• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (

ANAPLASMA

,

BABESIA

,

THEILERIA

) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS

SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA

IMELDA KARTINI TEFI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(4)

RINGKASAN

IMELDA KARTINI TEFI. Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan UMI CAHYANINGSIH.

Importasi sapi bakalan sebagai pemenuhan kebutuhan daging sapi meningkatkan risiko masuknya penyakit. Beberapa penyakit disebabkan oleh parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria) dapat menyebabkan penurunan produksi ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi parasit darah dan pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis sapi bakalan impor serta menduga prevalensi penyakit.

Desain penelitian adalah kajian lintas seksional dengan besaran sampel sebanyak 280 sampel. Pengambilan sampel dilakukan Agustus hingga September berupa sampel ulas darah, darah dan data kondisi fisiologis sapi bakalan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana pada Instalasi Karantina Hewan (IKH) di wilayah pemasukan Pelabuhan Tanjung Priok. Preparat ulas darah dibuat pada gelas objek, difiksasi dengan metanol, diberi pewarnaan Giemsa 10% dan diperiksa dengan mikroskop perbesaran 1000x. Jumlah parasit dihitung pada 500 eritrosit. Temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan sapi dihitung pada saat pengambilan sampel darah. Profil hematologi yang terdiri dari nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan nilai hematokrit dihitung dengan menggunakan automated hematology analyzer. Data yang diperoleh berupa prevalensi dan kondisi fisiologis sapi bakalan. Analisis statistik dilakukan secara deskriptif dan digunakan uji T untuk membandingkan data kontinyu berdasarkan dua kategori.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi disebabkan oleh Theileria (62.14%), kemudian Anaplasma (60.36%) dan Babesia (42.86%) dengan tingkat parasitemia berkisar antara 0.2% - 1% dan terjadi multi infeksi (62.45%). Analisis statistik untuk membandingkan data temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas, berat badan, nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan nilai hematokrit antara sapi bakalan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05). Kejadian penyakit bersifat subklinis namun sapi bakalan tersebut dapat menjadi pembawa agen penyakit.

.

(5)

SUMMARY

IMELDA KARTINI TEFI. Study The Existence of Blood Parasites (Anaplasma, Babesia, Theileria) and Physiological Profiles of Australian Imported Feeder Cattle. Supervised by FADJAR SATRIJA and UMI CAHYANINGSIH.

Feeder cattle importation as a solution for the fulfillment of beef demand increases risk of entry the disease. Some diseases caused by blood parasites (Anaplasma, Babesia, Theileria) resulted production losses in livestocks. This study aimed to identify blood parasites and its influence on the physiological condition of Australian imported feeder cattle and also to estimate the prevalence of diseases.

Cross-sectional study was performed in this research with 280 samples of sample size. Sampling was conducted in August to September and form of sample was blood smear, whole blood, and physiological condition data. Simple random sampling was performed at the Animal Quarantine Installation in entrance area of Tanjung Priok Port. Blood smear were made on a glass object, fixated in methanol, stained with 10% Giemsa and observed using a microscope with 1000x magnification. The amount of blood parasites were counted on 500 red blood cells. Body temperature, heart rates, respiratory rates and body weight were measured when collecting blood sample. Blood profiles consist of hemoglobine values, erythrocytes count and hematocrit values were measured by automated hematology analyzer. Obtained data were prevalence of diseases and physiological condition of feeder cattle. Statistical analysis was done descriptively and two categories of continuous data were compared using t test

Results of the study revealed that the highest prevalence caused by Theileria (62.14%), followed by Anaplasma (60.36%) and Babesia (42.86%) with the level of parasitemia ranged from 0.2% to 1% and occured multi infection (62.45%). Statistical analysis to compare the body temperature, heart rates, respiratory rates, body weight, hemoglobine values, erythrocytes and hematocrit values showed no significant differences (p>0.05) between infected and uninfected cattle. Disease were proceeded sub clinically while the feeder cattle were capable of carrying disease agents.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

KAJIAN KEBERADAAN PARASIT DARAH (

ANAPLASMA

,

BABESIA

,

THEILERIA

) DAN GAMBARAN FISIOLOGIS

SAPI BAKALAN IMPOR ASAL AUSTRALIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia Nama : Imelda Kartini Tefi

NIM : B251130064

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Drh Fadjar Satrija, MSc PhD Ketua

Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “ Kajian Keberadaan Parasit Darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) dan Gambaran Fisiologis Sapi Bakalan Impor Asal Australia” berhasil diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Agustus hingga Oktober 2014 yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan parasit darah dan gambaran fisiologis pada sapi impor yang berasal dari Australia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Fadjar Satrija, MSc PhD dan Ibu Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS selaku pembimbing yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengorbankan waktu dalam memberi bimbingan bagi penulis sampai selesainya tesis ini. Bapak Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku penguji luar komisi yang telah meluangkan waktunya untuk menelaah tesis ini. Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi arahan serta nasehat kepada kami dan seluruh staf pengajar dan pegawai di Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membimbing dan memberikan semangat penulis.

Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa, Bapak Drh Sriyanto, MSi PhD sebagai Kepala Bidang Karantina Hewan beserta seluruh pegawai Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok yang telah membantu selama pengumpulan data. Teman-teman KMV angkatan 2013 (Anin, Yasmin, Hanif, Zulfikhar, Rifky, Intarti, Syahdu, Saimah, Citra, Ambar, Leo, Kamil, Sumitro, Aditya, Heru, Santo, Winda, Doni, Isti) yang telah bersama-sama dalam pembelajaran kita.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Mathias Tefi, Ibu Suwarni, suamiku Yunus, anakku Laras, adik-adikku Tesar, Lia dan Fajar, atas segala doa dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Hipotesis 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Anaplasmosis 3

Babesiosis 4

Theileriosis 5

Pemeriksaan Kondisi Fisiologis 6

3 METODE 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel 7

Metode Pengambilan Darah 8

Metode Deteksi Parasit Darah 8

Metode Pemeriksaan Profil Hematologis 8

Metode Pengambilan Data Kondisi Fisiologis Sapi 8

Kerangka Konsep 9

Analisis Data 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Pengambilan Sampel 9

Identifikasi Parasit Darah 10

Prevalensi Anaplasmosis, Babesiosis dan Theileriosis 11

Proporsi Infeksi Parasit Darah 12

Persentase Parasitemia 13

Kondisi Fisiologis Sapi 14

5 SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 21

(12)

DAFTAR TABEL

1 Pengambilan sampel darah dari enam Instalasi Karantina

Hewan (IKH) 9

2 Prevalensi anaplasmosis, babesiosis, theileriosi pada sapi bakalan

asal Australia Agustus-September 2014 11

3 Proporsi infeksi tunggal dan multi infeksi pada sapi bakalan asal

Australia Agustus-September 2014 12

4 Proporsi multi infeksi parasit darah pada sapi bakalan asal Australia Agustus-September 2014Hasil uji komparatif uji cepat komersial dengan uji konvensional

12 5 Persentase parasitemia pada sapi bakalan asal Australia

Agustus -September 2014 13

6 7

Nilai hemoglobin, jumlah eritrosit dan hematokrit sapi bakalan asal Australia

1 Parasit darah dalam eritrosit 10

DAFTAR LAMPIRAN

Prevalensi anaplasmosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Prevalensi babesiosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Prevalensi theileriosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Proporsi parasit darah pada sampel ulas darah sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Proporsi multi infeksi parasit darah pada sampel ulas darah sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Hasil uji T tidak berpasangan

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang penting bagi manusia. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kebutuhan daging sapi dan kerbau nasional tahun 2012 untuk konsumsi dan industri sebanyak 484 000 ton, sedangkan ketersediaannya sebanyak 399 000 ton (82.5%) dicukupi dari sapi lokal, sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 85 000 ton (17.5%). Kekurangan ini dipenuhi dari impor berupa sapi bakalan sebanyak 283 000 ekor (setara dengan daging 51 000 ton) dan impor daging sapi beku sebanyak 34 000 ton. Ketersediaan untuk memenuhi konsumsi tersebut diperoleh dari pemotongan ternak sapi dan kerbau lokal dari sentra utama populasi dan produksi Indonesia khususnya Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung dan Sulawesi Selatan. Kekurangan penyediaan konsumsi dicukupi melalui impor sapi bakalan dari Australia dan daging beku terutama dari Australia dan Selandia Baru (DITJEN PKH 2012). Indonesia pada tahun 2013 telah mengimpor sapi bakalan dan sapi siap potong melalui Pelabuhan Tanjung Priok sejumlah 250 851 ekor sapi. Menurut Kementrian Pertanian (Kementan) dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 113 tahun 2013, sapi bakalan adalah sapi bukan bibit yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara selama kurun waktu tertentu guna tujuan produksi daging dan sapi siap potong adalah sapi potong yang layak untuk dipotong. Jumlah rincian importasi adalah 172 799 ekor sapi bakalan dan 78 052 ekor sapi siap potong (BBKP Tanjung Priok 2013). Importasi sapi ke Indonesia dapat meningkatkan risiko masuknya penyakit akibat Anaplasma, Babesia dan Theileria. Kementan lewat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238 tahun 2009 menggolongkan ketiga agen penyakit tersebut dalam Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) golongan II. Ketiga agen penyakit tersebut meskipun telah dinyatakan ada dalam wilayah Republik Indonesia dan telah diketahui penanganannya, namun tetap harus dicegah pemasukan dan penyebarannya.

Anaplasmosis pada sapi disebabkan oleh rickettsia intraeritrositik dari genus Anaplasma yang dapat terjadi pada ternak baik pada domba dan sapi. Gejala yang terjadi, demam selama 4 sampai 10 hari, anoreksia, penurunan berat badan, lesu, batuk dan peningkatan frekuensi pernapasan dan denyut nadi, aborsi, stillbirth, penurunan produksi susu dan kualitas semen (CFSPH 2013). Babesiosis adalah penyakit akibat infeksi protozoa parasitik genus Babesia dengan gejala pada hewan adalah anoreksia, demam, anemia, peningkatan frekuensi pernafasan dan denyut nadi, ikterus, diare dan konstipasi, gangguan pernafasan. Demam yang terjadi dapat mengakibatkan aborsi dan penurunan fertilitas sperma (CFSPH 2008). Theileriosis adalah penyakit akibat infeksi protozoa dari genus Theileria. Theileria merupakan parasit intraseluler obligat. Gejala klinis yang terjadi adalah demam, anoreksia, penurunan produksi susu dan berat badan, gangguan saluran pernafasan, terhambatnya pertumbuhan badan dan produksi, terjadi ikterus, anemia dan aborsi (CFSPH 2009).

(14)

2

berdampak pada kesehatan ternak dan perekonomian. Hasil penelitian parasit darah dan pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis sapi yang diimpor dari Australia diperlukan untuk memberikan informasi tentang kejadian penyakit dan untuk penetapan tindakan karantina yang diperlukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya penyakit.

Perumusan Masalah

Importasi sapi bakalan asal Australia dapat meningkatkan risiko pemasukan agen penyakit seperti Anaplasma, Babesia dan Theileria yang termasuk dalam HPHK golongan II yang telah dinyatakan ada dalam wilayah Republik Indonesia. Anaplasma, Babesia dan Theileria merupakan parasit darah yang keberadaannya dapat berpengaruh pada kesehatan ternak. Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu:

1. Apakah agen penyakit Anaplasma, Babesia dan Theileria terdapat pada sapi bakalan impor?

2. Berapakah prevalensi kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis pada sapi bakalan impor?

3. Apa pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis sapi bakalan impor yang terinfeksi oleh Anaplasma, Babesia dan Theileria?

Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi agen penyakit Anaplasma, Babesia dan Theileria pada sapi bakalan impor.

2. Menduga prevalensi kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis pada sapi bakalan impor.

3. Mengidentifikasi pengaruh akibat infeksi Anaplasma, Babesia dan Theileria pada kondisi fisiologis sapi bakalan impor.

Manfaat Penelitian

1. Memperoleh data tentang kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis pada sapi bakalan impor.

2. Memberikan informasi tentang gambaran fisiologis sapi bakalan impor yang terinfeksi parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria).

3. Sebagai acuan dalam penetapan tindakan karantina yaitu upaya pencegahan masuk dan menyebarnya agen penyakit Anaplasma, Babesia dan Theileria.

Hipotesis

(15)

3 impor yang terinfeksi parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria) akan berdampak pada status kesehatan dan penyakit ternak di Indonesia.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Anaplasmosis

Menurut National Center for Biotechnology Information (NCBI) Taxonomy Database (2014), Anaplasma termasuk dalam bakteri, filum Proteobacteria, kelas AlphaProteobacteria, ordo Rickettsiales dan famili Anaplamataceae. Spesies dari genus Anaplasma yaitu Anaplasma phagocytophilum, A.platys (sebelumnya E.platys), A.marginale (dan A.marginale subsp. Centrale), A.bovis (sebelumnya E.bovis) dan A.ovis (CFSPH 2013). A.marginale dan A.centrale menginfeksi hewan ruminansia besar dan dikenal sebagai penyebab umum anaplasmosis pada sapi dan tersebar luas di seluruh dunia terutama pada daerah tropis dan subtropis. A.bovis menginfeksi sapi dan juga hewan mamalia lainnya, terdeteksi di Brazil, Amerika utara, Afrika dan Jepang. A.phagocytophilum merupakan penyebab anaplasmosis pada manusia, A.platys penyebab umum anaplasmosis pada anjing dan A.ovis penyebab anaplasmosis pada hewan ruminansia kecil seperti kambing dan domba (Rymaszewska & Grenda 2008).

(16)

4

bentuk sel berinti padatyang merupakan bentuk infektif dan dapat bertahan hidup di luar sel inang. Sapi terinfeksi Anaplasma ketika dalam bentuk sel berinti padat yang ditransmisikan saat proses makan caplak melalui kelenjar ludah (Kocan et al. 2003).

Identifikasi agen dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis preparat ulas darah atau organ yang diwarnai dengan Giemsa yang merupakan metode yang paling umum untuk mengidentifikasi Anaplasma pada hewan yang secara klinis menunjukkan gejala. A.marginale tampak padat, bulat, diameter intraeritrosit sekitar 0.3 – 1.0 µm terletak di atau dekat margin eritrosit. Untuk A.centrale mirip dalam penampilan namun sebagian besar organisme terletak jauh dari margin eritrosit. Sulit untuk membedakan A.marginale dan A.centrale dalam preparat, terutama dengan rendahnya tingkat rickettsiaemia. Preparat ulas darah dari ternak hidup sebaiknya disiapkan dari darah yang diambil dari vena jugularis atau vena besar lain. Diagnosis post mortem disiapkan dari organ internal (termasuk hati, ginjal, jantung dan paru-paru) dan dari darah yang tersimpan dalam pembuluh perifer (OIE 2012).

Hanya sejumlah antibiotik yang efektif untuk mengobati anaplasmosis dan antibiotik seperti oxytetracycline dan doxycycline merupakan antibiotik pilihan dalam pengobatan (CFSPH 2013). Pengendalian anaplasmosis tergantung dari lokasi geografi dan pengendalian caplak dengan aplikasi akarisida, pengaturan antibiotik dan vaksinasi. Vaksinasi secara ekonomis dan efektif mengendalikan anaplasmosis pada sapi. Vaksin dapat dibedakan yaitu vaksin live dan killed. Vaksin live menggunakan A.centrale karena kurang patogen dengan reaksi penyakit lebih ringan daripada A.marginale namun dapat memberikan resistensi terhadap infeksi A.marginale. Negara-negara yang memproduksi dan menggunakan vaksin live untuk anaplasmosis adalah Afrika, Australia, Amerika Selatan dan Israel (Kocan et al. 2013). Akarisida yang digunakan untuk pengendalian caplak tidak sepenuhnya dapat menghilangkan caplak. Pengendalian biologis, modifikasi habitat dan penyediaan padang rumput bebas caplak dapat menghilangkan dan dapat menurunkan populasi caplak dan risiko penyakit (CFSPH 2013).

Babesiosis

Babesiosis dikenal sebagai penyakit penting pada hewan di seluruh dunia terutama pada sapi namun terdapat juga pada kuda, domba, babi dan anjing, dan telah menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir sebagai infeksi zoonosis pada manusia seperti Babesia microti dan B.duncani (Blaschitz et al. 2008). Genus Babesia merupakan protozoa hemoparasit yang ditransmisikan oleh caplak dan merupakan parasit darah umum kedua setelah genus Trypanosoma (Hunfeld et al. 2008). Menurut NCBI Taxonomy Database (2014), genus Babesia termasuk dalam Eukariota, filum Apicomplexa, kelas Aconoidasida, ordo Piroplasmida dan famili Babesiidae. Terdapat tiga spesies yang paling sering ditemukan pada sapi yaitu adalah Babesia bovis, B.bigemina dan B.divergens. Spesies tambahan yang dapat menginfeksi ternak termasuk B.major, B.ovata, B.occultans dan B.jakimovi (CFSPH 2008).

(17)

5 dan fusi gamet dalam usus caplak), sporogoni (reproduksi aseksual pada kelenjar ludah caplak) dan merogoni (reproduksi aseksual di inang vertebrata) (Homer et al. 2000). Infeksi terjadi saat sporozoit ditransfer oleh caplak pada proses makan caplak. Sporozoit kemudian menyerang eritrosit dan berkembang menjadi trofozoit. Trofozoit berkembang dengan pembelahan biner dan menghasilkan merozoit yang terus menginfeksi dan bereplikasi pada inang. Beberapa trofozoit berkembang menjadi gametosit yang dapat memulai infeksinya pada vektor caplak. Pada usus caplak, gametosit berkembang dan berfusi untuk membentuk zigot dan berkembang menjadi kinet. Kinet akan menuju ke hemolymph dari caplak, kemudian menduplikasi dan menyerang berbagai organ. Spesies Babesia dapat menginfeksi ovarium dan dapat ditransmisikan secara transovarial melalui telur sehingga semua tahapan (larva, nimfa dan dewasa) berpotensi infektif. Sporogoni dimulai ketika kinet menyerang kelenjar ludah kemudian membentuk sporoblast berinti. Sporozoit yang baru dikembangkan akan masuk ke dalam inang vertebrata dengan air liur caplak pada proses makan selanjutnya (Hunfeld et al. 2008).

Penyakit akut umumnya berjalan dari 3 sampai 7 hari dan demam lebih dari 40 0C yang diikuti oleh hilangnya nafsu makan, depresi, meningkatnya frekuensi pernapasan, kelemahan dan keengganan untuk bergerak. Hemoglobinuria sering terjadi sehingga dikenal sebagai red water disease. Anemia dan ikterus berkembang pada kasus kronis. Demam selama infeksi dapat menyebabkan sapi aborsi dan terjadi infertilitas. Lesi dapat dilihat pada pembengkakan limpa dan hati. Organ lain seperti usus menunjukkan kongesti atau pendarahan petekie dan adanya edema paru-paru (Bock et al. 2004).

Identifikasi agen dalam hewan hidup digunakan preparat ulas darah tipis yang diambil dari kapiler. Pada hewan mati dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari preparat ulas darah perifer, otak, ginjal, otot jantung, limpa dan hati. Fiksasi dilakukan dengan metanol, diwarnai dengan larutan Giemsa 10% selama 15-30 menit, dan diperiksa di bawah perbesaran 800-1000x memakai minyak emersi. Uji polymerase chain reaction (PCR) sensitif dan dapat mendeteksi dan membedakan spesies Babesia pada sapi (OIE 2010). Pengobatan dapat digunakan babesiasida seperti diminazene aceturate dan imidocarb dipropionate namun dalam literatur tidak banyak merujuk sejumlah babesiasida yang efektif. Pengendalian dilakukan dengan vaksinasi selain itu dilakukan pengendalian lainnya berupa pengendalian vektor caplak dan genetika hewan. Pengendalian terpadu mengintegrasikan strategi penggunaan akarisida, penerapan vaksin di daerah endemik yang stabil dan penggunaan vaksin rekombinan (Bock et al. 2004).

Theileriosis

(18)

6

Theileria benigna termasuk T.sergenti, T.buffeli dan T.orientalis, yang didistribusikan di Jepang, Australia dan tempat lain menyebabkan penyakit yang ditandai dengan anemia ringan dan hipertermia namun keparahan dan kematian dapat terjadi. Anemia yang terjadi karena adanya parasit intraeritrosit dapat menginduksi aborsi dan kematian pada ternak yang terinfeksi (Tan–ariyaa et al. 2001). Menurut NCBI Taxonomy Database (2014), genus Theileria termasuk dalam Eukariota, filum Apicomplexa, kelas Aconoidasida, ordo Piroplasmida dan famili Theileriidae.

Transmisi dilakukan secara transstadial dan secara transovarian seperti pada tranmisi Babesia. Sporogoni terjadi di kelenjar ludah caplak. Sporozoit infektif dilepaskan dari 3 hingga 7 hari dari saat proses caplak makan. Satu sel yang terinfeksi dapat mengandung 40-50 000 sporozoit. Beberapa hewan mengalami penyakit ringan dan terjadi reaksi pemulihan akibat respon imun seluler. Setelah masuk, sporozoit Theileria menyerang sel inang dan mampu menginfeksi monosit atau makrofag. Terdapat stadium pada kelenjar ludah caplak, stadium pada sel inang vertebrata dan stadium rekombinasi seksual pada usus caplak (Bishop et al. 2004). Identifikasi agen dilakukan dengan diagnosis berbagai gejala penyakit yang disebabkan oleh parasit. Prinsipnya didasarkan pada gejala klinis, pengetahuan tentang penyakit, distribusi vektor dan identifikasi parasit dalam preparat ulas darah dan kelenjar getah bening yang diwarnai dengan Giemsa. Adanya multinukleat intrasitoplasmik dan skizon bebas pada preparat ulas kelenjar getah bening adalah diagnostik karakteristik dari infeksi akut Theileria. Hewan yang terinfeksi Theileria menunjukkan pembesaran kelenjar getah bening, demam, peningkatan frekuensi pernapasan secara bertahap dan diare sesekali. Lesi post-mortem yang diamati adalah edema paru-paru dan trakea berbuih, pembesaran kelenjar getah bening dan limpa, pendarahan organ dalam, erosi abomasum, adanya limfosit berinklusi dan infiltrasi limfosit pada jaringan viseral dan menyebabkan anemia dan ikterus (OIE 2008). Theileriosis tidak ditularkan melalui kontak biasa dan apabila infeksi tersebut baru di suatu daerah dapat dikendalikan dengan pemusnahan hewan yang terinfeksi dan dengan mencegah caplak yang terinfeksi. Di daerah endemik, caplak dapat dikurangi dengan akarisida dan metode lain pengendalian caplak seperti sistem rotasi tempat penggembalaan. Obat antiparasit yaitu buparvaquone efektif pada hewan dengan tanda-tanda klinis. Pengobatan paling efektif dilakukan pada tahap awal penyakit (CFSPH 2009).

Pemeriksaan Kondisi Fisiologis

(19)

7 melalui wawancara dengan pemilik atau penjaga hewan. Pengamatan pasien dan lingkungan dilakukan sebagai langkah berikutnya. Pemeriksaan klinis pasien diikuti oleh investigasi tambahan jika diperlukan. Signalment mencakup nomor identifikasi, jenis/ras, usia, jenis kelamin, warna dan berat badan hewan. Beberapa penyakit spesifik untuk beberapa kelompok hewan dan informasi ini berguna dalam mempertimbangkan suatu penyakit (Jackson & Cockroft 2002).

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober 2014. Pengambilan sampel ulas darah, darah dan data fisiologis dilakukan mulai tanggal 20 Agustus hingga 17 September 2014. Pengambilan sampel dan data dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Instalasi Karantina Hewan (IKH) di wilayah pemasukan Pelabuhan Tanjung Priok. Pendeteksian parasit darah dan profil darah dilakukan di laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian dan Laboratorium Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel

Desain penelitian adalah kajian lintas seksional. Menurut Budiharta (2002) berdasarkan perhitungan/rumus kajian lintas seksional dengan memperhatikan asumsi prevalensi sebesar 50 %, dengan tingkat kepercayaan 95 % dan galat yang diinginkan 6 % maka di dapat besaran sampel sebanyak:

� =42

Keterangan n = besaran sampel P = asumsi prevalensi Q = 1 – P

L = galat yang diinginkan, sehingga n

= �0. �0.

0.0 2 n = 278

(20)

8

Metode Pengambilan Darah

Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan tabung venoject 3 ml yang berisi antikoagulan EDTA dan jarum ukuran 18 G dari vena coccygea media.

Metode Deteksi Parasit Darah

Pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah tipis dengan menggunakan sampel darah yang akan diperiksa, metanol, larutan pewarna Giemsa, aquades dan gelas objek. Setetes darah diletakkan pada tepian gelas objek 1 dan dengan perlahan ujung gelas objek 2 ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 didorong membentuk sudut 450

sehingga terbentuk ulas darah tipis. Sediaan ulas darah dikeringkan selama 1 menit dan difiksasi menggunakan metanol selama 3-5 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa 10% dengan cara merendamnya selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan (Mahmmod et al. 2011).

Pemeriksaan ulas darah dilakukan dengan perbesaran 1000x. Jumlah parasit intraseluler darah akan dihitung untuk tiap 500 butir eritrosit dalam lima bidang pandang (Alamzan et al. 2008). Rataan parasitemia dihitung dengan rumus :

�ℎ �� � �� �ℎ

00 x 100 %

Metode Pemeriksaan Profil Hematologis

Pemeriksaan hematologis yang dilakukan pada penelitian ini terhadap sampel darah adalah pemeriksaan jumlah sel eritrosit, jumlah hemoglobin (Hb), dan nilai Packed Cell Volume (PCV/hematokrit). Pemeriksaan dengan menggunakan automated hematology analyzer.

Metode Pengambilan Data kondisi Fisiologis Sapi bakalan Impor

(21)

9 Kerangka Konsep

Analisis Data

Data yang diperoleh adalah prevalensi parasit darah dan data kondisi fisiologis sapi. Data dianalisis secara deskriptif dan uji t (t-test) untuk analisa perbandingan data kontinyu berdasarkan dua kategori.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan Sampel

Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi selain dari dalam negeri juga memasok dari luar negeri berupa importasi daging dan sapi. Sapi yang masuk ke Indonesia dapat berupa sapi indukan, sapi bakalan dan sapi siap potong. Importasi sapi melalui Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2014 berupa sapi bakalan dan sapi siap potong. Penelitian ini menggunakan sapi bakalan yang berumur 1-2 tahun, baik jantan maupun betina berbobot 250 hingga 350 kg dan dipelihara dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan produksi daging. Penelitian ini mengambil sampel dari enam kali pemasukan (shipment) sapi bakalan selama satu bulan (20 Agustus hingga 17 September 2014). Berdasarkan penelitian sebelumnya terhadap babesiosis dan theileriosis pada sapi potong asal Australia, maka dengan asumsi prevalensi 50%, tingkat kepercayaan 95% dan galat 6%, jumlah sampel yang diambil adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Pengambilan sampel darah dari enam Instalasi Karantina Hewan (IKH)

Kondisi fisiologis sapi (suhu, pulsus, frekuensi nafas, berat badan,

(22)

10

Identifikasi Parasit Darah

Anaplasma merupakan mikroorganisme intraseluler obligat, bakteri Gram negatif dan hidup pada sel darah mamalia (Rymaszewska & Grenda 2008). Anaplasma memiliki dua bentuk morfologi yaitu sel berinti padat (0.4-0.6 µm) dan sel retikulat (0.4-0.6 µm hingga 0.7-1.9 µm). Sel berinti padat mendominasi 24 jam awal setelah infeksi dan merupakan bentuk infektif bakteri. Sel retikulat yang membelah diri mendominasi kejadian infeksi setelah 48 jam. Sel retikulat setelah 72 jam menjadi sel berinti padat dan dilepas untuk memulai siklus baru (Ismail et al. 2010). Babesia dan Theileria merupakan protozoa patogen penting pada peternakan. Babesia pada umumnya dibedakan berdasarkan morfologi, karakteristik DNA penyusun dan inang yang spesifik (Hunfeld et al. 2008). Babesia berbentuk buah pir, terletak berpasangan, bulat, lonjong atau tidak teratur tergantung stadium perkembangan parasit dalam eritrosit. Babesia dibedakan berdasarkan ukuran yaitu Babesia kecil (1- 2.5 µm) dan Babesia besar (3-5 µm). Theileria berukuran 1-2 µm dan berbentuk batang, oval atau koma dalam eritrosit (Yabsley & Shock 2013).

a b

c

Gambar 1 Parasit darah dalam eritrosit (anak panah menunjukkan (a) Anaplasma sp., (b) Babesia sp. dan (c) Theileria sp.)

(23)

11 positif parasit darah dan 27 (9.65%) sampel negatif parasit darah. Hal ini menunjukkan bahwa pada sampel sapi bakalan impor asal Australia hampir keseluruhan terinfeksi oleh parasit darah.

Prevalensi Anaplasmosis, Babesiosis dan Theileriosis

Hasil identifikasi parasit darah dapat diduga prevalensi masing-masing parasit darah di enam IKH dan total keseluruhan sebagai berikut:

Tabel 2 Prevalensi anaplasmosis, babesiosis, theileriosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Prevalensi kejadian penyakit akibat parasit darah pada sapi ditunjukkan pada Tabel 2 dan prevalensi kejadian theileriosis lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi kejadian anaplasmosis dan babesiosis pada penelitian ini. Dari data prevalensi tahun 2009 terdapat kecenderungan meningkat pada kejadian babesiosis dan theileriosis. Prevalensi babesiosis dari 10.5% (Dewi 2009) menjadi 42.86% dan Prevalensi theileriosis dari 55.01% (Silitonga 2009) menjadi 62.14%.

Secara global terjadi peningkatan kejadian tick-borne disease yang disebabkan oleh adanya perubahan iklim, perubahan sosiodemografi dan perubahan penggunaan fungsi lahan. Perubahan - perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi keseimbangan segitiga epidemiologi. Perubahan iklim yang terjadi dapat mempengaruhi daya tahan hidup caplak sebagai vektor, daya tahan hidup agen patogen, daya tahan vertebrata dan adanya lingkungan yang dinamis. Perubahan sosiodemografi yang terjadi antara lain disebabkan adanya migrasi hewan dan manusia melalui perjalanan dan perdagangan, dukungan dalam penanganan penyakit yang diberikan oleh suatu negara, terjadinya resistensi obat karena kesalahan prosedur penggunaan dan malnutrisi yang dapat mengakibatkan kematian. Perubahan penggunaan fungsi lahan seperti penggundulan lahan juga dapat mengakibatkan suatu kejadian penyebaran penyakit yang tidak diinginkan seperti migrasi suatu populasi hewan liar yang membawa caplak dari suatu daerah ke daerah lain (Dantas-Torres et al. 2012).

(24)

12

tahun terakhir yang memfasilitasi daya tahan hidup caplak dan kondisi alam seperti banjir yang mempengaruhi kesehatan sapi (Bailey 2012).

Proporsi Infeksi Parasit Darah

Sampel ulas darah sebanyak 253 menunjukkan hasil positif parasit darah dan diidentifikasi terjadi infeksi tunggal dan multi infeksi. Proporsi multi infeksi lebih tinggi kejadiannya daripada infeksi tunggal seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Proporsi infeksi tunggal dan multi infeksi parasit darah pada sapi

Bakalan asal Australia Agustus - September 2014

No Lokasi IKH

Tabel 4 Proporsi multi infeksi parasit darah pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

(25)

13 dapat berupa interaksi yang saling mendukung (interaksi sinergis) dan interaksi yang saling kontra atau menekan kehidupan parasit lain (interaksi antagonis). Interaksi parasit juga berkaitan dengan risiko infeksi yaitu pada jumlah parasit, umur inang dan keadaan lingkungan (Bordes & Morand 2011).

Persentase Parasitemia

Persentase parasitemia pada sapi bakalan asal Australia pada kejadian anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis berkisar antara 0.2% hingga 1%. Menurut Ndungu et al. (2005) tingkat parasitemia dibagi menjadi tingkat ringan (mild reaction) dengan nilai parasitemia <1% yang ditandai dengan tidak adanya demam atau demam sementara dalam 4 hari, tingkat sedang (severe reaction) dengan nilai parasitemia 1-5% yang ditandai dengan adanya demam dalam beberapa hari dan sembuh, dan tingkat berat (very severe reaction) dengan nilai parasitemia >5% yang ditandai dengan demam persisten dan dibutuhkan terapi hingga eutanasi. Pada penelitian ini sapi bakalan mengalami tingkat parasitemia rendah pada babesiosis dan theileriosis namun pada kejadian anaplasmosis mengalami tingkat parasitemia rendah hingga sedang.

(26)

14

penyakit pada daerah beriklim sedang. Prevalensi penyakit lebih tinggi pada daerah berhawa panas dan lembab yang berkaitan dengan banyaknya caplak (Bock et al. 2004; Perera et al. 2014; Sajid et al. 2014).

Kondisi Fisiologis Sapi

Pengambilan sampel darah dan kondisi fisiologis pada penelitian ini dilakukan pada kandang jepit IKH dengan temperatur lingkungan 30.5 0C hingga 34.7 0C dengan kelembaban udara 60% hingga 80%.

Anaplasma memiliki masa inkubasi 7 hingga 60 hari dan rata-rata yaitu 28 hari. Selama masa inkubasi, eritrosit yang terinfeksi meningkat dan difagosit oleh sel retikuloendotelial sehingga menimbulkan anemia dan ikterus tanpa hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Selanjutnya tejadi gejala klinis berupa hipertermia, penurunan berat badan, aborsi dan letargi (Rymaszewska & Grenda 2008). Babesia menginfeksi dalam bentuk sporozoit lewat gigitan caplak. Sporozoit akan berkembang menjadi piroplasma dalam eritrosit yang terinfeksi dan menghasilkan 2 hingga 4 sel dan akan menginfeksi eritrosit lain. Gejala yang terjadi hipertemia, anemia, ikterus serta letargi. Sporozoit Theileria akan masuk dan menginfeksi limfosit atau makrofag dan membentuk skizon (Hunfeld et al. 2008). Limfosit akan melepas merozit yang menginfeksi eritrosit dan menjadi trofozoit. Saat Theileria menginfeksi limfosit terjadilah gejala seperti trombositopenia dan panleukopenia (Homer et al. 2000). Gejala lain yang timbul adalah hipertermia, anemia, ikterus, aborsi, letargi hingga kematian (Perera et al. 2014). Okon et al. (2012) dalam suatu penyelidikan penyakit akibat parasit darah menunjukkan bahwa penyakit memiliki dampak negatif pada fungsi fisiologis hewan yang terinfeksi.

Data yang diperoleh berupa pemeriksaan darah dan kondisi fisiologis dibandingkan antara sampel positif dan sampel negatif parasit darah pada Tabel 6 dan Tabel 7 sebagai berikut :

Tabel 6 Nilai hemoglobin,jumlah eritrosit dan hematokrit sapi bakalan asal Australia

12.97±0.12 7.45±0.67 34.56±0.32

Kisaran normal* 8-15 5-10 24-46

* Sumber:Merck Veterinary Manual (2013)

(27)

15 Eritrosit tidak memiliki inti dan beberapa organel. Jumlah eritrosit dinyatakan sebagai jumlah sel per mikroliter darah secara keseluruhan dan hewan domestik memiliki 7 x 106 permikroliternya. Protein hemoglobin adalah konstituen utama intraseluler eritrosit. Fungsi hemoglobin terutama dalam transportasi oksigen dan karbon dioksida. Konsentrasi hemoglobin diukur dalam gram per 100 ml darah, dan jumlah normal umum konsentrasi hemoglobin berkisar antara 11 hingga 13 g/100 ml pada hewan domestik. Hematokrit (packed cell volume) adalah persentase eritrosit dalam seluruh volume darah. Hematokrit biasanya berkisar 35-45 untuk sebagian besar spesies mamalia dan umumnya dianggap menjadi indikator jumlah total eritrosit (Frandson et al. 2007). Pemeriksaan dilakukan untuk melihat apakah terjadi gejala klinis berupa anemia pada sapi. Dalam penelitian ini antara sapi positif dan negatif parasit darah menunjukkan rerata hematologis masih dalam kisaran normal sehingga tidak terjadi gejala klinis.

Tabel 7 Temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan sapi bakalan asal Australia

37.54±0.11 66.37±2.27 33.48±2.13 293.59±3.84

Positif parasit darah

37.77±0.04 68.36±0.66 31.78±0.57 299.98±1.89

Kisaran normal* 36.7-39.1 60-80 15 – 30 250-350

* Sumber: Merck Veterinary Manual (2013), Jackson & Cockroft (2002)

Analisis data untuk membandingkan temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan antara sapi yang terinfeksi dan tidak terinfeksi tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05). Status fisiologis dapat diketahui dari beberapa indikator yaitu temperatur tubuh, pulsus dan frekuensi nafas. Temperatur tubuh merupakan ekspresi kemampuan tubuh melepaskan dan menerima panas. Temperatur tubuh adalah data klinis awal dan harus diukur secara rutin pada hewan saat sakit. Berbagai penyakit dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan temperatur tubuh. Temperatur tubuh diukur paling akurat dan konsisten secara perrektal. Peningkatan temperatur dapat terjadi akibat adanya paparan lingkungan, peningkatan aktivitas, infeksi dan inflamasi. Pulsus merupakan jumlah denyut jantung per satuan waktu, biasanya per menit. Denyut jantung didasarkan pada jumlah kontraksi ventrikel. Pulsus dapat terjadi secara cepat (takikardia) atau lambat (bradikardia). Frekuensi pernafasan adalah jumlah frekuensi inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menit. Proses inspirasi dan ekspirasi terjadi akibat selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus disebabkan kerja mekanik otot-otot di wilayah rongga thoraks. Peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan merupakan respon fisiologis tubuh untuk menyesuaikan perubahan suhu tubuhnya terhadap keadaan lingkungan (Frandson et al. 2007).

(28)

16

Dalam penelitian ini antara sapi positif dan negatif parasit darah menunjukkan rerata fisiologis masih dalam kisaran normal sehingga tidak terjadi gejala klinis.

Beberapa kondisi pada saat pengambilan sampel data fisiologis sapi antara lain adanya temperatur lingkungan yang tinggi, tempat pengambilan sampel di lapangan tanpa atap, tidak adanya ketersediaan air minum dan kondisi stres pada sapi karena proses pengambilan data dilakukan rata-rata pada hari ke 4-5 dari kedatangan di Pelabuhan Tanjung Priok. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi temperatur tubuh, pulsus dan frekuensi nafas. Mekanisme fisiologis akibat meningkatnya temperatur lingkungan dapat meningkatkan frekuensi nafas, pulsus dan pengeluaran saliva (Atrian & Shahryar 2012).

Hasil penelitian pada sapi bakalan asal Australia mendapatkan adanya parasit darah (Anaplasma, Babesia dan Theileria) namun tidak menunjukkan gejala klinis. Hal ini disebabkan oleh tingkat parasitemia rendah hingga sedang. Anaplasma, Babesia dan Theileria merupakan parasit darah penyebab penyakit yang ditularkan lewat caplak yang menyebabkan penurunan produksi dan kematian ternak. Tick-borne disease menyerang 80% populasi ternak dunia dan terdistribusi luas. Kurangnya data prevalensi dan insidensi tentang penyakit menyebabkan sulitnya menentukan dampak penyakit (Estrada-Pena & Salman 2013). Penelitian lebih lanjut harus dilakukan pada tick-borne disease untuk mengurangi kerugian, pencegahan dan strategi pengendalian (Alemu et al. 2014).

(29)

17

5

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Parasit darah (Anaplasma, Babesia, Theileria) terdapat pada sapi bakalan yang diimpor dari Australia dan prevalensi penyakit cenderung meningkat dan terjadi multi infeksi. Kejadian penyakit walaupun bersifat subklinis namun sapi bakalan tersebut dapat menjadi pembawa agen penyakit seiring importasi sapi ke Indonesia.

SARAN

Perlu dilakukan pengobatan, pengendalian stres, manajemen pakan yang baik dan pencegahan transmisi penyakit serta pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui spesies dari Anaplasma, Babesia dan Theileria pada sapi bakalan impor asal Australia. Pemerintah perlu melakukan tindakan pencegahan pemasukan dan penyebaran penyakit akibat parasit darah dengan memperkuat kebijakan dan pelaksanaan kebijakan serta mengembangkan informasi, komunikasi dan edukasi kepada pelaku usaha impor dan peternak sapi.

DAFTAR PUSTAKA

[AHA] Animal Health Australia. 2013. Animal Health in Australia 2013. [diunduh 2014 Nomber 13]. Tersedia pada: http:// www. animalhealthaustralia. com.au/wp-content/uploads /2011/01/CH2-Terrestrial-animal-health.pdf Aktas M, Altay K, Dumanli N. 2006. A Molecular survey of bovine Theileria

parasites among apparently healthy cattle and with a note on the distribution of ticks in Eastern Turkey. Vet Parasitol. 138: 179-185. doi: 10.1016/j. vetpar.2006.01.052.

Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, de la Fuente J. 2008. Genetic Diversity of Anaplasma marginale strains from an outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Vet Parasitol. 158 (1-2): 103-109.

Alemu G, Chanie M, Mengesha D, Bogale B. 2014. Prevalence of Ixodid ticks on cattle in Northwest Ethiopia. Acta Parasitol Glob. 5(2): 139-145. doi: 10.5829/idosi.apg.2014.5.2.84292.

Atrian P, Shahryar HA. 2012. Heat stress in dairy cows. Res in Zoology. 2 (4):31-37. doi: 10.5923/j.zoology.20120204.03.

Bailey G. 2012. Cattle producers ticked off by Theileria. Farming Ahead. 245: 36-37.

[BBKP] Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. 2013. Laporan Tahunan BBKP Tanjung Priok 2013. Jakarta (ID): BBKP Tanjung Priok.

(30)

18

Blaschitz M, Narodoslavsky-Gföller M, Kanzler M, Stanek G, Walochnik J. 2008. Babesia species occuring in Austrian Ixodes Ricinus ticks. Appl Erviron Microbiol. 74 (15): 4841-4846. doi: 10.1128/AEM.00035-08.

Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorgensen W. 2004. Babesiosis in cattle. Parasitol. 129: S247 – S269. doi: 10.1017/S0031182004005190.

Bordes F, Morand S. 2011. The impact of multiple infections on wild animal hosts: a review. IEE Review. 1(7346): 1-10. doi: 10.3402/iee.v1i0.7346.

Budiharta S. 2002. Kapita Selecta Epidemiologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM.

[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2008. Bovine Babesiosis. [diunduh 2014 Maret 23]. Tersedia pada: http:// www. cfsph. iastate. edu/ Factsheets/ pdfs /bovine_babesiosis.pdf.

[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2009. Theileriosis. [diunduh 2014 Februari 24].Tersedia pada: http:// www. cfsph. iastate.edu/ Factsheets/ pdfs/ theileriosis _ theileria_parva_and_theileria_annulata.pdf [CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2013. Ehrlichiosis and

Anaplasmosis: Zoonotic Species. [diunduh 2014 Maret 17]. Tersedia pada: http:// www. cfsph. iastate. edu/ Factsheets/pdfs/ehrlichiosis.pdf

Dantas-Torres F, Chomel BB, Otranto D. 2012. Ticks and tick-borne diseases: a one health perspective. Trepar. 30(10): 1-10. doi: 10.1016/j.pt.2012.07.003 Dewi RS. 2009. Babesiosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui

Pelabuhan Tanjung Priok. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[DITJEN PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Press Release Konferensi Pers Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tentang Supply Demand Daging Sapi/Kerbau sampai dengan Desember 2012. [diunduh 2014 Maret 17]. Tersedia pada: https: // www . ditjennak . deptan.go.id / download,ph/

Estrada-Pena A, Salman M. 2013. Current limitations in the control and spread of ticks that affect livestock: a review. Agriculture. 3: 221-235. doi: 10.3390/agriculture3020221.

Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2007. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Colorado (US): Wiley Blackwell.

Homer MJ, Aguilar-Delfin I, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin Microbiol Rev. 13 (3): 451-469.

Hunfeld KP, Hildebrandt A, Gray JS. 2008. Babesiosis: recent insights into an ancient disease. Int J Parasitol. 38: 1219 – 1237.

Ismail N, Bloch KC, McBride JW. 2010. Human ehrlichiosis and anaplasmosis. Clin Lab Med. 30(1): 261-292. doi: 10.1016/j.cll.2009.10.004.

Jackson PGG, Cockroft PD. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. Oxford (GB): Blackwell Science.

Kamau J, de Vos AJ, Playford M, Salim B, Kinyanjui P, Sugimoto C. 2011. Emergence of new type of Theileria orientalis in Australian cattle and possible cause of theileriosis outbreaks. Parasite Vector. 4(22): 1-10. doi: 10.1186 / 1756 – 3305 - 4 -22.

(31)

19 [KEMENTAN RI] Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Pertanian No 113 tentang Tindakan karantina Hewan Terhadap Pemasukan Sapi Indukan, Sapi Bakalan dan Sapi Siap Potong ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Kocan KM, de la Fuente J, Guglielmone AA, Melendez RD. 2003. Antigens and alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle. Clin Microbiol Rev. 16 (04): 698-712. doi: 10.1128/CMR.16.4.698-712.2003. Mahmmod YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkawy MF, Monazie AM. 2011.

Clinical and haemotological study on water buffaloes (Bubalus bubalis) and crossbreed cattle naturally infected with Theileria anullata in Sharkia Province, Egypt.TTB Dis. 2: 168-171. doi: 10.1016/j.ttbdis.2011.05.001. Merck Veterinary Manual. 2014. Hematology References Ranges. [diunduh 2014

Maret 17]. Tersedia pada: http: // www. merckmanuals. Com / vet / appendixes / reference _guides/hematologic_reference_ranges.html.

Merck Veterinary Manual. 2014. Normal Rectal References Ranges. [diunduh 2014 Maret 17]. Tersedia pada: http://www.merckmanuals.Com/ vet/ appendixes / reference_ guides/normal_ rectal_ temperature_ranges.html. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2014. NCBI Taxonomy.

[diunduh 2014 Maret 17]. Tersedia pada: https:// www . ncbi . nlm . nih . gov / Taxonomy/Browser/

Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection. Onderstepoort J Vet Res. 72(1):13-22.

[OIE] Office International des Epizooties. 2008. Theileriosis. Chapter 2.4.16. Terrestrial Manual 2008. [diunduh 2014 April 1]. Tersedia pada: http:// www.oie.int/ fileadmin/ Home/eng/ Health _ standards / tahm / 2.04.16 _ THEILIERIOSIS.pdf.

[OIE] Office International des Epizooties. 2010. Bovine Babesiosis. Chapter 2.4.2. Terrestrial Manual 2010. [diunduh 2014 April 1]. Tersedia pada: http: // www . oie . int / fileadmin / Home / eng / Health _ standards / tahm / 2 . 04 . 02 _bovine_babesiosis.pdf.

[OIE] Office International des Epizooties. 2012. Bovine Anaplasmosis. Chapter 2.4.1. Terrestrial Manual 2012. [diunduh 2014 Februari 24]. Tersedia pada: http:// www . oie . int / fileadmin / Home / eng / Health _ standards / tahm / 2.04.01_BOVINE_ANAPLASMOSIS.pdf.

Okon OE, Opara K, Etim SE, Iboh CI, Oku EE. 2012. Experimental transmission of Babesia bigemina by Boophilus decoloratus in cattle. Aca J Animal Dis. 1(1): 1-6. doi: 10.5829/idosi.ajad.2012.1.1.6116.

Perera PK, Gasser RB, Firestone SM, Anderson GA, Malmo J, Davis G, Beggs DS, Jabbar A. 2014. Oriental theileriosis in dairy cows causes a significant milk production loss. Parasite Vector. 7(73): 1-8. doi: 10.1186/1756-3305-7-73. Rymaszewska A, Grenda S. 2008. Bacteria of The genus Anaplasma

characteristics of Anaplasma and their vectors: a review. Vet Med- Czech. 53(11): 573-584.

(32)

20

Punjab, Pakistan. Glob Vet. 12(1): 146-153. doi: 10.5829 / idosi . gv. 2014. 12. 01. 8252.

Silitonga RJP. 2009. Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tan-ariyaa P, Kerdmaneea C, sarataphanb N, Mungthinc M. 2001. A short term In vitro cultivation of Thai isolate Theileria sp.ScienceAsia. 27: 149 – 156. Yabsley MJ, Shock BC. 2013. Natural history of zoonotic Babesia: role of wildlife

(33)

21 Lampiran 1 Prevalensi anaplasmosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Lampiran 2 Prevalensi babesiosis pada sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

(34)

22

Lampiran 4 Proporsi parasit darah pada sampel ulas darah sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Lampiran 5 Proporsi multi infeksi parasit darah sampel ulas darah sapi bakalan asal Australia Agustus - September 2014

Lampiran 6 Hasil uji T tidak berpasangan

(35)

23

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 1   Pengambilan sampel darah dari enam Instalasi Karantina Hewan (IKH)
Gambar 1 Parasit darah dalam eritrosit (anak panah menunjukkan (a) Anaplasma
Tabel 4   Proporsi multi infeksi parasit darah pada sapi bakalan asal Australia
Tabel 7   Temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas dan berat badan sapi bakalan

Referensi

Dokumen terkait