• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT ARDY SAPUTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KASUS INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT ARDY SAPUTRA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

vi

STUDI KASUS INFEKSI

PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG

DI KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT

ARDY SAPUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)
(3)

vi

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kabupaten Subang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Ardy Saputra NIM B04090122

(4)

vii

ABSTRAK

ARDY SAPUTRA. Studi Kasus Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH.

Penelitian ini menggambarkan prevalensi parasit darah dan tingkat parasitemia menggunakan metode ulas darah. Hasil pemeriksaan sampel ulas darah pada 62 sapi potong dari Kabupaten Subang yang telah diuji menunjukkan adanya infeksi parasit darah Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. Manajemen pemeliharaan yang tidak tepat diduga menjadi faktor utama penyebab adanya infeksi tersebut. Hal ini didukung dengan hipotesa uji chi square yang menyatakan, bahwa manajemen pemeliharaan berhubungan dengan prevalensi. Pada penelitian ini, dilakukan juga perhitungan rataan parasitemia untuk mengukur tingkat parasitosis sapi berdasarkan tingkatan umur dan jenis kelamin. Hasil perhitungan menunjukkan tingkat parasitosis ringan karena didapatkan rataan parasitemia <1%. Uji statistik rataan parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) tingkatan umur berbeda nyata (p<0.05) pada pedet dan sapi dewasa. Berdasarkan jenis kelamin juga diperoleh hasil yang berbeda nyata (p<0.05) pada sapi jantan dan sapi betina untuk infeksi parasit darah Anaplasma sp.

Kata kunci: Anaplasma, Babesia, Kabupaten Subang, Theileria

ABSTRACT

ARDY SAPUTRA. Case Study of Blood Parasite Infection in Cattle on Subang Regency, West Java. Supervised by UMI CAHYANINGSIH.

This study describes prevalence of blood parasites and parasitemia level using blood smear. Result of the experiment of blood samples in 62 cattle from Subang Regency showed a blood parasite infection by Babesia sp., Theileria sp., and Anaplasma sp. The inapposite maintenance management was thought to be main factor causing infection. This supported by hipotesis chi square test which states, that maintenance management relates to prevalence. In this research, also performed calculations average parasitemia to measure level of parasitosis by age level and gender cattle. The calculations show parasitosis level mild because obtained average parasitemia <1%. Statistical tests average parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., and Anaplasma sp.) age level significantly different (p<0.05) in calf and adult cattle. By sex were also obtained significantly different results (p<0.05) in bulls and cows for blood parasites Anaplasma sp.

(5)

vi

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

STUDI KASUS INFEKSI

PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG

DI KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT

ARDY SAPUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(6)
(7)

Judui Skripsi: Studi Kasus Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kabupaten Subang, Jawa Barat

Nama : Ardy Saputra

NIM : B04090122 Disetujui oleh

~(

\

Dr drh Umi Cahvaningsih, MS Pemoimbing

(8)

vi

Judul Skripsi : Studi Kasus Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potongdi Kabupaten Subang, Jawa Barat

Nama : Ardy Saputra NIM : B04090122

Disetujui oleh

Dr drh Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

vii

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi dengan judul Studi Kasus Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kabupaten Subang, Jawa Barat merupakan salah satu syarat kelulusan studi program sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak meliputi :

1. Allah SWT, Yang Maha Membimbing dan Mengetahui, dan Rasul Nabi besar Muhammad SAW.

2. Dr drh Hj. Umi Cahyaningsih, MS selaku dosen pembimbing skripsi. 3. Dr drh Hj. Ahmad Arif Amien selaku dosen penilai seminar, drh Ni Luh

Putu Ika Maya Sari, Ph.D selaku dosen moderator seminar, Dr drh Hera Maheswari, MSc dan Dr drh Wiwin Winarsih, MSi selaku dosen penilai sidang.

4. Ayah (Kasidi), Ibu (Sugiyatmi), dan Adik (Andri Hadi Saputra, Sindi Putri Utami, Sinta Putri Utami).

5. Ajeng Widya Roslia beserta keluarga. 6. Joni Prasetya Saputra beserta keluarga.

7. Seluruh sivitas di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH 46), Institut Pertanian Bogor.

8. Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013 Ardy Saputra

(10)

vi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

MATERI DAN METODE 7

Waktu dan Tempat 7

Alat dan Bahan 7

Prosedur Penelitian 7

Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Hubungan antara Manajemen Pemeliharaan dan Prevalensi 8

Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur 9

Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin 13

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(11)

vii

DAFTAR TABEL

1 Prevalensi parasit darah pada sampel sapi di Kabupaten Subang 8 2 Manajemen pemeliharaan sapi di Kabupaten Subang 9

3 Uji korelasi chi square 9

4 Rataan parasitemia berdasarkan tingkatan umur 10

5 Parasitemia Babesia sp. 11

6 Parasitemia Theileria sp. 12

7 Parasitemia Anaplasma sp. 12

8 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin 13

DAFTAR GAMBAR

1 Babesia sp. 2

2 Siklus hidup Babesia sp. 3

3 Theileria sp. 4

4 Siklus hidup Theileria sp. 5

5 Anaplasma sp. 5

6 Siklus hidup Anaplasma sp. 6

7 Gambaran mikroskopis Babesia sp. (kiri) hasil penelitian dengan pewarnaan Giemsa, perbesaran 1000 , dan kanan gambar referensi 10 8 Gambaran mikroskopis Theileria sp. (kiri) hasil penelitian dengan

pewarnaan Giemsa, perbesaran 1000 , dan kanan gambar referensi 11 9 Gambaran mikroskopis Anaplasma sp. (kiri) hasil penelitian dengan

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi merupakan jenis hewan ruminansia yang paling banyak diternakkan dikalangan luas. Hal ini berkaitan dengan nilai jual hewan tersebut yang menguntungkan khususnya terhadap permintaan masyarakat akan konsumsi daging yang terus meningkat tiap tahunnya. Tercatat bahwa populasi sapi yang ada di Indonesia sampai tahun 2011 mencapai 13 633 000 ekor (BPS 2012). Jumlah tersebut tergolong sedikit mengingat kebutuhan stok sapi nasional hingga tahun 2013 mencapai 33 juta ekor (APFINDO 2012). Rendahnya perkembangan populasi ternak sapi di Indonesia menunjukkan jika pola pemeliharaan peternak kurang berjalan ekstensif.

Dalam upaya perkembangan populasi ternak terutama sapi, diperlukan langkah pengendalian penyakit, yaitu tindakan pencegahan timbulnya patogenitas dari agen penyakit ke inangnya. Penyakit ternak yang sering berasal dari parasit darah adalah babesiosis, theleriosis, dan anaplasmosis (Bilgic et al. 2013). Penyakit tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan bobot badan ternak, peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain, dan penurunan tingkat reproduksi sehingga dapat merugikan secara ekonomi (Benavides dan Sacco 2007).

Populasi hewan ternak besar di Kabupaten Subang menunjukkan angka yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hewan ternak besar yang dikembangkan adalah sapi, kerbau, dan kuda dengan populasi berturut-turut 22 477 ekor, 5 818 ekor, dan 248 ekor (Bappeda Subang 2010). Penelitian parasit darah pada sapi berdasarkan tingkatan umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang, Jawa Barat masih sedikit dilakukan. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran penyakit, pengendalian, dan kontrol penyakit parasit darah pada sapi potong di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui prevalensi, manajemen pemeliharaan ternak, dan tingkat parasitemia berdasarkan tingkatan umur dan jenis kelamin pada sapi potong di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bisa memberikan gambaran terkait parasit darah yang menginfeksi sapi peternak Kabupaten Subang. Selain itu, melalui informasi ini dapat dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabkan parasit darah.

(13)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Populasi Ternak Kabupaten Subang

Kabupaten Subang merupakan salah satu kabupaten di kawasan utara Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah seluas 205 175.95 ha atau 6.34% dari luas Provinsi tersebut. Potensi ternak Kabupaten Subang tiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Salah satu faktor meningkatnya jumlah ternak tersebut disebabkan oleh kondisi iklim tropis yang memudahkan ternak untuk berkembang biak. Jenis ternak yang dikembangkan mulai dari jenis ternak unggas, ternak ruminansia ukuran kecil hingga besar. Peternakan unggas mengalami kenaikan di sentra ayam potong pada tahun 2010 dari tahun sebelumnya, peternakan ruminansia kecil mengalami kenaikan di sentra domba. Populasi ternak besar mengalami kenaikan untuk semua ternak besar mulai dari sapi, kerbau, dan kuda. Khusus untuk sapi, yang paling banyak diusahakan petani adalah jenis sapi potong, dengan populasi mencapai 21 172 ekor, sedangkan sisanya adalah sapi perah yang berjumlah 1 305. Populasi sapi perah di Kabupaten Subang tidak seperti populasi sapi potong yang hampir tersebar di seluruh kecamatan, pengembangannya hanya terdapat di Kecamatan Sagalaherang, Ciater, dan Jalancagak (Bappeda Subang 2010).

Protozoa

Parasit darah merupakan jenis parasit yang menginfeksi sel darah inangnya atau disebut juga parasit intraseluler. Jenis penyakit yang ditimbulkan tergantung dari jumlah parasit yang menginfeksi inang (Begon et al. 2006). Jenis parasit intraseluler yang bisa menyebabkan penyakit salah satunya jenis dari subfilum apicomplexa (sporozoa), yakni dengan cara menghancurkan jaringan sel inang. Parasit jenis ini merupakan parasit obligat intraseluler dengan tipe reproduksi aseksual dan seksual (Foreyt 2001) dan disebut juga sebagai blood borne disease, parasit ini bisa juga berperantara serangga sebagai vektor biologis (arthropode borne disease).

Babesia

Filum : Sporozoa (Apicomplexa) Kelas : Sporozoea Subkelas : Coccidia Superordo : Eucoccidea Ordo : Haemosporidia Subordo : Aconoidina Family : Piroplasmidae Genus : Babesia (Bock et al. 2004)

(Gambar 1 Babesia sp.Kaufmann 2001)

Babesia sp. memiliki morfologi seperti biji apel (Gambar 1) merupakan jenis parasit intraseluler darah yang menyebabkan penyakit babesiosis.

(14)

3 Penyebarannya dari berbagai generasi parasit mulai dari telur, larva, nimfa hingga dewasa melalui perantara vektor caplak seperti Rhipicephalus microplus, R. annulataus, R. decoloratus. R. geigyi dan R. evertsi dari berbagai stadium (Bock et al. 2004).

Siklus hidup Babesia sp. terdiri dari fase aseksual dan fase seksual (Gambar 2), fase tersebut menentukan cara infeksi parasit tersebut menginfeksi inangnya. Pada fase aseksual, Babesia sp. mengalami stadium merogoni yang terjadi di dalam sel darah merah inang. Stadium merogoni diawali ketika caplak berbagai tingkatan stadium yang mengandung sporozoit menginfeksi inang melalui saliva akibat gigitan caplak. Sporozoit yang telah masuk ke dalam tubuh inang kemudian akan melakukan penetrasi secara mekanik ke dalam pembuluh darah. Dalam pembuluh darah sporozoit akan masuk ke dalam sel darah merah dan berubah menjadi tropozoit, selanjutnya mengalami pembelahan biner (bereplikasi ganda) menjadi merozoit. Akibat pembelahan yang terus menerus mengakibatkan sel darah merah ruptur. Pecahnya sel darah merah mengakibatkan merozoit bisa berpenetrasi ke dalam sel darah merah baru dalam tubuh induk semang yang sama. Sebagian dari merozoit ini nantinya akan berkembang menjadi pre-gametosit yang berperan untuk replikasi secara seksual.

Gambar 2 Siklus hidup Babesia sp. (Bock et al. 2004)

Fase seksual dimulai ketika fase pre-gametosit berubah menjadi fase gametosit. Perubahan fase tersebut terjadi pada tubuh caplak yang menghisap darah inang yang terinfeksi (stadium gametogoni). Dalam tubuh caplak gametosit akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet yang nantinya akan berfusi menjadi zigot, atau dikenal sebagai fase seksual. Selanjutnya zigot mengalami perkembangan menjadi ookinet atau vermiculus (Uilenberg 2006).

Selanjutnya ookinet akan mengalami diferensiasi menjadi kinet dan akan akan masuk ke dalam kelenjar saliva caplak. Jenis caplak besar seperti B. canis

(15)

4

dan B. divergens memiliki kemampuan untuk bereplikasi. Hal ini menyebabkan berbagai tingkatan stadium hidup caplak dari mulai larva, nymfa dan dewasa dapat terinfeksi ookinet Babesia sp. atau sering disebut dengan transmisi infeksi transtadial (Homer et al. 2000). Penyebaran ookinet melalui larva dapat terjadi secara transovari atau secara transmisi vertikal, hal tersebut mengakibatkan ookinet mampu berakumulasi dan bereplikasi di ovarium caplak.

Kelenjar saliva yang terinfeksi selanjutnya akan berkembang menjadi sel multinuklear sporoblast. Dalam sporoblast tersebut mengandung 5 000‒10 000 sporozoit. Melalui gigitan caplak inilah sporozoit bisa masuk ke dalam tubuh inang hewan vertebrata. Patogenesis dari penyakit ini biasanya berjalan kronis, akan tetapi pada fase akut bisa menimbulkan anemia, hemoglobinuria, ikterus, splenomegali, hingga demam (Taylor et al. 2007).

Theileria

Filum : Sporozoa (Apicomplexa) Kelas : Sporozoea Subkelas : Coccidia Superordo : Eucoccidea Ordo : Haemosporidia Subordo : Aconoidina Famili : Piroplasmidae

Genus : Theileria (Bishop et al. 2004)

(Gambar 3 Theileria sp.Stockham et al. 2000)

Parasit darah Theileria sp. merupakan penyebab penyakit theileriosis. Penyakit yang banyak tersebar di kawasan Afrika, Asia, dan Australia tersebut sering menyerang sapi dan domba (Taylor et al. 2007). Penyebaran Theileria berperantara inang antara anggota Ioxididae yakni Haemaphysalis, Riphicephalus, Amblyomma, dan Hyalomma (Urquharst et al. 2003).

Protozoa yang hidup di sel darah merah dan limfosit ini memiliki siklus hidup fase aseksual dan seksual (Gambat 4). Pembelahan aseksual terdiri dari stadium skizogoni dan merogoni yang terjadi di dalam sirkulasi limfosit dan eritrosit induk semang. Stadium skizogoni diawali ketika caplak yang terinfeksi sporozoit menggigit induk semang. Dalam tubuh inang sporozoit yang telah menjadi tropozoit melakukan pembelahan di limfosit dan berkembang menjadi makroskizon. Dalam limfosit makroskizon mengalami pembelahan menjadi mikromerozoit. Pembelahan yang terus menerus menyebabkan terjadinya lymfolisis mengakibatkan terlepasnya mikromerozoit ke dalam sel darah merah. Mikromerozoit yang menginfeksi sel darah merah akan berubah menjadi piroplasma yang akan menginfeksi caplak dan berfungsi untuk pembelahan seksual (Bishop et al. 2004).

Reproduksi seksual terjadi dalam usus caplak yang diawali dengan stadium gametogoni. Mikromerozoit yang berasal dari sel darah merah kemudian akan berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan gamet betina yang nantinya akan berdifusi menjadi zigot. Dalam epitel usus, zigot berubah menjadi kinet. Kinet kemudian bersirkulasi ke dalam kelenjar saliva yang kemudian mengalami perubahan menjadi sporoblast. Dalam satu sporoblast mampu menghasilkan

(16)

5 30 000 hingga 50 000 sporozoit yang nantinya digunakan untuk menginfeksi inang melalui gigitan caplak (Urquhart et al. 2003).

Setelah tiga minggu paska infeksi inang yang terinfeksi biasanya mengalami penurunan produksi sel darah putih atau sering disebut leukopenia yang bisa mengakibatkan imunosupresi (Kamau et al. 2011). Pada kasus theileriosis jarang terjadi kasus anemia hemolitik, hal ini disebabkan dalam sel darah merah Theileria sp. tidak mengalami pembelahan. Theileria sp. biasanya terbawa oleh caplak ataupun hidup hingga sel darah merah mengalami kerusakan ataupun pergantian sel (Kauffman 2001)

Infeksi theileriosis tidak selalu menunjukkan gejala klinis, tergantung dari patogenitasnya berdasarkan umur, jenis spesies, imunitas, virulensi agen, dan kondisi stres hewan (Uilenberg 2006). Pada ternak yang terinfeksi secara subklinis bisa menjadi sumber infeksi bagi sapi domestik lainnya (Oura et al. 2011).

Gambar 4 Siklus hidup Theileria sp.(Bishop et al. 2004)

Rickettssiales

Ordo Rickettssiales diklasifikasikan menjadi dua famili yakni Anaplasmacetaea dan Rickettsiacea (Quinn dan Markey 2003). Salah satu genus Anaplasmacetae yang paling sering dijumpai dalam infeksi parasit darah adalah Genus Anaplasma. Anaplasma Filum : Proteobacteria Kelas : Alphaproteobacteria Ordo : Rickettssiales Famili : Anaplasmacetae

Genus : Anaplasma (Rymaszewska & Grenda 2008)

(17)

6

Anaplasma sp. merupakan parasit intraseluler obligat yang hidup dalam sel darah mamalia (Rymaszewska dan Grenda 2008). Sel darah yang diinfeksi diantaranya eritrosit, granulosit, trombosit, dan monosit (Foley dan Bieberstein 2004). Memiliki siklus hidup sama dengan Babesia sp. (Gambar 6), perbedaan hanya terlihat dari jumlah vektor. Penyebaran infeksi Anaplasma sp.berperantara vektor caplak dari family Amblyommidae dan Ioxididae. Selain melalui caplak, transmisi juga bisa disebabkan oleh lalat Tabanidae di kawasan Eropa tengah-timur (Hornok et al. 2008).

Tahapan infeksi anaplasmosis pada mamalia dibagi menjadi empat stadium yakni inkubasi, perkembangan, persembuhan, dan karier. Stadium inkubasi dimulai ketika Anaplasma sp. mulai menginfeksi sel darah hingga 1% dari sel darah total (Kocan et al 2010). Pada stadium inkubasi sel darah terlihat lisis tapi tidak menujukan gejala klinis. Stadium perkembangan mulai menunjukkan gejala klinis akibat manifestasi gangguan sel darah merah, PCV, dan hemoglobin yang menurun serta meningkatnya level parasitemia.

Stadium persembuhan dan karier akan dialami hewan terinfeksi jika dapat melewati stadium inkubasi dan perkembangan. Pada stadium persembuhan jumlah sel darah merah, PCV, dan hemoglobin kembali ke rentang normal, akan tetapi hewan tersebut bisa menjadi karier dan menjadi sumber anaplasmosis bagi hewan domestik sehat lainnya (Foley dan Bieberstein 2004)

(18)

7

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2012 hingga bulan Februari 2013 di Kecamatan Kalijati dan Kecamatan Paburuan, Kabupaten Subang, Jawa Barat dan Laboratorium Protozoologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah kamera digital, kapas jarum, objek gelas, dan mikroskop cahaya.

Bahan yang digunakan adalah pewarna Giemsa 10%, minyak imersi, dan akuades. Hewan yang digunakan untuk penelitian sebesar 62 ekor sapi yang dilengkapi dengan data kuisioner peternak dari Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data

Pada penelitian ini diperoleh dua data, yaitu data kuesioner sekunder peternak dan data hasil pemeriksaan sampel ulas darah dari sapi peternakan rakyat Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Data Kuesioner Sekunder

Data diperoleh dari peternakan sapi potong rakyat di Kabupaten Subang, Jawa Barat melalui metode wawancara yang dilakukan oleh enumerator yang terlatih.

Penentuan Ukuran sampel

Sampel yang digunakan adalah 62 ekor sapi pada peternakan rakyat di Kabupaten Subang, Jawa Barat melalui prosedur kajian lintas seksional. Sampel darah diambil dari sapi dewasa (>12 bulan), anak (6 bulan‒12 bulan) dan pedet (0‒6 bulan) yang terdapat pada peternakan.

Pengambilan Sampel Ulas Darah

Teknik pengambilan sampel darah dilakukan pada daerah telinga. Telinga terlebih dahulu dibersihkan, setelah itu pembuluh darah ditusuk dengan jarum. Darah yang menetes kemudian diletakan di gelas objek yang kemudian didorong menggunakan gelas objek yang lainnya hingga membentuk sudut 45ᴼC untuk membuat ulas darah tipis. Ulas darah kemudian dikeringkan, setelah kering kemudian dicelupkan ke dalam metanol selama 3‒5 menit.

(19)

8

Pewarnaan Ulas Darah

Ulas darah yang telah dibuat direndam dengan larutan giemsa 10% selama 30 menit. Selanjutnya gelas objek yang telah diwarnai kemudian dibilas dengan aquades dan dikeringkan (Mahmmod et al. 2011).

Pemeriksaan Mikroskopik

Pengamatan preparat ulas darah dilakukan dengan mikroskop cahaya perbesaran 1000 kali dengan jumlah minimal 5 kali sudut pandang. Jumlah parasit darah dihitung berdasarkan jumlah 500 sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Persen parasitemia dihitung dengan rumus

Analisis Data

Data dianalisis menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan antara prevalensi dengan manajemen pemeliharaan, uji ANOVA (uji lanjut Duncan) untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap tingkatan umur sapi, dan uji t-test untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin. Semua data dianalisis menggunakan program SPSS versi 16®.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan antara Manajemen Pemeliharaan dan Prevalensi

Berdasarkan pemeriksaan mikroskopik preparat ulas darah, dari total 62 sampel yang diperiksa menunjukkan adanya infeksi parasit darah (babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis) pada sebagian sapi di Kabupaten Subang (Tabel 1).

Tabel 1 Prevalensi parasit darah pada sampel sapi di Kabupaten Subang

Umur N Prevalensi (%)

Babesiosis Theileriosis Anaplasmosis

Pedet 20 0 10 10

Anak 9 22.2 33.3 33.3

Dewasa 33 48.5 48.5 51.5

Banyak faktor yang memacu timbulnya infeksi parasit darah, diantaranya manajemen pemeliharaan yang kurang tepat. Berdasarkan data kuesioner, manajemen pemeliharaan sebagian peternak yang mengembalakan sapi di luar kandang seperti padang rumput yang diduga menjadi penyebab timbulnya infeksi tersebut (Tabel 2). Hal ini erat kaitannya dengan kebiasaan hidup caplak di

(20)

9 padang rumput (Mullen dan Dorden 2012). Vektor tersebut memiliki peranan dalam mentransmisikan parasit darah ke dalam tubuh inang peka (arthropode borne disease).

Sistem pengembalaan sebagian peternak yang melepaskan sapi pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari dapat menjadi penyebab bertambahnya sapi yang terinfeksi (Tabel 2). Sapi yang terinfeksi parasit darah di tempat pengembalaan berisiko menularkan infeksi ke sapi lainnya dalam populasi yang sama ketika dikandangkan. Transmisi tersebut dapat terjadi ketika caplak yang menempel pada sapi terinfeksi kemudian menularkan parasit darah pada sapi yang tidak terinfeksi melalui gigitan.

Tabel 2 Manajemen pemeliharaan sapi di Kabupaten Subang

No Manajemen

Pemeliharaan Total Data Ya Tidak Persentase(%)

1 Tempat pengembalaan

padang rumput 21 11 10 52.4%

2 Pengendalian caplak 20 9 11 45%

3

Dilepas pada siang hari dan dikandangkan malam hari

24 21 3 87.5%

Hubungan antara manajemen pemeliharaan dengan prevalensi dilakukan dengan uji chi square dengan hipotesa berikut :

ͽ H0 = Manajemen Pemeliharaan tidak berhubungan dengan prevalensi

ͽ H1 = Manajemen Pemeliharaan berhubungan dengan prevalensi

Tabel 3 Uji korelasi chi square

Faktor Manajemen Pemeliharaan

Chi-square Babesiosis Theileriosis Anaplasmosis

Chi-square hitung 12.08 8.56 8.37

Chi-square tabel 3.84 3.84 3.84

Probabilitas 0.01 0.03 0.04

Keputusan Tolak H0 Tolak H0 Tolak H0

Dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai probabilitas < 0.05 dan nilai chi square hitung > nilai chi square tabel, yang berarti terdapat hubungan kuat antara manajemen pemeliharaan terhadap prevalensi maka H0 ditolak dan H1 diterima (Tabel 3).

Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur

Perhitungan rataan parasitemia digunakan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit. Penentuan tingkat parasitemia ditentukan berdasarkan tingkatan umur sapi (dewasa (>12 bulan), anak (6 bulan‒12 bulan), dan pedet (<6 bulan)). Hasil dari perhitungan ditampilkan pada Tabel 4.

Hasil perhitungan menunjukkan jika rataan parasitemia tiap parasit berdasarkan tingkatan umur sapi kurang dari 1%. Menurut Camacho (2004),

(21)

10

tingkat parasitemia diklasifikasikan ringan (mild reaction) bila ditemukan 1‒4 parasit per 500 eritrosit (parasitosis <1%). Tingkatan parasitemia yang ringan tidak menimbulkan gejala klinis pada sapi terinfeksi di Kabupaten Subang. Gejala klinis dapat terjadi jika parasitemia dalam tingkatan yang berat (parasitosis >1%). Rataan parasitemia yang rendah disebabkan infeksi parasit pada hewan peka telah berjalan kronis atau telah mencapai masa persembuhan (Bakken et al. 2006). Hewan terinfeksi yang tidak menunjukkan gejala klinis bisa menjadi karier yang menularkan pada hewan peka lainnya (Uilenberg 2006).

Tabel 4 Rataan parasitemia berdasarkan tingkatan umur

Tingkatan Umur Rataan Parasitemia

Babesia sp. Theileria sp. Anaplasma sp.

Pedet 0.000 ± 0.000 0.020 ± 0.041 0.025 ± 0.055 Anak 0.056 ± 0.053 0.100 ± 0.087 0.100 ± 0.100 Dewasa 0.076 ± 0.083 0.109 ± 0.162 0.118 ± 0.161 Rataan parasitemia Anaplasma sp.berbagai tingkatan umur sapi cenderung lebih tinggi dibandingkan rataan parasitemia parasit darah lainnya. Rataan parasitemia yang tinggi menunjukkan jika jumlah Anaplasma sp. yang menginfeksi dalam tubuh sapi lebih tinggi dibandingkan infeksi parasit darah lainnya. Banyaknya vektor serangga yang dapat menyebarkan infeksi Anaplasma sp. (caplak, nyamuk, dan lalat penghisap darah) diduga menjadi penyebab tingginya infeksi tersebut (Hornock et al. 2008).

Parasitemia Babesia sp.

Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan parasit darah intraseluler Babesia sp., parasit ini memiliki morfologi seperti biji buah apel dengan ukuran 1‒5 µm (Homer et al. 2000). Jenis Babesia yang menyerang sapi diantaranya Babesia bigemina, Babesia bovis, dan Babesia divergens (Uilenberg 2006).

Gambar 7 Gambaran mikroskopis Babesia sp. (kiri) hasil penelitian dengan pewarnaan Giemsa, perbesaran 1000 , dan kanan gambar referensi (Kaufmann2001).

Rataan parasitemia babesiosis pada populasi sapi berbagai tingkatan umur dikategorikan dalam tingkat parasitemia rendah (parasitosis <1%). Rendahnya infeksi dimungkinkan karena masa inkubasi Babesia sp. yang pendek (1‒2

(22)

11 minggu) mengakibatkan infeksi dapat sembuh dengan sendiri (self limiting disease) (Taylor et al. 2007). Hasil perhitungan rataan parasitemia menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) pada sapi pedet dan sapi dewasa akan tetapi rataan parasitemia sapi anak tidak berbeda nyata terhadap sapi pedet dan sapi dewasa (Tabel 5).

Tabel 5 Rataan parasitemia Babesia sp. pada berbagai tingkat umur

Tingkatan Umur Rataan Parasitemia

Pedet 0.000 ± 0.000*

Anak 0.056 ± 0.053

Dewasa 0.076 ± 0.083*

Keterangan : superskrip (*) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Parasitemia Theileria sp.

Jenis parasit darah intraseluler kedua yang ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopik adalah Theileria sp., jenis parasit ini memiliki ciri khas berbentuk koma dan berukuran 0.5‒2.0 µm (Kauffman 2001). Jenis Theileria yang sering menyerang sapi dan ternak lainnya di kawasan Asia adalah Theileria buffeli dan Theileria orientalis (Gubbels et al. 2000).

Gambar 8 Gambaran mikroskopis Theileria sp. (kiri) hasil penelitian dengan pewarnaan Giemsa, perbesaran 1000 , dan kanan gambar referensi (Stockham et al. 2000).

Tingkat parasitosis theileriosis diklasifikasikan menjadi tingkat ringan apabila hanya ditemukan satu parasit dalam satu lapang pandang (parasitosis <1%) (Ndungu et al. 2005). Berdasarkan perhitungan rataan parasitemia kurang dari 1% dalam penelitian ini termasuk dalam kategori ringan. Hal tersebut dimungkinkan karena masa inkubasi Theileria sp. yang berjarak hanya sekitar 1‒3 minggu, selain itu hal tersebut dapat juga disebabkan oleh infeksi parasit yang telah berada dalam stadium persembuhan (Bakken et al. 2006). Hasil perhitungan rataan parasitemia sapi pedet dan sapi dewasa menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) akan tetapi rataan parasitemia sapi anak tidak berbeda nyata terhadap sapi pedet dan sapi dewasa (Tabel 6).

(23)

12

Tabel 6 Rataan parasitemia Theileria sp. pada berbagai tingkat umur

Tingkatan Umur Rataan Parasitemia

Pedet 0.020 ± 0.041*

Anak 0.100 ± 0.087

Dewasa 0.109 ± 0.162*

Keterangan : superskrip (*) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Parasitemia Anaplasma sp.

Jenis parasit darah intraseluler yang terakhir ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopik adalah Anaplasma sp., jenis parasit ini terlihat seperti badan inklusi berbentuk bulat berukuran 0.3‒1 µm. Jumlah badan inklusi dalam sel darah merah bervariasi antara 1‒8 (Quinn et al. 2008). Jenis Anaplasma yang sering menyerang sapi dan ternak lainnya di kawasan Asia adalah Anaplasma bovis, Anaplasma ovis, Anaplasma marginale, dan Anaplasma centrale (Rymaszewska dan Grenda 2008).

Gambar 9 Gambaran mikroskopis Anaplasma sp. (kiri) hasil penelitian dengan pewarnaan Giemsa, perbesaran 1000 , dan kanan gambar referensi (Kaufmann2001).

Nilai rataan parasitemia Anaplasma sp. berdasarkan tingkatan umur sapi tergolong rendah (kurang dari 1%). Terdapat beberapa kemungkinan terkait rendahnya rataan tersebut diantaranya karena hewan sedang berada dalam masa inkubasi (2‒12 minggu) ataupun masa karier (Quinn et al. 2008; Kocan et al. 2010). Hasil perhitungan rataan parasitemia Anaplasma sp. sapi pedet dan sapi dewasa menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) akan tetapi rataan parasitemia sapi anak tidak berbeda nyata terhadap sapi pedet dan sapi dewasa (Tabel 7).

Tabel 7 Rataan parasitemia Anaplasma sp. pada berbagai tingkat umur

Tingkatan Umur Rataan Parasitemia

Pedet 0.025 ± 0.055*

Anak 0.100 ± 0.100

Dewasa 0.118 ± 0.161*

(24)

13 Hasil pemeriksaan ulas darah Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. menunjukkan peningkatan rataan parasitemia seiring peningkatan umur sapi. Sapi pedet yang memiliki rataan parasitemia paling rendah diduga karena sapi pedet memiliki antibodi pasif dari induknya (kolostrum) (CFED 2008). Secara umum, sapi muda (0‒6 bulan) akan lebih tahan terhadap infeksi parasit darah dibandingkan sapi dewasa (Benavides dan Sacco 2007). Berbeda dengan sapi pedet, rataan parasitemia babesiosis, theileriosis, dan anaplasmosis paling tinggi terdapat pada sapi dewasa. Perbedaan tersebut disebabkan seiring bertambahnya umur, kepekaan sapi dewasa terhadap stres lingkungan akan semakin meningkat. Hal tersebut memudahkan berbagai vektor serangga mentransimisikan parasit ke dalam tubuh sapi dewasa (Lubis 2006). Sapi dewasa dengan tingkat parasitosis <1% bisa bertindak sebagai karier dari infeksi parasit darah (Islam et al. 2011). Rataan parasitemia sapi anak berada diantara rataan parasitemia sapi pedet dan sapi dewasa. Hal tersebut terjadi karena pada sapi anak biasanya akan mengalami periode transisi (peralihan pemberian pakan dari susu menjadi hijauan). Khusus pada daerah endemik, preimunitas akan didapatkan sapi anak jika infeksi parasit dalam skala rendah (Bock et al. 2004). Preimunitas ini berfungi mempertahankan hewan dari infeksi ulang yang dapat menyebabkan tingkat parasitemia lebih parah (Zintl et al. 2003).

Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil perhitungan rataan parasitemia Anaplasma sp. antara sapi jantan dan betina menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p<0.05). Sedangkan rataan parasitemia Babesia sp. dan Theileria sp. sapi jantan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan sapi betina (Tabel 8).

Tabel 8 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin

Tingkatan Umur Rataan Parasitemia

Babesia sp. Theileria sp. Anaplasma sp.

Jantan 0.015 ± 0.023ª 0.030 ± 0.048ª 0.038 ± 0.076ª Betina 0.023 ± 0.010ª 0.054 ± 0.077ª 0.085 ± 0.

140

b

Keterangan : uji t-test; hurup superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Nilai rataan parasitemia Anaplasma sp. sapi betina yang lebih tinggi dibandingkan sapi jantan mengindikasikan jika infeksi parasit darah dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin. Temuan ini didukung Atif et al. (2012) yang menyatakan bahwa sapi betina yang telah dewasa memiliki tingkat parasitemia lebih tinggi dibandingkan sapi jantan. Hal tersebut diduga oleh adanya faktor stres dan periode laktasi pada sapi betina. Kedua faktor tersebut dapat mengakibatkan sapi betina lebih rentan terhadap infeksi parasit darah. Menurut Bandini (2001), tingkat stres yang tinggi dapat menimbulkan keadaan imunosupresi sehingga dapat menyebabkan peningkatan jumlah parasit darah pada sapi betina.

(25)

14

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pemeriksaan mikroskopik ditemukan infeksi parasit darah (babesiosis, theileriosis, dan anaplasmosis) pada beberapa sapi di Kabupaten Subang. Manajemen pemeliharaan yang tidak tepat memiliki hubungan dengan tingkat prevalensi. Rataan parasitemia pada sapi berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin yang terinfeksi parasit darah relatif ringan (parasitosis <1%). Uji statistik rataan parasitemia (Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.) tingkatan umur berbeda nyata (p<0.05) pada pedet dan sapi dewasa. Berdasarkan jenis kelamin juga diperoleh hasil yang berbeda nyata (p<0.05) pada sapi jantan dan sapi betina untuk infeksi parasit darah Anaplasma sp.

Saran

Perlu dilakukan uji lanjut seperti Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Polymerase Chains Reaction (PCR) yang digunakan untuk identifikasi jenis beserta karakteristik patogenitas parasit. Selain itu, peranan manajemen pemeliharaan dalam mempertahankan kondisi tubuh sapi perlu ditingkatkan agar meminimalisir tingkat stres pada hewan yang terinfeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of Anaplasma marginale strains from an outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Veterinary Parasitology. 158:103‒109.

[APFINDO] Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia. 2012. Kebutuhan Sapi Nasional 2013 [internet]. [diunduh 2013 April 23]. Tersedia pada http://www.investor.co.id/2013-kebutuhan-sapi-nasional-33juta-ekor.

Atif FA, Muhammad SK, Hafiz JI, Ghulam MA, Ejaz A, Sami U. 2012. Prevalence of Anaplasma marginale, Babesia bigemina and Theileria annulata infections among cattle in Sargodha District, Pakistan. African J. Agric Res. 7(22):3302‒3307.

Bakken S, Dumler S, Chen SM, Eckman, Marak R, Van etta L, Walker H. 2006. Human granulocytic ehrlichiosis in the upper midwest United States. JAMA. 129:247‒269.

Bandini Y. 2001. Sapi Bali. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

[Bappeda Subang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Subang. 2010. Potensi Peternakan [internet]. [diunduh 2013 April 23]. Tersedia pada http://www.subang.go.id/potensi_peternakan.php.

(26)

15 Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to

Ecosystems. United Kingdom (UK): Blackwell Publishing.

Benavides MV, Sacco MS. 2007. Differential Bos Taurus cattle response to Babesia bovis infection. Vet. Parasitology. 150:54‒64.

Bilgic HB, Karagenc T, Simuunza M, Shiels B, Tait A, Eren H, Weir W. 2013. Development of a multiplex PCR assay for simultaneous detection of Theileria annulata, Babesia bovis, and Anaplasma marginale in cattle. Exp Parasitol. 133(2):222‒-229.doi:10.1016/j.exppara.2012.11.005.

Bishop R, Musoke A, Morzaria S, Gardner M, Nene V. 2004. Theileria: intracellular protozoan parasites of wild and domestic ruminants transmitted by Ixodid ticks. Parasitol. 129:271‒283.

Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorge W. 2004. Babesiosis of cattle. Parasitology. 124: 247‒269.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Populasi Ternak [internet]. [diunduh 2013 April 23]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php.

Camacho T. 2004. Roles of the Maltese Cross Form of Babesia micorti in the Development of Parasitemia in B. micorti Infection. A.S.M. 72(8):4929‒2930. [CFED] Committee on Foreign and Emerging Diseases of the United States Animal Health Association. 2008. Foreign Animal Diseases. Ed ke-7. Canada (CD): Boca Publication Group, Inc.

Dumler JS, Barbet AF, Bekker CPJ, Dasch GA, Palmer GH, Ray SC, Rikihisa Y, Rurangirwa FR. 2001. Reorganization of the genera in the families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Rickettsiales: unification of some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia and Ehrlichia with Neorickettsia, descriptions of six new species combinations and designation of Ehrlichia equi and “HGE agent” as subjective synonyms of Ehrlichia phagocytophila. Int J. Syst Evol Microbiol. 51:2145‒2165. Foley JE, Biberstein EL. 2004. Anaplasmataceae. Di dalam: Walker LR, editor.

Veterinary Microbiology. California (US): Blackwell Pub.

Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual 5th Edition. Iowa (US): Iowa State Pr.

Gubbels MJ, Hong Y, Weide Mvd, Qi B, Nijman IJ, Guangyuan L, Jongejan F. 2000. Molecular characterisation of the Theileria buffeli/orientalis group. International Journal for Parasitology. 30:943‒952.

Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin. Microbiol. Rev.. 13(3):45.

Hornock S, Foldya’ri G, Elek V, Naranjo V, Farkas R, Fuente J de la. 2008. Molecular Identification of Anaplasma marginale and Rickettsial Endosymbionts In Blood-Sucking Flies (Diptera: Tabanidae, Muscidae) and Hard Ticks (Acari: Ixodidae). Veterinary Parasitology. 154:354‒359.

Islam MK, Jabbar A, Campbell BE, Cantacessi C, Gasser RB. 2011. Bovine theileriosis-An emerging problem in south-eastern Australia. Infection, Genetic and Evolution. 11:2095‒2097.

Kamau J, Vos Ajd, Playford M, Salim B, Kinyanjui P, Sugimoto C. 2011. Emergence of new types of Theileria orientalis in Australian cattle and possible cause of theileriosis outbreak. Parasites & Vector. 4:22.

Kaufmann J. 2001. Parasitic infections of domestic animals-a diagnostic manual. Berlin (GR): Birkhauser.

(27)

16

Kocan KM, J De La F, EF Blouin, JC Garcia. 2004. Anaplasma marginale (Rickettsiales:Anaplasmataceae) recent advances in defining host-pathogen adaptations of a tick-borne rickettsia. Parasitol. 129:285–300.

Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review-The natural history of Anaplasma marginale. Veterinary Parasitology. 167:95‒ 107.

Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran. 152:27‒ 29.

Mahmmod YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkawy MF, Monazie AM. 2011. Clinical and haematological study on water buffaloes (Bubalus bubalis and crossbred cattle naturally infected with Theileria annulata in Sharki province, Egypt. Ticks and Tick-borne Diseases. 2:168–171.

Mullen G. Dorden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. California (US): Academic Press.

Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection. Onderstepoort Journal of Veterinary Research. 72:13‒22.

Oura CAL, Tait A, Asiimwe B, Lubega GW, Weir W. 2011. Haemoparasite Prevalence and Theileria parva Strain Diversity in Cape Buffalo (Syncerus caffer) in Uganda. Veterinary Parasitology. 175:212‒219.

Quinn PJ, Markey BK. 2003. Concise Review of veterinary Microbilogy. Blackwell Pub.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2008. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Pub.

Rymaszewska A, Grenda S. 2008. Bacteria of The Genus Anaplasma- Characteristics of Anaplasma and Their Vector: a Review. Veterinari Medicina. 53 (11):573‒584.

Stockham Sl, AM Kjemtrup, PA Conrad, DA Schmidt, MA Scott, TW Robinson, JW Tyler, GC Johnson, CA Carson, P Cuddihee. 2000. Theileriosis in a Missouri beef herd caused by Theileria buffeli: case report, herd investigation, ultrastructure, phylogenetic analysis, and experimental transmission. Vet Pathol. 37:11‒21.

Taylor MA, RL Coop, RL Wall. 2007. Veterinary Parasitology. 3th Edition. Hongkong (HG): Graphicraft Limited.

Uilenberg G. 2006. Babesia-a Historical Overview. Veterinary Parasitology. 138:2‒10.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Veterinary Parasitology 2nd Edition. Scotland (SC): Blackwell Publishing.

Zintl A, Mulcahy G, Skerrett HE, Taylor SM, Gray JS. 2003. Babesia divergens: A Bovine Blood Parasite of Veterinary and Zoonotic Importance. Clin. Microbiol. Re. 16: 622–636.

(28)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 29 Mei 1991 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Kasidi dan Ibu Sugiyatmi. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di SDN 1 Pacet pada tahun 2003 dan di SMPN 1 Cipanas tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMAN 1 Sukaresmi dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Kedokteran Hewan melalui lulus jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Minat Profesi Satwa Liar dan komunitas seni STERIL serta menjadi anggota divisi Bidang Seni dan Olahraga (BOS) BEM FKH IPB pada tahun 2010-2011.

Gambar

Gambar 2 Siklus hidup Babesia sp. (Bock et al. 2004)
Gambar 4 Siklus hidup Theileria sp. (Bishop et al. 2004)
Gambar 6 Siklus hidup Anaplasma sp. (Kocan et al. 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Agama Islam pada dasarnya menempati posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, terutama dalam membentuk iman dan Berdasarkan karakteristik

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Pemberian F 100 dan tepung kacang merah Terhadap kenaikan Kadar HB balita gizi Buruk di TFC Rawat Jalan

- OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN DAN

Berdasarkan hasil observasi awal pada tanggal 12 April 2017 yang telah dilakukan pengembang di SMA Negeri 2 Lamongan, bahwa siswa mengalami kesulitan belajar dalam

Kapan lagi, Anda bisa mendapatkan fasilitas gratisan di facebook marketing beserta penunjang ilmunya. Berupa teknik facebook graph yang nantinya akan membantu Anda dalam membuka

Maka di lihat dari tuturan kutipan tersebut maka citra hotel bisnis yang ingin dibentuk melalui Restoran The Café menggunakan The wish image (citra yang diinginkan) karena

tersebut diketahui bahwa hanya profesionalisme dan kompleksitas secara parsial berpengaruh terhadap audit judgment auditor internal pada Satuan Pengawas Internal

Pembatasan terhadap populasi perlu dilakukan melalui pengeluaran individu ternak kelinci dengan cara dijual atau dipotong sehingga terjadi keseimbangan antara