• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, Dan Praktik Pedagang Bakso Terhadap Penambahan Boraks Dalam Bakso Di Kota Bengkulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, Dan Praktik Pedagang Bakso Terhadap Penambahan Boraks Dalam Bakso Di Kota Bengkulu"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK

PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS

DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU

SITI ISTIQOMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016 Siti Istiqomah NIM B251130051

_________________________

(4)

RINGKASAN

SITI ISTIQOMAH. Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu. Dibimbing oleh MIRNAWATI B SUDARWANTO dan ETIH SUDARNIKA.

Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang sering digunakan sebagai bahan pengawet khususnya pada bakso. Bakso merupakan hasil olahan pangan asal hewan yang mudah rusak. Bahan tambahan pangan dapat memperpanjang umur simpan dengan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk dan menghambat pertumbuhan organisme penyebab penyakit. Penambahan boraks biasanya dilakukan pada waktu proses pengolahan makanan. Boraks termasuk bahan beracun apabila digunakan dalam makanan yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Penelitian penggunaan boraks pada bakso pernah dilakukan di Kota Bengkulu pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 10% dari 100 sampel bakso yang diuji positif mengandung boraks. Mengingat bahaya boraks apabila dikonsumsi terus menerus dan adanya peningkatan jumlah pedagang bakso sampai tahun 2013 di Kota Bengkulu, maka perlu dilakukan penelitian dengan cakupan besaran sampel bakso yang lebih besar. Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan boraks dalam bakso dan mengukur karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lapang cross sectional yang menggunakan dua jenis data yaitu data hasil pengujian sampel bakso di laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Pengambilan sampel dilakukan pada seluruh pedagang bakso yang berada di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 160 sampel bakso dari pedagang (100%) yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan menetap. Pengambilan sampel juga dilakukan terhadap lima tempat penggilingan bakso yang ada di Kota Bengkulu. Deteksi keberadaan boraks pada bakso dilakukan secara dua tahap yaitu tahap pertama pengujian keberadaan boraks pada bakso yang beredar di Kota Bengkulu secara kualitatif, tahap kedua terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu spektrofotometri, pemanasan dan daya simpan.

Hasil pengujian kualitatif menunjukkan 165 sampel (100%) yang diambil dari pedagang bakso dan tempat pengilingan tidak mengandung boraks. Dari hasil survei diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso mayoritas berada dalam kategori baik. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi sikap adalah akses informasi dari televisi dan pengetahuan. Tingkat pengetahuan penggiling bakso sebagian besar dalam kategori sedang, dan sikap seluruh penggiling bakso dalam kategori baik.

(5)

lanjutan perlu dilakukan untuk pengambilan sampel dari pedagang bakso keliling dan penjual bakso di pasar.

(6)

SUMMARY

SITI ISTIQOMAH. Characteristics, Knowledges, Attitudes, and Practices of Meatball Traders on Addition of Borax in Bengkulu City. Supervised by MIRNAWATI B SUDARWANTO and ETIH SUDARNIKA.

Borax is one of food additives that are often used as a preservative, especially in meatballs. Meatballs are processed foodstuffs of animal origin that can damage easily. Food additives can extend the shelf life of the foods by inhibit the growing of disease-causing organisms. The addition of borax is performed in food processing. Borax is one of the toxic materials when used in food and harmful to human health. The last research about using of borax in meatballs in Bengkulu City in 2011 showed that 10% (10/100) of meatballs containing borax. The dangerous effect of borax and increasing the number of meatball traders in 2013, it is necessary to do the research about meatball with more meatballs samples. The study was aimed to detect the presence of borax in meatballs and identify the characteristics, knowledges, attitudes, and practices of meatball traders and grinders in Bengkulu City.

The study was conducted using cross sectional study using two types of data, they were data of meatball sample test in the laboratory and questionnaire data about characteristics, knowledges, attitudes, and practices of meatball traders and grinders in Bengkulu City. The samples were collected from all the settle meatballs traders in Bengkulu City (160 traders). Sampling also carried out on five samples from grinders place in Bengkulu City. Detection of the content of borax in meatballs were done in two stages, the first stage was testing the content of borax in meatballs qualitatively, the second stage consists of three types of testing namely spectrophotometry, heating and storability.

The qualitative method showed that all of samples (100%) didn’t contain borax. The knowledges and attitudes level of traders were at a good level. The education level had the association with the knowledge. The factors that are associated with attitude were sourced from television and knowledge. Most of the knowledge of meatball grinders were in the medium category and all of their attitudes were at good levels.

The result study showed that no additional borax in meatball traders and grinders but they must get the socialization from related agencies to increase their knowledge. It is important to perform the surveillance programme to all of the meatballs traders (including settle and not settle traders) and producers of meatballs. Data of total meatballs traders and grinders should be updated frequently and need further research which sampling from meatballs traders on the street and in the market.

(7)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(8)
(9)

KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTIK

PEDAGANG BAKSO TERHADAP PENAMBAHAN BORAKS

DALAM BAKSO DI KOTA BENGKULU

SITI ISTIQOMAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pedagang Bakso terhadap Penambahan Boraks dalam Bakso di Kota Bengkulu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr med vet Drh Mirnawati B Sudarwanto dan Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, motivasi serta bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH-IPB dan Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB beserta seluruh staf.

Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang telah memberikan beasiswa serta kepada Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu dan Kepala UPT Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah memberikan ijin untuk melakukan pengujian di UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Pangan dan Bahan Berbahaya Balai Pengawas Obat dan Makanan Bengkulu dan Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Lampung yang telah membantu dalam peneguhan pengujian. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk rekan-rekan mahasiswa pascasarjana S2 dan S3 KMV angkatan 2012, 2013 dan 2014 baik program khusus maupun regular yang telah bersama-sama dalam menempuh pendidikan di kampus FKH IPB tercinta, serta rekan-rekan dari Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang telah bersama-sama melaksanakan tugas belajar di IPB.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada ayahanda Drs Suparmin, ibunda Umi Marwiyatun, kakak-kakakku tersayang atas segala doa, semangat, motivasi dan kasih sayangnya serta pihak-pihak lain yang turut membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Bahan Tambahan Pangan (BTP) 2 Karakteristik Boraks 5 Kegunaan Boraks 5 Bahaya Boraks 7

3 METODE PENELITIAN 10 Waktu dan Tempat Penelitian 10

Metode Penelitian 11

Kerangka Konsep 11

Disain Penelitian 11

Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 12

Koleksi Sampel 12

Pengujian Sampel 12

Analisis Data 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Pengambilan Sampel dan Hasil Pengujian Laboratorium 15

Karakteristik Pedagang Bakso 16

Praktik Pedagang Bakso 18

Pengetahuan dan Sikap Pedagang Bakso 20

Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Pengetahuan 22

Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap 24

Pengetahuan Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap 26

Karakteristik Penggiling Bakso 28

Praktik, Pengetahuan, dan Sikap Penggiling Bakso 29

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Instansi Pemerintah 31

5 SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 40

(14)

DAFTAR TABEL

1 Profil toksisitas akut boraks 8

2 Wilayah dan besaran sampel bakso yang diambil dari pedagang bakso 16

3 Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu 17

4 Praktik pengolahan bakso oleh pedagang bakso di Kota Bengkulu 18

5 Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks 21

6 Hubungan antara karakteristik personal terhadap tingkat pengetahuan pedagang bakso dalam penambahan boraks 23

7 Hubungan antara karakteristik personal terhadap sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks 25

8 Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks 26

9 Karakteristik personal penggiling bakso di Kota Bengkulu 29

10 Praktik pengolahan bakso oleh penggiling bakso di Kota Bengkulu 30

11 Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap penggiling bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks 31

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur molekul boraks 7

2 Skema kerangka konsep penelitian 11

3 Peta lokasi tempat pedagang bakso di Kota Bengkulu 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner pedagang bakso di Kota Bengkulu 41
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) menjadi tantangan utama dengan pertumbuhan populasi penduduk. Manajemen risiko yang efektif untuk pencapaian hal tersebut berdasarkan informasi dan studi ilmu pengetahuan diperlukan oleh industri pangan (pengusaha, pedagang), dan konsumen. Perkembangan informasi melalui berbagai media meningkatkan tuntutan dan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan pangan. Informasi berdasarkan penelitian ilmiah salah satu kunci menilai pangan yang beredar di suatu wilayah memenuhi persyaratan yang berlaku.

Pangan asal hewan seperti daging, susu, dan telur serta hasil olahannya pada umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF) (Lukman 2008). Bakso merupakan hasil olahan daging, baik daging sapi, ayam, ikan, maupun udang. Kebutuhan masyarakat (konsumen) terhadap protein dapat dipenuhi dengan mengonsumsi bakso (Cahyadi 2008). Bakso merupakan hasil olahan pangan asal hewan yang mudah rusak dan sering diberikan bahan tambahan pangan dalam proses pembuatannya.

Bahan tambahan pangan dapat memperpanjang umur simpan dengan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk dan menghambat pertumbuhan organisme penyebab penyakit. Tahun 1900-an awal boraks secara luas digunakan sebagai pengawet makanan (Tomaska dan Brooke-Taylor 2014). Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang sering digunakan sebagai bahan pengawet khususnya pada bakso, kerupuk, pempek, pisang molen, pangsit, tahu, dan bakmi. Penambahan boraks biasanya dilakukan pada waktu proses pengolahan makanan untuk meningkatkan kekenyalan, kerenyahan, memberi rasa gurih dan kepadatan (Saparinto dan Hidayati 2006). Boraks di pasaran memiliki nama berbeda-beda, di Jawa Tengah disebut air bleng atau garam bleng, di daerah Sunda disebut bubuk gendar, di Jakarta disebut pijer (Sugiyatmi 2006). Boraks termasuk bahan beracun apabila digunakan dalam makanan yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Penggunaan boraks dalam pembuatan makanan untuk diperdagangkan secara internasional tidak diizinkan pada banyak negara. Penggunaan secara ilegal di beberapa negara untuk memperpanjang masa simpan masih dilakukan sehingga terus menimbulkan risiko kesehatan bagi konsumen (Tomaska dan Brooke-Taylor 2014).

(16)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeteksi keberadaan boraks dalam bakso.

2. Mengukur karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso terhadap penambahan boraks dalam bakso.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menjamin keamanan, kesehatan, dan ketentraman batin masyarakat Kota Bengkulu dalam mengonsumsi bakso yang beredar di Kota Bengkulu. Data dan informasi hasil penelitian sebagai bahan penyuluhan bagi pedagang dan penggiling bakso mengenai bahaya yang dapat ditimbulkan dari bakso yang mengandung boraks.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes 2012). Nama BTP atau jenis BTP, selanjutnya disebut jenis BTP, adalah nama kimia/generik/umum/lazim yang digunakan untuk identitas bahan tambahan pangan, dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa Inggris. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (BPOM 2013).

(17)

3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 75 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Pasal 76 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi administratif, ayat (2) sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan pangan dari peredaran oleh produsen; ganti rugi; dan/atau pencabutan izin. Pasal 136 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan bahan tambahan pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan atau bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp10 000 000 000 (sepuluh miliar rupiah) (Pemerintah Republik Indonesia 2012).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan mengatur BTP yang digunakan dalam pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan.

b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau memengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.

c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

Penggolongan BTP berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut:

1. Antibuih (Antifoaming agent) 2. Antikempal (Anticaking agent) 3. Antioksidan (Antioxidant)

4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent) 5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt) 6. Gas untuk kemasan (Packaging gas) 7. Humektan (Humectant)

8. Pelapis (Glazing agent) 9. Pemanis (Sweetener) 10. Pembawa (Carrier)

11. Pembentuk gel (Gelling agent) 12. Pembuih (Foaming agent)

13. Pengatur keasaman (Acidity regulator) 14. Pengawet (Preservative)

(18)

4

17. Pengental (Thickener) 18. Pengeras (Firming agent)

19. Penguat rasa (Flavour enhancer) 20. Peningkat volume (Bulking agent) 21. Penstabil (Stabilizer)

22. Peretensi warna (Colour retention agent) 23. Perisa (Flavouring)

24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent) 25. Pewarna (Colour)

26. Propelan (Propellant) dan 27. Sekuestran (Sequestrant)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan menyebutkan bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP yaitu:

1. Asam borat (Boric acid) dan senyawanya

2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC) 4. Dulsin (Dulcin)

5. Formalin (Formaldehyde)

6. Kalium bromat (Potassium bromate) 7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocaine)

13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)

14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

16. Biji tonka (Tonka bean)

17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan menyebutkan bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP salah satunya yaitu asam borat (boric acid) dan senyawanya. Boraks tidak diperbolehkan dipergunakan di dalam makanan dan dinyatakan ilegal apabila ditemukan di dalam makanan termasuk jika dipergunakan untuk pelapis (wax) buah-buahan dan sayur-sayuran (USFDA 2013).

(19)

5 Bakso daging adalah produk olahan daging yang dibuat dari daging hewan ternak yang dicampur pati dan bumbu-bumbu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang berbentuk bulat atau bentuk lainnya dan dimatangkan. Daging meliputi daging sapi, kerbau, kambing, domba, babi, hewan ternak lainnya, dan atau hewan unggas. Daging ternak termasuk urat dan jantung. Klasifikasi bakso terdiri dari bakso daging merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 45% dan bakso daging kombinasi merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 20% (BSN 2014). Penelitian mengenai penambahan boraks pada bakso di Kota Bengkulu tahun 2011 memperoleh hasil 10% dari 100 sampel bakso yang diteliti. Sampel bakso yang diambil berasal dari pedagang bakso pada warung menetap dan tidak ada pemisahan pedagang bakso melakukan pembuatan sendiri atau berasal dari penggiling. Hasil penelitian dari tujuh kecamatan yang ada di Kota Bengkulu ditemukan enam kecamatan terdapat sampel bakso positif mengandung boraks (Suningsih 2011). Peningkatan jumlah pedagang bakso berdasarkan pelaksanaan inventarisasi dan pendataan unit usaha pangan asal hewan di Provinsi Bengkulu tahun 2013 yang dilakukan oleh UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu terdapat 158 unit usaha bakso (pedagang bakso) dengan rincian lokasi pasar 15 unit usaha, di mall enam unit usaha, di luar pasar, dan di luar mall 137 unit usaha. Belum ada data secara detail dari masing-masing unit usaha melakukan pembuatan bakso sendiri atau berasal dari penggiling, pedagang menetap dan tidak menetap, serta terdapat beberapa unit usaha bakso dengan cabang yang sama (Disnakkeswan Prov Bengkulu 2014).

Karakteristik Boraks

Boraks dengan rumus kimia Na2B4O7.10H2O mempunyai nama lain yaitu disodium tetraborat decahydrate, boraks decahydrate, atau boraks 10 dengan nomor registrasi Chemical Abstracts Registry (CAS) 1303-96-4 mempunyai ciri-ciri tidak berbau, keadaan fisik padat, berbentuk butiran kristal tidak berwarna/putih atau serbuk, bersifat alkali, tidak menyebabkan korosi pada logam besi, berat molekul 381.43 g/mol, pelarut gliserol (USEPA 2008a). Boraks memiliki berat jenis 1.73 larut dalam air dingin (47.1 g/l pada suhu 20 °C), sangat larut dalam air panas dan tidak larut dalam asam dan etanol, pemanasan di atas 320 °C akan menghilangkan kandungan air (EFSA 2013).

Kegunaan Boraks

(20)

6

Boraks merupakan bahan aktif dalam produk pestisida yang digunakan sebagai insektisida, akarisida, algasida, herbisida, fungisida, dan pengawet kayu. Boraks dipakai pada kegiatan manusia untuk produk laundry, pembakaran batu bara, pembangkit listrik, manufaktur kimia, peleburan tembaga, roket (Harper et al. 2012). Boraks dapat dipergunakan dalam proses penambangan emas untuk menghilangkan merkuri (Steckling et al. 2014).

Boraks efektif sebagai fungisida dalam pemberantasan Fusarium sulphureum pada kentang (Li et al. 2012). Boric acid dan boraks merupakan faktor yang bagus sebagai fire retardant untuk melindungi serat serbuk gergaji dari kebakaran (Nagieb et al. 2011). Boraks dapat memperpanjang umur simpan kertas karena antibakteri dan efektif mengontrol pertumbuhan mikroorganisme pada kertas, sehingga kondusif untuk pengawetan dan memperpanjang umur kertas. Penggunaan karbon dioksida (CO2SCF) dikombinasikan dengan larutan boraks alkohol menjadikan kertas lebih kuat dan biaya ekonomis (Yanjuan et al. 2013).

Boraks dapat sebagai antidota bersifat antagonis terhadap keracunan aluminium. Boraks pada dosis 3.25 dan 13 mg/kg berat badan dapat melindungi tikus yang diinduksi aluminium AlCl3 5 mg/kg berat badan. Partikel boraks memblok kenaikan mikronukleat hepatosit dan signifikan dengan efek genotoksik karena pengaruh AlCl3 (Turkez et al. 2012a). Boraks dapat menghambat pertumbuhan aflatoksin B1 (AFB1). Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan sister chromatid exchange (SCE) dan micronucleus (MN) pada aplikasi boraks (1, 2, dan 5 ppm) yang ditambah dengan AFB1 3.12 ppm. Boraks dapat memberikan 30 sampai 50% perlindungan terhadap AFB1 (Turkez et al. 2012b).

Pemberian boraks pada kelinci secara oral dengan dosis 10, 30, dan 50 mg/kg berat badan setiap 96 jam selama tujuh bulan tidak menunjukkan perubahan parameter gambaran darah. Dosis tersebut tidak berefek terhadap gambaran darah. Boraks berefek pada hepatic steatosis dan lemak visceral dengan menurunkan stres oksidatif dan mempengaruhi profil lipid, meskipun dosis 50 mg/kg tidak menunjukkan efek (Basoglu et al. 2010). Seperti halnya dengan penelitian Pawa dan Ali (2006) pemberian boraks sebagai pretreatment dengan dosis 4 mg/kg yang diberikan secara oral selama tiga hari pada tikus yang mengalami fulminant hepatic failure (FHF) dapat menormalkan hati dan mengimbangi efek kerusakan yang dihasilkan oleh FHF dengan mengatur parameter oksidatif stres yang ditunjukkan dengan peningkatan glutathione (GSH) dan penurunan lipid peroksidase.

Struktur molekul boraks seperti terlihat pada Gambar 1 (USEPA 2008a). Boraks dapat digunakan sebagai kontrol parasit pada tembakau (Kannan et al. 2015). Bernard et al. (2010) menyebutkan boraks digunakan untuk kontrol Fomes annosus dan kontrol ganggang di kolam renang, kontrol kutu/pinjal di karpet, penggunaan boraks untuk hal ini bersifat kontroversi karena beberapa tingkat aplikasi yang tinggi dapat menyebabkan keterpaparan pada anak-anak dan hewan peliharaan.

(21)

7 laboratorium. Boron dapat digunakan untuk masalah obesitas, fatty liver, dan diabetes atau untuk pengobatan masalah kesehatan tulang baik pada hewan domestik dan manusia. Meskipun penelitian tentang efek penggunaan boraks (boron) ini sudah dilakukan selama sepuluh tahun terakhir informasi yang dihasilkan tetap belum mencukupi (Kabu dan Akosan 2013; Kabu et al. 2015c).

Gambar 1 Struktur molekul boraks (USEPA 2008a)

Bahaya Boraks

Boraks bersifat toksik bagi sel, berisiko terhadap kesehatan manusia yang mengonsumsi makanan mengandung boraks (See et al. 2010). Pengaruh boraks terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ lain. Dosis fatal boraks antara 0.1 sampai 0.5 g/kg berat badan. Keracunan kronis akibat boraks karena absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang ditimbulkan antara lain anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, kebotakan (alopecia), anemia, dan konvulsi. Penggunaan boraks apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat mengganggu peristaltik usus, kelainan pada susunan saraf, depresi, dan kekacauan mental. Dosis tertentu mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati, dan kulit karena boraks cepat diabsorpsi oleh saluran pernafasan dan pencernaan, kulit yang luka, atau membran mukosa (Saparinto dan Hidayati 2006).

Paparan jangka pendek (akut) boraks dapat mempengaruhi sistem saraf. Keterpaparan berlebihan dapat menyebabkan kejang, ketidaksadaran, dan kematian. Paparan jangka panjang (kronis) boraks dapat menyebabkan kerusakan otak, ginjal, dan hati (Pohanish 2012). Pemberian boraks secara oral dengan lethal dose (LD50) 4550 mg/kg pada tikus jantan dan 4980 mg/kg pada tikus betina dapat mengakibatkan keracunan akut. Tabel 1 menunjukkan profil toksisitas akut untuk boraks (USEPA 2008b).

(22)

8

neovaskularisasi, dua dari enam tikus mati dalam waktu lima jam. Boraks dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan kematian mendadak dan terjadi juga pada waktu yang lama dan dosis lebih tinggi dapat mengakibatkan radang usus (Kabu et al. 2015a).

Tabel 1 Profil toksisitas akut boraks (USEPA 2008b)

Toksisitas akut Level toksisitas Kategori toksisitas Toksisitas akut oral/tikus LD50 Jantan = 4550 mg/kg

LD50 Betina = 4980 mg/kg

III Toksisitas akut oral/anjing LD50 > 974 mg/kg III

Toksisitas akut dermal/kelinci LD50 > 2000 mg/kg III

Iritasi akut mata/kelinci Korosif I Iritasi akut kulit/kelinci Tidak iritasi IV

LD50/LC50 merupakan ukuran umum dari toksisitas akut yaitu lethal dose (LD50) atau lethal concentration (LC50) yang menyebabkan kematian (dihasilkan dari satu atau terbatas paparan) pada 50 persen hewan perlakuan. LD50 umumnya dinyatakan sebagai dosis dalam miligram (mg) kimia per kilogram (kg) dari berat badan. LC50 sering dinyatakan sebagai mg kimia per volume (liter/l) media (udara atau air). Zat kimia dianggap sangat beracun bila LD50/LC50 kecil dan praktis tidak beracun ketika nilai besar. LD50/LC50 tidak mencerminkan efek dari paparan jangka panjang (kanker, kelahiran cacat atau toksisitas reproduksi) mungkin terjadi pada tingkat bawah yang menyebabkan kematian (Harper et al. 2012).

Penurunan jumlah sperma dan atrofi testis pada tikus jantan serta penurunan ovulasi pada tikus betina yang diberi perlakuan dengan boraks 1170 ppm (58.5 mg/kg/hari) selama 14 minggu (USDA 2006). Boraks bersifat toksik terhadap reproduksi berdasarkan hasil penelitian pada tikus dengan no observed adverse effect levels (NOAELs) sebesar 17.5 mg(B)/kg berat badan berpengaruh terhadap kesuburan tikus jantan dan 9.6 mg(B)/kg berat badan dan terganggunya perkembangan (Bolt et al. 2012).

(23)

9 Bandirma Turki adalah area produksi dan ekspor boric acid dan boraks (boron). Pekerja banyak terpapar oleh produk ini. Penelitian menunjukkan konsentrasi boron dalam darah 223.89±69.49 atau 152.82 sampai 454.02 ng/g (Basaran et al. 2012). Hasil investigasi efek reproduksi dengan paparan boron (boric acid dan boraks) pada pekerja di Bandirma Turki dengan pemeriksaan darah, semen, dan urin pada tempat kerja akibat paparan boron dari udara, makanan, dan sumber air. Efek reproduksi (konsentrasi, motilitas, morfologi sperma, dan follicle stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), dan total testosteron tidak teramati. Paparan boron 3.32 sampai 35.62 mg per hari. Paparan ini lebih rendah dari penelitian pada hewan yang menyebabkan penurunan jumlah sperma dan atrofi testis, sehingga tidak ada efek pada reproduksi manusia yang terkena paparan boron (Duydu et al. 2011). Menurut Duydu et al. (2012) tidak ada kerusakan DNA pada sperma akibat pengaruh paparan boraks melalui pengujian COMET assay.

Kerusakan testis karena polutan bahan kimia seperti pemakaian pestisida untuk produk pertanian yang mengandung organofosfat sering dilaporkan, sedangkan kasus boron (boric acid, boraks) yang berpengaruh terhadap spermatogenesis jarang dilaporkan. Oleh karena itu biosentinel spesies sangat cocok untuk memonitor polusi di perairan atau ekosistem. Kesehatan lingkungan yang terganggu atau stres berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi dari makhluk hidup yang ada di dalamnya. Biosentinel spesies invertebrata laut (Octopus mimus), ikan zebra Danio rerio dan amfibi atau binatang akuatik lainnya dapat dipergunakan sebagai bioindikator untuk mengetahui adanya polutan bahan kimia (Bustos-Obregon dan Hartley 2008).

Pemberian boraks dengan dosis 30 g/hari pada sapi perah selama periode

periparturient tidak memberikan efek terhadap metabolisme lipid, total kolesterol,

high density lipoprotein (HDL), non esterified fatty acids (NEFA), atau tingkat β -hydroxybutyric acid (BHBA) setelah partus. Boraks meningkatkan tingkat blood urea nitrogen (BUN) pada minggu pertama laktasi, tetapi level tersebut sama dengan periode transisi sebelum dan sesudah partus (Kabu dan Civelek 2012).

Pemberian boraks pada sapi perah dalam periode periparturient secara oral sebanyak 30 g per hari dapat menyebabkan efek terhadap beberapa parameter gambaran darah seperti sel darah putih (monosit dan neutrofil), hematokrit, hemoglobin, platelet, mean cospuscular hemoglobin. Peningkatan sel darah putih terjadi pada periode calving, monosit juga meningkat pada periode tersebut, neutrofil meningkat pada satu minggu sebelum partus dan mengalami penurunan pada satu minggu setelah partus. Hematokrit, hemoglobin, platelet, mean cospuscular hemoglobin signifikan pada periode periparturient (Kabu et al. 2014). Pemberian boraks secara oral dengan dosis 0.2 mg/kg/hari selama empat minggu pada sapi Australian simmental yang sedang laktasi menunjukkan peningkatan konsentrasi boraks dalam serum pada minggu 1, 2, 3, dan 4 tetapi tidak menunjukkan efek negatif pada periode awal laktasi. Meskipun demikian perlu dilakukan penelitian dengan waktu yang lebih lama untuk mengetahui efek boraks pada periode awal laktasi (Kabu dan Uyarlar 2015b).

(24)

10

(AFM) (Yu et al. 2013). Pertumbuhan dan proliferasi sel dapat dihambat dengan menggunakan boraks (Park et al. 2005). Boraks dapat menghambat proliferasi sel imun (limfosit) dan menyebabkan kerusakan genetik. Konsentrasi 0.15 mg/ml merupakan konsentrasi minimal boraks bersifat toksik terhadap sel imun. Semakin tinggi konsentrasi boraks semakin tinggi efek sitotoksik pada sel imun. Boraks pada konsentrasi 0.15, 0.2, 0.3 mg/ml memengaruhi sel dan kromosom manusia (jumlah dan struktur abnormal) (Pongsavee 2009a). Boraks dapat mengakibatkan abnormalitas kromosom manusia dan menyebabkan cacat genetik (Pongsavee 2009b).

Penelitian Gulsoy et al. (2015) juga menunjukkan genotoksik karena boraks pada ikan zebra Danio rerio yang terpapar akut pada 24, 48, 72, dan 96 jam ditandai dengan kerusakan DNA tertinggi pada 96 jam. Kerusakan DNA tertinggi pada dosis 64 mg/l, lalu diikuti 16 mg/l, 4 mg/l, dan 1 mg/l. Paparan 24 jam menyebabkan paling sedikit kerusakan DNA, dan semakin lama kerusakan DNA semakin banyak. Berbeda dengan penelitian Hojati dan Dehghanian (2014) yang menunjukkan bahwa boraks tidak bersifat mutagenik dengan Salmonella Typhimurium reverse mutation (Ames) test. Turkez (2008) menyebutkan bahwa boraks dapat mempertahankan antioksidan dan tidak bersifat genotoksik, ditunjukkan dengan boraks dapat menurunkan genotoksisitas TiO2 dalam darah. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa boraks tidak seluruhnya menghambat sister chromatid exchange (SCE) dan micronuklei (MN) akibat titanium dioxide (TiO2) yang biasa

dipergunakan untuk industri obat dan kosmetik.

Peningkatan dosis boraks pada darah manusia dapat menyebabkan stres oksidatif dengan menurunnya aktifitas enzim antioksidan, total glutathione (TGSH), total antioxidant capacity (TAC) dan meningkatnya malondialdehyde (MDA) meskipun pada dosis tertentu dapat mempertahankan kapasitas antioksidan (Turkez et al. 2007). Boraks meningkatkan konsentrasi glutathione (GSH) dalam darah dan tingkat vitamin C dalam plasma. Pemberian nutrisi yang mengandung boraks dengan dosis 100 mg/kg pada tikus selama 28 hari dapat menurunkan lipid peroxidation (LPO) dan meningkatkan mekanisme pertahanan antioksidan dan status vitamin. Tidak ada perbedaan keseimbangan oksidan/antioksidan dengan parameter biokimia, kecuali serum vitamin A pada serum dan konsentrasi glutathione (GSH) pada hati (Ince et al. 2010). Pemberian suplemen yang mengandung boraks pada ayam broiler menunjukkan tidak mempengaruhi pertumbuhan berat badan tetapi memengaruhi parameter biokimia pada hati, otot, dan saluran pencernaan, menimbulkan gangguan metabolisme, dan keseimbangan elektrolit (Eren et al. 2012).

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

(25)

11 Metode Penelitian

Kerangka Konsep

Kerangka konseptual penelitian karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang bakso terhadap penambahan boraks dalam bakso di Kota Bengkulu dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Skema kerangka konsep penelitian Disain Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data hasil pengujian sampel bakso di laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Responden yang akan diwawancarai adalah pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu. Wawancara dilakukan secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Pertanyaannya meliputi karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang dan penggiling bakso dalam menggunakan boraks dalam bakso. Pengukuran pengetahuan menggunakan pertanyaan dengan tiga pilihan jawaban yaitu ya, tidak, dan tidak tahu. Pengukuran sikap menggunakan pernyataan (terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif) dengan tiga pilihan jawaban yaitu setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju. Pengukuran praktik menggunakan pertanyaan dengan pilihan jawaban yang sudah disediakan. Wawancara mendalam (indepth interview) juga dilakukan dengan instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bengkulu; Dinas Pertanian,

Pemanasan Spektrofotometri Daya simpan pada suhu

ruang dan suhu refrigerator

Spektrofotometri A.Karakteristik personal:

-Umur

-Tingkat pendidikan -Skala usaha

-Omset -Lama usaha

-Keterlibatan organisasi -Akses informasi

Hasil uji positif

Total plate count (TPC) Organoleptik

Uji Kualitatif

Total plate count (TPC) Pengetahuan

Praktik

Sikap

Hasil uji negatif

(26)

12

Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan (Distannakbunhut) Kota Bengkulu; dan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu.

Pengambilan sampel dilakukan pada seluruh (100%) pedagang bakso yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan penggiling bakso yang berada di Kota Bengkulu.

Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian yang menggunakan kuesioner untuk pengumpulan data penelitian, maka kuesioner yang disusun harus mengukur apa yang ingin diukur. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas yaitu teknik pengukuran ulang, teknik belah dua, dan teknik paralel (Ancok 1995).

Uji validitas dan reliabilitas telah dilakukan terlebih dahulu sebelum kuesioner digunakan di lapangan. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap 30 responden. Adapun teknik yang digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik belah dua (Ancok 1995).

Koleksi Sampel

Berdasarkan data pelaksanaan inventarisasi dan pendataan unit usaha pangan asal hewan di Provinsi Bengkulu tahun 2013 yang dilakukan oleh UPT Laboratorium Kesmavet Provinsi Bengkulu terdapat 158 unit usaha bakso (pedagang bakso) dengan rincian lokasi pasar 15 unit usaha, di mall enam unit usaha, di luar pasar, dan di luar mall 137 unit usaha. Belum ada data secara detail dari masing-masing unit usaha melakukan pembuatan bakso sendiri atau berasal dari penggiling, pedagang menetap dan tidak menetap, serta terdapat beberapa unit usaha bakso dengan cabang yang sama (Disnakkeswan Prov Bengkulu 2014).

Pengambilan sampel bakso pada penelitian ini dilakukan pada seluruh pedagang bakso yang berada di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 160 pedagang bakso (100%) yang melakukan pembuatan bakso sendiri dan menetap. Pengambilan sampel juga dilakukan terhadap lima tempat penggiling bakso yang ada di Kota Bengkulu.

Pengambilan sampel bakso sebanyak 200 g untuk setiap pedagang dan penggiling bakso. Variasi ukuran bakso tidak dilihat dalam pengambilan sampel bakso dan hanya bakso daging sapi yang diambil untuk dilakukan pengujian. Pengujian Sampel

(27)

13 Metode pengujian tahap pertama yang dipergunakan berdasarkan metode standar AOAC nomor 970.33 dengan tipe tes secara kualitatif (AOAC 2007) untuk mengetahui keberadaan boraks. Pengujian secara kualitatif terdiri dari dua tahap pengujian yaitu uji pendahuluan dan uji konfirmasi. Uji pendahuluan dilakukan dengan cara sampel dipanaskan dengan air secukupnya untuk menjadikan larutan sebelum proses pengasaman. Sampel diasamkan dengan HCl 37% (7 ml asam untuk setiap 100 ml sampel). Kertas turmeric dicelupkan ke dalam larutan asam tersebut dan angkat segera. Jika terdapat boraks, maka kertas turmeric akan berubah menjadi warna merah. Bakso positif hasil uji pendahuluan dilanjutkan dengan uji konfirmasi. Uji konfirmasi dilakukan dengan cara 25 gram sampel positif uji pendahuluan dibuat dalam keadaan basa dengan ditambahkan kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dan diuapkan sampai kering menggunakan penangas kukus. Setelah itu sampel tersebut dibakar (dengan suhu rendah) sampai bahan organik terbakar seluruhnya. Lalu didinginkan, kemudian dilarutkan dengan 15 ml air, dan ditambahkan HCl tetes demi tetes sampai larutan menjadi asam pada pH 5. Setelah itu kertas turmeric dicelupkan ke dalam larutan asam tersebut dan dikeringkan menggunakan penangas kukus. Keberadaan boraks ditunjukkan oleh perubahan warna menjadi warna merah.

Metode pengujian tahap kedua terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu spektrofotometri, pemanasan, dan daya simpan. Tujuan uji spektrofotometri adalah untuk mengetahui kadar boraks dalam bakso. Apabila terdapat bakso yang positif mengandung boraks di Kota Bengkulu, maka perlu dilakukan pengujian spektrofotometri untuk mengetahui kadar boraks yang ada dalam bakso yang dijual di Kota Bengkulu. Tujuan uji pemanasan adalah untuk mengetahui kadar boraks setelah dilakukan pemanasan. Pada saat konsumen membeli bakso, pedagang bakso akan mencelupkan bakso dalam air mendidih terlebih dahulu, dan bakso tersebut yang disajikan dan siap dikonsumsi oleh konsumen. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian pemanasan pada bakso positif boraks untuk mengetahui ada atau tidak penurunan kadar boraks dalam bakso setelah dipanaskan. Sedangkan untuk uji daya simpan tujuannya untuk mengetahui daya simpan bakso yang mengandung boraks yang bisa dijadikan parameter bagi pedagang bakso untuk mengantisipasi kemungkinan adanya bakso yang mengandung boraks berdasarkan daya simpan bakso boraks pada suhu ruang dan refrigerator.

(28)

14

homogen. Perlakukan sama pada larutan uji (B1, B2, B3, B4, B5, dan B6). Cara penetapan kadar boraks yaitu masing-masing larutan A, B1, B2, B3, B4, B5, dan B6 dipipet sebanyak 0.5 ml ke dalam labu propilen yang berbeda, ditambah 3 ml larutan kurkumin 0.125%, 3 ml larutan asam asetat-sulfat (1:1) dicampur sampai homogen dan didiamkan selama 1 sampai 4 jam. Setelah itu 15 ml larutan amonium asetat ditambahkan dan dicampur sampai homogen. Serapan larutan berwarna merah jingga diukur dalam kuvet kuarsa 1 cm pada panjang gelombang maksimum ±540 nm menggunakan air yang diperlakukan sama seperti larutan uji sebagai blangko, dibuat kurva baku antara serapan dan kadar asam borat. Kadar asam borat dihitung menggunakan rumus berikut:

Ca x F

Bu

Ca = mikrogram asam borat yang diperoleh dari kurva baku (µg) Bu = berat sampel yang ditimbang (g)

F = faktor pengenceran

Pengujian pemanasan dilakukan dengan cara sampel bakso (hasil pengujian tahap pertama yang positif boraks) dipanaskan atau direbus kembali dalam air mendidih (100 °C) selama lima menit, kemudian dilakukan pengujian kuantitatif (spektrofotometri) kembali. Pengujian daya simpan bakso yang mengandung boraks dilakukan baik pada sampel bakso yang positif maupun yang negatif (hasil pengujian tahap pertama) dengan besaran sampel masing-masing 10 sampel. Sampel bakso yang diambil yaitu bakso yang diproduksi pada hari pertama. Sampel bakso yang diamati disimpan dalam suhu ruang dan suhu refrigerator (2 sampai 8 °C) sampai terjadi perubahan organoleptik yaitu warna, bau, tekstur. Pengujian total plate count (TPC) dilakukan pada hari nol, satu, dua, tiga, dan seterusnya sampai terjadi perubahan organoleptik atau maksimal enam hari. Pengujian TPC berdasarkan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 2897 tahun 2008 tentang metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu, serta hasil olahannya (BSN 2008).

Analisis Data

Data hasil wawancara yang diperoleh yaitu karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

(29)

15 Sungai Serut, dan Muara Bangkahulu. Jumlah penduduk Kota Bengkulu pada tahun 2013 sebanyak 334 529 jiwa dengan 84 866 rumah tangga. Luas wilayah Kota Bengkulu 146.69 km², kepadatan penduduk sebesar 2280 jiwa/km² (BPS Kota Bengkulu 2014).

Pengambilan Sampel dan Hasil Pengujian Laboratorium

Sebanyak 160 sampel bakso telah diambil dari pedagang bakso yang berada di Kota Bengkulu (Tabel 2) dan diuji secara kualitatif menunjukkan hasil negatif boraks. Demikian pula 15 sampel yang sama dari pedagang bakso diuji di Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Lampung juga memperlihatkan hasil negatif. Lokasi tempat pedagang bakso di Kota Bengkulu seperti terlihat pada Gambar 3.

(30)

16

Pengambilan sampel juga telah dilakukan dari penggiling bakso di Kota Bengkulu, terdapat lima sampel yang berasal dari tempat penggilingan yaitu Moro Seneng, Helen, Langen Sari, Ika Jaya, dan Gilingan Bakso Alfa. Hasil uji kualitatif dari kelima sampel yang berasal dari tempat penggilingan bakso memperlihatkan hasil negatif. Kelima sampel dari lima tempat penggilingan tersebut juga diuji oleh Laboratoriun Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Bengkulu, dan hasilnya juga menunjukkan negatif. Ada kekhawatiran penambahan boraks pada bumbu/BTP di tempat penggilingan bakso dalam proses pengolahan bakso, akhirnya dilakukan pengambilan sampel terhadap bumbu/BTP tersebut dan dilakukan uji kuantitatif dengan spektrofotometri oleh BPOM Bengkulu hasilnya menunjukkan bumbu/BTP tersebut negatif boraks. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh pedagang dan penggiling bakso di Kota Bengkulu tidak menggunakan boraks sebagai BTP dalam pengolahan bakso yang diperdagangkan.

Tabel 2 Wilayah dan besaran sampel bakso yang diambil dari pedagang bakso

No Wilayah kecamatan Besaran sampel (n) 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Selebar

Kampung Melayu Gading Cempaka Ratu Agung Ratu Samban Singaran Pati Teluk Segara Sungai Serut Muara Bangkahulu

23 7 16 10 32 24 17 11 20 Total sampel 160

Karakteristik Pedagang Bakso

Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu meliputi umur, tingkat pendidikan, skala usaha, omset, lama usaha, keterlibatan organisasi, dan akses informasi yang dimiliki dapat dilihat secara rinci pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan 71.3% pedagang bakso di Kota Bengkulu berusia 30 sampai dengan 50 tahun, 18.8% berusia lebih dari 50 tahun, dan 10% berusia kurang dari 30 tahun. Tingkat pendidikan yaitu pendidikan terakhir pedagang bakso terdiri dari tidak sekolah (7.5%), SD sampai SMP (54.5%), lebih dari atau sama dengan SMA (38.1%). Sebagian besar pedagang bakso berpendidikan SD sampai SMP.

(31)
[image:31.595.93.499.100.604.2]

17 Tabel 3 Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu

Karakteristik personal Jumlah (n=160) n % Umur

- < 30 tahun - 30-50 tahun - > 50 tahun Tingkat pendidikan

- Tidak sekolah - SD-SMP - ≥ SMA Skala usaha

- Mikro - Kecil Omset

- Tidak menjawab - < Rp300 000 000

- Rp300 000 000-Rp2 500 000 000 Lama usaha

- < 1 tahun - 1-10 tahun - > 10 tahun Keterlibatan organisasi - Tidak - Ya Akses informasi - Penyuluhan  Ya  Tidak

- Pelaku penyuluhan

 Balai Pengawas Obat dan Makanan Bengkulu

 Dinas Kesehatan Kota Bengkulu

 Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Bengkulu

- Informasi dari sumber lain

 Televisi

 Internet

 Media cetak

 Lain-lain 16 114 30 12 87 61 111 49 26 87 47 18 86 56 149 11 47 113 42 14 5 137 14 20 17 10.0 71.3 18.8 7.5 54.4 38.1 69.4 30.6 16.3 54.4 29.4 11.3 53.8 35.0 93.1 6.9 29.4 70.6 26.3 8.8 3.1 85.6 8.8 12.5 10.6

(32)

18

berasal dari televisi (85.6%), sisanya media cetak (koran/majalah), internet, dan lain-lain seperti radio dan kata orang/teman.

Praktik Pedagang Bakso

Praktik pengolahan bakso di Kota Bengkulu seperti terlihat pada Tabel 4, rata-rata jumlah daging setiap pembuatan kurang dari 5 kg (62.5%), lima sampai 10 kg (26.9%), dan lebih dari 10 kg (10.6%). Frekuensi penggilingan bakso sebagian besar dilakukan setiap hari (63.8%), dua sampai empat hari sekali (28.8%), lima sampai tujuh hari (4.4%), dan hanya 3.1% yang melakukan penggilingan bakso lebih dari satu minggu. Mayoritas pedagang bakso di Kota Bengkulu melakukan penggilingan bakso setiap hari.

[image:32.595.59.485.127.770.2]

Tabel 4 Praktik pengolahan bakso oleh pedagang bakso di Kota Bengkulu

Uraian praktik Jumlah (n=160) n % Rata-rata jumlah daging setiap pembuatan

- < 5 kg - 5-10 kg - > 10 kg

Penggilingan bakso dilakukan - Setiap hari

- 2-4 hari sekali - 5-7 hari sekali - > 1 minggu Tempat penggilingan

- Penggilingan sendiri - Pasar Panorama - Pasar Minggu

- Selain di Pasar Panorama dan Pasar Minggu Penambahan bumbu atau bahan tambahan pangan

- Pedagang bakso sendiri - Tempat jasa penggilingan Bumbu ditambah boraks

- Tidak

Pernah melihat boraks - Ya

- Tidak

Mudah mendapatkan boraks - Sulit

- Kadang sulit kadang mudah - Mudah

- Tidak pernah melihat boraks Perolehan boraks

- Luar kota - Pemasok tertentu - Dijual bebas di pasar - Tidak tahu

- Tidak pernah melihat boraks

(33)

19

Uraian praktik Jumlah (n=160) n % Bakso habis dalam satu hari

- Ya - Tidak

Yang dilakukan jika bakso tidak habis - Simpan di refrigerator

- Simpan di suhu ruang - Freezer

- Lain-lain

- Bakso habis dalam satu hari Lama bakso disimpan sampai habis

- < 2 hari

- 3 hari sampai 1 minggu - > 1 minggu

- Bakso habis dalam satu hari

58 102 30 1 69 2 58 64 34 4 58 36.3 63.8 18.8 0.6 43.1 1.3 36.3 40.0 21.3 2.5 36.3 Tempat penyimpanan bakso

- Simpan di refrigerator 30 18.8 - Simpan di suhu ruang

- Freezer

- Lain-lain

- Bakso habis dalam satu hari Penyimpanan bakso setelah dipanaskan

- Ya - Tidak

- Kadang-kadang

- Bakso habis dalam satu hari Larangan penggunaan boraks

- Ya tahu - Tidak tahu

Bahaya penggunaan boraks - Ya tahu

- Tidak tahu

1 69 2 58 39 59 4 58 134 26 109 51 0.6 43.1 1.3 36.3 24.4 36.9 2.5 36.3 83.8 16.3 68.1 31.9

Kandungan nutrisi dan kadar air yang tinggi menyebabkan bakso memiliki masa simpan yang singkat yaitu hanya mampu bertahan 12 jam hingga satu hari pada penyimpanan suhu ruang. Penyimpanan dan pemasaran bakso di pasar tradisional umumnya dilakukan dengan penjualan pada kondisi suhu kamar dan lingkungan yang tidak higienis, sehingga hanya mampu bertahan hingga satu hari. Berbeda dengan bakso yang dipasarkan di toko-toko atau swalayan yang mengandalkan fasilitas pendingin, sehingga dapat mempertahankan umur simpan bakso hingga lebih dari satu bulan (Syamadi 2002).

Tempat penggilingan bakso banyak dilakukan di Pasar Minggu (51.8%) meliputi Ika Jaya, Langen Sari, dan Gilingan Bakso Alfa, kemudian Pasar Panorama (48.1%) yaitu Moro Seneng dan Helen, sisanya 0.6% penggilingan sendiri dari PT Raja Top Food Jakarta, dan 0.6% selain Pasar Panorama dan Pasar Minggu yaitu penggilingan di Pagar Dewa. Penambahan bumbu/BTP 50.6% dilakukan oleh pedagang bakso sendiri dan oleh tempat penggilingan (49.4%).

(34)

20

pada umumnya bakso yang dijual setiap hari habis, adanya rasa lain, tidak disediakan di penggilingan, dan bakso yang tidak habis disimpan dalam freezer.

Mayoritas pedagang bakso tidak pernah melihat boraks 84.4%. Pedagang bakso yang pernah melihat boraks berdasarkan hasil wawancara 10.6% menyatakan kadang sulit kadang mudah untuk mendapatkan boraks dan 8.8% tidak tahu diperoleh dari mana, hanya 5% yang menyatakan diperoleh dari luar kota seperti Curup, Lampung atau dari Pulau Jawa. Pada umumnya bakso yang dijual tidak habis dalam sehari (63.8%). Bakso yang tidak habis disimpan di freezer (43.1%) dan lama penyimpanan kurang dari dua hari (40%).

Sebanyak 83.8% dari pedagang mengetahui ada larangan penggunaan boraks dalam bakso. Mereka pada umumnya mendapatkan informasi dari televisi (58.8%), sisanya dari teman/orang lain, dan pemerintah. Mereka juga menyadari akan bahaya boraks dalam bakso (68.1%). Hal itu pada umumnya mereka peroleh dari televisi (46.9%). Pedagang bakso menyebutkan bahaya boraks dalam bakso yaitu dapat merusak kesehatan atau menimbulkan penyakit (41.9%), selain itu dapat merusak organ tubuh, kanker, jantung, bahkan kematian, dan risiko besar untuk anak-anak.

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Tumbel (2010) terhadap mie basah di Kota Makassar yang berasal dari pasar tradisional (24 sampel), dan supermarket (5 sampel), serta industri (8 sampel) menunjukkan negatif boraks. Pedagang mie basah tradisional menyatakan mie berasal industri yang lokasinya dekat dengan pasar. Pihak industri mie basah menyatakan mie dijual ke warung atau pedagang dan kepada masyarakat langsung. Masyarakat banyak yang melakukan pembelian langsung karena relatif mie baru. Mie dapat bertahan lebih lama tanpa boraks, jika dimasukkan dalam freezer. Penggunaan boraks pada mie akan menghasilkan tekstur yang lebih kenyal, lebih awet yaitu dapat disimpan hingga empat hari. Dikarenakan industri selalu membuat mie baru maka tidak ada penambahan boraks pada mie basah yang beredar di Kota Makassar. Seperti halnya pedagang bakso di Kota Bengkulu mayoritas melakukan penggilingan untuk pembuatan bakso setiap hari, sehingga bakso selalu baru dan tidak diperlukan penambahan boraks, dan bakso yang tidak habis juga disimpan di dalam freezer.

Penggunaan pengawet alami untuk menghindari pengawet sintetis pada bakso bisa dilakukan dengan cairan chitosan 1.5 sampai 2.5%, hal ini dapat memperpanjang daya simpan bakso selama tiga hari. Hasil tes organoleptik meliputi warna, bau, tekstur dari bakso, panelis lebih memilih dengan cairan chitosan 1.5% (Purba et al. 2014). Selain itu hasil penelitian Arief et al. (2012) menyebutkan bakteriosin diproduksi dari indigenus Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal mempunyai aktifitas antimikrobia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella Typhimurium. Bakteriosin dari L. plantarum 2C12 efektif untuk biopreservative pada bakso. Bakteriosin (0.3%) dapat memperpanjang daya simpan bakso pada suhu 4 ºC dan tidak berpengaruh terhadap perubahan kualitas fisik dan kimia bakso.

Pengetahuan dan Sikap Pedagang Bakso

(35)
[image:35.595.111.512.214.330.2]

21 mengandung boraks pada kategori baik, 33.1% pedagang bakso memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan sisanya (11.3%) pedagang memiliki tingkat pengetahuan dengan kategori buruk. Sebesar 92.5% dari 160 pedagang bakso di Kota Bengkulu memiliki sikap yang dikategorikan baik, sedangkan sisanya memiliki sikap yang dikategorikan sedang (7.5%) dan tidak ada pedagang bakso yang mempunyai sikap yang dikategorikan buruk seperti dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso di Kota Bengkulu terhadap penambahan boraks

Kategori Jumlah (n=160) n % Pengetahuan

- Buruk - Sedang - Baik Sikap

- Sedang - Baik

18 53 89 12 148

11.3 33.1 55.6 7.5 92.5

Hasil survei diperoleh hasil bahwa tidak ada pedagang yang menggunakan boraks. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso pada kategori baik. Sikap adalah kecenderungan melakukan tindakan terhadap obyek. Terbentuknya sikap seseorang diawali dengan terbentuknya pengetahuan terhadap obyek yang dihadapi. Dari pengetahuan kemudian terbentuk respon batin berupa sikap terhadap obyek tersebut. Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai pengaruh terhadap terbentuknya sikap terhadap obyek. Baik dan tidak sikap seseorang terhadap obyek tergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh orang mengenai obyek itu (Sugiyatmi 2006).

Hasil penelitian Sugiyatmi (2006) menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan pembuat makanan jajanan dengan penambahan boraks pada makanan jajanan tradisional di pasar-pasar Kota Semarang. Semakin baik sikap seseorang pada proses pembuatan makanan jajanan yang sesuai dengan peraturan, dengan tidak menggunakan boraks, maka makin kecil kemungkinan terjadinya penambahan boraks pada makanan jajanan tradisional. Oktavia (2012) menyebutkan ada pengaruh pengetahuan terhadap penggunaan boraks dalam bakso oleh pedagang. Variabel pengetahuan memberikan pengaruh paling besar terhadap penggunaan boraks, responden dengan pengetahuan rendah memiliki peluang 5.3 kali lebih tinggi untuk menggunakan boraks. Mujianto et al. (2005) menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan penggunaan boraks. Sikap merupakan faktor risiko perilaku penggunaan boraks. Menurut Green (2008) Keamanan pangan bergantung pada perilaku manusianya. Perilaku bersifat sangat kompleks, tidak hanya pengetahuan yang memengaruhi perilaku seseorang. Perilaku ini bisa ditingkatkan melalui pendidikan tentang keamanan pangan.

(36)

22

PDKR Bogor untuk Pada Suka Pangan Indonesia, P-IRT No. 206320103953, bersertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan komposisinya tepung tapioka, sagu aren, sekuestran, pengemulsi. Kofta diproduksi oleh PT Kofta Unitrada-Indonesia, P-IRT No. 5113671030126-19, telah mempunyai izin dari MUI, dan komposisinya pati-pati tepung impor, pengemulsi, penstabil, pengikat, pati rumput laut merah. Pemutih Sunsea Brand diproduksi oleh Roha, sudah tercatat di BPOM, MD No. 377728023251, dan berlabel MUI. Bumbu bakso hanya berupa bubuk putih dalam kemasan putih transparan sebagai biang penambahan dalam pembuatan si kenyal atau kofta dan hasil tetap negatif berdasarkan hasil uji secara kuantitatif dengan metode spektrofotometri, demikian juga dengan perisa daging yang pada awalnya dicurigai dikarenakan warna kuning ke arah oranye seperti warna bleng, kemasan dalam plastik putih transparan tanpa merek juga tidak mengandung boraks.

Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Pengetahuan

Data karakteristik pedagang bakso yang memengaruhi pengetahuan mengenai bakso yang mengandung boraks disajikan pada Tabel 6. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat hubungan signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan pedagang (Tabel 6). Karakteristik lain seperti umur, skala usaha, omset, lama usaha, keterlibatan organisasi, dan akses informasi tidak memiliki hubungan yang nyata dengan pengetahuan pedagang bakso.

Tingkat pendidikan mempunyai hubungan dengan tingkat pengetahuan seseorang yang akan menentukan perilakunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik tingkat pengetahuan dan perilaku dari pedagang bakso daging sapi di Kota Pekanbaru. Tingkat pendidikan yang rendah diasumsikan memiliki keterkaitan dengan tingkat pengetahuan yang rendah termasuk pengetahuan keamanan pangan (Handoko et al. 2010). Menurut Nurkholidah et al. (2012) semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan. Seperti halnya pada penelitian Yasmin dan Madanijah (2010) menunjukkan adanya perbedaan nyata antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan pada penjaja pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di Jakarta dan Sukabumi. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin baik tingkat pengetahuan terhadap gizi dan keamanan pangan.

(37)

23 higiene sanitasi selama menangani dan menyimpan makanan sehingga dapat meningkatkan risiko kontaminasi makanan. Peningkatan pendidikan perlu dilakukan untuk meningkatkan keamanan pangan. Untuk meningkatkan keamanan pangan pemerintah daerah bersama dengan akademisi harus bersama-sama memberikan pelatihan, ada prosedur serta petunjuk keamanan pangan kepada penjual makanan.

Tabel 6 Hubungan antara karakteristik personal terhadap tingkat pengetahuan pedagang bakso dalam penambahan boraks

Karakteristik pedagang bakso

Tingkat pengetahuan

χ2 p

Buruk Sedang Baik n % n % n % Umur

- < 30 tahun - 30-50 tahun - > 50 tahun Tingkat pendidikan

- Tidak sekolah - SD-SMP - ≥ SMA Skala usaha

- Mikro - Kecil Omset

- < Rp300 000 000 - Rp300 000 000- Rp2 500 000 000 Lama usaha

- < 1 tahun - 1-10 tahun - > 10 tahun Keterlibatan organisasi - Tidak - Ya Akses informasi - Penyuluhan  Ya  Tidak - Pelaku penyuluhan  BPOM  Dinkes  Distannak bunhut - Informasi dari sumber lain

 Televisi

 Internet

 Media cetak

 Lain-lain 3 12 3 1 10 7 12 6 10 5 5 6 7 17 1 3 15 3 - - 13 - - - 18.8 10.5 10.0 8.3 11.5 11.5 10.8 12.2 11.5 10.6 27.8 7.0 12.5 12.7 3.8 6.4 13.3 7.1 - - 9.5 - - - 5 36 12 7 34 12 35 18 24 18 5 26 22 45 8 16 37 13 6 2 43 6 7 7 31.2 31.6 40.0 58.3 39.1 19.7 31.5 36.7 27.6 38.3 27.8 30.2 39.3 33.6 30.8 34.0 32.7 31.0 42.9 40.0 31.4 42.9 35.0 41.2 8 66 15 4 43 42 64 25 53 24 8 54 27 72 17 28 61 26 8 3 81 8 13 10 50.0 57.9 50.0 33.3 49.4 68.9 57.7 51.0 60.9 51.1 44.4 62.8 48.2 53.7 65.4 59.6 54.0 61.9 57.1 60.0 59.1 57.1 65.0 58.8 1.789 10.256 0.609 1.653 8.610 2.096 1.605 1.339 2.171 0.672 5.594 2.171 2.957 2.547 0.774 0.036 0.737 0.438 0.072 0.351 0.448 0.512 0.338 0.715 0.061 0.338 0.228 0.280

[image:37.595.103.510.204.744.2]
(38)

24

Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan kurangnya pengetahuan penjual makanan dalam higiene pangan dan kesehatan. Sebanyak 48% penjual berpendidikan SD dan 42% tidak sekolah (buta aksara). Pengetahuan mengenai higiene personal dan kesehatan rendah, banyak penjual yang sedang sakit, kotor, dan bau badan. Isolasi bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus sp. ditemukan pada makanan yang dijual (Abdalla et al. 2009). Hasil penelitian Wariyah dan Dewi (2013) menunjukkan ada korelasi antara pendidikan pedagang PJAS dengan pengetahuan tentang bahan berbahaya (boraks), pengetahuan yang kurang mendorong terdapatnya PJAS yang tidak memenuhi kriteria kualitas dan membahayakan kesehatan. Demikian halnya dengan hasil penelitian Sugiyatmi (2006) yang menunjukkan bahwa makanan jajanan tradisional yang mengandung boraks yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang ditemukan pada pembuat makanan berpendidikan tidak tamat SD.

Jika dikaitkan dengan berbagai kajian di atas mengenai pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan, sebagian besar pedagang bakso di Kota Bengkulu berpendidikan SD sampai SMP (54.4%), dan sama dengan atau di atas SMA (38.1%), hanya 7.5% yang tidak sekolah (Tabel 3). Kemungkinan hal ini yang menyebabkan bakso di Kota Bengkulu negatif terhadap boraks karena pedagang bakso tergolong mempunyai tingkat pendidikan yang baik sehingga tingkat pengetahuan mengenai penambahan boraks dalam bakso juga tergolong baik. Semakin tinggi pendidikan, maka tingkat pengetahuan semakin baik seperti terlihat pada Tabel 6.

Karakteristik Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap

Akses informasi berpengaruh penting terhadap sikap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang bakso yang mendapatkan informasi mengenai penambahan boraks dalam bakso bersumber dari televisi mempunyai sikap dalam kategori baik (94.9%) dan kategori sedang (5.1%). Sedangkan pedagang bakso yang mendapatkan informasi dari internet, media cetak, dan lain-lain (radio, kata orang/teman) seluruhnya (100%) mempunyai sikap dalam kategori baik (Tabel 7). Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa televisi mempunyai pengaruh terhadap peningkatan sikap. Adapun media lain yaitu internet, media cetak, dan lain-lain (radio, kata orang/teman) seluruhnya termasuk pedagang bakso yang mempunyai sikap yang baik.

(39)
[image:39.595.70.487.111.624.2]

25 Tabel 7 Hubungan antara karakteristik personal terhadap sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks

Karakteristik pedagang bakso

Sikap

Sedang Baik χ2 p

n % n % Umur

- < 30 tahun - 30-50 tahun - > 50 tahun Tingkat pendidikan

- Tidak sekolah - SD-SMP - ≥ SMA Skala usaha

- Mikro - Kecil Omset

- < Rp300 000 000 - Rp300 000 000- Rp2 500 000 000 Lama usaha

- < 1 tahun - 1-10 tahun - > 10 tahun Keterlibatan organisasi - Tidak - Ya Akses informasi - Penyuluhan  Ya  Tidak

- Pelaku penyuluhan

 BPOM

 Dinkes

 Distannakbunhut - Informasi dari sumber lain

 Televisi

 Internet

 Media cetak

 Lain-lain 1 8 3 1 9 2 8 4 5 3 2 6 4 11 1 2 10 2 - - 7 - - - 6.2 7.0 10.0 8.3 10.3 3.3 7.2 8.2 5.7 6.4 11.1 7.0 7.1 8.2 3.8 4.3 8.8 4.8 - - 5.1 - - - 15 106 27 11 78 59 103 45 82 44 16 80 52 123 25 45 103 40 14 5 130 14 20 17 93.8 93.0 90.0 91.7 89.7 96.7 92.8 91.8 94.3 93.6 88.9 93.0 92.9 91.8 96.2 95.7 91.2 95.2 100.0 100.0 94.9 100.0 100.0 100.0 0.345 2.594 0.045 0.022 0.383 0.597 1.010 0.615 1.244 0.418 7.850 1.244 1.853 1.542 0.842 0.273 0.530 0.578 0.826 0.387 0.258 0.344 0.320 0.674 0.016 0.320 0.189 0.247

*Menunjukkan adanya asosiasi (p < 0.05)

(40)

26

Surabaya. Jajanan anak sekolah dari 6 provinsi (Jakarta, Serang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) sebanyak 72.08% positif bahan berbahaya (Suhariyadi et al. 2015).

Pengetahuan Pedagang Bakso yang Memengaruhi Sikap

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap pedagang bakso di Kota Bengkulu dalam penambahan boraks yang dinyatakan pada taraf nyata (p < 0.05) seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pedagang bakso dalam penambahan boraks

Pengetahuan pedagang bakso

Sikap

Sedang Baik χ2 p

n % n % Buruk

Sedang Baik

9 1 2

50.0 1.9 2.2

9 52 87

50.0 98.1 97.8

52.812 0.000

*Menunjukkan adanya asosiasi (p<0.05)

Sikap merupakan lanjutan dari pengetahuan yang diterapkan oleh seseorang dalam melakukan aktivitas yang baik dan sesuai. Sikap seseorang dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor psikologis dan fisiologis serta eksternal berupa intervensi yang datang dari luar individu, misalnya berupa pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (Rahmawati et al. 2007).

Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu fisik, mental, dan sosial baik, tidak ada penyakit dan tidak lemah. Higiene adalah praktik menjamin kesehatan yang baik dan bersih. Pengetahuan dan praktik higiene personal sangat penting, apabila pengetahuan mengenai higiene personal rendah akan menyebabkan rendahnya praktik higiene personal. Terdapat hubungan signifikan antara praktik higiene personal terhadap kesehatan seseorang (Hossain 2012).

Jaminan keamanan pangan tergantung pada petugas yang menangani pangan, dimana motivasi yang tinggi berkontribusi terhadap produktifitas, loyalitas dan kenyamanan pada tempat kerja. Rendahnya motivasi petugas yang menangani pangan dikarenakan banyak hal salah satunya pengetahuan yang rendah mengenai keamanan pangan (Jevsnik et al. 2008). Pelatihan dalam penanganan pangan perlu dilakukan, dikarenakan sedikitnya pelatihan menjadikan pengetahuan yang rendah dari petugas yang menangani pangan. Pengetahuan merupakan prekursor utama dalam merubah perilaku seseorang. Sikap seseorang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan. Sikap negatif terhadap keamanan pangan menjadikan praktik yang tidak baik dalam penanganan pangan (Bas et al. 2006).

(41)

27 higiene pangan, sehingga mayoritas petugas melakukan pencegahan dan pengendalian terhadap foodborne disease (Nee dan Sani 2011). Seperti halnya hasil penelitian Samapundo et al. (2015) pengetahuan dan sikap penjual makanan di Port-au-Prince Haiti dalam kategori baik, dan penjual makanan yang telah mendapatkan pelatihan mengenai food safety lebih baik daripada penjual makanan yang tidak mengikuti pelatihan. Sedangkan hasil penelitian Apanga et al. (2014) penjual makanan di Rural Northern Ghana mempunyai tingkat pengetahuan mengenai food safety dalam kategori tinggi tetapi tidak diaplikasikan ke dalam praktik dalam penjualan makanan sehingga diperlukan sumber informasi utama tentang masalah-masalah keamanan pangan yang dapat memberikan edukasi dan disebarluaskan kepada penjual.

Grujic et al. (2013) menyatakan bahwa pengetahuan yang baik mengenai kualitas pangan dan bahan tambahan pangan yang dipergunakan dalam proses pembuatan pangan akan berdampak pada pemilihan pangan yang baik. Penelitian Cuprasitrut et al. (2011) menunjukkan ada hubungan signifikan antara pengetahuan dan sikap petugas yang menangani pangan terhadap praktik pencemaran pangan yang ditangani. Pengetahuan dan sikap petugas hanya di bawah 20% yang berada pada kategori baik sehingga ditemukan adanya pencemaran bakteri, boraks, formalin, sodium hydrosulfite, asam salisilat, dan organofosfat pada produk yang ditangani.

Dalam kajian lain ditunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik pengetahuan masyarakat tentang penyakit (demam berdarah)

Gambar

Gambar 2  Skema kerangka konsep penelitian
Gambar 3.
Tabel 3  Karakteristik personal pedagang bakso di Kota Bengkulu
Tabel 4  Praktik pengolahan bakso oleh pedagang bakso di Kota Bengkulu
+6

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik pedagang unggas di Pasar Jatinegara terhadap pengendalian

Hasil setelah dilakukan analisis dengan uji Wilcoxon menunjukan bahwa praktik sebelum dengan 1 minggu setelah penyuluhan terdapat 5 responden yang lebih rendah

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan perlu upaya pembinaan tentang penggunaan partograf kepada BPS dengan mengevaluasi praktik pelayanan BPS

Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Bidan Praktik Swasta (BPS) pada Penggunaan Partograf Acuan Maternal Neonatal Dalam Pertolongan Persalinan Normal Di Wilayah Dinas

2.4 Pengaruh Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu dalam Pencegahan DBD pada Anak. Berdasarkan teori diatas, penyuluhan sangat berperan dalam

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh karakteristik dan pengetahuan kewirausahaan terhadap keberhasilan usaha pedagang bakso di Kecamatan Medan

Keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil tidak berpengaruh secara signifikan terhadap praktik Inisiasi Menyusu Dini, akan tetapi dengan ikut serta dalam program kelas ibu

1 April 2022 Universitas Ubudiyah Indonesia e-ISSN : 2615-109X 390 Pengaruh Penyuluhan Kesehatan dengan Media Audio Visual Terhadap Perubahan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu