapkan 22 8 Hasil analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) dari kelompok

responden 23

DAFTAR GAMBAR

1 Rantai logistik industri hortikultura 5

2 Identifikasi model rantai logistik industri hortikultura (sayuran) 16 3 Pola aliran dalam model 1 rantai logistik industri hortikultura 17 4 Pola aliran dalam model 2 rantai logistik industri hortikultura 17 5 Hasil analisis akhir penentuan pilihan produksi bersih 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Flowchart rantai logistik industri hortikultura sukabumi-jakarta 33 2 Analisis kelayakan alternatif terpilih pada pendirian greenhouse 34 3 Analisis kelayakan penerapan crisping pada pedagang pasar (kecil) 36 4 Analisis kelayakan penerapan pengolahan kompos pada supermarket 40 5 Analisis kelayakan penerapan sistem packing house 43 6 Neraca massa input, output dan limbah pada setiap aktor 49

7 Hasil analisis AHP dari expert choice 2000 65

8 Kuesioner AHP 66

9 Perhitungan keuntungan di tingkat petani 77

10 Perhitungan keuntungan di tingkat pedagang pasar (besar) 78 11 Perhitungan keuntungan di tingkat pedagang pasar (kecil) 79 12 Perhitungan nilai tambah di tingkat packing house 79 13 Perhitungan keuntungan di tingkat supermarket 80

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hortikultura berupa sayuran segar yang merupakan sub-sector pertanian pada sepuluh tahun terakhir mendapatkan perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran masyarakat akan manfaat nilai nutrisi sayuran segar bagi kesehatan. Kesadaran ini menuntut adanya rantai suplai yang mampu memberikan penanganan dan menampilkannya dengan baik terkait mutu dan kesegaran sayuran. Terlebih lagi adanya kecenderungan penyimpanan, transportasi, distribusi dan pemasaran yang memerlukan waktu relatif panjang, adanya waktu pemajangan pada pedagang-pedagang ritel dan waktu penundaan penyiapan atau pengolahan untuk dikonsumsi di tingkat rumah tangga.

Sayuran secara alami sangat mudah mengalami kerusakan dan kebusukan. Cara penanganan yang baik dan masukan teknologi untuk memperlambat kemunduran mutu dan kesegaran sayuran sangatlah penting, agar tidak lagi dihasilkan sampah sayuran yang dapat meningkatkan volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Volume sampah di wilayah DKI Jakarta meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya kegiatan proses produksi industri hortikultura di wilayah Jawa Barat, diantaranya di wilayah Sukabumi dengan pengirimannya meliputi wilayah DKI Jakarta. Menurut BPS tahun 2011 produksi hortikultura di wilayah Sukabumi untuk kol, sawi putih, cabai keriting, cabai merah besar, cabai rawit dan tomat masing-masing sebesar 1.990 ton, 23.098 ton, 6.400 ton, 7.679 ton, 3.542 ton dan 13.451 ton. Proses produksi industri hortikultura di sepanjang rantai logistiknya, berpotensi menghasilkan limbah dan penumpukan sampah yang berperan serta dalam peningkatan volume sampah di wilayah DKI Jakarta dari tahun 2005-2008 yaitu 26,264 m3/hari, 26,444 m3/hari, 27,217 m3/hari dan 29,217 m3/hari (Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta 2011). Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) memprediksi jumlah timbulan sampah akan terus meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas proses produksi industri hortikultura hingga mencapai 26,720 m3/hari pada tahun 2015.

(16)

Perumusan Masalah

Sampah sayuran yang dihasilkan sepanjang rantai logistik industri hortikultura, dapat diminimalkan terbentuknya melalui penerapan produksi bersih.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1)Menganalisis potensi terbentuknya limbah pada rantai logistik industri hortikultura.

2)Menentukan strategi penerapan produksi bersih terbaik untuk meminimalkan terbentuknya limbah di industri hortikultura dari Sukabumi ke Jakarta.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1)Petani, pedagang pasar, packing house, supermarket dan aktor-aktor lain yang terkait dalam rantai logistik industri hortikultura sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam menerapkan strategi produksi bersih pada setiap tahapan proses yang dilakukan.

2)Penulis sebagai sarana pengembangan wawasan serta pengalaman dalam menganalisis permasalahan khususnya di bidang lingkungan.

3)Kalangan akademisi dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan penelitian yang serupa dan lebih mendalam.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mengacu pada hal-hal sebagai berikut:

1)Penelitian berfokus pada penentuan alternatif strategi produksi bersih sepanjang rantai logistik industri hortikutura dari Sukabumi ke Jakarta.

2)Untuk komoditas yang akan diidentifikasi dalam rantai logistik industri hortikultura adalah tomat, cabai (keriting, merah besar, rawit), sawi putih dan kol.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Produk Hortikultura

Produk hortikultura terbagi menjadi tiga jenis yaitu sayuran, buah dan bunga. Menurut Rahardi et al. (2001), ciri-ciri komoditas hortikultura adalah sebagai berikut :

1) Dipanen dan dimanfaatkan dalam keadaan hidup atau segar sehingga bersifat mudah rusak (perishable)karena masih ada proses metabolisme.

2) Komponen utama mutu ditentukan oleh kandungan air, bukan oleh kandungan bahan kering (dry matter).

3) Produk hortikultura bersifat meruah (voluminous atau bulky) sehingga susah dan mahal diangkut.

4) Harga pasar komoditas ditentukan oleh mutu atau kualitasnya bukan oleh kuantitasnya saja.

5) Produk hortikultura bukan merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan dalam jumlah besar namun diperlukan sedikit-sedikit setiap harinya dan bila tidak mengkonsumsinya maka tidak segera dirasakan akibatnya.

6) Produk digunakan tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmani tapi juga untuk pemenuhan kebutuhan rohani.

7) Dari segi gizi, produk hortikultura penting sebagai sumber vitamin dan mineral, bukan diutamakan untuk sumber kalori dan protein.

Sayuran adalah salah satu produk hortikultura yang memiliki karakteristik berbeda dengan komoditas lainnya.Kandungan vitamin dan mineral yang lengkap serta bervariasi juga banyak mengandung serat menyebabkan tanaman ini dapat dijadikan sebagai bahan makanan bergizi yang dapat menunjang kesehatan (Norvary 1999).

Komoditas ini memiliki resiko yang cukup besar yang menyebabkan ketergantungan yang tinggi antara pasar dan konsumen, juga antara pasar dan produsen (Rahardi 2004). Menurut Rahardi(2004) sifat-sifat sayuran terdiri dari: 1)Tidak bergantung musim, karena sayuran dibedakan menjadi tanaman sayuran

semusim dan tahunan. Produk sayuran tersebut setiap hari dapat di peroleh. Terdapat beberapa jenis sayuran tahunan yang pada saat tertentu jumlahnya sedikit dan harganya mahal, tetapi pada saat panen raya harganya kembali normal, karena tidak bergantung musim maka sayuran dapat dibudidayakan kapan saja asal syarat tumbuhnya terpenuhi.

2)Mempunyai resiko tinggi, karena produk sayuran umumnya mudah rusak, mudah busuk dan voluminous. Jika tidak ada penanganan lebih lanjut pada pasca panen maka harganya pun akan turun bahkan tidak bernilai sama sekali. 3)Perputaran modalnya cepat walaupun beresiko tinggi. Perputaran modal usaha

(18)

Industri Hortikultura

Industri hortikultura merupakan salah satu jenis agrobased industry yang berdaya saing kuat dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang relatif panjang (Muslimin 1994). Industri hortikultura memiliki peran dalam memberikan penanganan atau proses terhadap komoditas hortikultura dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah, mengurangi kerusakan, mempertahankan mutu dan masa simpan hasil panen. Penanganan atau proses dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui penanganan pasca panen produk hortikultura (sayuran). Pada umumnya, penanganan pasca panen dalam rantai logistik industri hortikultura dilakukan pada rumah pengemasan (packing house). Rumah pengemasan (packing house) adalah suatu bangunan tempat menangani kegiatan pasca panen hasil hortikultura sejak dipanen sampai pengemasan dan siap di distribusikan ke pasar tujuan atau konsumen akhir. Penanganan yang dilakukan harus disesuaikan dengan jenis produk (Syarief dan Irawati 1988).

Menurut Winata (2006), untuk penanganan pasca panen sayuran terdiri atas pembersihan (cleaning), pengkelasan (grading), pengemasan (packaging),

penyimpanan (storing) dan pengangkutan (transporting).

1)Pembersihan

Menurut Pantastico et al. (1986), pembersihan bertujuan untuk membuang kotoran yang melekat pada sayuran untuk memperbaiki penampakan sayuran dan menghilangkan bagian yang busuk atau rusak (trimming). Pembersihan dilakukan dengan mencuci bagian produk yang terkena tanah menggunakan air yang mengalir dengan sprayer (Salunkhe 1976).

2)Penyortiran dan pengkelasan

Kegiatan sortasi biasanya dilakukan berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan baik untuk pemasaran dalam negeri maupun ekspor. Penyortiran dilakukan untuk memisahkan hasil panen berdasarkan kualitas sayuran yang dihasilkan (Rahardi 2004). Menurut Trisnawati dan Setiawan (2002), pengkelasan didasarkan pada kesehatan, ketegaran, kebersihan, ukuran, bobot, warna, bentuk, kemasakan, kebebasan dari bahan-bahan asing dan penyakit serta kerusakan oleh serangga dan luka-luka mekanik.

3)Pengemasan

Pengemasan untuk tujuan pasar harus mempertimbangkan tingkat kematangan buah, jarak dan waktu yang ditempuh hingga menuju tempat pemasaran. Tujuan pengemasan secara umum adalah untuk melindungi hasil terhadap kerusakan, mengurangi kehilangan air, mempermudah dalam pengangkutan dan mempermudah dalam perhitungan (Cahyono 1998).

4)Penyimpanan

(19)

5)Pengangkutan

Menurut Cahyono (1998) fungsi pengangkutan dalam kegiatan pasca panen adalah menyampaikan barang dari kebun atau gudang ke pusat-pusat pemasaran, misalnya pasar induk, pasar lokal dan pasar swalayan. Dalam pengangkutan, berbagai jenis sayuran mengalami penyusutan mutu akibat kerusakan dan transpirasi (Balitbangtan 1987). Hal ini disebabkan karena penanaman komoditi pertanian umumnya berada di pedesaan, sedangkan pemasarannya di daerah perkotaan. Kerusakan saat pengangkutan banyak disebabkan oleh penanganan yang kasar, adanya keterlambatan, pemucatan, pembongkaran yang ceroboh, penggunaan wadah yang tak sesuai dan kondisi pengangkutan yang kurang memadai (Trisnawati dan Setiawan 2002).

Gambar 1 Rantai logistik industri hortikultura

Konsep Nilai Tambah

Konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang terjadi karena adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi. Arus peningkatan nilai tambah komoditas pertanian terjadi di setiap mata rantai pasok dari hulu ke hilir yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Nilai tambah pada setiap anggota rantai pasok berbeda-beda tergantung dari input

dan perlakuan oleh setiap anggota rantai pasok tersebut.

Nilai tambah komoditas pertanian di sektor hulu dapat dilakukan dengan penyediaan bahan baku berkualitas dan berkesinambungan yang melibatkan para pelaku pada mata rantai pertama, antara lain petani, penyedia sarana prasarana pertanian dan penyedia teknologi. Nilai tambah secara kuantitatif dihitung dari peningkatan produktivitas, sedangkan nilai tambah secara kualitatif adalah nilai tambah dari meningkatnya kesempatan kerja, pengetahuan dan keterampilan SDM.

Industri Hortikultura

Petani

Pedagang Pasar (kecil)

Packing House

Super market

(20)

Nilai tambah selanjutnya terjadi pada sektor hilir yang melibatkan industri pengolahan. Komoditas pertanian yang bersifat perishable (mudah rusak) dan

bulky (kamba) memerlukan penanganan atau perlakuan yang tepat, sehingga produk pertanian tersebut siap dikonsumsi oleh konsumen. Perlakuan tersebut antara lain, pengolahan, pengemasan, pengawetan dan manajemen mutu untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah, sehingga harga produk komoditas pertanian menjadi tinggi. Beberapa nilai tambah yang tidak dapat dihitung secara numerik meliputi peluang kerja yang terbuka dengan adanya industri pengolahan dan peningkatan keterampilan kerja.

Nilai tambah pada sektor retail adalah keuntungan yang didapat oleh

retailer dalam menjual produk hasil pertanian yang sudah mengalami pengolahan. Nilai tambah tersebut didapatkan dari beberapa hal antara lain: produk yang dijual dalam bentuk eceran, kontinuitas persediaan barang, jaminan mutu barang dan pelayanan terhadap konsumen. Menurut Hayami et al. (1987) dalam Sudiyono (2001), ada dua cara untuk menghitung nilai tambah, yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikatagorikan menjadi dua, yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai

input lain. Menurut Sudiyono (2001), besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata lain, nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen yang dapat dinyatakan secara matematik sebagai berikut:

Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L } dimana, Keterangan:

K = Kapasitas produksi

B = Bahan baku yang digunakan T = Tenaga kerja yang digunakan U = Upah tenaga kerja

H = Harga output

H = Harga bahan baku

L = Nilai input lain (nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses perlakuan untuk menambah nilai)

(21)

Sampah

Berbagai aktivitas dilakukan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya dengan memproduksi barang dari sumber daya alam disamping menghasilkan barang yang akan dikonsumsi manusia, dihasilkan pula bahan buangan yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh manusia yaitu limbah (sampah). Sampah selalu menimbulkan masalah baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.

Menurut Suprihatin et al. (1996), sampah padat dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik adalah sampah yang mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian (sayuran dan buah-buahan), perikanan atau yang lain. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari sumber daya yang tidak diperbaharui. Secara keseluruhan zat anorganik yang ada tidak dapat diuraikan oleh alam. Jenis sampah ini dapat berupa botol kaca, botol plastik, kaleng, kayu, tulang, kertas dan lainnya.

Sampah dapat menimbulkan masalah lingkungan baik fisik, kimia dan biologi. Masalah lingkungan fisik diantaranya adalah ketersediaan lahan semakin berkurang, menurunnya kualitas estetika dan timbul bau tak sedap. Masalah lingkungan kimiawi adanya gas metana (CH4) yang terlepas akibat adanya dekomposisi sampah organik, sedangkan gas metan termasuk dalam gas rumah kaca yang menjadi polutan di atmosfir. Selain itu terdapat juga masalah biologis yang dapat ditimbulkan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).

Rencana pengelolaan sampah yang komprehensif harus memperhatikan sumber sampah, lokasi, pergerakan/peredaran dan interaksi peredaran sampah dalam suatu lingkungan wilayah. Penanganan sampah yang tepat dapat menjadi jalan keluar dari masalah keterbatasan lahan untuk penumpukan/pembuangan sampah dan juga dapat memberikan manfaat atau nilai ekonomis. Dari sampah yang dihasilkan dapat dilakukan penanganan dengan beberapa kemungkinan yaitu, didaur ulang menjadi bahan baku pada suatu proses produksi (kertas, karton, plastik, logam, botol dan sebagainya), diolah menjadi kompos (umumnya dari jenis sampah organik), hingga sampah ditumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pengolahan Sampah Organik

(22)

Alternatif pertama adalah penerapan Good Agricultural Practices (GAP), dimana dengan perbaikan pada sektor hulu proses produksi diharapkan mampu meminimumkan sampah sayuran hasil sortasi ditingkat distributor, manufacturer

hingga konsumen. GAP adalah panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman hortikultura secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan. Sasaran yang akan dicapai dalam penerapan GAP adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan mutu, usaha agribisnis hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing (Kementrian Pertanian 2011). Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah, sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses penerbitan menjadi Permentan. Penerapan GAP yang dilakukan oleh pelaku usaha mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat maupun daerah (Kementrian Pertanian 2011).

Alternatif ke-dua adalah produksi berbasis permintaan, dimana petani diharapkan mampu mengendalikan produksinya berdasarkan permintaan konsumen, untuk meminimalkan sampah sayuran hasil produksi yang tidak laku terjual. Selain petani, alternatif ini dapat ditujukan pada pihak manufacturer dan pedagang ritel komoditas sayuran (supermarket). Pihak-pihak tersebut harus mengetahui produk seperti apa dan jumlah produk yang diinginkan oleh konsumen. Maka dibutuhkan suatu alat yang mampu menangkap dengan tepat keinginan konsumen terhadap produk yang dihasilkan industri/manufacturer yaitu berupa perencanaan dan pengaturan produksi (Marimin dan Muspitawati 2002).

Alternatif ke-tiga adalah penerapan sistem packing house yang dilakukan melalui penanganan pasca panen dengan baik. Proses-proses yang terdapat di dalam packing house berupa aliran bahan terkait dengan pengendalian mutu dan kesegaran produk dimana terdapat proses sortasi yang ketat, sehingga dapat menghasilkan produk yang baik dan bersih. Selain itu, di dalam packing house

juga terdapat proses pencucian, penyimpanan dingin dan pengemasan yang dapat menjaga kesegaran serta mutu produk (Setyowati dan Budiarti 1992).

Alternatif ke-empat adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk implementasi produksi bersih. Sarana dan prasarana yang dimaksud dapat berupa penyediaan alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan pupuk kompos untuk mengolah sampah sayuran yang terbentuk dan penyediaan teknologi pasca panen terkait penanganan produk serta sistem distribusinya. Dalam penyediaan teknologi pasca panen harus berdasarkan pada pertimbangan fisiologis, fisik-morfologis, patologis produk serta pertimbangan ekonomis. Pertimbangan fisiologis terutama laju metabolisme (dicirikan dengan laju respirasi) menjadi perhatian ahli teknologi pasca panen untuk memperlambat kemunduran mutu dan kesegarannya. Pendinginan adalah cara paling berarti menurunkan laju metabolisme tersebut, seperti hydrocooling dengan air es terhadap wortel, brokoli dan kol (Jatisukarta 2004). Pertimbangan fisik-morfologis dapat dilakukan dengan teknologi crisping

(23)

patogenik melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAPs) dilanjutkan pada periode pascapanennya dengan menerapkan Good Postharvest Handling Practices (GPHPs). Usaha pencegahan dan pengendalian kontaminasi mikroorganisme patogenik dilakukan tanpa menggunakan pestisida, melainkan pembangunan greenhouse atau bangunan beratap transparan. Menurut Budiarti (1994), greenhouse merupakan bangunan yang dibuat dari kaca dan plastik yang merupakan bahan tembus cahaya yang dapat berpengaruh pada peningkatan temperatur udara di dalam greenhouse, melindungi dari siraman hujan secara langsung dan melindungi dari berbagai jenis hama serta berbagai pengaruh perubahan intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman.

Alternatif ke-lima adalah pemanfaatan limbah (sampah sayuran) menjadi produk bernilai tambah. Limbah sayuran berpotensi sebagai pengawet maupun sebagai starter fermentasi karena memiliki kandungan asam tinggi dan mikroba yang menguntungkan. Asam pada limbah sayuran diduga berupa asam laktat sebagai hasil metabolisme bakteri asam laktat. Pemanfaatan ekstrak limbah sayuran hasil fermentasi yaitu berupa asam organik, dapat digunakan sebagai pengawetan secara biologi maupun sebagai starter untuk fermentasi pakan. Ekstrak limbah sayuran dapat disamakan dengan sauerkraut. Sauerkraut adalah hasil fermentasi kubis yang diambil larutan atau ekstraknya (Buckle et al. 1987). Pembuatan saurkraut yaitu dengan cara memotong-motong limbah sayuran kemudian ditambahkan garam 2,5%. Setelah itu didiamkan selama 5 hari, kemudian disaring dan larutan siap digunakan (Yunizal 1986). Pemanfaatan ekstrak limbah sayuran juga dapat digunakan sebagai starter fermentasi bekatul yang mampu meningkatkan kandungan mineral sebesar 20%. Selain itu dapat membuat bekatul awet disimpan selama 1 tahun pada suhu ruang tanpa mengubah komposisi proksimat dan mampu digunakan sebagai starter fermentasi selanjutnya (Utama 2009).

Produksi Bersih pada Rantai Logistik

Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang sifatnya mengarah pada pencegahan dan terpadu untuk diterapkan pada seluruh siklus produksi (UNIDO 2002). Sedangkan menurut UNEP (2003), produksi bersih merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan. Menurut Indrastri dan Fauzi (2009), prinsip-prinsip pokok dalam produksi bersih meliputi:

1)Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta menghindari pemakaian bahan baku beracun dan berbahaya serta mereduksi terbentuknya limbah pada sumbernya.

2)Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik terhadap proses maupun produk yang dihasilkan.

(24)

4)Mengaplikasikan teknologi akrab lingkungan serta manajemen dan prosedur standar operasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

5)Pelaksanaan program produksi bersih ini lebih mengarah pada pengaturan sendiri dan peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat.

Prinsip-prinsip dalam produksi bersih yang telah diuraikan dapat diaplikasikan dalam bentuk kegiatan yang dikenal dengan 4R (Reuse, Recycle,

Reduction dan Recovery). Secara garis besarnya, pemilihan penerapan produksi bersih dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu good house-keeping,

perubahan material input, perubahan teknologis, perubahan produk dan on-site Reuse.

Rantai logistik merupakan serangkaian kegiatan produktif yang terhubung antara aktivitas nilai yang satu dengan yang lainnya membentuk rantai nilai industri. Pada rantai logistik, produksi bersih diperlukan sebagai suatu strategi untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dari hulu hingga hilir kegiatan produksi, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dengan memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang untuk setiap pelaku rantai logistik, mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui penerapan daur ulang limbah serta memperkuat daya saing produk.

METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Kuantitas sampah di DKI Jakarta khususnya sampah sayuran yang berasal dari aktivitas jual-beli dan produksi industri hortikultura meningkat setiap tahunnya. Hal inilah yang menjadi landasan awal pemikiran untuk implementasi produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura. Produksi bersih dapat diterapkan untuk membantu mengatasi permasalahan limbah produk hortikultura yaitu sampah sayuran.

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menganalisis timbulnya limbah industri hortikultura disepanjang rantai logistik, peningkatan keuntungan dan nilai tambah serta minimisasi limbah berdasarkan faktor finansial, lingkungan dan teknis. Alternatif terbaik penerapan produksi bersih diperoleh melalui studi pustaka, survei lapangan, wawancara kepada pelaku industri hortikultura, pakar dan pengelola kebijakan dengan pilihan alternatifnya adalah penerapan Good Agricultural Practices (GAP), produksi berbasis permintaan, penerapan sistem

packing house, penyediaan sarana dan prasarana implementasi produksi bersih serta pemanfaatan limbah (sampah sayuran) menjadi produk bernilai tambah.

Komoditas hortikultura yang diamati dalam penelitian ini adalah sayuran buah (tomat dan cabai) serta sayuran berdaun (sawi putih dan kol) sebagai komoditas utama yang dibudidayakan di Sukabumi dan penyumbang terbesar terbentuknya sampah sayuran. Studi kasus produksi bersih dilaksanakan pada rantai logistik industri hortikultura dimulai dari petani sayuran di Sukabumi, pedagang pasar (besar) pasar induk Keramat Jati, pedagang pasar (kecil) pasar Dramaga, packing house Udi Ac. Atlantik 99 dan Lotte Distribution Center

(25)

Teknik Pengumpulan Data

Pada tahapan pendahuluan penelitian dilakukan pengumpulan pustaka yang terkait dengan tema penelitian. Data dan informasi mengenai proses penanganan pasca panen komoditas sayuran, aliran logistik industri hortikultura, penumpukan sampah perkotaan, serta parameter-parameter lain yang berpengaruh dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber pustaka. Pada tahapan pendahuluan penelitian juga dilakukan wawancara dengan petani sayuran di goalpara dan pasir datar, Sukabumi.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa neraca massa, penanganan limbah, perhitungan keuntungan dan nilai tambah di setiap rantai logistik serta penentuan prioritas alternatif produksi bersih melalui AHP. Data primer diperoleh dari setiap pelaku yang terlibat dalam rantai logistik industri hortikultura dengan cara pengamatan dan pengukuran langsung serta wawancara dengan pihak terkait. Data sekunder berupa data produksi sayuran di wilayah Sukabumi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Hortikultura, Dinas Pertanian kota Sukabumi serta data timbulan sampah di wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta.

Teknik Analisis Data

Analisis Quick Scan

Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data dari rantai logistik komoditas sayuran (tomat, cabai, sawi putih dan kol), mulai dari petani, pedagang pasar (besar), pedagang pasar (kecil), packing house hingga ke supermarket serta pengumpulan data dari setiap proses yang dilakukan oleh stackeholder tersebut. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi proses produksi dan limbah yang terbentuk pada setiap rantai logistik. Proses produksi di identifikasi dengan cara wawancara, pengamatan dan pengukuran secara langsung. Identifikasi terhadap industri dilakukan terhadap aliran rantai logistiknya. Identifikasi limbah dilakukan dengan penyusunan neraca massa. Pelaksanaannya dilakukan dengan wawancara, pengamatan secara langsung dalam kegiatan produksi dan pengumpulan data perusahaan, sehingga diketahui sumber-sumber terbentuknya limbah.

Penentuan Alternatif Produksi Bersih

(26)

Penetapan Strategi Produksi Bersih

Alternatif produksi bersih yang telah terpilih, kemudian dianalisis menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk didapatkan prioritas penerapan alternatif produksi bersih pada industri hortikultura. Pengambilan keputusan dilakukan melalui kuisioner yang diberikan kepada pakar, petani, pedagang pasar, packing house, supermarket dan pemerintah. Prioritas alternatif produksi bersih dianalisis menggunakan AHP dalam pengolahannya menggunakan program Expert Choice 2000.

Analisis Kelayakan

Alternatif penerapan produksi bersih terpilih dilakukan analisis kelayakan berupa evaluasi ekonomi. Evaluasi ekonomi merupakan analisis terhadap alternatif penerapan produksi bersih dari segi finansial. Evaluasi ini dilakukan dengan cara mengukur nilai payback period guna mengetahui waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi awal. Semakin cepat tingkat pengembalian investasi, maka alternatif tersebut dinilai semakin baik untuk dilaksanakan.

Tahapan Penelitian

Tabel 1 Tahapan metode penelitian

No Tahap penelitian Keterangan

1) Analisis Quick Scan Alat pengumpulan data : - Kuisioner

- Wawancara dengan aktor terkait rantai logistik

- Pengamatan dan pengukuran langsung 2) Penentuan alternatif

produksi bersih

Pengamatan langsung, studi pustaka serta wawancara dengan pakar dan pelaku industry

3) Penentuan strategi produksi bersih terbaik

Alat analisis data :

Analytical Hierarchy Process (AHP) 4) Analisis kelayakan

ekonomi/finansial terhadap alternatif terpilih

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura

Penelitian ini merupakan studi kasus di wilayah Sukabumi dan Jakarta dengan memilih komoditas utama yang dibudidayakan. Komoditas yang menjadi fokus penelitian adalah cabai (keriting, rawit dan merah besar), tomat, sawi putih dan kol. Definisi logistik menurut webster dictionary adalah penyediaan, perawatan, distribusi dan material. Rantai logistik industri hortikultura merupakan alur distribusi komoditas hortikultura yaitu sayuran dari hulu hingga hilir proses produksi.

Dalam rantai logistik industri hortikultura pada Lampiran 1, aktor-aktor yang berperan dalam rantai logistik adalah Petani, Pedagang Pasar (besar/kecil),

Packing House dan Supermarket. Rantai logistik industri hortikultura dimulai dari petani mengirim hasil panen sayuran ke pedagang pasar. Pada pedagang pasar (besar), sayuran hanya ditumpuk berdasarkan grade dan dijual kembali ke pedagang pasar (kecil) secara grosir serta packing house. Sayuran dengan

grade/kualitas baik akan dikirim ke packing house. Sayuran dari packing house

yang telah dikemas, kemudian di kirim ke supermarket. Setiap aktor atau pelaku rantai logistik industri hortikultura mempunyai peran yang berbeda. Peran masing-masing aktor dalam rantai logistik industri hortikultura dapat dilihat pada Tabel 2.

Petani sebagai aktor bagian hulu dari rantai logistik industri hortikultura berperan dalam suplai sayuran yang memiliki karakteristik tidak luka, memar dan busuk atau sayuran dalam kondisi segar yang diawali dengan proses budidaya dan pasca panen yang baik sehingga diperoleh hasil panen maksimal. Untuk komoditas hortikultura yang telah dipanen, selanjutnya dilakukan proses sortasi kering atau memisahkan komoditas hortikultura yang layak dengan tidak layak untuk dijual. Proses packing dilakukan pada masing-masing komoditas guna mempermudah proses pengangkutan dan melindungi komoditas dari kerusakan pada saat proses distribusi.

Cabai dikemas menggunakan kardus/karung dengan kapasitas 50 - 65 kg. Sawi putih dan kol dikemas menggunakan plastik transparan dengan kapasitas 60 - 75 kg serta tomat dikemas menggunakan peti kayu dengan kapasitas 40 kg, yang sebelumnya dilakukan proses grading terlebih dahulu. Grade pada tomat terdiri dari grade A, grade B dan grade C. Masing-masing grade pada tomat dibedakan secara fisik berupa ukuran. Pembagian mutu pada tomat menurut SNI 01-3162-1992 dapat dilihat pada Tabel 3. Komoditas hortikultura yang telah dilakukan

(28)

Tabel 2 Aktor rantai logistik industri hortikultura

Tingkatan Aktor Proses Aktivitas

Supplier

 Melakukan proses budidaya, produksi dan pemanenan

 Melakukan proses sortasi secara fisik/visual

 Melakukan proses grading

pada komoditas tomat

 Melakukan proses packing

sementara untuk distribusi

 Melakukan proses distribusi dan penjualan ke pasar induk

Distributor

 Melakukan pembelian

hortikultura dari petani

 Melakukan proses

penumpukan komoditas

sesuai jenis dan grade

 Melakukan proses

pengiriman dan penjualan ke

packing house dan pedagang

 Melakukan pembelian

hortikultura dengan kualitas baik dari pedagang pasar (besar)

 Melakukan proses sortasi secara ketat pada setiap komoditas

 Melakukan pengemasan

kembali dengan kapasitas 500 gram - 1 kg setiap kemasan

 Melakukan proses distribusi

dan penjualan ke

 Melakukan pembelian

hortikultura dari packing house

 Melakukan proses sortasi secara acak terhadap produk dan kemasan

 Melakukan proses penjualan dengan melakukan display

pada setiap komoditas kepada konsumen akhir Pedagang

pasar (kecil)

 Pembelian

 Penjualan

 Melakukan pembelian

hortikultura dari pedagang pasar (besar)

(29)

Tabel 3 Syarat mutu buah tomat (SNI 01-3162-1992) Karakteristik

Syarat Mutu

Mutu I Mutu II

Kesamaan sifat varietas Seragam Seragam

Tingkat ketuaan Tua tetapi tidak terlalu matang, tidak terlalu lunak

Tua tetapi tidak terlalu matang, tidak terlalu lunak

Ukuran Seragam Seragam

Kotoran Tidak ada Tidak ada

Setibanya di pasar, semua komoditas hortikultura yang dikirim kemudian diturunkan dan ditumpuk pada tempat yang kering sesuai dengan jenis dan grade

masing-masing komoditas. Komoditas cabai, setelah diturunkan dan ditumpuk selanjutnya diberi udara secara langsung menggunakan kipas angin. Hal ini dilakukan agar uap panas yang keluar dari cabai dapat berkurang sehingga tidak cepat susut dan busuk. Komoditas dengan grade atau kualitas baik akan dikirim ke packing house, sedangkan untuk komoditas yang memiliki kualitas menengah ke bawah dijual kepada pedagang pasar (kecil) secara grosir tanpa membongkar kemasan baik kardus, karung, plastik dan juga peti kayu. Pada pedagang pasar kecil, komoditas yang dibeli tidak lagi dilakukan proses sortasi, sehingga komoditas yang dibeli langsung dijual kembali kepada konsumen.

Packing house melakukan proses pembelian kepada pedagang pasar (besar) untuk komoditas dengan kualitas/grade terbaik yang nantinya akan dilakukan proses sortasi dan pengemasan kembali. Sortasi dilakukan secara manual pada setiap komoditas untuk memisahkan komoditas yang baik secara fisik dengan komoditas yang kurang baik (busuk/luka). Komoditas yang lolos sortir seperti cabai, selanjutnya dikemas kembali menggunakan plastik berlubang kapasitas 500 gram, sedangkan untuk tomat tidak dikemas atau dijual secara curah kepada

supermarket. Komoditas yang tidak lolos sortir akan dijual kembali ke pedagang pasar.

Komoditas yang telah disortir dan dikemas oleh packing house, selanjutnya dikirim ke supermarket menggunakan mobil box dan dilakukan proses sortasi kembali secara keseluruhan. Sortasi secara keseluruhan meliputi sortasi kemasan dan produk itu sendiri. Komoditas yang lolos sortir selanjutnya dilakukan display

(30)

Model Rantai Logistik

Pada identifikasi aliran rantai logistik industri hortikultura dilapangan, didapatkan hasil berupa dua buah model rantai logistik yaitu model rantai logistik 1 dan model rantai logistik 2. Model rantai logistik 1 terdiri dari beberapa aktor yaitu petani – pedagang pasar (besar) – pedagang pasar (kecil) dan model rantai logistik 2 terdiri dari petani – pedagang pasar (besar) – packing housesupermarket. Kedua model rantai logistik dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Identifikasi model rantai logistik industri hortikultura (sayuran) Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002) dalam Marimin (2004), terdapat beberapa aktor utama yang memiliki kepentingan dalam Supply Chain Management yaitu sebagai supplier (pemasok), distributor (pendistribusi),

manufacturer (pengolah) dan customer (konsumen). Pada model 1 rantai logistik industri hortikultura, petani berperan sebagai supplier (pemasok), pedagang pasar (besar) sebagai distributor dan pedagang pasar (kecil) sebagai customer

(konsumen).

Dalam model rantai logistik 2 juga petani berperan sebagai supplier

(pemasok), pedagang pasar (besar) sebagai distributor, packing house sebagai

manufacturer (pengolah) serta supermarket berperan sebagai customer

(konsumen). Pada suatu rantai logistik umumnya terdapat tiga macam aliran yang harus dikelola. Pertama yaitu aliran barang/logistik yang mengalir dari hulu ke hilir (supplier-customer), kedua yaitu aliran uang/finansial yang mengalir dari hilir ke hulu (customer-supplier), dan ketiga yaitu aliran informasi yang dapat terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya.

Pada model 1 rantai logistik industri hortikultura tidak terdapat standar mutu yang diberikan oleh pedagang pasar (besar) terhadap komoditas sayuran yang dikirim oleh petani. Begitu juga dengan batasan jumlah komoditas yang dijual oleh petani kepada pedagang pasar (besar). Namun pedagang pasar (besar) akan memberikan insentif kepada petani yang menjual komoditas dengan kualitas baik, dengan memberikan harga pembelian yang lebih tinggi. Selain itu terdapat aliran informasi oleh pedagang pasar (besar) kepada petani terkait harga komoditas yang terdapat di pasaran. Oleh karena itu petani bersedia memproduksi komoditas (sayuran) dengan kualitas baik serta dapat memperkirakan komoditas yang akan ditanam agar dapat di jual dengan harga yang tinggi.

Petani

Pedagang Pasar (kecil)

Packing House

Supermarket

(31)

Pada proses jual beli, tidak ada kontrak tertulis yang terjadi antara petani dengan pedagang pasar (besar) dan juga pedagang pasar (kecil). Pedagang pasar (kecil) melakukan proses pembelian dengan pedagang pasar (besar) dalam bentuk

grosir untuk kualitas/grade komoditas menengah ke bawah, untuk dijual kembali kepada konsumen akhir.

Keterangan:

Gambar 3 Pola aliran dalam model 1 rantai logistik industri hortikultura

Model rantai logistik selanjutnya yaitu melibatkan packing house sebagai pihak pengolah (manufacturer) yang memberikan nilai tambah pada komoditas sayuran yang diperjual belikan. Nilai tambah ini diperoleh dari proses yang dilakukan oleh packing house terhadap komoditas sayuran. Packing house

memperoleh komoditas sayuran dengan kualitas baik dari pedagang pasar (besar) yang terdiri dari grade A dan B. Selanjutnya dilakukan proses produksi berupa sortasi dan re-packing. Komoditas sayuran yang tidak lolos sortir akan dijual kembali ke pedagang pasar dengan harga yang lebih rendah. Pengemasan ulang dilakukan oleh packing house sesuai dengan standar yang diberikan supermarket

sebagai pihak customer (konsumen), sehingga terjadi aliran informasi dari

supermarket berupa standar kualitas komoditas sayuran dan kemasan kepada pihak packing house serta jumlah komoditas yang harus di pasok. Komoditas sayuran yang tidak sesuai dengan standar dan kurang dari jumlah yang diberikan, maka akan di tolak dan dikembalikan kepada pihak packing house.

Proses jual beli diantara pihak packing house dan supermarket dilakukan dengan sistem kontrak yang diperbaharui setiap dua minggu sekali. Begitu juga dengan proses pembayaran yang diberikan oleh pihak supermarket kepada

packing house. Komoditas sayuran yang lolos sortir oleh pihak supermarket,

selanjutnya akan dilakukan display dan dijual kepada konsumen akhir.

Keterangan:

Gambar 4 Pola aliran dalam model 2 rantai logistik industri hortikultura Petani Pedagang Pasar (besar) Pedagang Pasar (kecil)

Aliran barang

Aliran finansial Aliran informasi

Petani Pedagang Pasar Packing House Supermarket

(besar)

Aliran barang

(32)

Limbah yang Terbentuk dalam Rantai Logistik

Pada model 1 rantai logistik industri hortikultura, terjadi pembentukan sampah sayuran pada tingkat petani (pemasok) dan pedagang pasar kecil (konsumen). Sampah sayuran yang terbentuk pada tingkat petani dan pedagang pasar kecil cukup besar, karena belum diterapkannya Good Agricultural Practices

(GAP) dalam proses budidaya komoditas sayuran pada tingkat petani, sehingga menyebabkan banyaknya komoditas sayuran busuk dan tidak layak jual saat dipanen. Pada pedagang pasar (kecil), sampah sayuran terbentuk karena tidak adanya perlakuan yang diberikan untuk menjaga mutu dan kesegaran dari komoditas sayuran, yaitu dimulai dari proses distribusi hingga penjualan kepada konsumen akhir. Pedagang pasar kecil hanya memotong dan membuang bagian komoditas sayuran yang layu dan telah busuk.

Hasil proses pemotongan/pembuangan bagian yang layu dan busuk dari komoditas sayuran menambah serta jumlah sampah sayuran pada tingkat pedagang pasar kecil yang menyebabkan peningkatan volume sampah dipasar dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pada tingkat pedagang pasar (besar) sebagai pihak distributor tidak terbentuk sampah sayuran, karena komoditas sayuran hanya ditumpuk dan langsung dijual kepada pedagang pasar kecil dan packing house. Berikut persentase sampah sayuran pada model 1 rantai logistik industri hortikultura.

Tabel 4 Persentase sampah pada model 1 rantai logistik industri hortikultura

Komoditas

Aktor

Petani Pedagang pasar (besar) pedagang pasar besar (distributor) yang sama, pembentukan sampah sayuran pada tingkat supermarket (konsumen) lebih sedikit pada komoditas tomat dan cabai merah besar dibandingkan dengan jumlah sampah yang terbentuk pada tingkat pedagang pasar (kecil) model 1 rantai logistik industri hortikultura. Sedangkan, untuk komoditas cabai keriting dan cabai rawit terjadi perbedaan persentase sampah yang signifikan karena adanya perbedaan jumlah pembelian oleh pedagang pasar (kecil) dengan supermarket. Pada model 2 rantai logistik industri hortikultura, terdapat persyaratan/standar mutu yang diberikan oleh konsumen kepada pihak pengolah (manufacturer) yaitu packing house, sehingga mengharuskan pihak packing house melakukan proses pengolahan untuk menjaga mutu dan kesegaran komoditas sayuran.

(33)

sampah sayuran terbentuk dari komoditas sayuran yang tidak laku terjual hingga batas waktu yang telah ditentukan oleh pihak supermarket. Berikut persentase sampah pada model 2 rantai logistik industri hortikultura.

Tabel 5 Persentase sampah pada model 2 rantai logistik industri hortikultura

Komoditas

Aktor

Petani Pedagang

pasar (besar) Packing house Supermarket

Tomat 13,3 % 0 % 1,4 % 2,2 %

C. Keriting 7,6 % 0 % 7,1 % 5,5 %

C. Merah Besar 10 % 0 % 7,1 % 8,7 %

C. Rawit 10 % 0 % 7,1 % 6,4 %

Penanganan Limbah

Penanganan limbah merupakan suatu kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap industri yang membuang sisa hasil prosesnya ke lingkungan. Penanganan limbah dapat meminimumkan dampak negatif dari limbah sisa proses produksi yang dihasilkan. Limbah industri hortikultura berupa sampah organik merupakan salah satu limbah yang berperan serta dalam meningkatkan volume sampah di TPA dan juga menyebabkan pencemaran lingkungan yang dapat menimbulkan bau tidak sedap serta mengganggu keindahan kota. Secara umum penanganan limbah yang dilakukan oleh tiap rantai logistik industri hortikultura dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 6 Penanganan limbah

Aktor Penanganan Limbah Hortikultura

Petani Sawi Putih dan Kol : sawi dan kol yang busuk dan tidak lolos sortir dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak (ayam, bebek, ikan) dan pupuk kompos.

Tomat : tomat tidak lolos sortir/busuk dibuang/ditimbun pada suatu tempat khusus.

Cabai : cabai tidak lolos sortir dikonsumsi oleh pekerja dan yang telah busuk dibuang langsung dikebun.

Pedagang Pasar

Digunakan sebagai pakan ternak dan ditumpuk/dibuang ke TPA.

Packing House Dikonsumsi oleh pekerja dan dijual kembali ke pedagang pasar.

(34)

Analisis Keuntungan dan Nilai Tambah dalam Rantai Logistik

Perhitungan keuntungan dan nilai tambah di setiap aktor rantai logistik industri hortikultura, dilakukan untuk mengetahui sukses atau tidaknya suatu rantai logistik yang dilakukan. Analisis keuntungan dilakukan pada petani, pedagang pasar (besar), pedagang pasar (kecil) dan supermarket, sedangkan analisis nilai tambah dilakukan pada packing house. Semakin besar keuntungan dan nilai tambah yang diperoleh pada setiap aktor, maka semakin baik pelaksanaan rantai logistik industri hortikultura.

Keuntungan di Tingkat Petani

Keuntungan di tingkat petani diperoleh dari selisih antara pendapatan petani dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan. Data yang dibutuhkan untuk mengetahui jumlah pendapatan dan biaya produksi pada setiap komoditas sayuran diperoleh dengan melakukan survei lapang dan wawancara secara langsung kepada petani di goalpara dan pasir datar, Sukabumi. Keuntungan yang diperoleh petani untuk setiap komoditas sayuran berbeda-beda, karena jumlah panen dan harga jual setiap komoditas pun berbeda. Keuntungan yang diperoleh petani untuk sawi putih 2,3%, kol 47%, cabai keriting 66,6%, cabai merah besar 84%, cabai rawit 83%, tomat 72,8% (tanpa grade) dan tomat (dengan grade) 98,7%.

Pada persentase keuntungan diatas, sawi putih memperoleh keuntungan yang sangat rendah dibandingkan dengan komoditas lainnya, karena sawi putih dibudidayakan oleh petani di Sukabumi sebagai komoditas tumpang sari dari komoditas utama berupa cabai dan tomat. Sawi putih juga sangat rentan terhadap hama dan curah hujan tinggi, yang menyebabkannya mudah membusuk. Persentase keuntungan untuk tomat tanpa grade dengan tomat menggunakan

grade memiliki perbedaan yang signifikan, dimana memiliki selisih keuntungan hingga 25,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan melakukan proses

grading pada komoditas sayuran, akan memberikan peningkatan keuntungan pada petani. Perhitungan keuntungan pada tingkat petani secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 9.

Keuntungan di Tingkat Pedagang Pasar (Besar)

Keuntungan di tingkat pedagang pasar (besar) diperoleh dari selisih antara pendapatan pedagang pasar (besar) dengan biaya yang telah dikeluarkan. Data yang dibutuhkan untuk mengetahui jumlah pendapatan dan biaya yang dikeluarkan untuk setiap komoditas sayuran diperoleh dengan melakukan survei lapang dan wawancara secara langsung kepada pedagang sayuran di pasar induk Keramat Jati, Jakarta. Keuntungan yang diperoleh pedagang pasar (besar) untuk sawi putih dan kol 33,3%, cabai keriting 20%, cabai merah besar 20,8%, cabai rawit 7,5% dan tomat 20%.

(35)

Keuntungan di Tingkat Pedagang Pasar (Kecil)

Perhitungan keuntungan di tingkat pedagang pasar (kecil) juga diperoleh dari selisih antara pendapatan pedagang pasar (kecil) dengan biaya yang telah dikeluarkan. Data yang dibutuhkan untuk mengetahui jumlah pendapatan dan biaya pengeluaran untuk masing-masing komoditas sayuran dilakukan survei lapang dan wawancara secara langsung kepada pedagang sayuran di pasar Dramaga, Bogor. Keuntungan yang diperoleh pedagang pasar (kecil) untuk sawi putih 35,6%, kol 57,5%, cabai keriting 17%, cabai merah besar 2,6%, cabai rawit 8,8% dan tomat 37,1%.

Pada persentase keuntungan diatas, komoditas cabai memperoleh keuntungan yang lebih rendah dibandingkan dengan komoditas sayuran lainnya. Komoditas cabai juga memiliki harga yang fluktuatif dipasaran, sehingga pedagang pasar (kecil) dengan modal yang terbatas hanya dapat membeli komoditas cabai untuk dijual kembali dalam jumlah sedikit dengan resiko tidak laku terjual dan busuk yang sangat besar. Perhitungan keuntungan pada tingkat pedagang pasar (kecil) secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 11.

Nilai Tambah di Tingkat Packing House

Perhitungan nilai tambah di tingkat packing house dilakukan dengan menggunakan metode Hayami, dimana rasio nilai tambah dihitung berdasarkan biaya produksi dari pendapatan yang diperoleh pihak packing house. Data yang dibutuhkan untuk perhitungan nilai tambah diperoleh dari hasil survei lapang dan wawancara dengan pihak packing house Udi Ac. Atlantik 99 di Jakarta Timur.

Nilai tambah yang diperoleh pihak packing house dari masing-masing komoditas sayuran yaitu tomat 56,3%, cabai keriting 56,1%, cabai merah besar 53,7% dan cabai rawit 47,2%. Perhitungan nilai tambah pada tingkat packing house secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 12.

Keuntungan di Tingkat Supermarket

Pada tingkat supermarket hanya dilakukan perhitungan keuntungan dan tidak dilakukan perhitungan nilai tambah, karena kesulitan memperoleh data dari pihak supermarket terkait dengan data keuangannya. Oleh sebab itu hanya dapat dilakukan perhitungan keuntungan yang diperoleh dari selisih antara pendapatan pihak supermarket dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan.

Data yang dibutuhkan untuk mengetahui jumlah pendapatan dan biaya yang dikeluarkan oleh pihak supermarket dilakukan dengan survei lapang dan wawancara di Lotte Distribution Center (LDC), Lotte Mart, Pasar Rebo, Jakarta. Keuntungan yang diperoleh pihak supermarket untuk tomat 12,5%, cabai keriting 8,6%, cabai merah besar 5% dan cabai rawit 7,6%. Perhitungan keuntungan pada tingkat supermarket secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13.

Penentuan Pilihan Produksi Bersih

(36)

kajian sementara mengenai pilihan produksi bersih yang mungkin diterapkan tersaji pada tabel dibawah ini.

Tabel 7 Pilihan penerapan produksi bersih yang dapat diterapkan

Pilihan Produksi Bersih Tujuan

Penerapan Good Agricultural Practices (GAP)

Petani mampu menghasilkan komoditas sayuran dengan kualitas dan mutu yang baik, sehingga terbentuknya komoditas dengan mutu rendah dapat diminimumkan.

Produksi berbasis permintaan Meminimumkan komoditas sayuran yang tidak laku terjual agar tidak lagi dihasilkan sampah sayuran.

Penerapan sistem Packing House

Menghasilkan produk sayuran dengan kualitas baik, memberikan nilai tambah dan meminimumkan sampah sayuran yang terbentuk.

Penyediaan sarana dan

prasarana untuk implementasi produksi bersih

Menyediakan sarana dan prasarana pendukung yang dapat membantu meminimumkan terbentuknya sampah sayuran terkait dengan rantai logistik industri hortikultura.

Pemanfaatan limbah (sampah sayuran) untuk produk yang memiliki nilai tambah

Mengurangi jumlah sampah sayuran dengan memanfaatkan kembali sampah sayuran tersebut menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi.

Peran penentuan pilihan produksi bersih dalam rantai logistik diatas adalah agar dapat meminimumkan limbah yang terbentuk dari hulu hingga hilir proses produksi. Secara kualitatif pilihan produksi bersih yang telah didapat, kemudian dianalisis menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode AHP dilakukan dengan prinsip perbandingan antara alternatif dengan menyederhanakan proses pemilihan pilihan terbaik menjadi bagian yang tertata dalam bentuk hirarki proses (Marimin dan Maghfiroh 2010).

Pada hirarki pengambilan keputusan ini terdapat empat level yang terdiri dari tujuan, faktor, aktor dan alternatif. Level faktor terdiri dari tiga faktor yang memberikan pengaruh dalam implementasi produksi bersih yaitu finansial, lingkungan dan teknis. Pada level aktor, terdapat lima aktor yang terkait dengan industri hortikultura yaitu petani, pedagang pasar, packing house, supermarket

dan pemerintah. Penentuan kelima aktor tersebut berdasarkan dari hasil survei lapang selama penelitian mengenai stackholder yang memiliki peran penting dalam rantai logistik industri hortikultura yang disertai dengan diskusi bersama pakar. Hirarki pengambilan keputusan ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.

Penentuan strategi penerapan produksi bersih dengan AHP dalam industri hortikultura melibatkan beberapa responden yang dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu akademisi, pemerintah, petani, pedagang pasar, packing house

(37)

Tabel 8 Hasil analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) dari kelompok responden

Alternatif Akademisi Pemerintah Petani Pedagang

Pasar

Pada responden kelompok akademisi, alternatif penerapan sistem Packing House menjadi prioritas utama yang memiliki bobot 0.291. Alternatif penerapan sistem packing house dapat menghasilkan produk dengan kualitas baik, yang dilakukan melalui proses sortasi yang ketat dan pengemasan yang baik, sehingga dapat meminimalkan sampah sayuran pada tingkat konsumen. Pada responden kelompok pemerintah dan petani, alternatif yang menjadi prioritas utama yaitu penyediaan sarana dan prasarana untuk implementasi produksi bersih yang masing-masing memiliki bobot 0.275 dan 0.263. Alternatif bertujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung dalam meminimumkan terbentuknya sampah sayuran yang disebabkan pengaruh dari luar (lingkungan, hama, suhu dll), terkait dengan rantai logistik industri hortikultura. Hal ini sangat erat kaitannya dengan penerapan Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Handling Practices (GHP) pada komoditas sayuran seperti, pendirian greenhouse.

(38)

Alternatif ini juga dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana dalam pembuatan kompos dari sisa hasil panen, komoditas tidak lolos sortir dan tidak laku terjual dengan mengumpulkannya pada suatu tempat khusus yang dikondisikan sedemikian rupa agar terjadi proses pengomposan.

Pada responden kelompok pedagang pasar dan packing house, alternatif yang menjadi prioritas utama yaitu pemanfaatan limbah (sampah sayuran) untuk produk yang memiliki nilai tambah dengan masing-masing memiliki bobot 0.348 dan 0.240. Alternatif bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah sayuran dengan cara memanfaatkan kembali sampah sayuran tersebut menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi seperti, sampah sayuran yang terbentuk dapat diekstrak menjadi starter fermentasi. Starter fermentasi memiliki banyak manfaat yang dapat digunakan dalam berbagai aplikasi, diantaranya yaitu penggunaan ekstrak limbah sayuran dalam pembuatan silase ikan yang mampu mengawetkan ikan selama 12 hari tanpa mengurangi kandungan nutrisi ikan tersebut (Utama dan Sumarsih 2006). Alternatif yang menjadi prioritas utama untuk responden kelompok supermarket yaitu produksi berbasis permintaan dengan bobot 0.244. Alternatif bertujuan untuk meminimumkan komoditas sayuran tidak laku terjual, sehingga tidak lagi menghasilkan sampah sayuran. Hasil AHP menurut masing-masing kelompok responden menunjukkan rasio inkonsistensi dibawah 0.10 atau 10%. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian masing-masing responden telah konsisten.

Usaha untuk meminimalkan terbentuknya sampah atau limbah produk hortikultura (sayuran) masih belum banyak dilakukan, karena daur ulang dengan cara yang ramah lingkungan, mudah dan murah memerlukan upaya yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut. Pada penjelasan sebelumnya, sampah sayuran berpotensi sebagai pengawet maupun starter fermentasi karena memiliki kandungan asam tinggi dan mikroba yang menguntungkan. Asam pada sampah sayuran diduga berupa asam laktat sebagai hasil metabolisme bakteri asam laktat. Pemanfaatan ekstrak sampah sayuran hasil fermentasi yaitu berupa asam organik, dapat digunakan sebagai pengawetan secara biologi maupun sebagai starter untuk fermentasi pakan. Pengolahan yang dirasa efisien, mudah, murah, ramah lingkungan dan menghasilkan pendapatan tambahan adalah dengan menjadikan starter fermentasi yang berisikan mikroorganisme aktif asli dari sampah sayuran.

Pengolahan sampah sayuran lainnya dapat dilakukan dengan menfermentasikannya menggunakan garam dalam suasana anaerob fakultatif. Ekstrak sampah sayuran merupakan larutan hasil fermentasi. Ekstrak sampah sayuran ini bisa disamakan dengan sauerkraut. Sauerkraut adalah hasil fermentasi kubis yang diambil larutan atau ekstraknya (Buckle et al. 1987). Aplikasi teknologi yang telah dilakukan diantaranya yaitu pemanfaatan ekstrak sampah sayuran sebagai starter fermentasi bekatul (pakan) yang mampu meningkatkan kandungan mineral 20% dan membuat bekatul awet disimpan selama 1 tahun pada suhu ruang tanpa mengubah komposisinya dan dapat digunakan kembali sebagai starter proses fermentasi selanjutnya (Utama 2009).

(39)

Gambar 5 Hasil analisis akhir penentuan pilihan produksi bersih

Pada Gambar 5 diperoleh alternatif dengan bobot tertinggi yaitu penyediaan sarana dan prasarana untuk implementasi produksi bersih sebesar 0.255. Hal ini menunjukkan bahwa penyediaan sarana dan prasarana implementasi produksi bersih merupakan prioritas utama dari alternatif yang dapat diterapkan dalam rantai logistik industri hortikutura dengan tujuan untuk meminimumkan terbentuknya sampah sayuran pada tingkat konsumen. Alternatif lain yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dengan bobot sebesar 0.208 yaitu penerapan sistem packing house. Rasio inkonsistensi sebesar 0.00 menunjukkan konsistensi responden dalam memberikan penilaian.

Terjadi keterkaitan antara aktor, faktor dan alternatif terpilih dengan tujuan dalam analisis AHP. Petani dan lingkungan sebagai aktor dan faktor terpenting serta penyediaan sarana dan prasarana implementasi produksi bersih sebagai alternatif terpilih dalam meminimumkan terbentuknya sampah sayuran melalui penerapan produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura, dibutuhkan aliran finansial dan aliran informasi yang berjalan dengan baik. Aliran finansial mengalir dari hilir ke hulu proses produksi dapat berupa dalam bentuk insentif. Insentif diberikan oleh pedagang pasar kepada petani untuk komoditas yang memiliki kualitas baik, dimana dengan adanya insentif yang diperoleh petani maka sangat berpengaruh dalam penerapan alternatif penyediaan sarana dan prasarana implementasi produksi bersih di tingkat petani. Selain itu juga dibutuhkan penjelasan bentuk insentif yang diberikan oleh packing house

(manufacturer) sebagai pihak pengolah produk hortikultura dan konsumen TUJUAN

FAKTOR

AKTOR

ALTER NATIF

Minimisasi terbentuknya sampah produk hortikultura (sayuran) melalui penerapan produksi bersih dalam rantai logistik industri hortikultura

Gambar

Gambar 1 Rantai logistik industri hortikultura
Tabel 1  Tahapan metode penelitian
Tabel 2 Aktor rantai logistik industri hortikultura
Tabel 3  Syarat mutu buah tomat (SNI 01-3162-1992)
+7

Referensi

Dokumen terkait

3 Jika anak mampu membuat sesuatu yang baru sesuai dengan.

Guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi peserta didik dan kemudian menjelaskan apa yang ada dalam buku teks tentang perilaku-perilaku

Metode yang umumnya digunakan dalam pengamanan situs dari akses klien yang tidak terotentikasi adalah dengan sistem password, yaitu suatu cara dimana klien yang ingin mengakses

Pengamatan kerebahan dilakukan dengan cara menghitung anakan yang rebah saat menjelang panen yang dinyatakan dengan % dari jumlah anakan per individu tanaman

Oleh sebab itu keberadaan media web site perlu lebih lagi dimanfaatkan oleh setiap departemen yang ada dalam universitas untuk.. menyampaikan informasi yang berguna

Kompleks Ruko Mangga Dua Square Blok G No.6 Jalan Gunung Sahari Raya No.1.. Kota

Berdasarkan pengamatan penulis di kelas X Jurusan Teknik Permesinan SMK Negeri 1 Padang pada semester I tahun ajaran 2016/2017 dalam mata diklat Menggambar Teknik tampak

Gap analysis program gizi dan kesehatan di posyandu menunjukkan bahwa bersadarkan dimensi tangibles atau fisik yang dimiliki oleh posyandu adalah sebagai berikut